PROTES SOSIAL DI KAPAL PERANG: Pemberontakan Marinir ... · Kata Kunci: Protes Sosial, Kapal...
Transcript of PROTES SOSIAL DI KAPAL PERANG: Pemberontakan Marinir ... · Kata Kunci: Protes Sosial, Kapal...
75
PROTES SOSIAL DI KAPAL PERANG:
Pemberontakan Marinir Bumiputera di Kapal De Zeven Provincien 1933
Danil Mahmud Chaniago
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang
email: [email protected]
Umi Rusmiani Umairah
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang
email: [email protected]
Abstract
In the early 1930s the world community was hit by a very severe economic crisis.
History records this period as the Maleise Age, namely the dramatic decline in the
economic level of the world community. However, at this time precisely the Indonesian
independence movement could increase its resistance to the Dutch East Indies
government. This very precarious situation prompted de Jonge, the Governor-General,
to save government spending and tightly restrict the national movement of the
bumiputera (read: Indonesia). Not a few movement figures were later arrested and
exiled without going through a court process.
In turn, this economic and social crunch pushed the earth's marines on the battleship De
Zeven Provincien to carry out a rebellion while singing the song Indonesia Raya. The
government's injustice in terms of salary reduction is the main trigger for the emergence
of social protest. The government discretion is seen by the maritime marines as an act of
harassing their national values. Although this rebellion can be overcome, however, this
event shows the high spirit of unity among the marines of the Bumiputera. This spirit is
a reflection of the rise of national consciousness of the bumiputera, especially among
marines.
Keywords: Social Protests, Battleships, Bumiputera Marine Marines, De Zeven
Provincien Ships
Abstrak
Awal tahun 1930-an masyarakat dunia dilanda krisis ekonomi yang sangat parah.
Sejarah mencatat masa ini sebagai Zaman Maleise yakni menurunnya tingkat ekonomi
masyarakat dunia secara dramatis. Akan tetapi, pada masa ini justru kaum pergerakan
kemerdekaan Indonesia dapat meningkatkan perlawanannya terhadap pemerintahan
Hindia Belanda. Situasi yang amat genting ini mendorong de Jonge Gubernur Jenderal
melakukan penghemat belanja pemerintah dan mengekang secara ketat pergerakan
kebangsaan kaum bumiputera (baca: Indonesia). Tidak sedikit tokoh-tokoh pergerakan
yang kemudian ditangkap dan diasingkan tanpa melalui proses pengadilan.
Pada gilirannya, kegentingan ekonomi dan sosial ini mendorong marinir-marinir
bumi putera di Kapal Perang De Zeven Provincien melakukan pemberontakan sambil
mengumandangkan lagu Indonesia Raya. Ketidak adilan pemerintah dalam hal
pengurangan gaji merupakan pemicu utama munculnya protes sosial itu. Diskrepasni
pemerintah dipandang marinir-marinir bumiputera sebagai tindakan yang melecehakan
DOI: https://doi.org/10.15548/tabuah.v22i1.22
76 Protes Sosial di Kapal Perang:...
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora
nilai-nilai kebangsaan mereka. Meskipun pemberontakan ini dapat diatasi namun
bagaimanapun juga peristiwa ini menunjukkan tingginya semangat persatuan di
kalangan marinir bumiputera. Semangat ini merupakan cerminan bangkitnya
kesadaran kebangsaan kaum bumiputera, khususnya di kalangan marinir.
Kata Kunci: Protes Sosial, Kapal Perang, Pemberontakan Marinir Bumiputera, Kapal
De Zeven Provincien
PENDAHULUAN
Sejarah dunia mencatat, bahwa
jelang akhir tahun 1920-an masyarakat
dunia dilanda krisis ekonomi yang
sangat dramatis. Krisis ini berawal dari
melorotnya Bursa Saham New York
pada tanggal 24 Oktober 1929 dan
mencapai puncaknya lima hari
setelahnya. Depresi ekonomi ini tidak
hanya menimpa negara-negara industri
melainkan juga dirasakan oleh negara-
negara berkembang. Intinya, krisis
ekonomi ini telah memorak porandakan
perekonomian kota-kota besar di
seluruh dunia terutama yang
pendapatannya sangat bergantung pada
industri berat. Krisis ini juga memukul
perekonomian pedesaan yang sangat
bergantung pada sektor pertanian
lantaran harga produk sektor ini
mengalami penurunan secara drastis.
Depresi ekonomi yang meresahkan
masyarakat dunia ini berefek pada
memburuknya perekonomian
masyarakat Hindia Belanda. Pabrik-
pabrik yang terdapat di kota-kota besar
banyak yang tutup sehingga
menimbulkan pengangguran yang
hebat. Maraknya pengangguran
berakibat jutaan orang meninggal dunia.
