PLINTENG SEMAR.pdf
Transcript of PLINTENG SEMAR.pdf
PEMERINTAH KABUPATEN WONOGIRI
DINAS PENDIDIKAN
SMP NEGERI 1 SELOGIRI Alamat : Jl. Gunungwijil, Kaliancar. Telp. 0273 321888. Selogiri-Wonogiri 57652
LOMBA PENULISAN CERITA RAKYAT
NAMA : NADIA NUR HANIFAH HARYANTO
PLINTENG SEMAR
Di sebuah tempat di Kota Wonogiri, terdapat sebuah batu parang besar yang
bersanggakan pada sebuah pohon asem dengan usia mungkin sudah berpuluh-puluh tahun.
Batu besar itu bernama Plinteng Semar. Konon, diceritakan bahwa batu ini berawalan dari
kisah semar yang bertarung dengan seekor raksasa. Beginilah ceritanya.
Alkisah, pada suatu ketika setelah perang baratayuda berakhir, para Pandhawa
berniat untuk menyucikan diri dengan mandi di Grojogan Sewu. Dengan niat itu, para
punakawan pastinya akan ikut. Punakawan adalah empat sekawan yang akan terus ikut dan
menjaga para Pandhawa. Punakawan terdiri dari Semar Bodronoyo seorang dewa yang
lebih memilih hidup di dunia manusia sebagai kaum sudra papa. Bersama ketiga anaknya
yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Gareng dan Petruk sebenarnya memilki rupa yang
sangat tampan, namun karena terjadi perselisihan mereka dikutuk oleh Semar menjadi
jelek. Dan Bagong adalah putra ragil atau bungsu dan paling kecil. Mereka berempat
selalu bersama, kemanapun Pandhawa pergi mereka selalu ikut.
Tugas punakawan adalah melindungi para Pandhawa dari marabahaya, terutama
sekarang mereka akan pergi ke Grojogan Sewu. Semar yakin bahwa bukan tidak mungkin
disana ada orang jahat yang ingin mencelakai para Pandhawa.
Hari ini mereka akan berangkat menuju Grojogan Sewu. Membutuhkan waktu
kurang lebih satu hari satu malam untuk terbang kesana. Setelah keberangkatan dari
iostana Astina, mereka sama sekali tidak menemukan suatu hal yang menghalangi
perjalanan mereka. Jadi mereka merasakan lancar-lancar saja.
Sesampainya di Grojogan Sewu, ternyata hari telah larut malam hanya sinar bulan
yang menerangi keadaan di sekitar situ. Suara derasnya air yang mengalir dari atas tebing
tersebut, menambah rasa keteduhan di hati para Pandhawa beserta punakawan.
Meskipun hari itu telah larut, itu tidak mengurungkan niat para Pandhawa untuk
melaksanakan tujuan menyucikan diri. Akhirnya pada malam itu juga para Pandhawa
melaksanakan tujuannya itu. Diwaktu bersamaan, Semar dan ketiga anaknya berjaga-jaga
di sekitar.
“Anak-anakku, ingat kita harus terus terjaga jangan sampai tertidur.”
“Baiklah Romo.” Jawab Gareng.
Mau bagaimanapun, itu sudah menjadi tugas mereka menjaga para Pandhawa. Kini
mereka tengah berbagi tugas. Semar yang seorang ayah berjaga disebelah utara, Gareng di
sebelah selatan dan Petruk di sebelah barat, sedangkan Bagong disebelah timur.
Kini mereka telah berpencar sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
“Kenapa Romo memberiku tugas sebelah sini, sudah tempatnya banyak nyamuk.
Bikin kesal saja. Tapi ya mau bagaimana lagi, sudah jadi tugasku juga”, jura Petruk dalam
hati.
Malam semakin larut. Namun, acara Pandhawa menyucikan diri belum juga usai.
