Preskas Neuro

29
BAB I PRESENTASI KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : An. L Jenis kelamin : Perempuan Usia : 16 tahun Alamat : Babakan Pekerjaan : Pelajar Agama : Islam Status perkawinan : Belum Menikah Tanggal pemeriksaan : 28 Maret 2016 II. ANAMNESIS (alloanamnesis terhadap orang tua pasien) Keluhan Utama : Kejang Keluhan Tambahan : demam, Penurunan kesadaran Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun diantar keluarga dengan keluhan kejang ≥ 5x sejak 1 hari SMRS. Keluhan disertai dengan demam sejak 2 hari SMRS disertai penurunan kesadaran. Pasien kejang semalaman tanpa

description

m

Transcript of Preskas Neuro

BAB IPRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama : An. LJenis kelamin : PerempuanUsia : 16 tahunAlamat : BabakanPekerjaan : PelajarAgama : IslamStatus perkawinan : Belum MenikahTanggal pemeriksaan : 28 Maret 2016

II. ANAMNESIS (alloanamnesis terhadap orang tua pasien)Keluhan Utama: KejangKeluhan Tambahan: demam, Penurunan kesadaranRiwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun diantar keluarga dengan keluhan kejang 5x sejak 1 hari SMRS. Keluhan disertai dengan demam sejak 2 hari SMRS disertai penurunan kesadaran. Pasien kejang semalaman tanpa berhenti, kejang pada seluruh tubuh. Saat kejang, tangan pasien mengepal, kaku dan melintir begitu juga kakinya menjadi kaku. Kedua mata melirik keatas dan bola matanya tidak simetris. Lamanya kejang lebih dari 15 menit, setelah kejang pasien tidak menangis, tidak berespon bila dipanggil. Pasien lemah, tidak aktif. Saat pasien sudah ditangani kejangnya oleh dokter IGD, kejang berhenti setelah pemberian obat lewat infus, kemudian pasien tidak sadarkan diri, lalu dipindahkan ke ICU selama 4 hari. Pada hari ke 5 pasien dipindahkan ke ruangan dan pasien sudah sadarkan diri. Keluhan tidak disertai dengan mual, muntah, batuk, pilek. BAB sulit, BAK lancar.Keluarga mengatakan pasien pernah mengalami kejang dari umur 10 tahun. Kondisi pasien berupa kelemahan otot dan badan kurus saat usia 10 tahun. Waktu bayi pasien sering mengalami demam tanpa disertai kejang. Keluarga pasien mengatakan pasien memiliki keterbatasan mental dari kecil.Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi (-) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat keluhan kejang (+)Riwayat Penyakit Keluarga :DisangkalIII. PEMERIKSAAN FISIKA. Status Pasien Keadaan umum: Tampak sakit sedang Kesadaran: Compos Mentis GCS: E4 M2 V- Tanda vital : Tekanan darah: 100/60 mmHgNadi: 120 x/menitPernafasan: 24 x/menitSuhu: 37,6 C Kepala: Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut Mata: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- Leher : Pembesaran KGB (-) , kaku kuduk (+), pembesaran regio coli sebelah kiri (-), nyeri (-). Thoraks: Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- Abdomen: Nyeri tekan (-), bising usus (+) Ekstremitas: Akral hangat, edema (-), sianosis (-)B. Status Neurologis1. PupilKananKiri

BentukBulatBulat

Diameter3 mm3 mm

Refleks cahaya langsung + +

Refleks cahaya tak langsung + +

1. Tanda Rangsang MeningealKananKiri

Kaku kuduk+

Brudzinski I--

Laseque>70>70

Kernig>135>135

Brudzinski II--

Brudzinski III--

Brudzinski IV--

1. Saraf KranialKananKiri

N. I (olfactorius)--

N. II(opticus)

1. Visus1. Lapang pandang1. Warna1. Funduskopi

1. Konfrontasi1. RCLTidak dilakukanTidak dilakukanTidak dilakukanTidak dilakukan

Baik+Tidak dilakukanTidak dilakukanTidak dilakukanTidak dilakukan

Baik+

N. III (oculomotorius)1. Ptosis--

N. IV (troklearis)Baik Baik

N. V (trigeminus)1. Mengunyah

1. Sensibilitas wajah1. Reflek kornea simetriskanan=kiriKanan=kiriTidak dilakukan

N. VI(abdusen)Baik Baik

N. VI(abdusen)Baik Baik

N. VII (facialis)1. Mencucurkan bibir1. Kerut dahi1. Tersenyum1. Perasa lidah1. Angkat alisTidak dinilaiTidak dinilaiSimetrisTidak dinilaiKanan=kiri

