Produktivitas Tiga Bangsa Kelinci Di Peternakan Rakyat...
Transcript of Produktivitas Tiga Bangsa Kelinci Di Peternakan Rakyat...
PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR
KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH
SKRIPSI
ROHMAH KUSUMA DEWI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ROHMAH KUSUMA DEWI. D14102001. 2006. Produktivitas Tiga Bangsa Kelinci di Peternakan Rakyat Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Pembimbing Anggota : Ir. Maman Duldjaman, MS.
Kelinci merupakan salah satu ternak potensial penghasil daging. Selain itu kelinci cepat berkembangbiak, mudah dipelihara, dan dapat hidup dengan lingkungan sederhana. Meskipun demikian, pada umumnya usaha kelinci masih menjadi peternakan keluarga dengan kapasitas kepemilikan yang tidak banyak. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan kelinci meliputi sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, rendahnya ketrampilan peternak, terbatasnya ketersediaan bibit dan pasar yang masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi produksi dan reproduksi kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White di Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2006. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 147 ekor kelinci Flemish Giant, 112 ekor English Spot dan 66 ekor kelinci New Zealand White. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila bangsa berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan menggunakan dengan program SAS 6.12.
Hasil analisis statistik pada bobot hidup ketiga bangsa kelinci menunjukkan adanya perbedaan yang disebabkan pengaruh bangsa, kelinci Flemish Giant memiliki bobot hidup lebih besar dibanding kedua bangsa kelinci yang lain. Koefisien keragaman yang tinggi pada bobot hidup kelinci muda dan jumlah anak sepelahiran dapat dijadikan dasar seleksi untuk bibit kelinci pedaging.
Rerata jumlah anak sepelahiran yang banyak terjadi adalah 6,23±2,39 ekor pada kelinci Flemish Giant, 5,12±1,14 ekor pada kelinci English Spot dan 5,50±3,27 ekor pada kelinci New Zealand White. Salah satu kendala dalam pengembangan ternak kelinci adalah tingkat mortalitas pada anak. Mortalitas anak yang terjadi umumnya karena penyakit. Penyakit yang sering terjadi yaitu diare, kembung dan kudis, oleh karena itu perlu adanya perbaikan manajemen pada pemeliharaan anak. Dengan perbaikan manajemen beternak melalui perkawinan dan pengaturan jarak beranak diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kelinci terutama pada kualitas ternak, dan jumlah anak yang dihasilkan.
Kata kunci: kelinci, produktivitas
ABSTRACT
Productivity of Three Breed Rabbits on Rural Husbandry at Pakunden Village, of Ngluwar Subdistrict, Magelang Regency Centra Java
Dewi, R.K., Mansjoer, S.S., Maman, D.
Rabbit is one of the non-ruminant meat producer which has a good potential from production and reproduction point of view. But not as good as in the real case where rabbit cultivation activity and management were not to anthusiasm, so it could influence on the productivity by lower it value. This research has been conducted at Pakunden village, of Ngluwar subdistrict, Magelang regency from March up to the end April 2006. The purpose of this research is to collect information about productivity (body weight, first mating age, gestation periode, litter size, mating periode and mortality) of Flemish Giant, English Spot and New Zealand White rabbits.
The data colletion method was by conducting interviews, using quistionnaire to twenty four farmers in Pakunden village. The primary data taken covered native rabbits population, per family ownership, body weight, first mating age, gestation periode, litter size, mating periode and mortality of Flemish Giant, English Spot and New Zealand White rabbits. Data was collected from 147 head Flemish Giants, 112 head English Spots and 66 head New Zealand White. Secondary data were obtained from the Village monography data. The result showed that Flemish Giant have a higer body weight and litter size than English Spot and New Zealand White. So Flemish Giant have a potential value to be developed as a meat producer. On this three breeds showed highest mortality rate (%) on kids, young and mature rabbits be sick by disease. Development of native rabbits in villages could be done early. Government and related institution could plan a cooperative program with villagers and make their village as cultivation village, provide them financial capital and develop husbandry management including improvement of feeding business management, disease prevention, and improvement of genetical quality at the next step and continuos husbandry extension.
Keywords: rabbit, productivity
ii
PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR
KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH
ROHMAH KUSUMA DEWI
D14102001
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR
KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH
Oleh
ROHMAH KUSUMA DEWI
D14102001
Skripsi ini telah disetujui dan akan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 21 September 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ir. Maman Duldjaman, MS. NIP. 130 354 159 NIP. 130 422 709
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur.Sc NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 3 November 1984
sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Ir. Supeni Adi Wiyono dan
Maslichah.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Plumpang I
Tuban, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di MTs
Negeri Babat, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002
di SMU 2 Darul Ulum Jombang.
Tahun 2002 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor me-
lalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa
Program Studi Ilmu Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti pendidikan, penulis masuk dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) 2003 dan 2004, Animal Breeding
Club (ABC) 2004, IKALUM (Ikatan Keluarga Alumni Darul Ulum), UKM Tenis
2002 dan 2003, selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang
diselenggarakan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Produktivitas Tiga Bangsa Kelinci Di Peternakan Rakyat Desa Pakunden
Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah” di bawah bimbingan Dr. Ir.
Sri Supraptini Mansjoer dan Ir. Maman Duldjaman, MS.
Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan pada
bulan Maret sampai akhir April 2006 di Kelompok Peternak Kelinci Mandiri
(KPKM) Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabuaten Magelang Jawa tengah.
Penelitian ini dilakukan atas dasar potensi ternak kelinci sebagai penghasil daging
cukup tinggi. Meskipun demikian, pada umumnya usaha kelinci masih menjadi
peternakan keluarga yang bersifat sambilan dengan kapasitas kepemilikan yang tidak
banyak. Kegiatan budidaya dan manajemennya masih sangat sederhana, sehingga
produktivitasnya masih rendah. Dengan terbentuknya suatu kelompok peternak
kelinci diharapkan perkembangan ternak kelinci lebih maju dan peternak mampu
menghadapi permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi produktivitas ternak kelinci di KPKM. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan bibit kelinci di Desa Pakunden
Kecamatan Ngluwar, sehingga desa penelitian mampu menjadi salah satu daerah
sentra pembibitan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Penulis selalu berusaha untuk melakukan perubahan dan dengan lapang
menerima semua saran dan kritik, karena itu merupakan salah satu jalan menuju
kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai sebuah
referensi bagi dunia peternakan khususnya paternakan kelinci di Indonesia.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN................................................................................................ i
ABSTRACT................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI.................................................................................................. v
DAFTAR TABEL.......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. ix
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
Latar Belakang................................................................................... 1 Peumusan Masalah ............................................................................ 2 Tujuan ................................................................................................ 2 Manfaat ............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
Kelinci ............................................................................................... 3 Bangsa kelinci....................................................................... 3
Lingkungan ........................................................................................ 6 Pakan..................................................................................... 6 Kadang .................................................................................. 7
Produktivitas ............................................................. ........................ 8 Bobot Badan ......................................................................... 8 Dewasa Kelamin ................................................................... 9
Perkawinan dan Kebuntingan ............................................... 10 Jumlah Anak Sepelahiran (Litter size).................................. 11 Mortalitas .............................................................................. 12 Selang Beranak ..................................................................... 12 Penyapihan............................................................................ 13
Pengembangan Ternak Kelinci ......................................................... 14
METODE....................................................................................................... 15
Waktu dan Lokasi .............................................................................. 15 Materi dan Alat .................................................................................. 15
Rancangan Penelitian......................................................................... 16 Peubah Produksi dan Reproduksi ........................................... 16 Peubah Populasi ...................................................................... 17
Prosedur Penelitian ........................................................................... 17 Persiapan Penelitian................................................................ 17 Pelaksanaan Penelitian............................................................ 17
Analisis Data...................................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 19
Keadaan Umum lokasi....................................................................... 19 Kependudukan ........................................................................ 20 Karekteristik Peternak Kelinci........................................................... 22 Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM)....................... 22
Identitas Peternak Kelinci ....................................................... 22 Populasi dan Kepadatan Ternak ......................................................... 24 Populasi Kelinci...................................................................... 25 Penjualan, Pembelian dan Pemotongan Kelinci ..................... 26 Mortalitas Kelinci ................................................................... 27 Pemeliharaan Kelinci .......................................................................... 28 Perkandangan.......................................................................... 28
Pakan Kelinci .......................................................................... 31 Produktivitas Kelinci .......................................................................... 33 Kaakteristik Tiga Bangsa Kelinci di Peternakan Rakyat Desa Pakunden........................................................................ 33 Bobot Hidup............................................................................ 34 Reproduksi .......................................................................................... 37 Umur Pertama Ternak Dikawinkan ........................................ 37 Lama Bunting ......................................................................... 38 Jumlah Anak Sepelahiran ....................................................... 38 Penyapihan.............................................................................. 39 Bobot Sapih............................................................................. 40 Jaak Waktu Pengawinan Kembali Setelah Beanak................. Prospek, Kendala dan strategi Pengembangan Ternak Kelinci .......... 41
SIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 44
Simpulan ............................................................................................. 44 Saran ................................................................................................... 44
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA.............. ...................................................................... 46
LAMPIRAN................................................................................................... 52
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Persentase Komposisi Pakan Kelinci ............................................….. 6
2. Jumlah Anak Sepelahiran Beberapa Bangsa Kelinci ……………...... 11
3. Kondisi Geografis Desa Pakunden ..................................................... 19
4. Penggunaan Lahan di desa Pakunden .....…………..……………….. 20
5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan ........……..…………....... 21
6. Identitas Responden Anggota KPKM .............…..………………….. 23
7. Jenis dan Jumlah Ternak di Desa Penelitian...................…………..... 24
8. Struktur Populasi Ternak Kelinci ...........……………………..……... 25
9. Faktor Penyebab Kematian pada Anak Kelinci .................................. 27
10. Jenis Bahan, Model dan Letak Kandang ............................................ 29
11. Frekuensi Pembersihan Kandang ....................................................... 30
12. Jenis Pakan dan Frekuensi Pemberian Pakan ..................................... 32
13. Rerata dan Koefisien Keragaman Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci .................................................................................... 35
14. Reproduksi Tiga Bangsa Kelinci ........................................................ 41
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bangsa Kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand
White.................................................................................................. 5
2. (a) timbangan kapasitas 2,5 kg, (b) timbangan pegas,
(c) keranjang kelinci, (d) pita ukur ................................................... 15
3. Disain Kandang Battery Bertingkat yang Banyak Terdapat
di Peternakan Rakyat ........................................................................ 30
4. Grafik Rerata Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci (Jantan) ................ 36
5. Grafik Rerata Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci (Betina)................ 36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Peta Kabupaten Magelang ...................................................………........ 53
2. Peta Kabupaten magelang ...……………………………………………. 54
3. Jumlah Panjualan, Pembelian dan Pemotongan tiga Bangsa Kelinci Berdasarkan Tingkat Umur dan jenis Kelamin ...........…………………. 55
4. Persentase Jumlah Anak Sepelahiran pada Induk ..............…………….. 56
5. Keragaman Pola dan Warna Rambut ....................................................... 56
6. Prospek dan Kendala pada Tiga Bangsa Kelinci ...................................... 57
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi ternak kelinci sebagai penghasil daging cukup tinggi, mengingat
kelinci cepat berkembangbiak, mudah dipelihara, dan dapat hidup dengan pakan
sederhana. Kelinci merupakan ternak yang cocok dijadikan sumber pangan karena
memiliki keunggulan, diantaranya yaitu memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga
efisien dalam penggunaan tempat dan kandang, mampu memanfaatkan pakan dari
berbagai jenis hijauan, sisa dapur dan hasil sampingan produk pertanian. Selain itu
daging kelinci mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan daging dari
ternak lain. Hal ini terlihat pada komposisi karkasnya yang rendah lemak, kholesterol
dan garam.
Kelinci dengan berbagai ragamnya menghasilkan lima jenis produk (4F+L)
yang dapat dimanfaatkan, yaitu daging (food), kulit bulu (fur), pupuk (fertilizer),
hewan kesayangan (fancy) dan hewan percobaan (laboratory animal). Kemampuan
biologis kelinci sangat tinggi, mampu melahirkan 10 kali per tahun dengan jumlah
anak enam ekor per kelahiran dan mencapai berat 2-3 kg pada umur 4,5-6,0 bulan
(Raharjo, 2005). Meskipun demikian, pada umumnya usaha kelinci masih menjadi
peternakan keluarga yang bersifat sambilan dengan kapasitas kepemilikan yang tidak
banyak. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan kelinci meliputi sistem
pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, rendahnya ketrampilan peternak,
belum adanya seleksi yang terarah untuk meningkatkan mutu genetik, terbatasnya
ketersediaan bibit dan pasar yang masih sangat terbatas.
Terbentuknya suatu kelompok peternak kelinci diharapkan perkembangan
ternak kelinci lebih maju dan peternak mampu menghadapi permasalahan yang ada
dalam budidaya. Salah satu kelompok peternak kelinci di Magelang adalah
Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM). Kelompok ini berada di Desa
Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang yang telah berdiri sejak
Oktober 2002, dan pada saat ini beranggotakan 24 peternak. Jenis kelinci pedaging
yang banyak dikembangkan adalah Flemish Giant, English Spot dan New Zealand
White. Masih berkembangnya usaha peternakan kelinci di Jawa Tengah dapat
dijadikan pertimbangan untuk melakukan pemetaan wilayah pengembangan
peternakan. Oleh karena itu perlu digali faktor-faktor yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan dan masalah- masalah yang harus segera dipecahkan.
Perumusan Masalah
Belum adanya data produktivitas untuk dijadikan patokan kualitas dan masih
rendahnya produktivitas serta mutu hasil ternak kelinci, terutama pada pemeliharaan
skala kecil, yang diakibatkan kurangnya pengetahuan manajemen pemeliharaan
merupakan suatu hambatan berkembangnya ternak kelinci. Informasi produktivitas
ternak kelinci di peternakan rakyat diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
peningkatan budidaya kelinci.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi produksi dan
reproduksi kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White yang
dipelihara oleh anggota Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) Desa
Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
dalam upaya pengembangan bibit kelinci di Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar dan
sekitarnya, sehingga desa penelitian mampu menjadi salah satu daerah sentra
pembibitan kelinci.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci (Orictologus Cuniculus)
Kelinci piaraan mula-mula digunakan di Afrika dan dimanfaatkan untuk
bahan makanan di Asia kira-kira 300 tahun lalu, sedangkan di Eropa kelinci telah
dikonsumsi lebih dari 1000 tahun dan kelinci dibawa ke Amerika dan Eropa awal
tahun 1800-an (Blakely dan Bade, 1985). Dahulu kelinci (Oryctologus cuniculus)
dimasukkan ke dalam golongan rodensia, namun sekarang digolongkan ke dalam
ordo tersendiri yaitu Logomorpha (Chapman dan Flux, 1990). Diperkirakan kelinci
sudah dijinakkan pada abad pertama Sebelum Masehi dan peternakan kelinci dimulai
pada abad enam belas di Perancis. Pada awalnya terdapat dikawasan Eropa kemudian
menyebar ke Amerika, Australia dan Selandia Baru (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988).
Kelinci termasuk hewan yang sudah didomestikasi dan banyak dimanfaatkan
oleh manusia untuk produksi fur, daging, hewan percobaan atau binatang
kesayangan. Kelebihan ternak kelinci antara lain laju pertumbuhan yang cepat,
potensi reproduksi tinggi, dan memiliki kemampuan dalam mencerna pakan hijauan.
