POKOK2KAJIAN - negripapua file · Web viewPENGANTAR. Kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang...

74
BAGIAN PERTAMA PENGANTAR Kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang NO. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, telah memunculkan paradoksal respon masyarakat dalam konteks lokal, nasional, maupun internasional. Bagi sebagian kalangan masyarakat kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang memerintahkan sejumlah pejabat negara untuk melakukan sejumlah agenda dalam rangka implementasi pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan Undang-Undang NO. 45 Tahun 1999 direspon dengan penuh antusias dan optimistis, karena dinilai sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service) dan pemberdayaan (empowerment) kepada masyarakat serta akselerasi pembangunan (acseleration development) di Provinsi Papua secara berkeadilan. Di sisi lain bagi sebagian kalangan masyarakat yang lain merespon kebijakan tersebut dengan sikap apatis dan pesimistis, karena dianggap sebagai kebijakan yang tidak populer, sebab memperlihatkan ketidak seriusan Pemerintah dalam implementasi Otonomi Khusus. Jika kebijakan tersebut dipaksakan maka secara signifikan akan berimplikasi negatif terhadap implementasi Otonomi Khusus, yang mengarah pada memburuknya keadaan (kehidupan) masyarakat sekaligus dapat menjastifikasi 1

Transcript of POKOK2KAJIAN - negripapua file · Web viewPENGANTAR. Kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang...

BAGIAN PERTAMA

PENGANTAR

Kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-

Undang NO. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi

Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan

Kota Sorong, telah memunculkan paradoksal respon masyarakat dalam konteks lokal,

nasional, maupun internasional.

Bagi sebagian kalangan masyarakat kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang

memerintahkan sejumlah pejabat negara untuk melakukan sejumlah agenda dalam

rangka implementasi pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah

berdasarkan Undang-Undang NO. 45 Tahun 1999 direspon dengan penuh antusias dan

optimistis, karena dinilai sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka

peningkatan pelayanan (service) dan pemberdayaan (empowerment) kepada

masyarakat serta akselerasi pembangunan (acseleration development) di Provinsi

Papua secara berkeadilan.

Di sisi lain bagi sebagian kalangan masyarakat yang lain merespon kebijakan tersebut

dengan sikap apatis dan pesimistis, karena dianggap sebagai kebijakan yang tidak

populer, sebab memperlihatkan ketidak seriusan Pemerintah dalam implementasi

Otonomi Khusus. Jika kebijakan tersebut dipaksakan maka secara signifikan akan

berimplikasi negatif terhadap implementasi Otonomi Khusus, yang mengarah pada

memburuknya keadaan (kehidupan) masyarakat sekaligus dapat menjastifikasi

ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Kedua kondisi paradoksal ini

adalah suatu kenyataan yang saat ini sampai dengan beberapa saat mendatang akan

mewarnai dinamika kehidupan masyarakat di Provinsi Papua.

Kondisi paradoksal ini perlu dicarikan solusinya agar masyarakat Papua tidak terjebak

dalam pertentangan persepsi yang berkepanjangan, yang bisa mengarah menjadi

konflik vertikal dan horizontal, sebab terjadinya konflik tersebut, maka akan berakibat

terjadinya remarginalisasi masyarakat Papua dan akibat negatif lainnya.

1

Dalam konteks inilah maka kajian komprehensif, integrated dan holistik yang dilakukan

secara objektif dan proporsional menjadi penting dan mendesak. Melalui kajian tersebut

diharapkan dapat menemukenali berbagai argumentasi yang memadai sebagai alternatif

solusi. Atas dasar alternatif solusi itulah Provinsi Papua dikembangkan menuju masa

depan yang lebih baik, melalui suatu proses dan mekanisme yang sinergis dengan

dinamika kehidupan masyarakat Papua.

Kajian tersebut didesain dalam dua tahapan dan masing-masing tahapan menghasilkan

satu dokumen hasil kajian. Dokumen ini merupakan hasil kajian tahap awal, yang hanya

berisikan pokok-pokok pikiran tentang Pengembangan Provinsi Papua. Substansi kajian

ini merupakan hasil kajian terhadap berbagai fenomena sosial-politik-kemasyarakatan

yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Di Provinsi Papua. Kajian ini akan

dilanjutkan secara holistik-komprehensif pada tahap kedua.

Kajian ini dikemas dalam tiga bagian, yaitu: Bagian Pertama: pengantar, yang berisikan

gambaran fenomena sosial politik kemasyarakatan yang mewarnai dinamika

pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Papua pra dan pasca

dikeluarkannya INPRES Nomor 1 Tahun 2003; Bagian Kedua: Kebijakan

Pengembangan Provinsi Papua, yang terdiri dari (1) umum, berisikan Kajian umum

terhadap berbagai kebijakan pengembangan Provinsi Papua yang diformulasi oleh

Pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2)Khusus, berisikan

kajian parsial terhadap berbagai kebijakan pengembangan Provinsi Papua yang meliputi

pemberlakuan, Implementasi, dan implikasi UU.NO.45/99, Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001, dan INPRES Nomor 1 Tahun 2003, yang ditinjau dari aspek; Hukum,

Idiologi, Politik, Pemerintahan, Ekonomi dan Pembangunan, Sosial dan Budaya, serta

Hankam; Bagian Ketiga: Simpulan dan Rekomendasi, berisikan berbagai tawaran

alternatif solusi dalam rangka pengembangan Provinsi Papua yang diberi Otonomi

Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2

BAGIAN KEDUA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PROVINSI PAPUA DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

UMUM(Filosofi dan Orientasi Pemberlakuan UU.Nomor 45 tahun 1999,

UU.Nomor 21 tahun 2001, dan INPRES Nomor 1 Tahun 2003)

Suksesi kepemimpinan nasional yang ditandai dengan pengalihan kepemimpinan

nasional dari Soeharto kepada, B.J.Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia

ke-3 dapat dipandang sebagai momentum bagi terjadinya perubahan (reformasi) di

segala aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Terpilihnya B.J.Habibie

sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3 berimplikasi secara signifikan terhadap

konstelasi politik nasional. Kehadiran B.J. Habibie sebagai Presiden diharapkan

akan merubah wajah Negara kesatuan Republik Indonesia dari berwajah

sentralistik menjadi desentralistik, yang berorientasi demokratis dan partisipatif;

Kepemimpinan Presiden B.J. Habibie berlangsung kurang dari dua tahun, tetapi

tercatat ada sejumlah agenda perubahan yang dilakukan. Keseluruhan agenda itu

mengarah pada upaya menciptakan suasana demokratis dan partisipatif dalam

berbangsa dan bernegara. Dalam konteks kepentingan masyarakat di Provinsi

Irian Jaya (kini Propinsi Papua), tercatat adanya tiga agenda politik yang lahir pada

masa kepemimpinan B.J.Habibie. Agenda politik dimaksud didesain dalam

kerangka pengembangan provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) yang bermuara

pada upaya akomodasi aspirasi masyarakat di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi

Papua) serta dalam rangka memperkokoh integritas wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan akselerasi pembangunan provinsi Papua. Latar belakang

dan substansi ketiga agenda politik dimaksud secara rinci dapat diuraikan sebagai

berikut:

a. Pada tanggal 26 Pebruari 1999, B.J.Habibie selaku Presiden Republik

Indonesia menerima delegasi masyarakat Papua dari berbagai komponen

yang berjumlah 100 orang, yang kemudian dikenal dengan “Tim Seratus”, di

Istana Negara Jakarta. Dalam pertemuan inilah untuk pertama kalinya

masyarakat Papua secara langsung dan terbuka dihadapan Presiden Republik

3

Indonesia menyampaikan keinginan untuk memisahkan diri (“merdeka”) dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertemuan ini semula dirancang untuk

mencari solusi dalam rangka memperkokoh integritas wilayah Negara Republik

Indonesia, akan tetapi dalam kenyataanya forum tersebut dipandang sebagai

entry point bagi perjuangan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

b. Merespon tuntutan “Tim Seratus” tersebut, maka Pemerintah mendesain

strategi alternatif yang dianggap mampu untuk membendung keinginan rakyat

Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah

satu dari strategi tersebut adalah melalui kebijakan “Pemekaran Wilayah

Provinsi Irian Jaya (kini ProvinsiPapua)”;

c. Berdasarkan berbagai dokumen yang ada, membuktikan bahwa kebijakan

pemekaran wilayah Irian Jaya (kini Provinsi Papua) ini sebenarnya merupakan

suatu rencana kebijakan yang telah dibuat sejak tahun 1984. Rencana

kebijakan ini diawali dengan adanya aspirasi dari sekelompok kecil masyarakat

Papua yang menginginkan pemekaran. Kemudian dilakukan suatu penelitian

terhadap kemungkinan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian

Jaya (kini Provinsi Papua), yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.

Atas dasar itulah maka ditetapkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

174 Tahun 1986 dibentuk 3 (tiga) Wilayah Pembantu Gubernur, yang

dipandang sebagai embrio bagi pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I baru

di Irian Jaya (kini Provinsi Papua). Dalam perkembangannya lebih dari satu

dasawarsa, rencana pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (kini

Provinsi Papua) tidak pernah terealisasi, dengan alasan utama keterbatasan

anggaran negara;

d. Rencana kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya

(kini Provinsi Papua) muncul kembali pasca pertemuan “Tim Seratus” dengan

Presiden B.J.Habibie. Meskipun issueunya adalah sama, yakni pemekaran

Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi Papua), akan tetapi latar

belakang dan orientasinya berbeda. Rencana kebijakan pemekaran Wilayah

Provinsi Daerah tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi Papua) pada tahun 1984-

1986 dilatari oleh temuan tim peneliti dari Departemen Dalam Negeri, yang

dimaksudkan sebagai alternatif akselerasi pembangunan di Provinsi Irian Jaya

(kini Provinsi Papua). Hal ini berbeda dengan rencana kebijakan pemekaran

4

wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi Papua) pada tahun

1999, walaupun penataan manajemen pemerintahan dan akselerasi

pembangunan dijadikan sebagai alasan pembenaran, akan tetapi alasan

pembenaran utamanya adalah dalam rangka mencegah terjadinya disintegrasi

nasional. Kebijakan pemekaran juga dipandang sebagai respon yang arif dan

bijaksana terhadap tuntutan sekelompok masyarakat Papua (Tim Seratus)

pada acara temu wicara dengan Presiden RI pada tanggal 26 Pebruari 1999.

Oleh karena itu maka melalui pemekaran diharapkan akan memperkokoh

integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa alasan

pembenaran sebagaimana tersebut secara tegas dan jelas termuat dalam

surat Gubernur Kepala daerah Tingkat I Irian Jaya, Nomor 125/803/Z, perihal

Usul pemekaran Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi

Papua), tertanggal 26 Maret 1999;

e. Rencana Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi

Papua) terealisasikan pada tanggal 4 Oktober 1999, dengan dilegitimasinya

UU.NO.45/99, tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian

Jaya Barat, Kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, kabupaten Puncak Jaya,

dan Kota Sorong oleh Presiden B.J.Habibie. Kebijakan ini kemudian diikuti

dengan pengangkatan Drs. Herman Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian

Jaya Tengah dan Brigjen. TNI Mar. (Purn.) Abraham Atururi sebagai Pejabat

Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor

327/M Tahun 1999, pada tanggal 5 Oktober 1999;

f. Kebijakan Pemekaran Propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya (kini Provinsi

Papua), khususnya yang terkait dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya

Tengah dan Irian Jaya Barat mendapat penolakan dari berbagai kalangan

masyarakat di Papua, yang ditandai dengan aksi demonstrasi besar-besaran

termasuk menduduki gedung DPRD Propinsi Irian Jaya dan Kantor Gubernur

Dok II Jayapura pada tanggal 14-15 Oktober 1999. Aksi penolakan ini direspon

oleh DPRD Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dan kemudian dilegitimasi

dengan Keputusan DPRD. Nomor 11/DPRD/1999, Tentang Pernyataan

Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya kepada Pemerintah Pusat untuk Menolak

Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan usul Pencabutan Surat Keputusan

Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999 tanggal 5 Oktober 1999;

5

g. Aksi penolakan ini didasari oleh beberapa alasan: (1) kebijakan pemekaran

wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut dilakukan tanpa melalui

proses konsultasi rakyat; (2) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah

Tingkat I Irian Jaya tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi yang

disampaikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya, yang antara lain

menyebutkan bahwa pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya

menjadi 2 (dua) Propinsi, yaitu: (a) Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Timur,

dengan ibukota di Jayapura, meliputi: Kabupaten Jayapura, Kodya Jayapura,

Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan kabupaten Puncak Jaya; (b)

Propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya Barat, dengan ibukota di Manokwari,

meliputi: Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, kabupaten Fakfak,

Kabupaten Nabire, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Paniai, kabupaten

Mimika, dan Kotif sorong. (3) Kebijakan Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I

Irian Jaya lebih berorientasi sebagai strategi untuk memperkokoh integritas

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa bermaksud untuk

mengangkat harkat dan martabat orang Papua melalui akselerasi

pembangunan secara berkeadilan. Hal ini terbukti dari format pembagian

wilayah yang kurang memperhatikan aspek kesatuan sosial budaya, kesiapan

sumberdaya manusia, dan kemampuan ekonomi;

h. Pemerintah dan DPR RI memperhatikan dengan sungguh-sungguh serta

bersikap arif dalam merespon tuntutan masyarakat Papua. Hal ini terbukti

ketika implementasi UU.Nomor 45 tahun 1999, khususnya pasal-pasal

mengenai pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat di

tangguhkan. Sedangkan beberapa pasal dalam undang-undang ini yang

mengatur mengenai pembentukan Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota sorong, telah diimplementasikan secara

efektif;

i. Pada tanggal 19 oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR, pada Paripurna

ke-12, ditetapkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004, pada bab IV, huruf G, butir 2

antara lain memuat kebijakan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya.

