perubahan fungsi imunitas dan hematologi
-
Upload
masuhaidi-merlung -
Category
Documents
-
view
36 -
download
13
description
Transcript of perubahan fungsi imunitas dan hematologi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang
primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada
dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya (Bakta,
2006).
Jumlah darah didalam tubuh seseorang yang sehat atau orang dewasa
sebanyak kira-kira 1/13 berat tubuh (Komandoko, 2013). Warna darah
ditentukan oleh kadar O2 (oksigen) dan kadar CO2 (karbondioksda) di
dalamnya. Darah arteri berwarna merah muda karena banyak O2 yang
berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah. Darah vena berwarna
merah tua/gelap karena kurang oksigen (D’Hiru, 2013). Fungsi darah secara
umum yaitu: bekerja sebagai sistem transpor dari tubuh, mengantarkan
semua bahan kimia; eritrosit mengantarkan O2 dan zat makanan yang
diperlukan tubuh dan menyingkirkan CO2 dan hasil buangan lainnya;
leukosit sebagai perlindungan tubuh dengan menyediakan banyak bahan
pelindung terhadap benda asing; plasma membagi protein yang diperlukan
untuk pembentukan jaringan, menyegarkan cairan jaringan karena melalui
cairan ini semua sel dalam tubuh menerima makanannya; trombosit
berperan dalam pembekuan darah (bakta,2006)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perubahan fungsi sistem hematologi ?
2. Bagaimana hematologi eritropoiesis ?
3. Apa penyakit yang berhubungan dengan eritrosit?
4. Bagaimana hematologi leukopoiesis?
5. Bagaimana konsep penyakit yang berhungan dengan leukosit?
6. Bagaimana hematologi trombopoiesis ?
1
7. Bagaimana konsep klinik peenyakit yang berhubungan dengan
trombosit ?
8. Bagaimana konsep penyakit yang berkaitan dengan perubahan
imunitas ?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan perubahan fungsi hematologi dan konsep penyakit
yang berkaitan dengan sistem hematologi dan imunitas
2. Tujuan khusus
a. Mampu menjelaskan hematologi eritropoiesis
b. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan dengan
eritrosit
c. Mampu menjelaskan hematologi leukopoiesis
d. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan leukosit
e. Mampu menjelaskan hematologi trombopoiesis
f. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan dengan
trombosit
g. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan dengan
perubahan imunitas
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui konsep penyakit yang berkaitan
dengan sistem hematologi dan imunologi
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan Fungsi Sistem Hematologi
1. Hematologi Eritropoiesis
Eritropoesis adalah proses pembentukan eritrosit (sel darah merah). Pada
janin dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi
pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang. Eritropoiesis
adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di sumsum tulang hingga
terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi yang dipengaruhi dan
dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon
glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus
ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin
plasma, untuk digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin
mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat sel
induk membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di
samping mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan
pengambilan besi, mempercepat pematangan sel dan memperpendek
waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam
sirkulasi. (Jennifer,2012).
Siklus eritropoiesis adalah sebagai berikut
3
a. Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan
sel termuda dalam sel eritrosit.Sel ini berinti bulat dengan beberapa
anak inti dan kromatin yang halus.Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-
25 mikron.Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum
tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.
(Jennifer,2012)
b. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast
basofilik.Ukuran lebih kecil dari rubriblast.Jumlahnya dalam keadaan
normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.(Jennifer,2012)
c. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast
polikromatik.Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan
menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-
daerah piknotik.Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel
lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak,
mengandung warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-
RNA) dan merah karena hemoglobin.Jumlah sel ini dalam sumsum
tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.(Jennifer dkk,2012)
d. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast
ortokromatik.Inti sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang
menggumpal.Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin
sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru
dari RNA.Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%. (Jennifer
dkk,2012)
e. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk
4
melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam
sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan
dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit
selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 – 2,5% retikulosit.
(Jennifer dkk,2012)
f. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan
ukuran diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron.Bagian tengah
sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright,
eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung
hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan
dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.(Jennifer dkk,2012)
Faktor Pembentukan Eritropoesis
Ada 3 faktor yang mempengaruhi eritropoiesis:
a. Eritropoietin
Penurunan penyaluran 02 ke ginjal merangsang ginjal darah untuk
mengeluarkan hormon eritropoietin ke dalam darah, dan hormon ini
kemudian merangsang eritropoiesis di sumsum tulang.Eritropoietin
bekerja pada turunan sel-sel bakal yang belum berdiferensiasi yang
telah berkomitmen untuk menjaadi sel darah merah, yaitu merangsang
proliferasi dan pematangan mereka.
b. kemampuan respon sumsum tulang (anemia , perdarahan)
c. intergritas proses pematangan eritrosit(Jennifer dkk,2012)
Proses destruksi eritrosit terjadi secara normal setelah masa hidup
eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses ini terjadi melalui mekanisme
yang terdiri dari:
1.) Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa
bagian membrane eritrosit sehingga menyebabkan isi sel keluar
termasuk hemoglobin.
2.) Lisis Osmotik
5
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya
kecenderungan mendorong air dan Na dari daerah konsentrasi
tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi air rendah di
plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih tinggi).Sehingga
protein plasma dapat dianggap “menarik air” ke dalam plasma.Hal
ini dapat mengakibat lisis eritrosit yang disebabkan efek osmotik
3.) Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang
dilakukan oleh monosit, neutrofil, makrofag. Fagositosis eritrosit
ini terutama terjadi pada eritrosit yang dilapisi
antibody.Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya
AutoImun Hemolitic Anemia (AIHA).
4.) Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8,
C9). Sitolisis ini meruapakan indikator Peroxysimal Nocturnal
Haemoglobinuria (PNH).
5.) Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk
Heinz bodies. Eritrosit dengan Heinz bodies akan cepat didestruksi
oleh limpa. Heinz bodies melekat pada membran permeabilitas
membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga. (Jennifer
dkk,2012)
Struktur Eritrosit
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Setiap milliliter
darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah
merah),yang secara klinis sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah
sebagai 5 juta per millimeter kubik (mm3). Eritrosit berbentuk lempeng
bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk piringan yang dibagian
tengah dikedua sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan bagian
tengah mengepeng bukan berlubang. dengan diameter 8 µm, tepi luar
tebalnya 2 µm dan bagian tengah 1 µm. (Jennifer dkk,2012)
6
Komponen eritrosit terdiri atas:
1. Membran eritrosit
2. Sistem enzim, yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway:
pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6-
phosphate dehydrogenase)
3. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen.(Jennifer
dkk,2012)
Fungsi Sel darah Merah
Fungsi sel darah merah adalah sebagai berikut
a. Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh. Sel
darah merah akan mengikat oksigen dari paru–paru untuk diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan
tubuh untuk dikeluarkan melalui paru–paru. Pengikatan oksigen dan
karbon dioksida ini dikerjakan oleh hemoglobin yang telah bersenyawa
dengan oksigen yang disebut oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-
oksigen) jadi oksigen diangkut dari seluruh tubuh sebagai
oksihemoglobin yang nantinya setelah tiba di jaringan akan
dilepaskan: Hb-oksigen Hb + oksigen, dan seterusnya. Hb tadi akan
bersenyawa dengan karbon dioksida dan disebut karbon dioksida
hemoglobin (Hb + karbon dioksida Hb-karbon dioksida) yang mana
karbon dioksida tersebut akan dikeluarkan di paru-paru.
b. Berfungsi dalam penentuan golongan darah.
c. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah
merah mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka
hemoglobin di dalam sel darah merah akan melepaskan radikal bebas
yang akan menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta
membunuhnya.
d. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin
terdeoksigenasi, yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh
7
darah dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah
tubuh yang kekurangan oksigen.(Hoffbrand dkk,2005)
Gangguan Sel Darah Merah
a. Anemia
1.) Pengertian Anemia
Keseimbangan antara pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi
dan keluarnya eritrosit dari sirkulasi dipertahankan secara
ketat, sehingga dalam keadaan normal kadar hemoglobin di
peredaran darah relatif konstan. Bila keluarnya eritrosit dari
sirkulasi maupun penghancuran eritrosit meningkat tanpa
diimbangi oleh peningkatan produksi atau pelepasan eritrosit
dalam sirkulasi menurun, demikian pula bila kedua proses
tersebut terjadi bersama– sama akan menyebabkan anemia.
