perubahan fungsi imunitas dan hematologi

89
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya (Bakta, 2006). Jumlah darah didalam tubuh seseorang yang sehat atau orang dewasa sebanyak kira-kira 1/13 berat tubuh (Komandoko, 2013). Warna darah ditentukan oleh kadar O 2 (oksigen) dan kadar CO 2 (karbondioksda) di dalamnya. Darah arteri berwarna merah muda karena banyak O 2 yang berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah. Darah vena berwarna merah tua/gelap karena kurang oksigen (D’Hiru, 2013). Fungsi darah secara umum yaitu: bekerja sebagai sistem transpor dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia; eritrosit mengantarkan O 2 dan zat makanan yang diperlukan tubuh dan menyingkirkan CO 2 dan hasil buangan lainnya; leukosit sebagai perlindungan tubuh dengan menyediakan banyak bahan pelindung terhadap benda asing; plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan, menyegarkan cairan jaringan 1

description

mata kuliah imun dan hematologi untuk S1 keperawatan

Transcript of perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Page 1: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang

primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada

dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya (Bakta,

2006).

Jumlah darah didalam tubuh seseorang yang sehat atau orang dewasa

sebanyak kira-kira 1/13 berat tubuh (Komandoko, 2013). Warna darah

ditentukan oleh kadar O2 (oksigen) dan kadar CO2 (karbondioksda) di

dalamnya. Darah arteri berwarna merah muda karena banyak O2 yang

berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah. Darah vena berwarna

merah tua/gelap karena kurang oksigen (D’Hiru, 2013). Fungsi darah secara

umum yaitu: bekerja sebagai sistem transpor dari tubuh, mengantarkan

semua bahan kimia; eritrosit mengantarkan O2 dan zat makanan yang

diperlukan tubuh dan menyingkirkan CO2 dan hasil buangan lainnya;

leukosit sebagai perlindungan tubuh dengan menyediakan banyak bahan

pelindung terhadap benda asing; plasma membagi protein yang diperlukan

untuk pembentukan jaringan, menyegarkan cairan jaringan karena melalui

cairan ini semua sel dalam tubuh menerima makanannya; trombosit

berperan dalam pembekuan darah (bakta,2006)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perubahan fungsi sistem hematologi ?

2. Bagaimana hematologi eritropoiesis ?

3. Apa penyakit yang berhubungan dengan eritrosit?

4. Bagaimana hematologi leukopoiesis?

5. Bagaimana konsep penyakit yang berhungan dengan leukosit?

6. Bagaimana hematologi trombopoiesis ?

1

Page 2: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

7. Bagaimana konsep klinik peenyakit yang berhubungan dengan

trombosit ?

8. Bagaimana konsep penyakit yang berkaitan dengan perubahan

imunitas ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mampu menjelaskan perubahan fungsi hematologi dan konsep penyakit

yang berkaitan dengan sistem hematologi dan imunitas

2. Tujuan khusus

a. Mampu menjelaskan hematologi eritropoiesis

b. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan dengan

eritrosit

c. Mampu menjelaskan hematologi leukopoiesis

d. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan leukosit

e. Mampu menjelaskan hematologi trombopoiesis

f. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan dengan

trombosit

g. Mampu menjelaskan konsep penyakit yang berkaitan dengan

perubahan imunitas

D. Manfaat Penulisan

1. Mahasiswa dapat mengetahui konsep penyakit yang berkaitan

dengan sistem hematologi dan imunologi

2

Page 3: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perubahan Fungsi Sistem Hematologi

1. Hematologi Eritropoiesis

Eritropoesis adalah proses pembentukan eritrosit (sel darah merah). Pada

janin dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi

pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang. Eritropoiesis

adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di sumsum tulang hingga

terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi yang dipengaruhi dan

dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon

glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus

ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin

plasma, untuk digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin

mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat sel

induk membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di

samping mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan

pengambilan besi, mempercepat pematangan sel dan memperpendek

waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam

sirkulasi. (Jennifer,2012).

Siklus eritropoiesis adalah sebagai berikut

3

Page 4: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

a. Rubriblast

Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan

sel termuda dalam sel eritrosit.Sel ini berinti bulat dengan beberapa

anak inti dan kromatin yang halus.Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-

25 mikron.Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum

tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.

(Jennifer,2012)

b. Prorubrisit

Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast

basofilik.Ukuran lebih kecil dari rubriblast.Jumlahnya dalam keadaan

normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.(Jennifer,2012)

c. Rubrisit

Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast

polikromatik.Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan

menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-

daerah piknotik.Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel

lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak,

mengandung warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-

RNA) dan merah karena hemoglobin.Jumlah sel ini dalam sumsum

tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.(Jennifer dkk,2012)

d. Metarubrisit

Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast

ortokromatik.Inti sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang

menggumpal.Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin

sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru

dari RNA.Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%. (Jennifer

dkk,2012)

e. Retikulosit

Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan

penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk

4

Page 5: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam

sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan

dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit

selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 – 2,5% retikulosit.

(Jennifer dkk,2012)

f. Eritrosit

Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan

ukuran diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron.Bagian tengah

sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright,

eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung

hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan

dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.(Jennifer dkk,2012)

Faktor Pembentukan Eritropoesis

Ada 3 faktor yang mempengaruhi eritropoiesis:

a. Eritropoietin

Penurunan penyaluran 02 ke ginjal merangsang ginjal darah untuk

mengeluarkan hormon eritropoietin ke dalam darah, dan hormon ini

kemudian merangsang eritropoiesis di sumsum tulang.Eritropoietin

bekerja pada turunan sel-sel bakal yang belum berdiferensiasi yang

telah berkomitmen untuk menjaadi sel darah merah, yaitu merangsang

proliferasi dan pematangan mereka.

b. kemampuan respon sumsum tulang (anemia , perdarahan)

c. intergritas proses pematangan eritrosit(Jennifer dkk,2012)

Proses destruksi eritrosit terjadi secara normal setelah masa hidup

eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses ini terjadi melalui mekanisme

yang terdiri dari:

1.) Fragmentasi

Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa

bagian membrane eritrosit sehingga menyebabkan isi sel keluar

termasuk hemoglobin.

2.) Lisis Osmotik

5

Page 6: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya

kecenderungan mendorong air dan Na dari daerah konsentrasi

tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi air rendah di

plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih tinggi).Sehingga

protein plasma dapat dianggap “menarik air” ke dalam plasma.Hal

ini dapat mengakibat lisis eritrosit yang disebabkan efek osmotik

3.) Eritrofagositosis

Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang

dilakukan oleh monosit, neutrofil, makrofag. Fagositosis eritrosit

ini terutama terjadi pada eritrosit yang dilapisi

antibody.Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya

AutoImun Hemolitic Anemia (AIHA).

4.) Sitolisis

Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8,

C9). Sitolisis ini meruapakan indikator Peroxysimal Nocturnal

Haemoglobinuria (PNH).