Rumusan lengkap kebijakan tersebut adalah: …dalam rangka

mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh

6

permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan

bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

(a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman

kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah

otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus

pelanggaran Hak Asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang

jujur dan bermartabat...”;

j. Rumusan Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004,

Bab IV, Huruf G, Butir 2 tersebut yang hanya menyebutkan Irian Jaya (bukan

Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Timur) secara politis telah

mereduksi sebagian materi muatan UU.No.45 Tahun 1999, khususnya pasal-

pasal pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat;

k. Pada penghujung Sidang Umum MPR tahun 1999, terjadi suksesi

kepemimpinan nasional. B.J.Habibie digantikan oleh K.H.Abdurahman Wahid

sebagai Presiden RI. Salah satu agenda politik yang terkait dengan Propinsi

Irian Jaya (kini Provinsi Papua) yang harus dilakukan oleh Pemerintahan

Presiden K.H.Abdurahman Wahid adalah memformulasikan Rancangan

Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Dalam

kenyataannya setelah satu tahun pemerintahan Presiden K.H.Abdurahman

Wahid, agenda tersebut belum dilaksanakan;

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja Pemerintah dalam pelaksanaan

Otonomi Daerah pada umumnya dan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya,

maka dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000, ditetapkan Tap MPR RI Nomor:

IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan perwakilan Rakyat. Dalam

salah satu bagian dari Ketetapan ini disebutkan: “… Undang-undang Otonomi

Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001

dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan...”;

7

Dalam kenyataannya Undang-undang yang menjadi landasan operasional

penerapan otonomi khusus di provinsi Irian Jaya sampai dengan memasuki batas

waktu yang diamanatkan Tap MPR RI tersebut, ternyata belum ditetapkan.

Keterlambatan ini disebabkan antara lain: (1) tingginya eskalasi politik di provinsi

Irian Jaya menjelang dan pasca Musyawarah Besar dan Kongres Rakyat Papua di

Jayapura Tahun 2000 dan (2) adanya keinginan Pemerintahan K.H.Abdurahman

Wahid untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi rakyat Papua;

Komitmen Pemerintah ini direspon oleh berbagai kalangan terutama akademisi dan

aktivis LSM, di Propinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) yang mulai menjadikan

otonomi khusus sebagai topik wacana diberbagai forum kajian. Hal ini terbukti

dengan adanya sejumlah konsep/draf/pokok-pokok pikiran tentang materi muatan

Rancangan Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Irian Jaya (kini Provinsi

Papua) yang disusun oleh berbagai institusi di Irian Jaya/Papua. Akan tetapi karena

situasi dan kondisi di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) yang kurang kondusif

sebagai akibat meningginya eskalasi politik sebelum dan pasca Mubes dan Kongres

rakyat Papua yang salah satu tuntutannya adalah memisahkan diri dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia, maka issue tersebut hanya sekedar sebagai wacana

dan bahan pergumulan yang lebih bersifat interen institusi tertentu. Pada waktu yang

hampir bersamaan Freddy Numberi sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya pada

waktu itu, di angkat menjadi salah seorang Menteri dalam Kabinet Presiden

K.H.Abdurahman Wahid, akibatnya Musiran diangkat sebagai carateker Gubernur.

Dalam posisi ini Pejabat Gubernur Musiran merasa tidak memiliki wewenang yang

cukup untuk mempersiapkan RUU Otonomi Khusus Irian Jaya (kini Provinsi Papua).

Kondisi ini diperparah lagi ketika adanya pihak-pihak tertentu yang

mempertentangkan antara otonomi dan merdeka. Dua konsep ini seakan-akan

merupakan opsi yang harus dipilih;

Pembicaraan tentang kemungkinan penyusunan RUU Otonomi Khusus bagi Irian

Jaya (kini Provinsi Papua) baru dimulai secara sungguh-sungguh ketika

Drs.J.P.Solossa, M.Si.dilantik sebagai Gubernur dan Drh.Constan Karma sebagai

Wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua), pada akhir tahun 2000.

Atas prakarsa Gubernur maka dibentuk Panitian Penyelenggara Forum Kajian, yang

diikuti dengan dibentuknya Tim penjaring Aspirasi, serta Tim Asistensi dan dengan

8

didukung oleh berbagai komponen masyarakat,serta melalui suatu mekanisme yang

panjang, maka RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diberi nama

“Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan

Sendiri” dapat disusun;

RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi Papua diterima dan diadopsi

oleh DPR RI sebagai RUU usul inisiatif setelah melalui proses pengayaan. Melalui

suatu pembahasan yang alot antara DPR dan pemerintah sebagai akibat dari

adanya dua RUU mengenai Otonomi khusus bagi Irian Jaya (kini Provinsi Papua),

yakni RUU usul inisitif DPR RI dan RUU usulan Pemerintah. Akan tetapi pada

akhirnya disepakati bahwa RUU yang dijadikan acuan utama adalah RUU usulan

Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua yang telah diadopsi sebagai RUU

usul inisiatif DPR RI;

Menindaklanjuti amanat kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

tersebut, dan setelah melalui pembahasan lebih kurang 5 (lima) bulan, maka DPR RI

pada tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan menetapkan Rancangan

Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-

undang. Hasil ketetapan DPR RI ini kemudian disampaikan kepada Pemerintah

(Presiden) untuk disahkan. Presiden Republik Indonesia sesuai kewenangan yang

dimiliki, pada tanggal 21 Nopember 2001 telah mengesahkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua, yang kemudian dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 4151;

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan

pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (acseleration development),

serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di provinsi Papua, terutama

orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan

antar provinsi Papua dengan propinsi-propinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk

berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan;

9

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan

yang lebih luas bagi Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dan rakyat Papua untuk

mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan

untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah provinsi Papua, sebesar-

besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi perekonomian,

sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang

signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya untuk terlibat dalam proses

perumusan kebijakan daerah, menetukan strategi pembangunan dengan tetap

menghargai kesetaraan dan keberagaman kehidupan masyarakat di provinsi Papua.

Sebagai akibat dari penetapan Otonomi Khusus ini, maka ada perlakuan berbeda

yang diberikan Pemerintah kepada provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal

mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di

Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang

tidak diberlakukan di Provinsi Papua;

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis

pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal,

yang diawali dengan konsiderans dan diakhiri dengan penjelasan umum dan

penjelasan pasal demi pasal.Secara filosofis Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001,

memuat sejumlah pengakuan dan komitmen Pemerintah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Sejumlah pengakuan dimaksud adalah: (1) undang-undang ini dibuat

dalam kerangka mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia; (2) masyarakat Papua adalah insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat

manusia yang beradab; (3) adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus; (4) penduduk asli provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras

Melanesia dan merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki

keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa; (5) penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya

memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,

mendukung terwujudnya penegakan hokum, dan belum sepenuhnya menampakan

penghormatan terhadap hak asasi manusia; (6) pengelolaan dan pemanfaatan hasil

kekayaan alam provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan

taraf hidup masyarakat asli; (7) pengakuan adanya kesenjangan provinsi Papua

10

dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Di sisi lain terdapat juga sejumlah

komitmen, antara lain: (1) menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai agama,

demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat;

(2) menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat

Papua; (3) perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral; (4) perlindungan

hak-hak dasar penduduk asli dan Hak Asasi manusia; (5) supremasi hukum; (6)

penegakan demokrasi; (7) penghargaan terhadap pluralisme; (8) penyelesaian

masalah pelanggaran hak asasi manusia penduduk asli Papua;

Berlakunya undang-undang ini secara normatif telah mamasuki tahun kedua (sejak 21

Nopember 2001) akan tetapi implementasinya baru memasuki bulan ke-15 (sejak 1

Januari 2002). Refleksi terhadap implementasi undang-undang menunjukan bahwa

belum secara efektif, hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: (1) belum

adanya perangkat peraturan yang menjadi landasan operasionalnya dalam bentuk

Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) dan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS).

Keterlambatan formulasi PERDASI dan PERDASUS disebabkan karena lembaga

yang berwenang memproduk kedua peraturan ini belum lengkap. PERDASI dibuat

oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur, oleh karena sampai saat ini DPRD

Propinsi Papua belum berubah menjadi DPRP, maka produk hukum daerah dalam

bentuk PERDSASI belum bisa dibuat. Walaupun sesungguhnya dengan berlakunya

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lembaga legislative di Provinsi Papua

dilaksanakan oleh DPRP. RAPERDASUS dibuat oleh DPRP bersama-sama dengan

Gubernur dan ditetapkan sebagai PERDASUS setelah mendapat pertimbangan dan

persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Oleh karena DPRP dan MRP belum

ada, maka Produk hukum dalam bentuk PERDASUS juga belum dapat dibuat; (2)

pembagian penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus selama 1 (satu) tahun pertama

dipandang belum dilakukan secara berkeadilan, hal ini disebabkan karena belum

adanya instrumen hukum dalam bentuk PERDASUS yang memuat factor-faktor yang

menjadi indikator dalam menentukan pembagian penerimaan tersebut; (3) belum

ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang MRP, yang merupakan landasan hukum

bagi aktivitas MRP, tanpa alasan yang jelas. Padahal RPP tentang MRP telah

diusulkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua sejak tanggal 15 Juli

2002 dan seharusnya menurut pasal 72, selambat-lambat satu bulan setelah

menerima usulan harus sudah ditetapkan.

11

Sebagai konsekuensi dari adanya kondisi ini, maka berbagai materi muatan yang

termuat dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 belum dapat dilaksanakan

secara efektif. Bahkan dalam satu tahun pertama Pemerintah Daerah dan DPRD

Provinsi Papua masih menggunakan model atau paradigma lama dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan

menggunakan format APBD sebagai indikator, sebagaian komponen masyarakat

menganggap bahwa Otonomi Khusus sebagai suatu kebijakan yang berpihak kepada

kepentingan masyarakat di Provinsi Papua secara berkeadilan ternyata masih jauh

dari harapan. Kondisi ini telah memunculkan “negative image” bahwa Otonomi Khusus

ternyata hanya sekedar memindahkan tradisi sentralistis Jakarta ke Jayapura.

Berbagai pandangan dan penilaian terhadap implementasi Otonomi Khusus harus

disikapi secara arif dan bijaksana. Dalam kaitan ini diperlukan adanya format strategi

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang berlandaskan

pada filosofi dan batang tubuh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001;

Memasuki tahun kedua implementasi kebijakan Otonomi Khusus, dan sebagai respon

terhadap “image” yang memberi penilaian negatif dari berbagai kalangan terhadap

implementasi kebijakan ini, maka Pemerintahan Daerah dan komponen lainnya

sedang berusaha berbenahi diri untuk menemukenali berbagai alternatif yang

dianggap mampu memposisikan kebijakan Otonomi Khusus sebagai salah satu solusi

penyelesaian berbagai permasalahan di Provinsi Papua;

Pemerintahan Daerah dan berbagai komponen masyarakat di Provinsi Papua

dikejutkan dengan dikeluarkannya INPRES Nomor 1 Tahun 2003, pada tanggal 27

Januari 2003,Isi INPRES ini antara lain: memerintahkan Menteri Dalam Negeri,

Menteri Keuangan, Gubernur Papua dan Para Bupati di Provinsi Papua untuk

mengambil langkah-langkah percepatan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan

Irian Jaya Tengah berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat

gubernurnya. Dikeluarkannya INPRES ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan

sebagaimana termuat dalam konsiderans menimbangnya, antara lain: (1) untuk

pelaksanaan UU.NO.45/99 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi

Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan

Kota Sorong dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana ,

pembentukan organisasi perangkat Daerah, dan kegiatan penyelenggaraan

12

Pemerintahan Daerah; (2) Sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat

serta kondisi politik nasional yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan

pemerintahan daerah di Propinsi Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah,

terpadu, terkoordinasi, dan berkesinambungan;

Menindaklanjuti INPRES ini, maka Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan

Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua, Bupati/Walikota se

Provinsi Papua, dan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri. Radiogram

Nomor 134/221/SJ, tertanggal 3 Pebruari 2003, antara lain berisikan: (1)seluruh

jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota agar segera

mengambil langkah-langkah operasional yang relevan; (2) ditegaskan bahwa INPRES

Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya UU.No.21 Th 2001

tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua;(3) Pemerintah Daerah memberi dukungan

penuh untuk pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor

kepada Menteri Dalam negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu

selambatnya dua minggu;

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa dengan alasan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan, akselerasi pembangunan, memperkokoh integritas

Negara Republik Indonesia, serta memperhatikan aspirasi masyarakat Papua, maka

telah diformulasi seperangkat kebijakan: (1)UU.NO.45/99 tentang Pembentukan

Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten

Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong; (2) Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;(3) Undang-undang Nomor

26 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom,

Kabupaten Sorong Selatan, kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang,

Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana,

Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk

Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama di Provinsi Papua; (4) INPRES Nomor 1 tahun

2003 tentang Percepatan pelaksanaan UU.NO.45/99 tentang Pembentukan Propinsi

Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong;

13

TEMU PAKARMINGGU II MARET 2001

Berdasarkan alasan dalam rangka efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,

akselerasi pembangunan, memperkokoh integritas Negara Republik Indonesia, serta

memperhatikan aspirasi masyarakat Papua, maka kebijakan yang diformulasi untuk

kepentingan di atas seharusnya memiliki korelasi sinergis antara satu dengan yang

lainnya. Untuk melihat korelasi sinergis antar kebijakan tersebut, maka berikut ini akan

diuraikan hasil kajian terhadap kebijakan tersebut yang ditinjau dari aspek hukum,

politik dan pemerintahan, ekonomi dan keuangan, serta sosial budaya.

14

KHUSUSImplementasi dan Implikasi Kebijakan Pengembangan Provinsi Papua:

Berdasarkan UU.No.45 th 1999, INPRES No.1 Th 2003 dan UU.No.21 Th 2001 (Tinjauan Aspek Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya)

Aspek HukumBerdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia menurut Ketetapan

MPR RI No. III/MPR/2000, Undang-undang No. 45 Tahun 1999 merupakan produk

peraturan perundang-undangan tertinggi di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR.

