PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat...

89
PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: 1. Nama : Prof. Dr. Abdul Halim Soebahar, MA Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Jalan Kertanegara IV/88, Jember, Jawa Timur sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon I; 2. Nama : Sugiarto, S.H. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Perum Gunung Batu Blok D-07 Jember, Jawa Timur sebagai ------------------------------------------------------------ Pemohon II; 3. Nama : Drs. Fatahillah, S.H, MM. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Jalan Jawa II E Nomor 7 Sumbersari Jember, Jawa Timur sebagai ----------------------------------------------------------- Pemohon III; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus memberikan kuasa kepada Fathul Hadie Utsman, Direktur ACC/SERGAP (Abnormalism to Constitutional Control/Suara Etis Rakyat Menggugat Abivalensi dan Abnormalisasi Peraturan dan Perundang-Undangan), berdomisili di Tegalpar RT/RW 04/01, Muncar Banyuwangi, Jawa Timur bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon; SALINAN Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Transcript of PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat...

Page 1: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Nama : Prof. Dr. Abdul Halim Soebahar, MA

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Jalan Kertanegara IV/88, Jember, Jawa Timur

sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon I; 2. Nama : Sugiarto, S.H.

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Perum Gunung Batu Blok D-07 Jember, Jawa

Timur

sebagai ------------------------------------------------------------ Pemohon II; 3. Nama : Drs. Fatahillah, S.H, MM.

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Jalan Jawa II E Nomor 7 Sumbersari Jember,

Jawa Timur

sebagai ----------------------------------------------------------- Pemohon III;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus memberikan kuasa kepada Fathul

Hadie Utsman, Direktur ACC/SERGAP (Abnormalism to Constitutional

Control/Suara Etis Rakyat Menggugat Abivalensi dan Abnormalisasi Peraturan dan

Perundang-Undangan), berdomisili di Tegalpar RT/RW 04/01, Muncar

Banyuwangi, Jawa Timur bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

SALINAN

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 2: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

2

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;

Mendengar dan membaca keterangan Presiden;

Mendengar keterangan Pihak Terkait;

Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon dan Presiden serta saksi Pemohon;

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

Membaca kesimpulan para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal

10 November 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 18 Desember 2014

berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 328/PAN.MK/2014 dan

telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 8/PUU-

XIII/2015 pada tanggal 14 Januari 2015, yang diperbaiki dengan perbaikan

permohonan bertanggal 3 Februari 2015 dan diterima Kepaniteraan 9 Februari

2015, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berbunyi,

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi

adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana

diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Repbublik Indonesia.” Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut “UU MK” sebagaimana yang

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 3: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

3

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.”

Bahwa Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009

Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU

KK” menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.”

Bahwa karena objek permohonan Pemohon adalah pengujian Undang-

Undang atau muatan pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119,

Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, Pasal 124 ayat (2), maka Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa dan mengadili

pengujian Undang-Undang a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945.

B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Dimilikinya kedudukan hukum (legal standing) merupakan syarat yang harus

dipenuhi oleh setiap Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-

Undang terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK yang telah diubah dengan

UU Nomor 8 Tahun 2011 yang menyatakan: Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 4: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

4

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara.”

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK:

Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.”

Bahwa selain itu, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan

batasan komulatif tentang kerugian hak konstitusional yang timbul karena

berlakunya suatu Undang-Undang, dalam Putusan Nomor 006/PUU- \III/2005

tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September

2007, yang menyatakan bahwa kerugian hak konstitusional harus memenuhi 5

(lima) syarat:

a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon

telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spisifik

(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi;

Bahwa Pemohon mendalilkan mempunyai hak-hak konstitusional yang

diatur dalam UUD 1945 yang tercantum dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal

27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal

28I ayat (1), yang berupa hak untuk memajukan diri dan memperjuangkan hak

secara kolektif, hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,

hak untuk memperoleh kepastian hukum dan untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan.”

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 5: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

5

Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” (vide

bukti P-1)

Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan Kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Bahwa Pemohon III menganggap hak-hak konstitusional Pemohon yang

diatur dalam UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal atau

muatan pasal-pasal yang ada dalam UU ASN, Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal

119, Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, dan Pasal

124 ayat (2) yang berbunyi, sebagai berikut:

Pasal 87 ayat (4) huruf c

(4) “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.” (bukti P- 1.2).

Pasal 119 ”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan

mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil

bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS

sejak mendaftar sebagai calon.”

Penjelasan Pasal 119 “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali”.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 6: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

6

Pasal 123 ayat (3) “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden

dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakila Daerah, gubernur dan wakil

gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan

pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Penjelasan Pasal 123 “Pernyataan pengunduran diri tidak dapat ditarik kembali”.

Pasal 124 ayat (2) ”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan

dengan hormat.”

1. Bahwa Pemohon III menganggap Pasal 87 ayat (4) huruf c yang menyatakan:

(4) “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: c. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik,” merugikan hak-hak

konstitusional Pemohon yang tercantum dalam pasal-pasal UUD 1945 a

quo.

Bahwa Pemohon menganggap hak konstitusional pemohon untuk tidak

dituntut atas dasar hukum terabaikan oleh berlakunya Pasal a quo;

Bahwa Pemohon III adalah perorangan warga Negara Indonesia yang

berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang pada tahun 2013 terdaftar

sebagai calon calon anggota legislatif untuk pemilu legislatif untuk pemilu

tahun 2014;

Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon legislatif seseorang

harus terdaftar sebagai anggota partai politik peserta pemilu;

Bahwa dalam rangka untuk memenuhi persyaratan tersebut Pemohon

oleh partai dibuatkan kartu anggota partai politik;

Bahwa atas dasar bukti keanggotaan Pemohon sebagai anggota partai

politik yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu anggota partai politik yang

Pemohon dapatkan dari partai pengusung sekitar bulan April tahun 2013,

Pemohon diberhentikan dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS) dengan alasan bahwa Pemohon memenuhi persyaratan untuk

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 7: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

7

diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai PNS

(bukti P-3);

Bahwa Pemohon merasa hak konstitusional Pemohon untuk tidak

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut terabaikan, karena Pemohon

menjadi anggota partai politik peserta pemilu pada tahun 2013, sedangkan

Pemohon diputus menggunakan dasar Pasal 87 ayat (4) huruf c Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang baru disyahkan pada tanggal 15 Januari

2014, hal tersebut Pemohon anggap dituntut atas hukum yang berlaku surut,

karena keanggotaan Pemohon sebagai anggota partai politik terjadi sebelum

UU ASN disyahkan dan setelah Pemohon mengajukan pensiun dini (vide bukti

P-3);

Bahwa kerugian Pemohon tersebut benar-benar riil, karena Pemohon

diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS) berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional

tertanggal 23 Juni 2014 (bukti P- 3);

Bahwa karena pemberhentian tersebut Pemohon kehilangan hak-hak

konstitusional Pemohon untuk dapat bekerja dan memperoleh penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan dan hak untuk mengembangkan diri serta hak

untuk memperoleh kepastian hukum yang adil karena Pemohon secara

otomatis kehilangan pekerjaan tidak dapat mengembangkan karier Pemohon

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon benar-benar dibehentikan dari pekerjaan Pemohon

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atas dasar hukum yang berlau surut yang

mengakibatkan Pemohon kehilangan pekerjaan Pemohon sebagai PNS;

Bahwa apabila pasal tersebut dapat diperlakukan secara surut kepada

seluruh Warga Negara Indonesia, mayoritas PNS yang diangkat sebelum Era

Reformasi (sebelum tahun 1998) akan diberhentikan dengan tidak hormat dari

pekerjaannya sebagai PNS, sebab mayoritas PNS waktu itu harus menjadi

anggota partai politik tertentu (menjadi anggota Partai Golkar);

Bahwa seharusnya sebelum mengambil tindakan pemberhentian

dengan tidak hormat bagi PNS yang menjadi partai peserta pemilu harus

dipertimbangkan apakah keanggotaanya sebagai anggota aktif (berpolitik

praktis), sehingga dapat mengganggu pelaksanaan tugas PNS tersebut

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 8: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

8

sebagai PNS, tetapi kalau keanggotaannya untuk memenuhi syarat sebagai

persyaratan calon anggota legislatif setelah mengundurkan diri sementara,

seharusnya PNS tidak harus diberhentikan dengan tidak hormat, apabila

menjadi angota partai politik, kecuali PNS tersebut menjadi anggota partai

politik terlarang;

Bahwa karena di Indonesia dalam memilih wakil rakyat/anggota

DPR/DPRD, mengharuskan dipilih melalui Pemilihan Umum dimana peserta

Pemilihan Umum tersebut adalah partai politik, maka secara penalaran yang

wajar calon yang akan mendaftarkan diri sebagai calon legilatif haruslah

menjadi anggota partai politik peserta pemilu;

Bahwa PNS adalah merupakan salah satu sumber daya manusia yang

potensial untuk dapat dipilih menjadi anggota DPR/DPRD, dan apabila

persyaratan untuk menjadi anggota DPR/DPRD harus menjadi anggota partai

peserta pemilu maka apabila keanggotaannya sebagai anggota partai peserta

pemilu tersebut setelah mengundurkan diri sementara dari PNS, tidak ada

alasan untuk memberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaannya sebagai

PNS;

Bahwa Pemohon menganggap apabila pasal tersebut dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemohon tidak akan

diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai PNS.

2. Bahwa Pemohon II menganggap Pasal 119 dan Penjelasannya yang berbunyi, ”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi

pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan

pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon,” Penjelasannya, “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik

kembali,” dapat merugikan hak-hak konstitusional Pemohon yang tercantum

dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D

ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1), yang berupa hak untuk memajukan diri dan

memperjuangkan hak secara kolektif, hak untuk bekerja dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk memperoleh kepastian hukum yang

adil;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 9: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

9

Bahwa Pemohon II adalah perorangan warga Negara Indonesia yang

berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan IV d (Pembina Utama

Madya) yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Jember,

sebagai Pejabat Eselon II yang menurut ketentuan yang ada dalam UU ASN

disebut sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, menganggap hak-hak

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 119 dan Penjelasannya

UU ASN a quo;

Bahwa Pemohon berkeinginan untuk mengajukan sebagai calon

Bupati/Pejabat Negara, merasa hak-hak konstitusional Pemohon potensial

dirugikan oleh berlakunya Pasal 119 dan Penjelasannya UU ASN a quo,

karena apabila Pemohon mencalonkan diri sebagai calon Bupati Pemohon

harus mengundurkan diri dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri

Sipil (PNS) sejak mendaftar sebagai calon dan pengunduran diri tersebut tidak

dapat ditarik kembali (pengunduran diri bersifat permanen);

Bahwa kerugian tersebut potensial pasti terjadi, sebab apabila Pemohon

mendaftarkan diri sebagai calon Bupati Pemohon pasti diberhentikan dari

pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon menganggap apabila sepanjang frasa “pengunduran diri” yang terdapat dalam Pasal 119 UU ASN a quo dimaknai sebagai

“pengunduran diri sementara” dan Penjelasan Pasal 119 UU ASN a quo

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka hak konstitusional

Pemohon tidak akan dirugikan, dalam pengertian apabila Pemohon

mencalonkan diri sebagai calon Bupati cukup mengundurkan diri sementara

dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga

Pemohon memperoleh kepastian hukum yang adil, karena apabila Pemohon

mencalonkan diri sebagai Bupati, Pemohon tidak harus mengundurkan diri dari

pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga Pemohon

mempunyai hak untuk mengembangkan karier Pemohon sebagai pegawai

Negeri Sipil (PNS).

3. Bahwa Pemohon I menganggap Pasal 123 ayat (3) dan Penjelasannya yang

berbunyi, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan

menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah, gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 10: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

10

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon,” dan Penjelasan Pasal 123 berbunyi,

“Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali,” dapat

merugikan hak-hak konstitusional Pemohon yang tercantum dalam Pasal 27

ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal

28I ayat (1), yang berupa hak untuk memajukan diri dan memperjuangkan hak

secara kolektif, hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, hak untuk memperoleh kepastian hukum;

Bahwa Pemohon I adalah perorangan warga Negara Indonesia yang

berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan IV e (Pembina Utama) yang

akan mencalonkan diri sebagai Pejabat Negara baik sebagai wakil Bupati

menganggap hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 123 ayat (3) dan Penjelasannya UU ASN a quo;

Bahwa Pemohon berkeinginan untuk mengajukan sebagai calon wakil

Bupati/Pejabat Negara, merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya Pasal 123 ayat (3) dan Penjelasannya UU ASN a quo, karena

apabila Pemohon akan mencalonkan diri sebagai calon wakil Bupati, Pemohon

harus mengundurkan diri dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri

Sipil (PNS) sejak mendaftar sebagai calon dan pengunduran diri tersebut tidak

dapat ditarik kembali (pengunduran diri secara permanen);

Bahwa kerugian tersebut potensial pasti terjadi, sebab apabila Pemohon

mendaftarkan diri sebagai calon wakil Bupati, Pemohon pasti diberhentikan

dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon menganggap apabila sepanjang frasa “pengunduran diri” yang terdapat dalam Pasal 123 ayat (3) UU ASN a quo dimaknai sebagai

“pengunduran diri sementara” dan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) UU ASN

a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka hak konstitusional

Pemohon tidak akan dirugikan, dalam pengertian apabila Pemohon

mencalonkan diri sebagai calon wakil Bupati cukup mengundurkan diri

sementara dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)

sehingga Pemohon memperoleh kepastian hukum yang adil, karena apabila

Pemohon mencalonkan diri sebagai wakil Bupati pemohon tidak harus

mengundurkan diri dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 11: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

11

(PNS), sehingga Pemohon mempunyai hak untuk mengembangkan karier

Pemohon sebagai pegawai Negeri Sipil (PNS). 4. Bahwa Pemohon I menganggap Pasal 124 ayat (2) UU ASN yang berbunyi,

”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan

diberhentikan dengan hormat,” dapat merugikan hak-hak konstitusional

Pemohon yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal

28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1), yang berupa hak

untuk memajukan diri dan memperjuangkan secara kolektif hak untuk bekerja

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk memperoleh

kepastian hukum;

Bahwa Pemohon I adalah perorangan warga Negara Indonesia yang

berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan IV e (Pembina Utama) yang

berpotensi dapat diangkat untuk menduduki sebagai Pejabat Negara

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 123 ayat (1) UU ASN yang

berbunyi, Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua,

dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan

Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua

dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat

menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh

diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS,” menganggap hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 124 ayat (2) UU ASN a quo;

Bahwa Pemohon merasa berpotensi dapat diangkat menduduki sebagai

Pejabat Negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 123 ayat (1) UU

ASN a quo, menganggap hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan oleh

berlakunya Pasal 124 ayat (2) UU ASN a quo, karena apabila Pemohon sudah

tidak menjabat lagi sebagai Pejabat Negara sebagaimana tercantum dalam

Pasal 123 ayat (1) UU ASN a quo jikalau dalam waktu dua tahun tidak dapat

menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Struktural maupun Jabatan

Administrasi Pemohon diberhentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 12: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

12

Bahwa kerugian tersebut potensial pasti terjadi, sebab jikalau dalam

waktu dua tahun tidak dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan

Struktural maupun Jabatan Administrasi, Pemohon diberhentikan dengan

hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon menganggap apabila Pasal 124 ayat (2) UU ASN a

quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka hak konstitusional

Pemohon tidak akan dirugikan, dalam pengertian Pemohon tidak akan

diberhentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS) sehingga Pemohon memperoleh kepastian hukum yang

adil, dan Pemohon tidak akan diberhentikan dari pekerjaan pemohon sebagai

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga Pemohon tetap mempunyai hak

untuk mengembangkan karier Pemohon sebagai pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon beranggapan apabila Pasal 124 ayat (2) a quo

dibatalkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka

seandainya Pemohon sudah tidak menjabat lagi sebagai Pejabat Negara

sebagaimana tercantum dalam Pasal 123 ayat (1) UU ASN a quo dan

seandainya dalam jangka waktu dua tahun sejak tidak menjabat lagi, Pemohon

tidak dapat menduduki sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Fungsional

maupun Jabatan Administrasi, Pemohon tidak diberhentikan dengan hormat

dari pekerjaannya sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS), namun apabila Pasal

124 ayat (2) a quo tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka

Pemohon akan dibehentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan tersebut, Pemohon

mendalilkan bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing)

untuk mengajukan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal

119, Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123 ayat (3)

dan Pasal 124 ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945.

C. Pokok-Pokok Permohonan, Dalil-Dalil dan Alasan-Alasan Permohonan. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil atas pasal-

pasal yang ada dalam UU ASN a quo terhadap UUD 1945 terutama terhadap

pasal-pasal yang mengandung norma:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 13: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

13

1. Adanya norma yang menyatakan bahwa PNS yang mencalonkan diri untuk

menjadi pejabat Negara harus mengundurkan diri dari PNS sejak yang

bersangkutan mendaftarkan diri menjadi pejabat Negara;

2. Adanya norma yang menyatakan bahwa pernyataan pengunduran diri dari

PNS tersebut tidak dapat ditarik kembali dan PNS yang mencalonkan diri

menjadi pejabat Negara tersebut diberhentikan dengan tidak hormat dari

PNS;

3. Adanya norma yang menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak

hormat apabila menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik;

4. Adanya norma yang menyatakan anggota PNS yang sudah tidak menjabat

lagi sebagai anggota Mahkamah Konstitusi, anggota BPK, anggota KPK

dan sebagainya apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak memperoleh

jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi atau jabatan fungsional, PNS

yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

Bahwa Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119, Pasal

123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123 ayat (3) dan Pasal 124 ayat (2) yang berbunyi,

1. Pasal 87 ayat (4) huruf c (4) “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:

c. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.”

2. Pasal 119 ”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang

akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan

pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.” Penjelasan Pasal 119 “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali.”

3. Pasal 123 ayat (3) “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi

Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah, gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 14: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

14

Penjelasan Pasal 123 “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali.”

