PERDAMAIAN DALAM PANDANGAN BUDDHISME ......terjadi di berbagai belahan dunia karena ketidakberdayaan...
Transcript of PERDAMAIAN DALAM PANDANGAN BUDDHISME ......terjadi di berbagai belahan dunia karena ketidakberdayaan...
PERDAMAIAN DALAM PANDANGAN
BUDDHISME NICHIREN
(Studi Atas Pemikiran Dan Gerakan Perdamaian
Daisaku Ikeda)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Ahmad Daenuri
NIM: 1113032100013
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKUTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Ahmad Daenuri
Perdamaian Dalam Pandangan Buddhisme Nichiren (Studi Atas Pemikiran
dan Gerakan Perdamaian Daisaku Ikeda)
Umat manusia di seluruh penjuru dunia kini dihadapkan pada dilema yang
tidak terelakkan : ancaman senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya,
pertikaian etnis, perusakan lingkungan hidup akibat efek pemanasan global dan
penghancuran lapisan ozon, serta merebaknya kejahatan yang brutal.
Di abad milenium ketiga ini, harus dipastikan dapat terhapusnya
penderitaan yang tidak perlu di planet bumi ini. Dalam upaya mewujudkan tujuan
ini, untuk memulai suatu era baru pedamaian dan harapan, maka melalui ajaran
Buddhisme Nichiren, Daisaku Ikeda mencoba menerapkan tiga konsep utama
yang digagasnya yaitu penguasaan diri, dialog peradaban dan kewarganegaraan
global.
Menurutnya, untuk dapat menjadi warga dunia yang baik tergantung pada
tarap penguasaan diri yang dapat dicapai. Kemampuan untuk melihat menembus
ke dalam diri sendiri akan memungkinkan kita untuk melepaskan ikatan-ikatan
kebangsaan dan garis-garis keturunan etnis. Kemudian jalur dialog, jalur dialog
ini menurut Ikeda sangat penting sekali dalam menciptakan perdamaian, karena
kecenderungan pada logika dan diskusi adalah salah satu bukti kemanusiaan.
Selanjutnya dalam hal ini Ikeda berupaya menyadarkan seluruh manusia
dengan kesadaran kewarganegaraan global. Menurutnya kesadaran ini sangat
penting demi menciptakan perdamaian yang abadi. Untuk meletakkan fondasi
bagi perdamaian abadi, tentu harus menghapuskan perang, mendorong peralihan
dari budaya perang ke budaya damai. Bila semua manusia bergabung sebagai
mitra sejajar untuk menciptakan kebudayaan damai, maka dapat disaksikan
terbitnya suatu zaman ketika kebahagiaan dapat dinikmati setiap orang.
Penelitian ini secara sistematis membahas pemikiran perdamaian Daisaku
Ikeda yang mengacu pada ajaran-ajaran Buddhisme Nichiren dengan
memfokuskan pada analisa mengapa pemikiran ini kemudian timbul, dasar apa
yang menjadi pijakan atas pemikirannya dan bagaimana pemikiran tersebut dapat
diimplementasikan melalui gerakannya dan apakah pemikiran tersebut relevan
diterapkan pada zaman sekarang ini. Dalam penulisan ini menggunakan model
library research, dengan membaca buku-buku karya Daisaku Ikeda dan buku-
buku penunjang lainnya.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat ilahi rabbi dengan segala karunia dan
nikmat yang diberikan kepada umat manusia, hingga sebahagian kecil dari sebuah
perjalanan hidup yang diarungi oleh salah seorang hamba-Nya, tak pernah luput
dari pantauan dan perhatian-Nya. Penulis persembahkan syukur yang tak terbilang
kepada-Nya. Tuhanku dan tuhan semesta alam karena kesehatan fisik dan mental
yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan penulisan
skripsi ini sebagai bagian dari tugas akademis di Program Studi Agama-agama
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada nabi akhir zaman dan
kekasih Allah, Muhammad saw, sang peletak dasar prinsip pendidikan Islam yang
sekaligus menjadi suri tauladan bagi umatnya hingga akhir zaman.
Selama proses penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan
yang dihadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu,
pengumpulan bahan-bahan, maupun biaya yang dibutuhkan dan lain sebagainya.