Kelinci mempunyai kemampuan untuk hidup dalam habitat yang bervariasi mulai
dari padang pasir hingga daerah subtropis. Kelinci mempunyai kebiasaan memakan
kotorannya sendiri (coprohagy), kotoran yang dimakan tersebut dimanfaatkan
sebagai sumber protein (Cheeke et al., 1982). Menurut Farrel et al. (1984), kelinci
merupakan ternak yang cocok dijadikan sumber pangan karena memiliki
keunggulan, diantaranya yaitu memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga efisien
dalam penggunaan tempat dan kandang, mampu memanfaatkan pakan dari berbagai
jenis hijauan, sisa dapur dan hasil sampingan produk pertanian. Selain itu daging
kelinci mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan daging dari ternak
lain. Hal ini terlihat pada komposisi karkasnya yang rendah lemak, kholesterol dan
garam.
Bangsa Kelinci
Menurut Gillespie (1992), sebagian besar bangsa kelinci dikenal sebagai
sumber daging dengan keragaman produksi yang besar. Bangsa kelinci yang populer
untuk produksi daging adalah New Zeland White dan California. Kedua bangsa ini
sering disilangkan untuk memperoleh produksi yang tinggi. Bangsa kelinci lainnya
adalah Angora sebagai penghasil woll dan Rex sebagai penghasil kulit bulu (fur)
yang mempunyai harga mahal.
Bangsa-bangsa kelinci dapat dihasilkan dengan tiga cara. Pertama, dengan
mengendalikan sifat-sifat yang diwariskan untuk menghasilkan warna tipe kulit-bulu
(fur). Timbulnya proses mutasi merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan
bangsa baru. Kedua, menghasilkan sifat-sifat yang tampak pada dua atau lebih
bangsa kelinci. Ketiga, adalah sistem seleksi untuk sifat-sifat khusus yang dilakukan
sampai derajat tertentu, sehingga strain yang diperoleh mempunyai sifat yang
berbeda dari bangsa aslinya. Semua cara ini dan keragaman sifat yang tampak telah
dimanipulasi untuk menghasilkan bangsa baru dalam varietasnya (Gillespie, 1992).
Flemish Giant. Kelinci Flemish Giant diduga merupakan keturunan dari kelinci
Patagonian di Argentina. Kelinci Patagonian ini dibawa ke Eropa pada abad ke-16
dan 17 oleh pedagang dari Belanda dan dikembangkan sebagai penghasil daging.
Pertama kali tercatat mengenai Flemish Giant sekitar tahun 1860, kelinci ini diimpor
ke Amerika pada awal tahun 1880. Flemish Giant merupakan kelinci terbesar yang
diperkenalkan oleh American Rabbit Breeders Association dengan bobot senior
(umur lebih dari 8 bulan) untuk betina sebesar 7,0 kg dan 6,5 kg untuk jantan (Horn
Rapids Rabbitry, 2004). Kelinci Flemish Giant mempunyai tipe bulu pendek yang
biasanya berwarna kelabu, disamping warna lainnya seperti kecoklatan, putih, fawn,
kebiruan dan hitam (NFFGRB, 2005).
Kelinci Flemish Giant memiliki panjang usia mencapai lima tahun bahkan
lebih. Bobot badannya minimal 5 kg dan tercatat dapat mencapai bobot badan 9,5 kg.
Umur mulai dikawinkan sekitar sembilan bulan dan anak-anak kelinci harus sudah
dilahirkan sebelum induknya mencapai umur satu tahun karena apabila induk
beranak pada umur lebih dari satu tahun tulang pelvisnya akan menyempit sehingga
sulit untuk beranak secara alamiah dan induk-induk tersebut tidak mampu lagi
beranak setelah berumur tiga tahun. Kelinci ini beranak cukup banyak, yaitu antara
5-12 ekor/litter (Petplanet.co.uk., 2004).
4
English Spot. Kelinci English Spot berwarna putih dengan tutul-tutul hitam, coklat
atau kuning emas pada daerah perut dan sekitar mata, telinga berwarna hitam.
Sepanjang punggung ada garis hitam sampai ke ujung ekor. Hidung diliputi bulu
hitam berbentuk kupu-kupu. Rerata bobot dewasa kelinci ini 3 kg dan memiliki
panjang usia mencapai lima tahun bahkan lebih. Idialnya kelinci betina mulai
dikawinkan sekitar 5-6 bulan dan anak-anak kelinci harus sudah dilahirkan sebelum
induknya mencapai umur satu tahun karena apabila induk beranak pada umur lebih
dari satu tahun tulang pelvisnya akan menyempit sehingga sulit untuk beranak secara
alamiah dan induk-induk tersebut tidak mampu lagi beranak setelah berumur tiga
tahun. Jumlah anak sepelahiran antara 3-5 ekor (Petplanet.co.uk., 2004).
New Zealand White (NZW). Menurut McNitt (2002), kelinci New Zealand White
merupakan kelinci untuk produksi daging komersial yang bangsanya berasal dari
U.S.A dan termasuk dalam spesies O. Cuniculus dari genus Orictolagus. Kelinci
tersebut memiliki ciri yang dibutuhkan antara lain memiliki laju pertumbuhan yang
cepat, kualitas karkas yang baik, keturunan yang banyak, dan sifat keindukan yang
baik. Kelinci ini paling banyak digunakan sebagai hewan paramedis, karena sifat
produksinya yang tinggi dan tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan,
memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, siklus hidup yang pendek,
dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
New Zealand White merupakan kelinci albino, tidak mempunyai bulu yang
mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal, agak kasar kalau diraba dan
mata merah (Petplanet.co.uk., 2004). Menurut Lebas et al. (1986), kelinci NZW
termasuk bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 3,5-4,0 kg. Gambar
kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Bangsa Kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand
White Sumber: Petplanet.co.uk. (2004)
5
Lingkungan
Performa reproduksi kelinci erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan,
selain itu yang mempengaruhi lainnya adalah nutrisi, genetik dan manajemen
(Lukefahr dan Mcnitt, 1983). Kelinci sangat peka terhadap suhu lingkungan yang
tinggi dan kelembaban yang tinggi. Suhu ideal untuk kelinci tergolong sejuk yakni
berkisar 15-20o C. Apabila suhu kandang lebih tinggi dari 27o C dapat menurunkan
produktivitas dan kemampuan berkembangbiaknya (Smith and Mangkoewidjojo,
1988), keseimbangan panas dalam tubuh terganggu karena suhu udara lebih tinggi
dari suhu yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan panas tubuh meningkat dan
mengganggu metabolisme (Suarjaya, 1985).
Pakan
Pakan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemeliharaan ternak,
selain faktor pemilihan bibit dan tata laksana pemeliharaan yang baik, sehingga
keberhasilan usaha peternakan banyak ditentukan oleh pakan yang diberikan.
Pemberian pakan dalam usaha peternakan perlu memperhatikan pemilihan bahan
pakan sebagai penyusun ransum yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
frisiologis pencernaan (Lestari, 2005).
Menurut Blakely dan Bade (1992), kelinci membutuhkan karbohidrat, lemak,
protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah kebutuhannya tergantung pada umur,
tujuan produksi, serta laju atau kecepatan pertumbuhannya. Data mengenai
kebutuhan nutrisi kelinci tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Komposisi Pakan Kelinci
Jenis Kelinci Protein Lemak Serat Abu
----------------------(%)---------------------
Pejantan aktif kawin, betina bunting, betina menyusui, anak-anak tumbuh 14-18 3-6 15-20 5-6
Betina kering, pejantan tak aktif, anak- anak mulai dewasa 12-14 2-4 20-28 5- 6 Sumber: James Blakely-David H. Bade (1992)
Kualitas pakan kelinci merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan, pembiakan, panjang umur, dan lain-lain. Makanan penguat dengan
serat kasar rendah cenderung memberi pengaruh yang lebih baik terhadap
6
kemampuan produksi ternak kelinci (Pudjiarti et al., 1984). Penambahan konsentrat
pada pakan hijauan kelinci dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian
(Basuki, 1985).
Penambahan ransum penguat pada kelinci New Zealand White sebanyak 40,
60 dan 80 g dengan kandungan protein kasar 19% dapat menghasilkan pertambahan
bobot badan 13,45±5,64 g; 13,66±2,77 g dan 14,01±2,71 g (Ismiyati, 1997). Menurut
Yurmiaty (1991) perbedaan tingkat pakan 20% cukup berarti terhadap pertumbuhan
bobot hidup. Tingkat pemberian pakan berpengaruh nyata terhadap pertambahan
bobot badan. Khotijah (1999) menyatakan bahwa dengan panambahan vitamin E
dalam ransum memberikan pengaruh positif terhadap palatabilitas yang lebih baik
dan pertambahan bobot hidup. Dalam hal ini disarankan penambahan vitamin E
dalam ransum adalah 100 mg/kg ransum.
Menurut Templeton (1955) dalam Suarjaya (1985), induk dengan bobot 4,5-
5,5 kg bersama tujuh anaknya menghabiskan 3,79 l air dalam 24 jam pada musim
panas. Kelinci New Zealand White membutuhkan air minum 280 ml/hari dan saat
menjelang beranak 560 ml/hari.
Kandang
Kandang didesain agar mudah dipakai, mudah untuk pengawasan (supervisi)
dan hewan merasa cocok serta mudah untuk mengeluarkan kotoran. Jenis kandang
dapat dikenal berdasarkan bentuknya.
1. Kandang segi empat, mempunyai rangka dari kayu dengan semua dindingnya
dari kawat ram berukuran 1cm2. Kandang ini dapat ditata di dalam ruangan atau
bangunan, sehingga diperoleh keefisienan tempat dan memudahkan cara
mengelola, membersihkan dan mengerjakan pemeliharaan pada ternak.
Kelemahan kandang dari kayu adalah seringnya digigit-gigit kelinci.
2. Kandang ”quonset” (quonset style cage), dasar kandang mempunyai bentuk segi
empat dengan luas sama seperti kandang persegi yang sesuai dengan kebutuhan
kelinci dewasa. Bagian atasnya tidak rata, yaitu dibuat cembung setengah
lingkaran. Jenis kandang ini seluruhnya terbuat dari kawat dengan ukuran yang
lebih besar (Herman, 2002).
Kotak sarang diperlukan untuk menyediakan tempat yang nyaman bagi induk
yang melahirkan, sekaligus tempat berlindung bagi anak-anak kelinci yang baru
7
lahir. Kotak sarang mempunyai berbagai bentuk, dari yang terbuka sampai yang
tertutup. Ukurannya tergantung pada ukuran tubuh kelinci berdasarkan bangsanya.
Penempatan kotak sarang bisa di dalam kandang atau dibawah lantai kandang
(Lebas et al., 1986).
Produktivitas
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Suhu,
kelembaban udara dan curah hujan merupakan faktor penting karena berhubungan
erat dengan iklim yang berpengaruh terhadap produktivitas ternak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terlihat pada saat suhu tubuh
meningkat dan menurunkan konsumsi makanan. Suhu tubuh yang naik karena
cekaman menyebabkan depresi dan reproduksi yang dapat mengakibatkan kelahiran
dan perkembangan anak prenatal menurun. Pengaruh secara tidak langsung meliputi
kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia, perkandangan, penyakit dan
manajemen. Bila ternak sulit beradaptasi terhadap lingkungannya maka produktivitas
akan rendah (Williamson dan Payne, 1993).
Menurut Adjisoedarmo et al. (1985) produtivitas yang berasal dari ternak
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor genetik, lingkungan dan interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan. Untuk memperoleh produksi yang optimal,
kemampuan genetik populasi ternak harus diketahui dan mengusahakan faktor
lingkungan yang optimal.
Bobot Badan
Pembagian bangsa kelinci menurut tipenya digolongkan menjadi empat
golongan yaitu kelinci tipe berat, kelinci tipe medium, kelinci tipe ringan dan kelinci
tipe kecil.
1. Bobot dewasa kelinci bangsa berat dapat mencapai lebih dari 5,0 kg. Potensi
pertumbuhan yang cepat dari bangsa ini dapat dimanfaatkan terutama dalam
proses persilangan. Bangsa kelinci yang termasuk ke dalam bangsa berat dapat
dijadikan bibit untuk meningkatkan laju pertumbuhan bangsa-bangsa kelinci
lainnya. Contoh dari bangsa berat ini adalah Boscant Giant White, French Lop,
Flemish Giant dan French Giant Papillon. Warna bulunya dapat bervariasi, bisa
putih, agouti, kelabu dan hitam.
8
2. Bangsa kelinci sedang mempunyai bobot dewasa antara 3,5-4,5 kg. Kelompok ini
merupakan kelompok bangsa yang biasa digunakan sebagai bibit dasar dalam
produksi kelinci daging. Contoh bangsa kelinci yang termasuk dalam bangsa ini
adalah Campagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White, English
Spot, Tan dan California.
3. Bangsa kelinci ringan mempunyai bobot dewasa antara 2,5-3,0 kg. Kelinci yang
termasuk dalam kelompok ini diantaranya: Himalayan, Chinchilla kecil, Dutch
dan French Havana.
4. Bangsa kelinci kecil mempunyai bobot dewasa sekitar 1,0 kg. Contoh bangsa
kelinci ini adalah Polish Rabbit dengan pola warna yang beragam. Seleksi untuk
ukuran kecil menyebabkan penurunan dalam hal laju pertumbuhan dan tingkat
fertilitas yang sangat rendah. Bangsa ini tidak dapat digunakan untuk produksi
daging, tetapi lebih cocok digunakan sebagai binatang peliharaan (Lebas et al.,
1986).
Menurut Adjisoedarmo et al. (1985), kelinci lokal Indonesia bertubuh kecil,
bobot dewasa hanya mencapai 1,8-2,3 kg. Warna bulu tidak spesifik, berwarna
hitam, coklat, putih, abu-abu polos atau berkombinasi diantara warna tersebut.
Kelinci lokal yang ada di Indonesia ada yang berasal dari Belanda (Dutch belted
rabbit) tetapi sudah beradaptasi lama di Indonesia dan lebih terkenal dengan nama
kelinci Jawa. Kelinci lokal mampu menghasilkan anak 1-9 ekor dalam satu kali
kelahiran.
Dewasa Kelamin
Kelinci mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan tergantung pada
bangsa, makanan dan kesehatan. Kelinci yang mendapat makanan dengan kualitas
baik dapat mencapai dewasa kelamin yang lebih dini. Kelinci betina tipe ringan
mencapai dewasa kelamin pada umur enam bulan, tipe sedang 5-6 bulan dan untuk
tipe berat 7-8 bulan (Herman, 1995). Menurut Lebas et al. (1986) timbulnya pubertas
sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh bangsa dan perkembangan tubuh. Bangsa
kelinci kecil atau medium, mencapai dewasa kelamin pada umur 4-6 bulan lebih
cepat daripada bangsa kelinci besar yang baru pubertas pada umur 5-8 bulan.
Perkembangan tubuh erat kaitannya dengan faktor nutrisi, sehingga betina yang
9
diberikan pakan ad libitum, dewasa kelamin tiga minggu lebih cepat daripada betina
yang diberikan pakan yang dibatasi.