4. Pasal 124 ayat (2) ”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan

diberhentikan dengan hormat.”

Bahwa Pemohon menganggap Pasal-Pasal UU ASN a quo bertentangan

dengan UUD 1945 yang tercantum dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 27

ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I

ayat (1), yang mengatur tentang hak untuk memajukan diri dan memperjuangkan

hak secara kolektif, hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, hak untuk memperoleh kepastian hukum dan untuk tidak dituntut

atas dasar hukum yang berlaku surut, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27 ayat ( 2) (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.”

Pasal 28C ayat (2) (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan

negaranya.” ( bukti P-1.1)

Pasal 28D ayat (1) (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

Kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.”

Pasal 28D ayat (2) (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Pasal 28I ayat (1) (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 15: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

15

dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Bahwa dalam UU ASN a quo juga terdapat pasal yang tidak menjamin

adanya kepastian hukum yang adil serta terdapat dua norma yang saling

bertentangan, disisi lain terdapat norma yang menyatakan bahwa PNS dapat

menjadi pejabat Negara, disisi lain terdapat norma yang menyatakan bahwa

pejabat Negara yang menjadi anggota partai politik diberhentikan dengan tidak

hormat dari pekerjaannya sebagai PNS, padahal persyaratan untuk menjadi calon

pejabat Negara (calon DPR dan sebagainya) disyaratkan harus menjadi anggota

partai politik peserta pemilu karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik,

sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat (3) menyatakan bahwa:

“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD Daerah adalah

partai politik.”

Bahwa karena peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan

DPRD adalah partai politik, maka seorang caleg harus diajukan oleh partai politik,

niscaya caleg tersebut pasti menjadi anggota partai politik peserta pemilu tersebut;

Bahwa Pemohon mendalilkan apabila keanggotaan parpol PNS tersebut

hanya sebatas untuk melengkapi persyaratan pencalegan saja yang menjadi

keniscayaan persyaratan bagi seorang caleg yang akan mendaftarkan diri sebagai

calon legislatif sebagaimana yang tercantun dalam UU Pileg Pasal 51 ayat (1)

huruf n yang menyatakan bahwa : “Bakal calon anggota DPR Dan DPRD adalah

warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan …n. menjadi anggota

partai peserta pemilu,” maka seharusnya tidak dapat dijadikan alasan untuk

memberhentikan PNS yang menjadi caleg tersebut dari pekerjaannya sebagai

PNS, apabila PNS yang bersangkutan mengundurkan diri sementara dari

pekerjaannya sebagai PNS dan tidak aktif sebagai anggota partai politik (tidak

berpolitik praktis);

1. Bahwa Pemohon menganggap Pasal 87 ayat (4) huruf c yang berbunyi, “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: c. menjadi anggota

dan/atau pengurus partai politik.” Bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 16: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

16

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,” karena Pemohon

diuntut atas dasar hukum yang berlaku surut dan diberhentikan dengan tidak

hormat dari pekerjaan Pemohon sebaga Pegawai Negeri Sipil (PNS), Karena

Pemohon dianggap melanggar disiplin Pegawai Negeri karena menjadi

anggota partai politik pada tahun 2013, padahal pada waktu Pemohon menjadi

anggota partai politik UU ASN belum ditetapkan sebagai Undang-Undang;

Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon legislatif seseorang

harus terdaftar sebagai anggota partai politik peserta pemilu;

Bahwa dalam rangka untuk memenuhi persyaratan tersebut Pemohon

oleh partai dibuatkan kartu anggota partai politik;

Bahwa atas dasar bukti keanggotaan Pemohon sebagai anggota partai

politik yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu anggota partai politik yang

Pemohon dapatkan dari partai pengusung sekitar bulan April tahun 2013,

Pemohon diberhentikan dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS) dengan alasan bahwa Pemohon memenuhi persyaratan untuk

diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai PNS;

Bahwa Pemohon merasa hak konstitusional Pemohon untuk tidak

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut terabaikan, karena Pemohon

menjadi anggota partai politik peserta pemilu pada tahun 2013, sedangkan

Pemohon diputus menggunakan dasar Pasal 87 ayat (4) huruf c Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang baru disyahkan pada tanggal 15 Januari

2014, hal tersebut Pemohon anggap dituntut atas hukum yang berlaku surut,

karena keanggotaan Pemohon sebagai anggota partai politik terjadi sebelum

UU ASN disahkan;

Bahwa kerugian Pemohon tersebut benar-benar riil, karena Pemohon

diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS) berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional

tertanggal 23 Juni 2014 (bukti P- 3);

Bahwa karena pemberhentian tersebut Pemohon kehilangan hak-hak

konstitusional Pemohon untuk dapat bekerja dan memperoleh penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan dan hak untuk mengembangkan diri serta hak

untuk memperoleh kepastian hukum yang adil karena Pemohon secara

otomatis tidak dapat mengembangkan karier sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS);

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 17: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

17

Bahwa Pemohon benar-benar dibehentikan dari pekerjaan Pemohon

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atas dasar hukum yang berlau surut yang

mengakibatkan Pemohon kehilangan pekerjaan Pemohon sebagai PNS;

Bahwa Pemohon menganggap apabila pasal tersebut dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemohon tidak akan

diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai PNS;

Bahwa Pemohon mendalilkan seharusnya bagi PNS yang akan

mencalonkan diri sebagai Pejabat Negara cukup mengundurkan diri

sementara dari pekerjaannya sebagai PNS untu menghindari agar tidak terjadi

pelanggaran disiplin PNS, sebab kalau tidak mengundurkan diri sementara

dikhawatirkan akan mengganggu kinerja bagi PNS yang akan mencalonkan

diri sebagai Pejabat Negara tersebut dan dapat dicurigai akan memakai

fasilitas Negara untuk kepentingan-kepentingan pribadi;

Bahwa apabila sudah mengundurkan diri sementara dari dari PNS,

maka PNS tersebut akan mempunyai waktu tenaga dan pikiran yang cukup

untuk fokus dalam kegiatan pencalonan sebagai Pejabat Negara tersebut;

Bahwa pada dasarnya PNS berhak menjadi Pejabat Negara, maka PNS

harus diperbolehkan menclonkan diri sebagai calon Pejabat Negara dengan

mengundurkan diri sementara dari PNS;

Bahwa apabila PNS tersebut tidak terpilih atau sudah tidak lagi

menjabat sebagai Pejabat Negara PNS tersebut diaktifkan kembali sebagi

PNS;

Bahwa UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) menyatakan: “Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Bahwa hak-hak Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum yang

adil dirugikan oleh berlakunya UU ASN yang tercantum dalam Pasal 119,

Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, Pasal 124

ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 119 ”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang

akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota,

dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara

tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 18: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

18

Penjelasan Pasal 119 ”Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali.”

Pasal 123 ayat (3) “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi

Presiden dan Wakil Presiden, ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah, gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak

mendaftar sebagai calon.” Penjelasan Pasal 123 “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali.” Pasal 124 ayat (2) ”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan

diberhentikan dengan hormat.” Bahwa pasal-pasal dalam UU ASN a quo kami anggap bertentangan

dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Bahwa dalam UU ASN terdapat pasal-pasal yang konstitusional yang

mengandung norma-norma hukum yang jelas yang menyatakan bahwa

Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat menjadi pejabat Negara dengan ketentuan

sebagai berikut:

1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjabat sebagai pejabat Negara

mengundurkan diri sementara dari PNS apabila menjabat sebagai pejabat

Negara;

2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sudah tidak menjabat sebagai pejabat

Negara diaktifkan kembali dari statusnya sebagai PNS sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123 ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 88 ayat (1) huruf a dan huruf b dan ayat (2) dalam UU ASN yang

menyatakan:

Pasal 121 “Pegawai ASN dapat menjadi pejabat Negara.”

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 19: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

19

Pasal 122 “Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;

e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah

Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan

kecuali hakim ad hoc;

f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;

g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;

j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;

k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan

sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

l. Gubernur dan wakil gubernur;

m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan

n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.”

Pasal 123

“Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan

anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan

Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan

setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri

yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh

diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS.

(2) Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS.”

Pasal 88 (1) “PNS diberhentikan sementara, apabila:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 20: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

20

a. Diangkat menjadi pejabat negara;

b. Diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga non struktural.”

(bukti P-2).

Bahwa Pemohon mendalilkan terjadinya kontradiksi antara pasal-

pasal a quo dapat mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum karena disisi

lain terdapat norma yang menyatakan bahwa PNS dapat menjadi pejabat

Negara sedangkan disisi lain terdapat norma yang menyatakan bahwa PNS

yang akan mencalonkan diri sebagai pejabat Negara harus mengundurkan diri

dari PNS dan diberhentikan dengan tidak hormat dari PNS, adanya norma

yang menyatakan bahwa PNS yang menjadi pejabat Negara cukup

mengundurkan diri sementara dari PNS dan apabila sudah tidak menjabat

sebagai pejabat Negara diaktifkan kembali sebagai PNS, disisi lain terdapat

norma, pada saat masih dalam proses pencalonan sebagai pejabat Negara,

PNS sudah harus mengundurkan diri;

Bahwa dengan adanya dua norma yang saling bertentangan tersebut

secara logika sangatlah bertentangan dan tidak dapat menjamin adanya

kepastian hukum, apakah PNS dapat menjabat sebagai pejabat Negara atau

dilarang untuk menjadi pejabat Negara. Kalau memang PNS dapat menjabat

sebagai pejabat Negara sebagaimana yang tercantum dalam UU ASN a quo

maka seharusnya tidak boleh ada pasal yang mengharuskan PNS yang akan

mencalonkan diri sebagai pejabat Negara mengundurkan diri yang tidak dapat

ditarik kembali dari PNS pada saat masih dalam proses pencalonan sebagai

pejabat Negara;

Bahwa apabila masih dalam proses pencalonan sebagai calon pejabat

Negara PNS sudah harus mengundurkan diri yang tidak dapat ditarik kembali

maka dapat dimaknai bahwa PNS tidak boleh menjadi pejabat Negara karena

mana mungkin bisa menjadi pejabat Negara apabila masih dalam proses

pencalonan sebagai pejabat Negara saja PNS sudah harus mengundurkan diri

dari pekerjaannya sebagai PNS;

Bahwa pasal-pasal dalam UU ASN a quo juga tidak sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia selanjutnya di sebut

UU HAM Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 21: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

21

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan

perlakuan yang sama di depan hukum.

Bahwa UUD 1945 juga menetapkan bahwa setiap orang bersamaan

kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta berhak memperoleh

kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (1) (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya.”

Pasal 28D ayat (3) (3) “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan.”

Bahwa adanya norma hukum dalam UU ASN a quo yang

mengharuskan seorang PNS mengundurkan diri dari PNS pada saat akan

mencalonakan diri sebagai pejabat Negara dipastikan dapat menghalangi hak-

hak PNS untuk dapat menjadi pejabat Negara.

Bahwa UU HAM Pasal 43 juga menyatakan:

Pasal 43

(1) “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan

umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan

langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas,

menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;

(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan

(bukti 1.3).

Bahwa Pemohon mendalilkan yang lebih menjamin adanya kepastian

hukum dan tidak merugikan hak-hak konstitusional Pemohon adalah norma

yang menetapkan bahwa PNS dapat menjadi pejabat Negara dengan

ketentuan pada saat menjabat sebagai pejabat Negara PNS yang

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 22: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

22

bersangkutan harus mengundurkan diri sementara dari PNS. Oleh karena itu

Pemohon mendalilkan bahwa norma hukum yang benar dan tidak merugikan

hak-hak konstitusional Pemohon adalah norma yang menyatakan bahwa PNS

yang akan mencalonkan diri sebagai pejabat Negara harus mengundurkan diri

sementara dari PNS dan pengunduran diri tersebut dapat ditarik kembali

apabila PNS tersebut tidak terpilih menjadi pejabat Negara atau sudah tidak

lagi menjabat sebagai pejabat Negara;

Bahwa dalam UU ASN a quo juga terdapat norma yang saling

bertentangan dan tidak dapat menjamin adanya kepasian hukum yaitu adanya

norma yang menyatakan PNS dapat menjadi anggota Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia dan sebagainya yang dinyatakan tidak kehilangan

statusnya sebagai PNS dan apabila sudah tidak menjabat statusnya sebagai

PNS dapat diaktifkan kembali, disisi lain PNS tersebut yang sudah tidak

menjabat sebagai pejabat lagi, terdapat norma yang menyatakan apabila PNS

tersebut dalam masa dua tahun tidak menduduki jabatan pimpinan tinggi,

jabatan administrasi atau jabatan fungsional, PNS yang bersangkutan

diberhentikan dengan hormat sebagaimana tercantum dalam Pasal 123 ayat

(1) dan ayat (2) dan Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN a quo yang

menyatakan:

Pasal 123 (1) “Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan

anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan

Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan

jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar

Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa

Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan

status sebagai PNS;

(2) Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat Negara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS.

Pasal 124 (1) PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat menduduki Jabatan Pimpinan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 23: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

23

Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia

lowongan jabatan.

(2) Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan

diberhentikan dengan hormat.

Bahwa disini terjadi dua pasal yang sangat kontradiktif yaitu antara

Pasal 123 ayat (2) dan Pasal 124 ayat (2) a quo dimana dalam Pasal 123 ayat

(2) menetapkan PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat Negara seperti

menjadi anggota Mahklamah Konstitusi RI, anggota KPK dan sebagainya di

aktifkan kembali sebagai PNS, disisi lain terdapat aturan yang terdapat dalam

Pasal 124 ayat (2) yang pada intinya menyatakan bahwa apabila PNS mantan

anggota MK,anggota KPK dan sebagainya apabila dalam jangka waktu paling

lama dua tahun tidak menduduki jabatan tinggi, jabatan administrasi atau

jabatan fungsional PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat;

Bahwa Pemohon beranggapan Pasal 124 ayat (2) a quo tidak menjamin

adanya kepastian hukum yang adil sebab apabila PNS tidak memperoleh

jabatan a quo dalam jangka waktu dua tahun PNS yang bersangkutan akan

diberhentikan dari pekerjaannya sebagai PNS, sedangkan dalam Pasal 123

ayat (2) UU ASN a quo menyatakan bahwa PNS yang tidak menjabat lagi

sebagai pejabat Negara seperti menjadi anggota MK, anggota KPK Dan

sebagainya, diaktifkan kembali sebagai PNS. Pemohon mendalilkan ketentuan

ayat inilah yang lebih dapat menjamin adanya kepastian hukum yang adil

sebab apabila PNS sudah tidak menjabat lagi sebagai pejabat Negara a quo

dapat diaktifkan kembali sebagai PNS;

Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 124 ayat (2) a quo jelas-jelas

bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak menjamin adanya kepastian

hukum yang adil dan memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia untuk menyatakan: Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 yang berbunyi, ”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun

PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”. bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 24: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

24

Bahwa dengan dibatalkannya Pasal 124 ayat (2) maka yang berlaku

adalah ketentuan yang ada dalam Pasal 123 ayat (2), sehingga PNS yang

sudah tidak menjabat lagi dalam jabatan-jabatan a quo dapat diaktifkan kembali sebagai PNS, dan ketentuan yang ada dalam Pasal 124 ayat (1)

tetap berlaku yang menyatakan: “PNS yang tidak menjabat lagi sebagai

pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat

menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan

Fungsional, sepanjang tersedia lowongan jabatan.”

Bahwa dengan dibatalkannya Pasal 124 ayat (2) a quo PNS mantan

anggota MK, anggota KPK dan sebagainya dapat menduduki Jabatan

Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang

tersedia lowongan jabatan, dan apabila tidak ada lowongan untuk menduduki

jabatan a quo PNS yang bersangkutan tidak diberhentikan dengan hormat dan

tetap dapat diaktifkan kembali sebagai PNS.