Namun berkat kesungguhan hati dan doa serta kerja keras, dorongan dan bantuan
dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan
sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan bimbingan, dan
motivasi dari semua pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik.
Maka sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-
besarnya dan rasa hormat yang mendalam ditujukan kepada:
1. Bapak Dr. Hamid Nasuhi, M.A sebagai pembimbing dalam penulisan
skripsi ini yang di tengah kesibukannya masih berkenan meluangkan
iii
waktu dan tenaganya serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis sehingga membuka cakrawaala berpikir dan nuansa
keilmuan yang baru. Hanya Allah yang dapat membalas semua kebaikan
Bapak, dan semoga Bapak beserta keluarga selalu dikaruniai kesehatan,
umur panjang, kelancaran rizki dan bahagia dunia maupun akhirat kelak.
2. Ibu Hermawati. M.Ag, selaku penasihat akademi penulis, yang telah
memberikan nasihat-nasihatnya.
3. Ketua Jurusan Studi Agama-agama, Dr. Media Zainul Bahri, MA yang
selalu menyenangkan ketika menyampaikan materi, semoga bapak selalu
diberi kesehatan dan umur yang berkah.
4. Para dosen Fakultas Ushuluddin terutama dosen Jurusan Studi Agama-
agama yang telah mentransfer ilmunya kepada penulis, semoga bapak dan
ibu dosen selalu diberikan kesehatan dan ilmu yang telah diberikan kepada
penulis dapat bermanfaat.
5. Pemimpin beserta Staf Perpustakaan Utama dan Staf Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi studi pustaka.
6. Pengurus Organisasi Soka Gakkai Indonesia, terutama Kepada Kak Kiki
Tanzil, Pak Ayong, dan Ibu Evi yang bersedia membantu penulis dalam
mencari informasi mengenai kajian skripsi penulis, dan terima kasih atas
buku-buku referensi yang telah diberikan kepada penulis, penulis merasa
senang atas perlakuan yang telah diberikan.
7. Kedua orang tua tercinta yakni Ayahanda Sambani dan Ibunda Sunari
yang selalu memberikan do’a restu dan dukungannya berupa materi,
iv
motivasi, nasihat, serta kasih sayang yang tiada tara bagi penulis, munajat
do’anya disetiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam
mengarungi bahtera kehdupan. Ka Nurdin, Teh Rohimah, Ka Jejen, Teh
Pidoh, Teh Nur, Teh Rosidah terimakasih atas segala nasihat dan
perhatiannya kepada adekmu ini, semoga kalian selalu diberikan
kesehatan, keberkahan rizki. Dan untuk Adeku Syamsul, maafkan
kakakmu yang selalu marah marah, itu karena kecintaanku kepadamu,
semoga kamu selalu diberikan ketabahan dalam menjalani hidup ini, terus
semangat dan jangan lupa solat dan sabar. Kepada kakak-kakak ipar,
keponakan dan semua keluargaku terima kasih atas dukungan dan do’anya
semoga keluarga besar kita akan terus terjaga dengan bimbingan dan
rahmat Allah swt.
