PRESKas Bentuk I

81
PRESENTASI KASUS I PAROTITIS Disusun Oleh : Stanley Permana 030.08.230 Pembimbing : Dr. Daniel, Sp.A KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 24 MARET – 31 MEI 2014

description

pres kas

Transcript of PRESKas Bentuk I

PRESENTASI KASUS I

PAROTITIS

Disusun Oleh :

Stanley Permana

030.08.230

Pembimbing :

Dr. Daniel, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 24 MARET – 31 MEI 2014

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, 2014

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa : Stanley Permana Pembimbing : dr Daniel, SpA

NIM : 030.08.230 Tanda Tangan :

I.IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : An. D

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 6 tahun

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa-Betawi

Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 05 Maret 2008

Alamat : Jl. Pirus RT/RW 10/11 No. 54, Bidaracina, Jatinegara, Jakarta

Timur

Orang Tua / Wali

Ayah : Meninggal Ibu :

Nama : Tn. A Nama : Ny. H

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl. Pirus RT/RW 10/11 Alamat : Jl. Pirus RT/RW 10/11

No. 54, Jatinegara, JakTim No. 54, Jatinegara, JakTim

Pekerjaan : Sales Pekerjaan : Guru TK

Penghasilan : Rp 2 juta/bln Penghasilan : Rp. 2 juta/bln

Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa

Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung.

2

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara Alloanamnesis dengan Ny H

Lokasi : Bangsal lantai 5 Timur, kamar 513

Tanggal / waktu : Maret 2014

Tanggal Masuk : Maret 2014

a. Keluhan Utama:

Demam sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit

b. Keluhan Tambahan :

Batuk berdahak, nyeri pada leher ketika mengunyah makanan .

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih diantar oleh orang tuanya mangeluh

demam sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Batuk berdahak namun sulit untuk

dikeluarkan. Pasien juga demam semejak 2 hari SMRS, demam naik turun. 10 hari SMRS

pasien mulai pilek, ingus awalnya encer kemudian menjadi kental berwarna bening.

Pasien sudah sempat berobat ke puskesmas, namun keluhan tidak juga membaik. 1 hari

SMRS pasien mulai sesak napas, sesak biasanya timbul setelah batuk yang terus-

menerus, hingga pernah sampai bibir menjadi biru. Nafsu makan pasien menurun. Tidak

ada penurunan berat badan ataupun keringat malam. Pasien menyangkal adanya kejang,

diare, dan muntah.

a. Riwayat Penyakit dahulu

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Difteria - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal -

Demam

Berdarah- Kejang - Darah -

Demam

Thypoid

- Kecelakaan - Radang paru Pernah di rawat di

RSUD Budhi

Asih 2x (Usia 9

bulan dan 12

3

bulan)

Otitis - Morbili - Tuberkulosis -

Parotitis - Operasi

Usia 4 bulan,

operasi hernia

umbilikalis dan

scrotalis

Pertusis Usia 5 bulan

Kesan : Pasien pernah dirawat di RS dengan radang paru dan operasi hernia.

b. Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien riwayat post partum cardiomyopati setelah melahirkan pasien. Riwayat

darah tinggi, diabetes, asma dan alergi disangkal. Ibu pasien sedang batuk juga.

c. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

KEHAMILAN Morbiditas kehamilan

Hipertensi (+), DM (-),

anemia (-), penyakit jantung

(-), penyakit paru(-),

keputihan (+)

Perawatan antenatal

Kontrol rutin 1x/bulan di

puskesmas, suntik TT 1x,

vitamin (+)

KELAHIRAN Tempat kelahiran RSCM

Penolong persalinan Dokter spesialis

Cara persalinanSC a.i. KPD disertai

oligohidramnion

Masa gestasiKurang bulan (8 bulan 1

minggu)

Keadaan bayi

Berat lahir : 1300 gram

Panjang badan : 39 cm

Langsung dirawat diruang

perinatologi dan diinkubator

selama 1 bulan.

4

Kesan : Riwayat kehamilan dengan resiko tinggi dan kelahiran kurang bulan, dengan

keadaan pasien harus di rawat di ruang perinatologi.

d. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan gigi I : Umur 4 bulan (Normal: 5-9 bulan)

Psikomotor

Tengkurap : Umur 5 bulan (Normal: 3-4 bulan)

Duduk : Umur 10 bulan (Normal: 6-9 bulan)

Berdiri : Umur 13 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Berjalan : Umur 15 bulan (Normal: 13 bulan)

Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Perkembangan pubertas

Rambut pubis : -

Payudara : -

Menarche : -

Gangguan perkembangan mental/emosi : tidak ada

Kesan : Riwayat perkembangan baik

e. Riwayat Makanan :

Umur

(bulan

)

ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0 – 2 PASI - - -

2 – 4 PASI - - -

4 – 6 PASI - + -

6 – 8 PASI + + -

8 – 10 PASI + + +

10 – 12 PASI + + +

Umur Diatas 1 Tahun

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi/Pengganti 3x/hari, 1 porsi

Sayur 1x/hari

5

Daging 12x/minggu, 1potong/kali

Telur 1butir, 3x/minggu

Ikan 2x/bulan

Tahu 1 potong, 3x/minggu

Tempe 1 potong, 3x/minggu

Susu (merk/takaran) 3x/hari, susu SGM

Lain-lain -

Kesan:Riwayat makanan cukup baik.

f. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )

BCG 1 bulan - -

DPT / PT 3 bulan 4 bulan 6 bulan

Polio 3 bulan 4 bulan 6 bulan

Campak - - -

Hepatitis B 1 bulan 4 bulan 6 bulan

Kesan: Riwayat imunisasi dasar pasien belum lengkap, kurang campak.

g. Riwayat Keluarga (corak reproduksi)

a. Corak reproduksi

No Tanggal

lahir (umur)

Jenis

kelamin

Hidup Lahir

Mati

Abortus Mati

(sebab)

Keterangan

kesehatan

1. 08/04/2007 Laki-laki + - - - Sehat

2. 05/05/2012 Laki-laki + - - - Pasien

b. Riwayat Pernikahan

Ayah Ibu

Nama Tn. A Ny. H

Perkawinan ke- Satu Satu

Umur saat menikah 29 Tahun 17 tahun

Pendidikan terakhir SMA SMA

Agama Islam Islam

Suku bangsa Jawa Betawi

6

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Penyakit, bila ada - -

h. Riwayat Perumahan dan Sanitasi

Pasien tinggal bersama ayah dan ibu di sebuah rumah tinggal mengontrak dengan

2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur, beratap genteng, berlantai keramik, berdinding

papan. Keadaan rumah sempit, pencahayaan cukup, ventilasi cukup. Sumber air bersih

dari air PAM. Air limbah rumah tangga disalurkan dengan baik dan pembuangan sampah

setiap harinya diangkut oleh petugas kebersihan. Lingkungan padat, belakang rumah

sungai dan sering terjadi banjir. Kedua orang tua pasien tidak merokok.

Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien kurang baik.

i. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai sales dengan penghasilan Rp.2.000.000,- /bulan.

Sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan

tersebut kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sehari-hari pasien diasuh

oleh ibunya.

Kesimpulan sosial ekonomi: kurang baik.

III.PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 27 Januari 2014

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Sikap : Kurang Kooperatif

Data Antropometri

Berat Badan : 9,3 kg

Tinggi Badan : 75 cm

Lingkar kepala : 45 cm

Status Gizi

7

BB/U = 9,3/12 x 100 % = 79 % gizi kurang

TB/U = 75/84 x 100% = 89 % tinggi normal

BB/TB = 9,3/10,2 x 100% = 91.2 % gizi baik

Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa status gizi baik

Tanda Vital

Tekanan Darah : - mmHg

Nadi : 132x/menit, reguler, isi cukup, equal kanan dan kiri

Suhu : 37,2°C

Pernapasan : 40 x/menit, teratur

Kulit : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor normal,

kelembaban normal, tidak ada efloresensi yang bermakna

Kepala dan Leher

Kepala : Normosefali, ubun ubun datar, rambut warna hitam,

distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks

cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera

ikterik -/-,mata cekung -/-

Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung

+/+, sekret +/+

Telinga : Membran timpani intak, sekret -/-

Mulut : Bibir merah muda, tidak kering, sianosis (-), trismus (-) ,

halitosis (-)

Lidah : Normoglossia, basah, tepi hiperemis, tremor (-)

Gigi geligi : Caries (-)

Uvula : Letak di tengah

Tonsil : T1/T1, tidak hiperemis, detritus (-),kripta (-)

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis

Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba

membesar, trakea letak normal

Thorax

Paru

8

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, efloresensi

primer/sekunder dinding dada (-), pulsasi abnormal(-),

gerak pernapasan simetris, ekspirasi memanjang, tipe

abdomino-thorakal, retraksi intercostal dan subcostal

(+)

Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris

Perkusi : Sonor di semua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/+.

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-)

Perkusi : Redup

Auskultasi : SISII reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Bentuk datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit baik, hepar dan lien

tidak teraba membesar.

Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen, ascites (-).

Genitalia : Rambut pubis (-)

Anus : Prolaps ani (-),lecet di daerah anus (-),nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Akral hangat, spastisitas (-), sianosis (-), parese (-),

paralisis (-), CRT < 2 detik

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Dilakukan pemeriksaan laboratorium pertama kali pada tanggal 26 Januari 2014

9

V.

RINGKASAN

Seorang pasien, laki-laki, usia 1 tahun 8 bulan, datang diantar orangtuanya mangeluh batuk

sejak 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Batuk berdahak namun sulit untuk dikeluarkan.

Pasien juga demam semejak 2 hari SMRS, demam naik turun. 10 hari SMRS pasien mulai

pilek, ingus awalnya encer kemudian menjadi kental berwarna bening. 1 hari SMRS pasien

mulai sesak napas, sesak biasanya timbul setelah batuk yang terus-menerus, hingga pernah

sampai bibir menjadi biru. Nafsu makan pasien menurun.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Nadi : 132x/m, nafas : 40x/m, suhu : 37,2o C, Nafas

cuping hidung (+), Retraksi intercostal dan subcostal (+), ekspirasi memanjang, dan

wheezing +/+. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat (leukosit 11

10

JENIS PEMERIKSAAN HASIL

PEMERIKSAAN

NILAI NORMAL

Hematologi

Hemoglobin 12.8 g/dL 10,8-12,8 g/dL

Hematokrit 42 % 40 – 48 %

Lekosit 11 rb /uL 5-10 rb/ul

Eritrosit 5 juta/ul 3.6 -5.8 juta/ul

Trombosit 346 rb/uL 150-400 rb/uL

LED 45 mm/jam 0-10 mm/jam

MCV 84.0 fL 73-101 fL

MCH 25.6 pg 23-31 pg

MCHC 30.6 g/dL 26-34 g/dL

RDW 13 % <14 %

Hitung Jenis

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 1 % 1-5

Netrofil batang 2 % 3-6

Netrofil Segmen 78 % 25-60

Limfosit 15 % 25-50

Monosit 4 % 1-6

rb/uL), LED meningkat (LED 45 mm/ jam), netrofil segmen meningkat (netrofil segmen

78%) dan limfosit menurun (limfosit 15 %)

VI. DIAGNOSIS BANDING.

Bronkiolitis

Asma Bronkial

Bronkopneumonia

Bronkopneumonial displasia

VII. DIAGNOSIS KERJA

Bronkiolitis

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

Rontgen Thorax

IX. TERAPI

Non medikamentosa

- Tirah baring

- Oksigenisasi 2L/mnt

- Pasang NGT

- Diet minum cair 6x75cc

Medikamentosa

IVFD KaEn 3B 4cc/KgBB/jam

Ampicilin 4 x 250 mg

Colsa 4x125 mg

Salbutamol 0,5 mg + ambroxol 4.5 mg 3 x 1bks

Paracetamol 10o mg, jika suhu ≥ 38oC

Dexametason 3x1.5 mg

Inhalasi fixitab I

Inhalasi fentolin + NaCl I

X. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad functionam : Dubia ad bonam

11

Ad sanasionam : Dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP

Tanggal S O A P

27/1/14

hr 1

- batuk (+)

-demam (+)

-Sesak (+)

KU : TSS/Compos mentis

TV : N = 120 x/m, R =

40x/m, S = 38,60C

Kepala : Normosefali

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung : NCH (+), sekret (-)

Telinga : NT (-/-), sekret (-/-)

Mulut : kering (-), sianosis (-)

Leher : KGB ttm

Thoraks : retraksi (+)

-Pul : SN vesikuler, Rh -/-,

wheezing +/+

- Cor : BJ I-II reguler, m (-),

g (-)

Abdomen : datar, supel, BU

(+)

Ekstremitas : Akral hangat +

+/++, CRT < 2s

Bronkiolitis IVFD KaEn 3B

4cc/KgBB/jam

Ampicilin 4 x 250 mg

Colsa 4x125 mg

Salbutamol 0,5 mg +

ambroxol 4.5 mg 3

x 1bks

Paracetamol 10o mg,

jika suhu ≥ 38oC

Dexametason 3x1.5

mg

Inhalasi fixitab I

Inhalasi fentolin +

NaCl I

28/1/14

hr 2

- batuk (+)

-demam (+)

-Sesak (+)

bbs 9.3

ivfd 892.8

mi 730

bak 1490

iwl 186

KU : TSS/Compos mentis

TV : N = 140 x/m, R =

42x/m, S = 39.70C

Kepala : Normosefali

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung : NCH (+), sekret (-)

Telinga : NT (-/-), sekret (-/-)

Mulut : kering (-), sianosis (-)

Leher : KGB ttm

Bronkiolitis IVFD KaEn 3B

4cc/KgBB/jam

Ampicilin 4 x 250 mg

Colsa 4x125 mg

Salbutamol 0,5 mg +

ambroxol 4.5 mg 3

x 1bks

Paracetamol 10o mg,

jika suhu ≥ 38oC

12

B – 513.2

D 6.68

cc/kgbb/jam

Thoraks : retraksi (+)