N.VIII(vestibulococlearis)1. Tes rhinne1. Tes weber1. Tes swabach--

N. IX (glossofaringeus)1. Posisi uvula1. Reflek muntahDitengahTidak Dinilai

N. X (vagus)++

N. XI (asesorius)1. Menoleh1. Mengangkat bahusulitsulitsulitsulit

N. XII (hipoglosus)1. Menjulurkan lidah1. Tremor 1. Atrofi lidah Tidak adaTidak adaTidak ada

1. MotorikKananKiri

Kekuatan1. Ekstremitas atas1. Ekstremitas bawah11 1 3

Refleks fisiologis1. Biceps1. Triceps1. Patella1. Achilles+++ ++++ +

Refleks patologis1. Hoffman1. Tromner1. Babinski1. Chaddok1. Oppenheim1. Gordon1. Schifer1. Gorda ----------------

1. Keseimbangan dan KoordinasiKananKiri

RombergTidak kooperatifTidak kooperatif

DisdiadokokinesisTidak kooperatifTidak kooperatif

Tes finger to noseTidak kooperatifTidak kooperatif

Heel to kneeTidak kooperatifTidak kooperatif

Rebound phenomenTidak kooperatifTidak kooperatif

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratorium (16 Maret 2016)LABRESULTUNITNORMAL

Leukosit6,810^3/uL4000-11000

Eosinofil 0%0-3

Basofil0%0-1

Limfosit19,3%20.0-40.0

Monosit8,7%2.0-8.0

Segmen72,0%50-70

RBC4,74mm34.4-6.0

HGB8,7g/dl13.0-18.0

HCT28,2%39.0-54.0

MCV59,5fl79-99

MCH18,4Pg27-31

MCHC30,9g/dl33-37

RDW19,0%33-47

PLT29710^3/150.0-450.0

MPV7,8fL7.9-11.1

Laboratorium (21 Maret 2016)LABRESULTUNITNORMAL

Leukosit6,4510^3/uL4000-11000

Eosinofil 1,4%0-3

Basofil0,3%0-1

Limfosit12,9%20.0-40.0

Monosit4,8%2.0-8.0

Segmen72,0%50-70

RBC4,56mm34.4-6.0

HGB8,5g/dl13.0-18.0

HCT29,8%39.0-54.0

MCV65,3fl79-99

MCH18,7Pg27-31

MCHC28,6g/dl33-37

RDW16,3%33-47

PLT29310^3/150.0-450.0

MPV8,1fL7.9-11.1

Laboratorium (28 Maret 2016)LABRESULTUNITNORMAL

Leukosit8,3710^3/uL4000-11000

Eosinofil 1,0%0-3

Basofil0,4%0-1

Limfosit11,8%20.0-40.0

Monosit3,7%2.0-8.0

Segmen81,3%50-70

RBC3,54mm34.4-6.0

HGB6,4g/dl13.0-18.0

HCT23,0%39.0-54.0

MCV65,0fl79-99

MCH18,2Pg27-31

MCHC27,9g/dl33-37

RDW18,4%33-47

PLT19010^3/150.0-450.0

MPV11,6fL7.9-11.1

16 maret 2016Glukosa Sewaktu90Mg/dl70-140

Elektrolit (17 Maret 2016)Natrium134Mmol/l135-155

Kalium 4,4Mmol/l3,5-5,5

chlorida97Mmol/l95-105

18 Maret 2016Glukosa Sewaktu63Mg/dl70-140

Kimia Klinik (23 Maret 2016)Albumin2,92gr/dl3,5-5,5

Elektrolit (23 Maret 2016)Natrium136Mmol/l135-155

Kalium 2,7Mmol/l3,5-5,5

chlorida98Mmol/l95-105

MDCT HEAD (23 Maret 2016)