8. Kepada Pengurus Mushola Nurul Huda Mabad dan para jamaahnya yang
sangat perhatian kepada penulis, terimakasih banyak atas nasihat-nasihat
dan kebaikannya, semoga bapak-bapak dan ibu-ibu para jamaah
mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
9. Kepada teman-teman seperjuanganku yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu terimakasih atas canda tawanya dan kegilaan kalian sehingga
terkadang hidup ini menjadi lebih segar dan hangat. Semoga kalian
menjadi orang-orang sukses yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa ke hadirat
Allah SWT. Semoga amal baik semua pihak yang telah membimbing,
mengarahkan, memperhatikan dan membantu penulis dicatat oleh Allah
v
sebagai amal soleh dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Dan
mudah-mudahan apa yang penulis usahakan dapat bermanfaat. Amiin
Jakarta, 29 Maret 2018
Penulis
Ahmad Daenuri
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 11
F. Metode Penelitian......................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 14
BAB II BIOGRAFI DAISAKU IKEDA
A. Riwayat Hidup Daisaku Ikeda .................................................... 16
B. Karir dan karya Intlektualnya....................................................... 25
BAB IV PEMIKIRAN DAN GERAKAN PERDAMAIAN
DAISAKU IKEDA
A. Reformasi Manusia ..................................................................... 33
1. Kondisi Jiwa Manusia ........................................................... 33
2. Sepuluh Alam Hidup Dan Sepuluh Faktor .......................... 39
3. Agama dan Revolusi Manusia: Sumber Penciptaan Nilai .... 49
B. Dialog Peradaban ....................................................................... 53
1. Budhisme dan Kekuatan Dialog ........................................... 53
2. Kristalisasi Ciri-ciri Demokratis ........................................... 55
vii
C. Kewarganegaraan Global ........................................................... 58
1. Ciri-ciri dan Karakter Warga Negara Global ........................ 58
2. Kompetisi Kemanusiaan ....................................................... 61
3. Jalur Kesadaran Global ......................................................... 64
BAB IV IMPLEMENTASI DAN RELEVANSI KONSEP PERDAMAIAN
DAISAKU IKEDA
A. Perdamaian dan Perlucutan Senjata ........................................... 67
B. Bantuan Kemanusiaan ............................................................... 72
C. Pendidikan Hak Asasi Manusia ................................................. 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 80
B. Saran .......................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara fitrah manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini.
Manusia diberi akal pikiran yang dapat membedakan dengan makhluk
lainnya sehingga dalam setiap diri manusia mengalir rasa kasih sayang dan
perdamaian. Manusia senantiasa selalu memberikan kebebasan terhadap
manusia lainnya untuk melakukan hal-hal positif dan bukan menjadikan
manusia sebagai tumbal untuk memenuhi hawa nafsunya.
Kemajuan manusia dari waktu ke waktu terus meningkat, bahkan
ada sebuah keyakinan bahwa kemajuan manusia tidak terbatas. Namun
sejak permulaan abad ke- 20 tujuan luhur dalam mengembangkan kemajuan
dan peradaban tersebut telah dipudarkan oleh ideologi kaum ekstrimis yang
pada akhirnya mengakibatkan pembantaian manusia secara besar besaran.
Anggapan akan adanya prospek masa depan umat manusia yang jauh lebih
cerah setelah berakhirnya perang dingin pada tahun 1989, itu hanyalah
isapan jempol semata. Harapan itu segera sirna saat dunia dicabik-cabik
oleh berbagai konflik regional dan internal, dalam maupun luar negeri.
Sekitar kurang lebih 50 bangsa bergumul dalam konflik kekerasan,
perpecahan sehingga telah banyak menelan jutaan jiwa manusia.1
Akhir- akhir ini di seluruh penjuru dunia, umat manusia dihadapkan
dengan berbagai dilema: ancaman senjata nuklir, perusakan lingkungan,
merebaknya kejahatan, pertikaian etnis bahkan dalam hubungannya dengan
1 Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global (Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer, 2008), h. 1.
2
keagamaan sekalipun. Hal ini mengindikasikan telah terjadi pertentangan
menyangkut berbagai kepentingan di antara berbagai kelompok baik di
tingkat regional, nasional maupun internasional. Dalam berbagai
pertentangan dan konflik itu, isu suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA) begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan sehingga tercipta
suasana konflik yang cukup berbahaya dalam kehidupan masyarakat.
Eskalasi pertentangan yang dilapisi baju SARA seringkali menciptakan
konflik kekerasan yang lebih menegangkan dan meresahkan. Dalam suasana
seperti ini agama seringkali menjadi titik singgung paling sensitif dan
eksklusif dalam pergaulan masyarakat yang beragam. Masing-masing pihak
mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan pihak lain
adalah yang salah. Persepsi bahwa perbedaan adalah sesuatu yang buruk,
suatu hal yang menakutkan, sudah begitu rupa mendarah daging dalam jiwa
manusia terutama umat beragama.
Akibat dari perseteruan tersebut adalah kesengsaraan semua pihak,
yang bertikai maupun yang tidak mengetahui apa-apa. Pada dasarnya akibat
dari konflik adalah kerugian yang menyeluruh di berbagai pihak. Rakyat
kecil lagi-lagi menjadi korban dan harus menanggung akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh konflik tersebut. Berbagai peristiwa itu telah memberi
gangguan cukup serius terhadap tekad bersama untuk menciptakan dunia
yang damai, yang toleran dalam kehidupan antar pemeluk agama, toleran
dalam kebudayaan, toleran dalam politik, dan toleran dalam aspek-aspek
kehidupan lainnya.