(Price,sylvia 1995)
Anemia bukan merupakan diagnosa akhir dari suatu penyakit
akan tetapi selalu merupakan salah satu gejala dari suatu
penyakit dasar. Oleh karenanya apabila kita telah menentukan
adanya anemia maka menjadi kewajiban kita selanjutnya
menentukan etiologi dari anemianya. (Price,sylvia 1995)
Gejala Anemia
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap
kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar
hemoglobin turun dibawah harga tertentu.Gejala umum
anemia ini timbul karena
1) Anoksia organ
2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya
daya angkut oksigen
a) Affinitas oksigen yang berkurang Untuk peningkatan
pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien,
dilakukan dengan cara mengurangi affinitas
8
hemoglobinuntuk oksigen. Aksi ini meningkatkan
ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang
sama.
b) Peningkatan perfusi jaringan
Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang
berkurang pada jaringan dapat dikompensasi dengan
meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah
aktivitas vasomotor dan angiogenesis.
c) Peningkatan cardiac output
Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang
harus diekstraksi selama setiap sirkulasi, untuk
menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena
viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi
vaskular selektif mengurangi resistensi perifer, cardiac
output yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan
tekanan darah.
d) Peningkatan fungsi paru
Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan
frekuensi pernafasan yang mengurangi gradien
oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar,
dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih
banyak daripada cardiac output yang normal.
e) Peningkatan produksi sel darah merah
Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat
pada kondisi yang akut, 4-6 kali lipat pada kondisi
yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali
lipat pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini
dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin.
Produksi eritropoietin dihubungkan dengan
konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi eritropoietin
dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi
9
hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada
anemia yang berat.
Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi
dan penghancuran sel darah merah seimbang.
(Bakta,2009)
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar
hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada :
(Bakta.2009)
1) Derajat penurunan hemoglobin
2) Kecepatan penurun hemoglobin
3) Usia
4) Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
2.) Klasifikasi
Klasifikasi diadakan dengan maksud untuk memudahkan
menegakkan diagnosis, dengan demikian dapat merupakan
pedoman guna mencari penyakit yang sesungguhnya.
(Price,sylvia 1995)
a) Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel
induk di sumsum tulang yang dapat menimbulkan
kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah merah
yang dihasilkan tidak memadai. Pederita mengalami
pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, dan
trombosit.
Secara morfologi sel-sel darah merah terlihat normositik
dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang,
dan biopsi sumsung tulang menunjukkan suatu keadaan
yang disebut “pungsi kering” dengan hiplasia yang nyata
dan terjadi penggantian dengan jaringan lemak.
10
Langkah-langkah pangobatan terdiri dari
mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab.
Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan
agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik .
bebraapa kasusu seperti ini diduga merupakan keadaan
imunologis.
1) Penyebab-penyebab anemia aplastik :
a) Agen antineoplastik
b) Terapi radiasi
c) Berbagai obat seperti anti konvulsan, pengobatan
tiroid, senyawa emas dan fenilbutason.
d) Benzena
e) Infeksi virus (khususnya virus khusunya virus
hepatitis)
2) Pengobatan
Terutama dipusatkan pada perawatan supportif
sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena
infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh
defesiensi besi sel lain merupakan penyebab utama
kematian, maka penting untuk mencegah perdarahan
dan infeksi.
Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan
yang dilindungi (ruangan denan aliran udaran
mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang
baik, pada perdarahan dan/atau infeksi perlu
dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana,
yaitu sel darah merah, granulosit, dan trombosit dan
antibiotik. Agen-agen peransang sumsung tulang,
seperti androgen diduga menimbulkan eritropoesis,
tetapi defesiensinya tidak menentu, penderita anemia
aplastik kronik dapat menyesuaikan diri dengan baik
11
dan dapat dipertahankan Hb antara 8 dan 9 g dengan
transfusi darah periodik.
b) Anemia Defesiensi Besi
Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai
anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif
pada sintesis hemoglobin. Difisensi besi merupakan
penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terdapat
pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah
sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi
selama hamil. (Bakta,2006)
1) Penyebab lain defesiensi besi adalah:
a) Asupan besi yang tidak cukup, misalnya pada bayi
yang hanya diberi makan susu belaka sampai usia
12 – 24 bulan dan pada individu tertentu yang
hanya memakan sayuran saja.
b) Gangguan absobsi, seperti setelah gastrektomi
c) Kehilangan darah yang menetap seperti pada
perdarahan pada saluran cerna yang lambat karena
polip, Neoplasma, gastritis, varises osefagus, makan
aspirin, dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa
mengandung rata-rata 3 sampai 5 g besi, bergantung
pada jenis kelamin dan besar tubuhnya, hampir
duapertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang
dilepas pada proses penuaan dan kematian sel dan
diangkut melalui transferin plasma kesumsum
tulang untuk eritripoesis. Dengan kekecualian
dalam jumlah yang kecil sekali dalam mioglobin
(otot) dan dalam enzim-enzim hem, seperti sisanya
disimpan dalam hati, lipa dan dalam sumsung
12
tulang sebagai feretin dan sebagai homosiderin
untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
2) Gejala-gejala
Gejala-gejala yang ditunjukkan; (besi plasma lebih
kecil dari 40 mg/100 ml; Hb 6-7 mg/100ml)
mempunyai rambut yang rapuh, dan halus serta
kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya
berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu,
atropi papils lidah mengakibatkan lidah tampak
pucat, licin, mengkilap, merah daging, meradang
dan sakit. Dapat pula timbul stomatitis angularis,
pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit
disudut-sudut mulut.(bakta,2006)
3) Pemeriksaan
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah
merah normal atau hampir normal dan kadar
hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah
perifer, eritrosit mikrositik dan hipokrom (MCP
dan MCHC berkurang, dan MCH berkurang)
disertai dengan poikilisitosis dan anisosotosis.
Jumlah retikulosit mungkin normal atau
berkurang. Kadar besi berkurang walaupun
kapasitas mengikat besi serum total meningkat.
4) Pengobatan
Pengobatan defisiensi besi mengharuskan
identifikasi dan menemukan penyebab dasar
anemia. Pembedahan mungkin deperlukan untuk
menghambat perdarahan aktif yang diakibatkan
oleh polip, tukak, keganasan, dan hemoroid;
perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi
yang hanya diberi susu atau individu dengan
13
idiosinkrasi makanan atau yang menggunakan
aspirin dalam dosis besar.
Walaupun modifikasi diet dapat menambah basi
yang tersedia (misalnya hati), masih dibutuhkan
suplemen besi untuk meningkatkan hemoglobin
dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia
dalam dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian
besar penderita memberi respon yang baik
terhadap senyawa senyawa oral seperti ferosulfat.