Suara jangkrik-jangkrik serta serangga lainnya menambah keramaian malam itu. Mata
Bagong makin lama makin berat saja rasanya. Begitu pula dengan Gareng dan Petruk.
Mereka hanya bisa menahan kantuk sembari bersiul-siul. Meskipun berbeda tempat
mereka tetap merasakan kebersamaan karena mereka bisa merasakan ikatan batin yang
sangat kuat. Jadi apabila salah satu dari mereka ada yang mengalami kejadian apaun itu,
mereka pasti merasakannya.
Karena merasakan kantuk yang sangat berat merekapun kembali ke tempat awal
mereka berkumpul, begitu juga dengan Semar. Namun Semar tetap menahan kantuknya
sebab sebagai seoarng dewa, dia bisa menahannya. Namun ternyata, anak-anaknya sudah
tertidur pulas, ya mau bagaimana lagi Semar harus berjaga sendirian. Sambil bertapa
Semar juga harus menjaga anak-anaknya juga Pandhawa, sebab itulah dia tidak tidur dan
memilih duduk bertapa.
Semar merasakan kantuk yang teramat sangat sehingga mengganggu
konsentrasinya.
“Ngantuk macam apa ini? rasanya tidak biasa aku rasakan.” Ujarnya dalam hati.
Namun Semar berusaha untuk tak menghiraukannya. Makin lama Semar merasakan
kantuk itu, makin tidak tenang hati Semar, rasanya tidak karuan, pikirannya mulai kacau
kesana kemari. Firasatnya mengatakan bahwa ini bukan rasa kantuk biasa melainkan akan
datangnya sebuah bahaya.
Semar mulai was-was, ia berharap bahaya itu tidak akan datang. Angin dingin
mulai bertiup, udara semakin dingin. Suasana gelap malam semakin mencekam, sinar
bulan telah tertutup awan.
Semar semakin merasakan hawa tidak enak yang berasal dari tempat Pandhawa
menyucikan diri.
“Perasaanku semakin tidak enak saja, aku yakin ini pertanda buruk. Aku harus
cepat-cepat bangunkan anak-anakku.” Ujarnya dalam hati.
Semar segera beranjak dari tempatnya bertapa, kemudian berjalan menuju tempat
anak-anak tidur.
“Anak-anak cepat bangun! Kalian ini disuruh berjaga malah enak-enakan tidur!”
ujar Semar membangunkan ketiga anaknya.
“Ngantuk Mo. . . .” jawab Gareng.
“Memangnya ada apa to Romo ?” tanya Petruk dengan mata terpejam.
“Duh Gusti, kalian ini bagaimana! cepat bangun, Romo merasakan akan datangnya
bahaya.” Timpal Semar.
“Bukannya perang telah usai, Romo ini bagaimana ?”
“Tapi Romo, dari mana datangnya bahaya yang Romo maksudkan itu?” tanya
Bagong sembari mengusap-usap kedua matanya.
“Romo rasa bahaya itu dari sekitar sini.”
“Sudahlah cepat kalian bangun, dan ayo kita selidiki bersama!”
“Baik Romo.” Ujar ketiga anak Semar bersamaan.
Mereka telah berbagi tugas, kearah masing-masing seperti sebelumnya. Namun
mereka tidak menemukan ada apa-apa, akhirnya mereka kembali menuju tempat mereka
berkumpul tadi.
“Bagaimana sih Romo?” Aku sudah kelilingi wilayah timur, tapi aku tidak
menemukan apa-apa Romo.”ujar Bagong kepada Semar.
“Iya Romo, Gareng dan Petruk juga seperti Bagong tidak menemukan apa-apa.”
Ujar Gareng.
“Romo sendiri juga bingung, padahal tadi hawa terasa begitu dingin, susananya
begitu mencekam, kenapa bisa jadi seterang ini.” timpal Semar.
