Pjb Wido & Indrisuk
-
Upload
anonymous-ax2tmq -
Category
Documents
-
view
248 -
download
9
description
Transcript of Pjb Wido & Indrisuk
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
Untuk Dokter Muda
Nama Dokter Muda Jondra widodo/Tri Indriaswati Tanda TanganNIM 10/09711125Tanggal UjianRumah sakit RSUD dr soedirman kebumenGelombang Periode 23 nov 2015-6 feb 2015
I. IDENTITAS PASIEN
Nama :Ny.M
Jenis kelamin :perempuan
Umur :47 th
Pekerjaan : IRT
Agama : islam
Suku : jawa
Alamat : kebonsari Rt 01/02 Petanahan, kebumen
II. ANAMNESIS
Jika alloanamnesis, tuliskan Identitas sumber informasi :
Nama : Tn. N
Umur : suami
Alamat : kebonsari Rt 01/02 petanahan
Hubungan dengan pasien : Suami
Anamnesis dilakukan pada tanggal : 31-desember-2015 pukul : 15.30
KU : sesak nafas
RPS : Os datang dari rujukan RS.muhamadiah Seruweng.
Os datang dengan keluhan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 10 hari
SMRS. Sesak nafas dirasakan tiba-tiba, sesak dirasakan terus menerus setiap hari dan
dirasakan semakin meberat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Dalam keadaan
aktivitas ringan os mengeluhkan sesak nafas, sesak berkurang sedikit jika os istirahat.
Os juga mengeluhkan mudah cepat lelah saat aktivitas ringan. Os juga mengeluhkan
pusing, badan sering gemetaran, dada berdebar-debar, tangan dan kaki terasa
kesemutan, badan tersa dingin dan kedua kaki bengkak. 1 hari SMRS os mengeluhkan
batuk berdarah sebanyak 2x, dengan warna darah merah segar.
KELUHAN SISITEM :
- Sistem cerebrospinal : pusing (+), demam (-), kejang (-), nyeri kepala (-)
- Sistem kardiovaskular : berdebar-debar (+), nyeri dada (-)
- Sistem respirasi :sesak (+), batuk (+), pilek (-)
- Sistem digesti : mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun, BAB (+) t.a.k
- Sistem urogenital : nyeri pinggang (-), BAK (+) t.a.k
- Sistem muskuloskeletal : nyeri sendi (-), pegal-pegal (-), lemas (+), kesemutan
(+)
- Sistem integumentum : kemerahan (-), gatal-gatal (-), alergi (-)
RPD
- Riwayat sesak sejak SD
- Riwayat hipertensi + tidak terkontol
- Riwayat DM disngkal
- Riwayat penyakit jantung sejak usia 30 tahun tidak berobat rutin
terdiagnosa oleh (Dr.Sih.Sp.PD)
- Riwayat mondok (opname) 3 tahun yang lalu dengan keluhan sesak nafas
RPK :
- Riwayat Keluhan Serupa Disangkal
- Riwayat Hipertensi Disangkal
- Riwayat DM Disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung Disangkal
KEBIASAAN & LINGKUNGAN :
- Aktivitas pasien setiap harinya sebagai IRT
- Makan teratur 3x/hari dengan lauk dan pauk seadanya
- Jarang berolagraga, perokok (-)
- Lingkungan rumah di daerah pedesaan yang tergolong lingkungan bersih
- Rumah jauh dari pabrik, bangunan permanen dengan lantai semen, ventilasi
cukup, dan terdapat pembuangan limbah kamarmandi dan dapur
III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)
Dilakukan pada tanggal : 31 des 2015 pukul : 15.30
Tekanan darah : 120/70 mmhg
Suhu tubuh : 36,4
Frekuensi denyut nadi : 107X/mnt
Frekuensi nafas :29 x
IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK :
A. KEADAAN UMUM
KU : Tampak sesak, tampak pucat
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 4,5,6
B. PEMERIKSAAN KEPALA :
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-) pupil isokor ,reflek cahaya
(+), conjungtiva pucat (+/+)
Telingga : deformitas (-/-), krepitasi (-/-), NT tragus (-/-), tanda radang (-/-)
Hidung : deviasi (-), krepitasi (-), tanda radang (-)
Mulut : sariawan (-), bibir sianosis (+/+)
C. PEMERIKSAAN LEHER
Inspeksi : Simetris (+), massa (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Pembesaran limfonodi (-), massa (-), nyeri tekan (-), thrill (-)
Pemeriksaan trakea : deviasi (-), pembeesaran tiroid (-)
Pemeriksaan kelenjar tiroid : I : Benjolan (-)
P : Massa (-), nyeri tekan (-)
A : Bruit (-)
Pemeriksaan tekanan vena sentral : JVP 5+4 cmH2O meningkat
D. PEMERIKSAAN THORAKS
Inspeksi : Bentuk dada normal (+), benjolan (-), dinding dada kanan dan kiri
tidak simetris (+) Lebih Tinggi dada kiri, scar (-),gerakan dada kanan
dan kiri tidak simetris simetris (+) ketinggalan gerak pada dada kiri (+),
ictus cordis (+) kuat angkat
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-), pengembangan dada kanan
dan kiri simetris (+), vocal fremitus simetris kanan dan kiri (+), ictus cordis
teraba di sic V linea Axilaris anterior sinistra
Perkusi dada :
Batas Atas Jantung : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Pinggang Jantung : SIC III linea midclavicula sinistra
Batas Kiri Jantung : SIC V linea axilaris anterior-media Sinistra
Batas Kanan Jantung : SIC IV antara linea midklavicula dan linea
parasternalis dekstra
Auskultasi :
Cor : S1-S2 ireg, Murmur sistolik (+) di apeks paru grade 3-4
kualitas kuat dan tidak disertai thrill, S3/S4 (+) gallop (+)
Pul : SDV +/+ menurun pada prau kiri,whezz +/+, rbk +/+, rbh +/+
E. PEMRIKSAAN PUNGGUNG :Inspeksi : sulit dilakukan
Palpasi : sulit dilakukan
Perkusi : sulit dilakukan
Auskultasi : sulit dilakukan