Umumnya dewasa kelamin pada betina dicapai ketika pertumbuhan tubuhnya
mencapai 70-75% dari dewasa tubuhnya, akan tetapi biasanya perkawinan ditunda
sampai bobot hidupnya mencapai 80% dari bobot hidup dewasa. Kelinci jantan lebih
lambat mencapai dewasa kelamin meskipun telah memperlihatkan aktivitas seksual
pada umur dini, perkawinan yang fertil tidak tercapai sebelum berumur 8 sampai 10
minggu (Herman, 1995).
Perkawinan dan Kebuntingan
Cheeke et al. (1982) menyatakan, bahwa untuk mengetahui secara pasti
siklus estrus pada kelinci relatif lebih sulit dibandingkan pada hewan lain. Kelinci
tidak memiliki siklus estrus yang tetap seperti yang dialami oleh kebanyakan hewan
lain. Menurut Blakely dan Bade (1985), siklus estrus kelinci berbeda dari ternak lain,
pada saat selama 15-16 hari siklus estrusnya hanya satu atau dua hari terakhir betina
tidak siap kawin dan selebihnya siap menerima pejantan. Kebalikan dari siklus
berbagai ternak lainnya betina siap dikawini hanya beberapa hari selama estrus.
Kelinci jantan dapat melayani betina 10-15 ekor dan untuk keadaan normal tidak
seharusnya digunakan lebih dari 3-4 kali kawin seminggu, meskipun menurut
penelitian mengindikasikan lebih banyak frekuensi kawin lebih baik (Cheeke et al.,
1982).
Balfas (2002) menyatakan bahwa banyak induk yang mengalami abortus
pada minggu ketiga dan ada pula yang terjadi pada mingu pertama pada program
intensif. Diduga hal itu terjadi karena kurangnya nutrisi yang diberikan induk pada
fetus. Nutrisi yang diperoleh induk harus dibagi dua baik untuk fetus, maupun untuk
produksi susu. Kematian anak yang terjadi pada program ini mencapai 54,84%.
Lama bunting untuk kelinci secara normal berkisar antara 30-32 hari dengan
litter size yang beragam berdasarkan keturunan dan strainnya. Kebuntingan dapat
diketahui setelah perkawinan dengan cara palpasi (Gillespie, 1992). Menurut Herman
(1995), lama bunting beragam dengan bangsa dan strain, umumnya antara 30-33 hari
setelah fertilisasi. Sebagian besar induk beranak pada hari ke 31 setelah fertilisasi,
tetapi terdapat juga anak yang lahir pada hari ke 28 dan kadang-kadang setelah hari
ke 35. Kebuntingan yang lebih dari 35 hari tidak umum, kecuali terjadi kesulitan
10
pada induk. Terdapat korelasi negatif antara lama bunting dan jumlah anak yang
dilahirkan. Jumlah anak yang banyak menyebabkan masa bunting menjadi singkat
dan sebaliknya jumlah anak yang rendah menyebabkan masa bunting lebih lama.
Jumlah Anak Sepelahiran (Litter Size)
Jumlah anak per kelahiran, tidak hanya berpengaruh terhadap lama bunting,
akan tetapi juga mempengaruhi rata-rata bobot lahirnya. Jumlah anak sepelahiran
yang dihasilkan induk kelinci berbeda-beda, menurut Fielding (1991) umumnya 8-10
ekor. Menurut Adjisoedarmo (1985), kelinci lokal mampu menghasilkan anak 1-9
ekor dalam satu kali kelahiran, tetapi rataan litter size sebesar empat ekor dengan
berat lahir 49,78 g. Kelinci lokal ini lebih toleran terhadap lingkungan panas
Litter size ini bervariasi karena faktor genetik, musim, umur induk, periode
beranak dan ras. Perkawinan antara kelinci pejantan NZW dengan betina Grey Giant
menghasilkan litter size tertinggi, sedangkan perkawinan antara pejantan Grey Giant
dengan betina NZW menghasilkan litter size yang paling rendah. Musim dingin
menghasilkan litter size lebih banyak dan bobot hidup yang lebih berat, sedangkan
musim panas induk kelinci menghasilkan litter size lebih rendah. Induk pada periode
beranak partama menghasilkan litter size yang rendah (Rathor et al., 2000). Litter
size dipengaruhi oleh parameter yang sangat umum, diantaranya rata-rata ovulasi,
fertilisasi, dan ketahanan embrio (Fortune, 1998).
Tabel 2. Jumlah Anak Sepelahiran Beberapa Bangsa Kelinci
Bangsa Kelinci Jumlah Anak Sepelahiran
(ekor)
Polish 4
Angora, Beveren, Havana, Herlequin 4-5
Beaver, Belgian, Dutch, Lilac, Rex, Sable, Vienna White 6-7
Chinchilla, Frenc Lo, Flemish Giant, New Zealand White 8-10 Sumber: Hafez (1970)
Pada studi program produksi anak intensif dan semi intensif kelinci
persilangan di peternakan Swa Desa Tapos 1 Ciampea Bogor (Meilinda, 2002)
menyatakan bahwa litter size program produksi anak semi intensif pada kelahiran
11
pertama diperoleh sebesar 4-6 ekor dan 4-8 ekor pada kelahiran kedua. Untuk induk
yang dikawinkan dalam waktu 24 jam setelah beranak (program intensif) litter size
yang diperoleh sebesar 4-9 ekor dengan bobot lahir jauh lebih rendah dibanding
program semi intensif.
Hasil studi litter size pada kelinci dengan perbaikan manajemen Soeparman
(1996) menunjukkan bahwa kelinci persilangan yang diberi pakan 25, 50 dan 75 g
konsentrat dengan rumput lapang (ad libitum), rataan jumlah anak yang dilahirkan
berkisar antara 4,50±1,91 sampai 5,50±1,29 ekor. Bobot sapih yang dicapai dengan
penambahan konsentrat 25 g adalah 506,6±157,3 g; 521,3±138,0 g dengan
penambahan 50 g konsentrat dan 531,85±59,5 pada penambahan konsentrat 75 g.
Mortalitas
Menurut hasil penelitian Szendro et al. (1996) litter size dan bobot badan
berpengaruh pada kematian dan kematian meningkat seiring dengan peningkatan
litter size dan penurunan bobot lahir. Masa paling kritis pemeliharaan anak kelinci
adalah pada periode umur 0-1 minggu, dimana angka mortalitas yang paling tinggi
ditemukan dibandingkan pada umur 0-3 minggu (Gultom dan Aritonang, 1988).
Biasanya mortalitas anak kelinci sampai umur sapih cukup tinggi yaitu 26-59%
(Raharjo et al., 1993).
Dengan mortalitas yang rendah, total produksi yang dihasilkan untuk satu kali
periode beranak sampai umur sapih dapat mencapai 4,9-5,1 kg (Sartika dan
Zimmermann, 1994). Biasanya yang menyebabkan kematian tersebut antara lain
anak mati sejak dilahirkan, terjepit kandang, jatuh ke lantai, dimakan predator,
persaingan dalam menyusu, produksi susu induk yang kurang, terkena penyakit dan
pemeliharaan yang kurang baik (Sastrodihardjo, 1985).
Selang Beranak
Kelinci merupakan hewan yang unik yang dapat menerima perkawinan
kembali segera setelah melahirkan. Waktu yang terburuk dalam mengawinkan induk
kembali adalah 14-28 hari. Pada masa ini induk mengalami masa laktasi yang berat
dan bobot hidupnya menurun karena tubuhnya harus menyediakan susu untuk anak-
anaknya, laju konsepsi menurun dan dapat meningkatkan kematian serta anak yang
terlahir lemah (Patton and Grobner, 1988). Kondisi tubuh induk yang baik sangat
dibutuhkan sebelum induk tersebut kawin kemudian bunting dan menyusui anaknya.
12
Waktu yang dibutuhkan untuk bunting dan memelihara anak sampai disapih pada
umur satu bulan adalah dua bulan. Setelah anak disapih pada umur satu bulan
barulah induk dapat dikawinkan kembali (Herman, 1995).
Selang beranak adalah jarak setelah induk melahirkan hingga dikawinkan
kembali. Penentuan selang beranak dalam suatu peternakan kelinci terbagi tiga:
1) secara ekstensif, yaitu membiarkan induk mengasuh anaknya sampai umur sapih
5-6 minggu, kemudian baru dikawinkan kembali, jadi induk dikawinkan kembali
setiap 2,5 bulan setelah beranak,
2) semi intensif, yaitu induk dikawinkan kembali 10-20 hari setelah beranak yang
berarti induk kelinci bunting kembali selama masih menyusui anaknya. Anak
kelinci tersebut disapih pada umur 4-5 minggu, dan
3) secara intensif, yaitu pengawinan kembali tidak lama setelah beranak, biasanya
dilakukan oleh peternak yang ingin mengambil keuntungan untuk menghasilkan
banyak kelinci dan anak yang dilahirkan disapih setelah berumur empat minggu
atau 26-28 hari (Lebas et al., 1986).
Menurut hasil laporan penelitian Raharjo et al. (1993), di dataran rendah (400
m dpl) menunjukkan bahwa kelinci Rex mampu menghasilkan litter size 5,6±0,5
ekor kelahiran yang bervariasi dari pengaruh interval kelahiran 37 hari menghasilkan
litter size 5,6 ekor/kelahiran; interval 44 hari 5,9 ekor/kelahiran dan interval 51 hari
6,1 ekor/kelahiran; masing-masing menunjukkan tidak berbeda nyata. Data tersebut
dapat dihitung bahwa seekor induk kelinci Rex mampu 7-10 kali kelahiran/tahun,
dan menghasilkan sejumlah 40-60 ekor anak/pertahun.
Penyapihan
Umur penyapihan anak kelinci oleh peternak beragam. Empat puluh tiga
persen peternak kelinci melakukan penyapihan anak antara 46-60 hari (Sastrodiharjo,
1985). Menurut Szendro (1996), pengaruh bobot lahir pada pertumbuhan
berlangsung dari penyapihan sampai umur 12 minggu. Biasanya peternak menyapih
anak kelinci setelah berumur 40-50 hari, tergantung pada besar tubuhnya. Oleh sebab
itu jarak beranak dari dua kelahiran yang berturut-turut sedikitnya 85 hari (45 hari
sapih+10 hari istirahat+30 hari bunting). Keadaan ini akan mengurangi produksi
optimal kelinci, yang idealnya beranak 5-6 kali/tahun. Pencapaian target optimal
tersebut masih memerlukan pengamatan yang lebih mendalam khususnya tentang
13
perbaikan manajemen (perkawinan, penyapihan, nutrisi) dalam kondisi pedesan
(Adjisoedarmo et al., 1985).
Pengembangan Ternak Kelinci
Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensial besar dalam penyedia
daging dengan waktu yang relatif singkat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
konsumsi protein hewani masyarakat. Aspek yang menarik pada daging kelinci
adalah kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci
dapat dipromosikan sebagai daging sehat, namun untuk pengembangannya banyak
kendala yang dihadapi, antara lain sulitnya pemasaran, karena daging kelinci belum
populer dimasyarakat (Suradi, 2005).
Pada dasarnya faktor-faktor yang menentukan usaha peternakan dapat
digolongkan atas dua macam, meliputi:
1) faktor teknis biologis (zoo teknis) yang meliputi pemuliaan ternak, pakan,
perawatan, perkandangan, dan pengendalian penyakit;
2) faktor non teknis (bio ekonomi dan sosial) yang meliputi keadan sosial budaya,
daya beli masyarakat, pemasaran, keadaan gizi masyarakat, prasarana dan
perhubungan, dan lain-lain (Basuki, 1985).
Indonesia memiliki potensi hijauan pakan untuk ternak herbivora seperti
rumput di padang rumput, perkebunan maupun sisa hasil dan hasil ikutan tanaman
pangan. Wilayah yang banyak menyediakan hijauan pakan dapat menampung
populasi ternak (Prawiradiputra dan Purwantri, 1996).
14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2006 di
Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang.
Materi dan Alat Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah milik anggota Kelompok
Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) yang beranggotakan 24 orang. Jumlah kelinci
yang diamati sebanyak 325 ekor. Kelinci Flemish Giant (FG) terdiri dari 40 ekor
anak kelinci (umur ≤ 60 hari), kelinci muda jantan 13 ekor, kelinci muda betina 16
ekor, kelinci dewasa jantan 25 ekor dan kelinci dewasa betina 53 ekor. Kelinci
English Spot (ES) terdiri dari 45 ekor anak kelinci, kelinci muda jantan 11 ekor,
kelinci muda betina 17 ekor, kelinci dewasa jantan 13 ekor dan kelinci dewasa betina
26 ekor. Kelinci New Zealand White (NZW) terdiri dari 23 ekor anak kelinci, kelinci
muda jantan 12 ekor, kelinci muda betina 12 ekor, kelinci dewasa jantan 5 ekor dan
kelinci dewasa betina 14 ekor. Peralatan yang digunakan berupa timbangan kapasitas
2,5 kg (skala 10 g), timbangan pegas kapasitas 11 kg (skala 100 g), keranjang kelinci
dan pita ukur.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. (a) timbangan kapasitas 2,5 kg, (b) timbangan pegas, (c) keranjang kelinci, (d) pita ukur
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengamatan langsung pada
ternak kelinci. Lokasi penelitian ditentukan atas saran dinas pemerintahan Kantor
Informasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (KIPPK). Desa Pakunden merupakan
salah satu desa yang memiliki paguyuban peternak kelinci. Data yang diambil terdiri
dari data primer yang dikumpulkan melalui pengisian borang dari seluruh anggota
KPKM (24 orang). Data tersebut meliputi identifikasi keluarga, tingkat pendidikan,
jumlah ternak yang dimiliki peternak (jenis kelinci, jenis kelamin dan umur kelinci),
produktivitas kelinci dan manajemen pemeliharaan (perkandangan, pakan dan
penyakit). Data sekunder diperoleh dari instansi terkait meliputi jumlah penduduk,
potensi lahan, daya dukung lahan, populasi ternak dan hal-hal yang berhubungan
dengan produksi peternakan.
Pengelompokan ternak berdasarkan bangsa, umur dan jenis kelamin untuk
mengetahui bobot hidup. Pembagian umur terdiri dari: anak (umur 35-50 hari), muda
(umur 100-150 hari) dan dewasa (umur ≥ 180 hari).
Peubah Produksi dan Reproduksi
1. Bobot hidup dan bobot sapih, diperoleh dengan cara penimbangan menggunakan
timbangan gantung kapasitas 11 kg dan timbangan kapasitas 2,5 kg (satuan kg).
Penimbangan dilakukan pada pagi atau sore hari sebelum kelinci diberi makan.
2. Umur pertama ternak dikawinkan, diperoleh dari catatan peternak (pemilik)
kelinci melalui pengisian borang (satuan bulan).
3. Lama bunting, diperoleh dari catatan peternak (pemilik) kelinci melalui pengisian
borang (satuan hari)
4. Jumlah anak sepelahiran, diperoleh melalui pengamatan langsung dan catatan
peternak (satuan ekor).
5. Jarak waktu beranak ke pengawinan kembali, merupakan selang waktu setelah
induk melahirkan sampai dikawinkan kembali (satuan hari) yang diperoleh
melalui catatan peternak (satuan ekor).
6. Umur penyapihan, merupakan waktu saat anak dipisahkan dari induknya agar
tidak menyusu (satuan hari atau bulan).
7. Jenis pakan, jenis-jenis pakan yang diberikan pada kelinci dicatat dalam borang
yang diperoleh melalui pengamatan.
16
8. Jenis dan bentuk kandang, diperoleh dari pengamatan langsung bahan-bahan
pembuatan kandang, bentuk kandang dan luasan kandang (satuan m2).