Semar dan anak-anaknya bingung. Bagaimana bisa suasana yang tadinya
mencekam berubah jadi seterang ini. akhirnya ketiga anak Semar tidur kembali. Semar
sebenarnya juga merasakan kantuk, namun Semar harus tetap menahanya. Bagaimana,
kalau datang bencana yang besar secara tiba-tiba, Semar terus memikirnnya.
“Apa mungkin ini jebakan? Mungkin musuh memiliki ilmu yang sangat kuat
sehingga bisa memanilpulasi suasana. Tapi apa mungkin begitu ?” tanya Semar dalam hati.
Semar semakin bingung, akhirnya Semar memutskan untuk membangunkan anak-
anaknya, kemudian menyelidiki lagi keadaan di sekitarnya.
“Anak-anak ayo bangun, jangan tidur terus! Ayo kita cek lagi keadaan sekitar sini!”
“Romo kami masih mengantuk. . . . “ timpal Petruk.
“Kalian ini memikirkan tidur terus, ayolah bangun! Ingat tugas kalian adalah
menjaga para Pandhawa.
Akhirnya ketiga anak Semar bangun.
“Romo sekarang kita mau memeriksa kemana ?” tanya Gareng.
“Sekarang kita lihat ke tempat raden Yudhistira dan adik-adiknya mandi.”
Betapa kagetnya Semar ketika sampai di air terjun Grojogan Sewu atau tempat para
Pandhawa menyucikan diri, ternyata disana sudah ada raksasa besar yang tengah
menggenggam Raden Sadewa dan sudah siap untuk mencaploknya. Semar kaget bukan
main dan langsung menghadang raksasa besar itu.
“Hei raksasa jelek, berani-beraninya kamu menyentuh tuanku!” ujar Semar dengan
lantangnya.
Anak-anak Semar hanya mampu melihat saja, mereka merasa takut pada raksasa
itu.
“Huaa. . haha..haaha. dasar tua bangka, apa kau ini tidak sadar diri? Tubuh reyot
mau melawanku?” timpal raksasa dengan sombongnya.
“Raksasa sombong! Maju kau kalau berani, jangan makan tuanku. Kalau kau
memang mau memakan tuanku, makanlah dulu aku!” bersamaan dengan jawaban itu anak-
anak Semar kaget dan takut kalau ditinggal mati oleh ayahnya itu.
“Huaa… haaha..haah. Baiklah kalau itu maumu. Akan kulumat habis kau kakek
tua!”
Akhirnya Raden Sadewa lepas dari genggaman raksasa itu. Namun skerang Semar
yang sedang terancam sebab kini Semar tengah berperan mengahadapi raksasa jahat itu.
Semar adalah seorang dewa yang cerdas, jadi bukan tidak mungkin kalau ia akan menang.
“Terimalah ini!” ujar Semar sembari memberikan perlawanannya. Ia serang raksasa
itu dari segala penjuru arah, namun rakssa itu juga sakti madraguna jadi Semar sempat
kewalahan menghadapi raksasa itu. Meski begitu, Semar tidak menyerah. Ia terus
melancarkan serangannya sembari berpikir apa kelemahannya raksasa itu. Tiba-tiba di
pertengahan perang, Semar terkena serangan raksasa itu, dadanya terkena pukulan yang
sangat kuat. Merasakan sakit dan perlu istirahat sejenak memulihkan tenaga, Semar
memilih untuk kabur. Ia yakin kalau raksasa itu pasti mengejarnya. Oleh sebab itu ia
menjauh dari tempat para Pandhawa. Anak-anak Semar, Gareng, Petruk dan Bagong juga
ikut menyertai Semar.
Melihat ayahnya lemah tak berdaya, Gareng segera membantu mengobati luka
ayahnya itu dan ajaibnya Semar cepat sekali pulih.
“Anakku, kalian lihatkan raksasa itu ternyata kuat sekali. Romo saja sampai jatuh
hanya karena pukulannya.”
“Bersabarlah Romo, Gareng yakin setelah ini Romo pasti menang, timpal Gareng
menyemangati ayahnya.
