PRESUS

24
TUGAS PRESENTASI KASUS BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH “FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRAE” Disusun oleh : Noni Minty Belantric G1A009028

description

BEDAH SARAF

Transcript of PRESUS

Page 1: PRESUS

TUGAS PRESENTASI KASUSBAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH

“FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRAE”

Disusun oleh :

Noni Minty Belantric G1A009028

JURUSAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2012

Page 2: PRESUS

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRESENTASI KASUS

“FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRAE”

Diajukan sebagai syarat untuk melanjutkan proses pembelajaran

Blok Early Clinical and Community Exposure III

Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

Disahkan dan dipresentasikan

di Bagian Ilmu Penyakit Bedah

pada 27 Desember 2012

Pembimbing,

dr. Moh. Tarqib Alatas, Sp.BS

Page 3: PRESUS

I. PENDAHULUAN

Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk

skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa

dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,

menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada

orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12

thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal (AANS, 2005).

Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat oleh

ligamen di depan dan dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang

mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat

fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma

hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit harus

diperlakukan dengan hati-hati (Harna, 2008).

Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang

belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis

posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk ke kanalis vertebralis

serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut

terputus (Harna, 2008).

Cedera medulla spinalis merupakan kelainan yang pada masa kini yang

banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan di

bidang penatalaksanaannya. Kalau di masa lalu cedera tersebut lebih banyak

disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa, pada masa kini

penyebabnya lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat

ketinggian dan kecelakaan olah raga. Pada masa lalu kematian penderita dengan

cedera medulla spinalis terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi

saluran kemih, gagal ginjal, pneumoni / decubitus (Harna, 2008).

Page 4: PRESUS

Trauma tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament,

diskus dan faset tulang belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang

belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga (22%), , terjatuh

dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja (AANS, 2005).

Di U.S., insiden cedera medulla spinalis sekitar 5 kasus per satu juta populasi

per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden cedera medulla spinalis

tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden cedera medulla spinalis pada pria

adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan cedera medulla spinalis terdapat pada usia

18-25 tahun. SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi

primer pada anak-anak. Tingginya insiden cedera medulla spinalis komplit yang

berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9

tahun (Schreiber, 2004).

Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien

dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun

pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi

dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi

traktus urinarius. Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh

kurang dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma,

peluang perbaikan adalah nol. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik.

Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih

dari 50 % (Schreiber, 2004).

Oleh karena itu, penulis menyusun referat ini untuk mengetahui mekanisme

trauma, diagnosis dan penatalaksanaan dari cedera tulang belakang terutama

thoracolumbal, secara tepat sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas dan

harapan hidup penderita.

Page 5: PRESUS

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur kompresi adalah

suatu keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan. Fraktur kompresi

adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat

disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk

ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker

dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi

lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan

fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra

sebenarnya (Jong, 2005).

Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal atau

lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan mematahkan

lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada vertebra; dengan

kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke dalam badan

vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture). Karena unsur posterior

utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil. Fragmen tulang

dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis dan inilah yang

menjadikan fraktur ini berbahaya; kerusakan neurologik sering terjadi.

(Jong.2005)

B. Etiologi dan Predisposisi

Cedera tulang belakang yang paling sering traumatis, disebabkan oleh lateral

yang lentur, rotasi dislokasi, pemuatan aksial, dan hyperflexion atau

hiperekstensi dari kabel atau cauda equina. Kecelakaan kendaraan bermotor

adalah penyebab paling umum dari SCI, sedangkan penyebab lain meliputi jatuh,

kecelakaan kerja, cedera olahraga (menyelam, judo dll), dan penetrasi seperti

luka tusuk atau tembak, kecelakaan di rumah (jatuh dr ketinggian, bunuh diri

dll), dan bencana alam, misal gempa. SCI juga dapat menjadi asal non-

Page 6: PRESUS

traumatik,. Seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram intervertebralis,

cedera tulang belakang, penyakit sumsum tulang belakang vascular, transverse

myelitis, tumor dan multiple sclerosis.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan fraktur kompresi vertebra antara lain

(Jong, 2005; Old, 2004):

1. Osteoporosis

2. Usia

3. Jenis kelamin

4. Riwayat fraktur sebelumnya

5. Konsumsi alkohol dan rokok

6. Aktivitas fisik rendah

7. Defisiensi vitamin D dan kalsium

8. Obesitas

9. Riwayat trauma

10. Riwayat terjatuh

11. Kanker seperti limfoma dan multipel mieloma

C. Patofisiologi

Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung

dan tidak langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas

pada tulang belakang adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak

langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan medula spinalis

tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi

persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot

intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota

gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan

yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang

disarafi oleh segmen yang cedera tersebut (Young, 2000).

Page 7: PRESUS

Fraktur kompresi (Wedge fractures) adanya kompresi pada bagian depan

corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi

adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat

disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun

mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari

tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi

lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur

kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra

sebenarnya (Young, 2000).

D.

E.

F.

G.

H.I.

D. Penegakan Diagnosis dan Pemeriksaan Fisik

Diagnosis klinik adanya fraktur kompresi thorakolumbal didapatkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan yang tinggi akan adanya cedera

pada vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat

bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan cedera tumpul diatas

klavikula, cedera kepala atau menurunnya kesadaran harus dicurigai adanya cedera cervical

sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang  jatuh dari ketinggian atau dengan dengan

mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada cedera thoracolumbal.

Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera tulang belakang jika pasien datang dengan nyeri

pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis pada tungkai (Kuntz, 2004).

Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan amat cermat. Tanpa

informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang tepat tidak mungkin

ditentukan. Pemeriksaan rektum harus dilakukan. Pemeriksaan tentang tanda-tanda

Page 8: PRESUS

shock juga sangat penting. Macam-macam shock yang dapat terjadi pada cadera tulang

belakang :

a. Hypovolemic shock yang ditandai dengan takikardia, akral dingin dan hipotensi jika

sudah lanjut.

b. Neurogenic shock adalah hilangnya aktivitas simpatis yang ditandai dengan

hipotensi, bradikardi.

c. Spinal shock : disfungsi dari medulla spinalis yang ditandai dengan hilangnya fungsi

sensoris dan motoris. Keadaan ini akan kembali normal tidak lebih dari 48 jam.

Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda

fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya

bersifat stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X,

sedangkan sifat dan tingkat lesi saraf dengan CT atau MRI (Kuntz, 2004).

1. Roentgenography : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang

vertebra, untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeeseran pada vertebra.

2. Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat

gambar vertebra 2 dimensi . pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat

irisan-irisan yang dihasilkan CT scan

3. Magnetic Resonance Imaging : pemeriksaan ini menggunakan

gelombang frekuensiradio untuk memberikan informasi detail mengenai

jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah

gambaran 3 dimensi . MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakan

jaringan lunak pada ligament dan discus intervertebralis dan menilai cedera

medulla spinalis.

E. Penatalaksanaan

Traksi.

Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x

Page 9: PRESUS

digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.

Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika

kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi Terbuka.

Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,

fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,

sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan

fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid

terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga

sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi

fragmen tulang (Stanley, 2002).

1) Retensi/Immobilisasi

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimun.

Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus

diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai

terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau

interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi

kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat

digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk

mengimobilisasi fraktur (Price, 2005).

2) Rehabilitasi

Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan

imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis.

pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli

bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.

Page 10: PRESUS

Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai

pendekatan (perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).

Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi

disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup

sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.

Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan

terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.

Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya

gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan

tingkat aktivitas dan beban berat badan (Price, 2005).

F. Prognosis

Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan

klasifikasi spinal cord injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam

(mengenai hidup matinya penderita), segi quo ad sanam (mengenai

penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik) dan segi quo ad

fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang

terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2

yaitu ragu-ragu kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad

malam). Secara garis besar prognosis dari paraplegi akibat cedera medula

spinalis adalah jelek karena medula spinalis merupakan salah satu susunan saraf

pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi kecacatan yang permanen

(Price, 2005).

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,

biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi

dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus

dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran

yang benar.

Page 11: PRESUS

G. Komplikasi

a. Gangguan motorik

Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi

kerusakan sel-sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus

reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-

segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal

shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan

sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan

flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit

tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak bawah akan

mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung

beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih

dan menjadi spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula flacid

karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel – sel

saraf

b. Gangguan sensorik

Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya

paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem

saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan.

(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami

anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.

c. Gangguan bladder dan bowel

Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula

spinalis, derajat kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury.

Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama setelah injury selama periode

Page 12: PRESUS

spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan

mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia.

Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan

kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasii otot spincter internus.

Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls

afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan

rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja.

Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum.

Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja

didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara

volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada

tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan

dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal

yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia

maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).

Page 13: PRESUS

III. KESIMPULAN

1. Kecurigaan yang tinggi akan adanya cedera pada vertebra pada pasien trauma

sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat bagaimana mekanisme

cedera pasien tersebut.

2. Setiap pasien dengan cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala atau

menurunnya kesadaran harus dicurigai adanya cedera cervical sebelum curiga

lainnya.

3. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau dengan dengan mekanisme

kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada cedera thoracolumbal.

4. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera tulang belakang jika pasien datang

dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis pada tungkai.

Page 14: PRESUS

IV. DAFTAR PUSTAKA

AANS. 2005. Spinal Cord Injury. http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp. Diakses pada 26 Desember 2012, jam 16.00.

American Association of Neurological Surgeons. 2007. Vertebral Compression

Fracture.Diunduhdi http://www.aans.org/Patient%20Information/Conditions

%20and%20Treatments/Vertebral%20Compression%20Fractures.aspx. Pada

26 Desember 2012.

Apley,A.Graham. Apley’s System O Orthopaedic And Fracture, Seventh Edition. Butterworth scientific. London, 2000. p. 658-665.

Jong, W.D, Samsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal: 870-874.

Old, Jerry. Michelle Calvert. 2004. Vertebral Compression Fractures in the Elderly. Am Fam Physician.  69(1):111-116.

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorrain M, 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-     proses Penyakit, edisi 6, Jakarta: EGC.

Reiter, George. 2011. Vertebral Fracture. Diunduh di http://emedicine.medscape.com/article/248236-overview. Pada 26 Desember 2012

Stanley, M. dan Patricia, G. B., (2002). Gerontological Nursing: A health Promotion/Protection Approach, 2nd ed.Philadelphia: F.A. Davis Company

Young wise, (2000), Spinal Cord Injury Level And Classification, download from http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml

Page 15: PRESUS

LAMPIRAN

Page 16: PRESUS