Produksi Hasil Metabolisme Sekunder di Kultur Jaringan Tanaman · Metabolisme Sekunder di Kultur...
Transcript of Produksi Hasil Metabolisme Sekunder di Kultur Jaringan Tanaman · Metabolisme Sekunder di Kultur...
ANGELIKA FILOVÁ. DEPARTMENT OF PLANT PHYSIOLOGY, SLOVAK UNIVERSITY OF AGRICULTURE IN NITRA, TR. A. HLINKU 2, 949 01 NITRA, SLOVAK REPUBLICE-MAIL:
Produksi Hasil Metabolisme Sekunder di Kultur Jaringan Tanaman
Jurnal Riset Ilmu Pengetahuan Pertanian, 46(1), 2014
Hanifah Fuadi (132130016)
9/6/2016
Tugas Paper Kultur Sel dan Jaringan Teknik Industri Pertanian: Bioteknologi. Institut Teknologi Indonesia.
Abstrak: Sel tumbuhan dan kultur jaringan memegang peranan penting yang menjanjikan untuk
mengontrol produksi puluhan ribu dari metabolisme sekunder bermanfaat. Dalam pencarian
alternatif produksi senyawa obat dari tumbuhan, teknik bioteknologi mendekatinya, kultur
spesifik jaringan tumbuhan, diketahui memiliki potensi sebagai suatu suplemen dari pertanian
tradisional di industri produksi dari metabolisme bioaktif tumbuhan. Eksplorasi dari
kemampuan biosintesis dari kultur sel yang bervariasi sudah diambil dari satu grup ilmuwan
tumbuhan dan ahli mikrobiologi di beberapa negara sepanjang dekade terakhir. Sejumlah obat-
obatan penting dari alkaloid, obat antikanker, protein rekombinan dan bahan tambahan pangan
diproduksi dalan kultur yang bervariasi dari sel tumbuhan dan jaringan. Perkembangan wilayah
kultur sel untuk produksi senyawa obat sudah memungkinkan produksi dalam varietas yang
lebih luas dari bidang farmasi seperti alkaloid, terpenoid, steroid, saponins, phenolics,
flavanoids dan asam amio. Beberapa dari ini sekarang tersedia secara komersil di pasaran
contohnya shikonin dan paclitaxel (Taxol). Hingga sekarang 20 protein rekombinan berbeda
sudah diproduksi di kultur sel tumbuhan, termasuk antibodi, enzim, dan vaksin yang dapat
dimakan, faktor pertumbuhan dan sitokinin. Dalam skala pendekatan yang lebih luas dan teknik
imobilisasi berkontribusi pada meningkatnya pertimbangan pada topik aplikasi dari sel kultur
tumbuhan untuk produksi senyawa dengan nilai tambahan yang tinggi. Beberapa dari produksi
sekunder tumbuhan diperoleh dari endapan kultur sel dari tumbuhan-tumbuhan yang bervariasi.
Sistem kultur endapan sel juga saat ini digunakan dalam kultur skala besar dari sel-sel
tumbuhan yang metabolisme sekundernya dapat diekstrak. Sebuah endapan kultur
dikembangkan dengan mentransfer beberapa porsi dari kalus ke dalam medium cair dan
merawatnya dibawah kundisi yang cocok dari segi aerasi, agitasi, cahaya, temperatur dan
parameter fisik lainnya. Kultur sel tidak hanya dihasilkan dengan fitokemikal standar dalam
volume yang besar tapi juga mengeliminasi presentasi senyawa pengganggu yang terjadi dalam
lapangan pertumbuhan tanaman. Pengembangan lebih jauh dari metode itu juga bisa
menyediakan secara khusus sebuah kontinuitas, sumber reliabel dari produk alami.
Perkenalan
Senyawa bioaktif yang diekstrak dari tumbuhan sudah digunakan secara luas. Habitat alami dari
sejumlah besar tumbuhan dimusnahkan dalam waktu singkat terutama keberadaan dari banyak
objek penting dan bahkan spesies endemik. Studi pada produksi metabolisme tumbuhan oleh
kalus dan endapan kultur sel sudah memunculkan peningkatan skala sejak akhir tahun 1950.
Prospek penggunaan semacam teknik kultur untuk mendapatkan metabolisme sekunder, seperti
senyawa aktif untuk industri farmasi dan kosmetik, hormon, enzim, protein, antigen, bahan
tambahan pangan dan pestisida alami dari pemanenan kultur sel atau jaringan (TERRIER et al.,
2007).