Masyarakat desa pun merasakan
dampak depresi ekonomi ini. Betapapun
kerasnya pekerjaan yang mereka jalani
ternyata tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup. Dalam situasi seperti
ini semangat kesadaran nasional kaum
bumiputera tumbuh dan berkembang
hingga ke pelosok nusantara. Dalam
waktu yang bersamaan, terjadi peralihan
kekuasaan di pemerintah Hindia
Belanda. Gubernur Jenderal de Graeff
yang dikenal sebagai pemimpin
paternalistik dan liberal digantikan oleh
de Jonge yang konservatif.
Tidak lama setelah penobatannya
sebagai penguasa Hindia Belanda de
Jonge mengeluarkan kebijakan yang
mengekang secara ketat pergerakan
politik kebangsaan kaum bumiputera.
Iklim politik kebangsaan kaum
bumiputera berobah drastis. Kebebasan
berpolitik yang sebelumnya dirasakan
kaum bumiputera mulai dihambat.
Tidak sedikit tokoh-tokoh pergerakan
yang dilarang berpidato bahkan banyak
di antar tokoh itu yang kemudian
ditangkap dan diasingkan agar tidak
dapat berhubungan dengan pengikutnya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda di
bawah komando de Jonge memiliki
hak-hak luar biasa. Senjata inilah yang
digunakan de Jonge untuk menghambat
lajunya kesadaran kebangsaan kaum
bumiputera.
Kebijakan de Jonge lainnya
adalah melakukan pengetatan anggaran
belanja negara di seluruh instansi
pemerintah. Dari sekian banyak
penghematan itu, penurunan gaji
marinir mempunyai tempat tersendiri
dalam sejarah bangkitnya kesadaran
kebangsaan Indonesia. Sebab,
penurunan gaji itu berakibat timbulnya
pemberontakan para marinir bumiputera
(baca: Indonesia) di atas kapal perang
milik Angkatan Laut Pemerintah Hindia
Belanda, De Zeven Provincien. Tulisan
ini akan mencoba merekonstruksi
kembali peristiwa pemberontakan itu
dan bagaimana pemerintah kolonial
Hindia Belanda menyikapinya?
Danil Mahmud Chaniago dan Umi Rusmiani Humairah 77
Volume 22 No. 1, Edisi Januari-Juni 2018
METODE PENELITIAN Langkah pertama untuk
menghasilkan tulisan ini adalah
mengumpulkan sumber-sumber sejarah
dalam bentuk tertulis. Selain
memanfaatkan koleksi pribadi
pengumpulan sumber ini juga dilakukan
pada perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Imam Bonjol Padang.
Sumber yang terkumpul kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan topiknya.
Selanjutnya dilakukan interpretasikan
terhadap sumber-sumber tersebut
sehingga menghasilkan fakta-fakta
sejarah. Langkah terakhir adalah
merekonstruksi kembali peristiwa yang
menjadi objek kajian dan kemudian
menuliskannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sekilas tentang Kapal Perang Seven
Provincien
De Zeven Provincien adalah kapal
perang milik Pemerintah Hindia
Belanda. Kapal ini diproduksi tahun
1908 dan mulai digunakan tahun 1910.
Alat tempur ini dikenal sebagai kapal
hukuman. Pada masanya, kapal ini
merupakan kapal perang terbesar yang
dimiliki Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Pemerintah kolonial
menjadikan kapal perang ini sebagai
tempat karantina bagi marinir-marinir
yang indisipliner dan atau kurang cakap
dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya. Artinya, kapal ini
menjadi tempat marinir-marinir baik
dari kalangan Belanda atau Eropa
maupun kaum bumiputera untuk
memperbaiki diri. Kecuali itu, kapal
perang kebanggaan pemerintah kolonial
ini juga menjadi tempat pelatihan bagi
marinir-marinir bumiputera setelah
mendapat pendidikan pelayaran di
Sekolah Pendidikan Dasar Pelaut
Bumiputera (Kweekschool voor
Inlandse Schepelingen) di Makassar.1
1 Lebih lanjut tentang ini lihat
umpamanya dalam Mollema, Rondom de
Muiterij op De Zeven Provincien, (Harleem,
1934), h. 103.
Pada tahun tahun 1919 dan 1920 De
Zeven Provincien mengalami kerusakan
berat yang mengharuskannya naik dok
dalam waktu yang cukup lama. Kapal
ini mempunyai bobot tidak kurang dari
6,530 ton, panjangnya sekitar 101, 50
meter dan lebar sekitar 17,10 meter.
Kapal ini memiliki berbagai
persenjataan berat, bahkan meriamnya
terbesar di antara kapal-kapal yang ada
di Hindia Belanda. Meskipun demikian,
daya dan ketepatan menembaknya
tergolong lemah lantaran panel bidiknya
lemah dan sering mengalami kerusakan.