Peubah Populasi
1. Jumlah ternak (jantan dan betina), diperoleh dari penghitungan jumlah kelinci
jantan dan betina yang dimiliki oleh semua responden (satuan ekor dan %).
2. Jumlah kelinci yang dibeli, yaitu berapa banyak kelinci yang dibeli peternak rata-
rata per bulannya (satuan ekor dan %).
3. Jumlah kelinci yanng dijual, yaitu berapa banyak dalam satu bulan peternak
menjual kelincinya (satuan ekor dan %).
4. Jumlah kelinci yang hilang dan mortalitas (satuan ekor dan %).
5. Jumlah kelinci yang dipotong untuk dikonsumsi (satuan ekor dan %).
Prosedur Penelitian
Persiapan Penelitian
Perijinan dilakukan sebelum melakaukan penelitian kepada instansi terkait,
yaitu Kantor Informasi Penyuluh Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Magelang.
Perijinan tersebut digunakan sebagai dasar hukum bahwa penelitian yang dilakukan
resmi dan diakui. Koordinasi dengan Kelompok Peternak Kelinci Mandiri terutama
dengan ketua kelompok diharapkan lebih mengenal situasi dan kondisi peternakan di
lokasi penelitian.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan survei langsung dari satu peternak ke
peternak lain dari seluruh anggota asosiasi (24 orang). Data yang diambil selama
penelitian meliputi identitas peternak, produktivitas ternak, dan manajemen
pemeliharaan sesuai dengan kuisioner yang telah disiakan. Identitas peternak
diperoleh dengan wawancara langsung pada peternak. Data produktivitas ternak dan
manajeman pemeliharaan diperoleh dengan pengamatan, penimbangan, dan catatan
yang dimililki peternak. Penimbangan bobot badan induk kelinci dilakukan sekali
selama penelitian. Penimbangan bobot anak kelinci dan bobot sapih kelinci yang ada
saat penelitian. Ukuran luas kandang dihitung per m2 per ekor dan dicatat bahan yang
digunakan. Data mengenai jumlah penduduk, potensi lahan, daya dukung lahan,
17
populasi ternak dan hal-hal yang berhubungan dengan produksi peternakan diperoleh
dari instansi Desa terkait.
Analisis Data
Data kelinci yang diperoleh pada setiap bangsa, jenis kelamin dan kelompok
umur dianalisis menjadi nilai rerata (Χ ), simpangan baku (s), dan koefisien
keragaman (KK) dengan prosedur statistik berikut:
Χ = n
xn
ii∑
=1
s = ( )
11
2
−
Χ−∑=
n
xn
ii
KK(%) = ( )%100Χs
Keterangan : adalah ukuran ke i dari peubah ix x dan n adalah jumlah sampel
yang diambil dari populasi (Walpole, 1995).
Untuk mempelajari pengaruh perbedaan rerata bobot hidup, umur pertama
ternak dikawinkan, lama bunting, jumlah anak sepelahiran, umur sapih, bobot sapih
dan jarak waktu pengawinan kembali setelah beranak, dianalisis dengan sidak ragam
(ANOVA) dengan model matematis menurut Steel dan Torrie (1995) sebagai
berikut:
Yij = µ + τi + єij
Yij = respon peubah yang diamati, µ = rataan umum, τ = pengaruh bangsa ke-i (i=1,2,3), dan єij = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j.
Apabila berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata Duncan
menggunakan program SAS 6.12 (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Desa Pakunden terdiri dari sembilan kampung, terletak pada ketinggian 202
m di atas permukaan laut (dpl) dengan kisaran suhu antara 27-32 0C dan kelembaban
berkisar antara 72 hingga 92%. Bentang lahan hanya terdiri dari dataran dengan luas
308,82 ha. Dilihat dari segi lingkungan Desa Pakunden kurang kondusif untuk
mendapatkan produktivitas yang optimal bagi kelinci. Menurut hasil penelitian
Suarjaya (1985), kelinci yang diberi perlakuan suhu kandang 30 0C mengalami
pertambahan bobot badan per minggu yang terendah (104,9 g) dibandingkan dengan
perlakuan suhu kandang 20-30 0C dan suhu kurang dari 20 0C yang dapat mencapai
pertambahan bobot badan 185,4 g dan 193,6 g/minggu. Lukhefahr dan Cheeke
(1990b) menyatakan bahwa, produktivitas kelinci dapat optimal pada kondisi
lingkungan dengan suhu udara 18 0C dan tingkat kelembaban udara 70%. Pada suhu
yang tinggi, yaitu 30 0C bobot hidup kelinci betina rendah, bobot total anak saat lahir
yang relatif rendah, pertumbuhan yang lambat dan ketahanan hidup yang rendah
pada anak kelinci (Fernandez et al., 1995). Data geografis Desa Pakunden disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Geografis Desa Pakunden
Uraian Pakunden
Luas desa (ha) 308,82
Ketinggian dpl (m) 202,00
Curah hujan (mm/thn) 1123,00
Suhu rata-rata (0C) 27,60
Bentang lahan (ha)
a. Dataran 308,82
b. Perbukitan/pegunungan -
Sumber: Data Monografi Desa 2005
Perkembangan ternak kelici di Desa Pakunden didukung dengan letak
wilayah yang tidak jauh dari tempat pemasaran. Pasar khusus untuk ternak kelinci di
Magelang telah berkembang dari tahun 2005, tepatnya di daerah Muntilan. Selain itu
kelinci biasanya dipasarkan di tempat-tempat wisata antara lain Borobudur dan di
wilayah Yogjakarta.
Data penggunaan lahan di Desa Pakunden disajikan pada Tabel 4. Areal
persawahan yang cukup luas di Desa Pakunden (60,88%) dengan hasil utama padi.
Potensi lahan untuk tanaman padi cukup baik dengan didukung adanya usaha
penggilingan padi, sehingga menjadikan desa tersebut sebagai salah satu desa
swasembada di Kecamatan Ngluwar. Dari hasil pertanian tersebut dapat dijadikan
sebagai salah satu sumber pakan ternak kelinci, yaitu sisa hasil produk pertanian
berupa dedak padi.
Tabel 4. Penggunaan Lahan di Desa Pakunden.
Penggunaan Lahan Persentase
(%)
Persawahan 60,88
Pekarangan/bangunan 27,52
Tegalan 2,59
Lain-lain (sungai, jalan dan makam) 9,01
Total 100,00
Sumber: Data Monografi Desa 2005
Tanah pekarangan yang dimiliki penduduk umumnya ditanami pohon kelapa,
aren, melinjo dan salak. Pohon kelapa yang tercatat dalam laporan monografi desa
berjumlah 975 pohon, lima pohon aren dan 298 pohon melinjo. Tanah tegalan
biasanya ditanami singkong atau kacang tanah, namun data produksi tanaman
tersebut belum tercatat pada laporan monografi desa baik untuk tahun 2005 maupun
ditahun-tahun sebelumnya. Adanya sungai di sekitar desa tersebut menyebabkan
banyak penduduk yang memelihara itik.
Kependudukan
Jumlah penduduk di Desa Pakunden sebanyak 3.703 jiwa, terdiri dari 929
kepala keluarga (KK). Komposisi penduduk pria dan wanita pada desa tersebut
hampir seimbang, persentase pria dan wanita adalah 51,34 dan 48,66%. Usia kerja
produktif merupakan salah satu faktor pendukung pengembangan ternak kelinci.
Persentase tenaga kerja produktif di Desa Pakunden sebesar 56,17%. Pada Tabel 5
dapat dilihat bahwa penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian jauh
lebih tinggi dibanding di luar sektor pertanian yaitu dengan persentase 64,81 dan
20
35,19%. Data tersebut dapat diasumsikan bahwa apabila anggota keluarga terlibat
dalam usaha tani secara efisien maka penduduk cukup potensial untuk
pengembangan usaha pertanian dan peternakan yang ada.
Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan di Desa Pakunden
Uraian Jumlah Persentase
(orang) (%)
Jumlah Penduduk (929 KK) 3703 100,00
Jenis Kelamin:
Pria 1901 51,34
Wanita 1802 48,66
Usia:
0-15 tahun 741 20,01
>15-50 tahun 2080 56,17
>50 tahun 882 23,82
Mata Pencaharian:
Sektor pertanian 2105 64,81
Di luar sektor pertanian 1143 35,19
Tingkat Pendidikan
SD 1125 35,60
SMP 594 18,80
SMA 654 20,70
S1 45 1,42
Tidak tamat SD 391 12,37
Tidak sekolah 351 11,11 Sumber: Data Monografi Desa 2005
Tingkat pendidikan penduduk di desa tersebut masih rendah, karena sebagian
besar (35,60) hanya sampai Sekolah Dasar. Penduduk yang mencapai tingkat
pendidikan SMP sebanyak 594 orang (18,80%), SMA sebanyak 654 orang (20,70%)
dan perguruan tinggi hanya 1,42%. Pendidikan cukup berpengaruh dalam
mengadopsi teknologi dan pengetahuan, selain itu faktor yang menentukan
keberhasilan usaha ternak kelinci yaitu adanya keinginan peternak untuk maju
21
dengan memperbanyak pengalaman dan tidak menutup diri untuk saling bertukar
informasi.
Karakteristik Peternak Kelinci
Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM)
Awal berdirinya Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) di Desa
Pakunden atas dasar keinginan masyarakat untuk dapat mengembangkan ternak
kelinci khususnya para penggemar kelinci. Adanya program pemerintahan yang
bertujuan untuk menjadikan Kabupaten Magelang sebagai salah satu daerah sentra
kelinci juga menjadikan faktor berdirinya KPKM. Kelompok Peternak Kelinci
Mandiri (KPKM) berdiri sejak Oktober 2002 dengan jumlah anggota 55 orang dan
populasi kelinci dewasa ±842 ekor. Pada saat penelitian berlangsung jumlah anggota
yang masih aktif dan memiliki kelinci hanya 24 orang. Penurunan anggota tersebut
disebabkan peternak tidak mampu menjamin kelanjutan usahanya, karena faktor-
faktor tertentu sehingga kelinci yang dimiliki telah habis. Faktor-faktor tersebut
antara lain kelinci telah terjual, kurang modal, sulitnya mendapatkan bibit serta
kematian.
Identitas Peternak Kelinci
Identitas responden peternak kelinci di Desa Pakunden disajikan pada Tabel
6. Peternak kelinci yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 91,67% sedangkan wanita
hanya 8,33%. Tujuan pemeliharaan ternak kelinci menurut responden sebagai
tambahan penghasilan, hobi menjadikan hewan kesayangan, konsumsi keluarga,
terutama dibutuhkan pada waktu tertentu, sebagai tabungan, karena dapat dijual
dengan cepat dan dari segi pakan yang mudah didapat yaitu rumput, dedak padi dan
ampas tahu. Rumput yang digunakan sebagai pakan kelinci adalah rumput lapang
yang didapat dari sawah, tegalan dan dipinggir-pinggir sawah. Limbah pertanian
dedak diperoleh dari tempat penggilingan padi maupun penjual makanan ternak,
sedangkan ampas tahu diperoleh dari perusahaan pembuat tahu yang berada di Desa
tersebut.
Usia peternak kelinci di Desa Pakunden 95,83% tergolong usia produktif.
Pendidikan dan ketrampilan merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam
melakukan suatu usaha. Persentase pendidikan peternak di desa Pakunden yang
terbanyak adalah Sekolah Menengah Umum, hal ini sangat berpengaruh terhadap
22
tingkat kemampuan peternak dalam mengadopsi dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Namun tidak hanya tingkat pendidikan yang dapat dijadikan tolak-ukur
cepat lambatnya adopsi teknologi, tetapi juga tempat yang mendukung informasi
cepat didapat.
Tabel 6. Identitas Responden Anggota KPKM
Uraian Jumlah Persentase
(orang) (%)
Jumlah Anggota 24 100,00
Jenis Kelamin
Pria 22 91,67
Wanita 2 8,33
Usia (thn)
< 30 2 8,33
30-50 21 87,50
> 50 1 4,17
Pendidikan
S1 2 8,33
SMA 12 50,00
SLTP 1 4,17
SD 6 25,00
Tidak sekolah 3 12,50
Pekerjaan
Tani 12 50,00
Buruh tani/tukang 3 12,50
Padagang/Wiraswasta 6 25,00
Peternak 2 8,33
PNS 1 4,17
Mata pencaharian responden umumnya sebagai petani, baik yang memiliki
lahan sendiri maupun sebagai buruh tani. Hanya sebagian kecil saja responden yang
bekerja diluar sektor pertanian, diantaranya sebagai pedagang/wiraswasta dan
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Beternak kelinci dapat dijadikan sebagai usaha
sampingan yang cocok untuk petani, karena waktu yang dibutuhkan untuk
23
merawatnya cukup singkat, selain itu limbah kelinci yang berupa kotoran, urin dan
sisa pakannya dapat dijadikan pupuk.
Populasi dan Kepadatan Ternak
Penyebaran dan kepadatan populasi ternak di suatu wilayah perlu diketahui
untuk mengetahui kemampuan daya tampung lahan di wilayah tersebut. Menurut
Murtidjo (1993), kapasitas tampung adalah kemampuan areal padang penggembalaan
atau kebun rumput untuk menampung sejumlah ternak sehingga kebutuhan pakan
hijauan cukup tersedia. Data Laporan Monografi Desa Pakunden per 27 Februari
2005 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis dan Jumlah Ternak di Desa Penelitian
Pemilikan Ternak Jumlah Persentase
(ekor) (ST) (%)
Sapi Perah - - -
Sapi Biasa/pedaging 82 58,50 1,53
Kerbau 55 46,25 3,24
Kambing/Domba 174 18,22 3,24
Kuda 1 1,00 0,02
Babi - - -
Ayam Kampung 3155 31,55 58,85
Ayam Ras 1500 15,00 27,98
Itik 394 3,94 7,35
Total 5361 174,46 100,00
Keterangan: ST: Satuan Ternak Sumber: Data Monografi Desa 2005
Ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat adalah ayam kampung, ayam
ras dan itik. Ternak sapi biasa/daging dan kerbau jumlahnya lebih sedikit dari ternak
lain dikarenakan sudah banyak penduduk yang tidak lagi menggunakan tenaga
kerbau atau sapi untuk membajak sawahnya melainkan dengan mesin traktor.
Berdasarkan data tersebut tidak didapatkan populasi sapi perah, hal ini disebabkan
keterbatasan modal, pakan dan pemasaran hasil produksi. Populasi ternak unggas
merupakan ternak terbesar di desa Pakunden. Pemeliharaan yang mudah dan tidak
memerlukan lahan yang luas untuk pemeliharaan mendukung ternak unggas lebih
berkembang.
24
Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa di Desa Pakunden terdapat 0,57
Satuan Ternak (ST)/ha. Berarti desa tersebut termasuk daerah minus ternak, karena
satuan ternaknya berbanding luasan lahan (ha) lebih kecil dari satu, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pengembangan ternak besar maupun kecil, karena
ternak yang dipelihara tidak berimbang dengan luasan lahan dan pakan yang tersedia
di alam.
Populasi Kelinci
Hasil survei terhadap paternak responden menunjukkan bahwa total populasi
kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White yaitu 651 ekor, Flemish
Giant merupakan kelinci dengan populasi tertinggi yaitu 341 ekor (54,82%), diikuti
kelinci English Spot 200 ekor (27,33%) dan New Zealand White 110 ekor (17,85%).