3
Berbicara tentang perdamaian dunia, Daisaku Ikeda mengatakan
bahwa ada beberapa kendala dalam menciptakan perdamaian dunia,
diantaranya; (1) Paham Menolak Relasi Internasional, (2) Kerakusan (3)
Kemiskinan (4) Pengabaian Masalah Lingkungan Hidup.
Menurut Ikeda manusia harus merasa berkepentingan tidak saja
terhadap negerinya sendiri, tetapi juga terhadap kondisi internasional.
Banyak orang merasa tidak nyaman bila berhadapan dengan arus
internasionalisasi sehingga menarik diri ke wilayah atau negara dan ke
dalam tradisi mereka sendiri atau disebut dengan isolationism. Kendala
lain bagi perdamaian berakar pada motivasi dasar keserakahan terhadap
kekuasaan yang saling incar, tanpa malu-malu dan secara keji siap merebut
hak orang lain ketika mendapat kesempatan. Selain itu berbagai konflik
terjadi di berbagai belahan dunia karena ketidakberdayaan ekonomi atau
kemiskinan. Faktor lainnya adalah tidak dihargainya lingkungan hidup
yang mengakibatkan rusaknya lingkungan seperti polusi udara, air dan
tanah, pembalakan hutan, penggurunan, kerusakan lapisan ozon dan
berbagai dampak pemanasan global.2
Tentu semua permasalahan-permasalahan di atas harus disingkirkan
dan dicarikan solusinya. Pada permulaan abad ketiga ini seseorang harus
memiliki komitmen untuk menghapuskan penderitaan tersebut dari muka
bumi dan harus menemukan kunci untuk menjamin bahwa pada abad baru
ini penderitaan yang telah terjadi tidak akan terulang lagi. Dengan kembali
2 Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 3-6
4
memusatkan perhatian pada kesakralan hidup, maka harapan terhadap
perdamaian akan segera tercapai.
Kaitannya dengan hal ini tentunya upaya-upaya untuk menuju
perdamaian harus terus dipromosikan baik di tingkat nasional maupun
internasional. Upaya-upaya dalam mempromosikan perdamaian tersebut
telah banyak dilakukan oleh para tokoh-tokoh perdamaian dunia, sebut saja
misalkan Mahatma Gandi, Nelson Mandela, Bunda Teresa, Marthin Luther,
Syech Abdul Halim Mahmoud, Anwar Al-Sadat, Abdurrahman Wahid dan
tokoh-tokoh lainnya. Mereka terus menggaungkan ide-ide pemikirannya
untuk mengupayakan perdamaian dunia dan mengimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari baik itu melalui kebudayaan, pendidikan dan lain
sebagainya. Senada dengan hal tersebut, penulis tertarik dengan pemikiran
dan gerakan perdamaian yang dipelopori oleh seorang tokoh perdamaian,
Daisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai Internasional (SGI).
Di mata para penggagas perdamaian, Ikeda sangat dihormati dan
dibanggakan seperti apa yang pernah dikatakan oleh Abdurrahman Wahid
(Gusdur) ”Orang yang saya hormati adalah orang yang memiliki semangat
pantang menyerah walau apapun yang terjadi. Bagi saya Bapak Ikeda adalah
salah seorang yang saya hormati sebagaimana sosok orang tersebut”. Ini
merupakan suatu ungkapan dan pujian yang luar biasa. Arnold Toynbee
sebagai rekan dialognya memberi penilaian kepada Ikeda dengan nilai A,
setelah Ikeda menanyakan nilai apa yang akan diberikan kepadanya sebagai
murid. Setelah mendapatkan nilai A dari Toynbee, Ikeda semakin bertekad
5
untuk melawan semua kekuatan negatif yang berusaha membawa
penderitaan bagi kemanusiaan.3
Ikeda adalah penggiat perdamaian yang telah diakui oleh dunia. Ide-
idenya dalam mewujudkan perdamaian telah banyak dipublikasikan di
seluruh dunia baik melalui buku, jurnal maupun seminar. Ia juga melakukan
dialog dengan berbagai cendikiawan maupun pemimpin negara di dunia.