Sesuai judulnya, maka Undang-Undang tersebut adalah tentang pembentukan Provinsi

Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Undang-undang No. 45 Tahun 1999

disahkan dan diundangkan pada tanggal 4 Oktober 1999 dalam Lembaran Negara RI

tahun 1999 Nomor 173, terdiri dari VI Bab, dan 29 pasal. Bab I tentang ketentuan

Umum, pasal 1, Bab II tentang Pembentukan, Batas Wilayah dan Ibu Kota Provinsi

Kabupaten/Kota yang baru dibentuk, pasal 2 - 14, Bab III tentang Kewenangan Daerah,

pasal 15 - 16, Bab IV tentang Pemerintahan Daerah, pasal 17 - 19, Bab V tentang

Ketentuan Peralihan, pasal 20 – 26, dan Bab VI tentang Ketentuan Penutup, pasal 27 -

29. Dalam perkembangannya Undang-undang No. 45 Tahun 1999 tersebut diubah

dengan ndang-undang No. 5 Tahun 2000;

Berdasarkan aspek keberlakuan hukum, maka Undang-undang No. 45 Tahun 1999

telah mempunyai sifat keberlakukan yuridikal sejak diundangkannya. Sebab dibuat oleh

lembaga yang berwenang, melalui prosedur dan mekanisme pembentukan undang-

undang yang formal, serta dibuatkan dalam kerangka sistem hierakhi peraturan

perundang-undangan yang benar. Namun demikian, sebagai suatu produk hukum,

Undang-undang tersebut tidak berlaku dalam suatu dunia tanpa nilai. Sebab secara

faktual, diberlakukan di Propinsi Irian Jaya (kini: Provinsi Papua) dengan masyarakat

sebagai basis sosial yang sekaligus merupakan sasaran (adresaat) yang dituju oleh

Undang-undang No. 45 tahun 1999 tersebut;

Dalam kenyataannya, penerapan Undang-Undang No. 45 tahun 1999, berkaitan dengan

pembentukan Kabupaten/Kota seperti diperintahkan dalam pasal 2 mengenai

pembagian wilayah untuk masing-masing Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud

15

dalam pasal 5 - 8. Ketentuan- ketentuan tersebut dalam kenyataannya telah berlaku

efektif. Artinya, Tidak terdapat masalah dalam aspek keberlakukan hukum yuridikal

maupun sosiologis. Hal ini karena secara in conreto, masyarakat menyetujui

pembentukan masing-masing Kabupaten/Kota baru tersebut sebagai kebutuhan untuk

pengembangan dan kesejahteraan mereka;

Sebaliknya, penerapan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, mengenai ketentuan

pasal 2 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat

dengan wilayah seperti tersebut dalam pasal 3 dan 4, yang kemudian diikuti dengan

pengangkatan dan pelantikan para pejabat Gubernur untuk kedua provinsi baru

tersebut, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 327/M Tahun 1999, ternyata

mendapat protes penolakan yang serius dan meluas dari berbagai komponen

masyarakat di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua). Walaupun menurut Pemerintah

Pusat, kebijakan pemekaran Propinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dibuat karena

adanya keinginan kelompok masyarakat tertentu di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi

Papua);

Penolakan berbagai komponen masyarakat di Propinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua)

tersebut kemudian dikukuhkan dengan Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No.

11/DPRD/1999, tanggal 16 Oktober 1999, tentang pernyataan Pendapat DPRD Propinsi

Irian Jaya kepada Pemerintah Pusat untuk menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan

Usul Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI No. 327/M Tahun 1999 tentang

Pengangkatan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Tengah dan Pejabat Gubernur

Provinsi Irian Jaya Barat. Penolakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Surat

Gubernur Propinsi Irian Jaya kepada MENDAGRI. Surjadi Soedirdja sebagai

MENDAGRI untuk selanjutnya mengeluarkan Surat Nomor: 125/2714/SJ, tanggal 18

November 1999, yang intinya menyatakan dapat memahami sikap masyarakat Irian

Jaya dan akan menindaklanjuti keputusan DPRD tersebut sebagaimana mestinya;

Penolakan berbagai komponen masyarakat di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua)

terhadap pemekaran Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) di atas, menunjukkan

bahwa dari segi keberlakuan hukum, ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal Undang-

Undang No. 45 tahun 1999, tentang pembentukan provinsi Irian Jaya Tengah dan

propinsi Irian Jaya Barat tidak berlaku secara efektif, sehingga kehilangan daya

16

keberlakuan hukum sosiologis, walaupun Pasal-pasal tersebut tetap saja memiliki daya

keberlakuan hukum yuridikal;

Pada tanggal 21 Nopember 2001, Presiden bersama DPR RI mengesahkan Undang-

Undang No. 21 Tahun 2001 tentgang Ootonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,

diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan

Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 415. Undang-undang tersebut merupakan

produk hukum yang dibentuk pada era reformasi dan subtsnasinya merupakan bentuk

kemauan politik Pemerintah Pusat dalam melakukan perbaikan atas kondisi obyektif di

bidang sosial, politik, ekonomi , budaya , pendidikan, kesehatan, pertahanan dan

keamanan yang terjadi di Provinsi Papua. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 juga

memiliki kedudukan yang khusus, karena dibentuk atas dasar amanat Ketetapan MPR

RI Nomor IV /MPR/1999 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000;

Walaupun secara hirarkhis perundang-undangan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001,

sebagimana halnya dengan Undang-undang No. 45 Tahun 1999, yaitu adalah

peraturan perundang-undangan yang tertinggi dibawah UUD1945 dan TAP MPR. Akan

tetapi, Undang-undang No. 21 Tahun 2001 memiliki sifak khusus (spesialis), dalam

pengaturan otonomi daerah dibandingkan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999

tentang Otonomi Daerah dan UndangUndang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pusat dan Daerah, maupun dalam tatacara pemekaran provinsi

dibandingkan dengan Undang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan

Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten

Mimika, kabuapaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Berdasarkan sifat khusus tersebut,

berlakulah asas hukum aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum (lex

spesialis derogat legi generali);

Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR RI merupakan

produk hukum yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Undang-undang.

Artinya, berdasarkan asas hukum yang menyatakan bahwa aturan yang lebih tinggi

mengesampingkan aturan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi inferior), maka

setiap Undang-undang yang substansinya bertentangan atau tidak sejalan dengan

ketetapan MPR harus dikesampingkan. Dalam kaitan ini, secara jelas Ketetapan MPR

RI Nomor IV /MPR/1999 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 memerintahkan

17

pembentukan Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Irian Jaya dan Provinsi

Aceh. Printah tersebut untuk satu Provinsi, bukan provinsi Irian Jaya Tengah dan

Provinsi Irian Jaya Barat. Sehingga pemekaran Provinsi sebagaimana diatur dalam

Pasal-Pasal Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 harus dikesampingkan;

Undang-undang No. 21 Tahun 2001 juga mengatur pemekaran Provinsi Papua menjadi

lebih dari 1 (satu) Provinsi dalam Bab XXIV Ketentuan Penutup Pasal 76 yang

menyebutkan bahwa: “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan

atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh

kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan

perkembangan di masa datang”;

Berbeda dengan pengaturan pemekaran provinsi menurut ketentuan Undang-undang

No. 45 Tahun 1999 yang langsung menetapkan pembagian wilayah ke dalam 3 (tiga)

wilayah Provinsi baru. Pengaturan pemekaran provinsi menurut ketentuan Undang-

undang No, 21 Tahun 2001 tidak menetapkan jumlah pembagian wilayah provinsi, akan

tetapi untuk melakukan pemekaran wilayah provinsi menjadi 2 (dua) atau lebih,

menetapkan keharusan dipenuhinya persyaratan sebagai berikut: 1) pertimbangan

kesatuan social budaya, 2) kesiapan sumber daya manusia, 3) kemampuan ekonomi ke

depan. Selanjutnya, ditegaskan bahwa DPRP dan MRP merupakan lembaga politik

yang berwenang menilai sudah atau belum terpenuhi ketiga unsur sebagai persyaratan

pemekaran tersebut. Akan tetapi, secara substansi kedua Undang-Undang tersebut

memiliki kesamaan, yaitu mengatur “pemekaran provinsi Papua atau Irian Jaya ke

dalam lebih dari 2 (dua) provinsi. Dengan demikian, jika terhadap materi muatan yang

mengatur tentang “pemekaran provinsi” dari kedua undang-undang tersebut dihadapkan

pada asas hokum yang menyatakan bahwa aturan yang kemudian mengesampingkan

atran yang terdahulu (lex posterior derogat lex priori), maka “materi muatan” tentang

“pemekaran provinsi” yang harus diberlakukan adalah yang termuat dalam UU Otsus,

sebab dikeluarkan lebih kemudian, yaitu pada tahun 2001 dibandingkan dengan UU No.

45 tahun 1999 yang dikeluarkan pada tahun 1999. Hal ini berarti INPRES No. 1 Tahun

2003 telah menjalankan “materi muatan” dari Undang-undang yang sudah tidak memiliki

keberlakuan hukum;

18

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 yang dilaksanakan efektif di Provinsi Papua pada

tanggal 1 Januari 2002, adalah menjalankan amanat Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999

yang menyatakan: Mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia dengan tetap mengargai kesetaraan dan keragaman kehidupan

sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang

diatur dengan undang-undang. Dalam faktanya, Undang-undang tersebut juga

dipandang banyak kalangan masyarakat internasional, nasional dan lokal di Papua

sebagai landasan hukum tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan

dan pelayanan yang memperhatikan keberadaan orang asli Papua, dengan keberadaan

badan representasi kultural yang disebut Majelis Rakyat Papua, tanpa mengabaikan

penghormatan terhadap manusia secara keseluruhan;

Sejak tanggal 4 Oktober 1999 sampai tanggal 26 Januari 2003 pelaksanaan ketentuan

pasal-pasal dalam UU. No. 45 tahun 1999 tidak diterapkan secara nyata (in conreto).

Pada tanggal 27 Januari 2003, Presiden RI mengeluarkan INPRES Nomor 1 Tahun

2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU. No. 45 tahun 1999 tentang Pembentukan

Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten

Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong;

INPRES No. 1 tahun 2003 ini ditujukan kepada: Pertama kepada MENDAGRI untuk

melakukan percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang

Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat dst; yang salah

satu isinya pada huruf e memerintahkan untuk: mengaktifkan pejabat Gubernur, para

pejabat dan penataan aparatur pemerintah Propinsi Irian Jaya Barat dan Propinsi Irian

Jaya Tengah serta mengupayakan sarana dan prasarana yang memadai; Kedua

kepada MENKEU untuk menyiapkan anggaran khusus yang diperlukan yang belum

tertampung dalam APBN; Ketiga kepada Gubernur Provinsi Papua untuk memberikan

dukungan pelaksanaan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian

Jaya Barat, dengan tugas pengalihan personil, pembiayaan, pengalihan asset, serta

supervisi dan dukungan pada pembentukan dan penataan penyelenggaraan

pemerintahan daerah otonom baru; Keempat, kepada Bupati/ Wali Kota untuk

mendukung dan memperlancar pelaksanaan UU pemekaran Propinsi Irian Jaya;

19

Untuk menindaklanjuti INPRES tersebut, MENDAGRI mengeluarkan Radiogram

Nomor: 134/221/ SJ, tanggal 3 Februari 2003, dengan klasifikasi " segera ", yang

ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua, Bupati/Walikota se Provinsi Papua, dan

seluruh pejabat eselon I DEPDAGRI, yang memuat 5 (lima) perintah,sebagai berikut: (1)

seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar

segera mengambilkah operasional yang relevan; (2) Ditegaskan bahwa INPRES Nomor

1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua; (3) Pemerintah daerah

memberikan dukungan penuh untuk pelaksanaan hal tersebut; (4) Sekjen DEPDAGRI

dan eseelon I DEPDAGRI yang terkait serta eselon I INTERDEP menyelesaikan agenda

kerja dan tahap-tahap pelaksanaan; (5) Sekjen/Gubernur/Bupati melapor kepada

MENDAGRI atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambat-lambatnya

2 (dua) minggu;

Berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti tersebut

dalam TAP MPR RI No. III/MPR/2000, maka INPRES dan Radiogram tidak termasuk

dalam peraturan perundang-undangan. Kedua produk hukum tersebut sesungguhnya

merupakan instrumen kebijakan yang berfungsi untuk pengaturan internal kelembagaan

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam praktek penyelenggaran pemerintahan

negara, INPRES, radiogram, Surat edaran, dan yang sejenisnya, termasuk dalam

klasifikasi peraturan kebijakan (beleids regels). Untuk menguji apakah sesuatu

peraturan kebijakan benar-benar sesuai dengan kerangka kewenangan bebas (Freis

Ermessen) dari Pemerintah, harus digunakan asas negara berdasarkan hukum, asas

perlindungan terhadap masyarakat dan asas-asas umum penyelenggaraan

pemerintahan yang layak. Jika suatu peraturan kebijakan dibuat tidak berdasarkan asas-

asas tersebut, maka dipastikan akan melahirkan tindak pemerintahan yang sewenang-

wenang;

Berdasarkan peraturan perundang-undangan Bupati dan Walikota berkedudukan

sebagai Kepala Daerah yang menjalankan prinsip desentralisasi tidak menjalankan

prinsip dekonsentrasi. Oleh karena itu perintah menjalankan INPRES Nomor 1 Tahun

2003 kepada Bupati/Walikota untuk mendukung pelaksanaan pemekaran propinsi di

Papua adalah tidak tepat.Demikian pula materi muatan INPRES Nomor 1 Tahun 2003

dan Radiogram MENDAGRI Nomor 134/221/SJ telah menimbulkan problem yuridis

20

yang serius. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya adalah: (1) materi muatan dibuat

tidak sesuai dengan materi muatan TAP MPR No IV Tahun 2000 tentang Kebijakan

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Papua. Sehingga menjadi sulit untuk menjalankan INPRES

tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2001.

Ketentuan INPRES No 1 Tahun 2003 yang memerintahkan pada dictum pertama huruf e

yang memerintahkan MENDAGRI mengaktifkan Pejabat Gubernur telah memunculkan

reaksi pengangkatan Gubernur di Propinsi Irian Jaya Barat tanpa adanya koordinasi

dengan Gubernur Provinsi Papua sebagai provinsi induk. Radiogram MENDAGRI yang

menegaskan INPRES harus dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya Undang-

Undang No 21 Tahun 2001, juga sulit dilaksanakan karena dalam undang-undang

tersbut memiliki tata cara pemekaran propinsi yang berbeda dengan Undang-Undang 45

Tahun 1999. Kenyataan tersebut memperlihatkan INPRES No 1 Tahun 2003 dan

Radiogram MENDAGRI No 134/221/SJ dibuat dengan mengabaikan azas-azas umum

penyelenggaraan pemerintahan yang layak;

Berdasarkan kajian di atas, menjadi jelas bahwa kebijakan pemekaran propinsi Papua

melalui INPRES No 1 Tahun 2003 dan Radiogram MENDAGRI No 134/221/SJ yang

seharusnya tujuannya untuk mensejahtrakan mayarakat di Papua, justru mengakibatkan

munculnya konflik norma (conflict of norms) antara ketentuan Undang-Undang No 45

Tahun 1999 dengan Ketentuan pasal 76 Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang

pemekaran propinsi, menimbulkan ketidak pastian hokum, serta kebingungan bagi

pejabat publik di pemerintah provinsi, kabupaten/kota di Papua dalam penyelenggaraan

pemerintahan, terutaman dalam menjalankan Undang-Undang No 21 Tahun 2001;

Aspek Politik dan PemerintahanSubstansi pemerintahan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri atau dilayani, tetapi untuk

melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota

masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan

bersama. Konsepsi ini memberikan indikasi bahwa pemerintah haruslah memiliki

keberpihakan kepada masyarakat. Pemerintah perlu semakin didekatkan dengan

masyarakat sehingga dapat memberikan respon secara cepat terhadap kebutuhan

masyarakat yang dinamis. Asumsi yang mendasari konsepsi ini adalah bahwa

21

pemerintahan yang berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang

diberikan menjadi lebih cepat, responsif, okomodatif, inovatif, produktif, dan ekonomis.