Benar ternyata dugaan Semar raksasa itu mengejar Semar sampai ke tempat Semar
saat ini.
“Romo, lihat itu raksasa itu mengejar kita sampai kesini.” Ujar Bagong.
“Aku akan mengalahkannya kali ini. Kalian doakan aku saja.” Balas Semar sembari
;bersiap-siaop untuk berperang lagi.
“Hai kakek tua, kenapa kau lari? Kau takutkan padaku ? huaa haa… haa “
“Siapa bilang aku takut ? sini maju kau raksasa jelek!”
Perang sengit antara Semar dan raksasa semakin sengit saja. Pohon-pohon disekitar
rusak dan raksasa semakin sengit. Lingkungan seketika berubah menjadi tidak karuan.
Semar yang tidak ingin kalah terus saja melancarkan serangannya, mengingat
ketiga anaknya Semar terus saja berjuang. Itu juga demi tugasnya menjaga para Pandhawa.
Baginya, pantang untuk mundur sebelum nyawa melayang. Jadi baginya sampai nyawanya
masih meskipun darahnya tinggal setetes ia akan terus melindungi ketiga anaknya dan para
Pandhawa. Meskipun ia sebenarnya seorang dewa, namun itu semua juga telah menjadi
pilihannya menjadi kaum sudra papa.
Serangan-serangan raksasa itu semakin membabi buta, begitu cepatnya serangan-
serangan itu dilontarkan pada Semar. Makin lama, Semar makin kewalahan. Tiba-tiba
perut Semar terasa mulas, seperti ingin kentut. Kentut Semar ingat bahwa ia memilki
senjata rahasia yang paling ia andalkan yaitu kentut Semar.
“Duh Gusti, kenapa bisa aku lupa dengan kentutku ini. Aku yakin dengan kentutu
iti raksasa itu akan kukalakan.” Ujar Semar dalam hati.
Konon katanya, kentutu itu bisa menghancurkan segala macam benda yang terkena
kentut itu menjadi hancur berkeping-keping seperti tepung. Kedashyatan kentut itu akan
digunakan Semar untuk melawan raksasa jahat itu.
“Hai raksasa jelek kali ini akan aku keluarkan senjata rahasiaku, bersiaplah!”
tantang Semar.
“Keluarkan semua senjatamu kakek tua!”
“Rasakan kentut saktiku ini! Hiaaatttt !”
Bukannya takut, raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak, ternyata raksasa itu
tidak terkena kentut Semar. Semar kaget bukan main, ternyata senjata adalannya meleset
dan mengenai sebuah baru parang besar. Batu itu berukuran besar, sangat besar namun
setelah terkena kentut Semar, batu itu pecah dan pecahan batu parang besar itu hampir
mengenai raksasa. Melihat ada sebuah batu parang besar yang hampir mengenainya,
raksasa itu lari tunggang langgang mencari tempat yang aman lainnya. Ternyata diam-diam
ia takut terkena batu parang yang besar itu.
Raksasa itu ternyata berlari menuju arah utara, kalau tidak salah itu arah menuju
tanah Wonogiri. Mengetahui hal itu Semar sedikit bingung, akhirnya ia putuskan untuk
mengejarnya.
“Romo, raksasa itu kabur. Ayo kita kejar Romo,”ujar Gareng, Petruk dan Bagong
bersamaan.
“Ayo anak-anak!”
Di tengah perjalanan, Semar sedikit bingung kenapa bisa raksasa itu lari tunggang
langgang padahal kentutnya tidak mengenai raksasa itu. Sekarang Semar tahu, ternyata
raksasa itu takut pada batu parang besar tadi yang hampir mengenainya. Disaat itulah
Semar mempunyai ide.
“Anak-anak berhenti sebentar, Romo punya ide. Biarkanlah raksasa itu lari, Romo
yakin ia tidak akan jauh dari sini” ujar Semar.