Preparat besi parenteral digunakan secara sangat
selektif, sebaba harganya mahal dan mempunyai
insidens besar tejadi reaksi yang merugikan.
c) Anemia Megeblastik
Anemia megaloblastik diklasfikasikan menurut
morfologinya sebgai anemia makrositik
normokrom. (Robbins dkk,2007)
1) Penyebab
Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh
defesiensi vitamin B12 dan asam folat yang
mengakibatkan sitesis DNA terganggu. Defesiensi ini
mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsobsi,
kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada
anemia pernisiosa dan pos gastrektomi), infestasi
prasit, penyakit usus, dan keganansa, serta agen
kemoterapik. Invidu dengan infeksi cacing pita
(dengan, Diphilloborithrium latum) akibat makan ikan
segar yang terinfeksi, cacing pita berkompertisi
dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B¬12 dari
makanan. Yang mengakibatkan anemia megaloblastik.
2) Gejala-gejala
Selain gejala-gejala anemia seperti yang dijelaskan
14
sebelumnya, penderita anemia megaloblastik sekunder
karena defesiensi folat dapat seperti malnutrisi dan
mengalami glositis berat (radang lidah disertaai rasa
sakit), diare dan kehilangan nafsu makan. Kadar folat
serum juga menurun (<4ng/ml). Hitung retikulosit
biasanyan berkurang disertai penurunan hematokrit
dan hemoglobin.
3) Pengobatan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya,
pengobatan bergantun pada identifikasi dan
menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini
adalan memperbaiki defisiensi diet dan terpi pengganti
dengan asam folat atau vitamin B12. penderita yang
kecanduan alkohol yang dirawat dirumah sakit sering
memberi respon “spontan’ bila diberikan diet
seimbang.
2. Hematologi Leucopoiesis
Leukopoiesis adalah proses pembentukan leukosit, yang dirangsang
oleh adanya colony stimulating (factor perangsang koloni). Colony
stimulating ini dihasilkan oleh leukosit dewasa.(siti,1998)
Leukosit dibentuk di sumsum tulang terutama seri granulosit,
disimpan dalam sumsum tulang sampai diperlukan dalam sistem
sirkulasi. Bila kebutuhannya meningkat maka akan menyebabkan
granulosit tersebut dilepaskan. Proses pembentukan limfosit,
ditemukan pada jaringan yang
berbeda seperti sumsum tulang, thymus, limpa dan limfonoduli.
Proses pembentukan limfosit dirangsang oleh thymus dan paparan
antigen.(siti,1998)
Bertambahnya jumlah leukosit terjadi dengan mitosis (suatu proses
pertumbuhan dan pembelahan sel yang berurutan). Sel-sel ini mampu
membelah diri dan berkembang menjadi leukosit matang dan
15
dibebaskan dari sumsum tulang ke peredaran darah. Dalam sirkulasi
darah, leukosit bertahan kurang lebih satu hari dan kemudian masuk
ke dalam jaringan. Sel ini bertahan di dalam jaringan hingga beberapa
minggu, beberapa bulan, tergantung pada jenis leukositnya (Sacher,
2004).Pembentukan leukosit berbeda dengan pembentukan eritrosit.
Leukosit ada 2 jenis, sehingga pembentukannya juga sesuai dengan
seri leukositnya. Pembentukan sel pada seri granulosit
(granulopoiesis) dimulai dengan fase mieloblast, sedangkan pada seri
agranulosit ada dua jenis sel yaitu monosit dan limfosit. Pembentukan
limfosit (limfopoiesis) diawali oleh fase limphoblast, sedangkan pada
monosit (monopoiesis) diawali oleh fase monoblast.Granulopoiesis
adalah evolusi paling dini menjadi myeloblas dan akhirnya menjadi
sel yang paling matang, yang disebut basofil, eosinofil dan neutrofil.
Proses ini memerlukan waktu 7 sampai 11 hari. Mieloblas,
promielosit, dan mielosit semuanya mampu membelah diri dan
membentuk kompartemen proliferasi atau mitotik. Setelah tahap ini,
tidak terjadi lagi pembelahan, dan sel mengalami pematangan melalui
beberapa fase yaitu: metamielosit, neutrofil batang dan neutrofil
segmen. Di dalam sumsum tulang sel ini mungkin ada dalam jumlah
berlebihan yang siap dibebaskan apabila diperlukan. Sel-sel ini dapat
menetap di sumsum tulang sekitar 10 hari, berfungsi sebagai
cadangan apabila diperlukan(siti,1998).
Limfopoiesis adalah pertumbuhan dan pematangan limfosit. Hampir
20% dari sumsum tulang normal terdiri dari limfosit yang sedang
berkembang. Setelah pematangan, limfosit masuk ke dalam pembuluh
darah, beredar dengan interval waktu yang berbeda bergantung pada
sifat sel, dan kemudian berkumpul di kelenjar limfatik (Sacher, 2004).
Monopoiesis berawal dari sel induk pluripoten menghasilkan berbagai
sel induk dengan potensi lebih terbatas, diantaranya adalah unit
pembentuk koloni granulosit yang bipotensial. Turunan sel ini
menjadi perkusor granulosit atau menjadi monoblas. Pembelahan
monoblas menghasilkan promonosit, yang sebagiannya berpoliferasi
16
menghasilkan monosit yang masuk peredaran. Yang lain merupakan
cadangan sel yang sangat lambat berkembang. Waktu yang
dibutuhkan sel induk sampai menjadi monosit adalah sekitar 55 jam.
Monosit tidak tersedia dalam sumsum dalam jumlah besar, namun
bermigrasi ke dalam sinus setelah dibentuk. Monosit bertahan dalam
pembuluh darah kurang dari 36 jam sebelum akhirnya masuk ke
dalam jaringan .(siti,19980
Faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit
Jumlah leukosit dapat meningkat yang biasa disebut leukositosis,
sebaliknya dapat menurun disebut leukopenia . Jumlah leukosit
dapat naik dan turun sesuai dengan keadaan. Dalam tubuh terjadi
infeksi, biasanya jumlah sel ini meningkat, jika tubuh mengalami
gangguan dalam memproduksi leukosit, hal ini menyebabkan
tubuh kita mudah diserang penyakit.
Perbedaan jumlah masing-masing sel leukosit dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, salah satu faktornya adalah faktor fisiologis,
yaitu masa hidup dari masing-masing sel leukosit tersebut. Masa
hidup sel leukosit yang memiliki granula relatif lebih singkat
dibandingkan sel leukosit yang tidak memiliki granula. Masa
hidup sel leukosit yang memiliki granula adalah 4-8 jam dalam
sirkulasi darah dan 4-5 hari di dalam jaringan. Hal ini disebabkan
karena sel leukosit yang memiliki granula lebih cepat menuju
daerah infeksi dan melakukan fungsinya dari pada sel leukosit
yang tidak memiliki granula.
Leukopenia disebabkan berbagai kondisi, termasuk stress
berkepanjangan, infeksi virus, penyakit atau kerusakan sumsum
tulang, radiasi, atau kemoterapi. Penyakit sistemik yang parah
misalnya lupus eritematosus, penyakit tiroid, sindrom Cushing,
dapat menyebabkan penurunan jumlah leukosit. Semua atau salah
satu jenis sel saja yang dapat terpengaruh (Corwin,
2009).Penurunan jumlah leukosit dapat terjadi karena infeksi usus,
17
keracunan bakteri, septicoemia, kehamilan, dan partus. Jumlah
leukosit dipengaruhi oleh kondisi tubuh, stres, kurang makan atau
disebabkan oleh faktor lain.(Siti,1998)
Fungsi Leukosit
Beberpa fungsi leukosit adalah sebagai berikut
1) Berfungsi menjaga kekebalan tubuh sehingga tak mudah
terserang penyakit
2) Melindungi badan dari serangan mikroorganisme pada jenis
sel darah putih granulosit dan monosit
3) Mengepung darah yang sedang terkena cidera atau infeksi
4) Menangkap dan menghancurkan organisme hidup
5) Menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda lain atau
bahan lain seperti kotoran, serpihan-serpihan dan lainnya.