2. Bahwa Pemohon menganggap Pasal 119 dan Penjelasannya yang berbunyi, ”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi

pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan

pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon,” Penjelasannya, “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik

kembali,” dapat merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan Pemohon anggap bertentangan dengan pasal-pasal yang ada dalam Pasal 27 ayat

(2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I

ayat (1) UUD 1945 yaitu yang berupa hak untuk memajukan diri dan

memperjuangkan secara kolektif, hak untuk bekerja dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan, hak untuk memperoleh kepastian hukum;

Bahwa kerugian tersebut potensial pasti terjadi, sebab apabila Pemohon

mendaftarkan diri sebagai calon Bupati Pemohon pasti diberhentikan dari

pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon menganggap apabila sepanjang frasa “pengunduran diri” yang terdapat dalam Pasal 119 UU ASN a quo dimaknai sebagai

“pengunduran diri sementara” dan Penjelasan Pasal 119 UU ASN a quo

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka hak konstitusional

Pemohon tidak akan dirugikan, dalam pengertian apabila Pemohon

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 25: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

25

mencalonkan diri sebagai calon Bupati cukup mengundurkan diri sementara

dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga

Pemohon memperoleh kepastian hukum yang adil, karena apabila Pemohon

mencalonkan diri sebagai Bupati pemohon tidak harus mengundurkan diri dari

pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga Pemohon

mempunyai hak untuk mengembangkan karier Pemohon sebagai pegawai

Negeri Sipil (PNS). 3. Bahwa Pemohon menganggap Pasal 123 ayat (3) dan Penjelasannya yang

berbunyi, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan

menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah, gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon,” dan Penjelasan Pasal 123 berbunyi,

“Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali,” bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat merugikan hak-hak konstitusional

Pemohon yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal

28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1), yang berupa hak

untuk memajukan diri dan memperjuangkan hak secara kolektif, hak untuk

bekerja dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk

memperoleh kepastian hukum;

Bahwa kerugian tersebut potensial pasti terjadi, sebab apabila Pemohon

mendaftarkan diri sebagai calon Bupati Pemohon pasti diberhentikan dari

pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon menganggap apabila sepanjang frasa “pengunduran diri” yang terdapat dalam Pasal 123 ayat (3) UU ASN a quo dimaknai sebagai

“pengunduran diri sementara” dan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) UU ASN

a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka hak konstitusional

Pemohon tidak akan dirugikan, dalam pengertian apabila Pemohon

mencalonkan diri sebagai calon wakil Bupati cukup mengundurkan diri

sementara dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)

sehingga Pemohon memperoleh kepastian hukum yang adil, karena apabila

Pemohon mencalonkan diri sebagai wakil Bupati Pemohon tidak harus

mengundurkan diri dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 26: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

26

(PNS), sehingga Pemohon mempunyai hak untuk mengembangkan karier

Pemohon sebagai pegawai Negeri Sipil (PNS); 4. Bahwa Pemohon menganggap Pasal 124 ayat (2) UU ASN yang berbunyi,

”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat,” bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat

merugikan hak-hak konstitusional Pemohon yang tercantum dalam Pasal 27

ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal

28I ayat (1), yang berupa hak untuk memajukan diri dan memperjuangkan

secara kolektif hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, hak untuk memperoleh kepastian hukum;

Bahwa Pemohon merasa berpotensi untuk dapat menduduki sebagai

Pejabat Negara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 123 ayat (1) UU

ASN a quo menganggap hak-hak konstitusionalnya Pemohon dirugikan oleh

berlakunya Pasal 124 ayat (2) UU ASN a quo, karena apabila Pemohon sudah

tidak menjabat lagi sebagai Pejabat Negara sebagaimana tercantum dalam

Pasal 123 ayat (1) UU ASN a quo jikalau dalam waktu dua tahun tidak dapat

menduduki jabatan tinggi Negara, jabatan struktural maupun jabatan

administrasi Pemohon diberhentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa kerugian tersebut potensial pasti terjadi, sebab jikalau dalam

waktu dua tahun tidak dapat menduduki jabatan tinggi Negara, jabatan

struktural maupun jabatan administrasi, Pemohon diberhentikan dengan

hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon menganggap apabila Pasal 124 ayat (2) UU ASN

a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka hak konstitusional

Pemohon tidak akan dirugikan, dalam pengertian Pemohon tidak akan

diberhentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS) sehingga Pemohon memperoleh kepastian hukum yang

adil, dan Pemohon tidak akan diberhentikan dari pekerjaan Pemohon sebagai

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga Pemohon tetap mempunyai hak

untuk mengembangkan karier Pemohon sebagai pegawai Negeri Sipil (PNS);

Bahwa Pemohon beranggapan apabila Pasal 124 ayat (2) a quo

dibatalkan dan bertentangan dengan UUD 1945, maka seandainya

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 27: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

27

Pemohon sudah tidak menjabat lagi sebagai Pejabat Negara sebagaimana

tercantum dalam Pasal 123 ayat (1) UU ASN a quo dan seandainya dalam

jangka waktu dua tahun sejak tidak menjabat lagi, Pemohon tidak dapat

menduduki sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Fungsional maupun

Jabatan Administrasi, Pemohon tidak diberhentikan dengan hormat dari

pekerjaannya sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS), namun apabila Pasal 124

ayat (2) a quo tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka Pemohon akan dibehentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian, penjelasan, dalil-dalil dan alasan-alasan yang sudah

disertai dengan alat-alat bukti dan dasar hukum yang sudah beralasan menurut

hukum di atas, pemohon beranggapan bahwa:

1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa dan

mengadili permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945;

2. Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945;

3. Pemohon menganggap bahwa UU ASN Pasal 119 konstitusional secara

bersyarat, Penjelasan Pasal 119, bertentangan dengan UUD 1945, Pasal

123 ayat (3), konstitusional secara bersyarat, Penjelasan Pasal 123 ayat (2),

bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 124 ayat (2), bertentangan dengan

UUD 1945 dan Pasal 87 ayat (4) huruf c, konstitusional secara bersyarat.

E. Petitum Berdasarkan uraian, penjelasan, dalil-dalil dan alasan-alasan yang sudah

disertai dengan alat-alat bukti dan dasar hukum yang sudah beralasan menurut

hukum di atas, Pemohon memohon kepada yang mulia Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia untuk berkenan menyatakan bahwa:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf c, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

yang berbunyi, PNS diberhentikan “tidak” dengan hormat karena, ...c. Menjadi

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 28: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

28

anggota dan/atau pengurus partai politik; tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sepanjang dimaknai

kecuali apabila keanggotaannya sebagai anggota partai politik, untuk

memenuhi persyaratan administrasi pencalonan sebagai pejabat Negara

setelah PNS tersebut mengundurkan diri sementara, dengan syarat: a. Tidak akif sebagai anggota dan/atau pengurus Partai Politik (tidak

berpolitik praktis);

b. Telah mengundurkan diri sementara darp PNS;

c. Bukan menjadi anggotan Partai politik terlarang.

3. Menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

yang berbunyi, “PNS diberhentikan “tidak” dengan hormat karena ...c.

Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik,” sepanjang dimaknai kecuali

apabila keanggotaannya sebagai anggota partai politik untuk memenuhi

persyaratan administrasi pencalonan sebagai pejabat Negara setelah PNS tersebut mengundurkan diri sementara, mempunyai kekuatan hukum mengikat,dengan syarat:

a. Tidak akif sebagai anggota dan/atau pengurus Partai Politik (tidak

berpolitik praktis);

b. Telah mengundurkan diri sementara darp PNS;

c. Bukan menjadi anggotan Partai politik terlarang;

4. Menyatakan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang berbunyi,

”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang

akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota,

dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara

tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon” Sepanjang frasa “wajib

menyatakan pengunduran diri” tidak bertentangan dengan UUD 1945

sepanjang dimaknai sebagai ”pengunduran diri sementara.”

5. Menyatakan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang berbunyi,

”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang

akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota,

dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara

tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”, Sepanjang frasa “wajib

menyatakan pengunduran diri sepanjang dimaknai sebagai” pengunduran diri

sementara,” mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 29: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

29

6. Menyatakan Penjelasan Pasal 119 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945;

7. Menyatakan Penjelasan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

8. Menyatakan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang

berbunyi, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan

menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak

mendaftar sebagai calon, sepanjang frasa “pengunduran diri” tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945, sepanjang dimaknai sebagai ”pengunduran diri sementara”;

9. Menyatakan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang

berbunyi, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan

menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak

mendaftar sebagai calon,” sepanjang frasa “pengunduran diri” apabila

dimaknai sebagai ”pengunduran diri sementara,” mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

10. Menyatakan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun

2014, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945;

11. Menyatakan Penjelasan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014,

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

12. Menyatakan Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014,

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

13. Menyatakan Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

14. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 30: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

30

Atau apabila Yang Mulia Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, memohon

keputusan yang seadil-adilnya.

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para

Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang disahkan di persidangan

pada tanggal 10 Februari 2015, dan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti

P-6 sebagai berikut:

1. Bukti P-1.1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

2. Bukti P-1.2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara;

3. Bukti P-1.3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia;

4. Bukti P-1.4 : Fotokop Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota;

5. Bukti P-1.5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37

Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi

Anggota Partai Politik;

6. Bukti P-1.6 : Fotokopi Surat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Nomor 23053/A4/KP/2013, Perihal PNS yang Menjadi

Pejabat Negara, bertanggal 29 April 2013;

7. Bukti P-2.1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk para Pemohon dan Kuasa

Hukum;

8. Bukti P-2.2 : Fotokopi Petikan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 47/K Tahun 2014, bertanggal 2 Juni 2014;

9. Bukti P-2.3 : Fotokopi Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 47/K tahun 2014, bertanggal 2 Juni 2014;

10. Bukti P-2.4 : Fotokopi Pernyataan Akan Mencalonkan Diri Sebagai Wakil

Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Jember

Tahun 2015, bertanggal 20 Oktober 2014;

11. Bukti P-2.5 : Fotokopi Petikan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor

821.2/727/212/2010 tentang Pengangkatan dalam Jabatan,

bertanggal 9 April 2010;

12. Bukti P-2.6 : Fotokopi Surat Sekretariat Kabinet republik Indonesia Nomor

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 31: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

31

B.394/Adm-2/IV/2014, Perihal: Penyampaian Petikan

Keputusan Presiden Republik Indonesia, kepada Sugiarto,

S.H., bertanggal 4 April 2014;

13. Bukti P-2.7 : Fotokopi Petikan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 7/K Tahun 2014, bertanggal 1 April 2014;

14. Bukti P-2.8 : Fotokopi Surat Pernyataan akan Mencalonkan Diri sebagai

Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Jember

Tahun 2015, bertanggal 20 Oktober 2014;

15. Bukti P-2.9 : Fotokopi Surat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pollitik

Universitas Jember Nomor 207/UN25.1.2/KU/2013, Perihal:

Kenaikan Gaji Berkala a.n. Drs. H.M. Fatahillah, S.H., M.M.,

bertanggal 17 Januari 2013;

16. Bukti P-2.10 : Fotokopi Kartu Tanda Anggota Partai Keadilan dan Persatuan

Indonesia atas nama Fatahillah;

17. Bukti P-3.1 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia, Nomor 74178/A4.2/KP/2014, bertanggal

23 Juni 2014;

18. Bukti P-3.2 : Fotokopi Surat dari Drs. Fatahillah S.H., M.M., kepada Rektor

Universitas Jember, Perihal Rencana Pensiun Dini,

bertanggal 10 Januari 2013;

19. Bukti P-3.3 : Fotokopi Surat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Unoversitas Jember, Nomor 7192/UN25.1.2/KP/2013, Perihal

Usul Pensiun Dini dari PNS a.n. Drs. H.M., Fatahillah, S.H.,

M.M., bertanggal 24 Desember 2013;

20. Bukti P-3.4 : Fotokopi Surat dari H. Fatahillah, Perihal Pengunduran diri

sebagai Calon Legislatif Periode 2014-2019 dan sebagai

Anggota Partai Politik, bertanggal 5 Agustus 2013;

21. Bukti P-3.5 : Fotokopi Surat Dewan Pimpinan Kabupaten Partai Keadilan

dan Persatuan (PKP Indonesia) Jember, Nomor 030/PKP-

Indonesia/VIII/2013, kepada H. Fatahillah. Perihal: Jawaban

Surat H. Fatahillah, bertanggal 8 Agustus 2013;

22. Bukti P-3.6 : Fotokopi Surat Dewan Pimpinan Kabupaten Partai Keadilan

dan Persatuan (PKP Indonesia) Jember, Nomor 035/PKP-

Indonesia/VIII/2013, Hal Kronologi Pendaftaran Caleg H.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 32: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

32

Fatahillah;

23. Bukti P-4 : Fotokopi Berita online berjudul Menpan-RB: PNS Harus Non-

Aktif Jika Mencalonkan Kepala Daerah, Tapi Bisa Diaktifkan

Kembali, http://kiehara.com/headline/menpan-rb-pns-harus-

non-aktif-jika-mencalonkan-kepala-daerah-tapi-bisa-di-

aktifkan-kembali;

24. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota, Menjadi Undang-Undang;

25. Bukti P-6 : Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun

2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur, dan Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan

Wakil Walikota;

Selain itu, para Pemohon mengajukan Saksi bernama Drs. Harun Al Rasyid

yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 13 April 2015 dan

seorang ahli bernama Dr. Jayus S.H., M.Hum., yang didengarkan keterangannya

pada persidangan Mahkamah pada tanggal 19 Maret 2015, dan, pada pokoknya

memberikan keterangan sebagai berikut:

SAKSI PARA PEMOHON Drs. Harun Al Rasyid M.Si. - Saksi bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Jember sejak tahun 1994

melalui ikatan dinas selama empat tahun;

- Saksi diberhentikan dengan tidak hormat karena melanggar ketentuan Pasal

87 ayat (4) huruf c, karena dianggap masuk partai politik, saat saksi mendaftar

sebagai calon anggota legislatif pada pemilihan umum tahun 2014;

- Saksi menjadi calon anggota legislatif dari partai Golkar;

- Sebelum mendaftar sebagai calon anggota legislatif, saksi meminta izin

kepada Pembantu Rektor II;

- Saksi diminta untuk tidak mundur sebagai ASN, namun saksi tetap

menyampaikan surat pengunduran diri;

- Saksi tidak terpilih pada pemilihan umum tahun 2014;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 33: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

33

- Saksi hanya melakukan kebaikan bagi negara dan mendengarkan aspirasi

masyarakat, namun hal tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak

terhormat;

AHLI PARA PEMOHON Dr. Jayus S.H., M.Hum. 1. Pokok Permohonan Pemohon

a. Bahwa Pemohon adalah sebagai perseorangan warga negara Republik

Indonesia yang berstatus Pegawai Negeri Sipil yang berkehendak

mencalonkan diri sebagai kepala daerah.dan pemohon lain adalah

perseorangan warga negara Republik Indonesia yang berstatus

diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada

pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

b. Bahwa sebagai perseorangan warga negara Republik Indonesia merasa

hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah,

dapat diduga atau tidak akan diuntungkan bahkan mengalami kerugian

yang sangat berarti, yaitu dengan kehilangan haknya sebagai warga

negara yang telah dijamin dalam UUD 1945 apabila ketentuan dalam

Pasal 87 ayat (4), Pasal 119, Pasal 123 ayat (3) dan Pasal 124 ayat (2)

UU ASN tetap diberlakukan.

c. Bahwa Frasa “wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis dari

PNS sejak mendaftarkan diri sebagai calon” sebagaimana ketentuan yang

tercantum dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN adalah

merupakan ketentuan yang diskriminatif, tidak menempatkan prinsip

persamaan dalam hukum dan pemerintahan serta keadilan, karenanya

sangat bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal

27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3), serta

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,

2. Keterangan Ahli Pemohon a. Bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf C UU

ASN yang menyatakan; PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena…

c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, adalah merupakan

ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang

menyatakan; “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 34: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

34

bangsa dan negaranya”. Disamping itu ketentuan tersebut juga

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan;

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan”. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4)

huruf c UU ASN tersebut, dapat ditafsirkan sebagai ketentuan yang

menempatkan PNS sebagai pribadi yang tercela atau berkepribadian

tercela dan jauh lebih ironis PNS dianggap sebagai manusia yang tidak

berperikemanusiaan karena masuk menjadi anggota partai politik. Dengan

kata lain ketentuan tersebut tidak memanusiawikan manusia warga negara

yang senyatanya dijamin dalam konstitusi (UUD 1945). Bahkan lebih ironis

bagi Partai Politik yang bisa ditafsirkan tidak ubahnya wadah atau

organisasi berhimpunya orang-orang yang berkepentingan sama

(termasuk PNS) sebagai wadahnya penjahat atau orang-orang yang telah

melakukan kejahatan berat atau tindak pidana dengan ancaman hukuman

minimal 5 tahun dan telah dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum

tetap layak diberhentikan dengan tidak hormat, padahal partai politik

merupakan salah satu pilar yang diakui secara konstitusional sebagai

wadah berhimpunnya orang-orang yang berkepentingan sama berjuang

untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, dan secara sadar hal

tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan partai politik merupakan

kebutuhan negara, sebab tanpa partai politik tidak akan pernah

terbentuknya suatu pemerintahan negara. Keinginan bahwa PNS adalah

bebas dari intervensi politik dalam arti netral sehingga dapat

berkonsentrasi pada pekerjaanya sebagai abdi negara dan abdi

masyarakat, tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar atau alasan

apapun yang bisa dibenarkan secara konstitusional melakukan

penghambatan atau penghalangan bagi perseorangan warga negara yang

berkehendak menjadi calon anggota legislatif maupun sebagai calon

kepala daerah. Netralitas PNS dari intervensi politik dalam rangka

keutuhan, kekompakan, dan persatuan, serta dapat memusatkan pikiran

dan tenaga pada tugas yang dibebankan, tidak akan terkurangi sedikitpun

manakala PNS mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau menjadi

anggota dewan perwakilan rakyat daerah, sebab secara organisatoris

operasional tetap akan berjalan sesuai tupoksinya dan ini sangat

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 35: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

35

bermakna bagi PNS yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau

anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu dengan berbagai

alasan demi kekompakan, persatuan dan tugas PNS, seharusnya tidak

perlu diberhentikan dengan tidak hormat, namun akan jauh lebih

memanusiawikan manusia warga negara Republik Indonesia dengan frasa

“diberhentikan sementara” bagi PNS yang mencalonkan diri sebagai

anggota legislatif maupun pejabat publik (kepala daerah) sampai terpilih,

dilantik dan menyelesaikan masa jabatanya. Dan selanjutnya bisa

diaktifkan kembali dalam jabatan yang sama dengan sebelumnya. Dengan

demikian sangat wajar jika ketentuan dalam Pasal 87 ayat (4) UU ASN

layak dibatalkan atau dikoreksi demi supremasi hukum karena senyatanya

bertentangan dengan UUD 1945.

b. Bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123

ayat (3) UU ASN adalah merupakan ketentuan atau norma diskriminatif

dan jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang

menyatakan; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya”, di samping bertentangan pula dengan

Pasal 28C ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan; “Setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Secara

sederhana ketentuan tersebut dapat ditafsirkan oleh segenap waga negara

termasuk lembaga yang secara konstitusional diberikan kewenangan

untuk membuat atau membentuk undang-undang organik sebagai

pelaksana adanya hak dan kewajiban yang sama dalam bidang hukum

dan pemerintahan bagi warga negara Republik Indonesia tanpa

pembedaan atau adanya unsur diskrimanasi baik warga negara sipil biasa

maupun warga negara yang bersetatus PNS, dan adalah merupakan

kesalahan besar bagi pembuat atau pebentuk undang-undang, khususnya

UU ASN melalui ketenrtuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) tersebut

yang telah menempatkan frasa “...wajib menyatakan pengunduran diri

secara tertulis dari PNS sejak mendaftarkan sebagai calon” Oleh karena

itu frasa tersebut seharusnya dirubah dengan frasa “…wajib menyatakan

berhenti sementara sampai dilantik dan menyelesaikan masa jabatanya”.