Bioteknologi menawarkan kemungkinan mengeksploitasi sel, jaringan, organ atau seluruh
organisme dengan menumbuhkan mereka secara in vitro dan manipulasi genetik untuk
mendapatkan senyawa yang diinginkan (RAO and RAVISHANKAR, 2002). Metabolisme
sekunder bisa diproduksi dengan menggunakan pendekatan bioteknologi, seperti kultur kalus,
endapan sel kultur dan/atau kultur organ. Dalam sesi ini kami akan merieview secara singkat
teknik individu kultur in vitro dengan harapan penggunaannya untuk produksi metabolisme
sekunder. Sejak ia diobservasi, produksi metabolisme sekunder secara umum lebih tinggi pada
pendiferensasian jaringan tumbuhan, perlu untuk menumbuhkan seluruh organ tumbuhan, i.e.
pucukan atau akar di kondisi in vitro dengan tujuan utama untuk memproduksi senyawa obat-
obatan penting (BIONDI et al., 2002). Seperti dugaan, semacam kultur organ memproduksi
bagian yang mirip metabolisme sekunder sebagai tumbuhan utuh. Perkembangan lebih lanjut
dari penggunaan kultur organ adalah mereka secara relatif lebih stabil dalam memproduksi
metabolisme sekunder dari kultur dari sel-sel yang tidak terdiferensiasi, seperti sel-sel di kalus
atau endapan kultur (RAO dan RAVISHANKAR, 2002). Untuk produksi yang objektif dari
produksi produk sekunder tumbuhan, secara umum ada dua tipe dari kultur organ yang dapat
diperhitungkan, i.e. kultur akar dan kultur pucuk.
Produksi dari Metabolisme Sekunder di Kultur Organ
Kultur akar merupakan sumber yang penting dari senyawa obat-obatan (PENCE, 2011; LI et al.,
2002) banyak dari senyawa sekunder, contohnya, alkaloid tropane hyoscyamine dan scopolamine
diproduksi cukup baik di kultur akar (FAZILATUN et al., 2004). Sistem akar dari tanaman
tingkat tinggi, bagaimanapun, sebagian besar menunjukan pertumbuhan yang lambat dari kultur
yang berasal dari sel-sel tumbuhan yang tidak terdiferensiasi dan susah dipanen. Daripada itu,
metode alternatif untuk produksi senyawa sintesis pada akar tanaman masih diinvestigasi. Salah
satu yang paling menjanjikan dari mereka adalah penggunaan kultur rambut akar (PENCE,
2011). Sebagai akar, juga mungkin meningkatkan bagian area tumbuhan-pucuk-untuk produksi
dari metabolisme sekunder (BOURGAUD et al., 2001; NOGUERA dan ROMANO, 2002;
SMITH et al., 2002). Kultur pucuk biasanya digunakan untuk menunjukan penekanan dari
produksi komersil dari senyawa sekunder utama pada tanamana alami (KHANAM et al., 2000)
atau untuk menginduksi variasi somaklonal in vitro dan untuk memilih produk sekunder penting
yang dihasilkan klon (DHAWAN et al., 2003).
Masalah terbesar dari kultur organ adalah kultur dalam skala besar (KAIMOYO et al., 2008).
Tipe berbeda dari bioreaktor sudah digunakan untuk kultur dari akar tumbuhan dan/atau
pucukan(KAŠPAROVÁ, 2009; KIM et al., 2002). Dibandingkan dengan endapan sel kultur,
kultur organ secara umum menunjukan sensitifitas yang lebih rendah untuk menyebarkan
tekanan, tapi mereka menunjukan derajat yang tinggi dari heterogenitas spasial dalam produksi
biomassa. Masalah lain adalah harga yang tinggi dari sistem bioreaktor ini untuk skala besar
komersil dari metabolisme sekunder tumbuhan. Seperti mereka harus berkompetisi dengan
kultivasi dari seluruh tumbuhan, seperti sebuah proses di sebagian besar kasus tidak menunjang
secara ekonomi (ZHAO et al., 2010). Terbaru, hanya contoh komersil dari penggunaan kultur
organ untuk metabolisme sekunder adalah kultivasi dari akar gingseng (HIBINO dan
USHIYAMA, 1999).
Produksi dari metabolisme sekunder di kultur kalus
Kultur kalus adalah kultur pendiferensiasian induksi sel tumbuhan pada media, biasanya relatif
mengandung konsentrasi auxin yang tinggi dan sitokinin di kondisi in vitro. Kultur kalus bisa
menjadi embriologi atau non embriogenik. Kali embriogenik mengandung sifat-sifat diferensiasi
embriogenik sel-sel kompeten yang bisa meregenerasi secara lengkap tanaman sepanjang proses
yang disebut embriogenesis somatik (PTAK, 2013). Penggunaan utama embriogenesis somatik
termasuk propagasi klonal tanaman, regenerasi haploid atau transgenik Research Journal of
Agricultural Science, 46 (1), 2014 238 tanaman dan studi dasar dari proses embriogenesis pada
tanaman. Non-embriogenik kultur kalus, mengandung lebih atau sedikit rumpun sejenis dari sel-
sel yang berbeda, digunakan untuk produksi metabolisme sekunder. Secara kultur jaringan
artinya, pendekatan ini relatif sering digunakan untuk produksi flavonoid dengan kultur kalus.
Beberapa contoh produksi flavonoid pada kultur kalus di tampilkan pada Tabel 1.