BATAS HEPAR : sulit ditentukan
F. PEMERIKSAAN ABDOMEN :
Inspeksi : Bulging (-), dinding perut simetris kanan dan kiri, dinding
perut lebih rendah daripada dinding dada, benjolan (-), scar (-), vena
colateral (-), caput medusa (-)
Auskultasi : BU (+) meningkat 7x/m
Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-), redup berpindah (-/-), Turgor
kulit dbn
Pemeriksaan ren : tak teraba
Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : (-)Pemeriksaaan hepar : Tidak teraba
Pemeriksaan lien : Tidak teraba
Pemeriksaan asites :Redup berpindah (-), undulasi (-),
stulfing dulnes (-)
G. PEMERIKSAAN EKSTREMITAS :
Lengan : Ptekie (-), deformitas (-), tofus (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Tangan : akral dingin (+/+), Eritema palmaris (-), edema (-/-), dingin (-),
krepitasi (-), CRT > 2 DETIK, Turgor kulit dbn, Clubing
finger(+/+), sianosis (+/+)
Tungkai : Striae (-), varices (-), deformitas (-)
Kaki : akral dingin (+/+), Ulkus (-), tofus (-), akral dingin
(-/-),Clubing finger (+/+), sianosis (+/+), odem (+/+)
V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :
- Tampak Sesak dan pucat
- Conjungtiva Pucat, Bibir sianosisEdem kedua kaki
- JVP 5+4 cmH2O meningkat
- dinding dada kanan dan kiri tidak simetris Lebih Tinggi dada kiri, gerakan
dada kanan dan kiri tidak simetris simetris ketinggalan gerak pada dada kiri,
ictus cordis kuat angka, ictus cordis teraba di sic V linea Axilaris anterior
sinistra.
- Batas Kiri Jantung melebar/bergeser: SIC V linea axilaris anterior-media
Sinistra
- Batas Kanan Jantung melebar/bergeser : SIC IV antara linea midklavicula dan
linea parasternalis dekstra
- Murmur sistolik di apeks paru grade 3-4 kualitas kuat dan tidak disertai thrill,
S3/S4 gallop (+)
- SDV menurun pada prau kiri, whezz +/+, rbk +/+, rbh +/+
- Ekstremitas Clubing finger(+/+), sianosis (+/+), odem +/+
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Lab darah rutin, kimia darah, fungsi hepar, fungsi ginjal :
Hemoglobin 18.1 g/dl
Leukosit 4.9 10^3/ul
Hematokrit 62 %
Eritrosit 7.9 10^6/ul
Trombosit 116 10^3/ul
MCH 23 Pg
MCHC 29 g/dl
MCV 79 Fl
DIFF COUNT
Eosinofil 0.00 %
Basofil 0.60 %
Netrofil 60.70 %
limfosit 30.90 %
monosit 7.80 %
GDS 109mg/dl 70-120
ureum 21 mg/dl 10-50
creatinin 0.55 mg/dl 0.40-0.90
SGOT 27 U/L 0-35
SGPT 14 U/L 0-35
SERO IMUNOLOGI
HBsAg Rapid Non reaktif Non reaktif
b. Ekg
Kesimpulan EKG :
c. Rongen Thorax
KESIMPULAN :
d. Usg abdomen
KESIMPULAN :
VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK)
a. Masalah aktif :
- Lemas
- Sesak nafas
- Berdebar-debar
- Kaki bengkak
b. Masalah pasif :
VI. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
- PJB dengan Syndrome Eisenminger
- pulmonary hipertensi
- CPC dekompensata
VII. RENCANA
a. TINDAKAN TERAPI :
- Inf RL 16 Tpm
- NB5000 1X1/Drip
- Inj Furosemid 1x1amp
- Inj Cefotaxim 2x1gr
- Sildenofil 2x2,5mg
- ISDN 2x1tab
- Digoxin 1x1tab
- Dorner 2x20mg
- Bisoprolol 1x2,5mg
VIII. TINDAKAN DIAGNOSTIK /PEMERIKSAAN PENUNJANG :
- Ekocardiografi
- kateterisasi jantung
- CT-Scan
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
A. Definisi
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi
akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase
awal perkembangan janin. Proses pembentukan jantung ini terjadi pada awal
pembuahan (konsepsi). Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di
dalam kandungan, ada kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan
pertumbuhan jantung pada janin ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan,
karena jantung terbentuk sempurna pada saat janin berusia empat bulan (Dhania,
2009).
B. Epidemiologi
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah suatu kelainan yang cukup banyak ditemukan. Insidensi PJB adalah 8-10 di antara 1.000 kelahiran. Insidensi ini hampir sama antara satu negara dan negara yang lain. Angka kelahiran di Indonesia adalah 4.000.000 kelahiran/tahun. Dari data penelitian bayi baru lahir terdapat 3069 bayi baru lahir, 55,7% laki- laki dan 44,3% perempuan, 28 (9,1 per-1000) bayi mempunyai PJB. Patent Ductus Arteriosus (PDA) ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi prematur. Ventricular Septal Defect (VSD) ditemukan pada 8 bayi
(28,6%), Atrial Septal Defect (ASD) pada 3 bayi (19,7%), Complete Atrio
Ventricular Septal Defect (CAVSD) pada 3,6 % bayi, dan kelainan katup jantung pada bayi yang mempunyai penyakit jantung sianotik (10,7%), satu bayi Transposition of Great Arteries (TGA), dua lain dengan kelainan jantung kompleks sindrom sianotik. Ditemukan satu bayi dengan sindrom Down dengan ASD, dengan ibu pengidap diabetes. Satu orang bayi dilahirkan dari bapak dengan PJB, tidak ada dari 4 orang ibu dengan PJB mempunyai bayi dengan PJB. Atrial fibrillation ditemukan di satu orang bayi. Dari 28 bayi dengan PJB, 4 mati (14,3%) selama 5 hari pengamatan. Data menunjukkan ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJB. Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali. (Harimurti, 1996).