-Pul : SN vesikuler, Rh -/-,

wheezing +/+

- Cor : BJ I-II reguler, m (-),

g (-)

Abdomen : datar, supel, BU

(+)

Ekstremitas : Akral hangat +

+/++, CRT < 2s

Dexametason 3x1.5

mg

Inhalasi fixitab I

Inhalasi fentolin +

NaCl I

29/1/14 Demam (-)

Sesak (-)

Batuk (+)

KU : TSS/Compos mentis

TV : N = 120 x/m, R =

32x/m, S = 36.70C

Kepala : Normosefali

Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung : NCH (-), sekret (-)

Telinga : NT (-/-), sekret (-/-)

Mulut : kering (-), sianosis (-)

Leher : KGB ttm

Thoraks : retraksi (-)

-Pul : SN vesikuler, Rh -/-,

wh -/-,

- Cor : BJ I-II reguler, m (-),

g (-)

Abdomen : datar, supel, BU

(+)

Ekstremitas : Akral hangat +

+/++, CRT < 2s

Bronkiolitis IVFD KaEn 3B

4cc/KgBB/jam

Ampicilin 4 x 250 mg

Colsa 4x125 mg

Salbutamol 0,5 mg +

ambroxol 4.5 mg 3

x 1bks

Paracetamol 10o mg,

jika suhu ≥ 38oC

Dexametason 3x1.5

mg

Inhalasi fixitab I

Inhalasi fentolin +

NaCl I

30/1/14 Demam (+)

semalam

Sesak (+)

terkadang

KU : TSS/Compos mentis

TV : N = 120 x/m, R =

34x/m, S = 36.80C

Kepala : Normosefali

Bronkiolitis IVFD KaEn 3B

4cc/KgBB/jam

Ampicilin 4 x 250 mg

Colsa 4x125 mg

13

Batuk (+) Mata : CA -/-, SI -/-

Hidung : NCH (+), sekret (-)

Telinga : NT (-/-), sekret (-/-)

Mulut : kering (-), sianosis (-)

Leher : KGB ttm

Thoraks : retraksi (-)

-Pul : SN vesikuler, Rh -/-,

wh -/-,

- Cor : BJ I-II reguler, m (-),

g (-)

Abdomen : datar, supel, BU

(+)

Ekstremitas : Akral hangat +

+/++, CRT < 2s

Salbutamol 0,5 mg +

ambroxol 4.5 mg 3

x 1bks

Paracetamol 10o mg,

jika suhu ≥ 38oC

Dexametason 3x1.5

mg

Inhalasi fixitab I

Inhalasi fentolin +

NaCl I

14

TINJAUAN PUSTAKA

BRONKIOLITIS

Defenisi

Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran

nafas kecil (bronkioli) yang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi

umur 2-8 bulan.1-4

Etiologi

Respiratory Syncytial Virus merupakan agen penyebab pada 50 – 90 % kasus, sisanya

oleh virus para influenza, mikoplasma, adenovirus dan virus lainnya. Infeksi primer oleh bakteri

penyebab belum dilaporkan.1,-4,7

Patofisiologi

Secara harfiah pernafasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfir menuju ke sel-sel dan

keluarnya karbondioksida dari sel-sel ke udara bebas. Jika hal ini diuraikan lagi akan terbagi

menjadi pernafasan eksternal (difusi oksigen dan kabondioksida melalui mambran kapiler

alveoli) dan pernafasan internal (rekasi-reaksi kimia intraseluler dimana oksigen dipakai dan

karbondioksida dihasilkan sewaktu sel memetabolismekan karbohidrat dan substansi lain untuk

membangkitkan ATP dan pelepasan energi).8

Setelah melewati hidung dan faring, udara didistribusikan kedalam paru melalui trakea,

bronkus dan bronkioli. Satu masalah yang paling penting pada semua jalan pernafasan adalah

memelihara agar tetap terbuka, sehingga aliran udara keluar masuk alveoli berjalan lancar.

Cincin kartilago pada trakea dan bronkus berfungsi untuk mempertahankan rigiditas dan

menjaga terjadinya kolap. Adapun bronkiolus dindingnya hanya terbentuk oleh otot polos dan

diameternya sangat kecil yaitu 1 – 1,5 mm, sehingga mudah terjadi obstruksi baik oleh proses

inflamasi maupun spasme otot itu sendiri.8

15

Infeksi virus dari saluran pernafasan bagian bawah

UdemKerusakan epitelHipersekresi

Obstruksi saluran nafas kecil

Atelektasisdan hiperinflasi

Penurunan kompliansi paru

Peningkatan kerja pernafasan

Kelelahan otot pernafasan Hipoksemi

Hiperkarbi

Apneu AsidosisSyok

Henti nafas dan jantung

Patofisiologi bronkiolitis berawal dari invasi virus pada percabangan bronkus kecil,

menyebabkan nekrosis epitel yang kemudian berproliferasi membentuk sel yang kuboid atau

gepeng tanpa silia. Rusaknya sel epitel bersilia menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan

lokal. Jaringan peribronkial mengalami infiltrasi lekosit, sel plasma dan makrofag, dan sebagian

limfosit bermigrasi diantara sel epitel sehingga timbul udem, akumulasi mukus dan debris seluler

hingga terjadi obstruksi lumen bronkiolus.9

Resistensi aliran udara meningkat pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Tetapi

karena radius saluran napas kecil selama fase ekspirasi, maka terdapat mekanisme klep hingga

udara akan terperangkap dan menimbulkan hiperinflasi dada. Atelektasis dapat terjadi bila

obstruksi total dan udara diserap. Proses patologik ini mengganggu pertukaran udara di paru,

menyebabkan ventilasi berkurang dan hipoksemia. Sebagai kompensasi frekuensi napas akan

meningkat. Umumnya hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada penyakit yang sangat berat.

Penyembuhan terjadi secara bertahap. Regenerasi lapisan basal mulai hari ke 3 – 4 dan

regenerasi silia terjadi setelah 15 hari.9

Skema 1. Patofisiologi Bronkiolitis

16

Dasar Diagnosis

a.Anamnesis

Pada bayi dengan bronkiolitis biasanya mempunyai riwayat terpajan pada anak yang lebih

tua atau orang dewasa yang mempunyai penyakit pernafasan ringan pada minggu sebelum

mulainya penyakit. Bayi mula-mula menderita penyakit infeksi ringan pada saluran

pernafasan disertai batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa kenaikan suhu atau hanya

subfebril. Anak mulai mengalami sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal

dan cepat dan disertai dengan serangan batuk. Pada kasus ringan gejala menghilang dalam 1 –

3 hari. Pada penyakit yang lebih berat gejala-gejala dapat berkembang dalam beberapa jam

dan perjalanan penyakit menjadi berlarut-larut.1-4

b.Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, anak nampak gelisah, sesak napas, napas cepat dan dalam (60-