MADHAVI et al. (1998) mempelajari isolasi konstitusi bioaktif dari buah Vaccinium myrtillus
dan kultur sel. Buah dan kultur kalus diekstraksi dan di fraksikan. Sebagian besar fraksi
mengandung flavonoid, seperti cyanidin-3-galactoside, cyanidin-3-glucoside, cyanidin-3-
arabinoside dan proanthocyanidins. Akumulasi Anthocyanin di kalus lebih rendah (0.08 mg/g
berat kering sel; DCW(dry cell weight)) daripada buah (27.3 mg/g DCW). Kultur kalus
keduanya terakumulasi oligometrik (178 mg/g DCW) dan polymeric (436 mg/g DCW)
proanthocyanidins; proanthocyanidins tersedia di ekstrak buah (oligo- dan polymeric, 202 dan
1613 mg/g DCW, respektif).
DIAS et al. (1998) menerbitkan isolasi dari senyawa alami baru pembentukan 6-C-prenyl
luteolin, bersama dengan luteolin-5,3’-dimethyl ether, luteolin-5-glucoside dan luteolin-3’-
glucoside dari kalus perforatum var. angustifolium. Total konten flavonoid dari kalus, sekitar
0.005-0.7 mg/g (DCW), lebih rendah dari yang ditemukan di pertumbuhan liar tanaman H.
perforatum 14-70mg/g (DCW). FEDOREYEV et al. (2004) menstabilkan kultur kalus dari
bagian yang berbeda dari Maackia amurensis dan menganalisanya untuk isoflavonoid. Isoflavon
retuzin, genistein dan formononetin dan pterocarpans maakiain dan medicarpin ditemukan
diproduksi oleh kultur ini. Konten isoflavon dan pterocarpans secara esensial sama dalam kultur
yang dikembangkan dari petil daun, inflorescences dan meristem apikal pada tumbuhan. Hasil
maksimal dari isoflavon dan pterocarpans pada kalus adalah 20.8 mg/g (DCW), hampir empat
kali lebih tinggi dari konten di jantung kayu tanaman M. amurensis. Lebih jauh LI et al. (2002)
membuat enam kultur kalus dari spesies Genista dengan objektif untuk memproduksi isoflavon
dari aktifitas phytoestrogenic. Kultur dioptimasi untuk pertumbuhan mereka dan produksi
isoflavonoid dengan mengubah variasi media dalam keberadaan atau ketiadaan cahaya.
Pertumbuhan terbaik dan produksi isoflavon tertinggi diperoleh dibawah pengaturan cahaya pada
SH medium basal terkandung 22.6 μmol/L 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), 23.2 μmol/L
kinetin dan 3% (w/v) sukrosa.
Kultur kalus dari semua spesies diproduksi lebih pada isoflavon daripada induk herbal. Kultur in
vitro memiliki konten yang lebih rendah dari genistein esters dari herbal. Kalus dengan
kandungan isoflavon yang paling tinggi dihasilkan dari G. tinctoria, memproduksi 6586.5 mg
dari total isoflavon setiap 100 g DCW, sedang pada HPLC analisis diidentifikasi 3016.3 mg dari
genistin. Efek dari potensi yang ditimbulkan (membunuh sel Pseudomonas aeruginosa, asam
linoleic, chromium trichloride, asam jasminic, disubtitusi anilides dari asam pyrazine-2-
carboxylic dan asam iodoacetic) pada produksi dari flavonoid di kultur kalus pada Ononis
arvensis L. sudah diuji dengan TUMOVA dan teman sekerjanya (TUMOVA, 2010; TUMOVA
and TUMA, 2010). Semua hasil tes ditandai dengan meningkatnya produksi dari flavonoid
dalam perbandingan dengan kontrol.
Menstabilkan dan mengoptimalisasi kultur kalus adalah tahap logis pada fase pertama dari
produksi kultur sel dari metabolisme sekunder tanaman, i.e. menyiapkan inokulum untuk kultur
cairan suspensi. Produksi dari metabolisne sekunder pada kultur suspensi sel sudah secara luas
diterbitkan dan bertujuan sebagai sebuah teknologi yang memunculkan masalah dari kuantitas
variabel produk dan kualitas dari seluruh tanaman menghasilkan efek dari faktor lingkungan
yang berbeda, seperti klimaks, penyakit dan serangga (YAMAMOTO et al., 2002; ZHANG et
al., 2002; RAO dan RAVISHANKAR, 2002). Sepanjang dekade yang lalu, teknologi ini lebih
jauh menunjukan lebih banyak pada ketertarikan akademik dan industri. Pendekatan
menggunakan endapan sel tanaman Research Journal of Agricultural Science, 46 (1), 2014 239
kultur untuk metabolisme sekunder (termasuk flavonoid) produksinya berdasarkan konsep dari
biosintesis totipotensi dari sel-sel tanaman, yang berarti masing-masing sel dalam kultur
memegang informasi genetik lengkap untuk produksi kisaran senyawa yang ditemukan di
seluruh tanaman. Endapan kultur sel diinisiasi dari terbentuknya kultur kalus dengan
menginokulasi mereka ke dalam media cair. Kultur lalu dijaga di dalam gelas hangat dibawah
agitasi dalam berlanjut pada horizontal atau guncangan berputar dan akhirnya mereka bisa
ditransfer menjadi bioreaktor terspesialisasi (BOURGAUD et al., 2001).