Frasa tersebut dengan sendirinya menempatkan PNS tidak harus

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 36: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

36

menyatakan pengunduran diri, namun justru dengan frasa tersebut

terdapat penghargaan dan penempatan secara benar bahwa PNS adalah

juga warga negara yang mendapatkan kesempatan sama baik dalam

bidang hukum maupun pemerintahan sesuai amanat UUD 1945. Sangat

tidak pada tempatnya jika PNS yang mencalonkan diri sebagai kepala

daerah beradu untung, karena manakala tidak terpilih bisa aktif kembali

sebagai PNS. Namun jauh lebih terhormat dengan menempatkan PNS

sebagai warga negara yang berkehendak atau berniat turut serta

menikmati hak-hak konstitusionalnya. Artinya bahwa seseorang maupun

badan atau lembaga negara, lebih-lebih pemerintah dianggap melek hak

manakala bisa menghargai dan menghormati hak-hak orang lain warga

negara. Ketentuan dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN, juga

bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28C

ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan; “Setiap orang berhak untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa dan negara”. Oleh karenanya sangat

wajar dan tepat jika ketentuan dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU

ASN tersebut dibatalkan atau dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

c. Bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 124 ayat (2) UU ASN

yang menyatakan; “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua)

tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”. Ketentuan

ini sangat berpotensi merugikan hak-hak warga negara termasuk bagi

PNS, dan oleh karenanya sangat bertentangan dengan UUD 1945,

khususnya terhadap Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Tiap-

tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan”. Ketentuan ini secara tegas mengamatkan bahwa

warga negara secara pribadi berhak atas pekerjaan (apapun pekerjaanya

yang jelas layak) termasuk dalam jabatan menajdi pejabat negara yang

sudah barang tentu layak dan dapat memenuhi penghidupan yang layak

pula. Jika dilihat dari sisi kemanusiaan maka ketentuan tersebut secara

nyata menempatkan warga negara untuk beperkerjaan dan penghidupan

yang layak, dan karenanya wajib bagi siapapun termasuk pemerintah

untuk menghormati dan menghargainya. Oleh karena itu frasa dalam

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 37: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

37

Pasal 124 ayat (2) sebaiknya dimaknai dengan frasa “Dalam hal tidak

tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PNS

yang bersangkutan tetap dapat bekerja sampai usia pensiun”. Dengan

ketentuan ini maka PNS merasa tetap mendapatkan tempat dalam rangka

pengadianya pada bangsa dan negara atau tetap mempunyai peluang

sebagai abdi masyarakat dan abdi negara.

d. Sebagai akhir dari keterangan dan penjelasan saya, ijinkan pula kepada

yang mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik berkenan

menjadikan pertimbangan dalam rangka mengambil keputusan atas

permohonan uji materiil UU ASN terutama Pasal 87 ayat (4), Pasal 119,

Pasal 123 ayat (4) dan Pasal 124 ayat (2) terhadap UUD 1945.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan di persidangan Mahkamah pada

tanggal 26 Februari 2015, dan keterangan tertulis yang disampaikan kepada

Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 April 2015, yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.

Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 87 ayat

(4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan

Pasal 123, dan Pasal 124 ayat (2) UU ASN terhadap UUD Tahun 1945.

Pasal 87 ayat (4) huruf c

PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:

(c) menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Pasal 119

Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan

mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil

bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS

sejak mendaftar sebagai calon.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 38: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

38

Penjelasan Pasal 119

Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali.

Pasal 123 ayat (3)

Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden

dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, gubernur dan wakil

gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan

pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.

Penjelasan Pasal 123

Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali.

Pasal 124 ayat (2)

Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan

dengan hormat.

Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119,

Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, dan Pasal 124

ayat (2) UU ASN bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2),

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Adapun bunyi Pasal UUD Tahun 1945 yang menjadi batu ujian adalah:

1. Pasal 27 ayat (2)

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan.

2. Pasal 28C ayat (2)

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

3. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2)

(1)Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(2)Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 39: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

39

4. Pasal 28I ayat (1)

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Para pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak

Konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial

yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya

atas Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, dan Pasal 124 ayat (2) UU ASN bertentangan pada

pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa menurut Pemohon terdapat kontradiksi antara pasal-pasal a quo dapat

mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum karena di sisi lain terdapat

norma yang menyatakan bahwa PNS dapat menjadi pejabat negara,

sedangkan di sisi lain terdapat norma yang menyatakan bahwa PNS yang

akan mencalonkan diri sebagai pejabat negara harus mengundurkan diri dari

PNS dan diberhentikan dengan tidak hormat dari PNS. Adanya norma yang

menyatakan bahwa yang menjadi pejabat negara cukup mengundurkan diri

sementara dari PNS dan apabila sudah tidak menjabat sebagai pejabat

negara diaktifkan kembali sebagai PNS, disisi lain terdapat norma, pada saat

masih dalam proses pencalonan sebagai pejabat negara, PNS sudah harus

mengundurkan diri.

2. Bahwa PNS dapat menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana yang

tercantum dalam a quo maka seharusnya tidak boleh ada pasal yang

mengharuskan PNS yang akan mencalonkan diri sebagai pejabat negara

mengundurkan diri, yang tidak dapat ditarik kembali dari PNS pada saat

masih dalam proses pencalonan sebagai pejabat negara.

3. Bahwa pasal-pasal dalam a quo juga tidak sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 40: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

40

4. Bahwa menurut Pemohon, suatu hal yang pasti ketika seorang calon legislatif

harus diajukan oleh partai politik, niscaya calon legislatif tersebut pasti

menjadi anggota partai politik peserta pemilihan umum tersebut, sehingga

seharusnya tidak dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan PNS yang

menjadi calon legislatif calon legislatif tersebut dari pekerjaannya sebagai

PNS, apabila PNS yang bersangkutan mengundurkan diri sementara dari

pekerjaannya sebagai PNS dan tidak aktif sebagai anggota partai politik.

C. KETERANGAN DPR RI

Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan

a quo, DPR-RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan

mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan

sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai

apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak

sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang

Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara

Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, DPR

menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk

mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum

(legal standing) sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU tentang

Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara

Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

2. Pengujian atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

Terhadap permohonan pengujian pasal-pasal a quo, DPR menyampaikan

keterangan sebagai berikut:

a. Bahwa sejarah birokrasi di Indonesia menunjukan Pegawai Negeri Sipil (PNS)

selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik dan aktor politik.

Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan

anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap partai politik untuk

menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik. Saat menjelang

pemilihan umum, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 41: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

41

partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun

terselubung amat efektif.

b. Bahwa bagi partai politik, keterlibatan PNS akan amat membantu dan

mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui

pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara

diskriminatif, yang menguntungkan salah satu partai politik. Selain itu, di

pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya dengan tingkat pendidikan

rendah, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.

c. Bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan

nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,

diperlukan Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral,

dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi

masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan

kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

d. Bahwa sebagai gambaran umum, perlu disampaikan kerangka pemikiran yang

terdapat di dalam Naskah Akademik RUU ASN dalam gambar sebagai berikut:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 42: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

42

e. Bahwa konstruksi UU ASN yang mengatur mengenai pegawai ASN yang

menjadi pejabat negara perlu dijelaskan sebagai berikut bahwa di antara

jabatan-jabatan negara atau pejabat negara yang disebutkan di dalam UU a

quo, dapat dibedakan antara jabatan yang dipilih berdasarkan mekanisme

pemilihan secara langsung oleh rakyat atau pemilihan umum (elected official)

dan jabatan yang diangkat atau dipilih tanpa melalui mekanisme pemilihan

secara langsung oleh rakyat. Di antara jabatan-jabatan tersebut di atas maka

jabatan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, dan DPRD,

Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati, masing-masing

maupun secara berpasangan merupakan jabatan yang dipilih secara langsung

oleh rakyat. Masing-masing juga telah diatur di dalam UU lainnya seperti UU

Pilpres dan UU Pileg. Dalam hal pegawai ASN hendak mencalonkan diri ke

dalam jabatan yang dipilih secara langsung tersebut maka UU ASN

mewajibkan yang bersangkutan untuk mengundurkan diri. Sementara untuk

jabatan-jabatan negara yang tidak dipilih secara langsung oleh rakyat seperti

Hakim Agung dan Hakim Konstitusi; anggota BPK; Menteri; anggota KY, KPK,

Kepala Perwakilan RI tidak harus mengundurkan diri, namun hanya

diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status PNS.

Menanggapi permohonan Pemohon, DPR beranggapan bahwa tidak ada

kontradiksi antara Pasal 121 yang menyebutkan bahwa pegawai dapat

menjadi pejabat negara dengan ketentuan pasal lain yang menyebutkan

bahwa yang bersangkutan harus mengundurkan diri untuk jabatan-jabatan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 43: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

43

Negara tertentu (elected officials). Pasal 121 UU ASN merupakan sebuah

norma umum yang menyatakan bahwa pegawai ASN dapat menjadi pejabat

Negara. Artinya, Undang-Undang ini tidak menutup peluang bagi seluruh

pegawai ASN untuk menjadi pejabat negara, namun kemudian terdapat

ketentuan mengenai implikasi bagi yang bersangkutan ketika hendak

mencalonkan atau menjabat sebagai pejabat negara. Undang-Undang a quo

selanjutnya mengkategorikan untuk jabatan negara yang dipilih secara

langsung, harus mengundurkan diri, sementara yang tidak dipilih secara

langsung diberhentikan sementara dan tidak kehilangan statusnya sebagai

PNS. Ketentuan tersebut bukan merupakan diskriminasi, melainkan karena

pegawai ASN diharapkan bebas dari kepentingan dan intervensi politik

sementara justru untuk menduduki jabatan-jabatan yang dipilih tersebut

pegawai ASN harus menjadi anggota partai politik. Selain itu juga terdapat

konsistensi dan kepastian hukum karena ketiga UU Pemilu Anggota DPR,

DPD, dan DPRD, dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juga

mensyaratkan hal yang sama.

Kesemuanya dalam konteks kerangka tujuan menuju aparatur negara yang

profesional, bebas dari intervensi politik, bebas dari KKN, serta memiliki

kinerja, kapasitas, dan integritas yang tinggi.

f. Bahwa Pasal 8 UU ASN menyatakan Pegawai ASN berkedudukan sebagai

unsur aparatur negara. Kemudian Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa

Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi

Pemerintah. Pasal 9 ayat (2) menyatakan Pegawai ASN harus bebas dari

pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Ketentuan Pasal 9

ini jelas bahwa pegawai ASN dilarang melakukan dan/atau mengikuti kegiatan

politik praktis dan dilarang berpihak dalam menjalankan fungsi pemerintahan

dan pembangunan.

g. Bahwa ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c UU a quo sejalan dengan Pasal 9

ayat (2) UU a quo, dimaksudkan sebagai upaya menjaga netralitas pegawai

ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan,

dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan

tenaga pada tugas yang dibebankan, PNS dilarang menjadi anggota dan/atau

pengurus partai politik dalam rangka mewujudkan profesionalisme aparatur

penyelenggara negara.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 44: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

44

h. Bahwa ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) mengenai keharusan

pegawai ASN yang berasal dari PNS untuk mengundurkan diri, hal ini sudah

sejalan dengan ketentuan persyaratan bagi setiap pejabat negara di lembaga

negara lainnya dalam ketentuan peraturan perUUannya agar mengundurkan

diri terlebih dahulu. Salah satu peraturan perUUan yang mengatur persyaratan

tersebut antara lain ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Pemilu Anggota Legislatif,

yang menyatakan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi

persyaratan:

mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai

negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada

badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain

yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan

surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;

i. Bahwa dalam hal PNS dimaksud membangun karir baru atau mencari jabatan

baru, maka dirinya harus mengukur dengan sungguh-sungguh dan jangan

hanya sekadar untung-untungan, dan apabila gagal mendapatkan jabatan baru

maka akan kembali pada jabatan yang lama. Untuk menghindari hal tersebut

maka UU ASN menormakan secara tegas agar PNS dimaksud mengundurkan

diri apabila akan mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 119 UU a quo. Demikian pula halnya PNS yang mencalonkan diri atau

dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah, gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil

bupati/wakil walikota, PNS tersebut harus mengundurkan diri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3) UU a quo.

j. Bahwa terhadap persyaratan dalam mengundurkan diri menjadi PNS,

Mahkamah Konstitusi juga pernah memberikan pertimbangannya dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XI/2013 tanggal 9 April 2013

juncto Nomor 45/PUU-VIII/2010 yang menyatakan,

“Ketika seorang telah memilih untuk menjadi PNS, maka dia telah mengikatkan

diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 45: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

45

Sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan

politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini

sebagai Calon Anggota DPD, maka UU dapat menentukan syarat-syarat, di

antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem

politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari perspektif

kewajiban, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus

diartikan pembatasan HAM. Karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam

konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri

untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan

diri dari PNS guna mematuhi peraturan perUUan di bidang birokrasi

pemerintahan.”

Menurut Mahkamah, perspektif yang mana pun dari dua perspektif itu yang

akan dipergunakan dalam perkara a quo, maka kewajiban mengundurkan diri

menurut UU bagi PNS yang akan ikut pemilihan Anggota DPD tersebut

bukanlah pelanggaran hak konstitusional. Sehingga dalil pemohon yang

menganggap aturan pengunduran diri bagi PNS melanggar kontitusi adalah

tidak tepat. Justru ketentuan serupa pernah dimohonkan pengujian dengan

alasanya yang sama, sehingga seharusnya putusan pertimbangan tersebut

secara otomatis berlaku terhadap permohonan ini.

k. Bahwa secara prinsip dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia sangat

menjunjung supremasi hukum, HAM dan tanpa ada unsur diskriminasi,

pembedaan perlakuan merupakan kebijakan pembuat UU sebagai upaya

dalam menciptakan keadilan dan merupakan konsekuensi logis yang harus

dilaksanakan oleh yang bersangkutan sebagai syarat mutlak dalam

melaksanakan ketentuan peraturan perUUan. Keharusan mengundurkan diri

itu bukan mengurangi hak asasi sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun

1945 melainkan merupakan konsekuensi yuridis dari pilihan yang

bersangkutan untuk berpindah dari birokrasi pemerintahan ke dalam jabatan

politik.

l. Bahwa DPR RI tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang

menyatakan pasal-pasal a quo merupakan suatu ketentuan yang dianggap

diskriminatif. Pengertian diskriminasi hendaknya memperhatikan rumusan

Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

menyebutkan bahwa:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 46: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

46

“diskriminasi adalah setiap batasan, pelecehan atau pengucilan yang

langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada Pembedaan Manusia atas

dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status

ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat

pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan pelaksanaan

atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan

baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial

budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

m. Bahwa ketentuan UU ASN tidak bersifat imperatif (paksaan) sehingga

mengharuskan untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 119 UU a quo, mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan

Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, gubernur dan

wakil gubernur; bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat

(3), karena dapat juga tidak mengundurkan diri sebagai PNS, dengan tidak

mencalonkan diri atau dicalonkan. Hal ini adalah pilihan-pilihan hukum yang

dapat diambil oleh pejabat/PNS tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya harus

dimaknai bahwa hukum yang dalam hal ini direpresentasikan dalam UU ASN

adalah memuat fasilitas hukum dan pilihan hukum yang dapat diambil atau

tidak diambil oleh warga negara setelah memperhitungkan seluruh dampak

pada dirinya.

n. Bahwa pernyataan pengunduran diri tidak dapat ditarik kembali sebagaimana

tercantum dalam penjelasan Pasal 119 dan Pasal 123 UU a quo, setelah

pernyataan secara tertulis/surat tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh

instansi terkait. Bahwa Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan

tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil

gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota yang mengundurkan

diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon, yang bersangkutan

telah memilih untuk berhenti dari PNS untuk menjadi calon. Pilihan untuk

mendaftarkan diri untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota, sangat dimungkinkan PNS

tersebut terafiliasi dengan partai politik sebagaimana diatur dalam UU Pemilu

Legislatif bahwa peserta pemilu legislatif berasal dari partai politik.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 47: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

47

o. Bahwa Pasal 124 ayat (2) UU a quo harus dibaca dalam satu kesatuan

dengan ayat (1). Sebagai ilustrasi, seorang PNS yang telah menduduki jabatan

Pimpinan Tinggi/eselon 1 pada sebuah kementerian/lembaga diangkat menjadi

pejabat negara. Yang bersangkutan ketika menjabat sebagai pejabat negara

diberhentikan sementara. Setelah selesai menjabat sebagai pejabat negara,

yang bersangkutan dapat diaktifkan kembali, namun tidak otomatis dapat

menduduki kembali jabatan yang sebelumnya ditinggalkannya, mengingat

jabatan tersebut tentunya telah di isi agar organisasi dapat terus berjalan dan

melaksanakan tugasnya, sehingga tidak mungkin pula yang bersangkutan

kemudian diturunkan pada jabatan di bawahnya. Untuk itu diberikan masa

tenggang selama 2 (dua) tahun untuk dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi

yang seleksinya menurut UU a quo melalui seleksi terbuka/open biding.