80x/menit), napas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi otot pernapasan

akibat penggunaan otot-otot asesoris pernafasan karena paru terus-menerus terdistensi oleh

udara yang terperangkap. Overinflasi paru dapat mengakibatkan hati dan limpa teraba di

bawah tepi kosta. Pada perkusi terdengar suara hipersonor. Ronki basah halus dapat terdengar

pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernafasan diperpanjang dan

mengi/wheezing dapat terdengar. Pada sebagian besar kasus berat, suara pernafasan hampir

tidak dapat didengar bila obstruksi bronkiolus hampir total.1-5

c.Pemeriksaan X-foto thorax

Pemeriksaan X-foto thorax mungkin masih normal atau menunjukkan adanya

hiperinflasi paru (hiperaerasi) dengan diafragma datar dan kenaikan diameter anteroposterior

pada foto lateral. Nampak penebalan peribronkial pada 50 % kasus, area konsolidasi pada 25

% kasus, dan area kolaps segmen atau lobar pada 10 %, atau ditemukan bercak-bercak

pemadatan akibat atelektasis sekunder tehadap obstruksi atau inflamasi alveolus. Pneumonia

bakteri secara dini tidak dapat disingkirkan dengan hanya pemeriksaan radiologik saja.1-6

17

d.Pemeriksaan Penunjang Lainnya

Lekosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan

pada penyakit virus lain jarang ditemukan pada bronkiolitis. Uji faal paru menunjukan

peningkatan Functional Residual Capacity, bertambahnya tahanan paru dan turunnya

compliance. Setelah 4 – 5 hari fungsi paru membaik dan setelah 10 hari tahanan paru dan

compliance kembali normal. Analisis gas darah menunjukan PaO2 rendah sedangkan PaCO2

normal atau meningkat. Derajat peningkatan PaCO2 tidak berhubungan dengan beratnya

penyakit. Biakan nasofaring menunjukkan flora bakteri yang normal. Virus dapat

diperagakan pada sekresi nasofaring dengan deteksi antigen (misalnya ELISA) atau dengan

biakan.1-6

Pada penderita ini data-data yang mendukung diagnosis bronkiolitis adalah riwayat batuk

yang makin lama makin berat, ada panas subfibril, sesak, tetapi tidak tampak sianosis dan ada

riwayat mengi.

Pemeriksaan fisik didapatkan dispenu dengan frekuensi pernafasan 55x /menit, suhu 37 oC, terdapat retraksi epigastrial. Pada auskultasi paru terdapat wheezing, hantaran, eksperium

memanjang. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat trombositosis, lekosit dan hitung jenis

terdapat kesan limfosit teraktivasi dan gambaran infeksi virus.

Adapun hasil pemeriksaan X-foto thorax memberikan gambaran corakan bronkovaskuler

yang meningkat, dan tampak bercak perihiller dan parakordial kanan. Hal ini kurang sesuai

untuk bronkiolitis yang ditandai dengan hiperaerasi paru dan peningkatan diameter

anteroposterior pada foto lateral serta diafragma lebih rendah.3,4

Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale dan

bronkopneumoni yang disertai dengan overinflasi paru. Wujud lain yang dapat dirancukan

dengan bronkiolitis adalah gagal jantung kongestif, pertusis, kistik fibrosis, benda asing di

trakea dan keracunan organofosfat.3

Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada penderita ini

tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : riwayat atopy pada keluarga ,

serangan/episode sesak yang berulang-ulang, mulainya mendadak tanpa infeksi yang

mendahului, ekspirasi yang sangat memanjang. Asma juga jarang terjadi pada umur kurang

dari satu tahun dan memberikan respon yang baik terhadap suntikan adrenalin atau albuterol

aerosol.3,4

18

Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, apalagi didukung

dengan gambaran X-foto thorax, namun keadaan klinis dan laboratoris tidak mendukung ke

arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni panasnya tinggi, dari auskultasi paru

didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak dijumpai wheezing maupun

eksperium memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai dengan temuan klinis (banyaknya

infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi sesak tanpa sianosis. Bronkopneumoni tidak

berespon terhadap pemberian kortikosteroid.3

Pemeriksaan penunjang lain pada penderita ini belum diperlukan. Analisa gas darah

(BGA) tidak dilakukan dengan alasan sudah terjadi perbaikan klinis setelah pemberian

nebulizer . Deteksi agen penyebab dengan serologi masih jarang dilakukan. Demikian pula

screening tuberkulosis dengan PPD 5 TU atau BCG tes tidak dilakukan karena anamnesis

maupun pemeriksaan fisik tidak mendukung.

B. PENGELOLAAN

Guna mencapai hasil pengobatan yang optimal, maka pengelolaan terhadap penderita

haruslah bersifat menyeluruh, meliputi aspek keperawatan, medikamentosa, dietetik, dan

edukatif. Pembahasan di bawah ini dimaksudkan untuk pengelolaan bronkiolits. Adapun

trombositosis tidak dilakukan pengelolaan khusus karena diperkirakan hal ini akibat dari

infeksi akut bronkiolitis sehingga penanganannya dengan mengobati penyebabnya. Terapi

bronkiolitis dapat bersifat simtomatis/suportif maupun kausatif. Namun pada umumnya,

terapinya bersifat suportif.

1. Aspek Medikamentosa

a. Suportif / Simtomatis : 1,3,4,13,15

Oksigen yang dilembabkan, kecepatan aliran 1 – 2 liter/menit atau konsentrasi 28 % ,

bertujuan untuk mengatasi hipoksemia, mengurangi kehilangan air insensibel akibat

takipnu, mengurangi dispnu, menghilangkan kecemasan dan kegelisahan. Jika

keadaannya lebih berat, oksigen sebaiknya diberikan dengan konsentrasi 40 %

menggunakan head box yang dipantau dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi

oksigen diturunkan sesuai perbaikan saturasinya. Penderita ini tidak terdapat sesak nafas

yang hebat, tidak sampai sianosis, sehingga diberikan oksigen 28% dengan masker atau

nasal canul.

19

Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral maupun enteral untuk

mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu. Penderita ini selama sakit makan dan

minumnya berkurang, sehingga diberi cairan parenteral berupa infus 2A ½ N 480/20/5

tetes mikro/menit.

Pemberian kortikosteroid sampai saat ini masih kontroversial. Umumnya diberikan pada

kasus yang gawat / kritis.Titik tangkap kortikosteroid adalah sebagai anti inflamasi

sehingga dapat meringankan obstruksi pada bronkioli. Obat yang dipilih adalah

deksametason inisial 0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5 mg/KgBB/hari dibagi 3 – 4 dosis,

atau hidrokortison 5 – 10 mg/KgBB/hari tiap 6 – 8 jam sampai klinis membaik.

Penderita ini datang dengan distres respirasi, maka diberikan kortikosteroid nebulizer

pulmicort ½ respul.