YAMAMOTO et al. (2002) menunjukan efek dari polisakarida pada produksi dari prenylated
flavanones (sophoraflavanone G dan lehmanin) di Sophora flavescens kultur kalus. Produksi dari
flavon ini menstimulasi hingga 5 kali dengan penambahan 2 mg/mL ekstrak ragi. Lebih jauh,
produksi dari prenylated flavanones juga bisa meningkat hingga 2-5 kali dengan penambahan
kepingan gabus. Efek dari yang berbeda dari yang dihasilkan, seperti membunuh sel
Pseudomonas aeruginosa, chromium trichloride, asam jasminic, substituted anilides of asam
pyrazine-2-carboxylic dan asam iodoacetic, pada produksi dari flavonoid pada endapan sel kultur
pada Ononis arvensis L. sudah dieliminasi dengan TUMOVA et al. (2002). Mereka menunjukan
suatu peningkatan penanda pada produksi flavonoid dalam perbandimgan dengan kontrol semua
hasil yang dites. MONACHE et al. (1995) mengisolasi flavonoid dari kalus dan kultur sel dari
Maclura pomifera. Antara flavonoid, flavones dan flavones diproduksi lebih disukai dengan sel-
sel suspensi, tapi dengan substituen prenyl exslusif pada cincin A, ketika isoflavon tidak
menunjukan bagian substitusi 3`, 4`-dihydroxyl ditemukan pada produk yang diisolasi dari buah.
Endapan kultur sel M. pomifera menunjukan level terbaik dari akumulasi metabolit (0.91%) dari
stem (0.26%), daun (0.32%) dan buah (0.08%) dari tanaman induk. ZHANG et al. (2002)
mempelajari efek temperatur antara 15-35°C. Maksimum produksi antosianin dihasilkan pada
20°C. Produksi Antosianin pada 270 mg/L pada hari ke 9 meningkat 1.8, 3 dan 4-keatas lebihnya
kultur pada 20, 25 dan 30°C, respektif.
Pada penambahan, ZHAO et al. (2010) melaporkan juga akumulasi antosianin pada suspensi
kultur sel dari Vitis vinifera. Mengikuti, selain adisi asam jasmonik atau irradiasi cahaya,
biosintesis antosianin sudah dikembangkan, dimana pertumbuhan sel dihambat. Akumulasi
antosianin maksimum pada 13.8 CV (color value, petunjuk warna)/g FCW (fresh cell weight,
berat segar sel) terjadi pada hari ke 7 ketika asam jasmonik ditambahkan pada kultur pada
sebuah konsentrasi final 20 μM pada hari ke 0. Ini merepresentasikan pada 8.5-adukan
meningkat dibandingkan dengan kultur kontrol di bagian gelap. Berdasarkan iradiasi
pencahayaan kontinu pada 8000-8300 lux, maksimum akumulasi antosianin mencapai 6.8 CV/g
FCW pada hari ke 10, dimana 4.8-adukan pada kontrol. Sebuah proses, yang mengkombinasikan
asam jasmonik perawatan dan irradiasi cahaya, menghasilkan suatu peningkatan sinergitas
signifikan pada akumulasi antosianin hingga 22.62 CV/g FCW pada hari ke 7. Petunjuk ini
adalah 13.9-adukan pada kontrol. Sebagai hasil, maksimum produksi antosianin dari 2200 CV/ L
diperoleh pada hari ke 10, merepresentasikan suatu peningkatan 5.8-adukan dibandingkan
dengan kontrol. Lebih jauh, PARK et al. (1995) mempelajari kultur sel dari Pueraria lobata
untuk induksi-ekstrak enzimatik dan aktifasi genetik dari produksi isoflavonoid. Penambahan
ekstrak yeast pada kultur sel menstimulasi akumulasi dari isoflavon dan daidzein dimers.
Produktifitas kultur adalah kritis pada aplikasi praktikal dari teknologi kultur endapan sel untuk
memproduksi flavonoid. Hingga sekarang, variasi strategis sudah dikembangkan untuk
mengimprovisasi produksi metabolisme sekunder dalam kultur in vitro, seperti manipulasi
parameter dari lingkungan dan medium, memilih hasil klon sel yang dihasilkan, makanan
prekusor dan hasil ekstrak (review pada COLLIN, 2001; RAO dan RAVISHANKAR, 2002;
TUMOVÁ et al., 2010).
Kultur sel dari Taxus sp. Menyediakan sumber alternatif potensial dari taxol dan penggunaan
terkait taxanas pada komoterapi kanker. Kualifikasi dan distribusi dari taxol dalam kultur kalus
explants dari kemotipe terseleksi dari Taxus baccata, Taxus canadensis, Taxus brevifolia dan
Taxus cuspidate dipelajari FILOVÁ (2011). Kemotipe terseleksi dari Taxus sp. Dikultivasi dari
modifikasi medium Westvaco WV dengan auksin 2,4-D (1, 2 a 5 mg.l-1) untuk induksi kalus.