Kesan :Curiga suatu cerebellitis

V. RESUMESubyektifPasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun diantar keluarga dengan keluhan kejang 5x sejak 1 hari SMRS. Keluhan disertai dengan demam sejak 2 hari SMRS disertai penurunan kesadaran. Pasien kejang semalaman tanpa berhenti, kejang pada seluruh tubuh. Saat kejang, tangan pasien mengepal, kaku dan melintir begitu juga kakinya menjadi kaku. Kedua mata melirik keatas dan bola matanya tidak simetris. Lamanya kejang lebih dari 15 menit, setelah kejang pasien tidak menangis, tidak berespon bila dipanggil. Pasien lemah, tidak aktif. Saat pasien sudah ditangani kejangnya oleh dokter IGD, kejang berhenti setelah pemberian obat lewat infus, kemudian pasien tidak sadarkan diri, lalu dipindahkan ke ICU selama 4 hari. Pada hari ke 5 pasien dipindahkan ke ruangan dan pasien sudah sadarkan diri. Keluhan tidak disertai dengan mual, muntah, batuk, pilek. BAB sulit, BAK lancar.Keluarga mengatakan pasien pernah mengalami kejang dari umur 10 tahun. Kondisi pasien berupa kelemahan otot dan badan kurus saat usia 10 tahun. Waktu bayi pasien sering mengalami demam tanpa disertai kejang. Pasien memiliki riwayat sering tiba-tiba jatuh. ObyektifPemeriksaan fisik :TD: 100/60 mmHg, N: 120 x/menit, RR: 20 x/menit, S: 36,80CTanda Rangsang Meningeal : kaku kuduk (+)Kekuatan motorik : 1 1Sensorik + +31

+ +

Reflek fisiologis+ +Reflek patologis - - + + - -

Hasil MDCT HEAD (23 Maret 2016)Kesan : Curiga suatu cerebellitis

VI. DIAGNOSIS1. Diagnosis Klinis : Demam, kejang, penurunan kesadaran, hemiparesis, retradasi mental, afasia2. Diagnosis Topis : Hemisfer Cerebri3. Diagnosis Etiologis : Ensefalitis

VII. DIAGNOSA BANDING Meningitis

VIII. PENATALAKSANAAN Aminofluid 12 tpm Meropenem 2x Citikolin 2x 500 mg Valdimex 0,5 mg / kp Dexametason 3x1/2 Ranitidin 2x1/2 amp Luminal 2x30mg PCT 3x500 mg Vip albumin 3x1 Transfusi 2 labu

IX. PROGNOSIS Quo ad vitam: dubia ad malam Quo ad functionam : dubia ad malam Quo ad sanationam : dubia ad malamBAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Ensefalitis sebagai salah satu jenis infeksi sistem saraf pusat merupakan masalah klinis yang sangat mengkhawatirkan. Onset ensefalitis seringkali akut, gejalanya dapat berkembang dengan cepat, dan anak-anak yang sebelumnya sehat menjadi lemah. Mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan ensefalitis. Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Bebagai macam virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.1,2Ensefalitis ialah proses infeksi dan inflamasi pada parenkim otak. Penyakit ini juga sering dikarakteristikkan dengan adanya perubahan status mental, kejang, ataupun tanda neurologik fokal. Istilah ensefalitis ini biasanya merujuk pada infeksi oleh virus.

B. EPIDEMIOLOGIPelaporan mengenai kasus ensefalitis secara umum lebih mudah diperoleh di negara maju. Insidens ensefalitis virus di seluruh dunia berkisar antara 3,5 dan 7,4 per 100.000 pasien per tahun, dan kejadiannya lebih tinggi pada anak. Meskipun kedua gender dapat terkena, banyak penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki.3 Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menggunakan survei untuk memperkirakan beban rawat inap yang disebabkan oleh ensefalitis di Amerika Serikat. Insiden keseluruhan rawat inap untuk ensefalitis adalah 7,3 kasus/100.000 per tahun; rata-rata setiap tahun, ensefalitis menyebabkan lebih dari 200.000 hari rawat inap dan 1.400 kematian. Bayi-bayi muda berusia kurang dari 1 tahun (13,7 kasus/100.000 per tahun) memiliki insiden tertinggi.2

C. ETIOLOGIBerbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis pada anak, misalnya bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.3Berbagai virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam ensefalitis virus. Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah:1.Infeksi virus yang bersifat epidemika. Golongan enterovirus: Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus Echob. Golongan virus Arbo: Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.2.Infeksi virus yang besifat sporadik: Rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.3 Ensefalitis Pasca infeksi: pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia, pasca-mononukleosis infeksiosa dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.