Apabila dalam jangka waktu tersebut yang bersangkutan tidak dapat

menduduki jabatan pimpinan tinggi maka yang bersangkutan diberhentikan

dengan hormat. Hal ini dimaksudkan dalam kerangka mengubah paradigma

comfort zone menjadi competitive zone.

p. Bahwa pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian

konstitusional kerugian apa yang secara nyata ditimbulkan atas keberlakuan

UU a quo. Bahwa DPR berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah

timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan yang dialami oleh

Pemohon dengan adanya ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119,

Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, dan Pasal

124 ayat (2). Oleh karena itu tepat jika Mahkamah Konstitusi menyatakan

permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Demikian keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan

pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan

mengadili Perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119,

Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, dan Pasal 124 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tidak

bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal

28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945;

2. Menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119,

Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123, dan Pasal 124 ayat (2) Undang-

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 48: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

48

Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tetap mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden

menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 26 Februari 2015 dan

keterangan tertulis pada tanggal 21 April 2015, yang pada pokoknya menerangkan

sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON

1. Bahwa para Pemohon dalam perkara Nomor 8/PUU-XII/2015 pada intinya

mendalilkan:

a. Pemohon III adalah PNS pada tahun 2013 terdaftar sebagai calon

legislatif untuk pemilu legislatif tahun 2014 dirugikan oleh Pasal 87

ayat (4) huruf c karena Pemohon diberhentikan sebagai PNS karena

hukum yang berlaku surut. Pemohon II adalah PNS golongan IV/d

yang menjabat sebagai Sekda Kabupaten Jember menganggap Pasal

119 beserta Penjelasan merugikan karena apabila Pemohon ingin

mencalonkan diri sebagai Bupati/pejabat negara maka Pemohon harus

mengundurkan diri secara permanen. Pemohon I adalah PNS

golongan IV/e menganggap Pasal 123 ayat (3) beserta Penjelasan

merugikan karena Pemohon ingin menjadi wakil Bupati, maka

Pemohon harus mengundurkan diri secara permanen.

b. Menurut Pemohon terdapat kontradiksi antara pasal-pasal a quo UU

ASN dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum, yaitu Pasal 123 ayat

(2) yang menetapkan PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat

Negara seperti menjadi anggota Mahkamah Konstitusi dan sebagainya

diaktifkan kembali sebagai PNS, sementara dalam Pasal 124 ayat (2)

menyatakan apabila dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun

tidak menduduki jabatan tinggi, jabatan administrasi atau jabatan

fungsional PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

Sehingga Pasal 124 ayat (2) UU ASN tidak memberikan kepastian

hukum yang adil.

c. Pemohon menganggap frasa “pengunduran diri” dalam Pasal 119 dan

Pasal 123 ayat (3) dimaknai sebagai “pengunduran diri sementara”

dan Penjelasan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) bertentangan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 49: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

49

dengan UUD 1945.

2. Bahwa Pemohon dalam perkara Nomor 9/PUU-XII/2015 pada intinya

mendalilkan:

a. Bahwa Pemohon I s/d Pemohon VIII adalah pegawai honorer yang

terdiri dari Guru tidak tetap, pegawai tidak tetap, Pegawai Kontrak yang

bekerja pada Instansi Pemerintah dirugikan hak konstitusionalnya

karena Pasal 1 butir ke-4, Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (2), Pasal 99

ayat (1) dan ayat (2), Pasal 105 ayat (1) UU ASN.

b. Menurut Pemohon, norma-norma yang menyatakan pegawai PPPK

adalah pegawai pemerintah dengan perjanjian Kerja merugikan hak

konstitusional para Pemohon karena apabila masa perjanjian kerja

Pemohon berakhir dalam jangka waktu tertentu, maka Pemohon akan

kehilangan pekerjaan, dan tidak bisa hidup sejahtera dengan

kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga bertentangan

dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2)

UUD 1945.

c. Bahwa apabila kata “tidak” dalam Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU

ASN dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka Pemohon tidak

akan dirugikan, karena Pemohon dapat ditetapkan otomatis sebagai

CPNS.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Pemerintah

menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk

mempertimbangkan dan menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan

hukum (legal standing) atau tidak dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang

a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah

Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu

(vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007).

III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI

Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan

yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu

menyampaikan landasan filosofis UU ASN, sebagai berikut:

Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 50: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

50

alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang menyatakan: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social”, diperlukan Aparatur Sipil

Negara (ASN) yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik

korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi

masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan

kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Untuk mewujudkan tujuan nasional, pegawai ASN mengemban tugas

pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas

pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam

rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi

pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan

dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui

pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui

pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang

diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas

pembangunan tertentu, pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN

yang berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi,

kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi,

kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan,

penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan

kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Manajemen ASN terdiri atas Manajemen PNS dan Manajemen PPPK yang

perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan

prosedur. Adapun Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan

kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan,pengembangan karier, pola karier,

promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan,

disiplin, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan perlindungan.

Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi penetapan kebutuhan,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 51: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

51

pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi,

pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan

perlindungan.

Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk

menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan

segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang

menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Untuk meningkatkan

produktivitas dan menjamin kesejahteraan ASN, dalam Undang-Undang ini

ditegaskan bahwa ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai

dengan beban kerja, tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN

berhak memperoleh jaminan sosial.

Sehubungan dengan dalil para Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah

memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Terhadap dalil para Pemohon (Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 yang pada

pokoknya menganggap ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c dan Pasal 123

ayat (3) UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, karena telah

diberhentikan dari PNS dengan dasar Undang-Undang yang berlaku surut,

sedangkan sebagai PNS yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati/pejabat

Negara harus mengundurkan diri secara permanen dan terhadap ketentuan

Pasal 124 ayat (2) UU a quo Pemohon dirugikan karena setelah Pemohon

mengundurkan diri setelah dua tahun harus diberhentikan, Pemerintah

berpendapat:

a. Bahwa sebelum diterbitkannya UU ASN yang baru, pengaturan mengenai

Kepegawaian diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pokok-

pokok Kepegawaian. Dalam UU Kepegawaian sebelum UU ASN tersebut,

norma larangan bagi Pegawai sudah ada diatur dalam ketentuan Pasal 6

UU Kepegawaian. Sehingga terhadap anggapan pemohon yang

mendalilkan ketentuan a quo merugikan pemohon karena diberlakukan

surut terhadapnya, menurut Pemerintah keliru dan berlebihan justru

dengan adanya UU ASN sebagai pengganti UU Kepegawaian adalah

lebih mempertegas dari norma larangan tersebut.

b. Terhadap norma larangan bagi pegawai tersebut diatas, menurut

Pemerintah hal ini diatur guna menjaga netralitas Pegawai ASN atas

kenetralitasan dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 52: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

52

kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala

perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan bagi pegawai

ASN dalam melaksanakan pelayanan publik bagi masyarakat dan

mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan

bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

c. Bahwa terhadap Pemohon yang harus mengundurkan diri ketika ingin

mencalonkan dirinya menjadi pejabat negara, menurut Pemerintah perlu

diketahui bahwa jabatan negara seperti halnya bupati dalam kaitan

pemohon adalah jabatan politis sama halnya jabatan untuk menjadi

anggota partai politik yang dipilih oleh masyarakat yang mendukung

partainya.. oleh karena itu, bagi pegawai ASN harus menjaga

kenetralitasannya dari pengaruh politik, sehingga pegawai ASN harus

mengundurkan diri sebelum mengajukan sebagai calon Bupati.

d. Terhadap permohonan Pemohon dengan Nomor Perkara 8/PUU-

XIII/2015, yang materi yang diujikan sama dengan materi pengujian atas

perkara Nomor 56/PUU-XII/2014, maka menurut Pemerintah terhadap

permohonan ini berlaku mutatis mutandis dengan keterangan

Permohonan dengan Nomor perkara Nomor 56/PUU-XII/2014.

e. Bahwa Mahkamah Konstitusi terhadap perkara dalam permohonan ini,

pernah memberikan pertimbangannya dengan amar putusannya

menolak permohonan pemohon seluruhnya dalam Nomor 12/PUU-

XI/2013 tanggal 9 April 2013 jo Nomor 45/PUU-VIII/2010 yang

menyatakan:

“...Ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah

mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi

pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon

dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan

umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang

dapat menentukan syarat-syarat diantaranya dapat membatasi hak-

haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan

yang berlaku pada saat ini. Dari perspektif kewajiban, keharusan

mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan

pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks

ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 53: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

53

masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan

diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang

birokrasi pemerintahan. Menurut Mahkamah, perspektif yang manapun

dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara a quo

maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS

yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran

hak konstitusional;”

2. Terhadap dalil para Pemohon Perkara Nomor 9/PUU-XIII/2015 yang pada

intinya menganggap ketentuan Pasal 1 butir ke-4, Pasal 96 ayat (1), Pasal

98 ayat (2), Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 105 ayat (1) UU ASN

bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D

ayat (2) UUD 1945, karena pegawai PPPK adalah pegawai pemerintah

dengan perjanjian kerja merugikan hak konstitusional pemohon apabila

masa perjanjian kerja Pemohon berakhir dalam jangka waktu tertentu, maka

Pemohon akan kehilangan pekerjaan, dan tidak bisa hidup sejahtera dengan

kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pemerintah memberikan

keterangannya sebagai berikut:

a. Bahwa pegawai ASN berdasarkan UU ASN terbagi menjadi 2 (dua)

Jenis yaitu Pegawai Negeri sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan

Perjanjian Kerja (PPPK). Perbedaan antara PNS dan PPPK sebagai

berikut:

1) Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana dimaksud UU ASN

merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh

Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan memiliki nomor induk

pegawai secara nasional. Sedangkan PPPK merupakan Pegawai

ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh

Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sesuai dengan kebutuhan

Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN.

2) Bahwa pegawai PPPK memiliki masa kerja sesuai dengan masa

perjanjian kerja dengan pemerintah. Masa kerja yang diberlakukan

tergantung kebutuhan instansi terkait. Selama bekerja seorang PPPK

tidak memiliki Nomor Induk Pegawai seperti layaknya seorang PNS. Oleh karena itu, perbedaan yang umum antara Pegawai PNS dan

PPPK adalah pada kebutuhannya karena PPPK adalah pegawai

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 54: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

54

Profesional.

b. Bahwa dalam UU ASN ditentukan dalam manajemen PPPK meliputi

penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan,

pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin,

pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan. Sehingga

seseorang yang ingin menjadi PPPK seperti halnya untuk CPNS harus

melalui pengusulan dan penetapan formasi serta kinerjanya juga terukur.

Seorang PPPK juga mendapatkan remunerasi, tunjangan sosial, dan

kesejahteraan yang hampir sama dengan PNS. Oleh karena itu, bagi

instansi yang mengangkat harus mengusulkan kebutuhan dan formasi

dan kualifikasi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, terhadap Pemohon yang berstatus

tenaga honorer dan tidak tetap harus dibedakan karena pada umumnya

untuk menjadi Pegawai ASN yang terdiri Pegawai PNS dan Pegawai PPPK

harus melalui tahapan pengadaan dan penyeleksian. Sehingga terkait

dengan kedudukan Pemohon yang ingin disamakan dengan PPPK

Pemerintah tidak sependapat karena PPPK adalah pegawai Profesional

yang dibutuhkan instansi Pemerintah dengan perjanjian kerja. Artinya

apabila tenaga honorer ingin diangkat sebagai PPPK harus memenuhi

syarat tertentu sehingga mendapatkan renumerasi, tunjangan sosial dan

kesejahteraan hidup seperti layaknya PNS. Sehingga alasan Pemohon tidak

berdasar dan tidak sesuai dengan filosofis UU ASN.

IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah

memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa,

mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan a

quo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat

memberikan putusan sebagai berikut:

1) Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-

tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat

diterima (niet onvankelijk verklaard);

2) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 55: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

55

3) Menyatakan ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119 beserta

Penjelasan, Pasal 123 ayat (3) beserta Penjelasan, Pasal 124 ayat (2), Pasal

1 butir ke-4, Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (2), Pasal 99 ayat (1) dan ayat

(2), Pasal 105 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Indonesia Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, Presiden mengajukan ahli bernama Prof. Dr. Rer. publ. Eko Prasojo, SIP. Mag.rer.publ, yang didengarkan keterangannya pada persidangan

Mahkamah pada tanggal 16 Juni 2015, yang pada pokoknya menerangkan hal

sebagai berikut:

A. Pendahuluan

1. Menjawab Tantangan Global

Saat ini sadar atau tidak kita menghadapi berbagai perubahan global

yang begitu pesat baik yang dapat diprediksi (predictable) maupun yang tidak

dapat diprediksi (unpredictable). Perubahan lingkungan strategis dan tuntutan

masyarakat ini semakin meningkat seiring dengan kemajuan IPTEK, ekonomi

bebas ASEAN yang sudah di depan mata, penyebaran wabah penyakit

menular, terorisme, bencana alam, kecelakaan transportasi masa, dan

sebagainya memerlukan kesigapan pemerintah untuk memberikan pelayanan

yang tidak hanya real time dan on time, tetapi juga tepat sasaran, efisien dan

efektif. Untuk dapat menjawab dan mengatasi setiap tantangan tersebut, tentu

pemerintahan harus didukung oleh Aparatur Sipil Negara yang handal,

responsive, adaptif, dan peka terhadap kebutuhan masyarkat.

2. Memperbaiki Masalah Internal Birokrasi

Di sisi lain, kondisi riil birokrasi kita masih jauh dari harapan. Menurut

The Global Economy, indeks efektivitas Pemerintahan Indonesia tahun 2013

adalah -0,24 dari rata-rata indeks semua negara yang disurvei yaitu -0,01.

Indonesia hanya menempati urutan ke-103 dari 192 negara. Posisi ini sangat

tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lain, seperti Malaysia (indeks

1,10 di urutan ke-35), Thailand (indeks 0,21 di urutan ke-72), dan Filipina

(indeks 0,06 di urutan ke-79).

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 56: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

56

Ada beberapa faktor penyebab ketidakefektifan pemerintah, salah satu

sebab utama adalah pegawai yang tidak profesional dan tidak berkinerja.

Keberadaan pegawai yang bekerja lambat, berbelit-belit, dan tidak kompeten

ini disebabkan oleh sistem yang keliru. PNS tidak dikelola dengan baik, pola

karier yang tertutup, dan sering dijadikan alat mobilisasi politik penguasa atau

calon penguasa khususnya menjelang pemilukada.

Karena kariernya ditentukan oleh kedekatan dan senioritas, orientasi

pegawai bukan untuk melayani masyarakat melainkan melayani atasan,

penguasa atau kroni-kroninya. Berkinerja atau tidak, pendapatan mereka sama

saja (PGPS), yang membedakan adalah siapa yang memiliki atau mampu

membangun kedekatan dengan atasan atau penguasa politik, maka karier

akan lebih mulus atau sering dilibatkan dalam berbagai proyek.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

(UU ASN) lahir dari buah reformasi birokasi untuk memperbaiki sistem

pengelolaan/manajemen Aparatur Sipil Negara yang selama ini tidak lagi

relevan. Dengan melakukan perubahan mendasar pengelolaan SDM aparatur

dari closed career system menuju open career system, UU ASN menerapkan

seleksi terbuka dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dan menghadirkan

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Dengan menjadikan ASN sebagai sebuah profesi yang harus dihormati,

dikelola, dan dijaga, UU ASN menegakan kode etik dan perilaku profesi ASN

serta menerapkan sistem merit secara terintegrasi; yaitu suatu sistem yang

mengamanatkan setiap kebijakan dan Manajemen ASN mulai dari

perencanaan, perekrutan, pengangkatan, pengembangan, pemindahan,

penggajian, dan pemberhentiannya harus berdasarkan pada kualifikasi,

kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan

latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status

pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

B. Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

Salah satu perubahan yang diusung UU ASN adalah Pegawai

Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pegawai ASN terdiri dari PNS

dan PPPK. Hal ini menegaskan bahwa untuk mengabdi dan bekerja pada

instansi pemerintah, warga negara tidak harus berstatus menjadi PNS tetapi

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 57: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

57

juga bisa melalui jalur PPPK. Berbeda dengan pegawai honorer, pegawai tidak

tetap atau honorer pada masa sebelumnya, PPPK diangkat dengan basis

utama kualifikasi, kompetensi, kompetisi, dan kinerja.

Sebagaimana PNS, PPPK tidak bisa diangkat secara otomatis. Pengisian

PPPK dilakukan melalui tahapan-tahapan mulai dari perencanaan yang terdiri

dari analis kebutuhan unit/organisasi, analis jabatan (Anjab), evaluasi jabatan

(evjab), analis beban kerja (ABK), perencanaan SDM 5 tahun dan dilakukan

perekrutan melalui seleksi berbasis kualifikasi, kompetensi, serta

memperhatikan kinerja masa lalu yang telah dicapai.

Keberadaan PPPK setidak-tidaknya dimaksudkan dalam rangka

memperkuat penerapan open career system, penegakan prinsip merit, dan

mengubah lingkungan birokrasi dari comfort zone menuju competitive zone.

PPPK merupakan based practices aparatur sipil negara di negara-negara yang

telah menerapkan performance based bureaucracy.

1. Dari Closed Career System Menuju Open Career System

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum lahirnya UU Nomor 5 Tahun

2004 tentang ASN, pola karier PNS menganut sistem tertutup, yaitu sistem

yang didasarkan senioritas dan Daftar Urut Kepangkatan (DUK). Seleksi

dan promosi hanya dilakukan di instansi masing-masing, dilakukan dengan

penekanan pada senioritas, kedekatan hubungan, atau unsur-unsur

subjektif lainnya. Pengukuran kinerjapun tidak dilakukan secara objektif,

rotasi pegawai dilakukan tanpa memperhatikan kompetensi pegawai.

Kondisi ini tentu tidak sehat, mengakibatkan pegawai tidak berkinerja, malas

berkreasi, dan tidak inovatif. Seringkali para PNS bekerja sangat

berorientasi hanya kepada ada tidaknya aturan atau perintah atasan.

UU ASN bermaksud mengubah sistem pola karier tertutup tersebut

menuju pola karier terbuka dengan menciptakan kompetisi dan menekankan

kompetensi dalam setiap pengisian jabatan. Open career system

menerapkan seleksi terbuka dalam pengisian jabatan-jabatan ASN, bukan

hanya terbuka antar instansi dan antar PNS, bahkan pengisian jabatan-

jabatan ASN dapat terbuka dari luar melalui jalur PPPK.