Kultur kalus dari T. canadensis diproduksi dalam jumlah besar pada taxol di hari ke-56 kultivasi.
Kultur kalus dari T. baccata diproduksi pada setengah jumlah taxol T. canadensis.
Menumbuhkan biomassa dan memproduksi metabolisme sekunder dari karakter taxanes pada
beberapanya tergantung pada tipe kultur exsplan, dari konsentrasi auksin pada medium, dari
kemotipe dan waktu kultivasi.
Produksi Metabolisme Sekunder dari Rambut Akar
Rambut akar tumbuh cepat, menunjukan pertumbuhan plagiotropic, dan sangat bercabang pada
medium bebas phytohormone (HU AND DU, 2006). Agrobacterium rhizogenes-
mengembangkan rambut akar dan tanaman memiliki aplikasi pada banyak area berbeda. Kultur
rambut akar sudah dites secara ekstensif pada riset nodul akar, untuk produksi metabolisme
sekunder tanaman. Transformasi akar sudah secara luas dipelajari pada produksi in vitro dari
metabolisme sekunder pada banyak spesies tanaman dan produksi awal tiruan. Kultur rambut
akar memproduksi metabolisme sekunder sepanjang keberhasilan generasi tanpa kehilangan
genetik atau stabilitas biosintesis (GIRI VE NARASU, 2000). Banyak aspek dari biosintesis
metabolisme sekunder tanaman sudah dipelajari menggunakan transformasi rambut akar
(KUZOVKINA AND SCHNEIDER, 2006). Korelasi yang kuat antara produksi metabolisme
sekunder dan perbedaan morfologi memberikan lebih banyak momen pada aplikasi dari
mengorganisasikan kultur sel pada produksi skala yang lebih luas dari fotokemikal. Intergenerik
kerjasama kultur pada transformasi genetik rambut akar dan teratoma pucuk adalah efektif untuk
mengimprovisasi jaringan spesifik metabolisme sekunder.
Mimik situasi ini diobservasi pada seluruh tanaman dimana suatu lokasi sintesis metabolit di
translokasi sejauh organ untuk biokonversi lebih jauh (GIRI AND NARASU, 2000). Juga
produksi dari dua metabolisme skunder berbeda memungkinkan stimultan berkelanjutan dengan
penambahan kerjasama kultur akar (WU et al., 2008). Ini merupakan potensi yang sangat besar
dari kultur rambut akar (CETIN et al. 2005) sebagai sumber stabil dari senyawa kimia aktif
biologis yang disediakan dengan mengeksploitasi pada sistem in vitro sepanjang skala pada kisah
bioreaktor (MEHROTRA et al., 2008). Kultur rambut akar dari Lithospermum erythrorhizon,
Harpagophytum procumbens (LUDWIG-MULLER et al., 2008) dan penambahan akar-akar dari
Panax ginseng (JEONG et al., 2008) dan Scopolia parviflora (MIN et al., 2007) dipelajari dalam
volume yang bervariasi dai kolom gelembung bioreaktor untuk menghasilkan , harpagide,
ginsenosides dan alkoloids respectively. Ginsenoside juga diproduksi pada 5 L tank berputar
biorekator menggunakan penambahan kultur akar (JEONG et al., 2008). Kultur rambut akar dari
Stizolobium hassjo untuk menghasilkan 3,4-dihydroxyphenylalanine sudah dilaporkan
menggunakan uap bioreaktor. Diktat skala teknologi yang tersedia adalah menggunakan tank
stainless steel untuk penumbuhan sel-sel tanaman pada skala industri. Penggunaan peralatan
bioreaktor dengan penggantung spesial dalam wadah dilaporkan. Kultur rambut akar berlanjut
pada perilaku menarik sebagia sumber potensial pada produksi skala besar dari senyawa penting
komersil.
Aplikasi Bioteknologi pada Penelitian Rambut Akar
Figure 1: Aplikasi Bioteknologi pada Penelitian rambut akar
Kesimpulan
Review ini merupakan rangkuman dari kemungkinan sumber metabolisme sekunder bagi
persepektif mereka pada produksi bioteknologi. Teknik kultur jaringan tanaman sudah mencoba
untuk memproduksi dalam skala besar metabolisme sekunder pada spesies tanaman yang
memberikan kepentingan medis atau hal itu secara umum sulit untuk dikultivasi. Seluruh potensi
bioteknologi dari metabolisme sekunder belum dieksploitasi. Teknologi dari kultur jaringan
tanaman berawal pada abad 21 pertengahan, dengan pekerja pioneer, seperti Haberlandt,
Research Journal of Agricultural Science, 46 (1), 2014 243 White, Nobécourt dan Gautheret.