5.) Denaturasi Hemoglobin

Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk

Heinz bodies. Eritrosit dengan Heinz bodies akan cepat didestruksi

oleh limpa. Heinz bodies melekat pada membran permeabilitas

membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga. (Jennifer

dkk,2012)

Struktur Eritrosit

Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Setiap milliliter

darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah

merah),yang secara klinis sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah

sebagai 5 juta per millimeter kubik (mm3). Eritrosit berbentuk lempeng

bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk piringan yang dibagian

tengah dikedua sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan bagian

tengah mengepeng bukan berlubang. dengan diameter 8 µm, tepi luar

tebalnya 2 µm dan bagian tengah 1 µm. (Jennifer dkk,2012)

6

Page 7: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Komponen eritrosit terdiri atas:

1. Membran eritrosit

2. Sistem enzim, yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway:

pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6-

phosphate dehydrogenase)

3. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen.(Jennifer

dkk,2012)

Fungsi Sel darah Merah

Fungsi sel darah merah adalah sebagai berikut

a.  Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh. Sel

darah merah akan mengikat oksigen dari paru–paru untuk diedarkan ke

seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan

tubuh untuk dikeluarkan melalui paru–paru. Pengikatan oksigen dan

karbon dioksida ini dikerjakan oleh hemoglobin yang telah bersenyawa

dengan oksigen yang disebut oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-

oksigen) jadi oksigen diangkut dari seluruh tubuh sebagai

oksihemoglobin yang nantinya setelah tiba di jaringan akan

dilepaskan: Hb-oksigen Hb + oksigen, dan seterusnya. Hb tadi akan

bersenyawa dengan karbon dioksida dan disebut karbon dioksida

hemoglobin (Hb + karbon dioksida Hb-karbon dioksida) yang mana

karbon dioksida tersebut akan dikeluarkan di paru-paru.

b. Berfungsi dalam penentuan golongan darah.

c. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah

merah mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka

hemoglobin di dalam sel darah merah akan melepaskan radikal bebas

yang akan menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta

membunuhnya.

d. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin

terdeoksigenasi, yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh

7

Page 8: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

darah dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah

tubuh yang kekurangan oksigen.(Hoffbrand dkk,2005)

Gangguan Sel Darah Merah

a. Anemia

1.) Pengertian Anemia

Keseimbangan antara pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi

dan keluarnya eritrosit dari sirkulasi dipertahankan secara

ketat, sehingga dalam keadaan normal kadar hemoglobin di

peredaran darah relatif konstan. Bila keluarnya eritrosit dari

sirkulasi maupun penghancuran eritrosit meningkat tanpa

diimbangi oleh peningkatan produksi atau pelepasan eritrosit

dalam sirkulasi menurun, demikian pula bila kedua proses

tersebut terjadi bersama– sama akan menyebabkan anemia.

(Price,sylvia 1995)

Anemia bukan merupakan diagnosa akhir dari suatu penyakit

akan tetapi selalu merupakan salah satu gejala dari suatu

penyakit dasar. Oleh karenanya apabila kita telah menentukan

adanya anemia maka menjadi kewajiban kita selanjutnya

menentukan etiologi dari anemianya. (Price,sylvia 1995)

Gejala Anemia

Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap

kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar

hemoglobin turun dibawah harga tertentu.Gejala umum

anemia ini timbul karena

1) Anoksia organ

2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya

daya angkut oksigen

a) Affinitas oksigen yang berkurang Untuk peningkatan

pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien,

dilakukan dengan cara mengurangi affinitas

8

Page 9: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

hemoglobinuntuk oksigen. Aksi ini meningkatkan

ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang

sama.

b) Peningkatan perfusi jaringan

Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang

berkurang pada jaringan dapat dikompensasi dengan

meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah

aktivitas vasomotor dan angiogenesis.

c) Peningkatan cardiac output

Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang

harus diekstraksi selama setiap sirkulasi, untuk

menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena

viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi

vaskular selektif mengurangi resistensi perifer, cardiac

output yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan

tekanan darah.

d) Peningkatan fungsi paru

Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan

frekuensi pernafasan yang mengurangi gradien

oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar,

dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih

banyak daripada cardiac output yang normal.

e) Peningkatan produksi sel darah merah

Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat

pada kondisi yang akut, 4-6 kali lipat pada kondisi

yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali

lipat pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini

dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin.

Produksi eritropoietin dihubungkan dengan

konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi eritropoietin

dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi

9

Page 10: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada

anemia yang berat.

Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi

dan penghancuran sel darah merah seimbang.

(Bakta,2009)

Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar

hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat

ringannya gejala umum anemia tergantung pada :

(Bakta.2009)

1) Derajat penurunan hemoglobin

2) Kecepatan penurun hemoglobin

3) Usia

4) Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

2.) Klasifikasi

Klasifikasi diadakan dengan maksud untuk memudahkan

menegakkan diagnosis, dengan demikian dapat merupakan

pedoman guna mencari penyakit yang sesungguhnya.

(Price,sylvia 1995)

a) Anemia aplastik

Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel

induk  di sumsum tulang yang dapat menimbulkan

kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah merah

yang dihasilkan tidak memadai. Pederita mengalami

pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, dan

trombosit.

Secara morfologi sel-sel darah merah terlihat normositik

dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau  hilang,

dan biopsi sumsung tulang menunjukkan suatu keadaan

yang disebut “pungsi kering” dengan hiplasia yang nyata

dan terjadi penggantian dengan jaringan lemak.

10

Page 11: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Langkah-langkah pangobatan terdiri dari

mengidentifikasi  dan menghilangkan agen penyebab.

Namun pada beberapa keadaan  tidak dapat ditemukan

agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik .

bebraapa kasusu seperti ini diduga merupakan keadaan

imunologis.

1) Penyebab-penyebab anemia aplastik : 

a) Agen antineoplastik

b) Terapi radiasi

c) Berbagai obat seperti anti konvulsan, pengobatan

tiroid, senyawa emas dan fenilbutason.

d) Benzena

e) Infeksi virus (khususnya virus khusunya virus

hepatitis)

2) Pengobatan

Terutama dipusatkan pada perawatan supportif

sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena

infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh

defesiensi besi sel lain merupakan penyebab utama

kematian, maka penting untuk mencegah perdarahan

dan infeksi. 

Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan

yang dilindungi (ruangan denan aliran udaran

mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang

baik, pada perdarahan dan/atau  infeksi perlu

dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana,

yaitu sel darah merah, granulosit, dan trombosit dan

antibiotik. Agen-agen peransang sumsung tulang,

seperti androgen diduga menimbulkan eritropoesis,

tetapi defesiensinya tidak menentu, penderita anemia

aplastik kronik dapat menyesuaikan diri dengan baik

11

Page 12: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

dan dapat dipertahankan Hb antara 8 dan 9 g dengan

transfusi darah periodik.

b) Anemia Defesiensi Besi

Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai

anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif

pada sintesis hemoglobin. Difisensi besi merupakan

penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terdapat

pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah

sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi

selama hamil. (Bakta,2006)

1) Penyebab lain defesiensi besi adalah:

a) Asupan besi yang tidak cukup, misalnya pada bayi

yang  hanya diberi makan susu belaka sampai usia

12 – 24 bulan dan pada individu tertentu yang

hanya memakan sayuran saja.

b) Gangguan absobsi, seperti setelah gastrektomi

c) Kehilangan darah yang menetap seperti pada

perdarahan pada saluran cerna yang lambat karena

polip, Neoplasma, gastritis, varises osefagus, makan

aspirin, dan hemoroid.

Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa

mengandung rata-rata 3 sampai 5 g besi, bergantung

pada jenis kelamin dan besar tubuhnya, hampir

duapertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang

dilepas pada proses penuaan dan kematian sel dan

diangkut melalui transferin plasma kesumsum

tulang untuk eritripoesis. Dengan kekecualian

dalam jumlah yang kecil sekali dalam mioglobin

(otot) dan dalam enzim-enzim hem, seperti sisanya

disimpan dalam  hati, lipa dan dalam sumsung

12

Page 13: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

tulang sebagai feretin dan sebagai homosiderin

untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.

2) Gejala-gejala

Gejala-gejala yang ditunjukkan; (besi plasma lebih

kecil dari 40 mg/100 ml; Hb 6-7 mg/100ml)

mempunyai rambut yang rapuh, dan halus serta

kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya

berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu,

atropi papils lidah mengakibatkan lidah tampak

pucat, licin, mengkilap, merah daging, meradang

dan sakit. Dapat pula timbul stomatitis angularis,

pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit

disudut-sudut mulut.(bakta,2006)

3) Pemeriksaan

Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah

merah normal atau hampir normal dan kadar

hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah

perifer, eritrosit mikrositik dan hipokrom (MCP

dan MCHC berkurang, dan MCH berkurang)

disertai dengan poikilisitosis dan anisosotosis.

Jumlah retikulosit mungkin normal atau

berkurang. Kadar besi berkurang walaupun

kapasitas mengikat  besi serum total meningkat.

4) Pengobatan

Pengobatan defisiensi besi mengharuskan

identifikasi dan menemukan penyebab dasar

anemia. Pembedahan mungkin deperlukan untuk

menghambat perdarahan aktif yang diakibatkan

oleh polip, tukak, keganasan, dan hemoroid;

perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi

yang hanya diberi susu atau individu dengan

13

Page 14: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

idiosinkrasi makanan atau yang menggunakan 

aspirin dalam dosis besar.