Dalam hubungan keluarga yang dekat risiko terjadinya PJB yang terjadi 79,1%, untuk Heterotaxia, 11,7% untuk Conotruncal
Defects, 24,3% untuk Atrioventricular Septal Defect, 12,9% untuk Left
Ventricular Outflow Tract Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal
Defect dan 3,4% untuk Isolated Ventricular Septal Defect. Risiko terjadinya PJB dari jenis lain 2,68%, risiko didapatnya PJB dari jenis yang sama berkisar 8,15%. Didapati hanya 2,2% kejadian PJB pada populasi yang diama (Poulsen, 2009).
C. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. berbagai jenis
obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab
eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal
kehamilan dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat
pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Berbagai jenis
penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti
sindrom Down, Turner, dan lain-lain.
GENETIK
(endogen)
ENVIROMENTAL
(Eksogen)
- Syndromes Noonan
- Syndromes Leopard
- Syndromes Ellis van Creveld
- Syndromes Kartagener
- Syndromes Alcapa
- Syndromes Alagille
- Syndromes DiGeorge
- Syndromes Down
- Syndromes Scimitar
- Syndromes Holt-Oram
- Syndromes Turner
- Syndromes William
- Syndromes Shone complex
- Penggunaan obat-obatan :
thalidomide dan isotretinoin, (cardiac
malformation) Lithium, vitamin B
(TOF)
- Infeksi Maternal rubella (PDA,
PV, ASD).
- Maternal alcohol abuse (VSD)
- DM, hipertensi (ASD, PDA)
D. Klasifikasi
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung bawaan non-sianotik dan penyakit jantung bawaan sianotik.
1. PJB Non-SianotikPenyakit Jantung Bawaan (PJB) non-sianotik adalah
kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa sejak lahir yang tidak ditandai dengan sianosis, misalnya terdapat lubang di sekat (septum) jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, dan juga kelainan bisa terdapat pada salah satu katup jantung dan akibat penyempitan atau obstruksi jalur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru. (Roebiono, 2003). Pembagiannya PJB non-sianotik adalah :
a. Ventricular Septal Defect (VSD)
kelainan kongenital ini paling sering terjadi pada anak-anak. Kebocoran terjadi di septum interventrikular. Kebocoran ini terjadi karena keterlambatan pertumbuhan pada sptum jantung. Biasanya terjadi di pars muskularis atau di pars membranase dari septum. Besarnya kebocoran bervariasi, mulai dari ukuran kecil sampai besar. Darah dari ventrikel kiri mengalir melalui defek ke dalam ventrikel kanan (L-R shut). Darah yang mengelir dari atrium kanan menambah volume darah dari ventrikel kanan sehingga seluruh pembuluh darah ateri ulmonalis dan pembuluh-pembuluh darah di paru melebar dan tampak gambaran hilus melebar pada rontgen thoraks. (Rasad.S, 2011).
Ateri pulmonal menonjol dan aorta menjadi kecil ini diakibatkan kerena darah yang seharusnya mengalir ke aorta sebagian mengalir kembali ke keventrikel kanan. Atrium kiri yang menampung darah dari vena pulmonal yang jumlahnya banyak, akan melebar dari biasanya dan mengalami dilatasi dan ventrikel kiri otot-ototnya mengalami hipertrofi. Jika lumen pembuluh darah paru menjadi sempit terutama dibagian perifer, hal ini berakibat tekanan diarteri pulmonalis menjadi tinggi dan tekanan di ventrikel kanan juga meninggi sedangkan tekanan diventrikel kiri menjadi lebih rendah dari pada ventrikel kanan maka arah kebocoran darah dari kiri ke kanan bisa berbalik arah menjadi dari kanan ke kiri (R-L shut). Perubahan kebocoran ini menyebabkan penderita menjadi sianosis, sesuai dengan gejala-gejala eisenmenger. (Rashad.S, 2011)
b. Patent Ductus Arteriosus (PDA)Pada kelainan kongenital ini, terdapat hubungan antara
aorta dan arteri pulmonalis. Penghubungnya adalah duktus ateriosus batali. Pada kehidupan intra uterin duktus ini berfungsi untuk sirkulasi darah dari arteri pulmonalis ke
aorta. Pada bayi baru lahir seharusnya duktus ini menutup setelah sesaat kelahiran. Penutupan PDA secara spontan segera setelah lahir sering tidak terjadi pada bayi prematur karena otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga tidak responsif vasokonstriksi terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih tinggi. Pada bayi prematur otot polos vaskuler paru belum terbentuk dengan sempurna sehingga proses penurunan tahanan vaskuler paru lebih cepat dibandingkan bayi cukup bulan dan akibatnya gagal jantung timbul lebih awal saat usia neonatus. Jika lubang penghubung antara aorta dan arteri pulmonalis besar maka akan tejadi kebocoran drah dari arah kiri kke kana (L-R shut). (Rasad,S. 2010).