Kultur jaringan tanaman dianjurkan pada pertaman kalinya untuk produksi fitokemikal pada
awal 1956. Sejak itu, pengembangan jaringan tumbuhan berdasarkan sistem kultur, sebagai
sebuah alternatif untuk seluruh tanaman konvensional atau produk sintesis, menjadi suatu
perubahan untuk riset ilmuwan di seluruh dunia. Meskipun progres yang baik pada sintesis
organik dari banyak metabolisme sekunder tanaman dan senyawa berkaitan, ekstraksi
metabolisme sekunder tanaman masih dibutuhkan secara komersil dan aktual. Lebih dari itu,
sebagian besar dari senyawa ini sangat sulit untuk disintesis secara kimiawi. Mengambil kedalam
preferensi akun konsumen makanan, senyawa alami lebih baik diterima sintesis secara umum.
Fakta ini memimpin pada pengembangan prosedur untuk menumbuhkan jaringan tanaman dan
sel-sel yang secara umum mirip untuk digunakan oleh mikroorganisme, i.e, dibawah kontrol
kondisi dalam wadah kultur dan manfaat pada jumlah besar produksi kultur pada skala industri.
Kultur jaringan tanaman memungkinkan transformasi alami dan senyawa sintesis menggunakan
potensi dari enzim mereka pada proses semacam hidrogenasi, dehidrogenasi, isomerasi,
glikosilasi, hidroksilasi pada transfer dari tulang belakang karbon. Produksi dari metabolisme
sekunder lewat teknik kultur jaringan sudah dilaporkan pada kedua kalus dan endapan kultur.
Spektrum dari produksi senyawa dan yang mereka hasilkan tergantung pada seleksi yang benar
pada spesies tanaman, tipe exsplan dan kondisi kultur.
BIBLIOGRAPHY
1. BASU, P., CHAND, S. (1996): Anthocyanin accumulation in Hyoscyamus muticus L. tissue cultures. J. Biotechnol., 52(2): 151-159.
2. BIONDI, S., SCARAMAGLI, S., OKSMAN-CALDENTEY, K. M., POLI, F. (2002):
Secondary metabolism in root and caallus cultures of Hyoscyamus muticus L: the relationship
between morphological organization and response to methyl jasmonate. In: Plant Sci., 163: 563–
569.
3. BOURGAUD, F., GRAVOT, A., MILESI, S., GONTIER, E. (2001): Production of plant secondary metabolities: A historical perspective. In: Plant Sci., 161: 839–851.
4. BUDZIANOWSKI, J., BUDZIANOWSKA, A., KROMER,K. (2002): Naphthalene glucoside
and other phenolics from the shoot and callus cultures of Drosophyllum lusitanicum. Phytochemistry, 61: 421–425.
5. CACHO, M., MORAN, M., CORCHETE, P., FERNANDEZ-TARRAGO, J. (1999):
Influence of medium composition on the accumulation of flavonolignans in cultured cells of Silybum marianum (L.).Gaertn. Plant Sci., 144: 63-68.
6. CETIN, B., GUREL, A., BEDIR, E., AKKAYA, M., AY, G. (2005): Formation of
Agrobacterium rhizogenes-mediated Transformed Hairy Root Cultures of Rubia tinctorum L.
and Analysis of Secondary Metabolites. XIV. National Biotechnology Congress, August 31-
September 2: 40-44, Eskisehir/Turkey.
7. COLLIN, H. A. (2001): Secondary product formativ in plant tissue cultures. In: Plant Growth Regul., 34: 119–34.
8. DHAWAN, S., SHASANY, A.K., NAQVI, A.A., KUMAR, S., KHANUJA, S.P.S. (2003):
Menthol tolerant clones of Mentha arvensis: approach for in vitro selection of menthol rich genotypes. In: Plant Cell Tissue and Organ Culture, 75: 87-94
9. DIAS, A.C.P., TOMAS-BARBERAN, F.A., FERNANDES-FERREIRA, M., FERRERES, F.
(1998): Unusual flavonoids produced by callus of Hypericum perforatum. In: Phytochemistry, 48: 1165-1168.
10. FAZILATUN, N., NORNISAH, M., ZHARI, I. (2004): Superoxide radical scavenging
properties of extracts and flavonoids isolated from the leaves of Blumea balsamifera. In: Pharm. Biol., 42: 404-408.
11. FEDOREYEV, S. A., KULESH, N. I., GLEBKO, L. I., POKUSHALOVA, T. V.,
VESELOVA, M. V., SARATIKOV, A. S.; VENGEROVSKII, A. I.; CHUCHALIN,V. S.
(2004): Maksar: a preparation based on Amur Maackia. In: Pharm. Chem. J., 38: 605–610.
Research Journal of Agricultural Science, 46 (1), 2014 244
12. FILOVÁ, A., ROVNÁ, K. (2011): Explantate culture of yew (Taxus sp.) as alternative
production systems for taxane metabolites. Acta horticulturae et regiotecturae, 14 (1): 19-23.