Antipiretik diberikan bila suhu ≥ 38 0 Celcius

Obat mukolitik dipertimbangkan pemberiannya dalam kaitannya dengan adanya

hipersekresi mukus. Penderita ini diberi ambroksol 3 x 4 mg. Ambroksol adalah suatu

benzylamin derivat vasicine, berguna dalam meningkatkan sekresi mukus dan

mengurangi viskositas/kekentalannya serta memperbaiki transport mukosilier.

b. Kausatif : 3,4,14,15

Obat anti virus Ribavirin (virazol), suatu nukleotida sintetis, telah digunakan di luar

negeri sebagai terapi spesifik. Pemberiannya secara inhalasi terus-menerus 12 – 20

jam/hari selama 3 – 5 hari, cukup efektif mengurangi gejala bronkiolitis jika diberikan

sedini mungkin (pada awal perjalanan infeksi). Namun dalam suatu penelitian

melaporkan bahwa pemberian ribavirin tidak begitu menurunkan lama rawat inap di

rumah sakit dan angka mortalitas. Pengaruh jangka lama masih belum diketahui.

Karenanya, penggunaannya hanya terindikasi pada bayi yang amat sakit atau pada bayi

berisiko tinggi, seperti bayi dengan penyakit jantung kongenital sianotik, displasia

bronkopulmoner berat, atau immunodefisiensi berat. Penderita ini tidak diberikan.

Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutis, tetapi karena sulit dibedakan

dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara empris, terutama pada

keadaan umum yang kurang membaik dan kecurigaan adanya infeksi sekunder. Biasanya

diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/24 jam, dalam 4 dosis atau eritromisin 50 mg/kgBB/24

jam dalam 4 dosis. Pada penderita ini tidak diberikan.

20

BRONKOPNEUMONIA

1.1 Definisi

Pneumoni adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru(1). Bronkopneumonia atau

pneumonia lobularis merupakan bagian dari pneumonia, yang merupakan suatu infeksi saluran

pernafasan bagian bawah yang mengenai parenkim paru, yang dapat disebabkan baik oleh

bakteri, virus, jamur maupun benda asing lainnya (seperti aspirasi)(2,3).

1.2 Epidemiologi

Pneumonia hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak di

negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak

berusia di bawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia,

lebih kurang 2 juta anak balita, meniggal setiap tahunnya akibat pneumonia, sebagian besar

terjadi di Afrika dan Asia Tenggara(1). Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%

kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem

respiratori, terutama, pneumonia(2).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran

napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru

RSUP Persahabatan tahun 2001, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan

11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan

14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus

infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis.

Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu: pneumonia

masyarakat (community-acquired pneumonia) dan pneumonia rumah sakit (hospital-acquired

pneumonia)(2,3).

1.3 Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan

kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi

pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan

21

anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus

grup B dan bakteri Gram negatif seperti E. Colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp(3,4). Pada

bayi yang lebih beeasr dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococus

pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak

yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma

pneumoniae.

Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping

bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia

anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan

bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytical Virus (RSV),

Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Kelompok anak usia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi

infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak berusia di bawah 2 tahun.

Secara klinis, umumya pneumoia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.

Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat

menentukan etiologi(1).

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir – 20 hari

Bakteri

E.colli

Sreptococcus group B

Listeria Monocytogenes

Bakteri

Bakteri anaerob

Streptococcus group D

Haemophillus influenza

Streptococcus pneumoniae

Ureaplasma urealyticum

Virus

Virus Sitomegalo

Virus Herpes simpleks

3 minggu – 3 bulan

Bakteri

Virus

Virus Adeno

Virus Influenza

Virus Parainfluenza 1,2,3

Repiratory Syncytial virus

Bakteri

Bordetella pertussis

Hamophillus influenza tipe B

Moraxella catharallis

Staphylococcus aureus

Ureaplasma urealyticum

Virus

22

Virus Sitomegalo

4 bulan - 5 tahun

Bakteri

Chlamydia trachomatis

Mycoplasma pneumoniae

Streptococcus pneumoniae

Virus

Virus adeno

Virus influenza

Virus parainfluenza

Virus rino

Repiratory Syncytial virus

Bakteri

Hamophillus influenza tipe B

Moraxella catharallis

Neisseria meningitidis

Staphylococcus aureus

Virus

Virus varisella zoster

5 tahun – remaja

Bakteri

Chlamydia trachomatis

Mycoplasma pneumoniae

Streptococcus pneumoniae

Bakteri

Hamophillus influenza tipe B

Legionella sp

Staphylococcus aureus

Virus

Virus adeno

Virus Epstein Barr

Virus influenza

Virus parainfluenza

Virus rino

Repiratory Syncytial virus

Virus varisella zoster

1.4 Patologi dan patogenesis

Umumnya mikroorganime penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran

respiratori. Mula – mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan

penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,

23

yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di

alveoli(1).

Selanjutnya proses peradangan yang terjadi pada paru – paru mengikuti empat stadium

berikut ini(5):

1. Stadium kongesti, dimana mulai terjadi pelebaran dan kongesti kapiler, serta mulai

terdapatnya eksudat jernih, bakteri dalam jumlah yang banyak, beberapa neutrofil dan

makrofag di dalam alveolus.

2. Stadium hepatisasi merah, dimana lobus dan lobulus yang terkena mengalami

konsolidasi, menjadi padat dan tidak mengandung udara, warnanya berubah menjadi

merah, dan pada perabaan menjadi seperti perabaan hepar. Selain itu di dalam alveolus

banyak di dapatkan serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman,

stadium ini berlangsung singkat.

3. Stadium hepatisasi kelabu, dimana lobus paru masih tetap padat namun warna merah

berubah menjadi pucat kelabu, permukaan pleura menjadi suram karena diliputi oleh

fibrin, alveolus terisi fibrin dan leukosit PMN, kapiler sudah tidak lagi mengalami

kongesti. Proses fagositosis berlangsung cepat.

4. Stadium resolusi, merupakan stadium dimana eksudat mulai berkurang, namun dalam

alveolus makrofag bertambah, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan

debris menghilang.

1.5 Manifestasi Klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga

sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam

kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS(1).

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah

imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinik yang

kadang – kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik

invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi,

tetapi secara umum adalah sebagai berikut(1):

24

Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu

makan, keluhan gastrointestinal seperti mutah atau diare; kadang – kadang ditemukan

gejala infeksi ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, nafas

cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara nafas

melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih

beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak

ditemukan kelainan.

1.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Perifer Lengkap

Pada pneumonia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam

batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan

leukositosis (15.000 – 40.000/mm3) dengan prdominan PMN. Leukopenia (< 5000/mm3)

menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang

ditemukan eosinofilia(6). Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat

berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada

glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat(6).

Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat membedakan antara

infeksi virus dan bakteri secara pasti(1).

2. C- Reactive Protein (CRP)

CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon

infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,

terutama IL-6, IL-1, dan TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat

mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak(6).

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara

faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau

profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi superfisialis

daripada profunda.

3. Uji Serologis

25

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah(1). Akan tetapi, diagnosis infeksi

Streptokokus grup A dapat dikonfimasi dengan peningkatan titer antibodi seperti

antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Secara umum, uji serologis tidak terlalu

bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik sepert

Mikoplasma dan Klamidia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG, yang dapat

mengkonfirmasi diagnosis.

4. Pemeriksaan mikrobiologis

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok,

sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis

dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi

paru(1).