D. PATOGENESISSebelum menginvasi, virus dapat memesuki tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran cerna. Invasi sistem saraf pusat oleh virus selalu menjadi masalah penting. Virus dapat masuk ke otak melalui dua cara: melalui aliran darah (penyebaran hematogen) dan melalui serabut saraf tepi (penyebaran neuronal). Terkadang jalur penyebaran yang dilakukan oleh virus tidak hanya pada satu metode. Akses darah dapat terjadi melalui pertumbuhan melalui endotel pembuluh darah kecil otak, melalui transpor pasif melewati endotel vaskular, dengan jalur pleksus koroid ke cairan serebrospinalis, maupun transpor dalam monosit, leukosit, atau limfosit yang terinfeksi. Setelah sawar otak-darah ditembus, penyebaran lebih luas di seluruh otak dan medula spinalis mungkin terjadi, Ada kecenderungan hubungan antara tingkat viremia yang dicapai oleh virus neurotropik yang ditularkan melalui darah dan neuroinvasivitasnya. Penyebaran hematogen sekunder ialah apabila virus berkembang biak di daerah pertamakali masuk (permukaan selaput lendir) dan masuk ke organ lain.Jalan lain ke sistem saraf pusat adalah melalui saraf tepi. Virion dapat tertangkap pada ujung saraf sensorik atau motorik dan dipindahkan ke dalam akson melalui ruang endoneural atau oleh infeksi sel Schwann. Herpesvirus berjalan di akson untuk dibawa ke neuron ganglion radiks dorsal.Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang sistem saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan neurologis. Kelainan neurologis tersebut dapat disebabkan oleh:1.Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak2.Reaksi Jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.3.Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten Reaksi patologi terhadap infeksi virus sitosidal pada sistem saraf pusat adalah nekrosis, inflamasi, dan fagositosis oleh sel glia. Ensefalitis pascainfeksi yang terjadi setelah infeksi campak (sekitar satu per 1.000 kasus) dan lebih jarang setelah infeksi rubela ditandai dengan demielinasi tanpa degenerasi neuronal dan mungkin merupakan penyakit autoimun. Pada ensefalitis virus akut, sebuah temuan patologis yang bermakna ialah infiltrasi sel-sel inflamasi mononuklear dalam Ruang Wirchow-Robin dan pada meninges di sekitar dinding pembuluh darah (perivaskular cuffing). Dalam perkembangan penyakit yang lebih lanjut, proliferasi astrocytosis dan hipertrofi sel mikroglial dengan pembentukan agregat mikroglial (microglial nodul) dan neuronophagia (kelompok sel-sel mikroglial yang mengelilingi neuron mati) menjadi temuan histopatologi yang menonjol.3

E. MANIFESTASI KLINISMeskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari : Demam Kejang Penurunan kesadaranManifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron.4Pada bayi, terdapat jeritan, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang-kejang. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu diagnosis. 4Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat meradang gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis. Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema. 5Mycoplasma pneumoniae (MP) juga diketahui merupakan penyebab infeksi pernafasan pada anak-anak dan dewasa, akan tetapi hanya 0,1% dari infeksi MP yang dapat menyebabkan komplikasi neurologi seperti ensefalitis, meningitis, dan myelitis, dengan penularan secara langsung ke sistem saraf pusat maupun tidak langsung seperti toxin-mediated. Dengan gejala klinis yang menyerupai ensefalitis pada umumnya yaitu demam, sakit kepala, muntah, dan kejang, dan penurunan kesadaran, dan gejala klinis infeksi saluran pernafasannya dapat asimptomatik.Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala sesuai dengan proses patologik yang terjadi di otak. Gejala-gejala tersebut ialah gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala yang kronik progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian yaitu gejala neurologis dan gejala mental. Gejala-gejala neurologis diantaranya kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun, pada stadium akhir timbul gangguan-gangguan motorik yang progresif.

F. DIAGNOSAMemastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas, gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG, pencitraan, biopsi otak, dan polymerase chain reaction (PCR). Walaupun tidak begitu membantu, gambaran cairan serebrospinal dapat pula dipertimbangkan. Anamnesis Identitas ( Nama, Umur, Jenis kelamin ) Keluhan utama Riwayat penyakit terdahulu Riwayat pertumbuhan dan perkembangan Riwayat penyakit keluarga Pemeriksaan FisikSeringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun dan kejang. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, dapat timbul terpisah atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan DarahDarah perifer lengkap, biakan darah, dan tes serologis lengkap dapat dilakukan. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika ada indikasi. Biasanya pemeriksaan laboratorium tidak membantu kecuali untuk mengetahui proses infeksi virus yang sedang terjadi (predominan limfosit pada infeksi virus, predominan sel PMN pada infeksi bakteri. Tes serologi bergantung pada adanya titer antibodi. Deteksi dini IgM mungkin membantu diagnosis awal.

2. Cairan Serebrospinal (CSS)Pungsi lumbal CSS bisa normal atau menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang: peningkatan jumlah sel 50-200/mm3, hitung jenis didominasi limfosit. Protein meningkat tetapi tidak melebihi 200 mg/dl, glukosa normal. Tes Polymerase Chain Reaction dari CSS dilakukan hanya pada kecurigaan adanya ensefalitis herpes simpleks.