6) Mempunyai enzim yang dapat memecah protein yang
merugikan tubuh dengan menghancurkan dan membuangnya
7) Menyediakan pertahanan yang cepat dan juga kuat terhadap
penyakit yang menyerang.
8) Sebagai pengangkut zat lemak yang berasal dari dinding usus
melalui limpa lalu menuju ke pembuluh darah
9) Pembentukan Antibodi di dalam tubuh. (siti,1998)
Gangguan Sel Darah Putih
a. Leukemia
1) Pengertian
Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi
(pertumbuhan sel imatur) sel leukosit yang abnormal dan
ganas, serta sering disertai adanya leukosit dengan jumlah
yang berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia
trombositopenia. (Jennifer dkk,2012)
Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi (bertambah
banyak atau multiplikasi) patologi dari sel pembuat darah
18
yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. (Robbins
dkk,2007
Jadi dapat disimpulkan bahwa leukemia adalah penyakit
akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang abnormal dan
ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah yang
berlebihan dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan
biasanya berakhir fatal.
19
2) Etiologi Dan Predisposisi
Terjadinya leukemia banyak hal yang mempengaruhi diantaranya :
a) Faktor Eksogen
1. Radiasi, khususnya yang mengenai sumsum tulang,
kemungkinan leukemia meningkat pada penderita yang diobati
dengan radiasi atau kemoterapi.
2. Zat kimia, seperti benzene, arsen, kloramfenikol,
fenilbutazone, dan agen anti neoplastik. Terpapar zat kimia
dapat menyebabkan dysplasia sumsum tulang belakang,
anemia aplastik dan perubahan kromosom yang akhirnya dapat
menyebabkan leukemia.
3. Infeksi virus, pada awal tahun 1980 diisolasi virus HTLV-1
(Human T Leukemia Virus )dari leukemia sel T manusia pada
limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak itu diisolasi
dari sample serum penderita leukemia sel T.(Jennifer
dkk,2012)
b) Faktor Endogen
1) Bersifat herediter, insiden meningkat pada beberapa penyakit
herediter seperti sindrom down mempunyai insiden leukemia
akut 20 x lipat dan riwayat leukemia dalam keluarga . insiden
leukemia lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang
terserang, dengan insiden yang meningkat sampai 20% pada
kembar monozigot.
2) Kelainan genetic, mutasi genetic dari gen yang mengatur sel
darah yang tidak diturunkan.(Jennifer dkk,2012)
3) Patofisiologi
Leukemia adalah jenis gangguan pada system hemapoetik yang fatal
dan terkait dengan sumsum tulang dan pembuluh limfe ditandai
dengan tidak terkendalinya proliferasi dari leukosit. Jumlah besar
dari sel pertama-tama menggumpal pada tempat asalnya ( granulosit
dalam sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan menyebar
ke organ hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih20
besar sehingga mengakibatkan hematomegalidan
splenomegali.
Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringa
perifer serta mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya,
hematopoesis normal terhambat, mengakibatkan penurunan jumlah
leukosit, eritrosit, dan trobosit. Eritrosit dan trombosit jumlahnya
dapat rendah atau tinggi tetapi selalu terdapat sel imatur.
Proliferasi dari satu jenis sel sering mengganggu produksi normal sel
hematopoetik lainnya dan mengarah ke pembelahan sel yang cepat
dan sitopenia atau penurunan jumlah. Pembelahan dari sel darah
putih meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi karena
penurunan imun.
Trombositopeni mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan oleh
ptekie dan ekimosis atau perdarahan dalam kulit, epistaksis atau
perdarahan hidung, hematoma dalam membrane mukosa, serta
perdarahan saluran cerna dan saluran kemih. Tulang mungkin sakit
dan lunak yang disebabkan oleh infark tulang. (Jennifer dkk,2012).
4) Klasifikasi Leukemia
Leukemia dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya
yaitu :
a) Leukemia Mielositik Akut (LMA)
LMA disebut juga leukemia mielogenus akut atau
leukemia granulositik akut (LGA) yang di
karakteristikkan oleh produksi berlebihan dari
mieloblast. LMA sering terjadi pada semua usia,
tetapi jarang terjadi pada anak-anak. Mieloblast
menginfiltrasi sumsum tulang dan ditemukan dalam
darah. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
anemia, perdarahan, dan infeksi, tetapi jarang
disertai keterlibatan organ lain.
b) Leukemia Limfositik Akut (LLA)
21
LLA sering menyerang pada masa anak – anak
dengan presentase 75% - 80%. LLA menginfiltrasi
sumsum tulang oleh sel limfoblastik yang
menyebabkan anemia, memar (trombositopeni), dan
infeksi (neutropenia). Limfoblas biasanya di
temukan dalam darah tepi dan selalu ada di sumsum
tulang, hal ini mengakibatkan terjadinya
limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali,
tetapi 70% anak dengan leukemia limfatik akut kini
bisa disembuhkan.
c) Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK terjadi pada manula dengan limfadenopati
generalisata dan peningkatan jumlah leukosit disertai
limfositosis, Perjalanan penyakit biasanya jinak dan
indikasi pengobatan adalah hanya jika timbul gejala.
d) Leukemia Mielositik Kronis (LMK)
LMK sering juga disebut leukemia granulositik
kronik (LGK), gambaran menonjol adalah :
1) Adanya kromosom Philadelphia pada sel-sel
darah. Ini adalah kromosom abnormal yang
ditemukan pada sel-sel sumsum tulang.
2) Krisis blast fase yang dikarakteristikkan oleh
poroliferasi tiba-tiba dari jumlah besar
mieloblast. (Price,Sylvia 1999)
22
5) Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala awal leukemia dapat termasuk demam,
anemia, perdarahan, kelemahan, nyeri tulang atau sendi
dengan atau tanpa pembengkakan. Purpura merupakan hal
yang umum serta hepar dan lien membesar. Jika terdapat
infiltrasi kedalam susunan saraf pusat dapat ditemukan
tanda meningitis. Cairan serebro spinal mengandung protein
yang meningkatkan dan glukosa yang menurun. Tampaknya
juga terdapat beberapa hubungan antara leukemia dan
sindrom down (mongolisme) :
a) Pucat
b) Malaise
c) Keletihan(letargi)
d) Perdarahan gusi
e) Mudah memar
f) Petekia dan ekimosis
g) Nyeri abdomen yang tidak jelas
h) Berat badan turun
i) Iritabilitas
j) Muntah
k) Sakit kepala (pusing)(Jennifer,2012)
3. Hematolongi trombopoiseis
Perkembangan trombosit disum-sum tulang:
Morfologi trombopoiesis sangat berbeda dari eritropoesis dan
granulopoesis karena tidak terjadi sebagai suatu perkembangan
sel fungsional matang dari prekusor yang belum matang dengan
perbedaan criteria morfologis yang nyata dan melalui
23
pembelahan pematangan yang terjadi selanjutnya. Pada
trombopoesis , terjadi proses poliploidisasi berulang kali,yang
menimbulkan berbagai tipe sel 2N-32N (64N) melalui
endoreduplikasi DNA ,yang setara dengan berbagai tahapan
fungsi terdapat tiga macam bentuk sel yang dapatdikenali.
(Suzanne,2002)
1) Megakarioblas.