Walaupun penekanannya untuk memperkuat jabatan fungsional, namun

pada dasarnya PPPK dapat menduduki jabatan ASN Jabatan Administrasi

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 58: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

58

(eselon III), Jabatan Pengawas (eselon IV) dan Jabatan Pelaksana (staf)

dan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT/setara eselon I dan II). Dalam pengisian

Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), sebagaimana PNS, PPPK harus mengikuti

proses seleksi secara terbuka dan kompetetif. Hanya saja untuk jabatan-

jabatan JPT yang dapat diisi oleh PPPK atau dapat diisi dari kalangan non

PNS, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan Presiden melalui

Keputusan Presiden (Pasal 109 UU ASN). System ini merupakan batu

loncatan untuk penerapan sistem yang lebih terbuka dalam manajemen

ASN yaitu open system pada masa yang akan datang (2025) sebagai syarat

untuk mencapai pemerintahan dinamis.

Jika ada lowongan jabatan, setiap WNI berhak mendaftar melalui jalur

PPPK, termasuk dari honorer, pegawai tidak tetap, tenaga konsultan, dan

para profesional lainnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi

dan eksaminasi yang terbuka dan objektif sesuai dengan kompetensi yang

ditetapkan dalam jabatan. Tidak ada warga negara yang otomatis diangkat

menjadi PNS ataupun PPPK, semua harus melalui proses seleksi.

Pengangkatan sebagai PPPK dilakukan dengan basis perjanjian kerja

(kontrak) untuk suatu masa tertentu. Minimal 1 (satu) tahun dan dapat

diperpanjang jika pemerintah masih membutuhkan keahlian yang

bersangkutan berdasarkan pada kinerja dan kompetensi yang dimiliki.

Dengan demikian sangat dimungkinkan seseorang diangkat menjadi PPPK

lebih dari 1 (satu) tahun, sepanjang kompetensinya masih memenuhi syarat

jabatan dan dibutuhkan oleh instansi. Bahkan dalam pikiran pembuat UU

ASN, PPPK dapat saja dikontrak dalam jangka panjang, misalnya 15 tahun,

20 tahun atau mungkin 30 tahun sesuai dengan kebutuhan organisasi dan

kesesuaian kompetensi yang dibutuhkan.

Pada dasarnya PNS dan PPPK sama, yaitu:

• berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara (ASN);

• melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan; dan

• harus bebas dari pengaruh/intervensi golongan & partai politik.

Namun yang membedakan adalah PNS berstatus pegawai tetap dan

memiliki NIP secara nasional serta menduduki jabatan pemerintahan.

Sedangkan PPPK diangkat dengan perjanjian kerja sesuai kebutuhan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 59: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

59

instansi dan ketentuan Undang-Undang, serta melaksanakan tugas

pemerintahan (Pasal 7 UU ASN).

Berbeda dengan PNS yang proses pengisian jabatannya dilakukan

secara berjenjang hirarkis (kecuali JPT), Pengisian jabatan ASN melalui

jalur PPPK dapat dilakukan melalui 3 (tiga) jalur tingkatan (multi entry level),

yaitu:

• tingkat pertama (first entry) untuk mengisi jabatan-jabatan ASN tingkat

dasar sebagaimana CPNS (administrasi pelaksana/fungsional pratama

atau pemula);

• tingkat menengah (middle entry) untuk mengisi jabatan ASN tingkat

menengah setingkat dengan jabatan administrator; dan

• dan tingkat atas (top entry) untuk mengisi JPT.

Karena besaran gaji merupakan harga jabatan yang tercermin dari

beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan (Pasal 79 dan

Pasal 101 UU ASN) maka pada dasarnya gaji PNS dan PPPK adalah sama.

Besarnya gaji setiap pegawai ASN ditentukan oleh jabatan dan grading

jabatan yang didudukinya.

Baik PNS maupun PPPK memperoleh tunjangan kinerja yang

besarannya ditentukan dari capaian kinerja (performance based), dan

masing-masing mendapat jaminan sosial ASN seperti Jaminan Kematian,

Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja. Sedangkan sistem

pensiunnya akan dilaksanakan dan diintegrasikan dengan Sistem Jaminan

Sosial Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini juga ingin menekankan bahwa

PPPK bukanlah Pegawai ASN kelas ke-dua.

2. Memperkuat Sistem Merit

Di beberapa negara penerapan sistem merit dalam birokrasi bukanlah

hal baru. Sistem Merit pertama kali diatur dalam Pendleton Civil Service

Reform Act (Pendhelton Act) tahun 1883 di Amerika Serikat yang

mewajibkan penerapan prinsip merit dalam birokrasi. Presiden Chester A.

Arthur berhasil mendapat dukungan Congress dalam mengusung Pendleton

Civil Service Reform Act pada tahun 1883. Melalui Pendleton Act didirikan

Civil Service Commission yang mengelola PNS di level pemerintahan

federal. Pendleton Act mensyaratkan adanya seleksi berbasis kompetensi

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 60: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

60

dalam merekrut pegawai untuk menduduki jabatan dan menjalankan

pekerjaan tertentu. Peraturan ini juga memungkinkan elected officials and

political appointees memecat pegawai yang tidak berkinerja dan melindungi

pegawai dari interfensi politik.

Keberadaan PPPK dimaksudkan juga dalam rangka memperkuat

penerapan sistem merit, sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara,

yaitu setiap pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN

berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja bukan didasarkan pada

kedekatan politik, favoritisme, hubungan kekerabatan, atau unsur-unsur

subjektif lainnya.

Sebelum UU ASN, karier PNS yang cemerlang dan tunjangan yang

diberikan cenderung bukan berdasarkan kinerja, melainkan masih

didasarkan pada kedisiplinan, senioritas, dan kedekatan hubungan. Jamak

diketahui bahwa PNS sangat sulit diberhentikan karena tidak berkinerja.

Pemberhentian PNS selama ini lebih diakibatkan oleh pelanggaran disiplin

dan/atau menjadi terpidana.

PPPK yang direkrut berdasarkan kompetensinya dan ditempatkan pada

jabatan ASN yang sesuai dengan kompetensinya tersebut. PPPK dapat

diberhentikan karena tidak mencapai target kinerja sebagaimana yang

disepakati dalam kontrak, atau diberhentikan karena kompetensinya tidak

lagi sesuai dengan kompetensi jabatan yang dudukinya.

3. Dari Comfort Zone Menuju Competitive Zone

Kehadiran PPPK akan merubah lingkungan birokrasi dari zona aman

menuju zona kompetitif. Dengan membuka persaingan disetiap pengisian

jabatan, PNS dan PPPK harus berkompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan

ASN. Dengan perubahan ini, orientasi pegawai tidak lagi hanya untuk

membangun kedekatan dengan antasan, tetapi bagaimana meningkatkan

kompetensi dan kinerjanya agar dipromosikan dan dapat bersaing dengan

pegawai lain dalam pengisian jabatan.

Jika ingin kariernya baik, pegawai tidak boleh lagi bermalas-malasan.

Pegawai harus mencapai target kinerja yang diperjanjikan selama 1 (satu)

tahun dalam kontrak kinerja agar memperoleh predikat penilaian kinerja baik

atau sangat baik. Namun jika PNS tidak mampu mencapai target kinerja

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 61: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

61

yang diperjanjian dan telah diberi kesempatan memperbaiki kinerjanya, PNS

yang bersangkutan dikenakan sanksi mulai dari penurunan tunjangan

kinerja sampai dengan pemberhentian. (Pasal 77 ayat (6) UU ASN).

Begitu juga dengan PPPK, hubungan perjanjian kerja PPPK dapat

diputus dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, atau karena tidak

memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai dengan perjanjian

kerja. (Pasal 105 ayat (2) huruf c).

4. Best Practices Dari Berbagai Negara

Di negara-negara yang sudah menerapkan sistem pengelolaan pegawai

berbasis kinerja (performance based bureaucracy), kehadiran PPPK

bukanlah hal yang baru. Pada dasarnya negara-negara seperti Korea,

Jerman, dan Australia dalam menerapkan sistem merit, memiliki aparatur

pemerintah yang terbagi kedalam dua kelompok yaitu permanen staf dan

non permanen staf (atau on going staff and non on going staff).

Di Korea Selatan, civil services terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu

permanent atau career civil servants dan non permanent atau civil servants

based on contract. Pegawai PPPK adalah civil servant based on contract.

Sejak tahun 1999, Republik Korea melakukan langkah-langkah reformasi

sistem kepegawaian. Salah satu langkah besar yang dilakukan adalah

dengan menerapkan Open Competitive Position System (OPS), yaitu

dengan membuka sebanyak 20% jabatan-jabatan senior position (grade-4

dan 3 atau setara dengan JPT) dapat diisi kalangan ahli/

konsultan/profesional dari luar menjadi civil servant based on contract.

Untuk menarik professional dari luar, pegawai jenis ini gajinya disetarakan

dengan gaji sektor private/swasta.

Melalui kebijakan OPS, sebanyak 20% jabatan senior position disetiap

instansi yaitu sekitar 124 jabatan senior dari 40 organisasi pemerintah

pengisiannya harus melalui seleksi terbuka. Ketika jabatan-jabatan tersebut

ada yang lowong, maka pemerintah harus mengumumkan secara terbuka

melalui media masa, dan setiap orang baik dari dalam maupun luar instansi

pemerintah yang memenuhi kualifikasi dapat melamar dan diseleksi dengan

prosedur yang fair. (Korea CSC, http://www.csc.go.kr/11/2003). Saat ini 32

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 62: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

62

persen posisi-posisi jabatan di Korea dapat diisi oleh kalangan profesional

dan berstatus sebagai non permanent staff.

PPPK di negara Jerman dikelan dengan sebutan Angestellte atau Public

Employee. Keberadaannya mengikuti peraturan tenaga kerja yang berlaku

untuk semua tenaga kerja di Jerman. Sedikit berbeda dengan PPPK di

Indonesia yang keberadaanya diatur dalam hukum publik. ASN di Indonesia

bukan termasuk tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, melainkan pegawai publik yang diatur dan tunduk

pada hukum publik UU ASN.

Dari total keseluruhan aparatur pemerintah di Jerman yang terdiri dari

Beamte (sama dengan PNS) dan Angestellte (PPPK), komposisi Beamte

dan Angestellte yaitu 60% berbanding 40%. Sebagaimana PPPK Indonesia,

masa kontrak maksimal Angestellte tidak spesifik diatur. Dalam paraktek

sudah ada yang selama 35 (tiga puluh lima) tahun dikotrak bekerja sebagai

angestellte yang diperpanjang secara periodik berdasarkan kebutuhan

pemerintah. Dalam periode tertemtu, jika pemerintah mengalami defisit

keuangan negara, maka Angestellte dapat diputus perjanjian kerjanya. Cara

ini akan membantu pemerintah menyelesaikan krisis atau defisiti keuangan

negara.

Di Australia. Pegawai ASN atau Australian Public Services Employees

terdiri dari ongoing employees (PNS) dan non-ongoing employees (PPPK).

Keberadaannya diatur dalam Public Service Act 1999. Sama dengan PPPK

di Indonesia, non-ongoing direkrut berdasarkan kontrak kerja dalam waktu

tertentu. Pada tahun 2013 sebanyak 15.027 non-onggoing employees atau

sekitar 10% lebih dari seluruh total pegawai APS menduduki jabatan-

jabatan APS (Australian Publi Service (State of the service report 2012-

2013) Kedepan jumlah ini akan terus bertambang karena pemerintah

Australia mengundang para profesional untuk menduduki jabatan-jabatan

APS yang lowong di pemerintahan setiap harinya, dan dilakukan melalui

iklan di stasiun TV, koran dan website resminya. Para professional dari

sektor swasta seperti akuntan, ahli IT, finansial analis, konsultan SDM, dan

sebagainya dapat mengikuti seleksi untuk diangkat sebagai ongoing atau

non ongoing employees. (https://www.apsjobs.gov.au/ atau

http://tv.apsjobs.gov.au/)

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 63: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

63

C. Jabatan Political Appointee dan Elected Official

Jabatan politik terbagi ke dalam 2 (dua) jenis yaitu political appointee dan

elected official. Political appointee diangkat dalam jabatan melalui penunjukan

atau penetapan oleh pejabat politik yang dipilih seperti Presiden dan Kepala

Daerah. Sedangkan Elected official diangkat dalam jabatan melalui proses

politik yaitu pemilihan umum.

Di Indonesia, jabatan-jabatan political appointee terdiri dari Menteri,

Kepala LPNK, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua/Ketua Muda/Hakim MA, Hakim

semua badan peradilan, Ketua/wakil/Anggota MK, Ketua/wakil/ anggota BPK,

Ketua/wakil Ketua KPK, Ketua/wakil Ketua KY, Duta Besar, atau Pejabat lain

yang ditentukan UU. Sedangkan jabatan-jabatan elected official yaitu terdiri

dari Presiden dan Wakil presiden, anggota DPRRI dan DPRD, anggota DPD,

Gubernur; Bupati, dan Walikota.

Pada dasarnya setiap Warga Negara maupun Pegawai ASN dapat

menduduki jabatan politik untuk disebut sebagai Pejabat Negara (Pasal 121

UU ASN). Namun bagi Pegawai ASN ada konsekuensi yang harus diterima

ketika menduduki atau akan mencalonkan diri untuk menduduk jabatan politik

tersebut. Konsekuensi diberikan adalah dalam rangka menghindari konflik

kepentingan (conflict interest) dan menjaga marwah profesi ASN yang netral

dan bersih dari interfensi politik. Birokrasi yang tidak terpolitisasi akan

menjamin stabilitas pemerintah. Hal ini dikarenakan netralitas public service

adalah komplementer terhadap merit sistem yang memberikan keuntungan

berupa terciptanya sistem yang langgeng, berkesinambungan, stabil dan

imparsialitas dalam public service dan membangun profesionalisme.

Karakteristik birokrasi seperti ini menekankah bahwa idealnya birokrasi tidak

berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada administrasi dan

rasionalitas. (Asmeron & Reis, 1996).

Karena perbedaan cara memperolehnya, jabatan political appointee juga

memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dengan jabatan elected official

bagi pegawai ASN. Untuk menduduki jabatan Negara dengan cara yang

pertama, seorang PNS harus mundur sementara dari jabatan PNSnya (bagi

PPPK otomatis kontraknya terputus). Namun, untuk cara yang kedua dimana

sebuah jabatan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan politik praktis dan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 64: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

64

berafiliasi dengan partai politik, maka seorang PNS harus mundur dari

statusnya sebagai PNS (bagi PPPK otomatis kontraknya terputus).

Sejak 15 (lima belas) tahun silam tepatnya memasuki era reformasi,

kesadaran akan pentingnya independensi PNS dari politik praktis sudah

mengemuka. Melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian (UUPK), ditegaskan bahwa: Pegawai Negeri berkedudukan

sebagai unsur aparatur negara yang dalam kedudukan dan tugas tersebut

Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik

serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk menjamin netralitas tersebut, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota

dan/atau pengurus partai politik. (Pasal 3 ayat (3) UUPK).

Ketentuan ini menunjukkan sejak awal reformasi pemerintahan

menginginkan PNS bersih dari pengaruh politik untuk dapat menjalankan

tugasnya secara profesional, netral, dan tidak diskrimitatif. Namun dalam

perkembangan dan implementasinya, perhatian ini dirasakan belum sepenuh

hati, karena untuk menjaga netralitas PNS dan terhindar dari politik praktis,

larangan PNS untuk menjadi anggota atau pengutus partai politik tidak cukup.

Dalam konteks kekinian seiring dengan berkembangnya sistem

demokrasi, upaya mencegah intervensi politik tidak cukup jika “hanya” diukur

dari keterlibatan seseorang dalam partai politik. Fenomena pemilihan umum

kepala daerah (Pemilukada) dapat menjadi contoh bagaimana PNS yang

bukan anggota dan/atau pengurus partai politik ternyata bisa terlibat aktif dan

dijadikan sarana mobilisasi politik oleh para calon gubernur/bupati/walikota

untuk memenangi pemilu.

Dalam pemilukada setidak-tidaknya ada 2 (dua) bentuk keterlibatan PNS

dalam politik praktis yang mengganggu independensi dan netralitasnya yaitu:

pertama, PNS secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi menjadi

pendukung (tim sukses) calon kepala daerah dalam pemilukada. Kedua, PNS

ikut mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dalam

pemilukada.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 65: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

65

a. PNS Sebagai Tim Sukses Calon Kepala Daerah

Salah satu bentuk keterlibatan PNS dalam politik praktis tanpa menjadi

anggota/atau pengurus partai politik adalah ketika PNS menjadi

pendukung/tim sukses salah satu calon dalam pilkada. Hal ini dilakukan baik

secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Keterlibatan dalam politik

praktis ini menjadi masalah karena dilakukan justru ketika PNS yang

bersangkutan menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarkat. Netralitas

dan independensi PNS terganggu, PNS memberikan pelayanan memihak

pada golongan/atau kelompok tertentu;

Dalam pemilihan langsung kepala daerah, PNS di daerah telah

terkotak-kotak ke dalam kelompok pendukung masing-masing calon kepala

daerah. Hal ini tidak terlepas dari siapa akan mendapatkan jabatan apa,

ketika calon yang didukung nantinya terpilih. Perombakan secara besar-

besaran di lingkungan jabatan struktural ketika kepala daerah baru terpilih

adalah pemandangan biasa yang terjadi saat ini di berbagai daerah.

Permasalahan ini menjadi semakin pelik ketika perombakan itu dilakukan

tidak didasarkan pada kompetensi/kinerja melainkan lebih menekankan

pada balas budi. Birokrasi menjadi tidak stabil, terpecah belah dan tidak

bisa berkonsentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan

publik dan pembangunan;

Kondisi yang tidak sehat ini perlu dicari jalan keluarnya karena sangat

menggangu kinerja PSN di daerah terutama ketika menjelang pemilu.

Permasalahan ini pula yang menjadi dasar lahirnya Peraturan Pemerintah

nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP Disiplin)

yang melarang PNS terlibat politik praktis dengan berbagai bentuknya.