PDA Sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising kontinyu yang khas seperti suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal, yaitu di parasternal sela iga 2–3 kiri dan di bawah klavikula kiri. Tanda dan gejala adanya aliran ke paru yang berlebihan pada PDA yang besar akan terlihat saat usia 1–4 bulan dimana tahanan vaskuler paru menurun dengan cepat. Nadi akan teraba jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan tekanan nadi yang lebar akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar saat fase diastolik. Bila sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua komponen pulmonal akan mengeras dan bising jantung yang terdengar hanya fase sistolik dan tidak kontinyu lagi karena tekanan diastolik aorta dan arteri pulmonalis sama tinggi sehingga saat fase diastolik tidak ada pirau dari kiri ke kanan. (Roebiono, 2003).
c. Atrial Septal Defect (ASD)Pada ASD defek sekat atrium dapat terjadi pada septum
primum yang tidak menutup atau terjadi pada septum
sekundum (foramen ovale), karena foramen ini terlalu lebar sehingga penutupannya tidak sempurna. Kelainan ASD secara klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum atrium dan kebocoran terjadi dari kiri ke kanan (R-L shut) menyebabkan aliran ke paru yang berlebihan dan juga meniningkatkan beban volum pada jantung kanan sehingga pada rontgen akan terlihat hilus mebesar dan tebal, sedangkan pada pemeriksaan fluoroskopi akan terlihat pulsasi hilus (hilar sance) akibat tingginya tekanan pada arteri pulmonalis. (Rasad,S. 2011).
Kelainan ini sering tidak memberikan keluhan pada anak walaupun pirau cukup besar, dan keluhan baru timbul saat usia dewasa. Hanya sebagian kecil bayi atau anak dengan ASD besar yang simptomatik dan gejalanya sama seperti pada umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang berlebihan yang telah diuraikan di atas. Auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar dan menetap tidak mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area pulmonal. Bila aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di parasternal sela iga 4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Simptom dan hipertensi paru umumnya baru timbul saat usia dekade 30 – 40 sehingga pada keadaan ini mungkin sudah terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru (Roebiono, 2003).
d. Aorta Stenosis (AS)Aorta Stenosis menyebabkan terjadinya dilatasi
pascastenotik pada aorta asendens, sedangkan aorta desenden tidak mengalami perubahan, kadang-kadang menjadi lebih kecil dari pada normalnya. Selama ventrikel kiri cukup kompeten dalam mengatasi tekanan yang tinggi akibat stenosis aorta dan hanya mengalami dilatasi ventrikel, maka
bendungan vena pulmo tadak akan terjadi dan sikulasi paru tidak akan berubah. Jika ventrikel kiri mengalami kegagalan maka darah tidak akan dapat di pompakan keaorta secara normalnya, timbunan darah diventrikel akan berakibat pada atrium yang akan mengalami pembesaran dan peningkatan tekanan sehingga akan terjadi bendungan vena pulmonalis. (Rasad, S. 2011).
Pada stenosis aorta derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga sering terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan AS derajat berat akan timbul gagal jantung kongestif pada usia minggu pertama atau bulan pertama kehidupannya. Pada AS yang ringan dengan gradien tekanan sistolik kurang dari 50 mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi bedah valvotomi atau non bedah Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada neonatus dan bayi dengan AS valvular yang kritis serta pada anak dengan AS valvular yang berat atau gradien tekanan sistolik 90 – 100 mmHg (Roebiono, 2003).
e. Coarctatio Aorta (CoA)Coartatio Aorta pada anak yang lebih besar umumnya
juga asimptomatik walaupun derajat obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh sakit kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat melakukan aktivitas. Tanda yang klasik pada kelainan ini adalah tidak teraba, melemah atau terlambatnya pulsasi arteri femoralis dibandingkan dengan arteri brakhialis, kecuali bila ada PDA besar dengan aliran pirau dari arteri pulmonalis ke aorta desendens. Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai. Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal jantung pada usia
dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat ditangani. Pada kelompok ini, sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir sangat tergantung pada pirau dari kanan ke kiri melalui PDA sehingga dengan menutupnya PDA akan terjadi perburukan sirkulasi sistemik dan hipoperfusi perifer (Roebiono, 2003).
f. Pulmonal Stenosis (PS)Stenosis pulmonal (PS) sebagian besar disebabkan karena
pngisutan katup pulmonal akibat reaksi radang reumatik. Penyempitan pada katup dapat tejadi dibeberapa tempat yang paling penting adalah : penyembpitan pada infundibular yang akan menyebabkan stenosis infundubular, penyempitan pada katup pulmonal yang akan menyebabkan stenosis valvular, penyempitan pada cabang-cabang arteri pulmonalis yang akan menyebabkan stenosis supravalvular. (Rasad,S. 2011).
Status gizi penderita dengan PS umumnya baik dengan pertambahan berat badan yang memuaskan. Bayi dan anak dengan PS ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis sedangkan neonatus dengan PS berat atau kritis akan terlihat takipnu dan sianosis. Penemuan pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat beratnya obstruksi. Pada PS valvular terdengar bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan klik ejeksi saat katup pulmonal yang abnormal membuka. Klik akan terdengar lebih awal bila derajat obstruksinya berat atau mungkin tidak terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik ejeksi yang kasar dan keras terdengar di area pulmonal. Bunyi jantung dua yang tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus akan ditemukan pada stenosis yang berat (Roebiono, 2003).