Dalam konteks ini maka tindakan merekayasa ulang struktur dan fungsi (restrukturisasi,

revitalisasi dan refungsionalisasi) sistem pemerintahan di daerah menjadi mutlak adanya

dalam kerangka pengembangan, apalagi dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi

provinsi Papua;

Struktur dan sistem pemerintahan di Provinsi Papua telah direkayasa ulang seiring

dengan pemberlakuan sejumlah kebijakan, antara lain: (1) UU.No.45 Tahun 1999;(2)

UU.No.21 tahun 2001; (3) UU.No.26 Tahun 2002. Melalui sejumlah kebijakan ini, maka

struktur dan sistem pemerintahan di Papua mengalami perubahan. Keseluruhan

kebijakan ini merupakan hasil dari suatu proses politik, yang merupakan produk

bersama 2 (dua) kelembagaan suprastruktur politik (DPR dan Pemerintah/Presiden).

Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 secara substansial mengatur berbagai hal yang

terkait dengan kebijakan pemekaran Provinsi Irian Jaya, melalui pembentukan 2 (dua)

provinsi baru dan 3 (tiga) kabupaten, serta 1 (satu) kotamadya. Pilihan terhadap

kebijakan ini didasarkan pada tuntutan perkembangan dan kemajuan Propinsi Irian

Jaya, Kabupaten Administratif Paniai, Kabupaten Administratif Mimika, Kabupaten

Administratif Puncak Jaya, dan Kota Administratif Sorong, serta adanya aspirasi yang

berkembang dalam masyarakat, sebagaimana terungkap dalam konsiderans

menimbang;

Dalam tinjauan administratif pemerintahan, ditemukan bahwa kelembagaan

pemerintahan di Irian Jaya pada semua tingkatan (provinsi sampai kelurahan/desa/

kampung) pada saat undang-undang ini dibuat diakui belum seimbang dengan

jangkauan luas wilayah. Luas wilayah Irian Jaya 421.981 Km, hanya memiliki 10

(sepuluh) kabupaten otonom, 3 (tiga) kabupaten administrative, dan 1 (satu) kota

administratif, serta 173 kecamatan dan 2260 desa/kelurahan. Kondisi ini mengakibatkan

timbulnya berbagai kendala struktural maupun fungsional dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa kendala antara lain: (1)rentang kendali (span

of control) menjadi luas, yang bermuara pada terciptanya hambatan koordinasi dan

pengawasan; (2) terbatasnya sumberdaya aparatur secara kuatitas maupun kualitas,

sehingga menimbulkan hambatan dalam mengaktualisasi fungsi penyelenggaraan

22

pemerintahan secara optimal; (3) keterbatasan infrastruktur akibat tidak berimbangnya

sumber keuangan yang tersedia dengan kebutuhan infrastruktur, akibatnya

menimbulkan hambatan dibidang transportasi dan komunikasi. Kesemuanya ini pada

akhirnya akan menimbulkan pelaksanaan fungsi utama penyelenggaraan pemerintahan

dalam hal pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan

(development) menjadi tidak efektif dan efisien;

Kebijakan pemekaran Propinsi Irian Jaya, dapat dipahami sebagai suatu kebijakan

strategis yang mampu mendorong peningkatan pelayanan (service), pemberdayaan

(empowerment) masyarakat dan akselerasi pembangunan (development). Kebijakan ini

juga diharapkan dapat meningkatankan kemampuan dalam pengelolaan dan

pemanfaatan potensi daerah untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah;

Meskipun kebijakan pemekaran Propinsi Irian Jaya dalam tinjauan administratif

pemerintahan dipandang sebagai salah satu alternatif dalam rangka menciptakan

efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan

pembangunan, akan tetapi momentum dan format pemekaran sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, dianggap tidak tepat dan tidak

memberikan implikasi yang signifikan terhadap peningkatan pelayanan dan

pemberdayaan masyarakat serta percepatan pembangunan di wilayah Irian Jaya.

Analisis terhadap proses formulasi dan muatan undang-undang ini, menunjukan bahwa

memang terdapat sejumlah anasir yang dapat dijadikan dalih dan alasan pembenaran

(justification) atas pernyataan tersebut, antara lain: (1) momentum diberlakukannya

kebijakan ini kurang tepat. Kebijakan ini diberlakukan ketika eskalasi politik di Propinsi

Irian Jaya berada pada tingkat kulminasi, dimana beberapa komponen masyarakat Irian

Jaya (kini Papua) sedang melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak-hak

masyarakat Papua, bahkan termasuk keinginan merdeka dan memisahkan diri dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu kebijakan ini hanya dipandang

sebagai upaya Pemerintah untuk memecah-belah rakyat Papua sehingga secara politis

tidak memiliki kekuatan politis, yang akan berpengaruh terhadap proses bargaining

politic dalam memperjuangankan hak-hak masyarakat Irian Jaya(kini Papua); (2) proses

formulasi kebijakan ini dianggap tidak aspiratif karena tidak melibatkan masyarakat

secara luas (konsultasi rakyat) dan tidak pula mengakomodasi aspirasi masyarakat,

terutama dalam hal pembagian wilayah; (3) pembagian wilayah yang ada dianggap tidak

23

memperhatikan potensi sumberdaya, aspek sosial budaya, dan aksesibilitas antar

daerah;

Berdasarkan berbagai alasan tersebut, maka masyarakat Irian Jaya yang dipelopori oleh

Mahasiswa di Jayapura, pada tanggal 14 dan 15 Oktober 1999, melakukan aksi

unjukrasa (demonstrasi) menolak kebijakan tersebut (Undang-undang Nomor 45 tahun

1999). Aksi penolakan ini kemudian dilegitimasi oleh DPRD Propinsi Irian Jaya, pada

tanggal 16 Oktober 1999, dengan Keputusan DPRD Propinsi Irian Jaya Nomor

11/DPRD/1999, tentang Pernyataan Pendapat DPRD Propinsi Irian Jaya kepada

Pemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Propinsi Irian Jaya dan Usul Pencabutan

Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M tahun 1999 Tanggal 5 Oktober

1999.Keputusan DPRD Propinsi Irian Jaya ini memuat dua hal: (1) menolak pemekaran

Propinsi Irian Jaya dan meminta pencabutan pasal-pasal pada UU.No.45 Tahun 1999

yang berkenaan dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian

Jaya Barat; (2) mengusulkan pencabutan Surat Keputusan Presiden RI No.327/M Tahun

1999 tertanggal 5 Oktober 1999 tentang pengangkatan Pejabat Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Irian Jaya Tengah dan pejabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian

Jaya Barat dengan berbagai dalih dan alasan pembenaran;(3) keputusan DPRD

Propinsi Irian Jaya ini didasarkan pada pertimbangan perkembangan situasi dan kondisi

Daerah khususnya yang menyangkut berbagai aspirasi yang menyatakan penolakan

terhadap pemekaran Propinsi Irian Jaya dan dalam rangka mengantisipasi serta

menghindari gejolak yang dapat merugikan masyarakat dan Pemerintah Daerah;

Pemerintah merespon tuntutan masyarakat tersebut dengan penuh kearifan. Materi

muatan pasal-pasal Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999, yang mengatur tentang

pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat ditangguhkan

pelaksanaannya. Hal yang sama juga dilakukan bagi Keputusan Presiden RI Nomor

327/M Tahun 1999 tentang Pengangkatan Pejabat Gubernur Kepala Daerah Irian Jaya

Tengah dan Irian Jaya Barat. Penangguhan ini secara implisit diperkuat dengan

ditetapkannya Tap MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, yang

ditetapkan pada tanggaal 19 Oktober 1999. Dalam Tap MPR RI tersebut pada Bab IV

huruf G, butir 2 termuat kebijakan Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya (tidak

disebutkan Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Timur).

24

Penguatan terhadap tidak berlakunya materi muatan pasal-pasal yang mengatur

pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat terjadi kembali

dalam Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000. Dalam Tap MPR RI Nomor IV/MPR/2000

tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan otonomi Daerah yang

ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam salah satu bagian

dari Ketetapan ini disebutkan: “… Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah

Istimewa Aceh dan Irian Jaya (bukan Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya

Timur) sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999

tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan

selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah

yang bersangkutan...”.

Penguatan terhadap keberadaan provinsi Irian Jaya (kini Papua)sebagai satu kesatuan

wilayah terjadi kembali ketika, Pemerintah RI memberlakukan Undang-undang Nomor

21 Tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang kemudian dimuat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, sejak tanggal 21

Nopember 2001. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa Propinsi Papua adalah

Propinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.Lebih lanjut dalam penjelasan umum undang-undang tersebut

disebutkan bahwa Propinsi Papua, pada saat ini terdiri dari 14 kabupaten/kota,dengan

batas wilayah: di sebelah utara dengan samudera pasifik, di sebelah selatan dengan

Provinsi Maluku dan laut arafura,di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku

Utara, dan di sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea.Berdasarkan undang-

undang ini secara eksplisit pemerintah telah mengakui bahwasanya Propinsi Papua

adalah Propinsi Irian Jaya yang satu;

Hal yang sama juga terjadi Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 26

tahun 2002 tentang pembentukan sejumlah Kabupaten (Kabupaten Sarmi, Kabupaten

Kerom, … dan kabupaten Teluk Wondama), sejak tanggal 11 Desember 2002. Dalam

undang-undang ini juga disebutkan bahwa kabupaten-kabupaten tersebut berada di

Provinsi Papua berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001. Pemberlakuan sejumlah

peraturaan perundang-undangan mengenai provinsi Irian Jaya (kini Papua)

sebagaimana tersebut memberikan arahan bahwasanya Provinsi Irian Jaya (kini

25

Papua) secara politis merupakan satu wilayah administratif pemerintahan, yang terdiri

atas sejumlah Kabupaten/Kota;

Pada tanggal 27 Januari 2003, Presiden RI mengeluarkan INPRES Nomor 1 Tahun

2003, yang isinya antara lain: memerintahkan Menteri Dalam negeri, Menteri

Keuangan, Gubernur Papua dan Para Bupati untuk mengambil langkah-langkah

percepatan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan

UU Nomor 45 Tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat gubernurnya. Meskipun INPRES

Nomor 1 Tahun 2003 bersifat interenal dan hanya memerintahkan pejabat-pejabat yang

terkait untuk mengambil langkah-langkah percepatan pelaksanaan UU.NO.45/99, akan

tetapi kehadiran INPRES ini telah menimbulkan kerancuan administratif dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua. INPRES Nomor 1 tahun 2003 akan

berimplikasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan

di provinsi Papua berdasarkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. Secara politis-

administratif Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 melegitimasi keberadaan Provinsi

Papua yang satu. Sedangkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang

ditindaklanjuti dengan INPRES Nomor 1 Tahun 2003 membagi Provinsi Papua menjadi

3 (tiga);

INPRES Nomor 1 Tahun 2003 tersebut ditindaklanjuti oleh MENDAGRI dengan

mengeluarkan Radiogram berklualifikasi segera, Nomor 134/221/SJ, tertanggal 3

Pebruari 2003. Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua,

Bupati/Walikota se Provinsi Papua, dan seluruh pejabatan eselon I DEPDAGRI,

berisikan 5 (lima) butir perintah. Inti dari ke-5 perintah itu adalah agar para pejabat yang

ditujukan segera mengambil langkah-langkah operasional pelaksanaan INPRES Nomor

1 Tahun 2003, yang dilakukan sejalan dengan operasionalnya Undang-undang Nomor

21 Tahun 2001, serta memberikan laporan selambat-lambatnya 2 (dua) minggu;

Keluarnya INPRES Nomor 1 Tahun 2003 tersebut telah memunculkan Berbagai

implikasi yang berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua.

Bahkan beberapa aktivitas yang dilakukan pasca INPRES Nomor 1 Tahun 2003 oleh

Pemerintah dalam hal ini DEPDAGRI telah menyebabkan berbagai ketidakpastian dan

kerancuan administrative. Beberapa hal yang menyebabkan ketidakpastian dan

kerancuan administrative dimaksud, antara lain: (1) Dalam Radiogram MENDAGRI

26

Nomor 134/221/SJ, disebutkan agar implementasi INPRES Nomor 1 Tahun 2003

dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,

padahal materi muatan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 secara prinsip berbeda

dengan materi muatan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999; (2) Pejabat Gubernur

Irian Jaya Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 327/M Tahun 1999,

yang selama 3 tahun 4 bulan tidak melaksanakan tugas, atas dasar INPRES Nomor 1

Tahun 2003 secara sepihak langsung memposisikan diri dan melaksanakan tugas-tugas

sebagai Gubernur.

Meskipun MENDAGRI menyatakan bahwa selama ini belum ada perintah atau

penunjukan pejabat Gubernur, tetapi bersama dengan itu pihak DEPDAGRI tidak

melakukan langkah-langkah konkrit untuk meluruskan kekeliruan yang dilakukan oleh

yang bersangkutan: (3) Pihak DEPDAGRI membentuk Tim Asistensi yang bertugas

melakukan kajian terhadap rencana percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat.

Tim yang terdiri dari beberapa pejabat eselon II DEPDAGRI tersebut telah mengunjungi

Kabupaten Manokwari beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi disayangkan karena Tim

ini bekerja secara tidak prosedural karena Tim tidak pernah melakukan pembicaraan

dengan Gubernur Provinsi Papua maupun DPRD Provinsi Papua selaku

penanggungjawan pemerintahan induk maupun dengan berbagai pihak di Provinsi

Papua. Tim ini juga dalam pernyataan persnya telah menimbulkan berbagai interpretasi

yang dapat berakibat adanya benturan antara berbagai komponen masyarakat di

Papua;(3) pihak DEPDAGRI juga memberikan pernyataan bahwa kebijakan pemekaran

ini didukung oleh berbagai kalangan termasuk beberapa Bupati/Walikota di Provinsi

Papua.