3. Pencitraan Gambaran computed tomography/CT-scan atau magnetic resonance imaging/MRI kepala menunjukkan edema otak baik umum atau fokal. MRI lebih sensitif daripada CT-scan dalam mendeteksi ensefalitis viral. CT-scan dapat memperlihatkan komplikasi seperti perdarahan, hidrosefalus, dan herniasi, serta dapat membantu menentukan perlu tidaknya tindakan bedah. Pada ensefalitis herpes simpleks, CT-scan memperlihatkan lesi dengan densitas rendah di lobus temporalis yang belum terlihatsampai 3-4 hari setelah awitan.

4. ElektroensefalografiPemeriksaan elektroensefalografi merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya didapatkan gambaran perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal.

5.Pemeriksaan diagnostik khususIsolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena sangat jarang menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi dalam dua kali pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VH sedang aktif. Harus diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan disebabkan oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak, akan tetapi kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari ke 10-12 setelah permulaan sakit. Hal ini merupakan kendala terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai diagnosis retrospektif. Penggunaan perbandingan antara titer antibodi serum dan cairan serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas diagnosis dalam 10 hari sakit. 2 Teknik diagnostik yang tersedia diantranya pemeriksaan serologik, biakan sel, imunohistologik dan biologi molekuler (PCR). Polymerase chain reaction (PCR) sekarang menjadi baku emas untuk mengevaluasi ensefalitis atau meningoensefalitis HSV dengan mendeteksi DNA HSV didalam CSS. Spesifisitas PCR pada ensefalitis HSV mendekati 100%, sedangkan sensitivitasnya berkisar antara 75-95%. PCR juga dapat dipakai untuk diagnosis cepat infeksi dengan CMV, enterovirus, human herpes virus, virus varicella-Zoster dan HIV. Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi antibodi imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada penderita yang diduga menderita ensefalitis Japanese.

H. DIAGNOSIS BANDING1. Abses otak2. Meningitis 3. Toksoplasmosis4. Status Epileptikus5. Perdarahan Subaraknoid6. Hipoglikemia7. Kejang demam8. Neoplasma otak Meningitis yang disebabkan bakteri yang paling sering menginvasi sistem saraf pusat yaitu H. Influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan N. Meningitidis. Pada meningitis biasanya ditemukan rangsang meningeal, walaupun pada bayi terkadang tidak ditemukan. Meningitis tuberkulosa juga merupakan diagnosa banding, dengan perjalanan penyakit yang sangat lambat. Pada pemeriksaan fisiknya dapat ditemukan limfadenopati, dan tanda rangsang meningeal. Pada funduskopi dapat ditemukan papil pucat, tuberkuloma di retina, dan adanya nodul di koroid. Uji tuberkulin dapat juga membantu diagnosa. Infeksi bakteri parameningeal juga, seperti abses otak dimana radang bernanah pada jaringan otak, juga dapat mempunyai tanda-tanda yang sama dengan ensefalitis, dan gangguan non infeksi juga perlu dipikirkan pada diagnosa banding ensefalitis, seperti keganasan, perdarahan intrakranial. Untuk itu pembuatan foto adalah penting untuk diagnosa proses ini. 2

I. PENATALAKSANAANTatalaksana terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif1.Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan TIK dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.1 Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2 minggu. Metil-prednisolon diberikan dengan dosis 15/mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam salama 3-5 hari dan dilanjutkan prednison oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari. Jika kondisi pasien telah stabil dapat dilakukan konsultasi ke Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur.1

J. PROGNOSIS Prognosis bergantung pada virulensi virus, dan kondisi kesehatan pasien, usia sangat muda, imunitas tubuh dan kondisi neurologis. Gejala sisa yang sering ditemukan ialah gangguan penglihatan, epilepsi, palsi serebral, gangguan perilaku, dan retardasi mental.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia 2009; 1: 67-682. Lewis, P., Glacor, C., Encephalitis. American Academic of Pediatrics: Pediatrics in Review. 2005:26;353-3633. Ferrari S, Toniolo A, Monaco S, et al. Viral Encephalitis. Open Inf Dis J. 2009; 3: 1-34. Sastroasmoro, S. Ensefalitis. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 20075. Soedarmo, S.S.P., Herpes Simpleks. Dalam: Soedarmo, S.S.P.,Garna H. Infeksi& Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI. 2010.143-154.

20