Semar mulai membuat plintheng dari pohon Jati yang sangat besar. Anak-anak
Semar merasa bingung, mau buat apa plintheng itu.
“Romo, jangan main-main kita ini mau perang buka mau main,” ujar Gareng.
“Iya Romo, untuk apa plintheng itu” Tanya Bagong.
“Ya untuk mlintheng. Sudahlah lihat saja nanti, sekarang Bantu Romo
menyelesaikan plintheng ini,” ujar Semar.
“Baiklah, Mo”, jawab ketiganya secara bersamaan.
Setelah itu mereka mulai membagi tugas. Semar dan Gareng bertugas menebangi
beberapa pohon, sedangkan Bagong dan Petruk yang membersihkan ranting-rantingnya.
Setelah itu mereka mulai membuat plintheng raksasa untuk menandingi raksasa jahat itu.
Setelah jadi mereka tidak langsung menggunakannya, mereka beristirahat sejenak di
tempat itu sambil memulihkan tenaga.
“Romo, sebenarnya mau Romo apakan plintheng ini? ingat Romo itu bukan anak
kecil,” kata Bagong bertanya pada Romonya.
“Iya Romo, masa kecil Romo pasti tidak bahagia. Benakan? haha.. haa.. ledek
Gareng.
“Huss ! kalian ini meledek Romo ya. Plintheng ini akan Romo gunakan untuk
melawan raksasa itu.”
“Romo ini aneh, kentut Romo yang seperti bom atom itu saja tidak bisa
mengalahkan raksasa itu. Eh seharang malah mau menggunakan plintheng,” ujar Petruk.
“Plinheng ini akan Romo gunakan untuk melawan raksasa itu dengan sebuah
bongkahan katu parang besar. Nah sekarang kita hanya perlu mencarinya.”
“Bongkahan batu parang besar? Romo mencari yang seukuran apa?” Tanya gareng.
“Yang besar, kalau bisa tiga kali ukuran hajah”
“Mana ada yang sebesar itu Mo?” Tanya Bagong.
“Aku rasa ada Romo, di dekat Grojogan Sewu pernah aku lihat batu parang sebesar
itu,” kata Petruk menjelaskan.
“Kalau memang disana ada ayo kita kembali kesana.”
“Baiklah Romo,” ujar Gareng, Petruk, Bagong bersamaan.
Merekapun berangkat kembali menuju Grojogan Sewu dan kembali menilik
bagaimana keadaan Pandhawa selama mereka tinggal. Tetapi kalau menurut Semar mereka
akan baik-baik saja.
Akhirnya merekapun kembali ke Grojogan Sewu, tanpa berpikir panjang.
Sesampainya disana mereka langsung menghampiri para pandhawa.
“Raden bagaimana? Tidak apa-apa kan?” Tanya Semar pada Raden Yudhistira
serta adik-adiknya.
“Kami baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apakah kau berhasil
memenangkannya?” Tanya Raden Yudhistira.
“Maaf Raden, kami belum sempat memenangkan peperangan dengan raksasa itu.
Kentut andalanku saja tidak berhasil mengalakannya. Tapi hamba memiliki rencana lain
yang lebih jitu,” jawab Semar.
“Apa itu? Apa aku boleh mengetahuinya?” Tanya Raden Yudhistiralagi.
“Tentu boleh Raden. Begini, saat hamba melawan raksasa itu menggunakan kentut
hamba, ternyata kentut hamba meleset dan mengenai sebuah batu parang besar, kemudian
batu itu pecah dan hampir mengenai raksasa, karena hal itulah raksasa kabur ke arah utara.
Tapi hamba yakin dia pasti kembali lagi kemari.”
“Lalu rencanamu sebenarnya apa?”
“Rencana hamba adalah, hamba akan melintheng raksasa itu dengan sebuah batu
parang besar karena hamba yakin raksasa itu takut terkena batu parang, apalagi yang
ukurannya besar. Sebab itulah hamba kembali kemari untuk mengambil batu parang besar
yang ada di bukit dekat dini ini,” jawab Semar.