Secara factual diakui bahwa ada sejumlah Bupati yang mendukung kebijakan ini, akan

tetapi juga harus diakui bahwa dukungan terhadap kebijakan ini tidak berarti mendukung

format sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Bupati

Merauke mengingikan agar wilayah Kabupaten Merauke dijadikan menjadi satu

Provinsi. Bupati Serui mengingikan agar Kabupaten Yapen Waropen juga menjadi satu

Provinsi. Hal yang sama juga dikatakan oleh Bupati FakFak yang mengingikan adanya

provinsi yang beribukota di Bombaray. Berdasarkan kenyataan ini, maka jelas bahwa

kebijakan pemekaran berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 juga digugat

oleh berbagai kalangan termasuk ketiga Bupati tersebut;

27

Aspek Ekonomi

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi papua telah merubah struktur penerimaan. Sumber-sumber Penerimaan sesuai

dengan ketentuan Otonomi Khusus pada prinsipnya ada empat komponen yaitu;

Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dana dalam rangka Otonomi Khusus,

Pinjaman dan Dana Infrastruktur.

Sedangkan sharing penerimaan antara Provinsi Papua dengan Pemerintah Pusat dalam

bingkai Undang-Undang No 21 Tahun 2001 (Otonomi Khusus) sebagai berikut; untuk

Pajak Bumi dan Bangunan perbandingannya sebagai berikut(90%:10%),Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan (80%:20%), PPH perorangan (80%:20%), Bagi hasil

penerimaan dariSDA kehutanan (80%:20%), perikanan(80%:20%), pertambangan

(80%:20%), minyak(70%:30%), gas (70%:30%).

Sumber-sumber penerimaan menurut Undang-Undaang No 21 Tahun 2001 terjadi

peningkatan Dana Perimbangan dimana dana untuk alokasi Otonomi Khusus untuk

tahun 2002 sebesar Rp. 1,382,300,000,000. Sehingga dengan adanya Otonomi Khusus,

pada sisi penerimaan terjadi peningkatan sebesar Rp. 776,667,966,364 dari tahun 2001

ke 2002. Untuk sumber penerimaan tahun 2002, terlihat bahwa dana untuk Otonomi

Khusus mempunyai kontribusi yang signifikan yakni sebesar 70,57% dari total

penerimaan APBD.

Asumsi yang digunakan jika menggunakan INPRES No 1 Tahun 2003 (No 45 Tahun

1999), maka pembagian sumber-sumber Penerimaan akan merujuk pada UU No 22

1999. Dimana dalam undang-undang tersebut pada dasarnya terbagi menjadi tiga

bagian sumber sumber penerimaan, yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,

dan Pinjaman. Sedangkan sharing penerimaan antara propinsi dan Pemerintah Pusat

sebagai berikut; untuk Pajak Bumi dan Bangunan perbandingannya Provinsi dengan

Pemerintah Pusat (90%:10%), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(20%:20%), PPH perorangan (20%:80%), Bagi hasil penerimaan dari SDA iuran hak

pengusahaan hutan kehutanan (16%:20%) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan

(64%),Pengelolaam sumber daya hutan (16%:20%) Kota/kabupaten yang bersangkutan

(32%) dan Kota/kabupaten dalam propinsi yang bersangkutan(32%), perikanan

28

(80%:20%) , pertambangan (80%:20%), minyak (3%:85%) alokasi untuk kota/kabupaten

yang bersangkutan (6%) dan kota/kabupaten dalam propinsi yang bersangkutan (6%),

gas alam (6%:70%) alokasi untuk kota/kabupaten yang bersangkutan (12%) dan

kota/kabupaten dalam propinsi yang bersangkutan (12%).

Tahun pertama implementasi era Otonomi Khusus berjalan agak tersendat-sendat, hal

ini terjadi karena ada tarik-menarik kepentingan pertentangan struktural antara pihak

eksekutif dan legislatif sehingga jadwal pengesahan untuk APBD 2002 tertunda, ini

berakibat kepada sejumlah program- program yang didanai oleh APBD tertunda,

sehingga banyak proyek yang belum bisa berjalan. Sehingga program-program kerja

yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah yang seharusnya berjalan 12 bulan hanya

dapat dilakukan 8 atau 9 bulan saja. Ini bisa diperkirakan semua program dipaksakan

untuk selesai per Desember 2002.

Proses penyusunan APBD 2002 bisa dikatakan sangat lemah fondasinnya, hal ini

beralasan karena dalam penyusunan APBD tersebut Pemerintah Daerah belum

menjadikan Rencana Strategi Daerah (Renstrada) 2002-2006 sebagai acuan untuk

setiap sektor. Disamping itu Renstra belum mengaju pada Undang-undang 21 Tahun

2002. Sehingga tidak ada konsistensi antara APBD dengan Renstra mengakibatkan

beberapa program yang tidak prioritas dimasukkan dalam program. Sehingga ada

kecenderungan terjadi pemborosan/ kebocoran anggaran.

Pemerintah Daerah belum bisa secara optimal mengimplementasikan Undang-Undang

Otonomi Khusus kedalam pendekatan, strategi, kebijakan program-program, master

plan. Khususnya program prioritas yang sesuai dengan materi muatan dalam Undang-

Undang No 21 Tahun 2002 yakni pendidikan kesehatan dan penguatan ekonomi rakyat

yang lebih spefisik. Ini terjadi karena kurang memberdayakan masyarakat di kalangan

bawah, akibatnya banyak program-program pemerintah yang kurang mengena dengan

kemauan masyarakat.

Berdasarkan pengeluaran APBD 2002 bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan

(18.88%), kesehatan (15,40%) dan transportasi (21,51%) terjadi peningkatan yang

signifikan, namun hal ini juga dibarengi dengan peningkatan pengeluaran untuk

pemerintah (Hasil research Rapid Assessment of Economy). Khususnya untuk supervisi

29

pemerintah (12.76%). Ini berarti bahwa pengeluaran untuk sektor-sektor prioritas dalam

Undang-undang Otonomi Khusus masih jauh dari yang diharapkan.

Jiwa “good governance” masih memerlukan banyak perbaikan. Jika melihat menejemen

pemerintahan tahun pertama era Otonomi Khusus penciptaan transparansi,

akuntabilitas publik dan value of money (nilai ekonomi, efisiensi dan efektivitas), public

participation, rule of law belum begitu nampak. Transparansi dalam hal informasi yang

berkaitan dengan kepentingan publik tak terlihat oleh masyarakat di Papua. Akuntability

publik berkaitan dengan tanggung jawab Pemerintah terhadap publik berkaitan dengan

aktivitas yang dilakukan oleh Pemerintah juga belum begitu terlihat karena kurang

adanya supervisor yang independen. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara

berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektivitas) belum banyak nampak pada

manajemen pemerintahan tahun 2002. Disamping itu partisipasi masyarakat juga belum

maksimal masyarakat seakan-akan sebagai kurang proaktif menyikapi Otonomi Khusus.

Dan juga pengelolaan peraturan berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 juga

masih perlu diperbaiki karena kurang sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut.

Belum ada evaluasi mengenai apa-apa saja yang telah dicapai dalam tahun pertama

Otonomi Khusus. Sehingga belum ada indikator-indikator ekonomi terlihat apakah dalam

era Otonomi Khusus sudah terjadi perubahan ekonomi secara struktural yang signifikan

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua.

Dalam UU No 21 tahun 2001 tidak mengatur mengenai pemekaran propinsi dalam Bab

III hanya mengatur mengenai pembagian wilayah untuk Kabupaten/Kota. Pada Bab III

Pasal 3 ayat 4 disebutkan bahwa” Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau

penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Provinsi

Papua” ini mempunyai makna bahwa pemekaran kabupaten/kota yang menjadi

perhatian UU Otonomi Khusus.

Dalam tahun pertama era Otonomi Khusus ada pemikiran untuk memekarkan beberapa

kabupaten. Namun, kenyataannya masih ada kendala-kendala yang dihadapi termasuk

kesiapan “kabupaten baru” dalam menyusun pemerintahan kota/kabupaten. Manajemen

pemerintahan belum dapat berjalan secara optimal. Sehingga terjadi in-efesiensi pada

30

manajemen pemerintahan, seperti banyak pegawai kabupaten yang belum menerapkan

tugas dan tanggung jawabnya.

Gap yang besar dalam “distribusi pendapatan” akan terjadi baik antar propinsi atau

antar kabupaten dalam satu propinsi. Sebagai akibat perbedaan tersebut, satu propinsi

akan terlihat pendapatannya tinggi dan ada yang sangat rendah. Begitu pula antar

kabupaten dalam satu propinsi sharing sumber-sumber penerimaan antara “Propinsi

Baru” dengan Pemerintah Pusat juga berubah. “Propinsi Baru” akan kehilangan

sumber-sumber penerimaan dari SDA minyak sebesar 85% dan SDA gas alam sebesar

70%. Propinsi Irian Jaya Barat akan diprediksikan menerima sumber-sumber dari SDA

minyak sebesar 30% dan gas alam sebesar 30% menurut UU No 45 tahun 1999.

Akan terjadi peningkatan ekspenditur untuk membiayai gaji pegawai negeri. Hal ini

sangat logis sebagai akibat pemekaran propinsi membutuhkan pegawai negeri untuk

menjalankan menejemen pemerintahan. Sehingga pos pengeluaran rutin dalam APBD,

untuk pemerintah akan meningkat. Kekurangan pegawai negeri yang mempunyai

kualifikasi eselon I dan II, dan hal ini dimungkinkan untuk mendatangkan pegawai yang

mempunyai kualifikasi tersebut dari luar Papua. Ada kemungkinan pelimpahan pegawai

negeri dari Jakarta ke “Provinsi Baru”. Akibat dari desentralisasi banyak pegawai negeri

eselon I dan II Pusat (Jakarta) yang tidak mempunyai jabatan, sehingga diramalkan

pegawai tersebut akan dilimpahkan ke “Propinsi Baru”.

Pemerintah Provinsi seharusnya sudah membuat menyusun rencana kebutuhan

kepemerintahan untuk memekarkan propinsi/ kabupaten/kota baru agar pemerintahan

propinsi/ kabupaten/kota baru dapat berjalan dengan mengadakan kajian kelayalakan

study dilihat dari sisi ekonomi. Sehingga kebutuhan pegawai serta pembiayaan juga

nampak, dan kalau bisa untuk semua level birokrasi melibatkan orang Papua, sehingga

tidak perlu mendatangkan pegawai negeri dari Pusat, karena akan menyebabkan

kecemburuan sosial.

Ada 3 skenario untuk melihat dampak pemgembangan provinsi di Papua. Asumsi

pertama masih tetap menggunakan UU No 21 tahun 2001, dengan memberdayakan

penggunakan sumber-sumber penerimaan secara “good governanance”, agar

kejemburuan antara legislative, eksekutif dan masyarakat tidak perlu terjadi.

31

Asumsi kedua mengunakan UU 45 Tahun 1999 maka dengan sendirinya UU Otonomi

Khusus tidak akan berlaku. Sehingga “Propinsi Baru” akan menggunakan desentralisi

yang digunakan oleh propinsi lain di Indonesia kecuali propinsi Nangro Aceh Darusalam

(NAD). Konsekunsi logis dari UU 45 Tahun 1999 “Propinsi Baru” diprediksikan sumber-

sumber penerimaan akan berkurang sebesar 85% untuk minyak dan gas alam sebesar

70%.

Sebagai akibat pemberlakuan UU No 45 tahun 1999, dana Otonomi Khusus tidak akan

terlihat pada APBD Papua, sehingga masing-masing provinsi yang baru akan

mengalami penurunan yang drastis dari sisi penerimaan. Apabila mengacu pada APBD

2002, bisa diprekdiksi bahwa APBD untuk satu “Propinsi Baru “ sebesar

576,438,667,331 (setelah dikurangi Dana Otonomi Khusus). Sehingga komponen

penerimaan yang menjadi andalan untuk “Propinsi Baru” adalah dari Dana Alokasi

Umum dan Bagi hasil Pajak dan bukan Pajak. Sedangkan peran dari Pendapatan Asli

Daerah sangat hanya 8.92 %.

Jika pemekaran “propinsi baru” terjadi maka propinsi tersebut akan mengadopsi UU No

45, 1999 tentang pembentukan wilayah Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,

Kabupaten Pania, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota

Sorong.Ketimpangan yang menyolok pertumbuhan ekonomi regional setiap “Propinsi

Baru”. Ini sangat beralasan karena gabungan kabupaten yang akan menjadi propinsi

mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda. Beruntung bagi propinsi

yang kawasannya kaya sumber daya alam, tetapi kurang beruntung bagi provinsi yang

sumber daya alamnya sedikit.

Asumsi ketiga pemekaran masih dalam koridor OTSUS namun terjadi pembagian

sharing sumber-sumber penerimaan dari dana Otonomi Khusus sebesar 2%. Untuk hal

itu perlu dikaji bukan saja dari aspek ekonomi saja tetapi aspek lainnya seperti hukum,

politik dan sosial budaya untuk menjalankan ketiga skenario ini.

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan

distribusi pendapatan antar “Provinsi Baru“ yang dimekarkan sudah dipikirkan

bagaimana sharing penerimaan yang adil (equity) dan bijaksana antara Pemerintah

Pusat, “Provinsi Baru” dan Kabupaten antar propinsi dalam koridor “Uni Papuan”.

32

Anggotannya nantinya terdiri dari pimpinan pemerintahan dan adat di regional Papua.

Tugas utamanya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan sharing

sumber-sumber penerimaan (subsidi silang). Hal ini sangat beralasan guna mengindari

sharing sumber-sumber penerimaan yang dapat merugikan pemerintah Regional Papua.

Dalam hal ini, perlu adanya justifikasi UU No.21 Tahun 2001 dan UU No 45 Tahun

1999.