Kelemahan lainnya dari kapal perang
ini adalah tidak memiliki alat penangkis
serangan udara dan kecepatannya pun
kurang. 2 Namun demikian kapal ini
merupakan satu-satunya kapal perang
besar yang dimiliki pemerintah Hindia
Belanda untuk pelayaran yang luas dan
membutuhkan awak dalam jumlah yang
banyak.
Latar Belakang Pemberontakan
Pemangkasan anggaran belanja
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal
de Jonge menjadi pemicu munculnya
pemberotakan. Berawal dari adanya
pemotongan gaji pegawai pemerintah
sebesar 5 % yang berlaku sejak tanggal
1 Juli 1931. Hal serupa terjadi lagi pada
awal tahun 1932. Pemotongan gaji
hingga 10 % ini juga berlaku bagi
anggota marinir bumiputera yang
mempunyai gaji jauh lebih kecil
dibanding marinir-marinir Belanda.
Jelang akhir tahun 1932 perekonomian
pemerintah semakin terpuruk, karena itu
dilakukan kembali pemotongan gaji.
Kali ini pemotongan sebesar 7% untuk
semua pegawai pemerintah. Jadi, dapat
waktu kurang dari setahun pemerintah
telah melakukan pemotongan gaji
semua pegawainya baik yang berada di
negri induk maupun di daerah koloni
(baca: Hindia Belanda) sebesar 17 %.3
2 Ibid. 3 Dirjen Bansos, Citra dan Perjuangan
Perintis Kemerdekaan, Seri Pemberontakan di
78 Protes Sosial di Kapal Perang:...
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora
Tidak lama setelah pemerintah
pengumumkan pemotongan gaji untuk
yang ketiga kalinya, Komandan
Angkatan Laut Hindia Belanda,
J.F.Osten menyampaikan keberatannya.
Dalam suratnya kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Osten
menyebutkan bahwa marinir tidak bisa
diperlakukan sama dengan pegawai sipil
pemerintah. Sebab, mereka mempunyai
kedudukan yang istimewa.4 Nada protes
juga dilontarkan oleh Mentri
Pertahanan, L.N. Deckers. Dalam
suratnya kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, dengan tegas Deckers
menyampaikan keberatannya dan
meminta pemotongan gaji marinir untuk
sementara waktu ditunda.
Terkait dengan persoalan ini
suratkabar Soaera Oemoem 5 yang
merupakan corong organisasi
pergerakan Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI) di bawah pimpinan Soetomo
memberitakan bahwa pada awal tahun
1933 telah dilakukan pertemuan
gabungan antara marinir-marinir
Indonesia dengan komandan dan
marinir-marinir Belanda untuk
membicarakan penurunan gaji. Dalam
pertemuan tersebut marinir-marinir
Indonesia dan Eropa sepakat untuk
melakukan pemogokan pada keesokan
harinya apabila rencana pemerintah
diteruskan. Dalam jadwal, pada tanggal
2 Januari 1933 De Seven Provincien
akan berangkat mengitari Sumatra
hingga awal Maret 1933.
Dalam suasana tegang tiba-tiba
datang berita dari Osten yang
menegaskan bahwa sementara
menunggu pembicaraan antara
pemerintah Hindia Belanda dengan
pemerintah Nederland maka
pemotongan gaji dari 10 % menjadi
17% ditunda dulu. Artinya gaji 1
Januari 1933 masih tetap dipotong 10%. atas Kapal Hr.Ms. De Zeven Provincien,
(Jakarta: Dirjen Bansos, 1980), h. 21. 4 J.C.H. Blom dan Touwen Bouwsma,
Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015), h. 2
5 Soera Oemoem, No. 2, 2 Januari
1933.
Bagi para awak kapal berita ini
sungguh menggembirakan, bahkan
mereka menyangka tidak akan ada lagi
penurunan gaji. Karena itu pada tanggal
2 Januari kapal dapat meninggalkan
pelabuhan Surabaya tanpa insiden apa-
apa. Apa yang terjadi kemudian ? Berita
telepon dari Osten ternyata hanya obat
penenang untuk sementara waktu,
sedangkan pimpinan Angkatan Laut di
Surabaya, Scalongne mengatakan
bahwa penurunan gaji pasti ada hanya
kapan tepatnya ia tidak tahu. Berita
yang simpang siur menambah keruwe-
tan.
Sementara itu Menteri Jajahan
dan Menteri Pertahanan di Negeri
Belanda melakukan perundingan dan
hasilnya ialah: gaji marinir Eropa di
Hindia akan dipotong jadi 4 %
sedangkan potongan untuk perwira
dengan masa dinas lebih dari 10 tahun
dikenakan potongan 7 %. Keputusan ini
dituangkan dalam Koninlijk Besluit No.