2. PJB Sianotik
Sesuai dengan namanya manifestasi klinis yang selalu terdapat pada pasien dengan PJB sianotik adalah sianosis sentral. Sianosis sentral adalah warna kebiruan pada mukosa yang disebabkan oleh adanya pirau kanan ke kiri (L-R shut) dan terdapatnya >5mg/dl hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi. Deteksi terdapatnya sianosis antara lain tergantung kepada kadar hemoglobin (Prasodo, 2000). Penyakit
a. Tetralogy of Fallot (ToF)Tetralogy of Fallot merupakan salah satu lesi jantung
yang defek primer adalah deviasi anterior septum infundibular. Konsekuensi dari deviasi anterior septum infundibular ini adalah obstruksi aliran darah ke ventrikel kanan sehingga terjadi (stenosis pulmonalis), defek septum ventrikel dengan arah kebocoran kanan ke kiri (L-R shut), semitransposisi letak aorta, hipertrofi ventrikuler kanan. Pada TOF sianosis kadang-kadang sukar dilihat, hanya bisa terlihat saat pasien menangis atau sesudah menyusui. Pada RO akan tampak paru yang lebih radiolusen dari pada biasanya, jantung akan membesar kearah kiri dengan pinggang jantung dalam dan berbentuk konkaf, arkus aorta akan tampak lebih jelas pada columner vetebra. (Rasad,S. 2011).
TOF yang terjadi pada anak dengan derajat yang rendah dari obstruksi aliran ventrikel kanan akan menimbulkan gejala awal berupa gagal jantung yang disebabkan oleh pirau kiri ke kanan di ventrikel. Sianosis muncul saat lahir, tetapi dengan peningkatan hipertrofi dari infundibulum ventrikel kanan dan pertumbuhan pasien, sianosis didapatkan pada tahun pertama kehidupan.sianosis terjadi terutama di membran mukosa bibir dan mulut, di ujungujung jari tangan dan kaki. Pada keadaan yang berat, sianosis langsung ditemukan (Bernstein, 2007).
b. Big Pulmonary Atresia with Intact Ventricular SeptumSaat duktus arteriosus menutup pada hari-hari pertama
kehidupan, anak dengan Big Pulmonary Atresia with Intact Ventricular Septum mengalami sianosis. Jika tidak ditangani, kebanyakan kasus berakhir dengan kematian pada minggu awal kehidupan. Pemeriksaan fisik menunjukkan sianosis berat dan distress pernafasan. Suara jantung kedua terdengar kuat dan tunggal, seringnya tidak terdengar suara murmur, tetapi terkadang murmur sistolik atau yang berkelanjutan dapat terdengar setelah aliran darah duktus. (Bernstein, 2007)
c. Tricuspid AtresiaSianosis terjadi segera setelah lahir dengan dengan
penyebaran yang bergantung dengan derajat keterbatasan aliran darah pulmonal. Kebanyakan pasien mengalami murmur sistolik holosistolik di sepanjang tepi sternum kiri. Suara jantung kedua terdengar tunggal. Diagnosis dicurigai pada 85% pasien sebelum usia kehamilan 2 bulan. Pada pasien yang lebih tua didapati sianosis, polisitemia, cepat lelah, dan sesak nafas saat aktivitas berat kemungkinan sebagai hasil dari penekanan pada aliran darah pulmonal. Pasien dengan Tricuspid Atresia berisiko mengalami penutupan spontan VSD yang dapat terjadi secara cepat yang ditandai dengan sianosis. (Bernstein, 2007)
E. Manifestasi klinis
Gejala yang menunjukkan adanya PJB termasuk sesak napas dan kesulitan
minum, kulit kebiruan. Gejala-gejala tersebut biasanya tampak pada periode
neonatus. Gejala-gejala yang mengarah ke PJB seperti adanya bising jantung,
hepatomegali, sianosis, nadi femoralis yang teraba lemah / tidak teraba, adalah juga
gejala yang sering ditemukan di ruang bayi dan sering pula tidak berhubungan
dengan abnormalitas pada jantung. Membedakan sianosis perifer dan sentral adalah
bagian penting dalam menentukan PJB pada neonatus. Sianosis perifer berasal dari
daerah dengan perfusi jaringan yang kurang baik,terbatas pada daerah ini, tidak
pada daerah dengan perfusi baik. Sebaliknya sianosis sentral tampak pada daerah
dengan perfusi jaringan yang baik, walaupun sering lebih jelas pada tempat dengan
perfusi kurang baik.tempat atau
daerah yang dapat dipercaya untuk menentukan adanya sianosis sentral adalah pada
tempat dengan perfusi jaringan yang baik seperti pada lidah, dan dinding mukosa.
Sianosis sentral pada jam-jam awal setelah lahir dapat timbul saat bayi normal
menangis. Sianosis pada bayi tersebut disebabkan oleh pirau kanan ke kiri melalui
foramen ovale dan atau duktus arteriosus. Kadar hemoglobin yang terlalu tinggi
yang disertai dengan hiperveskositas dapat pula menyebabkan sianosis pada bayi
normal. (Rahman, 2008).
Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala
yang menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis,
berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan
terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan
jantung pada seorang bayi atau anak.
a. Gangguan pertumbuhan
Pada PJB nonsianotik dengan pirau kiri ke kanan, gangguan
pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJB sianotik,
gangguan pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan
pertumbuhan ini juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien
PJB.
b. Sianosis
Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah.
Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut.
Sianosis akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada
sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis
perifer lebih jelas terlihat pada ujungujung jari.
c. Toleransi latihan
Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk
menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan
jantung. Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan
berkurang. Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua
dengan membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat
lelah, napas menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau
sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi
menetek. Apakah ia hanya mampu minum dalam jumlah sedikit, sering
beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak yang
lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga.
Pada pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah
lelah berjalan.
d. Infeksi saluran napas berulang.
Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru sehingga
mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk ke ahli jantung
anak karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya
tidak sedikit pasien PJB yang sebelumnya sudah diobati sebagai
tuberkulosis sebelum dirujuk ke ahli jantung anak.
e. Bising jantung
Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini
yang merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Lokasi bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis
kelainan jantung. Namun tidak terdengarnya bising jantung pada
pemeriksaan fisis, tidak menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan.
Jika pasien diduga menderita kelainan jantung, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.
F. Diagnosa
Penegakan diagnosis penyakit jantung bawaan berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dasar dan penunjang lanjutan.