Dalam Pasal 4 butir 12, butir 13, dan butir 14 PP Disiplin menyebutkan

bahwa:

PNS dilarang:

1. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, DPR,

DPD, atau DPRD dengan cara:

a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau

atribut PNS;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 66: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

66

c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain;

dan/atau

d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;

2. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan

cara:

a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau

merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;

dan/atau

b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan

terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum,

selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan,

himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam

lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;

3. memberikan dukungan kepada calon anggota DPD atau calon Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan

disertai foto copy KTP atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai

peraturan perundangundangan; dan

4. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah, dengan cara:

a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah;

b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan

kampanye;

c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau

merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;

dan/atau

d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan

terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum,

selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan,

himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam

lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Lebih lanjut di dalam Pasal 7 dan Pasal 12 PP tersebut disebutkan

bahwa PNS yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi mulai dari

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 67: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

67

penundaan kenaikan gaji dan pangkat sampai dengan pemberhentian

sebagai PNS. Melalui PP ini, bahwa pemerintah ingin berkomitmen untuk

mencegah PNS dari berbagai bentuk intervensi politik yang dapat

mempengaruhi netralitas dan independensinya. Pertanyaannya selanjutnya

adalah “Memberikan dukungan politik saja dilarang, lalu bagaimana dengan

mencalonkan diri bersaing untuk menduduki jabatan elected official?”

b. PNS Menduduki Jabatan Elected Official

Bentuk kedua keterlibatan PNS dalam politik praktis tanpa menjadi

anggota/dan atau pengurus partai politik yaitu ketika PNS ikut mencalonkan

diri dalam pilpres/pilkada. Hal ini terjadi karena untuk menjadi calon

presiden/wakil presiden/kepala daerah/wakil kepala daerah seseorang tidak

harus berasal dari anggota dan/atau pengurus partai politik. Berbeda dengan

calon anggota legislatif (DPR/DPRD) yang harus berasal dari unsur partai

politik. Dalam sistem politik Indonesia saat ini dikenal adanya “calon

independen” yang bisa berasal dari unsur-unsur non partai politik.

Dalam konteks ini maka seorang pegawai dapat terjun dalam politik praktis

dengan menjadi salah satu calon dalam pemilu tanpa kehilangan statusnya

sebagai PNS. Ada tiga persoalan yang dapat menjadi dasar pertimbangan

disini, yaitu: pertama persoalan konflik kepentingan, kedua penegakan etika

profesi ASN, ketiga persolan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan

pelayanan yang adil, netral, dan tidak diskriminatif.

Sebelum UU ASN berlaku, jamak terjadi di daerah seorang pejabat PNS

daerah (sekda/kepala dinas) ikut mencalonkan diri dalam pemilukada. Dalam

pencalonan ini, sering ditemukan pegawai yang bersangkutan memanfaatkan

wewenang dan fasilitas jabatannya untuk menggerakan massa dan

memenangi pemilu. Karena jabatannya, pegawai yang bersangkutan dengan

mudah memanfaatkan atau menyalahgunakan PNS dibawahnya untuk

menjadi pendukung dan meraih simpati pemilih. Fasilitas jabatan juga

digunakan untuk kampanye. Apalagi jika PNS tersebut mengikuti pertarungan

politik untuk menduduki jabatan politik melawan kepala daerah incumbent

yang notabene atasannya sendiri. Tentu ini menjadi pemandangan yang tidak

sehat, merusak moral pegawai, dan membuat pegawai terkotak-kotak saling

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 68: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

68

mendukung calon tertentu. Konsentrasi dan netralitas pegawai terganggu

ketiga melaksanakan tugasnnya terutama menjelang pemilu.

Ketika pemilu selesai dan menghasilkan pemenang, tentu hubungan

antara atasan dan bawahan tidak lagi sehat. Baik atasan maupun bawahan

bekerja tidak maksimal karena dendam politik telah merusak hubungan kerja

birokrasi. Tidak sedikit pegawai yang gagal dalam pemilukada dimutasi oleh

lawan politiknya setelah memenangi pemilu.

Hak Untuk Memilih Karier

Permasalahan lain dalam polemik kewajiban bagi pegawai ASN

mengundurkan diri pada saat pencalonan sebagai calon kepala daearah adalah

menyangkut hak untuk memilih karier sebagai ASN atau karier politik. Hak ini

disebut “Freedom of selecting occupation”. Hak ini memberikan kebebasan kepada

setiap warga negara untuk memilih jenis profesi dan pekerjaan apapun sesuai

dengan jaminan konstitusi. Meskipun demikian, hak ini dibatasi oleh syarat-syarat

yang ditetapkan dalam sebuah profesi dan pekerjaan yang dipilihnya.

Dengan demikian, seorang Pegawai ASN terikat oleh syarat-syarat profesi

ASN yaitu tegaknya sistem merit dan diterapkannya nilai dasar, etika dan kode

perilaku ASN. Perlu dtegaskan disini, bahwa setiap warga negara yang telah

menjatuhkan pilihannya untuk bekerja dan berprofesi sebagai pegawai ASN, maka

kepadanya terikat berbagai syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa UU ASN bertujuan untuk menciptakan

independensi dan netralitas pegawai ASN, profesionalisme, serta perekat Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Jika seorang PNS memutuskan untuk ikut mencalonkan diri dalam pilkada,

maka sesungguhnya yang bersangkutan telah memilih untuk menempuh karier

diluar jalur karier PNS, yaitu menempuh karier politik menduduki jabatan elected

official melalui proses politik. Pada saat yang bersamaan sesungguhnya yang

bersangkutan telah mengesampingkan karier PNSnya. Bahwa hak yang

disebutkan di dalam UUD 1945 tentang jaminan untuk memperoleh pekerjaan bagi

setiap warga negara harus dilaksanakan dengan syarat dan ketentuan dalam

profesi ASN yang hendak diciptakan oleh UU ASN mewujudkan birokrasi yang

bersih, profesional dan melayani.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 69: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

69

Menempuh karier politik adalah pilihan dan hak asasi setiap warga Negara

untuk mengembangkan potensi dan kariernya. Dengan demikian tidak ada

larangan bagi siapapun untuk memilih jalur karier, apakah melalui jalur karier PNS

atau jalur karier politik. Akan tetapi hal ini dibatasi oleh prinsip Freedom of

selecting occupation yang menuntut konsistensi dalam piliha profesi. Seseorang

harus konsisten dengan pilihan mnejadi pegawai ASN yang basisnya career

appointee atau menjadi kepala daerah yang basisnya elected official. Hak asasi

warga negara negara adalah hak untuk memilih karier, bukan hak untuk

menempuh dua jalur karier atau pekerjaan secara bersamaan.

Selama ini sebelum lahirnya UU ASN, pembedaan antara karier politik yang

ditempuh melalui proses politik dan karier PNS yang ditempuh melalui proses merit

kepegawaian tidaklah berbatas jelas. Tidak adanya pemisahan yang jelas antara

karier PNS dan karier politik ini menyebabkan seorang PNS dapat menjadi kutu

loncat yang mudah pindah-pidah jalur politik dan jalur PNS.

Masalah yang timbul jika praktek ketidakjelasan batas antara karir politik dan

karir birokrasi terus berlanjut adalah kecenderungan pesawai ASN mengambil

sikap untuk memilih jalur politik dengan mengesampingkan berbagai kewajiban

karier ASN nya. Hal ini berpotensi dan bahkan telah banyak terjadi pelanggaran

moral/etika profesinya sebagai pegawai ASN, yaitu “melanggar sumpah/janjinya”

ketika diangkat sebagai pegawau untuk melaksanakan tugas kedinasan yang

dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung

jawab.

Seorang PNS yang mencalonkan diri untuk bersaing menduduki jabatan

elected official pada saat yang bersamaan yang bersangkutan melanggar janjinya

dengan mengesampingkan tugas-tugasnya sebagai PNS. Selain merendahkan

kedudukan profesi PNS yang seharusnya dihargai dan dijunjung tinggi, praktik ini

juga menyebabkan profesi PNS kurang dihargai, hanya dijadikan sebagai “ban

serep” atau sampingan serta jaminan tambahan untuk mendapatkan tunjangan

pensiun. Menang ataupun kalah dalam pemilu, menjadi masalah bagi seorang

PNS untuk kembali menduduki jabatannya sebagai PNS.

Hak Masyarakat Untuk Mendapat Pelayanan Yang Adil

Selain berdampak buruk bagi profesi ASN, pencalonan PNS dalam pilkada

juga berpotensi melanggar hak masyarakat untuk mendapat pelayanan.

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 70: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

70

Keterlibatan PNS dalam pemilu mengakibatkan ketegangan politik semakin tinggi

sehingga mempengaruhi kinerja pegawai. Konsentrasinya PNS tidak lagi fokus

pada pelayanan masyarakat tetapi terpecah karena memikirkan bagaimana

nasibnya ketika selesai pemilu. Akibat situasi ini, program-program pemerintahan

makin lambat dijalankan sehingga lagi-lagi mengorbankan hak rakyat untuk

mendapatkan pelayanan cepat, efisien, efektif, adil, dan tidak diskriminatif.

Memilih dan dipilih dalam pemilu merupakan hak asasi setiap warga Negara.

Namun sebagaimana amanat Pasal 28J UUD 1945, setiap orang wajib

menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang

dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan

atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis.

Dalam penjabarannya Pasal 69 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan bahwa: setiap warga negara wajib

menghormati HAM orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap HAM seseorang menimbulkan

kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain

secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati,

melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

Hal ini pula yang melatarbelakangi pembatasan hak PNS (termasuk PPPK)

untuk dipilih/mencalonkan diri dalam pemilu dengan terlebih dahulu menyatakan

pengunduran dirinya secara tertulis sebagai PNS, yaitu dalam rangka

meningkatkan profesionalisme PNS dan melindungi hak masyarakat untuk

mendapatkan pelayanan/perlakuan yang tidak bersifat diskriminatif atas dasar

apapun sebagaimana amanat Pasal 28I UUD 1945, serta menjamin hak

masyarakat atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD

1945.

UU ASN mengatur bahwa (Pasal 119) Pejabat Pimpinan Tinggi Madya

(sekda provinsi) dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (sekda kabupaten/kota)

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 71: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

71

yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota,

dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis

dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.

Pasal 123 ayat (3): Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau

dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota

Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan

Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil

walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak

mendaftar sebagai calon.

Dengan ketentuan ini, diharapkan akan memperbaiki hubungan antara

birokrasi dan politik agar lebih seimbang sehingga birokrasi tidak lagi kehilangan

kemandirian. Politik tidak lagi menjadi sumber penyakit yang mempengaruhi

kinerja dimana ukuran-ukuran politik tidak lagi mendominasi dalam proses

pengisian jabatan. Dengan demikian, konsentrasi para pejabat birokrasi lebih pada

pengembangan kinerja, tidak lagi semata-mata membangun hubungan yang aktif

dengan politisi. Ketika PNS fokus mengembangkan kompetensi dan karier PNSnya

maka dengan sendirinya hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang

berkualitas, adil, dan tidak diskriminatif dapat terpenuhi.

Best Practice Negara Lain

Di beberapa negara penerapan Freedom of Selecting Occupation telah lama

diterapkan. Di Australia, melalui Public Services Act 1999, APS Employees yang

ingin mencalonkan diri bersaing menduduki jabatan elected official harus

mengundurkan diri sebagai APS ketika pencalonan. Bahkan di Korea Selatan,

untuk menduduki Jabatan Elected official PNS harus mengundurkan diri 90

(sembilan puluh hari) sebelum mencalonkan diri dalam pemilu. Ketentuan ini

menunjukan bagaimana negara Australia dan Korea begitu tegas membedakan

pekerjaan PNS dan pekerjaan politik untuk menjamin netralitas dan independensi

PNS.

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, dr. Benni Jeki

telah ditetapkan sebagai Pihak Terkait oleh Mahkamah untuk perkara a quo. Pada

persidangan Mahkamah tanggal 16 Juni 2015 Pihak Terkait menyampaikan

keterangannya yang pada pokoknya sebagai berikut:

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 72: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

72

• Pihak Terkait merupakan PNS di daerah Lampung Tengah yang hendak

mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam Pilkada Tahun 2015;

• Pihak Terkait diminta untuk mengundurkan diri jika hendak mencalonkan diri

sebagai kepala daerah;

• Pihak Terkait merasa tidak mungkin memanfaatkan kedudukannya sebagai

PNS jika mengajukan diri sebagai Kepala Daerah;

• Pihak Terkait selama ini menjadi pendorong kegiatan antikorupsi, dan selalu

mengajak setiap orang untuk memberantas tindak pidana korupsi, sehingga

tidak mungkin Pihak Terkait memanfaatkan fasilitasnya sebagai PNS, karena

merupakan korupsi.

[2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan tertulis para

Pemohon bertanggal 19 Juni 2015 yang diterima Kepaniteraan tanggal 24 Juni

2015, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,

segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan,

yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10

ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya

disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 73: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

73

Bahwa permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas

Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123 ayat (3), dan Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494, selanjutnya disebut UU 5/2014), yang menyatakan:

Pasal 87 ayat (4) huruf c (4) “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:

a) ... b) ... c) menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau d) ...”

Pasal 119 ”Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Penjelasan Pasal 119 “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali”.

Pasal 123 ayat (3) “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Penjelasan Pasal 123 ayat (3) “Pernyataan pengunduran diri ”tidak” dapat ditarik kembali”.

Pasal 124 ayat (2) ”Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.”

Terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyatakan:

Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 74: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

74

Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Pasal 28I ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah untuk

pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 87 ayat (4)

huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal

123 ayat (3), dan Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap

UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 75: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

75

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD

1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005,

bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.5] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan kedudukan hukumnya

sebagai berikut:

1. Pemohon I Pemohon I adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang berstatus

sebagai Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS) Golongan IVe (Pembina Utama) yang akan mencalonkan diri sebagai pejabat negara yaitu sebagai wakil

bupati, menganggap hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh

berlakunya Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 dan Penjelasannya, karena Pemohon I harus mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai PNS sejak mendaftar sebagai

calon, dan pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali. Pemohon I

menganggap apabila frasa “pengunduran diri” yang termuat dalam Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 dimaknai sebagai “pengunduran diri sementara” dan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 76: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

76

maka Pemohon I tidak akan dirugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon I

masih bisa mengembangkan karier sebagai PNS;

Pemohon I juga menganggap Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 potensial

merugikan hak-hak konstitusionalnya, karena Pemohon I berpotensi untuk

diangkat sebagai pejabat negara, dan setelah tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara, lalu dalam waktu dua tahun tidak dapat menduduki Jabatan Pimpinan

Tinggi, Jabatan Struktural maupun Jabatan Administrasi, Pemohon I akan

diberhentikan dengan hormat dari pekerjaan Pemohon I sebagai PNS. Pemohon I menganggap apabila Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945, maka Pemohon I tidak akan dirugikan hak konstitusionalnya,

karena saat Pemohon I sudah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara, lalu dalam jangka waktu dua tahun Pemohon I tidak dapat menduduki Jabatan

Pimpinan Tinggi, Jabatan Fungsional maupun Jabatan Administrasi, Umum,

Pemohon I tidak diberhentikan dengan hormat dari pekerjaannya sebagai PNS.

2. Pemohon II Pemohon II adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang

berstatus sebagai PNS Golongan IVd (Pembina Utama Madya) yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Jember, dan sebagai Pejabat Eselon II.

Pemohon II yang akan mengajukan diri sebagai calon bupati/pejabat negara,

merasa hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh berlakunya Pasal 119 UU 5/2014 dan Penjelasannya, karena apabila Pemohon II mencalonkan diri

sebagai calon bupati, Pemohon II harus mengundurkan diri dari pekerjaannya

sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon dan pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali;

Pemohon II menganggap apabila frasa “pengunduran diri” yang termuat dalam Pasal 119 UU 5/2014 a quo dimaknai sebagai “pengunduran diri sementara” dan Penjelasan Pasal 119 UU 5/2014 a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD

1945, maka hak konstitusional Pemohon II tidak akan dirugikan, dalam pengertian

apabila Pemohon II mencalonkan diri sebagai calon Bupati cukup mengundurkan diri sementara dari pekerjaan Pemohon II sebagai ASN.

3. Pemohon III Pemohon III adalah perseorangan warga Negara Indonesia yang berstatus sebagai PNS yang pada tahun 2013 terdaftar sebagai calon anggota legislatif

untuk Pemilu Legislatif Tahun 2014. Untuk memenuhi persyaratan sebagai calon

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 77: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

77

legislatif, Pemohon III mendaftarkan diri sebagai anggota partai politik. Pemohon III

kemudian diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaannya sebagai PNS pada bulan April 2013;

Pemohon III merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan

berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf c UU 5/2014, karena pemberlakuan norma a quo yang berlaku surut. UU 5/2014 baru disahkan setelah Pemohon III

mengajukan pensiun dini.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK

serta syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana dijelaskan pada paragraf [3.5] di atas, terhadap kedudukan hukum

para Pemohon Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah memenuhi syarat menjadi Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK

dan syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana

dijelaskan dalam putusan-putusan Mahkamah selama ini, yaitu sebagai perseorangan warga negara Indonesia (vide bukti P-2) yang memiliki hak

konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, yang oleh para Pemohon hak

konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo;

Bahwa kerugian hak konstitusional para Pemohon tersebut bersifat

potensial dan aktual sebagaimana fakta yang diuraikan para Pemohon, yang memiliki hubungan sebab akibat dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, sehingga apabila permohonan

para Pemohon dikabulkan maka kerugian hak konstitusional seperti yang didalilkan para Pemohon tidak lagi terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak

sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan para Pemohon dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal

standing) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mengajukan Pengujian

konstitusionalitas Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Penjelasan Pasal 119,

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 78: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

78

Pasal 123 ayat (3), Penjelasan Pasal 123 ayat (3), dan Pasal 124 ayat (2) UU

5/2014 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1)

UUD 1945; Untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6, serta

mengajukan seorang saksi dan seorang ahli yang selengkapnya termuat dalam

bagian Duduk Perkara;

[3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa secara saksama

permohonan para Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Presiden, membaca keterangan Pihak Terkait, mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon dan Presiden serta membaca

kesimpulan para Pemohon yang selengkapnya telah diuraikan dalam bagian

Duduk Perkara;

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan pasal yang dimohonkan pengujian

konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Mahkamah telah memutus pengujian konstitusionalitas Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 terhadap Pasal 27

ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014,

bertanggal 8 Juli 2015. Oleh karena itu, Mahkamah akan mempertimbangkan

terlebih dahulu apakah permohonan para Pemohon dapat dimohonkan pengujian

kembali.