Kelinci Flemish Giant lebih diminati, karena ukurannya yang besar dan persentase
karkas yang tinggi. Menurut Lukhefahr (1981), Flemish Giant murni memiliki
persentase karkas tertinggi dan rasio daging:tulang yang sama seperti New Zealand
White. Meskipun demikian, karena rendahnya kualitas induk (mothering ability),
disarankan tidak menggunakan Flemish Giant murni pada produksi kelinci secara
komersial.
Tabel 8. Struktur Populasi Ternak Kelinci
Kelompok Flemish Giant English Spot NZW (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)
Anak ≤ 2bulan 208 61,00 103 51,50 65 59,09
Muda (100-150 hari):
Jantan 13 3,81 11 5,50 12 10,91
Betina 20 5,87 18 9,00 13 11,82
Dewasa:
Jantan 25 7,33 15 7,50 5 4,54
Betina 75 21,99 53 26,50 15 13,64
Jumlah 341 100,00 200 100,00 110 100,00
Peternak kelinci di Desa Pakunden kurang menyukai kelinci New Zealand
White, diduga karena kelinci tersebut telah banyak tercampur dengan kelinci lokal
25
yang memiliki ukuran tubuh kecil. Menurut Adjisoedarmo (1985), kelinci lokal
Indonesia bertubuh kecil, bobot dewasa hanya mencapai 1,8-2,3 kg.
Bardasarkan Tabel 8, jumlah kelinci betina dewasa lebih banyak dibanding
kelinci jantan. Hal ini karena kelinci betina mampu menghasilkan anak yang banyak,
sedangkan kelinci jantan dipelihara hanya untuk menjadi pejantan saja. Beberapa
peternak tidak memiliki kelinci jantan, untuk melakukan perkawinan dilakukan
peminjaman kelinci jantan milik tetangga. Kepemilikan kelinci dewasa jantan
berbanding betina kurang diperhatikan, dengan rasio perbandingan jantan dan betina
1:3. Perbandingan penggunaan jantan dan betina tidak berbeda dengan hasil
penelitian Khusnia (2001) yaitu di Desa Salajambe dan Mangunkerta 1:2, sedangkan
di Desa Galudra 1:3. Menurut Morrow (1994), rasio jantan dan betina yang baik
adalah satu banding sepuluh ekor. Perbandingan penggunaan pejantan dan betina
yang masih terlalu tinggi diperlukan optimasi penggunaan pejantan yakni dengan
tidak menjual semua anak kelinci maupun kelinci muda, melainkan harus menekan
pengeluaran kelinci betina yang akan dijadikan sebagai replacement stock serta
dilakukan seleksi pejantan yang lebih intensif.
Penjualan, Pembelian dan Pemotongan Kelinci
Total penjualan kelinci muda dan dewasa baik jantan maupun betina pada
bangsa kelinci Flemich Giant lebih tinggi dibanding kelinci English Spot maupun
New Zealand White. Penjualan kelinci muda Flemish Giant sebanyak 17 ekor atau
sebesar 19,05% dari penjualan kelinci Flemish Giant dan 43,59% dari total penjualan
tiga bangsa kelinci. Jumlah penjualan kelinci English Spot menempati urutan kedua
yaitu 20,51% untuk kelinci muda dan 7,69% kelinci dewasa dari total penjualan tiga
bangsa kelinci. Kelinci New Zealand White, penjualan tertinggi terjadi pada anak
yaitu sebesar 54,14% dari total penjualan New Zealand White atau sebesar 10,26%
dari total penjualan tiga bangsa kelinci, tingkat penjualan yang tinggi pada anak
disebabkan anak kelinci tersebut dijual sebelum lepas sapih bersama induknya.
Sistem penjualan kelinci biasanya telah ditetapkan oleh peternak yaitu dengan
sistem paket. Satu paket kelinci muda terdiri dari dua betina dan satu pejantan, tetapi
untuk penjualan induk tergantung permintaan pembeli. Tidak jarang peternak
menjual induk kelinci bersama anak-anak sepelahiran yang belum disapih. Harga
satu paket kelinci muda berkisar Rp 125.000,00 sampai Rp 200.000,00, kelinci
26
betina dewasa Rp 150.000,00 sampai Rp 225.000,00 dan kelinci jantan dewasa Rp
100.000,00 sampai 175.000,00.
Perbandingan antara penjualan dan pembelian kelinci yaitu 1:1 sampai 1:3.
Jumlah penjualan ternak yang lebih tinggi dibanding jumlah pembelian, dapat
menyebabkan kurangya bibit ternak pengganti, pembibitan tidak berjalan dengan
baik, karena ternak unggul telah ikut terjual dan peternak tidak dapat menjamin
kontinuitas produksi.
New Zealand White merupakan kelinci dengan tingkat pemotongan tertinggi
yaitu sebesar 71,43% dari jumlah pemotongan tiga bangsa kelinci. Pemotongan
kelinci dilakukan apabila ternak sudah terlalu tua, produksi rendah dan apabila
terjadi kecacatan pada kelinci baik bawaan dari lahir maupun akibat kecelakaan.
Selain itu pemotongan juga dilakukan secara sengaja untuk konsumsi keluarga
sebagai sumber protein hewani.
Mortalitas Kelinci
Selain penjualan, pembelian dan pemotongan, pengurangan jumlah kelinci
juga disebabkan oleh kematian. Kematian yang sering terjadi yaitu pada anak kelinci.
Mortalitas merupakan salah satu faktor yang menentukan efisiensi produksi suatu
usaha ternak. Menurut Sastrodihardjo (1985), biasanya yang menyebabkan kematian
antara lain anak mati sejak lahir, terjepit kandang, jatuh ke lantai, dimakan predator,
persaingan dalam menyusu, produksi susu induk yang kurang, terkena penyakit dan
pemeliharaan yang kurang baik. Faktor penyebab kematian anak kelinci di
peternakan rakyat Desa Pakunden disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Faktor Penyebab Kematian pada Anak Kelinci
Penyebab Kematian Flemish Giant English Spot New Zealand White
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)
Penyakit 33 46,48 11 37,93 6 33,33
Terinjak Induk 20 28,17 8 27,59 3 16,67
Predator 8 11,27 4 13,79 7 38,89
Kecelakaan 10 14,08 6 20,69 2 11,11
Total 71 100,00 29 100,00 18 100,00
27
Hasil survei menunjukkan tingkat kematian anak tertinggi disebabkan karena
penyakit. Penyakit yang biasa terjadi yaitu diare, kembung dan kudis. Penanganan
terhadap diare dan kembung dilakukan dengan cara pengurangan pemberian pakan
yang berkadar air tinggi dan sebelum hijauan diberikan dilayukan terlebih dahulu.
Kelinci yang menderita kudis dipisahkan dari kelinci yang lain, karena penyakit ini
cepat menyebar dan menular. Menurut Sardjono (1997), dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit kudis perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan
kelinci, karantina dan pengobatan.
Kematian anak kelinci Flemish Giant adalah 34,14% dari 208 jumlah anak
yang lahir, English Spot 28,16% dari 103 ekor jumlah anak yang lahir dan 27,69%
pada New Zealand White dari 65 ekor jumlah anak yang lahir. Hasil tersebut lebih
rendah dari penelitian Balfas (2002), rataan kematian anak pada sistem produksi
intensif dan semi intensif pada kelinci New Zealand White yaitu sebesar 54,84% dan
34,61%. Tingkat kematian anak kelinci yang lebih rendah diperoleh Khusnia (2001)
di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 16,31%-25,29%. Cara penanganan yang kurang
tepat, kualitas pakan yang rendah serta cuaca merupakan faktor-faktor yang berkaitan
dengan tingkat kematian anak kelinci.
Faktor kematian terendah karena terinjak induk terjadi pada kelinci New
Zealand White yaitu 16,67%. Lukhefahr et al. (1983), menyatakan bahwa New
Zealand White tekenal dengan sifat perindukan (mothering ability) yang baik. Selain
itu kematian anak kelinci juga disebabkan oleh predator yaitu tikus. Kecelakaan yang
terjadi pada kelinci disebabkan manajemen perkandangan yang kurang diperhatikan,
antara lain kandang berlubang sehingga kelinci bisa melompat keluar, penyusunan
bambu/kayu lantai kandang yang terlalu lebar dan kelalaian peternak tidak menutup
pintu kembali setelah memberi makan.
Pemeliharaan Kelinci
Perkandangan
Bahan kandang yang digunakan terdiri dari bambu, kayu dan kawat. Bahan
dinding kandang umumnya terbuat dari kawat (87,5%), bahan atap dari seng,
plastik/terpal, kayu/papan, dan genteng. Lantai kandang dibuat bercelah untuk
mempermudah kotoran dan urin ternak dapat jatuh ke tanah atau di tempat
penampungan, sehingga memudahkan membersihkannya.
28
Menurut Raharjo (2005), kandang kelinci dapat dibuat dari kayu, bambu atau
kawat. Kandang kawat lebih higienis dan terlihat bersih, namun dapat menyebabakan
luka pada kaki. Kandang alas bambu, lebih elastis dan tidak menyebabkan luka,
tetapi perlu dibersihkan setiap hari dan kesannya kurang bersih, serta lebih mudah
mengakibatkan diarhae pada kelinci. Kandang yang baik adalah kombinasi dari kayu,
bambu dan kawat.
Rerata ukuran kandang yaitu 69,71±6,72 cm untuk lebar, 81,47±13,89 cm
untuk panjang, dan 61,76±7,28 cm untuk tinggi. Menurut Raharjo (2005), ukuran
kandang kelinci induk minimal adalah 75x70x40 cm dan lebih besar lebih baik.
Ukuran kandang serupa dapat digunakan untuk anak lepas sapih, atau 2-3 ekor anak
umur 3-4 bulan. Jenis bahan, model dan letak kandang yang digunakan di peternakan
rakyat Desa Pakunden disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Jenis Bahan, Model dan Letak Kandang
Uraian Jumlah Responden Persentase
(orang) (%)
Jumlah Responden 24 100,00
Jenis Bahan Kandang:
Bambu dan Kayu 1 4,17
Bambu dan Kawat 2 8,33
Bambu, Kayu dan Kawat 21 87,50
Model Kandang:
Battery 16 66,67
Battery dan Postal 8 33,33
Letak Kandang:
Di dalam Rumah 3 12,50
Di luar Rumah 21 87,50
Sebagian besar masyarakat (66,67%) memilih membuat model kandang
battery (Gambar 3), yaitu kandang yang hanya diisi satu ekor kelinci dengan tujuan
untuk menghindari perkelahian antar kelinci. Model kandang battery bisa bebentuk
berjajar atau bentuk bertingkat. Kandang sistem postal mempunyai ruang yang lebih
luas, dengan setiap ruang diisi dengan beberapa ekor kelinci yang berjenis kelamin
sama. Kandang sistem ini biasanya digunakan untuk pembesaran atau panggemukan
29
kelinci yang telah disapih sampai menjelang dewasa. Kandang yang berisi 3-5 ekor
kelinci berukuran 100 cm untuk panjang, dan 75 cm untuk lebar.
Gambar 3. Disain Kandang Battery Bertingkat yang Banyak Terdapat Di
Peternakan Rakyat
Hasil penelitian Kurniawati (2001) menunjukkan bahwa rataan pertambahan
bobot hidup kelinci dengan kepadatan kandang 4 ekor/m2 lebih tinggi dibanding
kepadatan 8 ekor/m2 yaitu 13,418±2,754 g/ekor/hari dan 12,568±2,704 g/ekor/hari.
Secara statistik perbedaan kepadatan kandang tersebut tidak bebeda nyata terhadap
pertambahan bobot hidup (P>0,05), meskipun terdapat kecenderungan bahwa
kepadatan kandang 8 ekor/m2 pertambahan bobot hidupnya lebih rendah dibanding
kepadatan 4 ekor/m2.
Tabel 11. Frekuensi Pembersihan Kandang Frekuensi Jumlah Responden Persentase
(orang) (%)
1 kali/hari 5 20,84
2 kali/hari 9 37,50
2 kali/minggu 2 8,33
1 kali/minggu 6 25,00
1 kali/2 minggu 2 8,33
Jumlah 24 100,00
Peternakan yang baik, harus mencegah semua sumber penyakit yang
menyebabkan kelinci terganggu kesehatannya. Pengelolaan kandang tidak hanya
ditujukan untuk sanitasi, tetapi juga untuk kerapihan yang akan memberikan suasana
30
yang baik untuk bekerja, serta memberikan kepercayaan kepada pembeli bahwa
peternakan tersebut sangat baik.
Pembawa penyakit adalah insekta, kotoran yang menumpuk di dalam
kandang dan air minum yang tidak bersih. Kandang perlu dibersihkan dari kotoran,
urin dan sisa pakan, paling tidak satu kali sehari, termasuk tempat pakan dan tempat
air minum yang baru diberikan (Herman, 2002). Pada Tabel 11 memperlihatkan
bahwa kesadaran peternak akan kebersihan sudah cukup baik. Pembersihan kandang
dilakukan sebelum pemberian pakan pada pagi atau sore hari. Pembersihan kandang
yang dilakukan per minggu ditujukan untuk pengomposan. Sisa hijauan yang tidak
termakan dan telah bercampur urin dan kotoran dibiarkan dibawah kandang, setelah
1-2 minggu digunakan sebagai pupuk di sawah.
Pakan Kelinci
Peningkatan efisiensi pakan merupakan salah satu faktor yang senantiasa
diupayakan dalam usaha ternak, antara lain melalui pemanfaatan bahan pakan
potensial bagi kelinci dalam arti ketersediaan tinggi, komponen gizi memadai dan
harganya murah.
Pada Tabel 12 memperlihatkan bahwa jenis pakan/bahan pakan yang
diberikan pada ternak kelinci sebagian besar berupa campuran ampas tahu,
konsentrat, dan rumput lapang (33,33%). Perbandingan pemberian ampas tahu dan
konsentrat yaitu antara 20:1 sampai 10:1. Konsentrat yang diberikan yaitu konsentrat
sapi dengan harga ± Rp 2.500,00/kg. Pakan yang berupa hijauan diberikan ad
libitum.
Ampas tahu telah lama digunakan sebagai pakan ternak terutama ruminansia.
Selain itu juga digunakan untuk kelinci pada pola peternakan rakyat. Menurut
Murtisari (2005), pemberian ampas tahu untuk kelinci mampu memberikan respon
yang lebih baik, karena dapat meningkatkan bobot badan. Pada penelitian tersebut
ampas tahu diberikan sebagai konsentrat tunggal dan ampas tahu dikombinasikan
dengan bekatul, dibandingkan dengan pemberian bekatul bersama konsentrat
komersial. Ketiga macam konsentrat tersebut diberikan bersama rumput lapang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBBH yang diperoleh sebesar 31,95; 30,53 dan
33,95 g/ekor/hari.