51 tanggal 21 Januari 1933 dan belaku
sejak 1 Februari 1933. Peraturan gaji
untuk awak kapal Indonesia akan diatur
kemudian. Ternyata pemotongan gaji
untuk para awak Indonesia lebih berat
lagi yaitu disamaratakan 17%, sedang
Angkatan Laut Belanda hanya 14 %.
Para awak kapal baru mendengar
keputusan ini tanggal 26 Januari 1933.
Dua hari kemudian mereka mengadakan
rapat dengan dalih halal bihalal di
bioskop Sabang untuk mengelabui
polisi karena sebenarnya pertemuan itu
dilakukan untuk menentukan langkah
mereka selanjutnya.6
Suasana bertambah panas dengan
adanya berita penangkapan dan
penawanan 425 anak kapal Indonesia di
Surabaya, lagi pula gaji awak kapal
Indonesia diturunkan lebih banyak dari
awak kapal Belanda. Keadaan yang
tegang terus menerus akhirnya berubah
menjadi suatu pemberontakan atau
6 "Karena Seven Proviencien dan
Ordonansi Golongan Belanda Tjemas dan
Beraksi" dalam Medan Ra'jat, No. 5, 10
Februari 1933, h. 1 dan Dirjen Bansos, Citra
dan Perjuangan….., h. 35.
Danil Mahmud Chaniago dan Umi Rusmiani Humairah 79
Volume 22 No. 1, Edisi Januari-Juni 2018
pengambi alihan kekuasaan terhadap
kapal perang oleh awak kapal pada
tanggal 4 Februari 1933.7
Jalannya Pemberontakan Pada tanggal 2 Januari 1933 De
Zeven Provincien memulai
pelayarannya dari Surabaya menuju
Sumatera. Awak kapal berjumlah 397
orang yang terdiri dari 141 marinir
Eropa dan 256 marinir bumiputera.
Selain untuk unjuk kekuatan perjalanan
kapal perang ini juga sebagai sarana
pelatihan bagi siswa-siswa Pendidikan
Dasar Pelaut Bumiputera (Kweekschool
voor Inlandse Schepelingen) yang
berjumlah sekitar 80 orang. 8 Setelah
menempuh perjalanan tidak kurang dari
sebulan pada hari Jum’at tanggal 3
Februari 1933 De Zeven Provincien tiba
di Banda Aceh. Tidak ada masalah
berarti selama perjalanan; suasana di
kapal sangat kondusif. Komandan kapal
ini sangat profesional, baik, ramah dan
dekat dengan bawahannya.
Sementara itu, di Surabaya terjadi
pemogokan dan unjuk rasa marinir
bumiputera yang bekerja di kapal-kapal
pemerintah, Peristiwa ini merupakan
reaksi dari keluarnya keputusan
pemerintah tentang penurunan gaji
marinir. Mulanya tidak banyak marinir
di Kapal De Zeven Provincien yang
tahu tentang hal ini. Karena itu suasana
di kapal perang tersebut tetap kondusif.
Kejadian di Surabaya berlangsung saat
De Zeven Provincien masih dalam
perjalanan ke tempat tujuan. Dalam
waktu yang tidak begitu lama, berita
tentang pemogokan dan unjuk rasa di
Surabaya sampai ke telinga marinir-
marinir bumiputera. Sejak itu,
muncullah pemikiran-pemikiran di
kalangan sekelompok kecil marinir
bumiputera untuk melakukan
pemogokan sebagai bentuk protes
7 "Karena Seven Proviencien dan
Ordonansi Golongan Belanda Tjemas dan
Beraksi" dalam Medan Ra'jat, No. 5, 10
Februari 1933, h. 3. 8 Blom dan Bouwsma, Ketika
Kelasi..., h. 10.
terhadap kebijakan pemerintah yang
menurunkan gaji mereka. Akan tetapi,
usaha pemogokan tidak berhasil. Hal ini
memicu ketegangan di kapal. Sejak itu,
komandan kapal bersama perwira-
perwiranya meningkatkan kewaspadaan
dan memperketat pengawasan.
Meskipun berbagai berita media
menyebutkan, bahwa hingga saat itu
situasi di kapal perang De Zeven
Provincien aman dan terkendali, namun
Osten tetap saja cemas dan khawatir.
Beberapa hari jelang ketibaan De Zeven
Provincien, Osten mengirim pesan
kepada Komandan De Zeven Provincien
agar meningkatkan kewaspadaan dan
menjaga agar kapal tetap kondusif. 9
Sejak itu, ruang radio diperketat
penjagannya. 10 Meskipun ketegangan
dirasakan semakin meningkat, namun
komandan kapal menganggap situasi
masih aman dan terkendali. Karena itu,
tindakan lebih jauh tidak dilakukan.