5. Pemeriksaan rontgen Toraks

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari(1,7):

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,

peribronchial cuffing, dan hiperaerasi

Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.

Konsolidasi dapat mengenai satu lobus (pneumonia lobaris), atau terlihat sebagai

lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas,

dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.

Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,

berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah perifer paru,

disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

1.7 Diagnosis

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis

merupakan dasar terapi yang optimal(7). Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu

mudah karena memerlukan pemeriksaan penunjang yang memadai. Prediktor paling kuat adanya

pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:

takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara nafas melemah(1).

26

Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam

upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia

yang sederhana.

Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut(1).

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

o Pneumonia berat

Bila ada sesak nafas

Harus dirawat dan diberikan antibiotik

o Pneumonia

Bila tidak ada sesak nafas

Ada nafas cepat dengan laju nafas

> 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun

> 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun

Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

o Bukan pneumonia

Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas

Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan

simptomatis seperti penurun panas.

Bayi berusia dibawah 2 bulan

o Pneumonia

Bila ada nafas cepat (> 60 x / menit) atau sesak nafas

Harus dirawat dan diberikan antibiotik

o Bukan pneumonia

Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

1.8 Penatalaksanaan

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan

terutama berdasarkan berat - ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernafasan, tidak mau

makan atau minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama

27

mempertimbangkan usia pasien(1). Neonarus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis

pneumonia harus dirawat inap(7).

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik

yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena,

oksigen, koreksi terhadap gangguan asam-basa, elektrolit, dan gula darah (1,2). Untuk nyeri dan

demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.

Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan

oleh bakteri

Pneumonia Rawat Jalan

Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya

amoksisilin atau kotrimoksazol(7). Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB,

sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP - 20 mg/kgBB sulfametoksazol(1).

Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi

alternatif beta - laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya

aktivitas ganda terhadap S. pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30 - 50

mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10 - 14 hari(1). Klaritromisin dan roksitromisin

diberikan dua kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB untuk klaritromisin dan 5 - 10 mg/kgBB

untuk roksitromisin. Azitromisin dapat diberikan satu kali sehari selama 3 - 5 hari, 10 mg/kgBB

pada hari pertama, dilanjutka dengan dosis 5 mg/kgBB untuk hari berikutnya(1,2,7).

Pneumonia Rawat Inap

Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan beta

- laktam, ampisilin, atau amoksisislin, yang dapat dikombinasikan dengan kloramfenikol.

Pemberian ampisilin/amoksisilin (25 - 50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam)

harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama(4). Bila memberikan respons yang

baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah

sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari

berikutnya(4).

28

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat

(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis

atau tidak sadar, sianosis, distres pernafasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25

mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)(4).

Bila pasien datang dalam keadaan klinis yang berat, segera berikan oksigen dan

pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai

alternatif, dapat diberikan seftriakson (80 - 100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari)(4).

1.9 Komplikasi

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,

pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta(1). Empiema torasis

merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri(4,7).

ASMA BRONKIAL

Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan

elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang

menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-

batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi

jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan

(Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, 2004). Asma adalah suatu kelainan

berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus

terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi,

batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang

umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Keputusan menteri kesehatan

republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008).

Etiologi

29

Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat

berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan

episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat

dipisahkan :

1. Asma ekstrinsik imunologik

Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak, umumnya

tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita

adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan

mungkin asma bronkial. Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor

pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, dan spora jamur. Asma

ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

2. Asma intrinsik imunologik

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak

spesifik atau tidak diketahui, seperti aspirin dan obat-obat sejenisnya, latihan jasmani, emosi,

cuaca/ udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan

emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu

dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan

mengalami asma gabungan. Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk

lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus.

Faktor risiko

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor

lingkungan.

1. Faktor genetik

Hipereaktivitas

Atopi/alergi bronkus

Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

Jenis kelamin

Ras/etnik

2. Faktor lingkungan

30

Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)

Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)

Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,

susu sapi, telur)

Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)

Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)

Ekpresi emosi berlebih

Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan

aktifitas tertentu

Perubahan cuaca

Epidemiologi

Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4–5%

populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada

segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10

tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat

predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.

Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,

terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel.

1. Inflamasi akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,

alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik

31

Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15

menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi

degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator

seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin

dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan

vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan

bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian

kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh

pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid

untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.

Reaksi fase lambat dan lama

Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan

serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang

tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam

setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel

mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada

reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama

dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat,

kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.

2. Inflamasi kronik

Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi

di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T,

eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi

ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan

bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan

dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat factor

kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel

mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan

mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid

biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.

32

Airway remodeling

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi

sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks

ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease

dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang

terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.

2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3. Penebalan membran retikular basal

4. Pembuluh darah meningkat

5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

6. Perubahan struktur parenkim

7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat

inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan

gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan

jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat

dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

Patologi Anatomi

Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus

penyumbat dalam bronki, (2) Inflamasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata,

dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan

dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang

mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari

reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa.

Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis harus

diwaspadai.

Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot

polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak

33

mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan

jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada mukosa yang

edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel yang lepas dan

sekret protein yang membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat dengan kristal

Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris

seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi kearah bronkitis.

Patofisiologi

Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan oleh

kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental yang

lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi paksa (forced

expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja

bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik (elastic recoil),

penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan

perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit saluran napas,

sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama serangan akut. Pada pasien

yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru pada

elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital capasity)

cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-

rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan, sementara rata-rata aliran mid ekspiratori

maksimum dan minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari yang diharapkan. Untuk

mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air trapping) ditemukan dalam

jumlah besar.

Gambaran klinik

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.

Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik

mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi

pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih

kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa

disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini dicurigai,

34

perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi

bronkus dengan metakolin.

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak

jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-

alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan

cuaca.

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu

dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang

minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya,

seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi

dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan

diagnosis.

Diagnosis

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia,

disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang

sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu

berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa

batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca.

Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan

jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih

meningkatkan nilai diagnostic

Riwayat penyakit atau gejala :

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.

4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.

35

5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit

1. Riwayat keluarga (atopi).

2. Riwayat alergi/atopi.

3. Penyakit lain yang memberatkan.

4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada

beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak

dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai

sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian,

yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti

adanya sifat-sifat asma.

Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa

dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan

bentuk asma.

Pemeriksaan fisik

o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak

ditemukan kelainan fisik di luar serangan.

o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,

kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah

supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks

emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks

bertambah.

o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior.

Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah

atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi

kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.

36

o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat

tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis,

gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.

o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan

tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat

perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat

berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena

akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.

Uji faal paru

Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal

paru digunakan untuk menilai :

1. Derajat obstruksi bronkus

2. Menilai hasil provokasi bronkus

3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.

Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC.

Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. “peak flow meter”

adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih

lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio

FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa

biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang

berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total

paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut

umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila

diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus.

Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :

1. Histamin

2. Metakolin

3. Beban lari

4. Udara dingin

5. Uap air

37

6. Alergen

Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR,

FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai

normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi

bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi

tidak perlu dilakukan.