31
Tabel 12. Jenis Pakan dan Frekuensi Pemberian Pakan
Uraian Jumlah Peternak Persentase
(orang) (%)
Jenis Pakan
RL 4 16,67
RL+D 2 8,33
AT+RL 6 25,00
AT+K+RL 8 33,33
AT+D+RL 1 4,17
AT+K+D+RL 3 12,50
Jumlah 24 100,00
Frekuensi Pemberian Pakan (per hari)
1 kali 1 4,17
2 kali 21 87,50
3 kali 2 6,33
Jumlah 24 100,00
Keterangan: RL : Rumput Lapang D : Dedak/bekatul AT : Ampas Tahu K : Konsentrat
Pakan komersial bentuk pelet yang merupakan campuran hijauan dan
konsentrat pada peternakan intensif dibuat dengan imbangan 50-60% hijauan, 50-
40% konsentrat (Ensminger, 1991). Dalam kaitannya dengan pemberian konsentrat,
Rahardjo et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya pada ternak kelinci Rex yang
diberi rumput lapang ad libitum (100%) dan rumput lapang ad libitum ditambah
konsentrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performans produksi terbaik
ditunjukkan oleh pemberian rumput lapang ad libitum ditambah 60 g konsentrat
dengan pertambahan bobot badan sebesar 1191 g/ekor, selama 12 minggu,
sedangkan pada kelinci yang diberikan rumput lapang ad libitum tanpa konsentrat,
pertambahan bobot badannya hanya sebesar 610 g/ekor.
Menurut hasil penelitian Patriansyah (2001), pemberian pakan (konsentrat
dan rumput lapang) secara ad libitum dapat memberikan pertambahan bobot badan
harian pada kelinci dengan pola warna bercak-bercak hitam (pola warna English
Spot) sebesar 30,240±6,190 g/ekor/hari, disusul oleh kelompok kelinci warna putih
(pola warna New Zealand White) yaitu 21,728±0,987 g/ekor/hari dan yang paling
32
rendah adalah kelompok kelinci dengan pola warna coklat yaitu 18,528±5,287
g/ekor/hari.
Umumnya pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi hari pada
pukul 06.00 dan sore hari pada pukul 15.00. Mengingat kelinci termasuk binatang
malam, dimana aktivitasnya lebih banyak dilakukan pada malam hari, maka
pemberian volume pakan terbanyak pada sore hari sampai malam hari (Muslih et al.,
2005). Menurut Harsojo dan Lestari (1988), kelinci yang diberi pakan dari pukul
18.00-06.00 bobot badannya lebih tinggi dibanding kelinci yang diberi pakan dari
pukul 06.00-18.00.
Peternak kelinci di Desa Pakunden tidak memberikan air minum ad libitum
pada kelincinya, hal ini karena ampas tahu yang diberikan sebagai pakan sudah
banyak mengandung air dan dikhawatirkan ternak sering minum akan menyebabkan
kembung. Air minum hanya diberikan pada kelinci yang sedang bunting dan
menyusui. Menurut Sanford (1979), air sangat diperlukan untuk melancarkan
makanan dalam saluran pencernaan, terlebih lagi terkait dengan produksi susu bagi
induk yang sedang menyusu. Hasil penelitian Suarjaya (1985) menunjukkan bahwa
konsumsi air minum/minggu/ekor pada kelinci lokal 1.354,4 ml dan kelinci impor
1.560,4 ml.
Produktivitas Kelinci
Karakteristik Tiga Bangsa Kelinci di Peternakan Rakyat Desa Pakunden Fenotipe kelinci yang dapat digunakan sebagai penciri yang khas dari suatu
bangsa kelinci adalah warna dan pola warna. Tiga bangsa kelinci yang diamati
mempunyai warna yang bervariasi. Bangsa kelinci Flemish Giant di peternakan
rakyat Desa Pakunden sebagian besar berwarna fawn (80%), coklat (12,50%), steel
gray (5,00%) dan warna hitam (2,50%). Pola warna yang banyak dijumpai adalah
white-belly (90,00%), yaitu warna yang lebih terang atau cenderung krem pada
bagian perut. Umumnya kelinci ini memiliki bobot dewasa lebih dari 3 kg, lebih
tinggi dibanding kelinci English Spot maupun New Zealand White.
Kelinci English Spot berwarna putih dengan tutul hitam, coklat, atau kuning
emas pada daerah perut dan sekitar mata, telinga berwarna hitam, dan sepanjang
punggung ada garis hitam sampai ke ujung ekor serta hidung diliputi bulu hitam
berbentuk kupu-kupu (Petplanet.co.uk., 2004). Kelinci yang disebut spot oleh
33
peternak diduga sebagai kelinci English Spot, dengan ciri-ciri warna putih dan pola
warna bercak pada bagian perut, punggung, daun telinga, hidung dan lingkar mata.
Warna bercak pada kelinci ini umumnya coklat (80%) dan bercak hitam (20%).
Menurut Lebas et al. (1986), New Zealand White merupakan kelinci albino,
bulunya putih dan mata merah, kelinci ini termasuk bangsa medium untuk produksi
daging komersial. Diduga kelinci New Zealand White yang ada dipeternak telah
terjadi persilangan dengan kelinci lokal. Kelinci hasil persilangan New Zealand
White dengan kelinci lokal biasa disebut peternak sebagai kelinci bligon. dengan
bobot hidup dewasa kurang dari 2,5 kg.
Cahyono (1998) menyatakan, bahwa kelinci yang memiliki pola warna coklat
memiliki rataan bobot hidup dan pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi
daripada warna putih atau hitam. Kulit yang berwarna coklat memiliki kadar tirosin
yaitu salah satu asam amino esensial, yang lebih banyak dibanding warna lain. Hal
itulah yang diduga menyebabkan kelinci warna coklat memiliki pertumbuhan yang
lebih cepat.
Bobot Hidup
Salah satu faktor untuk mengetahui kemampuan produktivitas ternak kelinci
yaitu dengan mengetahui bobot badan. Berdasarkan hasil analisis ragam bobot badan
kelinci pada Tabel 13 menunjukkan bahwa bobot hidup anak kelinci Flemish Giant
umur 35-50 hari lebih berat dibandingkan dengan kelinci English Spot dan New
Zealand White. Menurut tipenya, bangsa kelinci Flemish Giant berbeda dengan
bangsa English Spot dan New Zealand White. Meskipun demikian tidak semua hasil
analisis statistik bobot hidup bangsa kelinci tersebut menunjukkan perbedaan yang
nyata. Menurut Ozimba dan Lukhefahr (1991), perbedaan tersebut dapat disebabkan
karena beberapa faktor, antar lain keragaman genetik dan kemurnian bangsa yang
masih diragukan, kondisi dari masing-masing kelinci, lingkungan dan konsumsi
pakan.
34
Tabel 13. Rerata dan Koefisien Keragaman Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci Flemish Giant English Spot NZW
Bobot KK Bobot KK Bobot KK
(kg) (%) (kg) (%) (kg) (%)
Anak 35-50 hari 0,72±0,08A 11,11 0,58±0,05B 8,62 0,51±0,01C 1,96
Muda 100-150 hari:
Jantan 2,49±0,42a 16,87 2,42±0,43a 17,77 1,95±0,58b 30,01
Betina 2,20±0,34a 15,49 1,82±0,27b 14,92 1,65±0,26b 15,97
Dewasa ≥ 180 hari:
Jantan 3,41±0,52 15,36 3,43±0,65 18,87 3,01±0,23 7,48
Betina 3,38±0,44a 13,14 3,43±0,54a 15,64 2,73±0,50b 18,45
Kelompok
Huruf besar superkrip menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01) dan huruf kecil superskrip menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Keterangan: NZW = New Zealand White
KK = Koefisien Keragaman.
Menurut Gasnier (1948) dalam Wiradarya et al. (2005), pertumbuhan kelinci
terdiri dari lima fase, yaitu fase pertama umur 0-40 hari (periode lahir-sapih), fase
kedua umur 40-100 hari (saat disapih), fase ketiga umur 100-140 hari (periode
remaja), fase keempat umur 140-200 hari (saat kelinci mencapai keseimbangan
hormonal) dan fase kelima umur lebih dari 200 hari (saat kelinci mencapai dewasa
tubuh).
Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rofi’ah (2001) yang
menyatakan bahwa laju pertumbuhan kelinci persilangan dan kelinci Rex tidak
berbeda pada umur mulai enam minggu, tetapi pada umur sepuluh minggu kelinci
persilangan tumbuh lebih cepat dari kelinci Rex. Laju pertumbuhan kelinci Satin
pada minggu pertama pengamatan berjalan lambat, pada umur sembilan minggu
kelinci Satin mulai tumbuh lebih cepat, tetapi lebih rendah dari dua jenis kelinci yang
lain. Pada akhir pengamatan kelinci persilangan memiliki persentase pertambahan
bobot badan yang lebih tinggi dibanding dengan bangsa murninya, yaitu kelinci Rex
dan Satin. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis rataan pertambahan bobot
badan pada bangsa kelinci yang berbeda adalah tidak nyata. Hal itu dapat disebabkan
karena jumlah ulangan yang digunakan dalam penelitian terlalu sedikit. Grafik rerata
bobot hidup tiga bangsa kelinci disajikan pada Gambar 4 dan 5.
35
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
35-50 ±60 100-150 ≥180 Umur (hari)
Bobo
t Hid
up (k
g)
FG ES NZW
Keterangan: FG = flemish Giant ES = English Spot NZW = New Zealand White
Gambar 4. Grafik Rerata Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci (Jantan)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
35-50 ±60 100-150 ≥180 Umur (hari)
Bob
ot H
idup
(kg)
FG ES NZW
Keterangan: FG = flemish Giant ES = English Spot NZW = New Zealand White
Gambar 5. Grafik Rerata Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci (Betina)
Hasil survei bobot hidup anak kelinci Flemish Giant lebih rendah dari
penelitian Muryanto et al. (2005), bahwa pertumbuhan kelinci Flemish Giant baik
jantan maupun betina hampir sama. Pada umur sekitar 7-8 minggu rerata bobot
kelinci ini mencapai 0,81 kg, tetapi pada bobot hidup kelinci muda hasil survei lebih
tinggi yaitu 2,49±0,42 kg untuk kelinci jantan dan 2,20±0,34 kg untuk kelinci betina
sedangkan pada penelitian Muryanto et al. (2005), sekitar umur 18 minggu rerata
bobot kelinci jantan mencapai 1,84±0,29 kg dan 1,75±0,33 kg pada betina.
36
Bobot hidup kelinci English Spot yang ada di peternak Desa Pakunden tidak
jauh berbeda dengan pernyataan Meg Brown (1978) bobot kelinci English Spot
dewasa mencapai 2,7-3,6 kg. Pertumbuhan anak kelinci yang pesat, cocok untuk
penghasil fur dan daging. Meskipun adanya peluang potensi penghasil fur, karena
telah terjadi persilangan yang sudah tidak terkontrol di peternak menyebabkan bulu
kelinci English Spot ini lebih menyerupai bulu kelinci Flemish Giant atau New
Zealand White yang agak kasar.
New Zealand White merupakan kelinci yang potensial untuk dijadikan
sebagai penghasil daging karena pertumbuhannya cepat dan memiliki mutu genetik
yang tinggi (Blasco, 1996). Hasil survei bobot badan kelinci di peternak rakyat Desa
Pakunden memperlihatkan bahwa bobot badan anak kelinci New Zealand White
adalah 0,51 kg. Lebih rendah dari pernyataan Ozimba dan Lukefahr (1991), pada saat
anak kelinci umur 28 hari bobot badan yang dicapai sebesar 582,7 g.
Pada umur 100-150 hari rerata bobot hidup NZW adalah 1,95±0,58 kg untuk
jantan dan 1,65±0,26 kg pada betina. Hasil tersebut lebih rendah dari hasil penelitian
Khusnia (2001), kelinci yang dipelihara didataran rendah (300 m dpl) yaitu bobot
kelinci umur 100-140 hari adalah 2,15±0,21 kg untuk jantan dan 1,84±0,18 kg untuk
kelinci betina. Tetapi pada umur lebih dari 200 hari rerata bobot hidup kelinci di
Desa Pakunden lebih besar yaitu 3,01±0,22 kg pada kelinci jantan dan kelinci betina
2,72±0,50 kg, hasil penelitian Khusnia (2001) yaitu 2,67±0,53 untuk kelinci jantan
dan 2,30±0,54 kg untuk kelinci betina.
Keragaman bobot hidup pada kelinci muda yang lebih tinggi dibanding anak
kelinci dan kelinci dewasa, yaitu berkisar 14,92-30,01%. Hal tersebut memberikan
peluang dan potensi untuk pengembangan ternak kelinci melalui program seleksi
terhadap kelinci muda untuk memilih dan mendapatkan bibit kelinci pedaging yang
lebih baik.
Reproduksi
Umur Pertama Ternak Dikawinkan
Hasil survei mengenai karakteristik reproduksi ketiga bangsa kelinci pada
Tabel 14 menunjukkan bahwa peternak mengawinkan kelinci Flemish Giant jantan
pertama kali rata-rata umur 7,19±0,65 bulan dan 6,39±0,52 bulan pada betina.
Kelinci English Spot dikawinkan pertama kali pada umur 6-8 bulan dengan rerata
37
6,90±0,74 bulan untuk jantan dan 6,54±0,66 bulan untuk betina. Untuk kelinci New
Zealand White peternak mengawinkan kelinci ini pada umur 6-8 bulan, dengan
tujuan kelinci dapat mencapai bobot lebih besar sehingga mampu menopang
kebuntingan dan pada usia yang lebih matang tingkat fertilitas lebih tinggi.
Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Lebas et al. (1986), bahwa bangsa
kelinci besar baru pubertas pada umur 5-8 bulan dan kelinci jantan lebih lambat
mencapai dewasa kelamin meskipun telah memprlihatkan aktivitas seksual pada
umur dini. Idialnya kelinci english Spot betina mulai dikawinkan sekitar 5-6 bulan
(Petplanet.co.uk., 2004) dan menurut Eady dan Prayaga (1999), induk New Zealand
White siap dikawinkan pertama kali pada umur 18-19 minggu dan 138-170 hari
untuk pejantan (Sartika et al., 1998).
Kelinci New Zealand White yang dikawinkan pada umur muda (10 minggu)
akan menghasilkan rataan bobot lahir anak yang rendah serta sifat perindukan yang
buruk. Karena persentase bobot hidup yang rendah terhadap bobot hidup dewasa
menyebabkan keadaan tubuh induk belum cukup berkembang. Pada penelitian ini
persentase kematian anak mencapai 51,83% (Ismayati, 1997).
Lama Bunting
Lama bunting tergantung pada jumlah anak yang terdapat dalam uterus.
Jumlah anak yang banyak menyebabkan masa bunting menjadi lebih singkat dan
sebaliknya jumlah anak yang sedikit menyebabkan masa bunting lebih lama. Dari
hasil survei lama bunting ketiga bangsa kelinci tidak berbeda, lama bunting kelinci
Flemish Giant 28-32 hari dengan rerata 30,81±1,28, rerata lama bunting pada kelinci
English Spot 30,46±1,15 dan lama bunting NZW antara 28-32 hari dengan rerata
30,22±1,09 hari. Ensminger (1991), menyatakan, bahwa masa bunting pada kelinci
(dari kawin hingga beranak) biasanya berkisar antara 28-32 hari.
Jumlah Anak Sepelahiran (Litter Size)
Jumlah anak sepelahiran pada kelinci Flemish Giant sangat bervariasi yaitu
2-12 ekor, dengan rerata 6,23±2,39 ekor. Persentase jumlah anak sepelahiran
tertinggi yaitu 6-7 ekor sebesar 17,14%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan jumlah
anak sepelahiran kelinci Flemish Giant di Desa Bandungan, Semarang menurut
Muryanto (2005), jumlah anak sepelahiran antara 1-10 ekor. Jumlah anak sepelahiran
38
yang paling banyak terjadi adalah 7 ekor, dan sebaliknya jumlah anak yang paling
sedikit terjadi satu ekor.