Aspek Sosial Budaya

Pada awal pertama pemberlakuan Undang Undang No.45 Tahun 1999, dihadapkan

pada perlawanan dan penolakan sosial masyarakat secara luas oleh karena masyarakat

memandang beberapa alasan pokok menyangkut perkembangan penduduk, sosial

budaya, sosial politik, meningkatnya beban tugas pemerintahan, dan kemajuan pada

kabupaten-kabupaten tertentu di propinsi Irian Jaya dipandang masyarakat tidak

mendasar. Penolakan undang-undang ini diwarnai dengan demonstrasi masa yang

banyak diprakrasi oleh kalangan mahasiswa. Diberlakukannya kembali Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1999, melalui Inpres No.1 Tahun 2003 dan

Radiogram Mendagri RI telah berimplikasi pada persoalan sosial budaya spesifik

masyarakat di Papua.

Terbentuknya Propinsi Irian Jaya Barat dengan ibukota di Manokwari yang didukung

oleh sejumlah tokoh pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh adat (suku-bangsa),

tokoh agama, tokoh politik, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok-kelompok

masyarakat mewakili kedaerahan. Terpilihnya Gubernur Propinsi Irian Jaya Barat

(Brigadir Jendral (Purn.) Abraham Ataruri) yang kini telah melaksanakan beberapa tugas

dan fungsinya sesuai jabatannya.

Secara de facto dan afiliasi sosial-politik telah bergabungnya beberapa bupati, camat

(kepala distrik) dan kepala desa (kampung) mendukung gubernur Propinsi Irian Jaya

Barat dan terbentuknya Propinsi Irian Jaya Barat. Berkembangnya berbagai upaya

sistematis, formal dan non formal sejumlah besar tokoh masyarakat dan kelompok-

kelompok masyarakat daerah ini ke pusat untuk memperjuangkan berkembangnya

suatu kabupaten dan atau beberapa kabupaten daerah ini menjadi sebuah propinsi.

33

Memunculkan kelompok-kelompok masyarakat yang secara radikal maupun non radikal

menolak semua upaya-upaya berbagai pihak untuk dikembangkannya daerah ini

menjadi beberapa propinsi. Semakin memperkuat dan atau memunculkan secara nyata

individu dan kelompok-kelompok masyarakat di Papua yang menginginkan kebijakan

tentang pemekaran wilayah propinsi Papua.

Pada skala tertentu terjadi kecenderungan menurunnya dukungan sosial (public)

terhadap sistem pemerintahan Otsus serta semakin berkembang dan menguatnya

kelompok pendukung terhadap pemekaran propinsi di daerah ini sehingga kemudian

semakin memunculkan konflik sosial antar multi stakeholder dan kelompok-kelompok

masyarakat menjadi lebih terbuka (manifest) dibanding periode sebelumnya yang

cenderung bersifat tertutup (latent).

Terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang secara tertutup (latent) maupun terbuka

(manifest) menolak Undang Undang Otonomi Khusus dan Undang Undang No.45

Tahun 1999 tentang pemekaran propinsi di Papua. Meningkatnya jumlah multi

stakeholder dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang menginginkan

dikembangkannya beberapa kabupaten menjadi propinsi tersendiri seperti Kabupaten

Merauke, Yapen Waropen dan Sorong (tidak sesuai dengan UU No.45 Tahun 1999).

Munculnya tokoh-tokoh nasional dan daerah seperti Menkopolsoskam RI, Gubernur

Provinsi Papua dan Dekan FISIP Uncen (Cenderawasih Pos, maret 2003) serta

kelompok-kelompok masyarakat di Papua yang menginginkan adanya proses

sinkronisasi antara UU Nomor 21 Tahun 2001 dan UU Nomor 45 Tahun 1999.

Berkembangnya idea, pandangan, dan kemauan masyarakat tentang perlunya

singkronisasi, rekonsialisai dan konsensus sosial diantara masyarakat Papua dalam

upaya menghindari terjadinya konflik sosial terbuka antar kelompok-kelompok

masyarakat Papua, sehingga memunculkan kebingungan, gesekan dan ketegangan

sosial dalam masyarakat luas berhubungan dengan masa depan sistem pemerintahan

dan pembangunan daerah ini ke depan.

Tersedotnya sumber kekuatan dan energi masyarakat untuk lebih banyak memikirkan

persoalan dan pertentangan yang ada serta upaya memperjuangkan format baru sistem

34

pemerintahan daerah ini ke depan yang bisa menyatukan perbedaan sikap yang kini

muncul dalam masyarakat, dibandingkan upaya-upaya pembangunan daerah dan

masyarakat lainnya yang tidak kalah penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di daerah ini.

Apabila perbedaan, pertentangan dan konflik sosial masyarakat ini tidak diakomodasi

dan dikelola secara baik, maka kemungkinan terjadinya proses penyelesaian atau

penanggulangan konflik sosial masalah sistem pemerintahan daerah ini akan terjadi

secara kekerasan, non kekerasan dan atau kombinasi keduanya. Dalam pemahaman

demikian maka perlunya format penyelesaiaan konflik sosial yang dipandang lebih

menguntungkan dan diterima semua pihak.

Berdasarkan identifikasi dan klasifikasi pandangan, sikap dan afiliasi sosial masyarakat

terdapat beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok pro otonomi khusus,

kelompok pro pemekaran (sesuai dan tidak sesuai Inpres), kelompok menolak

keduanya, kelompok memihak kemerdekaan, kelompok masyarakat tidak jelas

keberpihakannya, kelompok masyarakat tidak mengerti dan memahami, dan kelompok

masyarakat tidak berkepentingan.

Munculnya pembangkangan sosial inter dan antar tokoh masyarakat dan kelompok-

kelompok masyarakat dalam bentuk pengacuhan terhadap pimpinan formal tertentu,

pengakuan yang melemah terhadap pimpinan atau tokoh masyarakat tertentu,

ketidakpercayaan terhadap kinerja suatu kelompok berkuasa tertentu, ketidakpercayaan

terhadap fungsi dan peran lembaga-lembaga formal, berkembangnya lembaga-lembaga

masyarakat (civil society), melemahnya kepercayaan masyarakat tertentu terhadap

kemampuan dan kesungguhan pimpinan dalam membangun masyarakat, penolakan

terhadap kerjasama, koordinasi dan partisipasi dalam proses pembangunan daerah,

meluasnya demostrasi mahasiswa dan masyarakat, dan meluasnya pembangkangan

terhadap aturan formal.

Konflik sosial antara kelompok masyarakat pro otonomi khusus dan pro pemekaran

yang terus berlangsung telah menyebabkan masyarakat di Papua kini berada pada

kondisi sosial yang tidak menentu, kurang menguntungkan, rasa kurang aman, dan rasa

kurang nyaman serta telah mempengaruhi perkembangan bidang-bidang pembangunan

35

lainnya sehingga semua pihak terkait perlu melakukan langkah-langkah kongkrit untuk

keluar dari situasi ini.

Muncul dan berkembangnya kelompok-kelompok kepentingan dan keberpihakan pada

kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan rakyat Papua melalui berbagai

kegiatan dan manuver di daerah dan kepemerintahan pusat untuk membangun opini

publik yang menguntungkan bagi kelompoknya. Dalam kondisi ini dibutuhkan

keterlibatan aktif kelompok masyarakat dan lembaga independent yang selama ini lebih

dipercaya masyarakat di Papua.

Masyarakat di Papua kini sangat membutuhkan dan mengharapkan agar konflik sosial

masyarakat atas sistem pemerintahan daerah ini perlu secara cepat diselesaikan oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait di daerah yang dipercaya

masyarakat dengan tetap memperhatikan upaya-upaya komperehensif, integrated,

holistik dan damai guna mempercepat perbaikan kesejahteraan masyarakat di Papua.

Undang undang ini setelah disyahkan pemerintah maka fungsi sosialnya makin terasa

dalam menengahi keinginan kuat yang saling bertolak belakang dan atau bertentangan

antara orang Papua dan pemerintah. Dasar pertimbangan dari pembuatan undang

undang ini dipandang mencakup dan atau mengakomodasi nilai-nilai orientasi sosial

dan budaya orang Papua. Pasal-pasal tertentu yang sangat vital secara sosial, budaya,

dan kesejahteraan masyarakat walaupun sudah dilaksanakan tetapi belum maksimal.

Undang-undang ini dipandang masyarakat luas di daerah ini sebagai solusi sosial

terbaik dari eforia, persoalan, dan pergolakan sosial masyarakat yang berkembang

ketika itu. Materi muatannya dipandang sebagai hasil kompromi sosial dan akomodasi

aspirasi, sikap dan afiliasi yang cukup beragam, kompleks dan demensional dalam

kehidupan masyarakat Papua.

Undang undang ini dipandang sebagai sebuah landasan pembangunan daerah yang

paling spesifik memperhatikan, mengakomodasi, mengembangkan, dan memperkuat

hak-hak dasar sosial budaya masyarakat Papua serta dipandang lebih memperhatikan,

memberdayakan dan memperkuat kehidupan sosial budaya masyarakat Papua seperti

36

adat istiadat, hak ulayat, pendidikan, kesehatan, gizi, dan sumberdaya manusia orang

Papua.

Undang undang ini telah mengembangkan pendekatan, strategi, kebijakan, dan

program pembangunan bidang sosial budaya masyarakat yang lebih baik dibanding

pembangunan daerah periode sebelumnya, serta telah berhasil meningkatkan anggaran

pembangunan daerah dan masyarakat bidang sosial budaya yang jauh lebih banyak

dibanding periode pembangunan sebelumnya di daerah ini.

Berdasarkan sisi loyalitas sosial masyarakat terhadap suatu undang-undang maka

sesungguhnya dalam masyarakat belum tercapai loyalitas terakhir (ultimate loyality)

sehingga wajar apabila kemudian dalam proses perjalanannya kurang mendapat

dukungan penuh seluruh masyarakat di Papua. Masih ditemukan pandangan,

pemahaman dan penerimaan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat

daerah ini yang belum utuh terhadap beberapa pasal (mis. bendera, lagu, MRP) yang

dipandang tidak perlu dan atau tidak layak dimasukkan dengan berbagai alasan.

Dalam posisi sosial undang-undang demikian pula maka dalam proses sosialisasi nya

dipahami berlangsung tidak mulus atau belum dapat dilakukan secara baik pada semua

lapisan masyarakat di daerah ini. Proses desiminasi (pemantapan) undang-undang ini

dalam sistem kehidupan masyarakat di Papua pada taraf tertentu masih perlu terus

dilakukan dan ditingkatkan apabila tetap menginginkan digunakan dalam proses

pembangunan daerah ke depan.

Implementasi undang-undang ini ditandai dengan hingga kini belum ada satu pun

Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai

jabaran dari pasal-pasal dalam Undang Undang 21 Tahun 2001 sehingga pada taraf

tertentu telah menurunkan dan atau melemahnya tingkat kepercayaan dan dukungan

masyarakat. Dalam skala tertentu pula beberapa implementasi undang-undang ini

dijalankan kurang sesuai dengan kemauan undang undang itu sendiri sehingga

kemudian memunculkan perlawaman atau pembangkangan sosial diantara multi

stakeholder serta anggota dan kelompok masyarakat.

37

Implementasi undang-undang ini dalam proses pembangunan daerah ini tidak dapat

berjalan secara baik pula oleh karena sejak awal adanya individu dan kelompok-

kelompok masyarakat yang memiliki pandangan, aspirasi, sikap, dan afiliasi sosial yang

berbeda bahkan bertentangan. Proses implementasinya walaupun dalam kurun waktu

yang masih singkat akan tetapi dipahami memunculkan beragam implikasi sosial

budaya dalam kehidupan masyarakat daearah, nasional dan internasional.

Kalangan pemerintah, Perguruan Tinggi, perusahaan, kepolisian dan TNI baik di

wilayah Papua maupun di luar Papua sesungguhnya mulai merasa perlu untuk

mengetahui, mendalami dan menerima materi muatan undang undang ini. Keterlibatan

masyarakat Papua secara struktural dalam pelaksanaan undang undang ini masih

belum merata, hanya melibatkan kelompok masyarakat tertentu saja dan kepentingan

masyarakat kampung-kampung tertentu saja sehingga belum sesuai dengan keinginan

undang undang ini. Masyarakat kampung kampung sesungguhnya hingga kini belum

merasakan implikasi langsung dari undang undang ini.

Mengukur implikasi sosial budaya sebagai akibat dari implementasi UU No.21 tentang

Otonomi Khusus sesungguhnya dipandang masih dini, akan tetapi pada skala tertentu

sudah dapat dilakukan beberapa evaluasi, seperti undang undang ini telah

meningkatkan dengan cepat alokasi dana-dana pembangunan bidang pendidikan,

kesehatan, dan gizi dalam periode yang singkat sehingga apabila pelaksanaan

pembangunan berjalan dengan baik dipastikan dalam kurang waktu yang panjang akan

dapat memperbaiki sumberdaya manusia masyarakat di Papua.

Walaupun periode waktu implementasi undang undang ini dalam bidang sosial budaya

masih belum lama dilaksanakan akan tetapi dipahami pula telah memunculkan

persoalan sosial yang beragam, kompleks dan demensional dalam kehidupan

masyarakat di daerah ini. Dalam proses implementasinya pada tingkat tertentu

dipahami menimbulkan perbedaan, pertentangan dan konflik sosial tertutup (latent) dan

terbuka (manifest) dalam tatanan birokrasi dan berbagai lapisan masyarakat.

Terdapat tokoh-tokoh masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat yang secara

tegas dengan berbagai alasan tidak menginginkan, tidak menyetujui, dan atau menolak

dilaksanakannya undang undang ini sebagai sistem pemerintahan di wilayah Papua.

38

Konflik sosial horizontal dan fertikal yang berkembang akhir-akhir ini cenderung bersifat

non produktif dibanding produktif sehingga dipandang bisa meningkatkan eskalasi

konflik horizontal dan fertikal yang akan melemahkan tatanan sosial kehidupan

masyarakat.

Munculnya sumber-sumber pertentangan dan atau konflik yang bersifat struktural,

kepentingan, nilai, hubungan antar manusia, idiologi, dan data yang pada situasi

tertentu cenderung terbuka. Konflik sosial yang terjadi ini telah memunculkan

kecenderungan adanya proses disintegrasi sosial, etnik (suku-bangsa) dan

regionalisme kedaerahan dalam sistem kehidupan masyarakat di Papua, serta

memunculkan terjadinya polarisasi dalam masyarakat berdasarkan afiliasi dan atau

sikap sosial yang berbeda bahkan bertentangan dengan undang undang ini.