Badan sel biasanya lebih besar daripada badan sel
proeiritroblas. Perbandingan antara inti dan sitoplasma
berubah karena inti menjadi lebih besar. Kepadatan
kromatin inti berbeda-beda . Nukleolus sebagian besar
tertutup, tetapi terdapat dalam jumlah besar. Pada penyatuan
inti yang mencolok , terdapat sel yang berinti dua hingga
empat. Sitoplasma tampak nasofilik kuat,terbebas dari
granulasasi,dan dibagian tepi kadang-kadang terlihat sedikit
menjuntai. Sering terdapat trombosit yang melekat.
2) Promegakariosit
Promegakarisit adalah megakariosit yang setengah matang .
Produk poliploidasi megakarioblas yang berdemensi
besar .Inti sel sangat besar dan sedikit berlobus selain
bentuk dengan kecenderungan segmentasi (berlobus) yang
dapat dikenali dengan jelas . Kromatin inti sebagian besar
teranyam rapat,nukleoulus yang ada kebanyakan
terselubungi. Sitoplasma tampak basofilik dengan beberapa
24
area azurofilik, yang menunjukan permulaan aktivitas
trombopoesis.Luassitoplasma bertambah secara
nyata.Ditepi sel,terdapat trobosit yang melekat.
3) Megakariosit yang matang
Sel terbesar yang dijumpai pada hematopoiesis disum-sum
tulang dalam kondisi normal. Serangkaian gumpalan
(haustra) inti yang khaster bentuk dari sitoplasma azurofilik
ditutupi bintik – bintik halus, sebagai perwujudan terakhir
pembentukan trombosit yang aktif. Perluasan dan
penonjolan bagian sitoplasma azurofilik menandakan suatu
persiapan pelepasan trombosit.
Sebagian kecil megakariosit (dibawah 10%) menunjukan
inti tungal atau ganda yang berbentuk bulat-oval dan kecil
(yang lebih dikenal sebagai mikromegakariosit) pada
pengecilan diameter sel. Elemen-elemen ini juga memiliki
aktivitas trombopoetik. Suatu fenomena yang dikenal
sebagai empiropolesis, yaitu pengembaraan granulosit
matang melalui sitoplasma megakariosit tanpa menganggu
integrasi sel, yang tidak mengindikasikan suatu proses
fagositosis.
Stadium pelepasan trombosit
25
Struktur sitoplasma megakariosit yang berada pada tahap ini, dan
saling berhubungan, menunjukan penjuluran yang tidak
beraturan dan bertambahnya peluruhan.
Pada keadaan ini , terbentuk makro partikel yang tak terbilang
banyaknya dan selanjutnya mikro partikel dengan granulasi
azurofilik halus yang merupakan trombosit matang. Sisa inti
yang tidak mengandung sitoplasma tetap pada sampai
dihancurkan oleh makrofag disum-sum tulang (perhatian:
kesalahan diagnostic dapat terjadi pada pencarian sel-sel asing).
1) Trombosit (keping-kepingdarah).
Produk pematangan sitoplasma megakariosit, yang
disemburkan kedalam darah perifer .Bentuk element terkecil
dalam sediaan apus darah (Sekitar 1/5 hingga 1/4 besar
eritrosit), yang terdiri atas sitoplasma basofilik pucat
(hialomer) dan granulasi azurofilik (granulomer). Dalam
keadaan fisiologis, autoagregasi pada sediaan apus darah
tanpa penambahan EDTA menimbulkan penyatuan erat
beberapa trombosit dalam preparatapus.
Fungsi Trombosit
Trombosit memiliki banyak fungsi, khususnya dalam mekanisme
hemostasis. Berikut fungsi dari trombosit (A.V Hoffbrand et al,
2005):
1) mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh
darah kecil dengan caraadhesi, sekresi, agregasi, dan
26
fusi (hemostasis).Sitotoksis sebagai sel efektor
penyembuhan jaringan,Berperan dalam respon
inflamasi.
Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat
dijelaskan sebagai berikut : Adanya pembuluh darah
yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel
endotelnya rusak dan terpaparnya jaringan ikat
kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh
darah yang mengalami trauma akan mengerut
(vasokontriksi). Kemudian trombosit melekat pada
jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan
faktor von Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX
(proses adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi
granula trombosit mencakup ADP, serotonin,
tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom
(degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat
satu sama lain atas bantuan ADP dan tromboksan A2
(proses agregasi). Kemudian dilanjutkan
pembentukan kompleks protein pembekuan
(prokoagulan). Sampai tahap ini terbentuklah
hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan
ini akan dilisiskan jika jaringan yang rusak telah
mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru.
2) Mencegah Pendarahan
27
Pembuluh darah merupakan penghalang pertama
dalam kehilangan darah. Jika mengkerut sehingga
aliran darah keluar menjadi lebih lambat dan proses
pembekuan bisa dimulai. Pada saat yang sama,
kumpulan darah diluar pembuluh darah (hematom)
akan menekan pembuluh darah dan membantu
mencegah perdarahan lebih lanjut.Segera setelah
pembuluh darah robek, serangkaian reaksi akan
mengaktifkan trombosit sehingga trombosit akan
melekat di daerah yang mengalami
cedera. Perekat yang menahan trombosit pada
pembuluh darah ini adalah faktor von Willebrand,
yaitu suatu protein plasma yang dihasilkan oleh sel-
sel di dalam pembuluh darah. Kolagen dan protein
lainnya (terutama trombin), akan muncul di daerah
yang terluka dan mempercepat perlekatan trombosit.
Trombosit yang tertimbun di daerah yang terluka ini
membentuk suatu jaring yang menyumbat luka;
bentuknya berubah dari bulat menjadi berduri dan
melepaskan protein serta zat kimia lainnya yang akan
menjerat lebih banyak lagi trombosit dan protein
pembekuan.
Trombin merubah fibrinogen (suatu faktor
pembekuan darah yang terlarut) menjadi serat-serat
28
fibrin panjang yang tidak larut, yang terbentang dari
gumpalan trombosit dan membentuk suatu jaring
yang menjerat lebih banyak lagi trombosit dan sel
darah.
Serat fibrin ini akan memperbesar ukuran bekuan dan
membantu menahannya agar pembuluh darah tetap
tersumbat. Rangkaian reaksi ini melibatkan
setidaknya 10 faktor pembekuan darah. Suatu
kelainan pada setiap bagian proses hemostatik bisa
menyebabkan gangguan. Pembuluh darah yang rapuh
akan lebih mudah mengalami cedera atau tidak dapat
mengkerut.
Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika
jumlah trombosit terlalu sedikit, trombosit tidak
berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada
faktor pembekuan. Jika terjadi kelainan pembekuan,
maka cedera yang ringan pun bisa menyebabkan
kehilangan darah yang banyak. Sebagian besar faktor
pembekuan dibuat di dalam hati, sehingga kerusakan
hati yang berat bisa menyebabkan kekurangan faktor
tersebut di dalam darah.
Vitamin K (banyak terdapat pada sayuran berdaun
hijau) sangat penting dalam pembuatan bentuk aktif
dari beberapa faktor pembekuan. Karena itu
29
kekurangan zat gizi atau obat-obatan yang
mempengaruhi fungsi normal vitamin K (misalnya
warfarin) bisa menyebabkan perdarahan. Kelainan
perdarahan juga bisa terjadi jika pembekuan yang
berlebihan telah menghabiskan sejumlah besar faktor
pembekuan dan trombosit atau jika suatu reaksi
autoimun menghalangi aktivitas faktor pembekuan.
Reaksi yang menyebabkan terbentukan suatu
gumpalan fibrin diimbangi oleh reaksi lainnya yang
menghentikan proses pembekuan dan melarutkan
bekuan setelah keadaan pembuluh darah membaik.