Disamping itu ia merupakan Presiden organisasi Bhuddhis terbesar dunia
yang memiliki kurang lebih 90 organisasi konsisten dan 12 juta anggota di
192 negara termasuk Indonesia.4 Ia menerima gelar Doktor Honoris Causa
lebih dari 260 universitas/lembaga pendidikan di dunia, diantaranya
Universitas Moskow, Universitas Glasgow, Universitas Beijing dan
Universitas Buenos Aires.5
Ia terus mempromosikan perdamaian melalui pemikiran-
pemikirannya yang kemudian dimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Dasar pemikiran yang mendorongnya untuk terus mengembangkan
pemikirannya terutama dalam hal perdamaian dan kemanusiaan adalah
falsafah hidup Budhisme. Hal tersebut terbukti melalui penulisan proposal
perdamaian yang diajukannya kepada PBB sejak tahun 1981 hingga
sekarang. Sejak tahun 1983, Ikeda dianugrahi “Penghargaan Perdamaian”,
“Penghargaan Kemanusiaan” dan “Duta Perdamaian” oleh PBB.6
3 The Heart of Dialog, 45 Years since the Toynbee-Ikeda Dialog, artikel diakses pada 15
Juli 2018 dari www.worldtribune.org 4 Daisaku Ikeda, Ikrar Perdamaian untuk Masa Depan yang lebih Manusiawi:
Menghapus Kesengsaraan dari Bumi (Japan: The Soka Gakai, 2015), h. 78. 5 Abdurrahman Wahid, Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. Ix. 6 Abdurrahman Wahid, Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian, h. Ix.
6
Dalam hal ini, ada tiga pemikiran Daisaku Ikeda dalam mewujudkan
perdamaian dunia ; (1) Transformasi Manusia, (2) Dialog Peradaban, dan
(3) Kewargaan Global (Global Citizenship).7
Pertama, Transformasi Manusia. Berdasarkan falsafah hidup
Budhisme tentang penguasaan diri, Nichiren Daishonin menularkan
kepercayaan terhadap Gohonzon8 dan pembacaan berulang dari Nam-
myoho-renge-kyo9, yang kemudian kepercayaan tersebut dipercaya oleh
pengikutnya secara turun temurun hingga saat ini. Daisaku Ikeda sebagai
pengikut Budhaisme Nichiren mempercayai ajaran tersebut sehingga ia
menjadikannya sebagai pokok dasar dalam merevolusi individu manusia,
mengubah hidup untuk perbaikan diri sendiri dan seluruh umat manusia
serta membersihkan dari karma yang menyedihkan. Nichiren Daishonin
meramalkan bahwa di masa yang akan datang kegiatan manusia baik itu
politik, ekonomi, diplomatik, industri dan lainnya, harus dimulai dengan
revolusi dalam hati manusia individual yang dicapai melalui kepercayaan
Buddhis.10
Revolusi manusia merupakan gagasan utama Ikeda dalam
mewujudkan perdamaian dunia, menurutnya perdamaian tidak hanya
7 Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 9-10.
8 Sutra Teratai mengajarkan bahwa Buddha Shakyamuni tidak lain adalah perwujudan
dari Buddha Abadi: sifat abadi Buddha yang ada di semua kehidupan dan semua makhluk yang
ditakdirkan untuk mewujudkan sebagai sifat mereka sendiri yang sebenarnya. Gohonzon
menggambarkan wawasan ini melalui penggunaan kaligrafi Cina dan mewakili kehidupan
mencakup semua Buddha Abadi, bukan obyek atau sesuatu.Gohonzon merupakan istilah yang
dipakai oleh ajaran Agama Budha Nichiren yang diistilahkan kepada Budha Sakyamuni.
Gohonzon artinya “ Yang Maha Mulia di Dunia ini”. 9 Nam-myoho-renge-kyo adalah hukum pokok alam semesta dan jiwa yang dapat
mengatasi penderitaan dari dasar, membuka kebahagiaan dan mencapai kesadaran Budha. Nam-
myoho-renge-kyo merupakan nama lengkap dari sutra bunga teratai yang diajarkan oleh Nichiren
Daisonin. 10
Daisaku Ikeda, Budhisme: Falsafah Hidup (Jakarta: PT Intermasa, 1988), h. 58.