Jumlah anak sepelahiran yang dihasilkan oleh kelinci English Spot di
peternak antara 2-7 ekor dengan rerata 5,12±1,41 ekor. Jumlah anak sepelahiran
yang sering terjadi adalah 5 ekor dengan persentase 29,41%. English Spot
menghasilkan anak dalam sepelahiran antara 3-5 ekor. Litter size tertinggi yang
pernah ditemukan yaitu enam ekor (Petplanet, 2004).
Kelinci New Zealand White menghasilkan jumlah anak sepelahiran antara 1-
10 ekor dengan rerata 5,50±3,27 ekor, lebih rendah dari pernyataan Eady dan
Prayaga (1999), jumlah anak saat lahir per induk 8,1 ekor, dan lebih tinggi dari
pernyataan Balfas (2002) bahwa litter size pada induk dengan sistem produksi
intensif berkisar antara 1-7 ekor sedangkan induk dengan sistem produksi semi
intensif memiliki litter size berkisar antara 4-7 ekor.
Menurut Sanford dan Woodgate (1979), disamping dipengaruhi oleh faktor
genetik litter size juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama pakan, sehingga
peningkatan kualitas pakan memungkinkan terjadinya peningkatan litter size. Namun
bagi peternak di Desa Pakunden, peningkatan kualitas pakan masih menjadi kendala
karena sampai saat ini pakan untuk ternak kelinci belum tersedia.
Penyapihan
Rosita (2002) menyatakan bahwa air susu merupakan sumber pakan bagi
anak kelinci sebelum berumur tiga minggu dan mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhannya. Penyapihan yang lebih cepat dapat menyebabkan anak kelinci
kekurangan susu, sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan anak kelinci tidak
optimal.
Sastrodihardjo (1985) menyatakan bahwa umur penyapihan anak kelinci oleh
peternak beragam. Empat puluh tiga persen peternak kelinci melakukan penyapihan
anak antara 46-60 hari dan 40-50 hari (Szendro, 1996). Dari hasil survei
menunjukkan bahwa peternak umumnya melakukan penyapihan pada anak kelinci
Flemish Giant umur 60 hari dengan rerata 58,48±6,18 hari. Rerata penyapihan anak
keinci English Spot dan New Zealand White adalah 60 hari. Menurut Szendro
(1996), jarak beranak dari dua kelahiran yang berturut-turut sedikitnya 85 hari (45
39
hari sapih + 10 hari istirahat + 30 hari bunting) akan mengurangi produksi optimal
kelinci, yang idealnya beranak 5-6 kali/tahun.
Bobot sapih
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa bobot sapih kelinci Flemish Giant
berbeda nyata dengan bangsa English Spot maupun New Zealand White. Bobot
hidup anak saat disapih pada kelinci Flemish Giant adalah 1,00±0,09 kg. Hasil ini
lebih besar dibanding pernyataan Muryanto (2005), pada umur delapan minggu
rerata bobot kelinci Flemish Giant 840,1±229,6 g. Rerata bobot sapih pada kelinci
English Spot adalah 0,91±0,11 kg dan 0,86±0,16 kg pada New Zealand White. Hasil
survei tersebut lebih rendah dari pernyataan Suc et al. (1996), bobot hidup kelinci
New Zealand White pada umur 60 hari adalah 891-1055 g. hal ini bisa disebabkan
karena beberapa faktor, antara lain keragaman genetik dan kemurnian bangsa yang
masih diragukan, kondisi dari masing-masing individu, konsumsi energi yang kurang
mencukupi untuk hidup pokok dan produksi susu induk.
Hasil penelitian Balfas (2002) menunjukkan bahwa induk dengan sistem
produksi intensif menghasilkan anak dengan bobot tiga minggu dan bobot sapih yang
lebih rendah dibandingkan dengan anak yang berasal dari induk dengan sistem
produksi semi intensif. Hal ini karena induk dengan sistem intensif pada saat laktasi
mengalami kebuntingan, sedangkan induk dengan sistem produksi semi intensif pada
saat laktasi tidak mengalami kebuntingan, kebuntingan terjadi setelah masa laktasi.
Induk yang bunting sambil laktasi harus memberikan nutrisi untuk anak yang
dikandungnya dan untuk produksi susu.
Jarak Waktu Pengawinan Kembali Setelah Beranak
Jarak mengawinkan induk kembali setelah beranak perlu mendapat perhatian,
karena untuk mendapatkan produktivitas yang baik tidak luput dari kondisi ternak.
Secara fisiologis, ternak betina memerlukan waktu untuk memperbaiki kondisi
sebelum dikawinkan. Hasil survei menunjukkan bahwa pengawinan kembali setelah
beranak dilakukan peternak setelah 7-15 hari penyapihan atau 47-78 hari setelah
beranak. Menurut peternak, selang waktu tersebut cukup baik untuk memulihkan
kondisi induk menjelang kebuntingan selanjutnya. Rerata penyapihan pada kelinci
Flemish Giant 64,36±7,62 hari, kelinci English Spot 66,35±5,62 hari dan 66,14±5,18
pada kelinci New Zealand White.
40
Menurut Rahardjo et al. (1993), jarak pengawinan kembali setelah beranak
(PKSB) terhadap kelinci Rex pada 7, 14 dan 21 hari tidak berbeda nyata. Namun
terdapat kecenderungan bahwa pada PKSB 7 hari bobot induk lebih rendah dari
PKSB 14 dan 21 hari. Hal ini disebabkan oleh kurangnya waktu bagi induk untuk
beristirahat. Perlakuan jarak waktu tersebut juga tidak berpengaruh pada tingkat
kebuntingan. Tingkat kebuntingan yang dicapai bervariasi antara perlakuan, kisaran
rataannya 80-94% dimana tingkat kebuntingan tertinggi dicapai pada PKSB 14 hari.
Semakin panjang lama jarak pengawinan kembali setelah beranak, maka
frekuensi beranak semakin rendah. Hal ini juga tidak efisien terhadap waktu untuk
menghasilkan kelinci lebih banyak.
Tabel 14. Reproduksi Tiga Bangsa Kelinci
Peubah FG KK ES KK NZW KK
(%) (%) (%)
Umur Pertama Dikawinkan (bln):
Jantan 7,19±0,65 9,04 6,90±0,74 10,72 6,75±0,64 9,48
Betina 6,39±0,52 8,14 6,54±0,66 10,09 6,78±0,70 10,32
Lama Bunting 30,81±1,28 4,15 30,46±1,15 3,78 30,22±1,09 3,61 (hari)
Jumlah Anak 6,23±2,39 38,36 5,12±1,41 22,27 5,50±3,27 59,45 Sepelahiran (ekor)
Umur Sapih (hari) 58,48±6,18 10,57 60,00 - 60,00 -
Bobot Sapih (kg) 1,00±0,09a 9,00 0,91±0,11b 12,09 0,86±0,16b 18,60
Pengawinan Setelah 64,36±7,62 11,84 66,35±5,62 8,47 66,14±5,18 7,83 Beranak (hari)
Huruf kecil superkrip menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Keterangan: FG = Flemish Giant ES = English Spot NZW = New Zealand White
KK = Koefisien Keragaman
Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangn Ternak Kelinci Setiap bangsa kelinci memiliki keunggulan dan kekurangan yang berbeda.
Kelinci Flemish Giant memiliki keunggulan bobot badan yang lebih besar dibanding
English Spot maupun New Zealand White. Flemish Giant juga memiliki keunggulan
jumlah anak sepelahiran yang lebih banyak dari kedua bangsa yang lain, namun
tingkat kematian pada anak juga lebih tinggi. Kelinci New Zealand White dikenal
41
dengan sifat perindukan yang baik, hal ini terlihat dari tingkat mortalitas anak yang
disebabkan karena terinjak induk sebesar 16,67% sedangkan pada kelinci Flemish
Giant dan English Spot 28,17 dan 27,59%. Kelinci English Spot mempunyai potensi
sebagai penghasil fur, dengan manajemen budidaya yang baik dan pengontrolan
terhadap kawin silang antar kelinci diharapkan mampu memperbaiki produksi kelinci
tersebut. Populasi kelinci Flemish Giant yang lebih banyak dibanding bangsa lain
menunjukkan bahwa bangsa kelinci ini lebih diminati
Potensi yang menonjol dari kelinci dalam hubungannya dengan pertanian dan
peternakan rakyat adalah kelinci mampu tumbuh dan berkembang biak dari hijaun,
limbah pertanian dan limbah pangan serta dapat dipelihara pada skala rumah tangga.
Menurut anggota Kelompok Peternak Kelinci Mandiri, permintaan akan ternak
kelinci bagi pedagang produk kelinci olahan semakin meningkat sehingga peternak
mengalami kekurangan dalam memenuhinya. Selain itu limbah yang dihasilkan
kelinci (kotoran dan urin) dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman yang secara
ekonomis lebih murah dibanding pupuk kimia yang akhir-akhir ini harganya kurang
menguntungkan bagi petani serta aman pemakaiannya.
Selain kondisi lingkungan, pakan dan manajemen pemeliharaan, faktor yang
mendukung pengembangan ternak kelinci adalah dorongan dari peternak. Peternak
kelinci di Kabupaten Magelang telah berkeinginan meningkatkan produktivitas
ternak yang dimiliki. Dukungan dari kelembagaan dinas terkait (Dinas Peternakan,
Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan serta pemerintah Kabupaten
Magelang) merupakan dasar upaya pengembangan, baik melalui perbaikan mutu dan
jumlah pakan serta bibit kelinci.
Kendala yang harus dihadapi dalam usaha pengembangan kelinci di
peternakan rakyat dari segi produksi adalah rendahnya produktivitas karena kawin
silang yang tak beraturan, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit yang
belum dilaksanakan secara optimal, mortalitas atau tingkat kematian anak yang
cukup tinggi, kualitas dan kuantitas pakan dan kurangnya penyediaan bibit. Skala
pemeliharaan yang relatif kecil menyebabkan ketersediaan bahan baku hasil ternak
rendah sehingga sulit untuk membuat suatu industri pengelolaan meskipun dalam
skala kecil. Pengembangan ternak kelinci juga masih memerlukan promosi yang
intensif dan kemampuan untuk memasuki pasar atau menciptakan pasar.
42
Menurut Hutasuhut (2005), pengembangan usaha ternak kelinci peternakan
memerlukan pendekatan untuk mengapresiasikan pentingnya peranan, ciri-ciri dan
sifat ternak kelinci, antara lain berorientasi pada peternak sebagai pelaku utama
agribisnis serta menjamin agar produk yang dihasilkan mempunyai daya saing sesuai
kebutuhan pasar dan ramah lingkungan melalui promosi dan pameran ternak.
Strategi yang akan dikembangkan di desa penelitian meliputi:
1) pemberdayaan peternak dengan membentuk kelompok untuk mempermudah
akses memperoleh kredit dengan bunga rendah;
2) mengembangkan peternakan yang efisien serta melibatkan masyarakat;
3) mengembangkan ketersediaan sumber pakan lokal, sehingga biaya pakan murah;
4) pengembangan industri kompos dan meningkatkan mutu pengolahan limbah dan
kotoran yang mempunyai nilai tambah;
5) peningkatan efisiensi pemasaran ternak dan hasil ikutan serta memperpendek
rantai pemasaran, dan
6) pengembangan usaha melalui keterkaitan industri penyamakan kulit dengan
budidaya ternak.
Berkembangnya kelompok tani yang cukup intensif komunikasinya
diharapkan dapat dijadikan dasar bagi pelaksanaan pembibitan. Peningkatan
produktivitas kelompok adalah melalui penyebaran pejantan yang berasal dari
anggota kelompok yang melakukan seleksi terhadap kelincinya. Menurut Wiradarya
et al. (2005), untuk mendapatkan performa yang optimal dari kelinci diperlukan
sistem pembibitan yang terdiri dari proses pemuliaan (breeding) dan pembiakan
(multiplier) yang menyatu dengan proses produksi kelinci niaga (commercial).
Performa produksi yang perlu mendapat perhatian untuk diseleksi terlebih dahulu
adalah jumlah anak hidup saat disapih, pertambahan bobot badan dan feed
conversion pada periode sapih hingga dipasarkan.
43
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis statistik bobot hidup ketiga bangsa kelinci berbeda.
kelinci Flemish Giant memiliki bobot hidup lebih besar dibanding kedua bangsa
kelinci yang lain. Koefisien keragaman yang tinggi pada bobot hidup kelinci muda
dan jumlah anak sepelahiran dapat dijadikan dasar seleksi untuk bibit kelinci
pedaging.
Rerata jumlah anak sepelahiran yang banyak terjadi adalah 6-7 ekor pada
kelinci Flemish Giant, 3-6 ekor pada kelinci English Spot dan 4-10 ekor pada kelinci
New Zealand White. Salah satu kendala dalam pengembangan ternak kelinci
terutama tingkat mortalitas pada anak, oleh karena itu perlu adanya perbaikan
manajemen pada pemeliharaan anak. Dengan perbaikan manajemen beternak melalui
perkawinan dan pengaturan jarak beranak diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas kelinci terutama pada kualitas ternak, dan jumlah anak yang dihasilkan.
Saran
Produktivitas kelinci dapat ditingkatkan dengan manajemen beternak yang
lebih baik. Selain itu perlu adanya perhatian dan pembinaan yang lebih intensif
kepada peternak dari instansi pemerintah terkait, untuk meningkatkan dan menjamin
perkembangan dan eksistensi peternakan kelinci di peternakan rakyat.
44
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis panjatkan puji syukur senantiasa atas rahmat, nikmat dan karunia yang diberikan Allah SWT hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpah pada Rosulullah Saw.
Melalui lembaran ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta atas kasih sayang yang tiada batas, doa, nasehat dan dukungannya. Terimakasih kepada Mbak Eva, keluarga di Babat dan Ponorogo atas motivasinya. Terimakasih kepada KIPPK Magelang dan anggota Kelompok Peternak Kelinci Mandiri di Desa Pakunden-Magelang atas bantuan dan kerja samanya.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku pembimbing utama atas arahan, masukan, nasihat, kursus menjahit, menyulam, resep-resep memasak dan tips menjadi wanita. Terimakasih penulis sampaikan kepada Ir. Maman Duldjaman, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan masukan dengan penuh kesabaran. Terimakasih atas motivasi yang selalu diberikan Bapak Dr. Ir. Cece Sumantri, MagrSc dan kepada ...................................selaku dosen penguji sidang sarjana atas saran dan kritiknya.
Keluarga besar Bapak Waldjijo Dwidjo Saputro terimakasih atas dukungan dan motivasinya. Teruntuk Ifan Firmansyah yang selalu menemani, membantu dan menjadi motivator Penulis, terimakasih, semoga sukses dan selalu diberi kemudahan untukmu. Kepada keluarga besar Alumni Darul Ulum atas kekompakan, doa dan semangatnya, teman-teman SAUZE (Ipink, Hesty, Any, Must dan Ari) trimakasih kebersamaannya, semoga ukhuwah kita selalu terjalin. UNYIL yang selalu menemani dan membangunkan tiap malam. Teman-teman tim penelitian kelinci di Magelang (Ae dan Uniel), Tam-Tam, Chandra, Bezo dan Toms semoga persahabatan kita tetap tejaga. Yayay, Fida, Tri, Bang Wardi, Tan, Icha, Faisal, keluarga TPT ’39 dan semua pihak yang telah membantu, terimakasih banyak atas bantuan dan semangatnya selama Penulis menuntut ilmu. Semoga hasil karya ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
45
DAFTAR PUSTAKA
Adjisoedarmo, S., B. Purnomo., S. Haryati., A. Marmono,. D. Purwanti dan A. Sudewo. 1985. Performans produksi dan reproduksi kelinci lokal (bukan ras). Prosiding Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balitbangtan. Bogor.