13. GIRI, A., NARASU, M., (2000): Transgenic Hairy Roots: Recent Trends and Application. Biotechnology Advances, 18: 1-22.
14. HIBINO, K., USHIYAMA, K. (1999): Commercial production of Ginseng by plant cell
culture technology, pp. 215–224. In: FU, T. J., SINGH, G. & CURTIS, W. R. (eds) Plant Cell
and Tissue Culture for the Production of Food Ingredients, Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht.
15. HOU, D. X. (2003): Potential mechanisms of cancer chemoprevention by anthocyanins. Curr. Mol. Med., 3:149–59.
16. HU, Z-B., DU, M. (2006): Hairy root and its application in plant genetic engineering. Journal
of Integrative Plant Biology, 48, (2): 121-127.
17. JEONG, C-S., MURTHY, H., N., HAHN, E-J., PAEK, K-Y. (2008): Improved production of
ginsenosides in suspension cultures of ginseng by medium replenishment strategy. Journal of
Bioscience and Bioengineering, 105, (3): 288-291.
18. KHANAM, N., KHOO, C. , KHAN, A.G. (2000): Effects of cytokinin/auxin combinations
on organogenesis, shoot regeneration and tropane alkaloid production in Duboisia myoporoides.
Plant Cell Tissue Organ Cult., 62: 125–133.
19. KAIMOYO, E., FARAG, M.A., SUMNER, L.W., WASMANN, C., CUELLO, J.L.,
VANETTEN, H. (2008): Sub-lethal levels of electric current elicit the biosynthesis of plant
secondary metabolites. Biotechnology Progress, 24(2):377–384.
20. KAŠPAROVÁ, M., SIATKA, T., DUŠEK, J. (2009): Production of isoflavonoids in the Trifolium pratense L. suspension culture. Ceska a Slovenska Farmacie, 58(2):67–70.
21. KIM, Y., WYSLOUZIL, B.E., WEATHERS, P.J. (2002): Secondary metabolism of hairy
roots in bioreaktors. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant, 38: 1–10.
22. KUZOVKINA, I. N., SCHNEIDER, B. (2006): Genetically transformed root cultures – Generation, Properties and Application in Plant Sciences. Progress in Botany, 67: 275-324.
23. LI, W., KOIKE, K., ASADA, Y., HIROTANI, M. RUI, H., YOSHIKAWA, T., NIKAIDO,
T. (2002): Flavonoids from Glycyrrhiza pallidiflora hairy root cultures. Phytochemistry, 60: 351–355.
24. LUDWIG-MULLER, J., GEORGIEV, M., BLEY, T. (2008): Metabolite and hormonal status
of hairy root cultures of Devail’s claw (Harpagophytum procumbens) in flaks and in a bubble
column bioreaktor. Process Biochemistry, 43: 15-23.
25. MADHAVI, D. L., BOMSER, J., SMITH, M. A. L., SINGLETARY, K. (1998): Isolation of
bioactive constituents from Vaccinium myrtillus (bilberry) fruits and cell cultures. Plant Sci.,
131: 95–103.
26. MEHROTRA, S., KUKREJA, S., KHANUJA, B., MISHRA, N. (2008): Genetic
transformation studies and scale up of hairy root culture of Glycyrrhiza glabra in bioreaktor.
Electronic Journal of Biotechnology, 11: (2).
27. MIN, J., Y., JUNG, H., Y., KANG, S., M., KIM, Y., D., KANG, Y., M., PARK, D., J.,
PRASAD, D., T., CHOI, M., S. (2007): Production of tropane alkaloids by small-scale bubble
column bioreaktor cultures of Scopolia parviflora adventitious roots. Bioresource Technology, 98: 1748-1753.
28. MONACHE, G. D., DE ROSA, M.C., SCURRIA, R., VITALI,A., CUTERI, A.,
MONACELLI, B., PASQUA,G., BOTTA. B. (1995): Comparison between metabolite
productions in cell culture and in whole plant of Maclura pomifera. Phytochemistry, 39: 575–
580.
29. NOGUEIRA, J. M. F., ROMANO, A. (2002): Essential oils from micropropagated plants of Lavandula viridis. Phytochem. Anal., 13: 4–7.
30. PARK, H. H., HAKAMATSUKA, T., SANKAWA, U., EBIZUKA, Y. (1995): Rapid
metabolism of isoflavonoids in elicitor‐treated cell suspension cultures of Pueraria lobata.
Phytochemistry, 38: 373–380.
31. PENCE, V.C. (2011): Evaluating costs for the in vitro propagation and preservation of
endangered plants. In Vitro Cellular and Developmental Biology—Plant., 47(1):176–187.
Research Journal of Agricultural Science, 46 (1), 2014 245
32. PTAK, A., EL TAHCHY, A., SKRZYPEK, E., WOJTOWICZ, T., LAURAIN-MATTAR,
D. (2013): Influence of auxins on somatic embryogenesis and alkaloid accumulation in
Leucojum aestivum callus. Central European Journal of Biology, 8(6): 591-599.