Walaupun modifikasi diet dapat menambah basi

yang tersedia (misalnya hati), masih dibutuhkan

suplemen besi untuk meningkatkan  hemoglobin

dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia

dalam dalam bentuk parenteral  dan oral. Sebagian

besar penderita memberi respon yang baik

terhadap senyawa senyawa oral seperti ferosulfat.

Preparat  besi parenteral  digunakan secara sangat

selektif, sebaba harganya mahal dan mempunyai

insidens besar tejadi reaksi yang merugikan.

c) Anemia Megeblastik

Anemia megaloblastik diklasfikasikan menurut

morfologinya sebgai anemia makrositik

normokrom. (Robbins dkk,2007)

1) Penyebab

Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh

defesiensi vitamin B12  dan asam folat yang

mengakibatkan sitesis DNA terganggu. Defesiensi ini

mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsobsi,

kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada

anemia pernisiosa dan pos gastrektomi), infestasi

prasit, penyakit usus, dan keganansa, serta agen

kemoterapik. Invidu dengan infeksi cacing pita

(dengan, Diphilloborithrium latum) akibat makan ikan

segar yang terinfeksi, cacing pita berkompertisi

dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B¬12  dari

makanan. Yang mengakibatkan anemia megaloblastik.

2) Gejala-gejala

Selain gejala-gejala anemia seperti yang dijelaskan

14

Page 15: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

sebelumnya, penderita anemia megaloblastik sekunder

karena  defesiensi folat  dapat seperti malnutrisi dan

mengalami glositis berat (radang lidah disertaai rasa

sakit), diare dan kehilangan nafsu makan. Kadar folat

serum juga menurun (<4ng/ml). Hitung retikulosit

biasanyan berkurang disertai penurunan hematokrit

dan hemoglobin.

3) Pengobatan

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya,

pengobatan bergantun pada identifikasi dan

menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini

adalan memperbaiki defisiensi diet dan terpi pengganti

dengan asam folat atau vitamin B12.  penderita yang

kecanduan alkohol yang dirawat dirumah sakit sering

memberi respon “spontan’ bila diberikan diet

seimbang.

2. Hematologi Leucopoiesis

Leukopoiesis adalah proses pembentukan leukosit, yang dirangsang

oleh adanya colony stimulating (factor perangsang koloni). Colony

stimulating ini dihasilkan oleh leukosit dewasa.(siti,1998)

Leukosit dibentuk di sumsum tulang terutama seri granulosit,

disimpan dalam sumsum tulang sampai diperlukan dalam sistem

sirkulasi. Bila kebutuhannya meningkat maka akan menyebabkan

granulosit tersebut dilepaskan. Proses pembentukan limfosit,

ditemukan pada jaringan yang

berbeda seperti sumsum tulang, thymus, limpa dan limfonoduli.

Proses pembentukan limfosit dirangsang oleh thymus dan paparan

antigen.(siti,1998)

Bertambahnya jumlah leukosit terjadi dengan mitosis (suatu proses

pertumbuhan dan pembelahan sel yang berurutan). Sel-sel ini mampu

membelah diri dan berkembang menjadi leukosit matang dan

15

Page 16: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

dibebaskan dari sumsum tulang ke peredaran darah. Dalam sirkulasi

darah, leukosit bertahan kurang lebih satu hari dan kemudian masuk

ke dalam jaringan. Sel ini bertahan di dalam jaringan hingga beberapa

minggu, beberapa bulan, tergantung pada jenis leukositnya (Sacher,

2004).Pembentukan leukosit berbeda dengan pembentukan eritrosit.

Leukosit ada 2 jenis, sehingga pembentukannya juga sesuai dengan

seri leukositnya. Pembentukan sel pada seri granulosit

(granulopoiesis) dimulai dengan fase mieloblast, sedangkan pada seri

agranulosit ada dua jenis sel yaitu monosit dan limfosit. Pembentukan

limfosit (limfopoiesis) diawali oleh fase limphoblast, sedangkan pada

monosit (monopoiesis) diawali oleh fase monoblast.Granulopoiesis

adalah evolusi paling dini menjadi myeloblas dan akhirnya menjadi

sel yang paling matang, yang disebut basofil, eosinofil dan neutrofil.

Proses ini memerlukan waktu 7 sampai 11 hari. Mieloblas,

promielosit, dan mielosit semuanya mampu membelah diri dan

membentuk kompartemen proliferasi atau mitotik. Setelah tahap ini,

tidak terjadi lagi pembelahan, dan sel mengalami pematangan melalui

beberapa fase yaitu: metamielosit, neutrofil batang dan neutrofil

segmen. Di dalam sumsum tulang sel ini mungkin ada dalam jumlah

berlebihan yang siap dibebaskan apabila diperlukan. Sel-sel ini dapat

menetap di sumsum tulang sekitar 10 hari, berfungsi sebagai

cadangan apabila diperlukan(siti,1998).

Limfopoiesis adalah pertumbuhan dan pematangan limfosit. Hampir

20% dari sumsum tulang normal terdiri dari limfosit yang sedang

berkembang. Setelah pematangan, limfosit masuk ke dalam pembuluh

darah, beredar dengan interval waktu yang berbeda bergantung pada

sifat sel, dan kemudian berkumpul di kelenjar limfatik (Sacher, 2004).

Monopoiesis berawal dari sel induk pluripoten menghasilkan berbagai

sel induk dengan potensi lebih terbatas, diantaranya adalah unit

pembentuk koloni granulosit yang bipotensial. Turunan sel ini

menjadi perkusor granulosit atau menjadi monoblas. Pembelahan

monoblas menghasilkan promonosit, yang sebagiannya berpoliferasi

16

Page 17: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

menghasilkan monosit yang masuk peredaran. Yang lain merupakan

cadangan sel yang sangat lambat berkembang. Waktu yang

dibutuhkan sel induk sampai menjadi monosit adalah sekitar 55 jam.

Monosit tidak tersedia dalam sumsum dalam jumlah besar, namun

bermigrasi ke dalam sinus setelah dibentuk. Monosit bertahan dalam

pembuluh darah kurang dari 36 jam sebelum akhirnya masuk ke

dalam jaringan .(siti,19980

Faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit

Jumlah leukosit dapat meningkat yang biasa disebut leukositosis,

sebaliknya dapat menurun disebut leukopenia . Jumlah leukosit

dapat naik dan turun sesuai dengan keadaan. Dalam tubuh terjadi

infeksi, biasanya jumlah sel ini meningkat, jika tubuh mengalami

gangguan dalam memproduksi leukosit, hal ini menyebabkan

tubuh kita mudah diserang penyakit.

Perbedaan jumlah masing-masing sel leukosit dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, salah satu faktornya adalah faktor fisiologis,

yaitu masa hidup dari masing-masing sel leukosit tersebut. Masa

hidup sel leukosit yang memiliki granula relatif lebih singkat

dibandingkan sel leukosit yang tidak memiliki granula. Masa

hidup sel leukosit yang memiliki granula adalah 4-8 jam dalam

sirkulasi darah dan 4-5 hari di dalam jaringan. Hal ini disebabkan

karena sel leukosit yang memiliki granula lebih cepat menuju

daerah infeksi dan melakukan fungsinya dari pada sel leukosit

yang tidak memiliki granula.

Leukopenia disebabkan berbagai kondisi, termasuk stress

berkepanjangan, infeksi virus, penyakit atau kerusakan sumsum

tulang, radiasi, atau kemoterapi. Penyakit sistemik yang parah

misalnya lupus eritematosus, penyakit tiroid, sindrom Cushing,

dapat menyebabkan penurunan jumlah leukosit. Semua atau salah

satu jenis sel saja yang dapat terpengaruh (Corwin,

2009).Penurunan jumlah leukosit dapat terjadi karena infeksi usus,

17

Page 18: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

keracunan bakteri, septicoemia, kehamilan, dan partus. Jumlah

leukosit dipengaruhi oleh kondisi tubuh, stres, kurang makan atau

disebabkan oleh faktor lain.(Siti,1998)

Fungsi Leukosit

Beberpa fungsi leukosit adalah sebagai berikut

1) Berfungsi menjaga kekebalan tubuh sehingga tak mudah

terserang penyakit

2) Melindungi badan dari serangan mikroorganisme pada jenis

sel darah putih granulosit dan monosit

3) Mengepung darah yang sedang terkena cidera atau infeksi 

4) Menangkap dan menghancurkan organisme hidup 

5) Menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda lain atau

bahan lain seperti kotoran, serpihan-serpihan dan lainnya. 