Balfas, E.S. Perbandingan Sistem Produksi Intensif dan Semi Intensif pada kelinci New Zealand White. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Basuki, P. 1985. Studi Tipe Kandang Kereman, Panggung, Individual dan Kualitas Pakan Terhadap Performans Produksi Kelinci. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Gajah Mada.
Blakely, J dan D.H. Bade. 1995. Ilmu Peternakan. Edisi keempat (Terjemahan). Gajah Mada University.
Blasco, A. 1996. Genetic of Litter Size and Does Fertility in The Rabbit. 6th World Rabbit Congress. 2:219.
Brown, Meg. 1978. Exhibition and Pet Rabbits. Spur Publication, England.
Cahyono, H. 1998. Produksi Kelinci Muda Berdasarkan Pola Warna. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Chapman, J.A. and J.E.C. Flux. 1990. Rabbits, Hares and Pikas. Status survey and conservation action plan. IUCN/SSC Logomorph Specialist Group. Information Press. Oxford. U.K.
Cheeke,P.R., N.M. Patton and G.S. Templeton. 1982. Rabbit Production. 5th Ed. The Interstate Printers and Publisher, Inc. Denville. Illinois.
Cheeke, P.R. 1986. Potential of Rabbit Production in Tropical and Subtropical Agriculture System. J. Anim. Sci. 63: 1581-1586.
Eady, S.J. and K.C. Prayaga. 1999. Crusader Meat Rabbit Project Which Breed and How to Use Different Breeds. CSRIO-Livestock Industries. www.csiro.au/crusader. (25 Mei 2006)
Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. 9th Edition. The Interstate Printers. And Publisher. Inc. Denville, Illionis. USA.
Farrel, D.J. dan Y.C. Raharjo. 1984. Potensi ternak kelinci sebagai penghasil daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Fernandez, J. Carmona, C. Cervera, C. Sabater and E. Blas. 1995. Effect of Diet Composition on The Production of Rabbit Breeding Does Housed in A Traditional Building and at 30 0C. J. Anim. Sci. and Technology. 52:289-297.
Fielding, D. 1991. Rabbits the Tropical Agriculturalist. Centre for Tropical Veterinary Medicine. University of Edinburgh.
Fortune, L.L. 1998. Effects of pre-mating energy intake on reproductive performance of rabbit does. J. Anim. Sci. 66:263-269.
Gasnier, A. 1948. Some Modalities of Growth Study on The Rabbit. Dalam: Wiradarya, T.R., Maman, D., Sri, R., M. Yamin, M. Baihaqi, D. Mauluddin dan Asep. 2005. Strategi Pembibitan pada Peternakan Kelinci Skala Menengah. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Gillesepie, R.J. 1992. Modern Livestock and Poultry Production 4th Ed. By Delmar Publisher Inc.
Gultom, D dan D. Aritonang. 1988. Pengaruh bentuk nest box terhadap daya hidup anak kelinci. Prosiding Seminar Nasional Peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Hafez, E.S.E. 1970. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals. Philadelphia, Lea & Febiger.
Harsodjo, d. dan C.K. Sri Lestari. 1988. Pengaruh Bobot Badan Kelinci Persilangan Jantan Akibat Perbedaan Waktu Pemberian Pakan. Pro. Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
Herman, R. 1995. Reproduksi Marmot dan Kelinci. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.
Herman, R. 2002. Pengenalan Kandang dan Peralatan Ternak Kelinci. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Horn Rapids Rabbitry. 2004. The Flemish Giant Rabbit. http://www.3-cities.com/~frankz/fg.html. (25 Mei 2006)
Hutasuhut, M. 2005. Strategi Pengembangan Usaha ternak Kelinci Mendukung Agribisnis Peternakan: Dukungan Kebijakan. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Direktorat Pengembangan Peternakan, diraktorat Jendral Peternakan. Jakarta Selatan.
Ismiyati, M. 1997. Produksi Anak Kelinci New Zealand White dengan Perkawinan pada Umur Muda. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Kantor Kelurahan Desa Pakunden. 2005. Laporan Monografi. Kantor Kelurahan Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang.
Khusnia, N. 2001. Produktivitas Ternak Kelinci Di Tiga Desa yang Berbeda Toografinya Di Kabupatan Cianjur. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
47
Khotijah, L. 1999. Pengaruh Penambahan Vitamin E (dl-ά-Tocoferol Acetat) dalam Ransum Terhadap Penampilan dan Beberapa Sifat Karkas Kelinci. Tesis. Program Pascasarjana. IPB.
Kurniawati, N. 2001. Penggemukan Kelinci Muda untuk Produksi Fryer dengan Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier and H. de Rochambeau. 1986. The Rabbit Husbandry Heal and Production Food and Agriculture Organization of the United Nation Rome.
Lestari, C.M., H.J. Wahyuni dan I. Susandari. 2005. Budidaya Kelinci Menggunakan Pakan Limbah Industri Pertanian dan Bahan Pakan Inkonvensional. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Fakultas Peternakan, UNDIP. Semarang.
Lukhefahr, S.D., W.D. Honenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton and W.H. kennick.1981. Carcass and Meat Characteristick of Flemish Giant and New Zealand White Purebreed and Terminal Cross Rabbits. J. Applied Rabbit Research. 4: 66-72.
Lukhefahr, S.D and J.I. Mcnitt. 1983. The effect of environtment on conception rate and litter size of domestic rabbit in Oregon and Malawi. Journal of Applied Rabbit Research. 6 (1) : 18-20.
Lukhefahr, S.D., W.D. Honenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton.1983. Characterization of straightbred and crossbred rabbit for milk production and assosiative treats. J. Anim. Sci. 57: 1100.
Lukhefahr, S.D. and P.R. Cheeke.1990b. Rabbit Project Planning Strategies for Developing Countries. http://www.cipav.org.co/irrd/irrd2/3/cheeke2.htm. (25 Mei 2006)
Mattjik, A.A dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan dan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Cetakan ke-2. IPB Press, Bogor.
McNitt, J.I. 2002. Evaluation two weaning methods for rabbit. Processing 7th World Rabbit Congress. Valencia, Spain. P: 441-446.
Meilinda. 2002. Studi Program Produksi Anak Intensif dan Semi Intensif pada Kelinci Persilangan di Peternakan Swa Desa Tapos I Ciampea Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Moerfi’ah. 1997. Pengaruh Pemberian Magnesium Asetat Sebagai Penangkal Cekaman Panas Terhadap Reproduksi dan Respon Hematologis pada Kelinci Rex. Tesis. Program Pascasarjana. IPB.
Morrow, M., G.L. Greaser., G.M. Perry and J.K. Harper. 1994. Agriculture Alternatives. Rabbit production. The Penn. State Univ. US.
48
Murtidjo, B.A., 1993. Memelihara Domba. Kanisius. Yogyakarta.
Murtisari, T. 2005. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Untuk Menunjang Agribisnis Kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Muryanto, Subiharta dan S. Prawirodigdo. 2005. Produktivitas Kelinci di Dataran Tinggi. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu Ungaran. Prosiding Pengelolaan dan Komunikasi Hasil Penelitian.
Muslih, D., I. Wayan, P., Rossuartini dan B. Bram. 2005. Tatalaksana Pemberian Pakan Untuk Menunjang Agribisnis Kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
National Federation of Flemish Giant Rabbit Breeders. 1997. The Flemish Giant Rabbit. http://www.NFGRB.com. (1 Juni 2006)
Ozimba, C.E. and D. Lukhefahr. 1991b. Comparison of Rabbit Breed Types for Post Weaning Litter Growth, Feed Efisiency and Survival Performance Traits. J. Anim. Sci. 69: 3494-3500.
Patriansyah, A. 2001. Penampilan Produksi Kelinci Muda Berdasarkan Pola Warna Selama Periode Pengemukan untuk Produksi Fryer. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Patton, N.M. and M.A. Grobner. 1988. Rabbitry Managemen: I. The Key to Improved Profitability in Comercial Rabbit Production. Journal of Applied Rabbit Research. 11 (4) : 241-244.
Petplanet. co. uk. 2004. Small Animal Breed: Rabbit Profile. htttp://www.petplanet.co.uk/petplanet/Breeds/Rabbit.htm. (1 Juni 2006)
Prawiradiputra, B.R dan N.D. Purwantari. 1996. Pengembangan Potensi Sumber Daya Hijauan Pakan untuk Menunjang Produktivitas Ternak di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balitbangtan. Bogor.
Pudjiarti, A. Soedito dan Soedjadi. 1984. Pengaruh Pemberian Pakan Penguat Terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Kelinci Sampai Disapih. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Jendral Soedirman.
Raharjo, Y.C., F.X. Wijana dan T. Sartika. 1993. Pengaruh Jarak Kawin Setelah Beranak Terhadap Performans Reproduksi Kelinci Rex. Ilmu dan Peternakan. 6(1): 27-31.
Raharjo, Y.C., T. Murtisari dan E. Juarini. 2004. Peningkatan produktivitas dan mutu produk kelinci eksotis. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN tahun Anggaran 2003. Buku II. Ternak Non Ruminansia Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
49
Raharjo, Y.C. 2005. Prospek, Peluang dan Tantangan Agribisnis Ternak Kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Rathor, Y. S., Y. P. Thaker, N. K. Manuja, S. Katoch and K. Gupta. 2000. Performance of Different Meat Rabbit Breeds for Litter Traits. Indian Vet. J. 77:592-594.
Rofi’ah, N.A. 2001. Pertumbuhan Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya yang Dipelihara Secara Intensif dengan Pemberian Lactosym® pada Dosis yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Rosita, Y. 2002. Pertumbuhan Kelinci Persilangan dari Lahir Hingga Dewasa. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Sanford, J.C. 1979. The Domestic Rabbit. 3rd Ed. Granada.
Sardjono, T.W. 1997. Faktor-faktor Terhadap Keberhasilan Penanggulangan Skabies. Maj. Parasitoit. Ind. 11:33-42.
Sartika, T. Dan E. Zimmermann. 1994. Pengaruh Fostering Terhadap Tingkat Mortalitas dan Pertumbuhan Anak Kelinci Sebelum Sapih. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Sartika, T., Y.C. Raharjo, A. Habibie dan D. Purnama. 1995. Kebutuhan energi dan protein pada phase gestasi dan laktasi. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Sartika, T., T. Antawijaya dan K. Dwiyanto. 1998. Peluang Ternak Kelinci Sebagai Sumber Daging yang Potensial di Indonesia. Wartazoa. 7:47-54.
Sastrodiharjo. 1985. Performan Reproduksi Kelinci (Oryctolagus cuniculus) pada peternakan kelinci di Jawa. Prosiding Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusbanglitnak. Bogor.
Schlolaut, W. 1985. Production Tecnique. In: A Compendium of Rabbit Production. Appropriate for Condition in Developing Countries. Eschborn. Germany.
Smith, J.B dan S, Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press.
Soeparman, S. 1996. Studi Litter Size pada Kelinci dengan Perbaikan Manajemen. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Steel, R. D. G. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Geometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
50
Suarjaya, I.A. 1985. Pengaruh Suhu Kandang Terhadap Penampilan Ternak Kelinci. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB.
Suc Ng. Q., D.V. Bink, L.T.T. Iba and T.R. Preston. 1996. Effect of Housing System (cage versus undergraound shelter) on Performance of Rabbit on Farm. Livestock Research for Rural Development.
Suradi, K. 2005. Potensi dan Peluang Teknologi Pengolahan Produk Kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Fakultas Peternakan UNPAD, Jatinegara.
Szendro Z., Palos. F., Rodnai. L, Biro-Nemeth E. and Romvary R. 1996. Effect of litter size and birth weight on the mortality and weight gain of suckling and growing rabbits. Journal of 6th World Rabbit Congress, Toulouse. : 365-370.
Templeton, G.S. 1955. Domestic Rabbit Production. 1st Ed. Dalam: Suarjaya, I.A. 1995. Pengaruh Suhu Kandang Terhadap Penampilan Ternak Kelinci. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wiliamson, G. dan W. J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press.
Wiradarya, T.R., Maman, D., Sri, R., M. Yamin, M. Baihaqi, D. Mauluddin dan Asep. 2005. Strategi Pembibitan pada Peternakan Kelinci Skala Menengah. Lokakarya Nasional Potensi dan Pengembangan Usaha Kelinci. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Yurmiaty, H. 1991. Pengaruh Pakan, Umur Potong dan Jenis Kelamin Terhadap Bobot Hidup, Karkas dan Sifat Dasar Kulit Kelinci Rex. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. IPB.
51
LAMPIRAN
Tabel 2. Jumlah Penjualan, Pembelian dan Pemotongan Tiga Bangsa Kelinci Berdasarkan Tingkat Umur dan Jenis Kelamin
Kelompok FG ES NZW
Jual Beli Potong Jual Beli Potong Jual Beli Potong
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)
Anak - - - - - - - - - - - - 4 54,14 - - - -
Muda:
Jantan 4 19,05 1 10,00 - - 1 9,09 - - 1 100,00 - - - - 1 20,00
Betina 13 61,90 6 60,00 - - 7 63,64 - - - - 1 14,29 2 50,00 3 60,00
Dewasa:
Jantan 1 4,76 1 10,00 - - 1 9,09 1 33,33 - - - - - - - -
Betina 3 14,29 2 20,00 1 100,00 2 18,18 2 66,67 - - 2 28,57 2 50,00 1 20,00
Total 21 100,00 10 100,00 1 100,00 11 100,00 3 100,00 1 100,00 7 100,00 4 100,00 5 100,00
Keterangan: FG = Flemish Giant ES = English Spot NZW= New Zealand White
Lampiran 2. Peta Kabupaten Magelang
Lampiran 3. Persentase Jumlah Anak Sepelahiran (Litter Size) pada Induk Kelinci
Litter Size FG ES NZW
(ekor) --------------------------------(%)-------------------------------
1 - - 10,00
2 2,86 5,88 10,00
3 8,57 17,65 10,00
4 14,29 17,65 20,00
5 14,29 29,41 -
6 17,14 17,65 20,00
7 17,14 11,76 -
8 8,57 - -
9 5,71 - 10,00
10 5,71 - 20,00
11 2,86 - -
12 2,86 - -
Total 100,00 100,00 100,00
Lampiran 4. Keragaman Pola dan Warna Rambut
Pola FG ES NZW
-----------------------------(%)------------------------------
Polos 10,00 - 100,00
White-belly 90,00 - -
Bercak Hitam - 20,00 -
Bercak Coklat - 80,00 -
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Warna
Hitam 2,50 - -
Fawn 80,00 - -
Coklat 12,50 - -
Steel grey 5,00 - -
Putih - 100,00 100,00
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Lampiran 5. Prospek dan Kendala pada Tiga Bangsa Kelinci
Parameter FG ES NZW
Bobot:
Sapih +++ ++ +
Muda +++ ++ +
Dewasa +++ ++ +
Jumlah Anak Sepelahiran +++ ++ ++
Mortalitas +++ ++ ++
Sifat Induk + ++ +++
Selera +++ ++ +
Harga Jual +++ ++ +
Bulu + + + Keterangan: +++ = Baik
++ = Cukup + = Kurang