Tanpa sistem pengendalian ini, cedera pembuluh
darah yang ringan bisa memicu pembekuan di seluruh
tubuh. Jika pembekuan tidak dikendalikan, maka
pembuluh darah kecil di daerah tertentu bisa
tersumbat. Penyumbatan pembuluh darah otak bisa
menyebabkan stroke; penyumbatan pembuluh darah
jantung bisa menyebabkan serangan jantung dan
bekuan-bekuan kecil dari tungkai, pinggul atau perut
bisa ikut dalam aliran darah dan menuju ke paru-paru
serta menyumbat pembuluh darah yang besar di paru-
paru (emboli pulmoner).
Gangguan Pembekuan Darah
1) Trombositopenia
30
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit
kurang dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah. Darah
biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000
trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL,
bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya
gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang
dari 10.000/mL.(sylvia A dkk,2006)
a) Etiologi
Banyak hal yang dapat melatarbelakangi terjadinya
trombositopenia. Pada kondisi normal, sumsum tulang
akan memproduksi dan menggantikan platelet yang sudah
rusak. Tetapi jika mengalami trombositopenia, jumlah
platelet dalam darah penderita tidak mencukupi angka
yang seharusnya.
Kekurangan ini dapat disebabkan oleh produksi platelet
yang menurun atau proses hancurnya platelet lebih cepat
dari proses produksi. Kondisi ini dapat dipicu oleh
beberapa faktor yang meliputi:
1) Penyakit tertentu, seperti kanker darah, limfoma,
atau purpura trombositopenik trombotik.
2) Kelainan darah, contohnya anemia aplastik.
3) Konsumsi alkohol yang berlebihan.
4) Proses kemoterapi atau radioterapi.
5) Infeksi virus, seperti HIV, cacar air, dan hepatitis C.
31
6) Infeksi bakteri dalam darah.
7) Obat-obatan tertentu, misalnya heparin, kina, atau
obat antikonvulsan.
8) Kondisi autoimun, contohnya lupus.
Trombositopenia juga dapat muncul ketika banyak
platelet yang terperangkap dalam limfa yang
membengkak. Ini bisa terjadi pada seorang wanita selama
masa kehamilan. Tetapi kondisi ini akan berangsur-
angsur membaik setelah wanita tersebut melahirkan.
b) Patofisiologi
Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui
berbagai cara yang mengakibatkan semakin lamanya
perdarahan. Obat-obat seperti aspirin, indometasin,
fenilbutazon menghambat agregasi dan reaksi pelepasan
trombosit, dengan demikian menyebabkan perdarahan
yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal.
Pengaruh aspirin tunggal dapat berlangsung selama 7 hari
hingga 10 hari.
Protein plasma, seperti yang ditemukan pada
makroglobulinemia dan myeloma multiple menyelubungi
trombosit, mengganggu adhesi trombosit, retraksi
bekuan, dan polimerasi fibrin.(silvia A dkk,2006)
c) Manifestasi Klinis
32
Tanda dan gejala trombositopenia antara lain
a. Adanya petekhie pada ekstermitas dan tubuh
b. Menstruasi yang banyak Perdarahan pada mukosa,
mulut, hidung, dan gusi
c. Muntah darah dan batuk darah
d. Perdarahan Gastro Intestinal
e. Adanya darah dalam urin dan feses
f. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP(Sylvia
A dkk,2006)
B. Perubahan Imunitas
1. Imunodefesiensi
Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau
defisiensi pada sel-sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau
komplemen. Gejala yang spesifik serta beratnya penyakit, usia saat
penyakit dimulai dan prognosis penyakit bergantung pada komponen
apa yang terkena dalam sistem imun dan sampai dimana fungsi imun
tersebut terganggu. Terlepas dari penyebab yang mendasari kelainan
imunodefisiensi, gejala utamanya mencakup infeksi kronik atau
infeksi berat kambuhan, infeksi karena mikroorganisme yang
merupakan flora normal tubuh, respon tubuh yang buruk terhadap
pengobatan infeksi dan diare kronik. Imunodefisiensi dapat
diklasifikasikan sebagai kelainan yang primer atau sekunder dan dapat
33
pula dipilah berdasarkan komponen yang terkena pada sistem imun
tersebut.(Sylvia A dkk,2006)
a) Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer merupakan kelainan langka yang
penyebabnya bersifat genetik dan terutama ditemukan pada bayi
serta anak-anak kecil.gejala biasanya timbul pada awal kehidupan
setelah perlindungan oleh antibodi maternal menurun.tanpa terapi,
bayi dan anak-anak yang menderita kelainan ini jarang dapat
bertahan hidup sampai usia dewasa. Kelainan ini dapat mengenai
satu atau lebih komponen pada sistem imun. (sylvia A dkk,2006)
1) Disfungsi Fagositik
a.) Manifestasi Klinis
Kelainan pada sel-sel fagositik akan bermanifestasi dalam
bentuk peningkatan insidensi infeksi bakterial. Di samping
infeksi bakterial, penderita sindrom
hiperimunoglobulinemia E (HIE) yang dahulunya dikenal
sebagai sindrom Job akan menderita pula infeksi oleh
Candida dan virus herpes simpleks atau herpes zoster.
Penderita sindrom ini akan terkena furunkolosis rekuren,
abses kulit, dermatitis ekzematoid kronik, bronkitis,
pneumonia, otitis media kronik dan sinusitis. Sel-sel darah
putih tidak mampu menghasilkan respons inflamasi
terhadap infeksi kulit; keadaan ini mengakibatkan abses
dingin yang letaknya dalam dan kurang menunjukkan
34
tanda-tanda serta gejala klasik inflamasi (yaitu,
kemerahan, panas dan nyeri).(sylvia A dkk,2006)
2) Defisiensi Sel-B
Ada dua tipe kelainan bawaan defisiensi sel-B. Tipe yang
pertama terjadi karena kurangnya diferensiasi prekursor sel-B
menjadi sel-B matur yang mengakibatkan kurangnya sel
plasma dan tidak tampaknya pusat-pusat germinal dari semua
jaringan limfoid. Fenomena ini menyebabkan defisiensi total
produksi antibodi terhadap bakteri, virus dan mikroorganisme
patogen lain yang menginvasi tubuh penderitanya. Bayi yang
lahir dengan kelainan ini akan menderita infeksi berat yang
terjadi segera setelah bayi tersebut dilahirkan. Sindrom ini
dinamakan sex-linked agammaglobulinemia (penyakit
Bruton) karena semua jenis antibodi menghilang dari dalam
plasma pasien. (Sylvia A,2006)
a.) Manifestasi Klinis
CVID merupakan kelainan imunodefisiensi primer yang
paling sering terlihat pada usia dewasa. Laki-laki dan
wanita terkena sama seringnya. Meskipun awitannya dapat
terjadi pada segala usia, kelainan ini paling sering dijumpai
pada usia dekade kedua. Lebih dari 50% penderita CVID
akan mengalami anamia pernisiosa. Gambaran umum yang
ditemukan pada pemeriksaan mencakup hiperplasia
limfoid usus halus dan lien disamping atrofi lambung yang
35
terdeteksi melalui biopsi lambung. Kerap kali pasien
CVID juga mengalami penyakit autoimun yang lain seperti
artritis dan hipotiroidisme.