Jelang ketibaan De Zeven
Provincien di tempat tujuan, berita-
berita tentang pemogokan di Surabaya
semakin menyebar di kalangan
sekelompok kecil marinir-marinir
bumiputera. Kegagalan untuk
melakukan pemogokan di kapal memicu
mereka untuk mengambil alih kapal dan
membawanya kembali ke Surabaya.
Usaha pemberontakan ini dilakukan
sebagai bentuk solidaritas dan dukungan
terhadap aksi-aksi marinir bumiputera
di Surabaya yang melakukan
pemogokan kerja. Ketegangan semakin
memuncak dengan santernya berita-
merita media yang menyebutkan kapal
De Zeven Proviencien aman dan
terkendali; tidak ada gejolak yang
berarti karena semuanya dapat diatasi.
Berita ini semakin memicu kemarahan
sekelompok kecil marinir bumiputera.
Keinginan untuk memberontak tinggal
menunggu waktu. Bagi mereka
keputusan pemerintah yang
menurunkan gaji marinir tidak dapat
ditolerir.
9 Mollema, Rondom...., h. 118. 10 Blom dan Bouwsma, Ketika
Kelasi...., h. 13.
80 Protes Sosial di Kapal Perang:...
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora
Sehari setelah De Zeven
Provincien berada di Aceh, berita
tentang akan adanya pemberontakan
diketahui oleh beberapa perwira yang
kemudian menyampaikan kepada
komandan kapal yang ketika itu sedang
berada di darat. Akan tetapi, komandan
kapal tidak percaya sepenuhnya.
Namun, untuk memastikannya malam
sebelum terjadi pemberontakan
komandan kapal mengutus seorang
perwira untuk menyampaikan berita
tersebut kepada perwira yang
bertanggungjawab terhadap
keselamatan kapal.
Sebelum utusan komandan kapal
tiba, sekelompok kecil marinir
bumiputera menjalankan aksinya di
bawah pimpinan Paridja dan
Kawilarang. Mereka berhasil menguasai
tempat-tempat penyimpanan amunisi
dan menahan beberapa perwira kapal.
Sementara itu, Fels selaku
penanggungjawa kapal melarikan diri
ke darat, Untuk beberapa saat De Zeven
Provincien dalam keadaan tanpa
pimpinan. Hingga tampilnya van Boven
mengambil alih komando. 11
Pemberontakan dan upaya pengambil
alihan kapal ini terjadi pada tanggal 4
Februari 1933 jelang pergantian hari.
Saat kejadian, sebagian besar awak
kapal sedang berada di darat. Hanya
beberapa perwira saja yang tinggal di
kapal. 12 Pada mulanya, sebagaimana
yang dilaporkan oleh penguasa
setempat, pemberontakan dilakukan
oleh marinir-marinir bumiputera (baca
:Indonesia). 13 Akan tetapi, ternyata
tidak sedikit pula marinir-marinir Eropa
khususnya Belanda yang kemudian ikut
bergabung.14
11 Blom dan Bouwsma, Ketika
Kelasi...., h. 16. 12 Mollema, Rondom...., h. 124-125.
Lihat juga Blom dan Bouwsma, Ketika Kelas...,
h. 14. 13 “Pemberontakan pada Marine”,
Medan Ra’jat, No. 5, 10 Februari 1933, h. 5. 14 “Keriboetan pada kapal perang
Zeven Provincien”, Tjaja Soematra, No. 31, 8
Februari 1933.
Atas kejadian itu, Colijn
Menteri Urusan Jajahan memutuskan
untuk mengambil tindakan tegas
terhadap marinir-marinir yang
memberontak. Tidak lama setelah
kejadian ia langsung mengeluarkan
perintah untuk menumpas
pemberontakan bahkan kalau perlu
kapal perang yang membawa senjata
berupa meriam 28 cm sebanyak dua
buah, 4 buah meriam 15 cm, dan
beberapa meriam 7 cm ini
ditenggelamkan dengan torpedo. 15
Selain itu, Colinj juga mengeluarkan
perintah yang berisi larangan bagi
semua media pers untuk memberitakan
kejadian tersebut. Akan tetapi,
kenyataannya berita pembajakan itu
dalam waktu yang tidak begitu lama
cepat tersebar.
Tjatja Soematra, koran yang terbit
di Kota Padang memberitakan bahwa
saat kejadian di atas kapal perang
pemerintah kolonial Hindia Belanda itu
terdapat 16 0fficer yakni 9 Belanda dan
3 Indonesia selebihnya bangsa asing
lainnya dan 44 korpooral Belanda dan
Indonesia dan 184 marinir Indonesia.