33. RAO, S. M., RAVISHANKAR, G. A. (2002): Plant cell cultures: chemical factories of
secondary metabolities. Biotechnol. Adv., 20: 101–153.
34. SMITH, M. A. L., KOBAYASHI, H., GAWIENOWSKI, M., BRISKIN, D. P. (2002): An in
vitro approach to investigate medicinal chemical synthesis by three herbal plants. Plant Cell
Tissue Organ Cult., 70: 105–111.
35. TERRIER, B., COURTOIS, D., HENAULT, N., CUVIER, A., BASTIN, M., AKNIN,
A.,DUBREUIL, J., PETIARD, V. (2007). Two new disposable bioreaktors for plant cellculture:
The wave and undertow bioreaktor and the slug bubble bioreaktor. Biotechnology and
Bioengineering, 96, (5): 914-923.
36. TUMOVA, L., OSTROZLIK, P. (2002): Ononis arvensis in vitro. Abiotic elicitation. Ces.
Slov. Farm., 51(1): 173-176.
37. TŮMOVÁ, L., TŮMA, J., DOLEŽAL, M., DANIELOVÁ, B. (2010): Pyrazinecarboxylic
acid derivatives as effective abiotic elicitors of isoflavonoids production. Ceska a Slovenska
Farmacie, 59(3):117–122.
38. TŮMOVÁ, L., TŮMA, J., MEGUŠAR, K., DOLEŽAL, M. (2010): Substituted
pyrazinecarboxamides as abiotic elicitors of flavolignan production in Silybum marianum (L.)
gaertn cultures in Vitro. Molecules, 15(1):331–340.
39. WU, C-H., MURTY, H. N., HAHN, E-J., PAEK, K., Y. (2008): Establishment of
adventitious root co-culture of Ginseng and Echinacea for the production of secondary
metabolites. Acta Physiologiae Plantarum, 30: 891-896.
40. YAMAMOTO, H., ZHAO, P., INOUE, K. (2002): Origin of two isoprenoid units in a
lavandulyl moiety of sophoraflavanone G from Sophora flavescens cultured cells.
Phytochemistry, 60: 263–267.
41. ZHANG, W., SEKI, M., FURUSAKI, S. (2002): Effect of temperature and its shift on
growth and anthocyanin production in suspension cultures of strawberry cells. Plant Sci., 127:
207–214.
42. ZHAO, J.L., ZHOU, L.G., WU, J.Y. (2010): Effects of biotic and abiotic elicitors on cell
growth and tanshinone accumulation in Salvia miltiorrhiza cell cultures. Applied Microbiology
and Biotechnology, 87(1):137–144.
ACKNOWLEDGEMENT This study was supported by project: Vybudovanie výskumného centra ,,AgroBioTech―, ITMS
kód: 26220220180.
Pendapat Sendiri.
- Kalau bisa menghasilkan senyawa metabolit sekunder dalam jumlah besar melalui proses
kultur jaringan. Mungkin jika diberi tambahan bakteri yang merangsang produksi hormon
akan memberikan hasil yang lebih signifikan.
- Jika exsplan diradiasi dengan variasi dosis dan perlakuan yang berbeda mungkin bisa
menghasilkan produk yang lebih banyak.
- Tidak hanya radiasi, penambahan senyawa kimia tertentu juga bisa menambah hasil
produksi metabolit sekunder.
- Bisa terdapat kekhawatiran terjadinya ketidakseimbangan ekosistem akibat penggunaan
kutur jaringan demi memperoleh varietas unggul penghasil metabolit sekunder. Misalnya
suatu habitat yang asalnya ditumbuhi tumbuhan endemik setelah dipakai sebagai
lapangan hasil percobaan kultur jaringan, tanaman endemik tersebut perlahan-lahan
punah karena kalah bersaing.
- Hasil dari metabolit sekunder tidak hanya obat, bisa juga racun yang berbahaya. Apalagi
setelah diradiasi, mungkin sisa radiasi masih terkandung dalam tanaman dan bisa
meracuni manusia.
- Jika ditambah variasi sampel exsplannya, mungkin akan dihasilkan senyawa flavonoid
yang lebih banyak atau bervariasi.
- Mungkin selain senyawa yang berkhasiat obat bisa juga dihasilkan antivirus atau
interferon.
- Kurangnya penjelasan atas istilah-istilah senyawa kimia seperti: chromium trichloride,
asam jasminic, substituted anilides of asam pyrazine-2-carboxylic dan asam iodoacetic.
Orang awam tidak tahu senyawa apa itu. Padahal jurnal yang baik adalah jurnal yang
mudah dimengerti.
- Gaya bahasa yang susah dimengerti, sangat banyak istilah dan referensi sehingga seolah
yang menulis jurnal sangat pintar.
- Selain rambut akar, bagian daun, bunga, buah, dan umbi bisa juga dipelajari.
- Senyawa bioaktif yang bisa dihasikan melalui proses kultur jaringan perlu diteliti lebih
jauh terutama dari segi potensinya sebagai obat.