Penderita CVID rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul
seperti Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia
dan Staphylococcus aureus. Infeksi saluran nafas yang
sering terjadi secara khas akan berkembang menjadi
bronkiektasis progresif kronik dan kegagalan paru. Infeksi
oleh Giardia lamblia juga sering dijumpai pada penderita
CVID ini. Infeksi oportunistik dengan Pneumocystis
carinii hanya terlihat pada penderita yang juga mengalami
defisiensi dalam imunitas sel-T.(sylvia A , 2006)
3) Defisiensi sel-T
a.) Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Hilangnya fungsi sel-T biasanya disertai dengan
hilangnya sebagian aktivitas sel-B karena peranan
regulasi yang dilaksanakan oleh sel-T dalam sistem
imun. Status sel-T dapat dievaluasi lewat hitung
limfosit darah tepi. Limfosipenia dapat menandakan
defisit sel-T. Sel-T merupakan 65%hingga 85% dari
total limfosit darah tepi. Evaluasi untuk mengetahui
apakah sel T mampu memproduksi respons sel-T dapat
dilakukan melalui pemeriksaan sensitisasi dermal
36
penderitanya atau stimulasi mesing-masing sel T
secara in vitro.
Sindrom DiGeorge atau hipoplasia timus merupakan
defisiensi sel-T yang terjadi kalau kelenjar tmus tidak
dapat tumbuh secara normal selama embriogenesis.
Bayi yang dilahirkan dengan sindrom DiGeorge akan
menderita hipoparatiroidisme yang mengakibatkan
hipokalsemia yang resisten terhadap terapi standar,
penyakit jantung kongenital, wajah yang abnormal dan
kemungkinan kelainan renal. Bayi yang menderita
sindrom ini rentan terhadap infeksi kandida, jamur,
protozoa dan virus. Bayi-bayi tersebut terutama rentan
terhadap penyakit kanak-kanak (cacar air, campak
serta rubela)yang biasanya berat dan mungkin pula
fatal.
Kandidiasis Mukokutaneus Kronik dengan atau tanpa
endokrinopati merupaka kelainan yang berkaitan
dengan defek selektif pada imunitas sel-T yang
diperkirakan terjadi akibat pewarisan autosomal-
resesif. Kelainan ini dianggap sebagai kelainan
autoimun dimana kelenjar timus dan kelenjar endokrin
lainnya terlibat dalam proses autoimun. Gambaran
awal kandidiasis mukotaneus kronik dapat berupa
infeksi kandida yang kronik atau endokrinopati
37
idiopatik. Kelainan ini mengenai laki-laki maupun
wanita penderitanya dapat bertahan hidup sampai usia
dekade kedua atau ketiga. Penyakit kandidiasis
mukokutaneus kronik akan menyebabkan peningkatan
morbiditas karena disfungsi endokrin. Masalahnya
dapat mencakup hipokalsemia dan tetani yang terjadi
sekunder akibat hipofungsi kelenjar paratiroid.
Hipofungsi korteks adrenal (penyakt Addison)
merupakan penyebab utama kematian pada penderita
kelainan ini, dan hipofungsi korteks adrenal tersebut
dapat terjadi mendadak tanpa riwayat gejala apapun.
Infeksi kandida kronik pada kulit dan membran
mukosa sulit diobati kendati infeksi sistemik oleh
Candida biasanya tidak terjadi. Penderita infeksi
kandida kronik pada kulit dan membran mukosa kerap
kali mengalami masalah psikologis yang berat. Terapi
topikal dengan mikonazol pernah dilaporkan dapat
mengendalikan infeksi ini pada sebagian pasien.
Pemberian suntikan amfoterisin B IV memberikan
manfaat pada sebagian pasien kendati pemakaiannya
sangat terbatas mengingat toksisitasnya pada ginjal.
Terapi oral dengan agens klotrimazol dan ketokonazol
dilaporkan juga bermanfaat.(Sylvi A,2006)
4) Defisiensi sel-B dan sel-T
38
a.) Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Ataksia-telangiektasia merupakan kelainan yang
mengenai imunitas sel-T dan sel-B. Kelainan ini
diturunkan secara autosomal-resesif. Pada 40%
penderita kelainan ini terdapat defisiensi selektif
IgA. Defisiensi subkelas IgA dan IgG disamping
defisiensi IgE pernah ditemukan. Defisiensi sel-T
dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat dan
bertambah parah bersamaan dengan pertambahan
usia penderitanya. Penyakit ini meliputi sistem
neurologik, vaskuler, endokrin dan sistem imun.
Awitan ataksia (geraka otot yang tidak
terkoordinasi) dan telangiektasia (lesi vaskuler
akibat pelebaran pembuluh darah) biasanya terjadi
pada usia 4 tahun pertama, kendati banyak pasien
yang tetap terbebas dari gejala selama 10 tahun
atau lebih. Morbiditasnya akan meningkat jika
terdapat penyakit paru kronik, retardasi mental
serta gejala neurologik; ketidakmampuan fisik
semakin parah ketika pasien mendekati usia
dekade kedua. Pasien yang dapat bertahan hidup
dalam waktu lama akan mengalami kemunduran
fungsi imunologik dan neurologik yang progresif.
Sebagian pasien da[pat mencapai usia dekade
39
kelima. Penyebab kematian pada penderita
kelainan ini adalah infeksi yang menyeluruh dan
penyakit kanker limforetikuler atau epitelial.
Terapinya mencakup penanganan infeksi secara
dini dengan antimikroba, penanganan penyakit
paru kronik dengan drainase postural serta
fisioterapi, dan penanganan gejala yang ada
lainnya. Terapi yang lain mencakup transplantasi
jaringan timus janin dan pemberian suntikan gama
globulin IV.
Sindrom Nezelof diperkirakan terjadi akibat
kelainan genetik yang berciri resesif. Bayi yang
lahir dengan sindrom Nezelof tidak memiliki
kelenjar timus dan mengalami imunodefisiensi
sel-B dalam pelbagai derajat dengan disertai oleh
kombinasi kadar imunoglobulin yang meningkat,
menurun atau normal. Bayi dengan sindrom
Nezelof memiliki penekanan yang tinggi terhadap
infeksi virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Bayi
yang menderita sindrom ini juga memiliki
insidensi penyakit malignan yang tinggi.
Baik sel-B maupun sel-T tidak terdapat pada
penyakit SCID (severe combined
immunodeficiency disease). Pada penyakit ini
40
sama sekali tidak terdapat imunitas humoral
maupun seluler yang disebabkan oleh kelainan
genetik yang bersifat autosomal atau yang
berkaitan dengan kromosom X (x-linked). Pada
sebagian kasus terjadi bentuk-bentuk sporadis
penyakit ini. Sindrom Wiscott Aldrich merupakan
varian penyakit SCID dengan trombositopenia
(penurunan jumlah trombosit) disamping tidak
terdapatnya sel T dan B.
Prognosis defisiensi sel-B dan -T umunya jelek
karena sebagian besar bayi yang terkena akan
mengalami infeksi fatal yang menyeluruh. Pilihan
terapi yang masih sedang diselidiki mencakup
transplantasi sumsum tulang, terapi pengganti
dengan suntikan imunoglobulin IV, faktor yang
berasal dari timus dan tranplantasi kelenjar timus.
Dengan keberhasilan terapi yang semakin
meningkat, maka dari pasien-pasien yang
seharusnya sudah meninggal pada masa bayi
ternyata semakin banyak jumlahnya yang dapat
hidup sampai usia dewasa.(Sylvia A,2006)
5) Defisiensi sistem komplemen
Dengan semakin baiknya teknik pemeriksaan
untuk mengidentifikasi komponen masing-
41
masing komplemen, maka identifikasi defisiensi
pada sistem komplemen juga terus mengalami
peningkatan yang mantap. Defisiensi komponen
C2 dan C3 akan mengakibatkan penurunan
resistensi terhadap infeksi bakteri. Angioneurotik
edema disebakan oleh kelainan bawaan defisiensi
inhibitor enzim esterase C1 yang melawan
pelepasan mediator dan proses inflamasi.