7
ditandai dengan ketiadaan perang, melainkan terciptanya kondisi jiwa damai
yang berdampak positif bagi peningkatan martabat manusia sebagai
makhluk beradab. Perdamaian abadi diibaratkan sebuah garis lurus yang
dipertahankan secara sadar melalui interaksi individu-individu yang mampu
mengendalikan diri di dalam suatu masyarakat yang mampu menguasai
diri.11
Dalam ajaran Budhisme Nichiren terdapat istilah “Sepuluh Alam
Hidup” dalam hati manusia, Empat diantaranya merupakan alam kejahatan
yang memuat alam terendah; neraka (alam derita), kelobaan (alam yang
menguasai orang dengan kerakusan), kebinatangan (alam yang
menyebabkan orang dikuasai oleh naluri-nalurinya) dan keberangan (alam
yang menguasai orang dengan sifat persaingan). Keempat alam ini tidak
dipungkiri keberadaannya pada setiap individu manusia sebelum merevolusi
dirinya untuk mencapai martabat yang lebih tinggi. Reformasi internal
berarti proses tranformasi dari alam rendah itu naik ke alam mulia dan
tinggi; seperti alam kemanusiaan atau ketentraman, alam sorga atau
sukacita, alam kesarjanaan atau kebahagiaan berilmu, alam penciptaan atau
menghargai karya penciptaan, alam bodhisattwa dan kemudian terakhir
alam kebudhaan.12
Menurut hemat penulis, para pelaku teror dan konflik adalah orang
yang berada di dalam empat alam kejahatan tersebut di atas. Karena pada
dasarnya konflik dan teror merupakan bentuk kejahatan yang dilandasi
dengan hati yang kotor yang dikuasai oleh keinginan-keinginan materialistis
11
Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 13. 12
Ikeda, Budhisme: Falsafah Hidup, h. 36-38.
8
untuk mencapai kekayaan, kemashuran, dan keuntungan non spiritual.
Sehingga martabatnya merosot seperti binatang, meninggalkan akal dan
etika dan mengikuti naluri buasnya kemudian hukum rimbapun berkuasa.
Kedua, Dialog Peradaban, Upaya-upaya lain Daisaku Ikeda dalam
mempromosikan perdamaian adalah dengan melalui dialog, hal ini telah
dilakukannya dengan berbagai cendekiawan dan pemimpin negara di dunia,
dan telah mengarang lebih dari 50 buku dialog, di antaranya Dialog
Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian dengan KH. Abdurrahman
Wahid (Gusdur), Dialog Menuju Abad ke 21 dengan Arnold Joseph
Toynbee, Pelajaran Moral di Abad ke-20 dengan Mikhail Gorbachev,
Menuju Abad Kemanusiaan yang Agung dengan John Kenneth Galbraith,
Sebuah Pencarian untuk Perdamaian Global dengan Joseph Rotblat,
Perjalanan Ke-Kebudayaan dan Kesenian dengan Jao Tsung-I.13
Dialog merupakan langkah yang konkrit untuk dilakukan sebagai
prinsip-prinsip penyelesaian konflik secara damai. Dialog seperti ini sudah
diajarkan oleh Budha Sakyamuni kepada murid-muridnya, ia terus
mendorong mereka untuk menanyakan padanya persoalan apa saja, dalam
kedudukannya sebagai teman. Dari gambaran ini dapat dipahami bahwa
dialog semata-mata untuk menyelesaikan masalah dan merekatkan tali
persaudaraan bukan malah sebaliknya. Dalam hal ini Ikeda percaya dengan
kekuatan akal budi –melalui dialog- dapat menepis perbedaan dan
merekatkan persatuan. Menurutnya dialog merupakan senjata paling ampuh
diantara senjata-senjata orang moderat, dialog hanya dapat dihidupkan
13
Wahid dan Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian,h. Ix.