6) Mempunyai enzim yang dapat memecah protein yang

merugikan tubuh dengan menghancurkan dan membuangnya 

7) Menyediakan pertahanan yang cepat dan juga kuat terhadap

penyakit yang menyerang.

8) Sebagai pengangkut zat lemak yang berasal dari dinding usus

melalui limpa lalu menuju ke pembuluh darah

9) Pembentukan Antibodi di dalam tubuh. (siti,1998)

Gangguan Sel Darah Putih

a. Leukemia

1) Pengertian

Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi

(pertumbuhan sel imatur) sel leukosit yang abnormal dan

ganas, serta sering disertai adanya leukosit dengan jumlah

yang berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia

trombositopenia. (Jennifer dkk,2012)

Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi (bertambah

banyak atau multiplikasi) patologi dari sel pembuat darah

18

Page 19: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. (Robbins

dkk,2007

Jadi dapat disimpulkan bahwa leukemia adalah penyakit

akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang abnormal dan

ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah yang

berlebihan dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan

biasanya berakhir fatal.

19

Page 20: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

2) Etiologi Dan Predisposisi

Terjadinya leukemia banyak hal yang mempengaruhi diantaranya :

a) Faktor Eksogen

1. Radiasi, khususnya yang mengenai sumsum tulang,

kemungkinan leukemia meningkat pada penderita yang diobati

dengan radiasi atau kemoterapi.

2. Zat kimia, seperti benzene, arsen, kloramfenikol,

fenilbutazone, dan agen anti neoplastik. Terpapar zat kimia

dapat menyebabkan dysplasia sumsum tulang belakang,

anemia aplastik dan perubahan kromosom yang akhirnya dapat

menyebabkan leukemia.

3. Infeksi virus, pada awal tahun 1980 diisolasi virus HTLV-1

(Human T Leukemia Virus )dari leukemia sel T manusia pada

limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak itu diisolasi

dari sample serum penderita leukemia sel T.(Jennifer

dkk,2012)

b) Faktor Endogen

1) Bersifat herediter, insiden meningkat pada beberapa penyakit

herediter seperti sindrom down mempunyai insiden leukemia

akut 20 x lipat dan riwayat leukemia dalam keluarga . insiden

leukemia lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang

terserang, dengan insiden yang meningkat sampai 20% pada

kembar monozigot.

2) Kelainan genetic, mutasi genetic dari gen yang mengatur sel

darah yang tidak diturunkan.(Jennifer dkk,2012)

3) Patofisiologi

Leukemia adalah jenis gangguan pada system hemapoetik yang fatal

dan terkait dengan sumsum tulang dan pembuluh limfe ditandai

dengan tidak terkendalinya proliferasi dari leukosit. Jumlah besar

dari sel pertama-tama menggumpal pada tempat asalnya ( granulosit

dalam sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan menyebar

ke organ hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih20

Page 21: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

besar sehingga mengakibatkan hematomegalidan

splenomegali.

Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringa

perifer serta mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya,

hematopoesis normal terhambat, mengakibatkan penurunan jumlah

leukosit, eritrosit, dan trobosit. Eritrosit dan trombosit jumlahnya

dapat rendah atau tinggi tetapi selalu terdapat sel imatur.

Proliferasi dari satu jenis sel sering mengganggu produksi normal sel

hematopoetik lainnya dan mengarah ke pembelahan sel yang cepat

dan sitopenia atau penurunan jumlah. Pembelahan dari sel darah

putih meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi karena

penurunan imun.

Trombositopeni mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan oleh

ptekie dan ekimosis atau perdarahan dalam kulit, epistaksis atau

perdarahan hidung, hematoma dalam membrane mukosa, serta

perdarahan saluran cerna dan saluran kemih. Tulang mungkin sakit

dan lunak yang disebabkan oleh infark tulang. (Jennifer dkk,2012).

4) Klasifikasi Leukemia

Leukemia dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya

yaitu :

a) Leukemia Mielositik Akut (LMA)

LMA disebut juga leukemia mielogenus akut atau

leukemia granulositik akut (LGA) yang di

karakteristikkan oleh produksi berlebihan dari

mieloblast. LMA sering terjadi pada semua usia,

tetapi jarang terjadi pada anak-anak. Mieloblast

menginfiltrasi sumsum tulang dan ditemukan dalam

darah. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya

anemia, perdarahan, dan infeksi, tetapi jarang

disertai keterlibatan organ lain.

b) Leukemia Limfositik Akut (LLA)

21

Page 22: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

LLA sering menyerang pada masa anak – anak

dengan presentase 75% - 80%. LLA menginfiltrasi

sumsum tulang oleh sel limfoblastik yang

menyebabkan anemia, memar (trombositopeni), dan

infeksi (neutropenia). Limfoblas biasanya di

temukan dalam darah tepi dan selalu ada di sumsum

tulang, hal ini mengakibatkan terjadinya

limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali,

tetapi 70% anak dengan leukemia limfatik akut kini

bisa disembuhkan.

c) Leukemia Limfositik Kronis (LLK)

LLK terjadi pada manula dengan limfadenopati

generalisata dan peningkatan jumlah leukosit disertai

limfositosis, Perjalanan penyakit biasanya jinak dan

indikasi pengobatan adalah hanya jika timbul gejala.

d) Leukemia Mielositik Kronis (LMK)

LMK sering juga disebut leukemia granulositik

kronik (LGK), gambaran menonjol adalah :

1) Adanya kromosom Philadelphia pada sel-sel

darah. Ini adalah kromosom abnormal yang

ditemukan pada sel-sel sumsum tulang.

2) Krisis blast fase yang dikarakteristikkan oleh

poroliferasi tiba-tiba dari jumlah besar

mieloblast. (Price,Sylvia 1999)

22

Page 23: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

5) Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala awal leukemia dapat termasuk demam,

anemia, perdarahan, kelemahan, nyeri tulang atau sendi

dengan atau tanpa pembengkakan. Purpura merupakan hal

yang umum serta hepar dan lien membesar. Jika terdapat

infiltrasi kedalam susunan saraf pusat dapat ditemukan

tanda meningitis. Cairan serebro spinal mengandung protein

yang meningkatkan dan glukosa yang menurun. Tampaknya

juga terdapat beberapa hubungan antara leukemia dan

sindrom down (mongolisme) :

a) Pucat

b) Malaise

c) Keletihan(letargi)

d) Perdarahan gusi

e) Mudah memar

f) Petekia dan ekimosis

g) Nyeri abdomen yang tidak jelas

h) Berat badan turun

i) Iritabilitas

j) Muntah

k) Sakit kepala (pusing)(Jennifer,2012)

3. Hematolongi trombopoiseis

Perkembangan trombosit disum-sum tulang:

Morfologi trombopoiesis sangat berbeda dari eritropoesis dan

granulopoesis karena tidak terjadi sebagai suatu perkembangan

sel fungsional matang dari prekusor yang belum matang dengan

perbedaan criteria morfologis yang nyata dan melalui

23

Page 24: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

pembelahan pematangan yang terjadi selanjutnya. Pada

trombopoesis , terjadi proses poliploidisasi berulang kali,yang

menimbulkan berbagai tipe sel 2N-32N (64N) melalui

endoreduplikasi DNA ,yang setara dengan berbagai tahapan

fungsi terdapat tiga macam bentuk sel yang dapatdikenali.

(Suzanne,2002)

1) Megakarioblas.

Badan sel biasanya lebih besar daripada badan sel

proeiritroblas. Perbandingan antara inti dan sitoplasma

berubah karena inti menjadi lebih besar. Kepadatan

kromatin inti berbeda-beda . Nukleolus sebagian besar

tertutup, tetapi terdapat dalam jumlah besar. Pada penyatuan

inti yang mencolok , terdapat sel yang berinti dua hingga

empat. Sitoplasma tampak nasofilik kuat,terbebas dari

granulasasi,dan dibagian tepi kadang-kadang terlihat sedikit

menjuntai. Sering terdapat trombosit yang melekat.

2) Promegakariosit

Promegakarisit adalah megakariosit yang setengah matang .

Produk poliploidasi megakarioblas yang berdemensi

besar .Inti sel sangat besar dan sedikit berlobus selain

bentuk dengan kecenderungan segmentasi (berlobus) yang

dapat dikenali dengan jelas . Kromatin inti sebagian besar

teranyam rapat,nukleoulus yang ada kebanyakan

terselubungi. Sitoplasma tampak basofilik dengan beberapa

24

Page 25: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

area azurofilik, yang menunjukan permulaan aktivitas

trombopoesis.Luassitoplasma bertambah secara

nyata.Ditepi sel,terdapat trobosit yang melekat.

3) Megakariosit yang matang

Sel terbesar yang dijumpai pada hematopoiesis disum-sum

tulang dalam kondisi normal. Serangkaian gumpalan

(haustra) inti yang khaster bentuk dari sitoplasma azurofilik

ditutupi bintik – bintik halus, sebagai perwujudan terakhir

pembentukan trombosit yang aktif. Perluasan dan

penonjolan bagian sitoplasma azurofilik menandakan suatu

persiapan pelepasan trombosit.

Sebagian kecil megakariosit (dibawah 10%) menunjukan

inti tungal atau ganda yang berbentuk bulat-oval dan kecil

(yang lebih dikenal sebagai mikromegakariosit) pada

pengecilan diameter sel. Elemen-elemen ini juga memiliki

aktivitas trombopoetik. Suatu fenomena yang dikenal

sebagai empiropolesis, yaitu pengembaraan granulosit

matang melalui sitoplasma megakariosit tanpa menganggu

integrasi sel, yang tidak mengindikasikan suatu proses

fagositosis.

Stadium pelepasan trombosit

25

Page 26: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Struktur sitoplasma megakariosit yang berada pada tahap ini, dan

saling berhubungan, menunjukan penjuluran yang tidak

beraturan dan bertambahnya peluruhan.

Pada keadaan ini , terbentuk makro partikel yang tak terbilang

banyaknya dan selanjutnya mikro partikel dengan granulasi

azurofilik halus yang merupakan trombosit matang. Sisa inti

yang tidak mengandung sitoplasma tetap pada sampai

dihancurkan oleh makrofag disum-sum tulang (perhatian:

kesalahan diagnostic dapat terjadi pada pencarian sel-sel asing).

1) Trombosit (keping-kepingdarah).

Produk pematangan sitoplasma megakariosit, yang

disemburkan kedalam darah perifer .Bentuk element terkecil

dalam sediaan apus darah (Sekitar 1/5 hingga 1/4 besar

eritrosit), yang terdiri atas sitoplasma basofilik pucat

(hialomer) dan granulasi azurofilik (granulomer). Dalam

keadaan fisiologis, autoagregasi pada sediaan apus darah

tanpa penambahan EDTA menimbulkan penyatuan erat

beberapa trombosit dalam preparatapus.

Fungsi Trombosit

Trombosit memiliki banyak fungsi, khususnya dalam mekanisme

hemostasis. Berikut fungsi dari trombosit (A.V Hoffbrand et al,

2005): 

1) mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh

darah kecil dengan caraadhesi, sekresi, agregasi, dan

26

Page 27: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

fusi (hemostasis).Sitotoksis sebagai sel efektor

penyembuhan jaringan,Berperan dalam respon

inflamasi.

Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat

dijelaskan sebagai berikut : Adanya pembuluh darah

yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel

endotelnya rusak dan terpaparnya jaringan ikat

kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh

darah yang mengalami trauma akan mengerut

(vasokontriksi). Kemudian trombosit melekat pada

jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan

faktor von Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX

(proses adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi

granula trombosit mencakup ADP, serotonin,

tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom

(degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat

satu sama lain atas bantuan ADP dan tromboksan A2

(proses agregasi). Kemudian dilanjutkan

pembentukan kompleks protein pembekuan

(prokoagulan). Sampai tahap ini terbentuklah

hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan

ini akan dilisiskan jika jaringan yang rusak telah

mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru.

2) Mencegah Pendarahan

27

Page 28: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Pembuluh darah merupakan penghalang pertama

dalam kehilangan darah. Jika mengkerut sehingga

aliran darah keluar menjadi lebih lambat dan proses

pembekuan bisa dimulai. Pada saat yang sama,

kumpulan darah diluar pembuluh darah (hematom)

akan menekan pembuluh darah dan membantu

mencegah perdarahan lebih lanjut.Segera setelah

pembuluh darah robek, serangkaian reaksi akan

mengaktifkan trombosit sehingga trombosit akan

melekat di daerah yang mengalami

cedera. Perekat yang menahan trombosit pada

pembuluh darah ini adalah faktor von Willebrand,

yaitu suatu protein plasma yang dihasilkan oleh sel-

sel di dalam pembuluh darah. Kolagen dan protein

lainnya (terutama trombin), akan muncul di daerah

yang terluka dan mempercepat perlekatan trombosit.

Trombosit yang tertimbun di daerah yang terluka ini

membentuk suatu jaring yang menyumbat luka;

bentuknya berubah dari bulat menjadi berduri dan

melepaskan protein serta zat kimia lainnya yang akan

menjerat lebih banyak lagi trombosit dan protein

pembekuan.

Trombin merubah fibrinogen (suatu faktor

pembekuan darah yang terlarut) menjadi serat-serat

28

Page 29: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

fibrin panjang yang tidak larut, yang terbentang dari

gumpalan trombosit dan membentuk suatu jaring

yang menjerat lebih banyak lagi trombosit dan sel

darah.

Serat fibrin ini akan memperbesar ukuran bekuan dan

membantu menahannya agar pembuluh darah tetap

tersumbat. Rangkaian reaksi ini melibatkan

setidaknya 10 faktor pembekuan darah. Suatu

kelainan pada setiap bagian proses hemostatik bisa

menyebabkan gangguan. Pembuluh darah yang rapuh

akan lebih mudah mengalami cedera atau tidak dapat

mengkerut. 

Pembekuan tidak akan berlangsung secara normal jika

jumlah trombosit terlalu sedikit, trombosit tidak

berfungsi secara normal atau terdapat kelainan pada

faktor pembekuan. Jika terjadi kelainan pembekuan,

maka cedera yang ringan pun bisa menyebabkan

kehilangan darah yang banyak. Sebagian besar faktor

pembekuan dibuat di dalam hati, sehingga kerusakan

hati yang berat bisa menyebabkan kekurangan faktor

tersebut di dalam darah.

Vitamin K (banyak terdapat pada sayuran berdaun

hijau) sangat penting dalam pembuatan bentuk aktif

dari beberapa faktor pembekuan. Karena itu

29

Page 30: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

kekurangan zat gizi atau obat-obatan yang

mempengaruhi fungsi normal vitamin K (misalnya

warfarin) bisa menyebabkan perdarahan. Kelainan

perdarahan juga bisa terjadi jika pembekuan yang

berlebihan telah menghabiskan sejumlah besar faktor

pembekuan dan trombosit atau jika suatu reaksi

autoimun menghalangi aktivitas faktor pembekuan.

Reaksi yang menyebabkan terbentukan suatu

gumpalan fibrin diimbangi oleh reaksi lainnya yang

menghentikan proses pembekuan dan melarutkan

bekuan setelah keadaan pembuluh darah membaik.

Tanpa sistem pengendalian ini, cedera pembuluh

darah yang ringan bisa memicu pembekuan di seluruh

tubuh. Jika pembekuan tidak dikendalikan, maka

pembuluh darah kecil di daerah tertentu bisa

tersumbat. Penyumbatan pembuluh darah otak bisa

menyebabkan stroke; penyumbatan pembuluh darah

jantung bisa menyebabkan serangan jantung dan

bekuan-bekuan kecil dari tungkai, pinggul atau perut

bisa ikut dalam aliran darah dan menuju ke paru-paru

serta menyumbat pembuluh darah yang besar di paru-

paru (emboli pulmoner).

Gangguan Pembekuan Darah

1) Trombositopenia

30

Page 31: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit

kurang dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah. Darah

biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000

trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL,

bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya

gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang

dari 10.000/mL.(sylvia A dkk,2006)

a) Etiologi

Banyak hal yang dapat melatarbelakangi terjadinya

trombositopenia. Pada kondisi normal, sumsum tulang

akan memproduksi dan menggantikan platelet yang sudah

rusak. Tetapi jika mengalami trombositopenia, jumlah

platelet dalam darah penderita tidak mencukupi angka

yang seharusnya.

Kekurangan ini dapat disebabkan oleh produksi platelet

yang menurun atau proses hancurnya platelet lebih cepat

dari proses produksi. Kondisi ini dapat dipicu oleh

beberapa faktor yang meliputi:

1) Penyakit tertentu, seperti kanker darah, limfoma,

atau purpura trombositopenik trombotik.

2) Kelainan darah, contohnya anemia aplastik.

3) Konsumsi alkohol yang berlebihan.

4) Proses kemoterapi atau radioterapi.

5) Infeksi virus, seperti HIV, cacar air, dan hepatitis C.

31

Page 32: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

6) Infeksi bakteri dalam darah.

7) Obat-obatan tertentu, misalnya heparin, kina, atau

obat antikonvulsan.

8) Kondisi autoimun, contohnya lupus.

Trombositopenia juga dapat muncul ketika banyak

platelet yang terperangkap dalam limfa yang

membengkak. Ini bisa terjadi pada seorang wanita selama

masa kehamilan. Tetapi kondisi ini akan berangsur-

angsur membaik setelah wanita tersebut melahirkan.

b) Patofisiologi

Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui

berbagai cara yang mengakibatkan semakin lamanya

perdarahan. Obat-obat seperti aspirin, indometasin,

fenilbutazon menghambat agregasi dan reaksi pelepasan

trombosit, dengan demikian menyebabkan perdarahan

yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal.

Pengaruh aspirin tunggal dapat berlangsung selama 7 hari

hingga 10 hari.

Protein plasma, seperti yang ditemukan pada

makroglobulinemia dan myeloma multiple menyelubungi

trombosit, mengganggu adhesi trombosit, retraksi

bekuan, dan polimerasi fibrin.(silvia A dkk,2006)

c) Manifestasi Klinis

32

Page 33: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Tanda dan gejala trombositopenia antara lain

a. Adanya petekhie pada ekstermitas dan tubuh

b. Menstruasi yang banyak Perdarahan pada mukosa,

mulut, hidung, dan gusi

c. Muntah darah dan batuk darah

d. Perdarahan Gastro Intestinal

e. Adanya darah dalam urin dan feses

f. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP(Sylvia

A dkk,2006)

B. Perubahan Imunitas

1. Imunodefesiensi

Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau

defisiensi pada sel-sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau

komplemen. Gejala yang spesifik serta beratnya penyakit, usia saat

penyakit dimulai dan prognosis penyakit bergantung pada komponen

apa yang terkena dalam sistem imun dan sampai dimana fungsi imun

tersebut terganggu. Terlepas dari penyebab yang mendasari kelainan

imunodefisiensi, gejala utamanya mencakup infeksi kronik atau

infeksi berat kambuhan, infeksi karena mikroorganisme yang

merupakan flora normal tubuh, respon tubuh yang buruk terhadap

pengobatan infeksi dan diare kronik. Imunodefisiensi dapat

diklasifikasikan sebagai kelainan yang primer atau sekunder dan dapat

33

Page 34: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

pula dipilah berdasarkan komponen yang terkena pada sistem imun

tersebut.(Sylvia A dkk,2006)

a) Imunodefisiensi Primer

Imunodefisiensi primer merupakan kelainan langka yang

penyebabnya bersifat genetik dan terutama ditemukan pada bayi

serta anak-anak kecil.gejala biasanya timbul pada awal kehidupan

setelah perlindungan oleh antibodi maternal menurun.tanpa terapi,

bayi dan anak-anak yang menderita kelainan ini jarang dapat

bertahan hidup sampai usia dewasa. Kelainan ini dapat mengenai

satu atau lebih komponen pada sistem imun. (sylvia A dkk,2006)

1) Disfungsi Fagositik

a.) Manifestasi Klinis

Kelainan pada sel-sel fagositik akan bermanifestasi dalam

bentuk peningkatan insidensi infeksi bakterial. Di samping

infeksi bakterial, penderita sindrom

hiperimunoglobulinemia E (HIE) yang dahulunya dikenal

sebagai sindrom Job akan menderita pula infeksi oleh

Candida dan virus herpes simpleks atau herpes zoster.

Penderita sindrom ini akan terkena furunkolosis rekuren,

abses kulit, dermatitis ekzematoid kronik, bronkitis,

pneumonia, otitis media kronik dan sinusitis. Sel-sel darah

putih tidak mampu menghasilkan respons inflamasi

terhadap infeksi kulit; keadaan ini mengakibatkan abses

dingin yang letaknya dalam dan kurang menunjukkan

34

Page 35: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

tanda-tanda serta gejala klasik inflamasi (yaitu,

kemerahan, panas dan nyeri).(sylvia A dkk,2006)

2) Defisiensi Sel-B

Ada dua tipe kelainan bawaan defisiensi sel-B. Tipe yang

pertama terjadi karena kurangnya diferensiasi prekursor sel-B

menjadi sel-B matur yang mengakibatkan kurangnya sel

plasma dan tidak tampaknya pusat-pusat germinal dari semua

jaringan limfoid. Fenomena ini menyebabkan defisiensi total

produksi antibodi terhadap bakteri, virus dan mikroorganisme

patogen lain yang menginvasi tubuh penderitanya. Bayi yang

lahir dengan kelainan ini akan menderita infeksi berat yang

terjadi segera setelah bayi tersebut dilahirkan. Sindrom ini

dinamakan sex-linked agammaglobulinemia (penyakit

Bruton) karena semua jenis antibodi menghilang dari dalam

plasma pasien. (Sylvia A,2006)

a.) Manifestasi Klinis

CVID merupakan kelainan imunodefisiensi primer yang

paling sering terlihat pada usia dewasa. Laki-laki dan

wanita terkena sama seringnya. Meskipun awitannya dapat

terjadi pada segala usia, kelainan ini paling sering dijumpai

pada usia dekade kedua. Lebih dari 50% penderita CVID

akan mengalami anamia pernisiosa. Gambaran umum yang

ditemukan pada pemeriksaan mencakup hiperplasia

limfoid usus halus dan lien disamping atrofi lambung yang

35

Page 36: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

terdeteksi melalui biopsi lambung. Kerap kali pasien

CVID juga mengalami penyakit autoimun yang lain seperti

artritis dan hipotiroidisme.

Penderita CVID rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul

seperti Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia

dan Staphylococcus aureus. Infeksi saluran nafas yang

sering terjadi secara khas akan berkembang menjadi

bronkiektasis progresif kronik dan kegagalan paru. Infeksi

oleh Giardia lamblia juga sering dijumpai pada penderita

CVID ini. Infeksi oportunistik dengan Pneumocystis

carinii hanya terlihat pada penderita yang juga mengalami

defisiensi dalam imunitas sel-T.(sylvia A , 2006)

3) Defisiensi sel-T

a.) Patofisiologi dan Penatalaksanaan

Hilangnya fungsi sel-T biasanya disertai dengan

hilangnya sebagian aktivitas sel-B karena peranan

regulasi yang dilaksanakan oleh sel-T dalam sistem

imun. Status sel-T dapat dievaluasi lewat hitung

limfosit darah tepi. Limfosipenia dapat menandakan

defisit sel-T. Sel-T merupakan 65%hingga 85% dari

total limfosit darah tepi. Evaluasi untuk mengetahui

apakah sel T mampu memproduksi respons sel-T dapat

dilakukan melalui pemeriksaan sensitisasi dermal

36

Page 37: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

penderitanya atau stimulasi mesing-masing sel T

secara in vitro.

Sindrom DiGeorge atau hipoplasia timus merupakan

defisiensi sel-T yang terjadi kalau kelenjar tmus tidak

dapat tumbuh secara normal selama embriogenesis.

Bayi yang dilahirkan dengan sindrom DiGeorge akan

menderita hipoparatiroidisme yang mengakibatkan

hipokalsemia yang resisten terhadap terapi standar,

penyakit jantung kongenital, wajah yang abnormal dan

kemungkinan kelainan renal. Bayi yang menderita

sindrom ini rentan terhadap infeksi kandida, jamur,

protozoa dan virus. Bayi-bayi tersebut terutama rentan

terhadap penyakit kanak-kanak (cacar air, campak

serta rubela)yang biasanya berat dan mungkin pula

fatal.

Kandidiasis Mukokutaneus Kronik dengan atau tanpa

endokrinopati merupaka kelainan yang berkaitan

dengan defek selektif pada imunitas sel-T yang

diperkirakan terjadi akibat pewarisan autosomal-

resesif. Kelainan ini dianggap sebagai kelainan

autoimun dimana kelenjar timus dan kelenjar endokrin

lainnya terlibat dalam proses autoimun. Gambaran

awal kandidiasis mukotaneus kronik dapat berupa

infeksi kandida yang kronik atau endokrinopati

37

Page 38: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

idiopatik. Kelainan ini mengenai laki-laki maupun

wanita penderitanya dapat bertahan hidup sampai usia

dekade kedua atau ketiga. Penyakit kandidiasis

mukokutaneus kronik akan menyebabkan peningkatan

morbiditas karena disfungsi endokrin. Masalahnya

dapat mencakup hipokalsemia dan tetani yang terjadi

sekunder akibat hipofungsi kelenjar paratiroid.

Hipofungsi korteks adrenal (penyakt Addison)

merupakan penyebab utama kematian pada penderita

kelainan ini, dan hipofungsi korteks adrenal tersebut

dapat terjadi mendadak tanpa riwayat gejala apapun.

Infeksi kandida kronik pada kulit dan membran

mukosa sulit diobati kendati infeksi sistemik oleh

Candida biasanya tidak terjadi. Penderita infeksi

kandida kronik pada kulit dan membran mukosa kerap

kali mengalami masalah psikologis yang berat. Terapi

topikal dengan mikonazol pernah dilaporkan dapat

mengendalikan infeksi ini pada sebagian pasien.

Pemberian suntikan amfoterisin B IV memberikan

manfaat pada sebagian pasien kendati pemakaiannya

sangat terbatas mengingat toksisitasnya pada ginjal.

Terapi oral dengan agens klotrimazol dan ketokonazol

dilaporkan juga bermanfaat.(Sylvi A,2006)

4) Defisiensi sel-B dan sel-T

38

Page 39: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

a.) Patofisiologi dan Penatalaksanaan

Ataksia-telangiektasia merupakan kelainan yang

mengenai imunitas sel-T dan sel-B. Kelainan ini

diturunkan secara autosomal-resesif. Pada 40%

penderita kelainan ini terdapat defisiensi selektif

IgA. Defisiensi subkelas IgA dan IgG disamping

defisiensi IgE pernah ditemukan. Defisiensi sel-T

dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat dan

bertambah parah bersamaan dengan pertambahan

usia penderitanya. Penyakit ini meliputi sistem

neurologik, vaskuler, endokrin dan sistem imun.

Awitan ataksia (geraka otot yang tidak

terkoordinasi) dan telangiektasia (lesi vaskuler

akibat pelebaran pembuluh darah) biasanya terjadi

pada usia 4 tahun pertama, kendati banyak pasien

yang tetap terbebas dari gejala selama 10 tahun

atau lebih. Morbiditasnya akan meningkat jika

terdapat penyakit paru kronik, retardasi mental

serta gejala neurologik; ketidakmampuan fisik

semakin parah ketika pasien mendekati usia

dekade kedua. Pasien yang dapat bertahan hidup

dalam waktu lama akan mengalami kemunduran

fungsi imunologik dan neurologik yang progresif.

Sebagian pasien da[pat mencapai usia dekade

39

Page 40: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

kelima. Penyebab kematian pada penderita

kelainan ini adalah infeksi yang menyeluruh dan

penyakit kanker limforetikuler atau epitelial.

Terapinya mencakup penanganan infeksi secara

dini dengan antimikroba, penanganan penyakit

paru kronik dengan drainase postural serta

fisioterapi, dan penanganan gejala yang ada

lainnya. Terapi yang lain mencakup transplantasi

jaringan timus janin dan pemberian suntikan gama

globulin IV.

Sindrom Nezelof diperkirakan terjadi akibat

kelainan genetik yang berciri resesif. Bayi yang

lahir dengan sindrom Nezelof tidak memiliki

kelenjar timus dan mengalami imunodefisiensi

sel-B dalam pelbagai derajat dengan disertai oleh

kombinasi kadar imunoglobulin yang meningkat,

menurun atau normal. Bayi dengan sindrom

Nezelof memiliki penekanan yang tinggi terhadap

infeksi virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Bayi

yang menderita sindrom ini juga memiliki

insidensi penyakit malignan yang tinggi.

Baik sel-B maupun sel-T tidak terdapat pada

penyakit SCID (severe combined

immunodeficiency disease). Pada penyakit ini

40

Page 41: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

sama sekali tidak terdapat imunitas humoral

maupun seluler yang disebabkan oleh kelainan

genetik yang bersifat autosomal atau yang

berkaitan dengan kromosom X (x-linked). Pada

sebagian kasus terjadi bentuk-bentuk sporadis

penyakit ini. Sindrom Wiscott Aldrich merupakan

varian penyakit SCID dengan trombositopenia

(penurunan jumlah trombosit) disamping tidak

terdapatnya sel T dan B.

Prognosis defisiensi sel-B dan -T umunya jelek

karena sebagian besar bayi yang terkena akan

mengalami infeksi fatal yang menyeluruh. Pilihan

terapi yang masih sedang diselidiki mencakup

transplantasi sumsum tulang, terapi pengganti

dengan suntikan imunoglobulin IV, faktor yang

berasal dari timus dan tranplantasi kelenjar timus.

Dengan keberhasilan terapi yang semakin

meningkat, maka dari pasien-pasien yang

seharusnya sudah meninggal pada masa bayi

ternyata semakin banyak jumlahnya yang dapat

hidup sampai usia dewasa.(Sylvia A,2006)

5) Defisiensi sistem komplemen

Dengan semakin baiknya teknik pemeriksaan

untuk mengidentifikasi komponen masing-

41

Page 42: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

masing komplemen, maka identifikasi defisiensi

pada sistem komplemen juga terus mengalami

peningkatan yang mantap. Defisiensi komponen

C2 dan C3 akan mengakibatkan penurunan

resistensi terhadap infeksi bakteri. Angioneurotik

edema disebakan oleh kelainan bawaan defisiensi

inhibitor enzim esterase C1 yang melawan

pelepasan mediator dan proses inflamasi.

Defisiensi inhibitor ini mengakibatkan episode

edema yang sering pada berbagai bagian tubuh.

Penderita hemoglobulinuria paroksismal

nokturnal mengalami defisiensi decay-

accelerating factor (DAF) yang ditemukan pada

eritrosit (sel darah merah). Dalam keadaan

normal DAF akan melindungi eritrosit dari

kemungkinan lisis (penguraian). Dalam kelainan

ini, komponen-komponen C3b akan bertumpuk

pada molekul CR1 pada eritrosit, lalu bertindak

sebagai tempat pengikatan untuk komponen yang

kerjanya kemudian, dan mengakibatkan

terjadinya lisis. (Sylvia,2006)

b) Imunodefisiensi Sekunder

Imunodefisiensi sekunder lebih sering menjumpai dibandingkan

defisiensi primer dan kerapkali terjadi sebagai akibat dari proses

42

Page 43: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

penyakit yang mendasarnya atau akibat dari terapi terhadap

penyakit ini. Penyebab umum imonodefisiensi sekunder adalah

malnutrisi, stres kronik, luka bakar, uremia, diabetes miletus,

kelainan autoinum tertentu, kontak dengan obat-obatan serta zat

kimia yang imunotoksik. Penyakit AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome) merupakan imonodefisiensi

sekunder yang paling sering ditemukan. Penyakit ini dibahas

secara rinci dalam BAB 50. Penderita imonosupresi dan sering

disebut sebagai hospes yang terganggu kekebalanya

(immunocompromised host). Intervensi untuk mengatasi

imunodefisiensi sekunder mencakup upaya menghilangkan faktor

penyebab, mengatasi keadaan yang mendasari dan menggunakan

perinsip-perinsip pengendalian infeksi yang nyaman.(Sylvia A

dkk,2006)

2. HIV-AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan

AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang

bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit

yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada

di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam

tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau

limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang

masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang

baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang

dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang

terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun

(bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) .

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau

retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang

tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi

43

Page 44: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi

secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.

Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-

masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara

kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan

lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,

yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya

kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia

mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar

seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak

sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah

berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup

dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan

jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya

keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat

virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal

dengan infeksi oportunistik (Sylvia A dkk, 2006).

a) Etiologi dan patofisiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus

penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota

subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah

adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus

ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus

yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur

ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein

replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi

dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari

gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk

menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk

44

Page 45: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip

virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi

khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain

(Brooks, 2005).

Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah

limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul

permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer

informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan

enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.

Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang

progresif (Borucki, 1997).

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa

dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu.

Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai

organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T

CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan

setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali

meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara

sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun.

Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat.

Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan

dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah

sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-

CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya

proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV

yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV

mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan

penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma.

Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama

tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam

45

Page 46: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin

daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).

Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi

penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,

sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-

bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini

komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Sylvia, 2006).

b) Manifestasi klinis

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala

mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):

Gejala mayor:

1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

5) Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:

1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan

2) Dermatitis generalisata

3) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

4) Kandidias orofaringeal

5) Herpes simpleks kronis progresif

6) Limfadenopati generalisata

7) Retinitis virus Sitomegalo

3. Hipersensitivitas

Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi

berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun

46

Page 47: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

(merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat

fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Hipersensitivitas

merupakan reaksi imun tipe I, namun berdasarkan mekanisme dan

waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi

empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu

dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.

(sylvia A dkk,2006)

a. Hipersensitivitas tipe 1

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas

langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit,

mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran

gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang

beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.

Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar

antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan

awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai

oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi

ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan

dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.

b. Hipersensitivitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi

berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk

melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.

Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang

secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada

umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen

permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan

kerusakan pada target sel

c. Hipersensitivitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks

imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-

antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai

47

Page 48: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi

normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah

besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.

Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan,

atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang

persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi

antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi

pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.

Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.

Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar

pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga

dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-

paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

d. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang

diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi

karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.

Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi

dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta

akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena

paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV

adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak

(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis

(delayed type hipersensitivity, DTH).

48

Page 49: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perubahan Fungsi Sistem Hematologi

o Hematologi Eritropoiesis

Eritropoesis adalah proses pembentukan eritrosit (sel darah merah).

Pada janin dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum

tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang.

Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di

sumsum tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi

yang dipengaruhi dan dirangsang oleh hormon eritropoietin.

Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang terutama dihasilkan

oleh sel-sel interstisium peritubulus ginjal, dalam respon terhadap

kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma, untuk digunakan oleh

sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin mempercepat produksi

eritrosit pada semua stadium terutama saat sel induk membelah diri

dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping mempercepat

pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan pengambilan besi,

mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang

dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi. (Jennifer,2012).

Gangguan Sel Darah Merah

o Anemia

Pengertian Anemia

Keseimbangan antara pelepasan eritrosit ke dalam sirkulasi dan

keluarnya eritrosit dari sirkulasi dipertahankan secara ketat,

sehingga dalam keadaan normal kadar hemoglobin di peredaran

darah relatif konstan. Bila keluarnya eritrosit dari sirkulasi maupun

penghancuran eritrosit meningkat tanpa diimbangi oleh

peningkatan produksi atau pelepasan eritrosit dalam sirkulasi

menurun, demikian pula bila kedua proses tersebut terjadi

bersama– sama akan menyebabkan anemia. (Price,sylvia 1995)

49

Page 50: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Hematologi Leucopoiesis

Leukopoiesis adalah proses pembentukan leukosit, yang dirangsang oleh

adanya colony stimulating (factor perangsang koloni). Colony stimulating

ini dihasilkan oleh leukosit dewasa.(siti,1998)

Gangguan Sel Darah Putih

o Leukemia

Pengertian

Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi

(pertumbuhan sel imatur) sel leukosit yang abnormal dan ganas,

serta sering disertai adanya leukosit dengan jumlah yang

berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia

trombositopenia. (Jennifer dkk,2012)

Hematolongi trombopoiseis

Perkembangan trombosit disum-sum tulang:

Morfologi trombopoiesis sangat berbeda dari eritropoesis dan

granulopoesis karena tidak terjadi sebagai suatu perkembangan sel

fungsional matang dari prekusor yang belum matang dengan perbedaan

criteria morfologis yang nyata dan melalui pembelahan pematangan yang

terjadi selanjutnya. Pada trombopoesis , terjadi proses poliploidisasi

berulang kali,yang menimbulkan berbagai tipe sel 2N-32N (64N) melalui

endoreduplikasi DNA ,yang setara dengan berbagai tahapan fungsi

terdapat tiga macam bentuk sel yang dapatdikenali.(Suzanne,2002)

Gangguan Pembekuan Darah

o Trombositopenia

50

Page 51: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang

dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya

mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah

trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal

meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit

mencapai kurang dari 10.000/mL.(sylvia A dkk,2006)

Perubahan Imunitas

o Imunodefesiensi

Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau

defisiensi pada sel-sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau

komplemen. Gejala yang spesifik serta beratnya penyakit, usia saat

penyakit dimulai dan prognosis penyakit bergantung pada

komponen apa yang terkena dalam sistem imun dan sampai dimana

fungsi imun tersebut terganggu. Terlepas dari penyebab yang

mendasari kelainan imunodefisiensi, gejala utamanya mencakup

infeksi kronik atau infeksi berat kambuhan, infeksi karena

mikroorganisme yang merupakan flora normal tubuh, respon tubuh

yang buruk terhadap pengobatan infeksi dan diare kronik.

Imunodefisiensi dapat diklasifikasikan sebagai kelainan yang

primer atau sekunder dan dapat pula dipilah berdasarkan

komponen yang terkena pada sistem imun tersebut.(Sylvia A

dkk,2006)

o HIV-AIDS

51

Page 52: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat

menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel

darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih

tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah

marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.

Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia

menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang

seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh

manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai

CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan

sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi

HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan

pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007c).

o Hipersensitivitas

Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi

berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun

(merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang

berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal.

Hipersensitivitas merupakan reaksi imun tipe I, namun berdasarkan

mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi,

hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe

III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau

beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.(sylvia A dkk,2006)

52

Page 53: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

53

Page 54: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al.

2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Hoffbrand, AV.dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC

Jennifer dkk,20012. Buku Ajar Patofisiologi (Professional Guide to

Pathophysiology) . Jakarta ; Penerbit buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2.

Jakarta:Penerbit buku Kedokteran EGC.

Robbins dkk,2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku

kedokteran EGC.

Siti.1998. Pengantar Hematologi dan Imuno hematologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI .

Suzzanne dkk,2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8

volume2 . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sylvia A dkk,2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta:Penerbit Buku kedokteran EGC

54

Page 55: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

55

Page 56: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

56

Page 57: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

57

Page 58: perubahan fungsi imunitas dan hematologi

58