Pelaksanaan Otsus pada skala tertentu diindikasikan memunculkan primordial sentimen

dan regionalisme affiliation dalam sistem birokrasi pemerintah daerah dan sistem

kehidupan masyarakat. Dalam pemahaman masyarakat luas pelaksanaan Otsus

diwarnai dengan berkembangnya sifat dan perilaku birokrasi yang mengkondisikan dan

atau memuat aspek Kolusi, Korupsi dan Nipotisme (KKN) sehingga bisa menurunkan

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Otsus itu sendiri. Dalam kondisi

ini maka pendekatan penegakan hukum akan memperbaiki tingkat kepercayaan,

loyalitas dan dukungan masyarakat terhadap kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi

dari sistem pemerintahan daerah ini.

39

BAGIAN KETIGA

Simpulan dan Rekomendasi

SimpulanBerdasarkan hasil kajian pada bagian pertama dan kedua, menunjukan bahwa ada

perbedaan yang signifikan dalam hal penetapan wilayah hukum (territorial) bagi

berlakunya sejumlah kebijakan di Provinsi Papua (dulu Irian Jaya). Undang-Undang

Nomor 45 tahun 1999 menetapkan wilayah hukum (territorial) berlakunya undang-

undang ini meliputi Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, & Irian Jaya Timur. Hal

ini berbeda dengan wilayah hukum (territorial) yang ditetapkan dalam Tap MPR RI No.

IV/MPR/1999 dan Tap MPR RI No.IV/MPR/2000. Kedua Tap MPR ini menetapkan

wilayah hukum (territorial) yang dimaksudkan dalam kedua Tap MPR ini adalah Irian

Jaya (Otonomi Khusus untuk Irian Jaya). Hal yang sama juga terdapat dalam Undang-

undang Nomor 21 Tahun 2001. Wilayah hukum (territorial) berlakunya undang-undang

ini adalah Provinsi Papua (Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi

Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang pada saat

undang-undang ini diberlakukan terdiri dari 14 Kabupaten/kota). Dalam Undang-undang

Nomor 26 Tahun 2002, yang mengatur tentang pembentukan sejumlah Kabupaten baru

di Provinsi Papua, wilayah hukum (territorial) keberlakuan undang-undang ini

sebagaimana disebutkan dalam ketentuan umum undang ini adalah Provinsi Papua

sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Ketidak konsistenan Pemerintah dalam

menetapkan wilayah hukum (territorial) bagi keberlakuan serangkaian kebijakan tersebut

telah menimbulkan kerancuan dan kesalahan interpretasi;

Berdasarkan aspek keberlakuan hukum, maka Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

memang telah mempunyai sifat keberlakukan yuridikal sejak diundangkannya. Sebab

dibuat oleh lembaga yang berwenang, melalui prosedur dan mekanisme pembentukan

undang-undang yang formal, serta dibuatkan dalam kerangka sistem hierakhi peraturan

perundang-undangan yang benar. Namun demikian, sebagai suatu produk hukum,

Undang-undang tersebut tidak berlaku dalam suatu dunia tanpa nilai. Sebab secara

faktual, diberlakukan di Propinsi Irian Jaya (kini: Provinsi Papua) dengan masyarakat

sebagai basis sosial yang sekaligus merupakan sasaran yang dituju oleh Undang-

undang No. 45 tahun 1999 tersebut. Dalam kenyataannya, penerapan Undang-Undang

No. 45 tahun 1999, berkaitan dengan pembentukan Kabupaten/Kota seperti

40

diperintahkan dalam pasal 2 dengan wilayah masing-masing Kabupaten/Kota

sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 – 8, dalam kenyataannya telah berlaku efektif.

Artinya, Tidak terdapat masalah dalam aspek keberlakukan hukum yuridikal maupun

sosiologis. Hal ini karena secara in conreto, masyarakat menyetujui pembentukan

masing-masing Kabupaten/Kota baru tersebut sebagai kebutuhan untuk pengembangan

dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, penerapan Undang-Undang Nomor 45 Tahun

1999, mengenai ketentuan pasal 2 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah

dan Provinsi Irian Jaya Barat dengan wilayah seperti tersebut dalam pasal 3 dan 4, yang

kemudian diikuti dengan pengangkatan dan pelantikan para pejabat Gubernur untuk

kedua provinsi baru tersebut, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 327/M Tahun

1999, ternyata mendapat protes penolakan yang serius dan meluas dari berbagai

komponen masyarakat di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua). Aksi penolakan ini

didasari oleh beberapa alasan: (1) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah

Tingkat I Irian Jaya tersebut dilakukan tanpa melalui proses konsultasi rakyat; (2)

kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut tidak sesuai

dengan rekomendasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya,

yang antara lain menyebutkan bahwa pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I

Irian Jaya menjadi 2 (dua) Propinsi, yaitu: (a) Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Timur,

dengan ibukota di Jayapura, meliputi: Kabupaten Jayapura, Kodya Jayapura, Kabupaten

Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Puncak Jaya; (b) Propinsi daerah

Tingkat I Irian Jaya Barat, dengan ibukota di Manokwari, meliputi: Kabupaten Sorong,

Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Nabire, Kabupaten Biak Numfor,

Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, dan Kotif sorong. (3) Kebijakan Pemekaran

Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya lebih berorientasi sebagai strategi untuk

memperkokoh integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa

bermaksud untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua melalui akselerasi

pembangunan secara berkeadilan. Hal ini terbukti dari format pembagian wilayah yang

kurang memperhatikan aspek kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia,

dan kemampuan ekonomi, serta keterjangkauan komunikasi dan transportasi;

Penolakan berbagai komponen masyarakat di Propinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua)

terhadap pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat

tersebut kemudian dikukuhkan dengan Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No.

11/DPRD/1999, tanggal 16 Oktober 1999, tentang pernyataan Pendapat DPRD Propinsi

41

Irian Jaya kepada Pemerintah Pusat untuk menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan

Usul Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI No. 327/M Tahun 1999 tentang

Pengangkatan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Tengah dan Pejabat Gubernur

Provinsi Irian Jaya Barat. Penolakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Surat

Gubernur Propinsi Irian Jaya kepada MENDAGRI (Surjadi Soedirdja).Surat Gubernur

tersebut dijawab oleh MENDAGRI melalui Surat Nomor: 125/2714/SJ, tanggal 18

November 1999, yang intinya menyatakan dapat memahami sikap masyarakat Irian

Jaya dan akan menindaklanjuti keputusan DPRD tersebut sebagaimana mestinya.

Penolakan berbagai komponen masyarakat di Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua)

terhadap pemekaran Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dan diterbitkannya surat

Gubernur Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) serta surat MENDAGRI sebagaimana

tersebut, menunjukkan bahwa dari segi keberlakuan hukum, ketentuan-ketentuan dalam

pasal-pasal Undang-Undang No. 45 tahun 1999, tentang pembentukan provinsi Irian

Jaya Tengah dan propinsi Irian Jaya Barat tidak berlaku secara efektif, sehingga

kehilangan daya keberlakuan hukum sosiologis, walaupun Pasal-pasal tersebut tetap

saja memiliki daya keberlakuan hukum yuridikal;

Dalam tinjauan administratif pemerintahan, ditemukan bahwa kelembagaan

pemerintahan di Irian Jaya pada semua tingkatan (provinsi sampai kelurahan/desa/

kampung) pada saat undang-undang ini dibuat diakui belum seimbang dengan

jangkauan luas wilayah. Luas wilayah Irian Jaya 421.981 Km, hanya memiliki 10

(sepuluh) kabupaten otonom, 3 (tiga) kabupaten administrative, dan 1 (satu) kota

administratif, serta 173 kecamatan dan 2260 desa/kelurahan. Kondisi ini mengakibatkan

timbulnya berbagai kendala struktural maupun fungsional dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa kendala antara lain: (1)rentang kendali (span

of control) menjadi luas, yang bermuara pada terciptanya hambatan koordinasi dan

pengawasan; (2) terbatasnya sumberdaya aparatur secara kuatitas maupun kualitas,

sehingga menimbulkan hambatan dalam mengaktualisasi fungsi penyelenggaraan

pemerintahan secara optimal; (3) keterbatasan infrastruktur akibat tidak berimbangnya

sumber keuangan yang tersedia dengan kebutuhan infrastruktur, akibatnya

menimbulkan hambatan dibidang transportasi dan komunikasi. Kesemuanya ini pada

akhirnya akan menimbulkan pelaksanaan fungsi utama penyelenggaraan pemerintahan

dalam hal pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan

(development) menjadi tidak efektif dan efisien;

42

Kebijakan pemekaran Propinsi Irian Jaya, dapat dipahami sebagai suatu kebijakan

strategis yang mampu mendorong peningkatan pelayanan (service), pemberdayaan

(empowerment) masyarakat dan akselerasi pembangunan (development). Kebijakan ini

juga diharapkan dapat meningkatankan kemampuan dalam pengelolaan dan

pemanfaatan potensi daerah untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah.

Meskipun kebijakan pemekaran Propinsi Irian Jaya dalam tinjauan administratif

pemerintahan dipandang sebagai salah satu alternatif dalam rangka menciptakan

efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan

pembangunan, akan tetapi momentum dan format pemekaran sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, dianggap tidak tepat dan tidak

memberikan implikasi yang signifikan terhadap peningkatan pelayanan dan

pemberdayaan masyarakat serta percepatan pembangunan di wilayah Irian Jaya.

Analisis terhadap proses formulasi dan muatan undang-undang ini, menunjukan bahwa

memang terdapat sejumlah anasir yang dapat dijadikan dalih dan alasan pembenaran

(justification) atas pernyataan tersebut, antara lain: (1) momentum diberlakukannya

kebijakan ini kurang tepat. Kebijakan ini diberlakukan ketika eskalasi politik di Propinsi

Irian Jaya berada pada tingkat kulminasi, dimana beberapa komponen masyarakat Irian

Jaya (kini Papua) sedang melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak-hak

masyarakat Papua, bahkan termasuk keinginan untuk memisahkan diri “(merdeka)” dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu kebijakan ini hanya dipandang

sebagai upaya Pemerintah untuk memecah-belah rakyat Papua sehingga secara politis

tidak memiliki kekuatan politis, yang akan berpengaruh terhadap proses bargaining

politic dalam memperjuangankan hak-hak masyarakat Irian Jaya(kini Papua); (2) proses

formulasi kebijakan ini dianggap tidak aspiratif karena tidak melibatkan masyarakat

secara luas (konsultasi rakyat) dan tidak pula mengakomodasi aspirasi masyarakat,

terutama dalam hal pembagian wilayah; (3) pembagian wilayah yang ada dianggap tidak

memperhatikan potensi sumberdaya, aspek sosial budaya, dan aksesibilitas antar

daerah;

Adanya INPRES No.1/2003 dan tindakan pengukuhan propinsi Irian Jaya Barat secara

cepat oleh penjabatnya merupakan perwujudan ide dan keinginan (budaya pop) elit

politik dan birokrat tertentu akibat konflik kepentingan individu dan kelompok di daerah

ini. Budaya sentralistik (budaya paten) yang selama ini menjadi pembenaran umum di

43

arena sosial eksekutif dan legislatif ikut mendorong hal ini. Keinginan orang tertentu di

arena-arena sosial elit tersebut dianggap dapat berguna bagi orang di bawah atau

masyarakat kampung. Pada hal hal itu sesungguhnya bukanlah aspirasi lapisan bawah

di kota dan kampung baik dalam dimensi sosiologis maupun dimensi etnologis, yang

biasanya tidak dapat terhindar dari pengaruh eforia politik di arena sosialnya masing-

masing. Pemekaran propinsi Irian Jaya Barat yang ditolak rakyat misalnya, adalah

akibat dari kenyataan tersebut. Konflik sosial yang muncul sebagai akibat pro dan kontra

pemekaran secara substansial terjadi pada tataran birokrat dan elit politik. Masyarakat

kebanyakan Papua hanya menjadi korban dari keinginan elit politik itu. Penggalian ide

masyarakat adat menurut kesatuan-kesatuan wilayah sosial budaya yang ada di Papua

dalam rangka pembuatan Undang-undang pemekaran yang tidak terjadi selama ini juga

merupakan penyebab. Sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar pembuatan undang-

undang ini tidaklah mendasar, walaupun oleh kelompok elit dan birokrat, pertimbangan

dalam pembuatan UU adalah rasional dan mendasar. Soal untuk kita adalah, mengapa

pemekaran propinsi yang diundangkan ditolak oleh rakyat Papua?

Penundaan pemekaran propinsi Irian Jaya Barat itu perlu demi rasional hukum.

Pemekaran berdasarkan puncak kesepakatan secara sosial-budaya antara rakyat

Papua dengan Pemerintah dan DPR RI akan lebih merajut suatu kehidupan sosial yang

adil dan beradab. Penundaan itu guna mensosialisasi beberapa hal yang dianggap

sebagai kondisi konkrit yang dijadikan pertimbangan utama suatu upaya pemekaran,

seperti perkembangan penduduk, sosial budaya, sosial politik, dan meningkatnya beban

tugas pemerintahan; kemajuan pada kabupaten-kabupaten tertentu di wilayah propinsi

Irian Jaya; serta di pandang perlunya penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan

pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan guna menjamin perkembangan dan

kemajuan di masa datang dari beberapa kebupaten itu.

Perdebatan tentang OTSUS dan Pemekaran provinsi menjadi tidak relevan ketika yang

diperdebatkan mengarah pada pilihan terhadap salah satu opsi (OTSUS atau

Pemekaran) saja. Padahal UU OTSUS sendiri tidak mentabukan pemekaran (lihat pasal

76 UU No.21 Tahun 2001). Yang harus didebatkan adalah perumusan proses, dan

format pemekaran yang diletakan dalam kerangka OTSUS yang sudah diteken

Presiden. Pembangunan bidang sosial budaya sesuai format Otonomi Khusus mulai

mendalam dipandang (diapresiasi) sebagai salah satu kebijakan terbaik di daerah ini

44

yang perlu terus dipertahankan dan dikembangkan dalam kerangka pembangunan

daerah dan nasional ke depan.