“Kalau begitu baiklah, ayo kita cari bersama,” ajak Raden Yudhistira.
“Baik Raden, mari kita berangkat.”
Akhirnya merekapun berangkat menuju bukit yang dimaksud Petruk. Benar
ternyata disitu ada sebuah batu parang besar yang berukuran tiga kali gajah. Dan apstinya
siap untuk digunakan melawan raksasa itu.
“Sudah ditemukan batunya, ayo kita ambil,” ajak Raden Arjuna.
“Baik Raden” jawab Semar, gareng, Petruk, dan Bagong secara bersamaan.
Setelah batu berhasil diambil, tiba-tiba Bagong berteriak.
“Romo lihat di langit sebelah utara. Ada raksasa itu,” ujar Bagong.
“Iya kau benar, Gong, ayo kita bersiap.”
Ternyata benar apa kata Bagong. Raksasa itu tengah terbang mengintai keberadaan
Semar. Mengetahui Semar ada di bawahnya, raksasa itu segera turun.
“Hei kau tua Bangka, ayo kita selesaikan urusan kita yang tertunda waktu itu,”
tantang raksasa.
“Baiklah, maju kau kalau berani!” timpal Semar.
Mulailah peperangan sengit itu lagi, semakin sengit, dua orang yang sangat sakti
mandraguna, yang satu adalah seorang dewa dan yang satu adalah seorang raksasa besar
yang jahat.
Meskipun Semar sudah memiliki rencana, namun Semar merasakan pesimis da
takut kalau rencana itu gagal. Plintheng itu siap digunakan apalagi batu parangnya. Hanya
tinggal menunggu saat yang tepat.
“Ternyata anak-anakku cerdas juga,” batin Semar sambil senyum-senyum sendiri.
Tanpa ia sadari ternyata ia sudah terpojokkan. Betis kiri Semar terkena sabetan
tangan raksasa itu. Semar kini tak mampu berjalan dengan normal. Mengetahui hal itu
anak-anak Semar begitu sigapnya mereka langsung datang menghampiri Romonya yang
sedang terluka.
“Romo, ayo bangun. Kami sudah menyiapkan segalanya. Sekarang Romo pulihkan
tenaga Romo lalu ayo kita kalahkan raksasa itu,” ujar Petruk menyemangati.
“Iya anakku, kalian ternyata pandai juga. Dimana plintheng itu?” Tanya Semar.
“Disana, aku akan alihkan perhatian raksasa itu,” jawab Gareng.
Kemudian Petruk dan Bagong membawa Semar menuju tempat plintheng itu
diletakkan, sementara Gareng mengalihkan perhatian raksasa jahat itu.
“Hai bocah, mau bertanding denganku? Kemana bapak tuamu itu? Hua, ha, ha”
Tanya raksasa sombong.
“Diam kau raksasa jelek,” timpal Gareng.
Tanpa ia sadari, disana Semar telah bersiap dengan plinthengnya. Gareng yang
sudah diberi kode mulai mengalihkan perhatian raksasa menuju tempat Semar.
“Hai raksasa jelek, rasakan ini!” teriak Semar sembari melancarkans erangannya.
Betapa kagetnya raksasa itu ketika sebuah batu parang besar berukuran tiga kali
gajah sudah dilontarkan ke arahnya. Raksasa itu tak mampu menghindar, matilah dia
terkena batu parang itu. Namun batu parang itu tidak hancur, tetapi jatuh di sebuah tempat
dan menempel pada sebuah pohon asem yang besar. Batu itu jatuh 300 meter dari tempat
itu, tepatnya kea rah utara yaitu di tanah Wonogiri.
Kini, masyarakat menyebut batu itu dengan nama Plintheng Semar, yang bertempat
di Taman Selopadi kota Wonogiri.