Tjaja Soematra memberitakan :
“Waktoe pemberontakan terdjadi, 2
orang officier melompat ke dalam
sekotji motor jang telah diboeat roesak
sehingga terpaksa officier-officier itoe
mendajoeng dan dalam tempo 2
setengah djam baharoe mereka itoe
sampai kedaratan.” 16 Kedua orang
inilah yang melaporkan adanya
pembajakan kepada keamanan
setempat.
Pemberontakan ini dilakukan
sebagai protes atas pemotongan gaji
yang tidak adil dan sebagai pembebasan
awak kapal Indonesia yang
dipenjarakan di Surabaya. Peristiwa ini
tidak ada kaitannya gerakan politik.
Apalagi gerakan komunis yang sering
disangkakan oleh pejabat pemerintah.
Sehubungan dengan ini, Tjaja
15 “Pemberontakan pada Marine”,
Medan Ra’jat, No. 5, 10 Februari 1933, h. 5. 16 “Pemberontakan pada Marine”,
Medan Ra’jat, No. 5, 10 Februari 1933, h. 5.
Danil Mahmud Chaniago dan Umi Rusmiani Humairah 81
Volume 22 No. 1, Edisi Januari-Juni 2018
Soematra memuat isi kawat yang
dikirim pemberontakan kepada
pemerintah di Aceh tentang tujuan
pemberontakan. Tjaja Soematra
menulis ”...diharap diberitahoekan
kepada autoriteit2 sekali kali kami tidak
mempoenjai maksoed communist, tidak
hendak melakoekan kekerasan hanja
goena meprotest pemotongan gadji dan
penangkapan orang2 marine disebabkan
memprotes. Diatas kapal keadaan baik.
Tidak ada jang loeka. mendjalankan
dienst seperti biasa”.17
Surat Kabar Pandji Timoert
juga ikut memberitakan peristiwa yang
menggemparkan Hindia Belanda. Surat
kabar ini menyebutkan bahwa kapal
perang Pemerintah itu dikuasai
sepenuhnya oleh marinir-marinir
bumiputera dan akan dibawa kembali ke
Surabaya. Akan tetapi menurut Pandji
Timoer komando kapal akan diserahkan
kembali kepada Komandan Kapal De
Zeven Privincien sehari sebelum kapal
tiba di Surabaya. Pemberontakan
tersebut dilakukan sebagai protes atas
kebijakan pemerintah yang melakukan
pemotongan gaji. Para pemberontak
juga meminta pemerintah membebaskan
rekan-rekan mereka yang ditangkap
terkait aksi-aksi pemogokan di
Surabaya.18
Seminggu setelah
pemberontakan surat kabar Soeara
Soerabaja yang terbit di Surabaya
memberitakan peristiwa itu. Koran ini
mengkritisi media pers yang
memberitakan kejadian-kejadian di
kapal De Zeven Provincien tanpa
menyebutkan penyebab munculnya
peristiwa. Koran ini juga mengkritisi
Gubernur Jendral de Jonge yang
mengaitkan peristiwa itu dengan
kegiatan politik. Menurut Soara
Soerabaja, de Jonge tidak mengerti
persoalan karena beranggapan para
17 “Keriboetan pada kapal Seven
Provincien”, Tjaja Soematra, No. 32, 9 Februari
1933. 18 “Pemberontakan dalam Kapal
Perang De Zeven Provincien:, Pandji Timoer, 8
Februari 1933.
pemberontak berada di bawah pengaruh
gerakan nasional. Masih menurut
Soeara Soerabaja, keinginan untuk
memperbaiki ekonomi merupakan
pemicu munculnya pemberontakan.
Karena itu, Soeara Soerabaja sangat
menyesalkan media-media pers yang
tidak menjelaskan hal ini. Padahal,
rakyat khususnya penduduk bumiputera
perlu mengetahui hal tersebut.19
Santernya berita-berita tentang
pembajakan tersebut pada gilirannya,
mendorong pemerintah mengambil
tindakan keras. Sidang volksraad
menyetujui usul Colijn untuk membom
kapal tersebut. Akan tetapi sebelum
dilakukan pengeboman terlebih dahulu
dihimbau kepada pemberontakan untuk
menyerahkan diri. Demikianlah, pada
hari Jum'at tanggal 10 Februari 1933
komandan kapal yang dibajak itu,
mencoba menghubungi para
pemberontak dan meminta mereka
supaya menyerahkan diri dan kalau
tidak mau akan dilakukan tindakan
kekerasan. Selain itu diminta juga pada
para pemberontak supaya menaikkan
bendera dari kain putih setengah tiang.
Para pemberontak diberi kesempatan
selama 10 menit. Namun para
pemberontak tetap pada pendiriannya,
tidak mau menyerah. Akhirnya kapal
perang itu dijatuhi bom seberat 50 kg
dari ketinggian 1.200 meter. Bom itu
jatuh tepat di anjungan dan meledak.