Undang-undang No.21/2001 memiliki nilai hukum, politik, budaya dan ekonomi yang

sangat baik bagi rakyat Papua. Aspek penimbang pembuatan UU ini cukup representatif

dari sosial budaya komuniti-komuniti adat Papua. Namun demikian, hingga saat kajian

ini dibuat, UU ini belum secara menyeluruh dan seksama disimak, dipahami, dan

dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab oleh kebanayakan pihak baik di

tataran Pemerintahan, DPRD Provinsi Papua dan segenap komponen bangsa

Indonesia. Belum secara keseluruhan dijadikan agenda prioritas bagi sejumlah institusi

pemerintah daerah dan DPRD serta seluruh komponen masyarakat Papua, sekalipun

memiliki kekhususan seperti: (a) pemihakan yang tegas dan jalas kepada rakyat Papua,

dengan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam sistem pemerintahan di

Provinsi Papua; (b) kepedulian terhadap kebudayaan komuniti adat Papua; (c)

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak komuniti adat dan HAM Papua; (d)

pengakuan terhadap keberadaan orang asli Papua dari Ras Melanesia dalam

keanekaragaman suku bangsa di Indoensia; (e) pengakuan terhadap ciri khas budaya

asli Papua dengan dimungkinkannya provinsi Papua memiliki identitas atau lambang

tertentu.

Undang-undang ini memiliki kemampuan dalam menengahi keinginan kuat yang saling

berlawanan antara orang Papua dan Pemerintah. Pasal tertentu yang sangat vital

secara sosial, budaya, dan ekonomi mulai dijalankan walaupun belum maksimal,

terutama isi dan pesan dari Undang undang ini yang sangat kuat dan relevan untuk

memberi solusi bagi pemecahan masalah-masalah sosial budaya yang memang hingga

saat ini hanya terjadi pada tataran tertentu saja dari masyarakat di Provinsi Papua.

Undang-undang ini mengakomodir semua ketentuan dan sikap tegas tentang

kepedulian yang sungguh dari semua pihak terhadap harkat dan martabat orang Papua.

Undang-undang ini mengatur rencana pemekaran provinsi Papua menjadi provinsi-

provinsi dengan persetujuan MRP dan DPRP; mengatur hal-hal khusus bagi

kepentingan orang asli Papua dalam sistem pemerintahan, politik, hukum, dan

kemasyarakatan dalam bentuk PERDASUS dengan persetujuan DPRP dan MRP;

mengatur kebijakan afirmatif terkait kependudukan dan kesempatan kerja bagi orang

asli Papua; pengelolaan sumberdaya alam yang harus menjamin keadilan bagi orang

45

asli Papua; dan alokasi anggaran 2% setara DAU (Dana Alokasi Umum) Nasional

selama 20 tahun untuk pendidikan (30%) dan kesehatan (15%). Dengan begini, akan

ada peningkatan mutu sumber daya manusia Papua, beban pembiayaan oleh

masyarakat Papua pun dapat ditekan serendah-rendahnya, bahkan dibebaskan bagi

yang benar-benar tidak mampu; Keterlibatan dunia usaha, yayasan swasta dan LSM

dalam pengelolaan pendidikan, kesehatan, gizi dan lingkungan hidup dengan dukungan

pemerintah daerah Provinsi Papua.

Kekhususan UU ini perlu secara menyeluruh disosialisasikan kepada masyarakat di

kampung-kampung, yang saat kajian dilakukan kebanyakan bersikap masa bodoh dan

merasa tidak punya kepentingan apapun dengannya. Bila hal ini tidak diperhatikan

secara saksama, maka masyarakat itu akan memilih opsinya sendiri di luar Otonomi

Khusus dan Pemekaran.

Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua memberikan

peningkatan pada sisi penerimaan (revenue post) hal ini diakibatkan oleh kontribusi dari

dana Otonomi Khusus yang dominan.

Implementasi tahun pertama era Otonomi Khusus masih tersendat –sendat. Hal ini

terjadi karena beberapa faktor seperti adanya tarik-menarik kepentingan antara

legislative dan eksekutif dalam menyusun APBD, penyusunan APBD tidak mengaju

pada Renstrada, Pemerintah Daerah belum optimal mengimplementasikan ke dalam

pendekatan, strategi, kebijakan-kebijakan program dan master plan sehingga ada

kebingungan dalam membelanjakan anggaran. Disamping itu jiwa “good governance”

perlu masih ada perbaikan dan juga belum adanya evaluasi mengenai pemberlakuan

Undang-undang Otonomi Khusus.

Dampak dari pemekaran propinsi di Papua akan mengakibatkan gap dalam distribusi

pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, akan diprediksikan kehilangan

sharing sumber-sumber penerimaan yang potesial khususnya minyak dan gas alam

karena adanya porsi untuk Pemerintah Pusat.

Ada tiga skenario dalam mengamati dampak pemekaran propinsi. Pertama,

menggunakan Undang-Undang Otonomi Khusus dengan mengedepankan “good

46

governance”. Kedua, menggunakan Undang-Undang No 45 Tahun 1999, dimana

“Propinsi Baru” akan menggunakan otonomi daerah biasa. Ketiga, pemekaran dengan

koridor Otonomi Khusus dimana keinginan masyarakat pembagiannya dana Otonomi

Khusus sebesar 2 % untuk “Propinsi Baru”.

Pembangunan bidang sosial budaya sesuai format Undang Undang No. 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dipandang sebagai salah satu kebijakan

terbaik di daerah ini yang perlu terus dilaksanakan, dipertahankan dan dikembangkan

dalam kerangka pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia ke

depan di daerah ini.

Dukungan sosial masyarakat terhadap kebijakan pemekaran propinsi di daerah ini

berdasarkan Undang Undang No.45 Tahun 1999 cenderung terus menguat dan

berkembang sehingga perlu mendapat perhatian dan diakomodasi dalam kerangka

menemukan format akhir sistem pemerintah daerah ini. Akomodasi nilai demokrasi ini

dipandang sebagai solusi terbaik konflik sosial tentang format pemerintahan terbaik di

daerah ini.

Upaya penanggulangan dan atau penyelesaian konflik sosial melakui singkronisasi

undang-undang, rekonsiliasi dan konsensus bersama masyarakat atas sistem

pemerintahan daerah ini ke depan perlu dilakukan secara non kekerasan dan atau

produktif berdasarkan hukum yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia, nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Pemberlakukan kembali Undang Undang No.45 Tahun 1999 melalui Inpres No.1 Tahun

2003 dalam kerangka pemekaran Propinsi Irian Jaya Barat serta pengukuhan secara

cepat propinsi itu pada tahap tertentu dapat dipandang sebagai perwujudan ide,

kehendak dan keinginan politik elit politik dan birokrat tertentu di pusat dan daerah ini

sebagai akibat konflik sosial politik kepentingan dalam pembangunan di daerah ini.

Sumber konflik sosial yang muncul sebagai akibat pro dan kontra pemekaran propinsi

secara substansial bermula pada tataran birokrat dan elit politik pusat dan daerah ini.

Kondisi ini terbangun oleh karena beragamnya kelompok-kelompok kepentingan di

daerah ini. Masyarakat kebanyakan Papua yang kurang dan atau tidak memahami

47

persoalan sosio-politik di daerah umumnya hanya menjadi korban dari keinginan

beberapa kelompok elit politik.

Undang Undang No.21 Tahun 2001 dipandang belum dilaksanakan secara jujur dan

bertanggungjawab oleh pihak pemerintah (eksekutif), DPRD dan komponen bangsa

Indonesia, padahal undang-undang ini lebih berpihak kepada masyarakat Papua,

memiliki kepedulian terhadap kebudayaan komuniti adat Papua, pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak komuniti adat dan HAM Papua, pengakuan terhadap

keberadaan orang asli Papua dari ras melanesia dalam keanekaragaman suku bangsa

Indonesia, dan pengakuan terhadap ciri khas budaya asli Papua dengan

dimungkinkannya provinsi Papua memiliki identitas atau lambang tertentu.

Undang Undang No.21 Tahun 2001 memberikan ruang dan posisi bagi peningkatan

kesejahteraan orang Papua yang selama ini tertinggal dipandang perlu secara

menyeluruh disosialisasikan kepada masyarakat di kampung-kampung yang hingga saat

ini kebanyakan tidak memahami persoalan politik terkini yang berkembang, bersikap

masa bodoh dan atau merasa tidak punya kepentingan . Apabila hal ini tidak

diperhatikan secara saksama maka masyarakat bisa saja akan memilih opsinya sendiri

di luar Otonomi Khusus dan kebijakan pemekaran propinsi.

48

RekomendasiPemerintah Pusat perlu segera mengambil langkah kebijakan yang tegas dalam

hubungan dengan adanya pemberlakukan dua produk hukum ini, terutama terkait

dengan adanya ide pembentukan provinsi-provinsi baru untuk mencegah terjadinya

konflik sosial di dalam masyarakat dan guna memberikan jaminan kepastian hukum

yang layak bagi kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di

Provinsi Papua.

Perlunya dikembangkan beberapa format baru bersama-sama masyarakat inti (core

societies) yang terlibat dalam berkonflik dalam kerangka mengembangkan format-

format terbaik pra dialog, rekonsiliasi atau perundingan, proses dialog, rekonsialiasi atau

perundingan, serta pasca dialog, rekonsiliasi atau perundingan.

Perlunya pemikiran dan kesepakatan multi pihak untuk mengembangkan format baru

sistem pemerintahan daerah ini sebagai wujud dari singkronisasi undang undang No. 45

Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan dalam pelaksanaannnya

dipercayakan kepada suatu tim yang diberi kepercayaan oleh pemerintah pusat,

pemerintah daerah dan masyarakat di daerah ini.

Perlu adanya evaluasi dengan menggunakan indikator–indikator ekonomi mengenai

hasil yang telah dicapai. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan

tinggi di Papua untuk bersama-sama membuat kajian untuk mengevaluasi kinerja

Otonomi Khusus.

Perlu diadakan kajian ilmiah yang multidisiplin untuk menemukan berbagai persoalan

sosial budaya yang lebih obyektif dan tidak memihak pihak manapun sehubungan

dengan konflik antara kelompok masyarakat yang pro Otonomi Khusus dan pro

Pemekaran, dalam kerangka sebagai masukan kepada pihak-pihak terkait untuk

melakukan tindakan kebijakan ke depan. Di dalamnya dilakukan analisis terhadap fakta

sosial budaya dalam kerangka mengembangkan format penanganan konflik sosial,

identifikasi peta sosial budaya, dan menetapkan format bersama dialog, rekonsiliasi atau

perundingan damai. Untuk mendapatkan hasil kajian yang baik perlu diberikan kepada

lembaga akademis dan kelompok masyarakat independen yang selama ini dipercaya

49

masyarakat Papua dan sudah terbukti kemampuannya untuk merumuskan kebijakan

terbaik bagi daerah dan masyarakat.

Sudah saatnya peningkatan kinerja dalam penglolaan manajemen publik dalam era

Otonomi Khusus digunakan dalam koridor Undang-Undang Otonomi Khusus. Eksekuitf

dan legislative seharusnya melihat jiwa dari sektor-sektor prioritas dalam undang-

undang tersebut, seperti pada sektor pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan

masyarkat.

Tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislative sudah saatnya dihentikan,

Karena hal berakibat buruk pada implementasi program-program pembangunan di

Papua. Selanjutnya dalam penyusunan RAPBD perlu mengaju pada Renstrada, karena

dengan dengan Renstrada tersebut akan terlihat sektor-sektor prioritas yang perlu di

programkan. Jiwa “good government” yang mencakup transparansi, akuntabilitas publik

dan “time value of money” perlu dibudayakan di Tanah Papua. Disamping itu evaluasi

era Otonomi Khusus perlu dilakukan untuk melihat perkembangannya apakah Otonomi

Khusus sudah membawa perubahan yang mendasar mengenai kebutuhan masyarakat

Papua.

Perlu dipikirkan model “Uni Papuan” (koalisi provinsi baru) beranggotakan pimpinan

birokrat, legislatif dan adat. Lembaga ini nantinya berfungsi membuat kebijakan-

kebijakan dalam sharing sumber-sumber penerimaan untuk Papua dan Pemerintah

Pusat. Disamping itu lembaga tersebut bertugas mengatur penggunaan dana “Uni

Papuan” (subsidi silang) yang adil dan bijaksana sehingga ketimpangan pendapatan

dan pertumbuhan ekonomi antar propinsi dapat dikurangi.

Perlu dikaji mengenai ketiga skenario dampak pemekaran bukan saja dari segi ekonomi,

namun perlu dilihat dari segi politik, hukum dan sosial budaya. Hal ini sangat beralasan,

agar semua komponen masyarakat di Tanah Papua dapat menerima konsep tersebut.

Perlunya melakukan kajian ilmiah yang multidisiplin untuk menemukan berbagai

persoalan sosial budaya yang lebih objektif dan tidak memihak pihak mana pun

sehubungan dengan konflik antarkelompok masyarakat pro Otonomi Khusus dan pro

50

pemekaran, dalam kerangka sebagai masukan kepada pihak-pihak terkait untuk

menentukan kebijakan pembangunan daerah ini ke depan.

Melakukan analisis dan kajian mendalam yang multidisiplin terhadap fakta sosial budaya

dalam kerangka mengembangkan format penanganan konflik sosial, identifikasi peta

sikap dan afiliasi sosial, polarisasi masyarakat yang berkembang dalam masyarakat,

format rekonsiliasi sosial yang diinginkan masyarakat, dan menetapkan format bersama

dialog tentang format pemerintahan ke depan.

Lembaga akademis dan kelompok masyarakat independent yang selama ini lebih

dipercaya masyarakat Papua dan sudah terbukti kemampuannya untuk merumuskan

kebijakan terbaik bagi negara, daerah dan masyarakat perlu terlibat secara aktif untuk

melakukan berbagai langkah dalam kerangka mencari solusi terbaik konflik sosial

masyarakat tentang format pemerintah daerah ini ke depan.

Perlunya analisis pengembangan format baru pemerintahan bersama-sama

masyarakat inti (core societies) yang terlibat dalam berkonflik dalam kerangka

mengembangkan format pembangunan terbaik, melalui proses atau mekanisme seperti;

(a) pra dialog, rekonsiliasi dan atau perundingan, (b) proses dialog, rekonsialiasi dan

atau perundingan, dan (c) pasca dialog, rekonsiliasi dan atau perundingan.

Perlunya analisis ilmiah dan kesepakatan multi pihak untuk mengembangkan format

baru sistem pemerintahan daerah ini ke depan sebagai wujud dari singkronisasi undang

undang No. 45 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan dalam

pelaksanaannnya dipercayakan kepada suatu tim yang diberi kepercayaan oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah ini.

51