9
dengan sumberdaya energi dan kekuatan spiritual, hal ini jauh lebih baik
daripada orang-orang yang selalu menggunakan kekerasan.14
Ketiga, Kewarganegaraan global,15
Atas dasar prinsip
kemanusiaan, Ikeda terus berupaya mendorong warga dunia berkomitmen
pada kesejahteraan dan solidaritas seluruh umat manusia, ini merupakan
teransformasi dari kebangsaan kepada kemanusiaan yang dapat membawa
kepada persoalan tentang bagaimana mengembangkan sumberdaya dan
karakter yang dengan berani mampu menentang dan menjinakan penguasa
yang melampaui batas.
Ikeda berkeyakinan, bahwa pernyataan-pernyataan yang mengangkat
kemuliaan manusia akan meresap ke dalam hati para warga dunia saat
menciptakan peradaban global. Ia terus menyeru dan mengajak seluruh umat
manusia agar menjadi warga global, dengan tujuan untuk memantapkan
kepedulian terhadap perdamaian dunia. Melihat situasi saat ini persoalan
manusia bukan hanya pada persoalan lokal dan nasional melainkan sudah
sampai pada persoalan global yang perlu diselesaikan bersama.
Dari ketiga konsep Daisaku Ikeda yang dijelaskan di atas tentu hal
ini tidak lepas dari tiga golongan nilai yang diperkenalkan oleh Soka Gakkai
yaitu keuntungan atau laba (ri), kepuasan hati akan keinginan-keinginan
material; keindahan sejati (bi), atau kepuasan hati akan keinginan-keinginan
14
Ikeda, Demi Perdamaian, hal. 33. 15
Kewarganegaraan global ini merujuk pada identitas seseorang sebagai masyarakat
global di atas identitasnya sebagai warga negara. Identitas ini sudah melintasi batas geografi atau
politik dan tanggungjawab beserta haknya yang merupakan bukti keanggotaan sebagai umat
manusia. Namun tidak berarti menolak atau mencabut identitas kebangsaan dan identitas lokalnya
identitas ini merupakan identitas kedua dalam keanggotaannya di komunitas global. Lihat Ronald
C Israel, What Does it Mean to be a Global Citizen, artikel jurnal diakses pada 14 Juli 2018 dari
www.kosmosjournal.org
10
spiritual; dan kebaikan (zen), kepuasan hati akan keinginan-keinginan
altruistis untuk membagi keuntungan dan keindahan dengan orang-orang
lain. Jenis kebaikan ini membebaskan manusia dari ke-akuan (egoisme) dan
menolongnya untuk melampaui egonya sendiri. Dalam falsafah Soka
Gakkai, jika ada konflik antara tiga nilai itu maka nilai kebaikanlah yang
harus didahulukan dari kedua nilai lainnya. Sesuai dengan ajaran Buddhis
bahwa hidup tak dapat dipahami sebagai budi semata-mata atau sebagai zat
semata-mata tetapi harus dipahami sebagai kedua-duanya, nilai-nilai
kebaikan, keindahan dan keuntungan tidak semata-mata bersifat
materialistis ataupun bersifat semata-mata spiritual. Nilai-nilai tersebut
bersifat kedua-duanya dan memang benar bahwa umat manusia memerlukan
kedua jenis nilai bagi kebahagiaannya. Menurut Daisaku Ikeda nilai-nilai
tersebut bukanlah hasil rangsangan dari luar tetapi dari diri setiap individu
yang telah memahami kebenaran dari ajaran-ajaran Buddhisme.16
Berangkat dari uraian diatas, maka penulis memandang bahwa
penelitian mengenai konsep perdamaian sebagai bentuk pemikiran Daisaku
Ikeda berlandaskan filsafat hidup Budhisme tersebut perlu untuk dibahas
lebih lanjut dikarenakan mengandung relevansi yang baik terhadap
kenyataan manusia saat ini. Bahwa berbagai ide untuk menjunjung
perdamaian dan keadilan diantara umat manusia sangatlah layak untuk
dikaji dan disampaikan kepada khalayak. Hal tersebut kemudin menjadi
latar belakang penulisan skripsi yang berjudul “Perdamaian dalam
16
Ikeda, Budhisme: Falsafah Hidup, h. 94
11
Pandangan Budhaisme Nichiren : Studi Pemikiran dan Gerakan Perdamaian
Daisaku Ikeda”
B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan, penulis hanya
membatasi pembahasan seputar perdamaian Daisaku Ikeda, dengan fokus
pada gagasan perdamaian dan jalur menuju keharmonisan global.