Akibatnya, menimbulkan kerusakan
yang sangat parah. Selain itu, tidak
kurang dari 3 marinir Eropa dan 16
marinir bumiputera termasuk Paradja
tewas. Setidaknya, 25 yang mengalami
luka-luka 11 di antaranya luka berat; 3
marinir Eropa dan 8 marinir
bumiputera.20
Setelah peristiwa yang
menggemparkan Hindia Belanda itu, De
Zeven Privincien masih dapat berlayar
hingga ke Onrust (Kepulauan Seribu).
19 “Rassenwaan”, Soeara Soerabaja,
11 Februari 1933. 20 Ingelson, Jalan ke Pengasingan
Pergerakan Nasional Indonesia 1927-1934,
(Jakarta: LP3ES, 1983), h. 234.
82 Protes Sosial di Kapal Perang:...
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora
Para tahanan diturunkan di sini dan
dimasukkan ke dalam tahanan sebelum
diajukan ke mahkamah. Semua
pemberontak kemudian diajukan ke
pengadilan. Hukuman mereka 1,5
sampai 18 tahun penjara. Kawilarang,
selaku pemimpin pemberontakan
mendapat hukuman yang paling berat.21
Komandan dan perwira tinggi yang
terlibat langsung dalam peristiwa diadili
di Negri Belanda, sedangkan 16 perwira
lainnya diadili di Hindia Belanda.22
Penting dikemukakan bahwa
walaupun marinir-marinir bumiputera
yang terlibat dalam pemberontakan
kemudian mengaku mengagumi
pemimpin-pemimpin pergerakan seperti
Soekarno dan Soetomo tetapi mereka
menegaskan bahwa pemberontakan itu
sama sekali tidak dipengaruhi apalagi
dicampuri dan dikendalikan oleh
sesuatu partai politik. 23 Bagaimanapun
juga, peristiwa pemberontakan yang
telah menggegerkan iklim pergerakan
nasional itu membawa dampak yang
sangat besar bagi pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Bagi
pemerintah, apapun motifnya kerusuhan
dan pemberontakan itu telah menjadi
katalisator yang akhirnya meyakinkan
Gubernur Jendral Hindia Belanda, De
Jonge perlu segera diambil tindakan
keras terhadap gerakan-gerakan
perlawanan terhadap pemerintah.
PENUTUP
Pemberontakan marinir-marinir
bumiputera di kapal Perang De Zeven
Provincien pada tahun 1933 merupakan
gerakan protes sosial. Gerakan ini
dipicu oleh kebijakan pemerintah
Kolonial Hindia Belanda yang
mengurangi gaji marinir dan pegawai
21 Mollema, Rondom..., h. 204-205. 22 Blom dan Bouwsma, Ketika
Kelasi..., h. 31-32. 23 Dirjen Depsos, Citra dan
Perjuangan….,h., 14; John Ingelson, Jalan ke
Pengasingan…..., h. 234.
pemerintah lainnya sebanyak 17 %.
Pengurangan gaji marinir bumiputera
pun ternyata lebih besar dari gaji
marinir Eropa. Meskipun gerakan ini
bebas dari pengaruh politik karena
semata-mata memang perjuangan
ekonomi untuk memperbaiki kehidupan,
namun bagaimanapun juga gerakan
tersebut merupakan efek dari
bangkitnya kesadaran kebangsaan kaum
bumiputera. Peristiwa yang
menggemparkan Hindia Belanda ini,
sesungguhnya menunjukkan arti penting
persatuan dan kekuatan dalam
memperjuangan keadilan sosial. Para
pemberontak itu, terdiri dari berbagai
suku bangsa dan penganut agam yang
berbeda, tetapi mereka bersatu dalam
mewujudkan nasionalisme Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Blom, J.C.H., dan Touwen Bouwsma,
Ketika Kelasi Indonesia
Berontak 1933, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2015
Danil Mahmud Chaniago dan Umi Rusmiani Humairah 83
Volume 22 No. 1, Edisi Januari-Juni 2018
Dirjen Bansos, Citra dan Perjuangan
Perintis Kemerdekaan, Seri
Pemberontakan di Atas
Dirjen Depsos, Citra dan
Perjuangan….,h., 14; John
Ingelson, Jalan ke
Pengasingan…..., h. 234.
"Karena Seven Proviencien dan
Ordonansi Golongan Belanda
Tjemas dan Beraksi" dalam
Medan Ra'jat, No. 5, 10
Februari 1933
Kapal Hr.Ms. De Zeven Provincien,
Jakarta: Dirjen Bansos, 1980
“Keriboetan pada kapal Seven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 32, 9 Februari 1933.
“Keriboetan pada kapal perang Zeven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 31, 8 Februari 1933.