[3.10.1] Bahwa Pasal 60 UU MK menyatakan:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap pasal yang telah

dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dapat

diuji kembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Setelah

memperhatikan dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar

pengujian yang digunakan permohonan Nomor 41/PUU-XII/2014 adalah Pasal 27

ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 79: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

79

28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, sedangkan permohonan a quo adalah

pengujian konstitusionalitas diantaranya adalah Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3)

UU 5/2014 terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, sehingga terdapat

perbedaan dasar pengujian konstitusionalitas. Permohonan a quo menggunakan

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) yang tidak dijadikan dasar pengujian

pada permohonan Nomor 41/PUU-XII/2014. Oleh karena itu, menurut Mahkamah

permohonan para Pemohon dapat dimohonkan pengujian kembali;

[3.10.2] Bahwa norma Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 yang

dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo, telah

dimaknai oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 41/PUU-

XII/2014, tanggal 8 Juli 2015 yang amarnya menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian: 1.1. Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;

1.2. Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.”

Selanjutnya Mahkamah mencermati isu konstitusionalitas permohonan

para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3)

UU 5/2014 dan permohonan Nomor 41/PUU-XII/2014. Menurut Mahkamah kedua

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 80: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

80

perkara memiliki isu konstitusionalitas yang sama yaitu pengunduran diri secara

tertulis bagi PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai calon peserta Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota. Meskipun para Pemohon menyatakan

menggunakan alasan konstitusional yang berbeda, Mahkamah tidak melihat

adanya perbedaan argumentasi yang fundamental yang membuat Mahkamah

perlu mengubah pendiriannya. Oleh karena itu maka pertimbangan hukum

Mahkamah dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014 tersebut mutatis mutandis

berlaku pula terhadap permohonan a quo;

[3.11] Menimbang bahwa norma Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014

telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Putusan

Nomor 41/PUU-XII/2014, sehingga Penjelasan Pasal 119 dan Penjelasan Pasal

123 ayat (3) UU 5/2014 yang juga diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh

para Pemohon sudah tidak relevan dengan pasal atau norma yang dijelaskan,

yang oleh Mahkamah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dengan demikian

permohonan para Pemohon terkait dengan Penjelasan Pasal 119 dan Penjelasan

Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 87 ayat (4)

huruf c UU 5/2014 yang mengatur PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena

menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, telah merugikan hak

konstitusional para Pemohon karena para Pemohon kehilangan hak untuk bekerja dan mengembangkan diri. Terhadap dalil permohonan para Pemohon a quo

Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Setiap warga negara pada dasarnya memiliki hak untuk berpolitik, baik menjadi anggota partai politik, ataupun menduduki jabatan politik. Pasal 28C ayat

(2) UUD 1945 telah menjamin hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juga menjamin hak setiap warga

negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu

UUD 1945 dalam Pasal 28E ayat (2) juga menjamin kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, sebagaimana hak kebebasan

berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dijamin dalam Pasal 28E ayat

(3) UUD 1945. Hak-hak warga negara yang diatur dalam norma-norma UUD 1945 tersebut di atas menegaskan bahwa UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 81: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

81

berpolitik, termasuk di antaranya hak berserikat dan berkumpul, memperjuangkan

hak secara kolektif melalui partai politik dengan menjadi anggota partai politik, serta hak untuk ikut serta dalam politik praktis, menggunakan partai politik untuk

aktif dalam pemerintahan;

Selain kebebasan untuk berpolitik yang dengan tegas dijamin oleh UUD 1945, setiap warga negara berhak memilih karier baik sebagai ASN atau karier politik. Hak ini disebut sebagai “freedom of selecting occupation”, yaitu hak yang

memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memilih jenis profesi dan pekerjaan apapun sesuai dengan jaminan konstitusi. Meskipun demikian, hak

ini dibatasi oleh syarat-syarat yang ditetapkan dalam suatu profesi dan pekerjaan

yang dipilihnya;

Kebebasan masyarakat yang dijamin UUD 1945 bukanlah kebebasan yang

tanpa batas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis”;

Dalam kaitannya dengan PNS, ada batasan seberapa jauh seorang PNS dapat berpolitik. Mahkamah dalam putusannya Nomor 41/PUU-XII/2014, bertanggal 8 Juli 2015 menegaskan bahwa “...kedudukan dan peranan PNS

penting serta menentukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan. Peranan itu menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan

yang bergantung pada kompetensi PNS yang secara karier diangkat berdasarkan

kecakapan tertentu dan secara terus menerus memperoleh pembinaan,

pendidikan, jenjang kepangkatan secara teratur dan terukur, termasuk pendidikan

kedinasan untuk mencapai jenjang kepangkatan dan karier tertentu...”. Oleh

karena pentingnya peranan PNS dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu, maka integritas dan netralitas seorang PNS harus terjaga.

Tugas PNS sebagai aparatur negara yang memberikan pelayanan kepada

masyarakat dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan, membuat PNS harus bersih dari pengaruh golongan tertentu

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 82: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

82

termasuk partai politik tertentu sehingga dapat memberikan pelayanan kepada

seluruh golongan masyarakat secara adil tanpa membeda-bedakan;

Oleh karena menjadi PNS adalah pilihan, maka ketika seseorang telah

memilih untuk menjadi PNS berarti yang bersangkutan telah mengikatkan diri

dalam ketentuan, syarat, dan kewajiban ASN yang harus dipenuhi. Seseorang yang telah memilih untuk berkarir sebagai PNS akan terikat dengan tugas

pelayanan masyarakat yang dituntut untuk dilakukan secara prima, tanpa

membedakan atau berpihak pada salah satu kelompok/golongan dan tidak terpengaruh pada kepentingan kelompok maupun kepentingan partai politik

tertentu; Di dalam Penjelasan Umum UU 5/2014 ditegaskan bahwa pegawai ASN

harus profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan

mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi tercapainya tujuan nasional. Pegawai

ASN harus menjaga netralitasnya dari pengaruh partai politik, untuk menjamin

keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN. Untuk memusatkan segala perhatian,

pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, maka pegawai ASN dilarang

menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik;

Seorang yang berkarir sebagai PNS seharusnya telah mengetahui bahwa

dirinya telah memilih untuk menjadi pengabdi dan pelayan masyarakat. Oleh

karenanya yang bersangkutan dituntut untuk konsisten dengan pilihan profesinya,

dalam hal ini sebagai PNS yang harus menjaga netralitas dari pengaruh partai

politik. Sehingga hak untuk menjadi anggota partai politik, yang sesungguhnya

dimilikinya, harus dikesampingkan. Hak berpolitik seorang PNS bukan berarti

dihapus dan hilang. Seorang PNS sebagai warga negara tetap memiliki hak pilih

dalam pemilihan umum Anggota Legislatif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,

maupun pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dengan hak pilih demikian pun

PNS harus tetap menjaga netralitas dan independensinya, bersikap adil dalam

melayani masyarakat dari semua golongan, sehingga tidak terjebak dalam politik

praktis, apalagi sampai memanfaatkan akses fasilitas publik dalam memenangkan

salah satu partai/calon. Dalam konteks itulah pembatasan terhadap hak

konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 harus

diletakkan;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 83: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

83

Berdasarkan pertimbangan pentingnya netralitas dan independensi PNS

untuk bersih dari pengaruh partai politik tertentu sebagaimana telah

dipertimbangkan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil permohonan para

Pemohon terkait Pasal 87 ayat (4) huruf c UU 5/2014 tidak beralasan menurut

hukum.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan

bahwa Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 tidak memberikan kepastian hukum karena

potensial merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk memajukan diri, untuk bekerja dan untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,

Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa hak untuk memajukan diri dan hak untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah hak yang termasuk ke dalam

kelompok hak-hak ekonomi dan sosial, sehingga tidak relevan dijadikan dasar untuk permohonan a quo yang mempersoalkan hak-hak sipil dan politik. Namun

dalam hubungan ini Mahkamah akan mempertimbangkan secara tersendiri.

UU 5/2014 mengembangkan sistem merit secara terintegrasi dalam

kebijakan dan manajemen ASN. Hal ini sebagai upaya mencapai cita-cita reformasi birokrasi membenahi ASN secara struktural dan kultural, membangun

aparatur negara lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas

umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Dalam konteks mensukeskan reformasi birokrasi maka sistem merit menjadi jawaban untuk menata ulang sistem

birokrasi nasional. Dengan sistem merit maka kebijakan dan menajemen ASN menerapkan asas fairness, baik dalam hal seleksi dan promosi yang harus dilakukan secara adil dan kompetitif; dalam sistem penggajian, reward dan

punishment yang berbasis kinerja; dalam standar integritas dan perilaku ASN yang

melayani untuk kepentingan publik; manajemen SDM secara efektif dan efisien melindungi pegawai ASN dari intervensi politik dan dari tindakan sewenang-

wenang demi mewujudkan birokrasi yang baik dan profesional sehingga

masyarakat dapat terlayani dengan baik;

Menurut Mahkamah untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang

mendasarkan pada sistem merit, maka setiap pegawai ASN harus memiliki

jabatan. Konsekuensi dari adanya jabatan adalah kinerja yang di dalamnya mengandung tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan, yang selanjutnya kinerja tersebut menjadi tolok ukur dalam penggajian, serta reward dan

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 84: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

84

punishment. Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 mengatur, ”Dalam hal tidak tersedia

lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama

2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.”. Sebagai

konsekuensi dari prinsip bahwa setiap pegawai ASN harus memiliki jabatan, maka

jika yang bersangkutan tidak memiliki jabatan dalam dua tahun maka akan diberhentikan dengan hormat. Karena pegawai ASN yang tidak memiliki jabatan

berarti yang bersangkutan juga tidak memiliki tugas dan tanggung jawab yang

melekat kepadanya, dan tidak ada kinerja yang dapat dijadikan tolok ukur untuk membayarkan penggajian;

Oleh karena itu menurut Mahkamah jika seorang PNS tidak menjabat

lagi sebagai pejabat negara, apabila hendak kembali berkarir sebagai pegawai ASN, maka yang bersangkutan harus menduduki jabatan, baik Jabatan Pimpinan

Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional (vide Pasal 124 ayat (1) UU

5/2014), sehingga yang bersangkutan memiliki tugas dan tanggung jawab yang melekat pada jabatannya tersebut. Jika yang bersangkutan tidak menduduki

jabatan maka tidak ada kinerja yang dilakukan, dengan kata lain yang

bersangkutan hanya menerima gaji tanpa melakukan pekerjaan. Hal demikian tentu tidak sesuai dengan sistem merit, dan terlebih lagi tidak memberi rasa

keadilan bagi pegawai ASN lainnya yang kinerjanya dijadikan tolok ukur untuk

sistem penilaian dan penggajian. Bahkan dari segi anggaran hal ini menjadi pemborosan bagi belanja pegawai karena ada pegawai ASN yang terus menerima

gaji namun tidak mempunyai kinerja. Untuk itu menurut Mahkamah akan lebih

memberi rasa keadilan dan kemanfaatan jika seorang PNS yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara, namun tidak menduduki Jabatan Pimpinan

Tinggi, Jabatan Administrasi atau Jabatan Fungsional, baik atas kehendaknya

sendiri ataupun karena tidak tersedia lowongan jabatan, diberhentikan dengan hormat;

[3.13.2] Bahwa meskipun Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 sesungguhnya sudah sejalan dengan sistem merit, namun Mahkamah memandang perlu untuk

mempertimbangkan lebih lanjut aspek kepastian hukum dan keadilan berkaitan

dengan berapa lama waktu yang layak diberikan bagi PNS yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi,

Jabatan Administrasi atau Jabatan Fungsional sebagaimana diatur dalam Pasal

124 ayat (1) UU 5/2014?

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 85: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

85

Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 memberikan waktu paling lama 2 (dua)

tahun kepada PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi atau Jabatan

Fungsional. Jika dalam waktu 2 tahun tidak tersedia lowongan jabatan ataupun

PNS yang bersangkutan memang tidak menghendaki untuk menduduki jabatan pada lowongan yang tersedia, maka yang bersangkutan akan diberhentikan

dengan hormat. Terhadap jangka waktu paling lama 2 tahun yang diatur dalam

Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014, Mahkamah mempertimbangkan apakah jangka waktu tersebut memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi PNS yang

bersangkutan. Dalam waktu 2 tahun apakah selalu tersedia lowongan jabatan?

Jikapun tersedia jabatan, namun dengan sistem seleksi pengisian jabatan yang kompetitif dan terbuka belum tentu yang bersangkutan terpilih untuk menduduki

jabatan tesebut. Padahal untuk dipilih ataupun ditunjuk sebagai pejabat negara,

pegawai ASN setidaknya harus memiliki kualifikasi yang baik, memiliki prestasi dan telah menempuh karier birokrasi yang cukup panjang;

Pasal 124 ayat (1) UU 5/2014 memang tidak mengharuskan PNS yang

tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, tetapi dapat juga menduduki Jabatan Administrasi atau Jabatan

Fungsional. Tetapi sangat manusiawi jika PNS yang tidak menjabat lagi sebagai

pejabat negara memilih untuk menduduki jabatan tinggi, apakah menjadi pejabat negara lainnya atau setidak-tidaknya menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi;

[3.13.3] Bahwa terkait dengan Jabatan Pimpinan Tinggi, Pasal 117 ayat (1) UU

5/2014 mengatur bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut, pergantian pejabat pimpinan

tinggi setidaknya akan terjadi setiap 5 tahun. Oleh karena itu, seorang PNS yang

tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara, lalu hanya diberi waktu 2 tahun untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dengan persaingan yang terbuka seperti saat

ini, maka yang bersangkutan akan mengalami kesulitan;

Memang terdapat cukup banyak Jabatan Pimpinan Tinggi di berbagai instansi, namun jabatan tersebut belum tentu lowong. Jikapun lowong maka yang

bersangkutan harus melalui proses pengisian jabatan dengan persaingan terbuka

dan kompetitif, sehingga belum tentu yang bersangkutan terpilih. Sedangkan PNS yang pernah menjadi pejabat negara, baik jabatan yang ditunjuk maupun dipilih,

pastilah termasuk PNS yang berprestasi. Untuk itu akan sangat disayangkan jika

PNS yang berprestasi dan masih bisa berkontribusi pada negara harus

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 86: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

86

diberhentikan dengan hormat karena jangka waktu 2 tahun sebagaimana

ditentukan Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014;

Atas pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa jika

jangka waktu yang diberikan kepada PNS untuk menduduki jabatan setelah tidak

menjabat lagi sebagai pejabat negara hanya 2 (dua) tahun sebagaimana ditentukan Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014, hal ini tidak proporsional jika

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) UU 5/2014 yang menyatakan

bahwa jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. Menurut Mahkamah jangka waktu untuk menduduki jabatan setelah tidak menjabat

lagi sebagai pejabat negara harus disesuaikan dengan masa menduduki Jabatan

Pimpinan Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (1) UU 5/2014 yaitu 5 (lima) tahun. Sehingga PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara

dapat lebih leluasa untuk mendapat kesempatan menduduki Jabatan Pimpinan

Tinggi, dan jika dalam jangka waktu 5 tahun yang bersangkutan tetap tidak menduduki jabatan, baik Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi Umum,

atau Jabatan Fungsional, barulah yang bersangkutan diberhentikan dengan

hormat;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,

terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 41/PUU-

XII/2014, bertanggal 8 Juli 2015. Mengenai pengujian konstitusionalitas Penjelasan

Pasal 119 dan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 menurut Mahkamah

sudah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Adapun permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 87 ayat (4) UU 5/2014

adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan dalil Pemohon mengenai

pengujian konstitusional Pasal 124 ayat (2) UU 5/2014 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 87: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

87

[4.3] Pokok permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal

119 dan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014 mutatis mutandis berlaku

pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014 bertanggal

8 Juli 2015;

[4.4] Pokok permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian

Penjelasan Pasal 119 dan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) UU 5/2014

tidak relevan untuk dipertimbangkan;

[4.5] Pokok permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal

87 ayat (4) UU 5/2014 tidak beralasan menurut hukum;

[4.6] Pokok permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal

124 ayat (2) UU 5/2014 beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5494) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang mengenai frasa “2 (dua)

tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”;

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 88: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

88

1.2. Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5494), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”;

1.3. Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) selengkapnya menjadi, “Dalam hal tidak tersedia

lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu

paling lama 5 (lima) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan

dengan hormat”.

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

3. Permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 119, Penjelasan

Pasal 119, Pasal 123 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 123 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5494) tidak dapat diterima;

4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh

sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida

Indrati, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing-masing

sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh sembilan, bulan Oktober, tahun dua ribu lima belas, dan hari Senin, tanggal tiga puluh, bulan Mei, tahun dua ribu enam belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno

Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal lima belas, bulan Juni, tahun dua ribu enam belas, selesai diucapkan pukul 10.29 WIB,

oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap

Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Manahan M.P Sitompul, dan Suhartoyo, masing-masing

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 89: PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN ... dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28I ayat (1) (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

89

sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera

Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Arief Hidayat

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Wahiduddin Adams

ttd.

Aswanto

ttd.

I Dewa Gede Palguna

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

Manahan M.P Sitompul

ttd.

Suhartoyo

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Yunita Rhamadani

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]