Foto rontgen toraks

Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi

terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga

bila asmanya sulit dikontrol.

Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin

Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis

asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada

infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.

Uji kulit alergi dan imunologi

1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau

pengukuran IgE spesifik serum.

2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan

dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di

daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat

juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi

terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus

selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih

tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit

alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin

3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan

penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat

dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji

kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis

alergi/atopi.

38

Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan

aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan

penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Derajat

asma

Gejala Gejala

malam

Faal paru

Intermitten Bulanan

Gejala < 1x/minggu

Tanpa gejala diluar

serangan

Serangan singkat

≤ 2x/bulan APE ≥ 80%

VEP1 ≥ 80% nilai

prediksi APE ≥ 80%

nilai terbaik

Variabilitas APE <

20%

Persisten

ringan

Mingguan

Gejala > 1x/minggu tetapi <

1x/hari

Serangan dpt mengganggu

aktivitas dan tidur

> 2x/bulan APE > 80%

VEP1 ≥ 80% nilai

prediksi APE ≥ 80%

nilai terbaik

Variabilitas APE 20-

30%

Persisten

sedang

Harian

Gejala setiap hari

Serangan mengganggu

aktivitas dan tidur

membutuhkan

bronkodilator setiap hari

> 1x/minggu APE 60-80%

VEP1 60-80% nilai

prediksi APE 60-80%

nilai terbaik

Variabilitas APE >

30%

Persisten

berat

Kontinua

Gejala terus menerus

Sering APE ≤ 60%

VEp1 ≤ 60% nilai

39

Sering kambuh

Aktivitas fisik terbatas

prediksi ≤ 60% nilai

terbaik

Variabilitas APE >

30%

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah

berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal

paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus

mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.

Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian

Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap I

intermiten

Tahap 2

persisten

sedang

Tahap 3

persisten

sedang

Tahap I : intermitten

Gejala < 1x/minggu

Serangan singkat

Gejala malam < 2x/bulan

Faal paru normal di luar serangan

Intermiten Persisten

ringan

Persisten

sedang

Tahap II : persisten ringan

Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari,

gejala malam > 2x/bulan, tetapi <

1x/minggu

Faal paru normal diluar serangan

Persisten

ringan

Persisten

sedang

Persisten

berat

Tahap III : persisten sedang

Gejala setiap hari, serangan

mempengaruhi aktivitas dan tidur

Gejala malam > 1x/minggu

Persisten

sedang

Persisten

berat

Persisten

berat

40

60% < VEP1 < 80% nilai prediksi

60% < APE < 80% nilai terbaik

Tahap IV : persisten berat

Gejala terus menerus, serangan sering,

gejala malam sering

VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau

APE ≤ 60% nilai terbaik

Persisten

berat

Persisten

berat

Persisten

berat

Pengobatan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas

hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas

sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah

gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan

hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma

dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan

terjangkau.

Tatalaksana Pasien Asma

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan

kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas

sehari-hari (asma terkontrol).

Tujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;

Mencegah eksaserbasi akut;

Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;

Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;

Menghindari efek samping obat;

Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;

Mencegah kematian karena asma.

41

Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya.

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien

sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang

terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci

keberhasilan pengobatan.

Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu:

− KIE dan hubungan dokter-pasien

− Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;

− Penilaian, pengobatan dan monitor asma;

− Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan

− Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma

akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang

1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.

Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada

perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan

dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk

gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan

pengobatan yang tepat dan cepat.

Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :

• bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)

• kortikosteroid sistemik

Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya

diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada

dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (seperti

42

ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan

dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan

kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV

(bolus atau 14 drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun

aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV Pada serangan

berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium

bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja

cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang

mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan

dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI)

dengan alat bantu (spacer).

Serangan asma dan penanggulangannya

o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral atau

aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan pengobatan.

o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya cepat,

misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.

o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan

kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan

bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.

o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan dan

kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan, asam-

basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa

anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status

asmatikus.

2. Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah

serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.

43

Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega);

dan Menjaga kebugaran.

Edukasi

Edukasi yang diberikan mencakup :

− Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan

− Mengenali gejala serangan asma secara dini

− Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya

− Mengenali dan menghindari faktor pencetus

− Kontrol teratur

Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma,

sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.

Obat asma

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan

asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan

dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi

(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan

kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.

Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :

o Inhalasi kortikosteroid

o β2 agonis kerja panjang

o antileukotrien

o teofilin lepas lambat

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,

terdiri dari pengontrol dan pelega.

1. Pengontrol (controller)

44

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap

hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.

Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifier

Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1)

2. Pelega (reliever)

Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki

dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi,

rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega

adalah :

Agonis beta-2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan

bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya

dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofilin

Adrenalin

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral

(subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas

adalah :

1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan

45

3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada

pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat bila

diberikan secara inhalasi daripada oral.

Pengobatan Sesuai Berat Asma

Berat asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / pilihan lain Alternatif lain

Asma intermiten Tidak perlu

Asma persisten ringan

Steroid inhalasi

(200-400_g BD/hari atau ekivalennya)

Teofilin lepas lambat kromolin

Leukotriene modifiers

Asma persisten sedang

Kombinasi inhalasi steroid (400-800_g BD/hari atau ekivalennya & LABA

Steroid inhalasi

(400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah teofilin lepas lambat atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah LABA oral atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah LABA oral atau ditambah teofilin lepas lambat

Asma persisten berat Kombinasi Inhalasi steroid (>800_g BD atau ekivalennya) dan LABA ditambah ≥ ditambah dibawah ini :

Teofilin lepas lambat

Leukotriene modifiers

Steroid oral

Prednisolon / metil prednisolon selang sehari 10 mg ditambah LABA oral, ditambah teofilin lepas lambat

Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai

untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma.

Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan

penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering dikombinasikan

dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya bersifat aditif

sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang, misalnya asma

46

kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan simpatomimetik merupakan

obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan obat lain dalam rangka

mencegah kambuhnya serangan asma.

Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya

dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison 1–

2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid jangka

pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan perawatan di

rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid lama dengan dosis

rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu ditinggikan. Pada asma

yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin diperlukan.. Jika terpaksa

menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan secara inhalasi. Pada bayi dan anak

kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi bronkus

daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid mungkin sangat berguna.

Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah degranulasi

sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan secara teratur

(Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah asma yang diinduksi

aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya sama dengan teofilin, efek

samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984).

Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1–2

kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah

keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2

kali/hari.

Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi

tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan

bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan

hasil.

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :

1. Gejala minimal (sebaiknya ridak ada), termasuk gejala malam.

2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik

47

3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak

diperlukan).

4. Variasi harian APE < 20%

5. Nilai APE normal atau mendekati normal

6. Efek samping obat minimal (tidak ada)

7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan

asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :

1. Edukasi

2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Kontrol secara teratur

7. Pola hidup sehat

Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah dan

dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :

1. Mengenal seluk beluk asma

2. Menentukan klasifikasi

3. Mengenali dan meghindari pencetus

4. Merencanakan pengobatan jangka panjang

5. Mengatasi serangan asma dengan tepat

6. Memeriksakan diri secara teratur

7. Menjaga kebugaran dan berolahraga

Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh

supaya dapat tetap beraktivitas adalah :

1. Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak,

Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang.

2. Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batuk-

batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.

48

3. Ada beberapa orang yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol dahulu

beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.

Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor

lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan

dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila

seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka

terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama

atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas

bronkus.

3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka

akan terjadi serangan asma (mengi)

Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang

berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok;

pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu

dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan

menjadi 3 yaitu:

1. Pencegahan primer

2. Pencegahan sekunder

3. Pencegahan tersier

49

Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma

(orangtua asma), dengan cara :

Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa

perkembangan bayi/anak

Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu

asupan janin

Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

Diet hipoalergenik ibu menyusui

Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah

tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan

terutama tungau debu rumah.

Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah

menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal

dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa

pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE

spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma

sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai

pengendali asma (controller).

Penanggulangan serangan asma lebih penting ditujukan untuk mencegah serangan asma

bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri atas :

Menghindari faktor-faktor pencetus

Obat-obatan dan terapi imunologi

Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-reaksi

yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.

Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi

emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan

memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung

50

menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi

bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi

atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah

menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus

menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status

asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak

jantung, bahkan kematian.

Prognosis dan perjalanan klinis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan

kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta

penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan

terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan

pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-

kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi

dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderitaahun

asmanya sudah menghilang

BRONKOPULMONAR DISPLASIA

Definisi

Displasia bronkopulmonalis ( BPD ) adalah gangguan paru kronis yang dihasilkan dari

penggunaan tekanan positif ventilasi mekanik yang tinggi dan konsentrasi tinggi oksigen

pada neonatus dengan sindrom gangguan pernapasan ( RDS ) (lihat gambar di bawah ) .

Kondisi ini didefinisikan sebagai ketergantungan oksigen pada 28 da dan patologis ditandai

oleh peradangan , nekrosis mukosa , fibrosis , dan hipertrofi otot polos saluran napas .

Dengan kemajuan manajemen medis , BPD telah menjadi penyebab paling umum dari

penyakit paru-paru kronis ( CLD ) di children.The kejadian BPD bervariasi antara 5 % dan

40 % , dan itu adalah umum pada bayi prematur : 10 % dari bayi dengan berat kurang dari

51

1500 g dan 20 % dari orang dengan berat kurang dari 1000 g mengembangkan kondisi ini .

Dengan kemajuan dalam terapi , BPD saat ini jarang setelah 30 minggu kehamilan atau pada

bayi dengan berat lebih dari 1200 g .

Patogenesis

Patogenesis displasia bronkopulmonalis tetap kompleks dan kurang dipahami . Hasil

displasia bronkopulmonalis dari berbagai faktor yang bisa melukai saluran udara kecil dan yang

dapat mengganggu alveolarization ( pembentukan sekat alveolar ) , yang mengarah ke

penyederhanaan alveolar dengan penurunan luas permukaan keseluruhan untuk pertukaran gas .

Microvasculature paru berkembang juga bisa terluka . Alveolar dan pengembangan pembuluh

darah paru-paru berhubungan erat , dan cedera pada salah satu dapat mengganggu perkembangan

lainnya . Kerusakan paru-paru selama tahap kritis pertumbuhan paru-paru dapat menyebabkan

disfungsi paru klinis signifikan .

Kelahiran prematur dan acara berikutnya ( misalnya , paparan oksigen , ventilasi mekanis ,

inflamasi , infeksi ) kemungkinan menggeser keseimbangan dari pengembangan paru-paru yang

terdiri dari alveolar paru-paru dan pertumbuhan pembuluh darah ke salah satu pematangan dini ,

yang berhubungan dengan penangkapan dalam pengembangan dan hilangnya daerah pertukaran

gas di masa depan , namun , pematangan alveolar mungkin memfasilitasi pertukaran gas dalam

jangka pendek .

Tahapan BPD

BPD diyakini penyakit jaringan parut dan perbaikan . Meskipun patofisiologi yang tepat

masih belum jelas , 4 tahapan dalam pengembangan BPD diidentifikasi . Namun, dalam praktek

klinis saat ini , 4 tahap ini tidak jelas dilihat dalam pasien tertentu . ( Lihat Radiograph . )

Pada tahap 1 ( 1-3 d ) , penampilan patologis dari BPD adalah identik dengan penyakit

membran hialin dan melibatkan kehadiran membran hialin , atelektasis , hiperemia pembuluh

darah , dan dilatasi limfatik .

Pada tahap 2 ( 4-10 d ) , kerusakan paru-paru akibat peregangan terminal bronkiolus hasil

nekrosis iskemik dari saluran udara , mendorong perubahan reparatif langsung di paru-paru .

Obstruksi bronkiolus terlihat pada tahap ini , dan nekrosis bronkial , fibrosis peribronchial , dan

52

metaplasia skuamosa menghasilkan bronchiolitis obliteratif . Membran hialin dapat bertahan

dalam tahap ini . Koalesensi emphysematous dari alveoli terlihat .

Tahap 3 ( 11-20 d ) melibatkan perbaikan progresif paru-paru , dengan penurunan jumlah

alveoli , hipertrofi kompensasi dari alveoli yang tersisa , dan hipertrofi otot bronkus - dinding

dan kelenjar . Regenerasi sel-sel yang jelas dan eksudasi makrofag alveolar dan histiosit ke

saluran udara terlihat . Terperangkapnya udara , hiperinflasi paru , tracheomegaly ,

tracheomalacia , edema interstitial , dan disfungsi silia dapat hadir .

Pada tahap 4 ( > 1 bulan) , alveoli emphysematous terlihat . Hipertensi pulmonal akhirnya

hasil dari kerusakan paru-paru kronis , dan kor pulmonal terjadi kemudian . Fibrosis ,

atelektasis , penampilan batu karena aerasi paru-paru tidak merata , dan pseudofissures pleura

sering terlihat . Hipertensi paru disebabkan oleh penebalan intima arteriol paru . Hipertrofi

ditandai otot polos peribronchiolar hadir .

DAFTAR PUSTAKA

1. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit Ikatan

Dokter Anak Indonesia, 2008; 350 - 365.

2. Prober CG. Pneumonia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. 2, Edisi 15. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2000; 883 - 889.

53

3. Tasker RC, McClure RJ, Acerini CL. Pneumonia. Oxford Handbook of Paediatrics. New

York: Oxford University Press, 2008; 300 - 305.

4. Tim Adaptasi Indonesia. Pneumonia. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

Jakarta: World Health Organization, 2008; 86 - 93.

5. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis.

Diagnosis Fisis pada Anak. Jakarta: Penerbit CV Sagung Seto, 2003; 1 - 35.

6. Sutedjo AY. Pemeriksaan Hematologi. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil

Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Penerbit Amara Books, 2006; 17 - 65.

7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Pneumonia. Kapita Selekta

Kedokteran. Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FKUI, 2000; 465 - 467.

54