Mollema, Rondom de Muiterij op De
Zeven Provincien, Harleem,
1934
Soera Oemoem,No. 2, 2 Januari 1933.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan dalam Kapal Perang
De Zeven Provincien:, Pandji
Timoer, 8 Februari 1933.
“Rassenwaan”, Soeara Soerabaja, 11
Februari 1933.
Ingelson, Jalan ke Pengasingan
Pergerakan Nasional Indonesia
1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1983
Blom, J.C.H., dan Touwen Bouwsma,
Ketika Kelasi Indonesia
Berontak 1933, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2015
Dirjen Bansos, Citra dan Perjuangan
Perintis Kemerdekaan, Seri
Pemberontakan di Atas
Dirjen Depsos, Citra dan
Perjuangan….,h., 14; John
Ingelson, Jalan ke
Pengasingan…..., h. 234.
"Karena Seven Proviencien dan
Ordonansi Golongan Belanda
Tjemas dan Beraksi" dalam
Medan Ra'jat, No. 5, 10
Februari 1933
Kapal Hr.Ms. De Zeven Provincien,
Jakarta: Dirjen Bansos, 1980
“Keriboetan pada kapal Seven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 32, 9 Februari 1933.
“Keriboetan pada kapal perang Zeven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 31, 8 Februari 1933.
Mollema, Rondom de Muiterij op De
Zeven Provincien, Harleem,
1934
Soera Oemoem,No. 2, 2 Januari 1933.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
84 Protes Sosial di Kapal Perang:...
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan dalam Kapal Perang
De Zeven Provincien:, Pandji
Timoer, 8 Februari 1933.
“Rassenwaan”, Soeara Soerabaja, 11
Februari 1933.
Ingelson, Jalan ke Pengasingan
Pergerakan Nasional Indonesia
1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1983
Blom, J.C.H., dan Touwen Bouwsma,
Ketika Kelasi Indonesia
Berontak 1933, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2015
Dirjen Bansos, Citra dan Perjuangan
Perintis Kemerdekaan, Seri
Pemberontakan di Atas
Dirjen Depsos, Citra dan
Perjuangan….,h., 14; John
Ingelson, Jalan ke
Pengasingan…..., h. 234.
"Karena Seven Proviencien dan
Ordonansi Golongan Belanda
Tjemas dan Beraksi" dalam
Medan Ra'jat, No. 5, 10
Februari 1933
Kapal Hr.Ms. De Zeven Provincien,
Jakarta: Dirjen Bansos, 1980
“Keriboetan pada kapal Seven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 32, 9 Februari 1933.
“Keriboetan pada kapal perang Zeven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 31, 8 Februari 1933.
Mollema, Rondom de Muiterij op De
Zeven Provincien, Harleem,
1934
Soera Oemoem,No. 2, 2 Januari 1933.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan dalam Kapal Perang
De Zeven Provincien:, Pandji
Timoer, 8 Februari 1933.
“Rassenwaan”, Soeara Soerabaja, 11
Februari 1933.
Ingelson, Jalan ke Pengasingan
Pergerakan Nasional Indonesia
1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1983
Blom, J.C.H., dan Touwen Bouwsma,
Ketika Kelasi Indonesia
Berontak 1933, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2015
Dirjen Bansos, Citra dan Perjuangan
Perintis Kemerdekaan, Seri
Pemberontakan di Atas
Dirjen Depsos, Citra dan
Perjuangan….,h., 14; John
Ingelson, Jalan ke
Pengasingan…..., h. 234.
"Karena Seven Proviencien dan
Ordonansi Golongan Belanda
Tjemas dan Beraksi" dalam
Medan Ra'jat, No. 5, 10
Februari 1933
Kapal Hr.Ms. De Zeven Provincien,
Jakarta: Dirjen Bansos, 1980
“Keriboetan pada kapal Seven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 32, 9 Februari 1933.
Danil Mahmud Chaniago dan Umi Rusmiani Humairah 85
Volume 22 No. 1, Edisi Januari-Juni 2018
“Keriboetan pada kapal perang Zeven
Provincien”, Tjaja Soematra,
No. 31, 8 Februari 1933.
Mollema, Rondom de Muiterij op De
Zeven Provincien, Harleem,
1934
Soera Oemoem,No. 2, 2 Januari 1933.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan pada Marine”, Medan
Ra’jat, No. 5, 10 Februari
1933, h. 5.
“Pemberontakan dalam Kapal Perang
De Zeven Provincien:, Pandji
Timoer, 8 Februari 1933.
“Rassenwaan”, Soeara Soerabaja, 11
Februari 1933.
Ingelson, Jalan ke Pengasingan
Pergerakan Nasional Indonesia
1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1983
86 Protes Sosial di Kapal Perang:...
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora