Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)
Transcript of Perkembangan Perusahaan Batik Sida Mukti (1933-2002)
Perkembangan Perusahaan Batik
Sida Mukti (1933-2002)
Aditya Dimas Putra, Abdurakhman
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang bagaimana sejarah awal perusahaan Sida Mukti yang telah berdiri
sejak tahun 1933 di Yogyakarta, lalu bagaimana sang pemilik perusahaan menjalankan usaha
home industry nya, seperti apa sistem produksi dan pemasaran produknya kala itu. Dibahas pula
perkembangan usahanya ketika pindah ke Jakarta lalu terkena relokasi untuk akhirnya mendirikan
pabrik di Pekalongan. Pemilik perusahaan kemudian melakukan perubahan sistem produksi.
Dalam setiap usaha pasti menemukan suatu kendala yang dapat menghambat usaha tersebut,
begitu juga usaha batik Sida Mukti, faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi usaha ini juga
menjadi pembahasan dalam skripsi. Selain itu, skripsi ini juga membahas bagaimana upaya atau
inovasi yang dilakukan pemilik perusahaan dalam mengembangkan usahanya, dalam hal ini Sida
Mukti membuat produk house hold agar tetap dapat eksis di tengah ketatnya persaingan antar
produsen batik.
Kata Kunci: sejarah perusahaan; perubahan sistem produksi dan pemasaran; perkembangan usaha
Development of Batik
Sida Mukti Industry (1933-2002)
Abstract
This thesis discussed about the beginning history of Sida Mukti that already existed since 1933 in
Yogyakarta, then how the owner could have run her home industry business, how was the system
of production and sold the product at that time. Also discussed about the development of her
business when it moved to Jakarta and had to move/relocated because of the rule from Jakarta‟s
government then finally built her own factory in Pekalongan. Then the owner did a change in the
system of production. In every business there must be some obstacles that could obstruct that
business, same as Sida Mukti, the factors that could obstruct the business also mentioned in this
thesis. Beside that, this thesis also discussed about how the owner could extend her businesses by
making house hold product in order to existed in the middle of the competition among batik
producer.
Key Words: history of the industry; improvement of the system of production and marketing;
development of business
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Pendahuluan
Batik merupakan hasil kesenian atau kerajinan tangan khas Indonesia, dapat dikatakan
merupakan icon budaya bangsa. Saat ini banyak orang yang senang dan bangga mengenakan
batik sebagai pakaian sehari-hari, saat bekerja, menghadiri pesta pernikahan, dan sebagainya.
Batik pada masa kini juga memiliki design, motif, dan warna yang bagus, unik dan menarik
yang membuat banyak orang menyukainya.
Batik adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada bahan dengan
menggunakan lilin sebagai alat perintang warna. Dalam bahasa Jawa, kegiatan membuat batik
disebut mbatik. Kata mbatik sendiri mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata
thika dalam bahasa Jawa Kuno, yang berarti menulis, melukis, atau menggambar. Dalam
kamus Belanda Van Dale Nieuw Handwoordenboek der Nederlandse Taal terdapat kata
battiken yang berarti cara orang Indonesia untuk melukisi dan mewarnai kain.1
Batik tulis telah dikenal di Jawa setidaknya sejak zaman Hindu/Buda seperti halnya
wayang dan juga gamelan.2 Meskipun demikian, belum diketahui secara pasti apakah batik itu
merupakan tradisi yang sepenuhnya dibawa bersamaan dengan masuknya Hindu Budha ke
Indonesia, ataukah batik tersebut merupakan suatu tradisi yang telah dikembangkan oleh
penduduk setempat sebelum datangnya kebudayaan tersebut. Bahkan ada pula yang
menyebutkan bahwa batik berasal dari Turki, Timur Tengah dan Cina.
Usaha batik tradisional pada awalnya berupa industri rumah tangga yang berskala
kecil yang dikerjakan oleh anggota keluarga yaitu suami, istri, dan anak-anaknya, juga
anggota keluarga yang lain. Pada sekitar akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19,
masyarakat Jawa pada khususnya hanya membuat batik di rumah mereka masing-masing
untuk konsumsi pribadi, dan masih menggunakan alat dan teknik yang sangat sederhana.
Motif dan warnanya pun masih sangat terbatas. Karena mengetahui bahwa ternyata
perdagangan batik dapat memberi keuntungan, golongan etnis Cina tertarik untuk merintis
usaha dalam bidang batik dan menjadi pengusaha batik di Jawa. Awalnya mereka hanya
berdagang untuk kalangan terbatas, yaitu untuk kebutuhan keluarga mereka sendiri. Akan
tetapi, lambat laun usaha mereka berkembang cukup pesat dan berhasil menguasai pasar.
Setelah pengusaha Cina berhasil mengembangkan usaha batik, sekitar 1840-an orang-orang
Belanda tertarik dalam usaha serupa. Mereka mulai mendirikan pabrik-pabrik untuk usaha
batik agar lebih komersial. Pada masa itu daerah pembatikan dilakukan di Yogyakarta dan
1 Dewi Yuliati. Mengungkap Sejarah & Pesona Motif Batik Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Press: 2009. hlm. 8 2 Kasijanto. “Industri Rumah Tangga di Tanah Kerajaan (Pembatikan di Yogyakarta dan Surakarta ekitar 1850-
1940)”.Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hlm.1
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Surakarta (Solo) yang memang telah mempunyai kebudayaan membuat batik.3 Setelah itu
Pekalongan pun tumbuh menjadi pusat produksi batik yang besar perannya dalam sejarah
perbatikan Indonesia.
Dalam perjalanan waktu, salah satu perusahaan batik yang cukup terkenal bernama
batik Sida Mukti lahir di Yogyakarta yang kemudian pindah ke Jakarta, untuk akhirnya
mendirikan pabrik di kota Pekalongan yang bertahan hingga saat ini.
Dalam penelitian ini dibahas perkembangan perusahaan Batik Sida Mukti, yang
merupakan salah satu perusahaan batik tertua di Indonesia. Bagaimana sejarah awal
perusahaan tersebut, hasil produksi dan pemasarannya, juga perkembangan di dalam
pengelolaan dari generasi awal ke generasi selanjutnya hingga tetap bertahan sampai saat ini
lebih dari setengah abad.
Perusahaan batik Sida Mukti didirikan pada 1933.4 Pada mulanya merupakan usaha
rumah tangga yang berkedudukan di Yogyakarta. Perintisnya Nyonya Kwee Hok Gwan
belajar secara otodidak di samping karena hobi membatik. Pada saat awal, usaha ini belum
memiliki nama, hanya menggunakan nama pribadi Nyonya Kwee.5 Ia adalah seorang
peranakan Tionghoa. Pada awalnya hasil produksinya berupa kain jarik6,sarung dengan motif
tradisional yang biasa digunakan untuk upacara adat, seperti kain siraman calon pengantin,
kain untuk malam midodareni, pakaian pengantin, kain untuk upacara nujuh bulanan, dan
sarung untuk sunatan. Pada masa selanjutnya produknya berkembang pesat khususnya untuk
produk house hold yaitu berbagai perlengkapan rumah tangga dari batik.
Usaha batik yang bermula dari Yogyakarta ini, karena adanya situasi yang tidak
memungkinkan akibat perang di jaman penjajahan, pemilik mengungsi ke Jakarta pada sekitar
tahun 1948 dan melanjutkan usahanya disana. Berpuluh tahun kemudian di dalam upaya
untuk mengembangkan usaha, pemasaran produknya selain di Jakarta juga dikirimkan hingga
ke Bali. Turis mancanegara cukup menyukai produk house hold, sehingga berhasil
mendapatkan pemasukan yang cukup baik dari penjualannya tersebut, namun tragedi Bom
Bali tahun 2002 memberikan dampak sangat besar bagi pariwisata di Bali karena menurunnya
jumlah wisatawan asing yang datang berkunjung. Hal ini juga ikut memberikan dampak bagi
Sida Mukti yang tak lagi dapat menjual produknya kesana.
3 Harmen C Veldhuisen. Batik Belanda 1840-1940 (Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan
Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: PT Gaya Favorit Press, 2007. Hlm. 114 4 Terbit, 21 Agustus 1996
5 Ibid
6 Kain jarik adalah kain berukuran 2,5×1,1 meter atau 2,1×1,5 meter yang dibatik dengan berbagai motif seperti
sidomukti, sidomulyo, sekar jagad, parang rusak, dan sebagainya. Fungsi utama jarik adalah sebagai penutup
tubuh bagian bawah.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Alasan mengapa Perusahaan Batik Sida Mukti penting untuk ditulis dalam kajian
ilmiah skripsi ini adalah, karena Sida Mukti selain memproduksi batik yang banyak dijual
dipasaran seperti kain, sarung, kemeja, blouse, selendang, syall, scraft, daster, dan berbagai
model celana, Sida Mukti juga membuat produk yang sedikit sekali dibuat oleh perusahaan
lain, yakni house hold seperti serbet, taplak meja, dinner set atau perlengkapan makan, sarung
bantal, bed cover atau penutup kasur, dimana tiap-tiap produk tersebut dibuat dengan berbagai
motif, ukuran dan warna, dengan kualitas yang baik. House hold merupakan kekuatan Sida
Mukti sehingga tetap dapat eksis dan bertahan dalam persaingan batik yang semakin ketat.
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan7,
diantaranya pengumpulan data atau heuristik, kritik terhadap sumber secara intrinsik maupun
ekstrinsik, interpretasi terhadap informasi sumber, dan penulisan karya sejarah atau
historiografi.
1. Tahapan heuristik atau tahap pengumpulan data, dalam tahapan ini penulis melakukan
pengumpulan data yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan dalam penelitian ini.
Data-data yang diperoleh berupa sumber primer dan juga sumber sekunder. Data yang
diperoleh dari sumber primer berupa koran-koran artikel sezaman seperti Kompas yang
banyak membahas tentang ragam hias, pola, motif dan corak-corak batik Pekalongan, dan
juga koran Terbit yang menjelaskan tentang sejarah awal Batik Sida Mukti, produk-produk
apa saja yg dijual, juga bagaimana perkembangannya hingga dapat bertahan dalam waktu
yang cukuplama. Selain itu penulis juga mendapatkan data dari arsip perusahaan, dan juga
sumber lisan melalui wawancara dengan pemilik dan pegawai perusahaan. Sedangkan
data-data yang didapat dari sumber sekunder banyak dari buku dan tesis terdahulu yang
terkait dengan tema batik Pekalongan.Sumber-sumber sekunder yang digunakan dalam
tahap ini antara lain, buku Batik Belanda 1840-1940 (Dutch Influences in Batik from Java
History and Stories) yang menjelaskan tentang awal keberadaan batik dan
perkembangannya di pulau Jawa. Dijelaskan pula tentang perkembangan industri batik di
Pekalongan.Kendala yang penulis temui selama pencarian data adalah, menemukan waktu
yang cocok untuk melakukan wawancara dengan pemilik perusahaan, mengingat usianya
7 Kuntowijoyo.2005.Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Bentang,hlm. 12-17
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
sudah cukup tua yang telah menginjak 83 tahun. Kendala lainnya adalah dalam
mendapatkan data-data perusahaan, karena ini merupakan perusahaan perorangan sehingga
data-data lama mereka tidak tersimpan dengan rapih, sehingga penulis belum mendapatkan
data-data perusahaan secara maksimal. Selain itu penulis juga terkendala dalam
menemukan buku-buku yang membahas tentang batik, khususnya daerah Pekalongan.
Sebenarnya penulis disarankan oleh pembimbing untuk mencari data dari arsip, akan tetapi
terkendala dari faktor bahasa, karena semua arsip yang penulis dapatkan berbahasa
Belanda.
2. Kritik sumber, setelah berhasil mendapatkan dan mengumpulkan data-data yang relevan,
maka tahap berikutnya adalah melakukan kritik sumber, berupa pengujian terhadap data-
data dan sumber-sumber sejarah yang telah berhasil dikumpulkan. Sumber-sumber yang
telah didapatkan tadi dicek kebenarannya dan diperbandingkan satu sama lainnya,
sehingga dapat diketahui apabila ada data ataupun sumber yang isinya keliru atau tidak
didukung sumber-sumber lainnya. Kritik sumber ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu berupa kritik intern maupun ekstern. Yang dimaksud Kritik intern adalah melakukan
pemeriksaan terhadap unsur-unsur intrinsik yaitu kecocokan isi dokumen yang dikeluarkan
sebuah institusi dengan dokumen dari institusi lain, serta sumber-sumber lain seperti
artikel, koran, dan buku. Kritik ekstern dapat berupa pemeriksaan keaslian sumber terkait
apakah sumber tersebut turunan atau bukan dilihat dari tahun terbit dan kondisi materi
yang didapat.
3. Interpretasi, setelah melalui tahapan kritik penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh
dari penyaringan sumber-sumber, baik sumber primer maupun sekunder,maka tahap
selanjutnya adalah melakukan interpretasi mengenai fakta-fakta yang didapat dari sumber
terkait, fakta-fakta ini kemudian dikaitkan dengan konteks zaman serta fakta-fakta lainnya,
agar informasi yang ada di dalam data tersebut dapat dianalisis dan diberikan makna
sehingga dapat menjelaskan sebab dan akibat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
suatu peristiwa.
4. Historiografi, tahapan terakhir adalah historiografi atau tahapan penulisan sejarah. Setelah
mendapatkan fakta-fakta dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder, yang telah
di analisa dan diinterpretasi, kemudian penulis melakukan tahap akhir yaitu penulisan.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Pembahasan
Perusahaan Batik Sida Mukti didirikan pada 1933, dan merupakan perusahaan
keluarga yang mempertahankan proses batik tradisional.8 Pada mulanya merupakan usaha
home industry, yang pada saat itu berlokasi di Yogyakarta. Perintisnya Nyonya Kwee Hok
Gwan tidak memiliki latar belakang sekolah khusus perbatikan, tetapi belajar secara otodidak
di samping hobi membatik. Saat itu usahanya masih dalam skala kecil dan prosesnya masih
sederhana.
Pada awal usahanya ini Kwee bukan tidak menemui kendala. Saat itu kendala yang
dihadapinya bukanlah berasal dari kualitas kerjanya, akan tetapi dari segi
operasionalisasinya.9 Pada saat itu Kwee hanya memiliki satu kendaraan yang digunakan
sebagai alat transportasi untuk membeli bahan-bahan batik ataupun mengantarkan pesanan
batik kepada para pelanggan. Permasalahannya adalah pada kondisi kendaraan tersebut yang
tidak terlalu baik dan seringkali mogok sehingga menjadi kendala tersendiri bagi Kwee.
Kendala lainnya adalah menyangkut jumlah produk yang dapat dihasilkannya. Hal ini
dikarenakan jumlah tenaga atau karyawan di wisma batik Kwee hanya beberapa orang saja.
Jumlah karyawan yang sedikit inilah yang menjadi kendala lainnya, karena mereka juga
memiliki keterbatasan dalam memproduksi atau menghasilkan batik dalam jumlah yang
banyak. Akibatnya saat itu Kwee tidak dapat memproduksi batik dalam jumlah yang besar,
sehingga pada awalnya mereka hanya berproduksi jika ada pesanan dari para pelanggannya
saja.
Oleh karena harga kain pada saat itu sangat mahal dan juga karena modal yang
dimiliki sedikit, Kwee tidak mampu untuk membeli kain putih untuk membatik, sehingga ia
hanya membeli bahan-bahan untuk membatik saja. Setiap satu bulan sekali, biasanya Kwee
pergi ke luar daerah seperti Purworejo, Kutoardjo, dan Purwokerto karena disana terdapat
banyak pembatik akan tetapi mereka tidak dapat memprosesnya.10
Jadi Kwee mengambil
barang yang sudah dibatik, kemudian dibawa ke rumah dan diproses, kira-kira satu bulan
kemudian setelah barang tersebut selesai diproses, selanjutnya dibawa/diberikanlah kembali
kepada supplier, barulah kemudian ia mendapat uang.
Proses pembatikan yang dilakukan Kwee saat itu masih sangat sederhana, sebagai
contoh untuk menghilangkan malam yang ada di kain pada saat itu tidak di “lorod” karena
8 Terbit, 21 Agustus 1996
9 Ibid.
10Wawancara dengan Ibu Kartikaningsih, pemilik Perusahaan Sida Mukti, Jakarta, 5 Maret 2014, pukul: 17:25
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
biaya yang mahal saat itu, tetapi dikerok pelan-pelan sampai malam terkelupas semua.11
Ia
mengikuti pakem batik dengan membuat batik tulis yang hanya menggunakan canting, lilin,
dan malam. Saat itu belum ada alat cap ataupun printing seperti sekarang, sehingga semua
pekerjaannya dilakukan hand made secara tradisional.
Pada saat itu cara pemasarannya juga masih tradisional, Kwee belum memiliki toko
sendiri yang dapat menjual barang-barang hasil produksinya, sehingga beliau harus
mengedarkannya sendiri-sendiri, ditawarkannya keliling kepada konsumen, dititipkan di
pasar-pasar, atau paling tidak mengantarkan sendiri barangnya kepada para konsumen yang
sudah memesan sebelumnya. Upaya ini dilakukan dengan harapan akan semakin banyak
orang yang mengenal produk hasil usaha Kwee, sehingga ia bisa mendapatkan tambahan
pembeli/pelanggan.
Usaha yang didirikannya ini sempat terhenti pada 1946, dikala kondisi di Yogyakarta
sudah tidak aman lagi akibat terjadi aksi agresi militer yang dilakukan oleh Belanda kala itu.
Kartika dan ibu nya, Kwee, terpaksa ikut mengungsi dengan rombongan penduduk lainnya
keluar dari daerah Yogyakarta, mereka pergi mengungsi ke sekitar Surabaya.12
Setelah
kondisi di Yogyakarta dirasa cukup aman, Kwee dan anaknya memutuskan untuk kembali
lagi kesana dan mengumpulkan bahan-bahan dan barang-barang untuk keperluan membatik.
Kwee berpikir bahwa ia harus berusaha untuk dapat mengembangkan usahanya karena hanya
dari usaha ini ia dapat mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya.
Pada sekitar tahun 1948, Kwee memutuskan untuk memindahkan usahanya ke Jakarta
untuk mencoba peruntungannya agar dapat mengembangkan usahanya. Saat itu ia memilih
kawasan Jatinegara (saat itu bernama Rawa Bangke, dekat Stasiun Jatinegara). Hal ini
dilakukan untuk dapat semakin memasarkan produk yang dihasilkannya.13
Ternyata
kepindahannya itu tidak sia-sia, karena pada tahun 1949, usaha batiknya akhirnya diberi
merek dagang dengan nama Sida Mukti dengan lambang Grudo. Nama itu dipakai atas usulan
seorang teman Kwee, yaitu Prof. Tjan Tjoe Siem, pakar hukum Islam dan Sinolog Universitas
Indonesia.14
Kata Sida Mukti itu sendiri berarti “semoga selamat dan bahagia”.
Pada tahun 1959, karena faktor usia dari Kwee yang sudah uzur, akhirnya pengelolaan
batik Sida Mukti ini diwariskan kepada putri bungsunya, Kartikaningsih.15
Alasan mengapa ia
yang dipilih, karena ia lah yang sejak dulu selalu bersama-sama Ibu nya, membantunya dalam
mengerjakan usaha batik ini. Pengetahuannya tentang batik juga cukup baik karena sejak 11
Ibid. 12
Wawancara dengan Ibu Kartikaningsih, Pemilik Perusahaan Sida Mukti, Jakarta, 5 Maret 2014. 13
Terbit, 21 Agustus 1996. 14
Ibid. 15
Terbit. 21 Agustus 1996
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
kecil Kwee telah mengenalkannya terhadap batik, mengajarkan dan juga melibatkan langsung
anaknya dalam kerajinan membatik tersebut, sehingga secara perlahan Kartika menjadi dekat
dan cinta terhadap dunia batik. Selain itu alasan lainnya adalah, karena hanya Kartika yang
tinggal di Jakarta, kedua kakaknya tidak ada yang menetap atau tinggal di Jakarta. Kakaknya
yang pertama tinggal di Belanda bersama suaminya, dan yang kedua tinggal di Bandung.
Sehingga dirasa akan sulit bagi mereka jika harus mengelola perusahaan batik Sida Mukti.
Pada saat usaha Sida Mukti berada di Jakarta terjadi perubahan selera konsumen
terhadap jenis batik, mereka mulai menyenangi batik dengan warna yang cerah dan pola yang
beragam, tidak lagi hanya warna coklat, hitam, dan putih seperti jenis batik Yogyakarta dan
Solo. Mulai saat itu Kartika mengubah pola, desain, dan warna produksinya mengikuti selera
konsumen, Sida Mukti mulai membuat batik dengan corak, pola, dan warna yang mengikuti
gaya Pekalongan. Para pembatik yang bekerja di Sida Mukti tidak mengalami kesulitan yang
berarti dengan terjadinya perubahan gaya batik tersebut, karena memang kebanyakan
pembatik yang didapat berasal dari Pekalongan.
Setelah menerima kepemimpinan perusahaan, Kartika mulai melakukan perubahan
dalam upaya memodernisasi usahanya. Karena ia menginginkan agar usaha batik rintisan
ibunya ini dapat semakin berkembang, sehingga ia berpikir apabila tidak ada modernisasi di
dalam usahanya ini dan masih menggunakan sistem atau cara lama yang dilakukan oleh
ibunya, akan sulit untuk berkembang. Ada beberapa unsur yang dimodernisasi oleh Kartika,
antara lain tenaga kerja, peralatan, dan bahan-bahan produksi.
Tenaga kerja mengalami proses perubahan setelah usaha Sida Mukti ini semakin
berkembang. Sebelumnya saat usaha Sida Mukti masih dalam bentuk industri rumahan dan
hanya dalam skala yang kecil, para pembatik didapat/berasal dari keluarga sendiri, saudara,
dan juga tetangga atau kerabat sekitar, karena usahanya pada saat itu juga hanya industri
rumahan kecil-kecilan. Mereka saling membantu dalam usaha membatik ini, sehingga rasa
kekeluargaan dapat terasa sangat kental di dalamnya. Namun setelah usaha ini semakin besar
tentu dibutuhkan tambahan pegawai ataupun pembatik untuk meningkatkan hasil produksi
demi upaya mengembangkan perusahaan. Setelah dilakukan proses perubahan sistem
produksi, para pekerja tidak lagi berasal dari keluarga, saudara, tetangga atau kerabat sekitar,
akan tetapi telah dilakukan sistem perekrutan tenaga kerja.
Meskipun pada awal perkembangannya setelah modernisasi, pabrik Sida Mukti berada
di Jakarta, akan tetapi perekrutan tengaga kerja atau para pengrajin batik tetaplah berasal dari
desa, bukan dari kota karena memang para pembatik yang paling potensial adalah orang-
orang desa, upah/gaji bagi para pembatik dari desa tidak terlalu tinggi jika dibandingkan
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
dengan yang berasal dari kota, disamping karena jumlah mereka yang cukup banyak.16
Selain
itu, para pembatik dari desa merupakan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai, karena
pekerjaan membatik itu seperti telah mendarah daging, karena sejak kecil mereka telah
diajarkan untuk dekat dengan dunia batik.
Seiring dengan semakin berkembangnya usaha batik Sida Mukti, jumlah pegawai
mengalami peningkatan untuk dapat meningkatkan jumlah produksi. Bahkan ketika pabrik
Sida Mukti berada di Menteng Atas, jumlah pegawai yang dimiliki Kartika berjumlah kurang
lebih 150 orang, dan sekitar 80 orang pegawai yang bekerja di kantor pusat, Tebet.17
Pelonjakan jumlah pegawai tersebut dapat terjadi karena maraknya produk batik di pasaran
saat itu, sehingga membuat Sida Mukti membutuhkan jumlah pegawai yang banyak agar
dapat menghasilkan barang produksi dalam jumlah yang lebih besar. Sekitar tahun 1993, Sida
Mukti mampu menghasilkan kurang lebih 48.000 hasil produksi. Hasil penjualan yang
didapat diperkirakan sekitar 2,3 miliar pada tahun tersebut.18
Berdasarkan data-data tersebut
dapat menunjukkan bahwa usaha Sida Mukti sedang mengalami masa perkembangan yang
cukup baik pada saat itu.
Namun seiring berjalannya waktu, jumlah pegawai Sida Mukti berkurang cukup
banyak. Saat itu Sida Mukti telah banyak membuka counter di pusat perbelanjaan, biaya sewa
tentu akan semakin meningkat pertahunnya, dan omzet yang didapat Sida Mukti tidak sesuai
harapan, sementara Sida Mukti harus tetap berproduksi, sehingga terpaksa Kartika
mengurangi jumlah pegawainya.
Dibutuhkan kriteria dan kualifikasi tertentu untuk para pegawai di pabrik. Sida Mukti
mencari pembatik yang halus, tukang cap yang lebih terampil, pegawai tersebut didapat dari
daerah Yogya, Solo, Tulungagung, dan dari Pekalongan sendiri. Pegawai yang bertugas untuk
melakukan pewarnaan diberikan pelatihan khusus dengan dikirim untuk belajar di balai besar
batik Indonesia di Yogyakarta. Sistem perekrutan pegawai pabrik Sida Mukti dilakukan
dengan cara “ketuk‟ tular”, yaitu mencari dari mulut ke mulut dari info-info yang ada, dari
teman-teman sesama pembatik, kemudian pegawai tersebut dicoba untuk bekerja dulu,
apabila cocok dan masuk kriteria barulah pegawai tersebut dapat diterima untuk bekerja di
pabrik.
Dalam upayanya untuk mengembangkan usaha batik ini maka ia melakukan
pengelolaan usaha ini dengan baik, salah satunya dengan mendirikan kantor di Jakarta, maka
16
Teruo Sekimoto dan tim. Handicrafts and Socio-Cultural Change: A Study of Batik Making in Cirebon and
Pekalongan. Center for Japanese Studies, University of Indonesia. March, 2003. Hlm. 49 17
Majalah WTC Trade Post, September 1993. Hlm 1 18
Ibid.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
dari itu Kartika membutuhkan karyawan baru. Ia mulai melakukan perekrutan karyawan
untuk bekerja pada bagian/divisi yang ada di kantor, seperti bagian penjualan, pembelian,
pembukuan, quality control, dan sebagainya. Rata-rata para karyawannya berasal dari Jakarta
dan sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pekerjaannya dalam mengelola usaha
batiknya, pekerjaannya akan lebih terstruktur dengan baik dan rapih, ada masing-masing
bagian yang bertanggung jawab terhadap bidang pekerjaannya.
Selanjutnya unsur yang ikut mengalami perubahan adalah peralatan dan bahan
produksi. Sebenarnya untuk peralatan membatik tidak banyak yang berubah, karena Sida
Mukti selalu menjaga mutu dan kualitas batik tradisional yang selalu diusungnya sejak awal
perusahaan ini didirikan. Usaha batik ini mengutamakan untuk membuat kain batik tulis.
Penggunaan canting, lilin, dan malam tidak pernah lepas dari proses pembuatan batik, karena
lilin disadari berguna untuk mempertahankan keaslian dan mutu dari batik.19
Sehingga untuk
peralatan yang digunakan pun tidak banyak mengalami perubahan, akan tetapi hanya jumlah
alat dan bahan produksinya saja yang diperbanyak jumlahnya.
Alat-alat yang digunakan masih tetap sama seperti awal usaha ini berdiri, canting,
lilin, malam, dan bahan atau alat-alat lainnya untuk membuat batik tulis. Namun hanya
ditambah dengan alat cap karena batik cap sudah mulai banyak beredar dan laku di pasaran
karena harganya yang lebih murah.
Melihat hal tersebut, kemudian Sida Mukti tidak mau kalah dalam persaingan dan
memutuskan untuk ikut memproduksi batik cap, meski jumlahnya tidak terlalu banyak.
Meskipun begitu, Sida Mukti tidak benar-benar mengaplikasikan ataupun membuat batik
yang hanya menggunakan atau mengandalkan teknik cap, akan tetapi tetap menggabungkan
atau mengkombinasikannya dengan teknik tulis yang menggunakan canting. Hal ini dilakukan
karena apabila hanya menggunakan teknik cap, hasil dan mutu yang akan didapat tidak akan
sebaik jika menggunakan teknik tulis menggunakan canting. Kartika kemudian menambah
alat produksi baru seperti alat cap untuk memproduksi kain atau produk lain agar menghemat
waktu produksi dan dapat menghasilkan produk dalam skala yang lebih banyak.
Dulu proses membatik benar-benar dilakukan dengan menggunakan teknik tulis yang
semua prosesnya menggunakan tangan, tidak ada yang menggunakan mesin dalam proses
pengerjaan batiknya, sehingga dapat memakan waktu dan biaya yang banyak. Akan tetapi
yang terjadi sekarang adalah, banyak orang yang hanya mencari mudahnya saja, banyak yang
19
Terbit, 21 Agustus 1996.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
telah memproduksi batik printing, karena untuk memproduksi jenis batik ini jauh lebih mudah
dan efisien baik secara waktu dan biaya dibandingkan dengan membuat batik tulis.20
Sistem usaha yang sebelumnya hanya berupa industri kecil rumahan, juga ikut
mengalami perubahan. Usaha Sida Mukti telah berkembang menjadi industri pabrik. Proses
modernisasi dari yang sebelumnya hanya berupa usaha kecil rumahan di Yogyakarta, hingga
berubah menjadi industri pabrik dan memiliki pabrik yang kini berada di Pekalongan juga
mempunya cerita tersendiri.
Pada tahun 1995, pabrik Sida Mukti harus pindah dari daerah Menteng Atas, karena
saat itu lokasi tersebut terkena proyek relokasi, sesuai kebijakan pemerintah kota Jakarta atas
tidak diberikannya izin perpanjangan usaha pabrik di tengah kota.21
Kemudian Kartika
memilih kota Pekalongan untuk mendirikan pabrik. Alasannya, karena pada saat itu harga
tanah disana masih terbilang murah bila dibandingkan dengan harga tanah di Jakarta dan
sekitarnya. Alasan lainnya karena banyak tenaga kerja atau pembatik yang terampil berasal
dari Pekalongan, sehingga tidak akan sulit untuk mencari tenaga kerja atau pembatik untuk
bekerja di Pabrik. Air disana juga baik untuk proses produksi.
Pabrik Sida Mukti terletak di Jalan Ir. Sutami, RT 05, RW03, Kel/Desa Sokorejo,
Pekalongan Timur.22
Pabrik ini berdiri di atas lahan seluas 7000 meter persegi. Terdapat
halaman yang tidak terlalu besar namun cukup cantik dengan pohon dan bunga yang tertanam
rapi dan indah di depan pabrik. Di dalam pabrik terdapat semua peralatan dan bahan produksi
mulai dari canting, lilin, malam, alat cap, wadah besar untuk merebus kain, wadah untuk
melakukan pewarnaan, tempat untuk penjemuran bahan mori, dan sebagainya. Nyonya
Kartika selaku pemilik perusahaan ini harus datang mengunjungi pabrik paling tidak satu atau
dua bulan sekali untuk mengecek/mengontrol pekerjaan di pabrik. Biasanya ia pergi ke
Pekalongan menggunakan mobil kantor atau dengan kereta.
Suasana pedesaan masih dapat terasa disana, karena masih terdapat areal persawahan
di sekitar pabrik. Lokasi pabrik dahulu sangat dekat dengan terminal bus, yang sekarang telah
pindah sedikit lebih jauh, selain itu terdapat pula pasar yang letaknya tidak terlalu jauh dari
pabrik. Hingga kini pabrik Sida Mukti tetap berada di Pekalongan.
Untuk membuat satu kain batik yang baik dan berkualitas dibutuhkan suatu proses
yang panjang dan tidak mudah, ada berbagai macam proses di dalam memproduksinya. Untuk
pengerjaan satu kain yang biasa saja, ada sekitar 5 sampai 6 proses pengerjaan, sedangkan
apabila kain batik tersebut ingin di “soga” atau mewarnai motif atau bagian yang berwarna
20
Wawancara dengan Mas Slamet, pegawai di Pabrik Sida Mukti, Pekalongan, 4 Mei 2014. 21
Terbit, 21 Agustus 1996. Hlm.7 22
Melihat langsung di lokasi Pabrik Sida Mukti, Pekalongan.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
putih karena sebelumnya ditutup oleh malam, dapat membutuhkan sekitar 9 sampai 12 proses
tergantung kerumitan pengerjaannya.23
Saya akan mencoba menjelaskan bagaimana proses
pembuatan batik tersebut secara singkat.
Pertama, bahan/kain mori putih direbus untuk menghilangkan zat-zat kimia yang
menempel dan terbawa dari pabrik, kemudian bahan tersebut dijemur. Setelah kering kain
tersebut dihaluskan permukaannya. Cara penghalusannya bukan di setrika atau diratakan
begitu saja, akan tetapi tiap gulungan bahan tadi dipukuli dengan kayu.24
Proses penghalusan
ini dalam bahasa/istilah Jawanya disebut “dikemplong”, atau dapat juga di press, hal ini
dilakukan agar permukaan bahan menjadi rata sehingga pada saat pewarnaan warna akan
menyerap ke dalam kain tersebut dengan sempurna.
Setelah itu, dibentuk pola-pola pada bahan mori. Kemudian bahan mori dicap
pinggirnya, setelah itu barulah dicap bagian tengah dengan alat cap yang memiliki berbagai
macam motif-motif batik. Akan tetapi tidak selalu harus melalui tahap cap di sisi kain, karena
hal itu tergantung dari pesanan atau dari barang yang akan diproduksi.
Setelah selesai dicap kemudian proses selanjutnya adalah dikelir atau diberikan warna
dasar pada kain, akan tetapi bisa juga dicolet terlebih dahulu tergantung dari selera atau
pesanan, colet merupakan proses pengisian warna pada bahan mori yang telah dicap
sebelumnya, dengan cara dilukis dengan menggunakan kuas ataupun kayu yang telah
diruncingkan.25
Gambar 1. Proses pencoletan pada bahan mori
23 Saya sendiri telah pergi ke pabrik Sida Mukti yang berada di Pekalongan untuk melihat, memperhatikan, dan
juga mencoba membuat satu kain batik, dan memang benar untuk membuatnya harus melalui proses yang
cukup panjang sehingga saya dapat mengerti betapa rumitnya proses pengerjaan batik itu. 23
Wawancara dengan Mas Slamet, pegawai di Pabrik Sida Mukti. Lokasi wawacara di pabrik Sida Mukti, pada
hari Minggu, tanggal 4 Mei 2014. 24
Koran: Terbit.Rabu, 21 Agustus 1996. Hlm.7 25
Wawancara dengan Mas Slamet. Op.Cit.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Setelah dicolet kemudian bahan mori tersebut direndam menggunakan air yang telah
dicampur dengan bahan kimia tepol, fungsi/guna dari direndamnya bahan mori ke dalam air
yang telah dicampur bahan kimia tersebut adalah untuk menimbulkan warna pada bahan mori
yang telah dicolet sebelumnya.26
Kemudian bahan mori itu dijemur hingga kering, setelah
kering apabila ada warna yang ingin dipertahankan maka ditutup lagi dengan cara menaruh
lilin panas dengan menggunakan canting di atas warna yang ingin dipertahankan atau dibatik.
Setelah itu barulah dilakukan pewarnaan dasar atau pengeliran seluruh permukaan
bahan mori dengan cara dicelupkan ke cairan pewarna berkali-kali, diangkat-dicelup hingga
beberapa kali, yang dalam bahasa batik disebut “slerek” sehingga secara keseluruhan bahan
batik tersebut telah tertutup warna dasar.
Gambar 2. Proses pewarnaan dasar pada kain
Agar warna itu dapat bertahan maka dilakukanlah penguncian warna, karena pewarna
menggunakan bahan pewarna naptol maka proses penguncian warnanya menggunakan air
dengan campuran garam.27
Maka keluarlah warna yang diinginkan dan menjadi warna
tetap/tidak luntur. Setelah itu kain batik di “lorod” atau dimasukkan ke dalam air panas untuk
menghilangkan lilin/malam yang tadi menutupi sebahagian motif pada bahan tersebut.
Setelah itu kain tersebut diangkat, maka seluruh lapisan malam yang tadi melekat pada
kain sudah terlepas, dan kain batik telah siap dicuci di air biasa/tidak panas, kemudian
dijemur kembali pada tempat yang aman dan tidak terkena cahaya matahari langsung agar
kain tidak rusak dan juga warna ataupun motif pada kain tersebut tidak rusak atau cepat
pudar.28
Setelah kering bahan tersebut telah menjadi bahan batik sepenuhnya dan dapat
dipergunakan sesuai dengan fungsinya, dan juga siap untuk dijual.
26
Ibid. 27
Wawancara dengan Mas Slamet. Pegawai di Pabrik Sida Mukti. Ibid. 28
Terbit. Op.Cit.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Dari segi pemasaran hasil-hasil produksinya juga tentu mengalami perubahan. Apabila
sebelumnya cara pemasaran barangnya diantarkan kepada konsumen/pembelinya atau
ditawarkan berkeliling, dan juga menitipkan di pasar-pasar tradisional, setelah adanya
modernisasi cara pemasaran hasil produksinya sudah pasti tidak lagi menggunakan cara
seperti itu. Kini cara pemasaran produk dikirim menggunakan paket dari pabrik di
Pekalongan ke kantor pusat yang berada di Jakarta, dari sana barulah kemudian barang-barang
tersebut di distribusikan ke outlet-outlet/toko Sida Mukti yang berada di pusat-pusat
perbelanjaan.
Dalam perjalanan karir dan bisnisnya, Batik Sida Mukti pernah menghasilkan atau
menciptakan prestasi yang sangat membanggakan. Pada tahun 1949, berkat kekhasan yang
dimiliki Sida Mukti, produk-produknya berhasil dipercaya dan mendapatkan pesanan yang
datangnya dari Ibu Muhammad Hatta, isteri Wakil Presiden RI.29
Pesanannya tersebut
kemudian dijadikan sebagai cindera mata bagi para tamu kenegaraan yang datang ke Istana
Negara. Namun, sejak 1960-an Sida Mukti tidak pernah mendapatkan pesanan lagi dari dari
orang-orang penting di dalam pemerintahan. Pasalnya, saat itu telah banyak produsen-
produsen batik lain yang bermunculan, dan pemerintah memiliki langganan mereka tersendiri.
Walaupun begitu, Sida Mukti tetap menekankan kualitas dan tidak menyampingkan unsur
seni yang selalu dijaga dan dipegang teguh oleh Sida Mukti, bahkan hingga sekarang. Itu
sebabnya, dalam pembuatan batiknya dilakukan secara tradisional daripada menggunakan
mesin.
Sida Mukti dalam membangun dan menjalankan usahanya sebagai produsen batik
tentu menemui banyak tantangan. Tantangan yang dimaksud disini adalah banyaknya
produsen-produsen batik lain yang mulai bermunculan dan tersebar luas di Jakarta. Hal ini tak
pelak turut meramaikan persaingan di dalam bisnis batik di Jakarta. Sida Mukti jelas menemui
tantangan yang cukup berat agar dapat bertahan, mereka harus memiliki ciri khas ataupun
melakukan inovasi dan cara-cara lain agar tetap dapat eksis dan bertahan di kancah dunia
perbatikan, khususnya di Jakarta.
Kartika akhirnya berhasil menemukan/mendapatkan satu ide untuk membuat dan
memproduksi house hold seperti taplak meja, serbet, bed cover, sarung bantal, dinner set, dan
lain sebagainya untuk bahan dekorasi ruangan rumah maupun kantor. Ia begitu jeli dalam
memikirkan hal tersebut, karena melihat dan memperhatikan bagaimana para kompetitor
usahanya dalam menjual barang-barangnya yang kebanyakan hanya menjual kain dan busana
pria dan wanita yang beragam, akan tetapi belum ada yang memproduksi dan menjual house
29
Terbit, 21 Agustus 1996.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
hold atau perlengkapan rumah tangga yang terbuat dari batik. Ia melakukan hal ini dengan
tujuan agar dapat menghadapi persaingan antar produsen batik yang semakin ketat, dengan
cara menciptakan atau membuat sesuatu yang baru dengan mutu dan kualitas yang baik, corak
dan motif yang beragam dan warna-warna yang cerah. Ia berharap dengan melakukan hal ini
akan banyak konsumen yang datang ke toko dan membeli barang-barang produksinya.
Sida Mukti juga benar-benar memperhatikan setiap detail dari produknya, proses
pewarnaannya juga dilakukan dua kali secara bolak-balik sehingga warna yang dihasilkan
akan bagus. Hal ini yang menjadi keunggulan dari Sida Mukti dan juga membuat produknya,
terutama house hold, laku di pasaran. Memang harga yang ditawarkan oleh Sida Mukti untuk
produk house hold nya terbilang cukup mahal, untuk sebuah bed cover saja harganya
mencapai Rp 2,2 juta, harga yang mungkin tidak semua orang akan membayarnya hanya
untuk membeli sebuah bed cover. Meskipun begitu Sida Mukti tetap memiliki pangsa
pasarnya tersendiri. Menurut penuturan Ibu Sulistiarini selaku manajer perusahaan, banyak
wisatawan/turis asing yang menyenangi dan membeli produk house hold ini, biasanya mereka
membeli dalam jumlah yang banyak untuk dibawa ke negara asal mereka sebagai oleh-oleh.30
Kartika banyak melakukan ekspansi untuk menjual produk-produknya agar dapat
semakin mengembangkan usahanya dengan cara membuka counter/outlet di beberapa pusat
perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya, diantaranya adalah Sarinah, Plaza Senayan, Grand
Indonesia dan Pasaraya Blok M, hingga sekarang outlet Sida Mukti tetap eksis dan dapat
bertahan disana.
Produk house hold Sida Mukti juga banyak diminati oleh para turis mancanegara
ataupun ekspatriat yang sedang berada di Jakarta. Melihat dan mempelajari dari adanya minat
dan ketertarikan orang asing untuk membeli barang-barang produksinya, kemudian Sida
Mukti mencoba peruntungannya untuk menjual produknya ke Bali, karena Sida Mukti melihat
adanya peluang untuk menjual barang-barang hasil produksinya kesana, dimana Pulau Bali
adalah tempat wisata yang terkenal di Indonesia dan banyak terdapat wisatawan asing yang
berlibur kesana, dan mungkin akan tertarik untuk membeli produk Sida Mukti.
Cara yang dilakukan Sida Mukti cukup berhasil, mereka mendapatkan omzet yang
cukup banyak dari hasil penjualan barang produksinya ke Bali. Banyak wisatawan asing yang
tertarik dan membeli produk Sida Mukti, mereka membelinya sebagai cindera mata atau oleh-
oleh yang akan dibawa ke kampung halaman mereka masing-masing. Setidaknya hal ini terus
berlangsung hingga tahun 2002, sebelum terjadinya tragedi Bom Bali 1 yang sangat
berpengaruh terhadap Batik Sida Mukti.
30
Wawancara dengan Ibu Sulistiarini, manajer perusahaan, Jakarta, 6 Juli 2014.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Tragedi Bom Bali I memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap menurunnya
jumlah wisatawan asing yang datang kesana sehingga berpengaruh terhadap pemasukan kota
Bali, berdampak pula terhadap pedagang yang ada disana, toko-toko souvenir yang biasanya
ramai dikunjungi wisatawan asing kini sepi pegunjung. Hal tersebut juga ikut memberikan
pengaruh terhadap Sida Mukti yang tidak dapat lagi menjual produk-produknya kesana.
Setelah berhentinya pengiriman dan penjualan barang ke Bali pasca tragedi bom tersebut,
omset atau pemasukan yang didapat Sida Mukti menurun cukup drastis, karena memang Sida
Mukti mendapatkan hasil penjualan yang cukup besar dari sana.
Sumber: Data perusahaan Sida Mukti
No Tahun Total pendapatan Jumlah pegawai
(kantor + pabrik)
Total
Produksi
Perkiraan Pertumbuhan
Penjualan
1 1996 760.014.000 21+31 = 52 3.050
2 1997 780.050.000 21+31 = 52 3.120
3 1998 821.000.000 21+31 = 52 2.736
4 1999 1.339.000.000 21+31 = 52 2.820 2.052.500.000
5 2000 1.345.000.000 21+31 = 52 2.830 2.105.865.000
6 2001 1.362.000.000 21+31 = 52 2.867 2.160.617.000
7 2002 1.130.000.000 21+31 = 52 2.150 2.216.800.000
8 2003 1.120.000.000 21+31 = 52 2.130 2.274.400.000
9 2004 1.412.000.000 21+31 = 52 2.680 2.333.564.000
10 2005 2.599.000.000 28+28 = 56 5.190 2.394.237.000
11 2006 2.545.000.000 28+28 = 56 4.625
12 2007 2.671.000.000 28+28 = 56 4.850
13 2008 2.970.000.000 32+26 = 58 5.160
14 2009 2.974.000.000 42+30 = 72 5.170
15 2010 3.577.000.000 41+30 = 71 5.900
16 2011 3.427.000.000 34+30 = 64 5.711
17 2012 3.612.000.000 37+30 = 67 5.760
Note: Pada tahun 1998-1999 harga dinaikkan bertahap sampai 250%, karena keadaan ekonomi setelah
peristiwa Mei.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Sida Mukti sebenarnya telah mengalami kemunduran dalam total pendapatannya pada
tahun 1999 pasca terjadinya peristiwa kerusuhan Mei saat itu. Kartika sampai menaikkan
harga penjualan hingga 250% secara bertahap karena harga dollar saat itu juga mengalami
kenaikan sangat tajam dari 2.500 menjadi 15.000 US$. Akan tetapi tetap saja Sida Mukti
tidak mampu mendapatkan omzet/pemasukan sesuai yang diharapkan. Dapat dilihat dalam
tabel, seharusnya apabila ingin mendapatkan omzet yang stabil, pada tahun 1999 Sida Mukti
mendapatkan Rp 2.052.500.000, akan tetapi seperti yang terlihat di tabel omzet yang didapat
pada tahun tersebut hanya Rp1.339.000.000, jadi dapat dikatakan Sida Mukti mengalami
penurunan pendapatan pada tahun tersebut. Meskipun begitu tetapi tidak terlalu berpengaruh
terhadap hasil produksinya, dapat dilihat dalam tabel hasil produksinya dapat dikatakan stabil.
Pendapatan yang diperoleh Sida Mukti semakin mengalami penurunan, puncaknya
pada tahun 2002 dimana terjadi peristiwa Bom Bali saat itu. Hasil produksi Sida Mukti
menurun cukup tajam dari sebelumnya mampu menghasilkan 2.867 buah pada 2001, turun
menjadi 2.150 pada tahun berikutnya. Total pendapatan pada tahun itu juga mengalami
penurunan yang cukup tajam, yang seharusnya Sida Mukti bisa mendapatkan pemasukan
sebesar Rp 2.216.800.000, akan tetapi hanya mendapatkan Rp 1.130.000.000. Angka tersebut
juga apabila dilihat mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, pada 2001 Sida Mukti
memperoleh total penjualan sebesar Rp 1.362.000.000. Keadaan ini berlangsung cukup lama
hingga tahun 2004. Baru pada tahun 2005 omzet yang didapat Sida Mukti mengalami
peningkatan yang cukup besar, begitu pula dengan jumlah produksi yang mampu
dihasilkannya.
Akibat dari penurunan omzet pasca tragedi Bom Bali, Sida Mukti terpaksa harus
menutup beberapa outlet mereka di sejumlah pusat perbelanjaan. Seperti di Metropolitan Mall
Bekasi, Ramayana Surya Kencana Bogor, Ramayana Depok, dan Ramayana Tanah
Abang.Sida Mukti terpaksa menutup semua counter nya disana.
Dampak dari tragedi Bom Bali tersebut tidak sampai membuat Sida Mukti collaps dan
memberhentikan satupun pegawainya. Sida Mukti masih dapat bertahan dan meneruskan
usahanya. Hal ini dapat terjadi karena selama ini tidak pernah melakukan pinjaman uang
kepada bank untuk tambahan modalnya, semuanya menggunakan modal sendiri, sehingga
ketika terjadi suatu peristiwa seperti Bom Bali, Sida Mukti tidak memiliki tanggungan hutang
yang harus dibayar oleh mereka, sehingga tetap dapat meneruskan dan mengembangkan
usahanya meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat memulihkan
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
keadaan/kondisi keuangan Sida Mukti, tetapi setidaknya tidak sampai membuat usaha batik
ini bangkrut atau berhenti memproduksi. 31
Berkat kegigihan dan usaha yang dilakukan oleh Kartika dalam membangun usaha
batik ini, dan juga cara-cara ataupun inovasi baru yang ditawarkan oleh Sida Mukti, seperti
dengan cara menjual house hold, berhasil menjadikan produk tersebut sebagai produk
unggulan dari Sida Mukti. Hal ini membuat batik Sida Mukti dapat berkembang dan dapat
terus bertahan dalam ketatnya persaingan bisnis batik di Jakarta, bahkan Sida Mukti dapat
terus melanjutkan usahanya dan bertahan hingga sekarang.
Kesimpulan
Perusahaan Batik Sida mukti yang berawal dari usaha home industry seorang janda
untuk bertahan hidup demi mencukupi kebutuhan keluarga dengan tiga orang anak
perempuan yang masih kecil, dengan semangat dan kegigihan serta keuletan ternyata tidak
saja hanya mampu mencukupi keluarga namun pada akhirnya dapat memberikan lapangan
pekerjaan bagi orang banyak tanpa sedikitpun mendapat bimbingan atau arahan apalagi modal
kerja dari lembaga terkait. Hal ini membuktikan bahwa usaha batik dengan kualitas yang
bagus dan mempunyai ciri khas didalam setiap produk house holdnya mempunyai peluang
pasar yang cukup bagus baik oleh customer lokal maupun customer asing.
Pada awalnya usaha kecil ini hanya dapat membuat sedikit sekali produk batik,
dikarenakan sarana dan prasarana yang terbatas, namun dengan seiring perjalanan waktu
peminat batik semakin bertambah, dan produk perlengkapan rumah tangga dari batik yang
pada awalnya hanya dianggap sebagai barang murahan kuno yang tidak bermutu lambat laun
naik citranya menjadi kebutuhan dibanyak rumah tangga. Permintaan pasar semakin
meningkat, tanpa disadari dan direncanakan terjadilah pertumbuhan dan perkembangan dari
perusaan batik Sida Mukti. Sedikit demi sedikit karyawan ditambah dengan sistem getuk’
tular atau dari mulut kemulut, dan akhirnya bengkel kerja sempit dan kecil di Jatinegara
dapat dipindah ke bangunan yang jauh lebih besar di daerah Menteng Atas Minangkabau.
Peralatan pembatikan pun diperbanyak seperti alat canting dan cap, disertai pembuatan
tempat-tempat pelorotan dan pewarnaan yang memadai, juga tempat penjemuran yang luas.
Pabrik Sida Mukti terpaksa harus pindah dari Jakarta karena adanya peraturan dari
pemerintah kota untuk merelokasi pabrik dari daerah Jakarta. Akhirnya pemilik perusahaan
31
Wawancara dengan Ibu Sulistiarini. Ibid.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
mencari daerah lain sebagai tempat untuk mendirikan pabriknya, dan kota Pekalongan lah
yang dipilih. Alasannya karena terdapat banyak tenaga pembatik yang terampil, selain itu air
yang terdapat disana cocok untuk digunakan dalam proses pembatikan. Peralatan-peralatan
membatik ikut dibawa semuanya ke Pekalongan.
Pasar yang semula hanya dari kalangan tertentu mulai berkembang menjadi toko di
tebet, kemudian banyak mall di Jakarta menawarkan untuk mengisi gerai mereka, sehingga
dibutuhkan lebih banyak lagi pegawai selain untuk produksi juga sebagai tenaga pemasaran.
Dilatihlah para SPG (Sales Promotion Girl) dalam hal pengetahuan dasar batik, sistim
pelayanan yang baik dan sebagainya, hal ini tentunya tidak dapat dikerjakan sendiri oleh
pemilik yang mempunyai dasar pengetahuan marketing yang terbatas, jasa konsultan
dibutuhkan dalam hal ini. Konsultan pun memberikan masukan untuk management yang lebih
baik, sistem komputerisasi untuk administrasi dan bank juga jasa lainnya. Akhirnya Sida
Mukti dapat berkembang menjadi satu perusahaan yang cukup besar dan tangguh.
Pada dasarnya perkembangan penjualan batik sida mukti selalu naik dari tahun
ketahun, namun pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998 penjualan dirasakan sangat anjlok
sekali dimana omzet penjualan menurun, yang seharusnya Sida Mukti mampu mendapatkan
omzet Rp 2.052.000.000, hanya bisa mendapatkan 1.339.000.000, hal ini disebabkan karena
keadaan ekonomi yang tidak menentu dimana 1 dollar dengan nilai tukar Rp.2.500,- melonjak
hingga lebih dari Rp.10.000,- dilain hal suku bunga deposito meroket mencapai 60%.
Keadaan yang dapat disebut chaos. Sida Mukti sendiri didalam keadaan ini menjadi sangat
bingung, satu hal omzet penjualan yang menurun di lain hal semua bahan baku naik berlipat
lipat harganya dan anehnya barangnya kosong/tidak ada, produsen hanya memberi harga.
Ditengah kekacauan ini Sida Mukti mengambil tindakan untuk menaikkan harga jual batik
secara bertahap dengan total menjadi 250%, tentu saja ini sangat menghambat penjualan, para
SPG harus berjuang keras untuk dapat menjual produk Sida Mukti. Untunglah dengan
melemahnya nilai tukar dolar, turis asing dan para pekerja asing di jakarta justru banyak
memborong batik disebabkan nilai tukar mereka yang tinggi. Inilah yang sedikit membantu
Sida Mukti didalam masa kesulitan tersebut. Masa sulit ini tidak cepat berakhir diperlukan
beberapa tahun untuk memulihkannya, namun beruntung bahwa Sida Mukti tidak mempunyai
pinjaman atau hutang bank sehingga tidak terlalu terpuruk dan tetap dapat mempertahankan
para pegawainya tanpa harus melakukan PHK sehingga tetap eksis. Kesulitan lain terjadi lagi
di tahun 2002 pada saat terjadi tragedi Bom Bali, turis asing hampir tidak datang keIndonesia,
namun Sida Mukti tetap dapat bertahan dengan counter-counter yang tersebar di Jakarta.
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Saat ini Sida Mukti mencapai masa keemasannya dimana seluruh elemen kegiatannya
telah dengan sistimatis diatur rapih, mulai dari persiapan bahan baku, proses produksi,
kontroling mutu, pengembangan motif dan model produk, penjualan, administrsi keuangan
dan perbankan. Sehingga tidak ada kekhawatiran bagi pemilik dan para pegawai untuk dapat
terus melanjutkan perusahaan Batik Sida Mukti.
Daftar Referensi
1. Sumber Buku
Chotim, Erna Ermawati. Subkontak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan (Kasus
Industri Kecil Batik Pekalongan). Bandung: Yayasan Akatiga. 1994
Cribb, Robert & Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
2012
Dewi, Citra Samara. dkk. „Batik Dekod’ Pengembangan Motif Batik Pekalongan di Tengah
Industri Kreatif. Pekalongan: Pemerintah Kota Pekalongan. 2011
Djoemena, S. Nian.Ungkapan Sehelai Batik, Its Mystery and Meaning. Jakarta: Penerbit
Djambatan. 1990
Drs. Hamzuri. Batik Klasik. Penerbit: Jambatan. 1981
Kerjasama Penelitian antara Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia dengan Institute of
Social Science & Institute of Oriental Culture. Trusmi, Desa Batik Cirebon (Studi
Sosial Budaya Mengenai Keberadaan Kerajinan Batik Tradisional. Depok: 2005
Marzuki, Jazir dan tim. Batik (Pola dan Tjorak). Jakarta: Djambatan. 1966
Sekimoto, Teruo dan tim. Handicraft and Socio-Cultural Change: A Study of Batik Making
in Cirebon and Pekalongan. Center for Japanese Studies University of Indonesia.
Maret, 2003.
Soedarmono.Mbok Mose, Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20. Jakarta:
Yayasan Warna-rarni Indonesia. 2006
Taylor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia. Masup Jakarta. 2009
Tim peneliti dari Museum Tekstil Jakarta. The Jakarta Textile Museum. Jakarta: PT
Jayakarta Agung Offset. 1998
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Veldhuisen, Harmen C. Batik Belanda 1840-1940 (Pengaruh Belanda pada Batik dari
Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: PT Gaya Favorit Press. 2007
Yuliati, Dewi. Mengungkap Sejarah & Pesona Motif Batik Semarang. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Press: 2009.
2. Hasil Penelitian
Sastrodinomo, Kasijanto. Industri Rumah Tangga di Tanah Kerajaan (Pembatikan di
Yogyakarta dan Surakarta Sekitar 1850-1940). Laporan Penelitian. 1992
3. Sumber Koran dan majalah
Kompas, Minggu, 28 November 1993
Kompas, Jumat, 23 April 2004
Kompas, Minggu, 30 November 1997
Kompas, Jumat, 16 Maret 2001
Kompas, Kamis, 15 April 2004
Majalah WTC Trade Post, September 1993
Terbit, Rabu, 21 Agustus 1996
4. Wawancara
1. Nyonya Kartikaningsih, 83 tahun, pemilik perusahaan Batik Sida Mukti. (Wawancara
dilakukan pada tanggal 5 Maret 2014, di kantor Sida Mukti)
2. Ibu Sulistiarini, 50 tahun, wakil pimpinan perusahaan Batik Sida Mukti. (Wawancara
dilakukan pada 19 Maret, 12 Mei, 3 Juni, di kantor Sida Mukti)
3. Mas Slamet, 55 tahun, karyawan pabrik Sida Mukti, ahli dalam bidang pencampuran
warna. (Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Mei 2014, di pabrik Sida Mukti)
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014
Perkembangan perusahaan..., Aditya Dimas Putra, FIB UI, 2014