Pemeriksaan penunjang dasar yang penting untuk penyakit jantung bawaan adalah
foto rontgen dada, elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin.
Pemeriksaan lanjutan untuk PJB mencakup ekokardiografi dan kateterisasi jantung.
Kombinasi ke dua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi
morfologi dan pato-anatomi masing-masing jenis penyakit jantung bawaan
memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus persen.
Kemajuan teknologi di bidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade
terakhir menyebabkan pergeseran persentase angka kejadian beberapa jenis
penyakit jantung bawaan tertentu. Hal ini tampak jelas pada defek septum atrium
dan transposisi arteri besar yang makin sering dideteksi lebih awal.
Makin canggihnya alat ekokardiografi yang dilengkapi dengan Doppler
berwarna, pemeriksaan tersebut dapat mengambil alih sebagian peran pemeriksaan
kateterisasi dan angiokardiografi. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya untuk bayi
dengan PJB kompleks, yang sukar ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan
pemeriksaan dasar rutin dan sulitnya untu melakukan pemeriksaan kateterisasi
jantung pada bayi. Ekokardiografi dapat pula dipakai sebagai pemandu pada
tindakan septostomi balon transeptal pada transposisi arteri besar. Di samping
biayanya lebih murah, ekokardiografi mempunyai keunggulan lainnya yaitu mudah
dikerjakan, tidak menyakitkan, akurat dan pasien terhindar dari pajanan sinar X.
Bahkan di rumah sakit yang mempunyai fasilitas pemeriksaan ekokardiografi, foto
toraks sebagai pemeriksaan rutinpun mulai ditinggalkan. Namun demikian apabila
di tangan seorang ahli tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan menggunakan
sarana ini, pada keadaan demikian angiografi radionuklir dapat membantu.
Pemeriksaan ini di samping untuk menilai secara akurat fungsi ventrikel kanan dan
kiri, juga untuk menilai derasnya pirau kiri ke kanan. Pemeriksaan ini lebih murah
daripada kateterisasi jantung, dan juga kurang traumatis.
Tingginya akurasi pemeriksaan ekokardiografi, membuat pemeriksaan
kateterisasi sejak tahun 1980 menurun drastis. Sarana diagnostik lain terus
berkembang, misalnya digital substraction angiocardiography, ekokardiografi
transesofageal, dan ekokardiografi intravaskular. Sarana diagnostik utama yang
baru adalah magnetic resonance imaging, dengan dilengkapi modus cine sarana
pemeriksaan ini akan merupakan andalan di masa mendatang.
G. Penatalaksanaa
1. Farmakologi
Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan
penyakit jantung bawaan dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan
hidup yang lebih panjang. Umumnya tata laksana penyakit jantung bawaan
meliputi tata laksana non-bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-bedah
meliputi tata laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi.
Tata laksana medikamentosa umumnya bersifat sekunder sebagai akibat
komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain
yang menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medikamentosa untuk
menghilangkan gejala dan tanda di samping untuk mempersiapkan operasi.
Lama dan cara pemberian obat-obatan tergantung pada jenis penyakit yang
dihadapi.
Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga
penyulit yang sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan
jantung bawaan. Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada
hubungannya dengan progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini
terdapat ketergantungan pada tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk
kedalam golongan penyakit jantung bawaan kritis. Tetap terbukanya duktus ini
diperlukan untuk :
a. percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi
arteri besar dengan septum ventrikel utuh.
b. penyediaan darah ke aliran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot
berat, stenosis pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid.
c. penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada stenosis aorta
berat, koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia
jantung kiri.
Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat
sementara dan merupakan upaya untuk menstabilkan keadaan pasien, menunggu
tindakan operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan
struktural jantung yang mendasarinya.
Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan
yang harus dilakukan adalah :
a. mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya pasien
ditempatkan dalam inkubator pada neonatus, untuk mengurangi
kebutuhan oksigen.
b. kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada
neonatus dipertahankan di atas 15 g/dl.
c. memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa.
d. memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat
menambah aliran darah ke paru.
e. pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka
dengan dosis permulaan 0,1 mg/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan
maka dosis dapat diturunkan menjadi 0,05 mg/kg/menit. Obat ini akan
bekerja dalam waktu 10-30 menit sejak pemberian dan efek terapi
ditandai dengan kenaikan PaO2 15-20 mmHg dan perbaikan pH. Pada
PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, duktus
arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki sirkulasi paru sehingga
sianosis akan berkurang.
Pada PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung duktus arteriosus,
duktus arteriosus yang terbuka akan menjamin sirkulasi sistemik lebih baik.
Pada transposisi arteri besar, meskipun bukan merupakan lesi yang bergantung
duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan memperbaiki
percampuran darah.
Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan
pengobatan yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera
diberikan dengan memakai sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang
adekuat harus dilakukan intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan
ventilasi mekanis. Prostaglandin E1 0,1 mg/kg/menit dapat diberikan untuk
melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan
lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan dengan dosis dan cara
yang sama dengan tata laksana gagal jantung.
Pada pasien PJB dengan gagal jantung , tata laksana yang ideal adalah
memperbaiki kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-
obatan bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus
dipandang sebagai terapi sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan.
Pengobatan gagal jantung meliputi :
a. Penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian
oksigen, pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan
asam basa dan gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan
gagal napas, perlu dilakukan ventilasi mekanis.
b. Pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obatobat
yang digunakan pada gagal jantung antara lain :
1. Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti
dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai
dosis 30 mg/kg. Dosis pertama diberikan setengah dosis digitalisasi,
yang kedua diberikan 8 jam kemudian sebesar seperempat dosis
sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat
dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam pemberian dosis terakhir
dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat inotropik
isoproterenol dengan dosis 0,05-1 mg/kg/ menit diberikan bila terdapat
bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-
10 mg/kg/menit atau dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi
dengan dosis 2-5 mg/kg/menit. Digoksin tidak boleh diberikan pada
pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika ada penurunan
fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan intoksikasi
digitalis.
2. Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5
mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral.
3. Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2
mg/kg/ hari per oral atau intravena.
2. Bedah Jantung
Kemajuan dalam bidang perinatologi memungkinkan bayi dengan keadaan
umum yang buruk dapat bertahan hidup. Sementara itu perkembangan teknologi
diagnostik telah mampu mendeteksi kelainan jantung secara dini pada bayi baru
lahir, bahkan sejak dalam kandungan dengan ekokardiografi janin. Di dalam
bidang bedah jantung, kemampuan untuk melakukan operasi ditunjang oleh :
a. teknologi pintas jantung-paru yang sudah semakin aman untuk bayi
dengan berat badan yang rendah.
b. tersedianya instrumen yang diperlukan.
c. perbaikan kemampuan unit perawatan intensif pasca bedah.
d. pengalaman tim dalam mengerjakan kasus yang rumit.
Pada prinsipnya penanganan penyakit jantung bawaan harus dilakukan
sedini mungkin. Koreksi definitif yang dilakukan pada usia muda akan
mencegah terjadinya distorsi pertumbuhan jantung, juga mencegah terjadinya
hipertensi pulmonal. Operasi paliatif saat ini masih banyak dilakukan dengan
tujuan memperbaiki keadaan umum, sambil menunggu saat operasi korektif
dapat dilakukan. Namun tindakan paliatif ini seringkali menimbulkan distorsi
pertumbuhan jantung, disamping pasien menghadapi risiko operasi dua kali
dengan biaya yang lebih besar pula. Oleh karena itu terus dilakukan upaya serta
penelitian agar operasi jantung dapat dilakukan pada neonatus dengan lebih
aman. Kecenderungan di masa mendatang adalah koreksi definitif dilakukan
pada neonatus. Bentuk operasi paliatif yang sering dikerjakan pada penyakit
jantung bawaan antara lain :
a. Banding arteri pulmonalis. Prosedur ini dilakukan dengan memasang
jerat pita dakron untuk memperkecil diameter arteri pulmonalis. Banding
arteri pulmonalis dilakukan pada kasus dengan aliran pulmonal yang
berlebihan akibat pirau dari kiri ke kanan di dalam jantung seperti pada
defek septum ventrikel besar, ventrikel kanan jalan keluar ganda tanpa
stenosis pulmonal, defek septum atrioventrikular, transposisi arteri besar,
dan lain-lain.
b. Pirau antara sirkulasi sistemik dengan pulmonal. Prosedur ini dilakukan
pada kelainan dengan aliran darah paru yang sangat berkurang sehingga
saturasi oksigen rendah, anak menjadi biru dan sering disertai asidosis.
Jenis-jenis operasi pirau antara lain :
1. Blalock-Taussig klasik, yaitu membebaskan arteri subklavia dan
menyambungkannya ke arteri pulmonalis kiri atau kanan.
2. Modifikasi Blalock-Taussig, memasang pipa Gore-Tex antara arteri
subklavia dengan arteri pulmonalis kanan atau kiri.
3. Pirau sentral, membuat hubungan antara aorta dengan arteri
pulmonalis (Waterson, Potts, dengan Gore-Tex).
4. Pirau antara vena kava superior dengan arteri pulmonalis (Glenn
shunt atau bidirectional cavo-pulmonary shunt).
c. Septostomi atrium. Prosedur ini dilakukan pada bayi sampai usia 3 bulan,
yakni dengan kateter balon melalui vena femoralis. Tindakan ini dapat
dilakukan di ruang perawatan intensif dengan bimbingan ekokardiografi,
atau dapat juga dikerjakan di ruangan kateterisasi jantung. Pada anak
yang lebih besar, tindakan ini dilakukan menurut metode Blalock-
Hanlon. Septostomi atrium dilakukan pada transposisi arteri besar untuk
menambah percampuran darah, pada anomali parsial drainase v.
pulmonalis untuk mengurangi bendungan v. pulmonalis, dan pada atresia
trikuspid untuk mengurangi bendungan vena sistemik.
Kemajuan yang pesat dalam pembedahan memungkinkan dilakukannya
tindakan korektif pada penyakit jantung bawaan. Tindakan pembedahan korektif
ini terutama dilakukan setelah ditemukan rancang-bangun oksigenator yang
aman, khususnya pada bayi kecil. Metode yang banyak dipakai adalah “henti
sirkulasi”, sehingga lapangan operasi menjadi bersih dari genangan darah dan
tidak terganggu oleh kanula vena. Ada beberapa kelainan jantung bawaan yang
memerlukan pembedahan korektif pada usia neonatus misalnya anomali total
drainase vena pulmonalis dengan obstruksi, transposisi tanpa defek septum
ventrikel, trunkus arteriosus dengan gagal jantung. Sebagian lagi pembedahan
dapat ditunda sampai usia lebih besar, atau memerlukan operasi paliatif untuk
menunggu saat yang tepat untuk koreksi.
3. Kardiologi Intervensi
Salah satu prosedur pilihan yang sangat diharapkan di bidang kardiologi
anak adalah kardiologi intervensi non-bedah melalui kateterisasi pada pasien
penyakit jantung bawaan. Tindakan ini selain tidak traumatis dan tidak
menimbulkan jaringan parut, juga diharapkan biayanya lebih murah. Meskipun
kardiologi intervensi telah dikembangkan sejak tahun 1950, namun hingga
pertengahan tahun 1980 belum semua jenis intervensi trans-kateter dapat
dikerjakan pada anak, termasuk balloon atrial septostomy.
Di Indonesia kardiologi intervensi pada anak dimulai pada tahun 1989,
diawali dengan kemajuan di bidang balloon mitral valvotomy yang dilakukan di
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada kasus stenosis katup mitral.
Kemudian disusul prosedur balloon atrial septostomy pada tahun 1989. Pada
tahun yang sama balloon pulmonal valvotomy mulai dikerjakan. Selanjutnya
prosedur intervensi yang dilakukan adalah oklusi duktus arteriosus persisten
dengan coil Gianturco yang baru dimulai 3 tahun terakhir. Di Indonesia sejauh
ini baru 3 pusat pelayanan kardiologi anak yang melakukan intervensi
kardiologi, yaitu RS Jantung Harapan Kita dan RSUP Cipto Mangunkusumo di
Jakarta dan RSUP Dr. Soetomo Surabaya. Berbagai jenis kardiologi intervensi
antara lain adalah:
a. Balloon atrial septostomy (BAS) adalah prosedur rutin yang dilakukan
pada pasien yang memerlukan percampuran darah lebih baik, misalnya
TAB (transposisi arteri besar) dengan septum ventrikel yang utuh.
Prosedur ini dilakukan dengan membuat lubang di septum interatrium, dan
biasanya dilakukan di ruang rawat intensif dengan bimbingan
ekokardiografi. Di RSJHK telah dilakukan 64 prosedur BAS dan
umumnya prosedur ini berhasil menciptakan lubang di septum interatrium
dan memperbaiki kondisi pasien. Namun sebanyak 3 pasien mengalami
kegagalan karena sulitnya kateter balon memasuki foramen ovale paten
pada pasien dengan septum atrium yang melengkung atau atrium kiri yang
kecil. Satu pasien meninggal karena perforasi di daerah vena pulmonalis.
b. Balloon pulmonal valvuloplasty (BPV) kini merupakan prosedur standar
untuk melebarkan katup pulmonal yang menyempit, dan ternyata hasilnya
cukup baik, dan biayanya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan
operasi. Di RSJHK, prosedur ini sejak tahun 1985 telah dilakukan pada 48
kasus stenosis katup pulmonal yang seringkali disertai stenosis
infundibulum. Umumnya pasca BVP kondisi fisik pasien bertambah baik.
Penyulit terjadi pada 1 kasus karena muskulus papilaris katup trikuspid
putus saat tindakan dikerjakan sehingga memerlukan pembedahan
emergensi.
c. Balloon mitral valvotomy (BMV) umumnya dikerjakan pada kasus
stenosis katup mitral akibat demam reumatik.
d. Balloon aortic valvuloplasty (BAV) belum dilakukan rutin dan kasusnya
juga jarang dijumpai. Prosedur ini baru dikerjakan pada 2 kasus.
e. Penyumbatan duktus arteriosus menggunakan coil Gianturco juga
dikerjakan pada beberapa kasus, namun belum dianggap rutin karena
harga coil dan peralatan untuk memasukkan coil tersebut cukup mahal.
Tindakan ini telah dilakukan pada 12 kasus dengan duktus arteriosus
persisten, kesemuanya memakai coil Gianturco. Penyulit hemolisis terjadi
pada 3 kasus.
f. Di Subbagian Kardiologi FKUI/RSCM tindakan intervensi kardiologi
yang pernah dilakukan adalah dilatasi balon dan pemasangan stent pada
arteri renalis pada pasien arteritis Takayasu. Pasca tindakan kondisi pasien
baik dan tekanan darah turun. Tindakan lainnya seperti penutupan DSA
(defek septum atrium), DSV (defek septum ventrikel), fistula koroner,
MAPCA (major aortico-pulmonary collateral arteries) belum pernah
dilakukan.
g. Di Institut Jantung Negara Kuala Lumpur Malaysia, penutupan duktus
arteriosus persisten dilakukan dengan menggunakan umbrella, coil dan
ADO (amplatzer ductal occluder); sedangkan untuk defek septum atrium
ditutup dengan menggunakan ASO (amplatzer septal occluder). Di Royal
Children,s Hospital Melbourne, Australia telah dilakukan penutupan defek
septum ventrikel tipe muskular yang sulit dioperasi dengan amplatzer
device.
H. Komplikasi
a. Sindrom Eisenmenger
Sindrom Eisenmenger terjadi pada PJB non-sianotik yang menyebabkan
aliran darah ke paru yang meningkat. Akibatnya lama kelamaan pembuluh
kapiler di paru akan bereaksi dengan meningkatkan resistensinya sehingga
tekanan di arteri pulmonal dan di ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di
ventrikel kanan melebihi tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik
dari kanan ke kiri sehingga anak mulai sianosis. Tindakan bedah sebaiknya
dilakukan sebelum timbul komplikasi ini.
b. Serangan sianotik
Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat serangan anak
menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak bahkan dapat timbul
kejang. Kalau tidak epat ditanggulangi dapat menimbulkan kematian.
c. Abses otak
Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya abses otak
terjadi pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini diakibatkan adanya
hipoksia dan melambatnya aliran darah di otak. Anak biasanya datang dengan
kejang dan terdapat defisit neurologis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau, kini dan masa mendatang:
perannya dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskular. Pidato
pengukuhan guru besar tetap dalam bidang ilmu kesehatan anak, FKUI, Jakarta, 11
Juni 1997. Jakarta: Lembaga Penerbit UI; 1997.
2. Rahayoe AU. Pelayanan penderita penyakit jantung bawaan di Indonesia.
Perkembangan, permasalahan dan antisipasi di masa depan. Dalam: Putra ST,
Roebiono PS, Advani N, penyunting. Penyakit jantung bawaan pada bayi dan anak.
Jakarta: Forum Ilmiah Kardiologi Anak Indonesia; 1998. h. 1-17.