Defisiensi inhibitor ini mengakibatkan episode
edema yang sering pada berbagai bagian tubuh.
Penderita hemoglobulinuria paroksismal
nokturnal mengalami defisiensi decay-
accelerating factor (DAF) yang ditemukan pada
eritrosit (sel darah merah). Dalam keadaan
normal DAF akan melindungi eritrosit dari
kemungkinan lisis (penguraian). Dalam kelainan
ini, komponen-komponen C3b akan bertumpuk
pada molekul CR1 pada eritrosit, lalu bertindak
sebagai tempat pengikatan untuk komponen yang
kerjanya kemudian, dan mengakibatkan
terjadinya lisis. (Sylvia,2006)
b) Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder lebih sering menjumpai dibandingkan
defisiensi primer dan kerapkali terjadi sebagai akibat dari proses
42
penyakit yang mendasarnya atau akibat dari terapi terhadap
penyakit ini. Penyebab umum imonodefisiensi sekunder adalah
malnutrisi, stres kronik, luka bakar, uremia, diabetes miletus,
kelainan autoinum tertentu, kontak dengan obat-obatan serta zat
kimia yang imunotoksik. Penyakit AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan imonodefisiensi
sekunder yang paling sering ditemukan. Penyakit ini dibahas
secara rinci dalam BAB 50. Penderita imonosupresi dan sering
disebut sebagai hospes yang terganggu kekebalanya
(immunocompromised host). Intervensi untuk mengatasi
imunodefisiensi sekunder mencakup upaya menghilangkan faktor
penyebab, mengatasi keadaan yang mendasari dan menggunakan
perinsip-perinsip pengendalian infeksi yang nyaman.(Sylvia A
dkk,2006)
2. HIV-AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada
di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam
tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau
limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang
baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun
(bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) .
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi
43
sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-
masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia
mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak
sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah
berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan
jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya
keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik (Sylvia A dkk, 2006).
a) Etiologi dan patofisiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota
subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah
adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus
ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus
yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur
ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi
dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari
gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
44
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip
virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi
khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain
(Brooks, 2005).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah
limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer
informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan
enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa
dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu.
Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai
organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T
CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan
setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali
meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun.
Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat.
Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah
sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-
CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya
proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV
yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV
mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma.
Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam
45
plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin
daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-
bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini
komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Sylvia, 2006).
b) Manifestasi klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
5) Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisata
3) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
4) Kandidias orofaringeal
5) Herpes simpleks kronis progresif
6) Limfadenopati generalisata
7) Retinitis virus Sitomegalo
3. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi
berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun
46
(merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat
fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Hipersensitivitas
merupakan reaksi imun tipe I, namun berdasarkan mekanisme dan
waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi
empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu
dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.
(sylvia A dkk,2006)
a. Hipersensitivitas tipe 1
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas
langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit,
mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang
beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.
Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar
antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan
awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi
ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan
dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
b. Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi
berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk
melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel
c. Hipersensitivitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks
imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-
antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai
47
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi
normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah
besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan,
atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar
pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga
dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
d. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi
karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.
Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi
dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta
akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena
paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV
adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis
(delayed type hipersensitivity, DTH).
48
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perubahan Fungsi Sistem Hematologi
o Hematologi Eritropoiesis
Eritropoesis adalah proses pembentukan eritrosit (sel darah merah).
Pada janin dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum
tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang.
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di
sumsum tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi
yang dipengaruhi dan dirangsang oleh hormon eritropoietin.
Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang terutama dihasilkan
oleh sel-sel interstisium peritubulus ginjal, dalam respon terhadap
kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma, untuk digunakan oleh
sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin mempercepat produksi
eritrosit pada semua stadium terutama saat sel induk membelah diri
dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping mempercepat
pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan pengambilan besi,
mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang
dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi. (Jennifer,2012).
Gangguan Sel Darah Merah
o Anemia
Pengertian Anemia
Keseimbangan antara pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi dan
keluarnya eritrosit dari sirkulasi dipertahankan secara ketat,
sehingga dalam keadaan normal kadar hemoglobin di peredaran
darah relatif konstan. Bila keluarnya eritrosit dari sirkulasi maupun
penghancuran eritrosit meningkat tanpa diimbangi oleh
peningkatan produksi atau pelepasan eritrosit dalam sirkulasi
menurun, demikian pula bila kedua proses tersebut terjadi
bersama– sama akan menyebabkan anemia. (Price,sylvia 1995)
49
Hematologi Leucopoiesis
Leukopoiesis adalah proses pembentukan leukosit, yang dirangsang oleh
adanya colony stimulating (factor perangsang koloni). Colony stimulating
ini dihasilkan oleh leukosit dewasa.(siti,1998)
Gangguan Sel Darah Putih
o Leukemia
Pengertian
Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi
(pertumbuhan sel imatur) sel leukosit yang abnormal dan ganas,
serta sering disertai adanya leukosit dengan jumlah yang
berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia
trombositopenia. (Jennifer dkk,2012)
Hematolongi trombopoiseis
Perkembangan trombosit disum-sum tulang:
Morfologi trombopoiesis sangat berbeda dari eritropoesis dan
granulopoesis karena tidak terjadi sebagai suatu perkembangan sel
fungsional matang dari prekusor yang belum matang dengan perbedaan
criteria morfologis yang nyata dan melalui pembelahan pematangan yang
terjadi selanjutnya. Pada trombopoesis , terjadi proses poliploidisasi
berulang kali,yang menimbulkan berbagai tipe sel 2N-32N (64N) melalui
endoreduplikasi DNA ,yang setara dengan berbagai tahapan fungsi
terdapat tiga macam bentuk sel yang dapatdikenali.(Suzanne,2002)
Gangguan Pembekuan Darah
o Trombositopenia
50
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang
dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya
mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah
trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal
meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit
mencapai kurang dari 10.000/mL.(sylvia A dkk,2006)
Perubahan Imunitas
o Imunodefesiensi
Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau
defisiensi pada sel-sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau
komplemen. Gejala yang spesifik serta beratnya penyakit, usia saat
penyakit dimulai dan prognosis penyakit bergantung pada
komponen apa yang terkena dalam sistem imun dan sampai dimana
fungsi imun tersebut terganggu. Terlepas dari penyebab yang
mendasari kelainan imunodefisiensi, gejala utamanya mencakup
infeksi kronik atau infeksi berat kambuhan, infeksi karena
mikroorganisme yang merupakan flora normal tubuh, respon tubuh
yang buruk terhadap pengobatan infeksi dan diare kronik.
Imunodefisiensi dapat diklasifikasikan sebagai kelainan yang
primer atau sekunder dan dapat pula dipilah berdasarkan
komponen yang terkena pada sistem imun tersebut.(Sylvia A
dkk,2006)
o HIV-AIDS
51
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat
menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel
darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai
CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi
HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan
pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007c).
o Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi
berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun
(merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang
berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal.
Hipersensitivitas merupakan reaksi imun tipe I, namun berdasarkan
mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi,
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe
III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau
beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.(sylvia A dkk,2006)
52
53
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Hoffbrand, AV.dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Jennifer dkk,20012. Buku Ajar Patofisiologi (Professional Guide to
Pathophysiology) . Jakarta ; Penerbit buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2.
Jakarta:Penerbit buku Kedokteran EGC.
Robbins dkk,2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku
kedokteran EGC.
Siti.1998. Pengantar Hematologi dan Imuno hematologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI .
Suzzanne dkk,2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume2 . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sylvia A dkk,2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta:Penerbit Buku kedokteran EGC
54
55
56
57
58