Sedangkan rumusan masalah, penulis hanya terfokus kepada 2 masalah
yaitu:
1. Bagaimana Konsep Perdamaian Daisaku Ikeda?
2. Bagaimana Implementasi Konsep dan Gerakan Perdamaian Daisaku
Ikeda?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui Konsep Perdamaian Daisaku Ikeda
b. Untuk Melihat dan Mengetahui Implementasi Konsep dan Gerakan
Perdamaian Daisaku Ikeda
D. Kajian Pustaka
Sejauh ini penulis belum menemukan kajian mengenai konsep
perdamaian dalam pandangan Buddhisme Nichiren, studi atas pemikiran
dan gerakan perdamaian Daisaku Ikeda ataupun karangan lainnya yang
membahas hal tersebut.
E. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, ada beberapa hal yang perlu penulis
perhatikan, diantaranya :
12
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan atau
library research, yaitu suatu cara kerja yang digunakan untuk memperoleh
data dengan mempelajari buku-buku di perpustakaan yang merupakan hasil
dari karya-karya Daisaku Ikeda.17
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
filosofis dan historis. Pendekatan filosofis digunakan untuk merumuskan
secara jelas hakikat yang mendasari konsep-konsep pemikiran.18
Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengkaji,
mengungkap latar belakang Daisaku Ikeda, karyanya serta corak
perkembaangan pemikirannya dari kecamata kesejarahan, yakni dilihat dari
kondisi sosial politik dan budaya pada masanya.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat kualitatif,
sehingga data yang digunakan diperoleh dari dokumen-dokumen atau
transkip yang telah ada. Data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Data primer, yaitu data yang berupa pemikiran-pemikiran Daisaku
Ikeda secara langsung yang tertuang dalam bentuk tulisan-tulisan, baik
berupa buku yang ia tulis sendiri, maupun hasil dialog dengan para
tokoh terkemuka, proposal-proposal perdamaian, artikel-artikel,
makalah dan tulisan ilmiah lainnya. Misalnya; 1) Demi Perdamaian,
Tujuh Jalur Menuju Keharmonisan Global, 2) Dialog Peradaban untuk
17
Paul A. Partanto & M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, h. 461. 18
Anton Baker, Metode Filsafat (Jakarta: Galia Indonesia, 1996), h.10.
13
Toleransi dan Perdamaian 3) Jalan Sutra Baru, Dialog Kreatif Islam-
Budha, 4) Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan
Luhur Menuju Perdamaian (Proposal Perdamaian 2016), 4) Penciptaan
Nilai untuk Perubahan Global (Proposal 2014), 5) Ikrar Bersama untuk
Masa Depan yang Lebih Manusiawi: Menghapus Kesengsaraan dari
Bumi (Proposal Perdamaian 2015)
b. Data sekunder, yaitu data yang berupa bahan pustaka yang memiliki
kajian yang sama yang dihasilkan oleh pemikir lain, baik yang
berbicara tentang gagasan Daisaku Ikeda maupun gagasan mereka
sendiri yang membicarakan masalah yang terkait dalam penelitian ini.
Sehingga dapat membantu memecahkan permasalahan yang menjadi
fokus penelitian skripsi ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode dokumentasi,
yaitu suatu cara pengumpulan data dengan mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa teks, catatan transkip, bahan-bahan dan
lain sebagainya.19
4. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini ialah Content
Analysis (analisis isi), yaitu upaya menafsirkan ide atau gagasan
“perdamaian” dari seorang tokoh Daisaku Ikeda, kemudian ide-ide tersebut
dianalisa secara mendalam dan seksama guna memperoleh nilai positif
untuk menjawab masalah krusial perdamaian dunia saat ini. Dengan
19
Saifudin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.5.
14
menggunakan metode content analysis maka prosedur kerja yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan karakteristik pesan, maksudnya adalah pesan dari ide
konsep perdamaian yang digagas oleh Daisaku Ikeda. Selanjutnya,
mencoba melakukan pemahaman yang mendalam apakah dari konsep
itu berimplikasi terhadap kehidupan yang damai dalam masyarakat
global.
b. Penelitian ini dilakukan secara sistematis, artinya dilakukan tidak saja
melihat ide pemikiran Daisaku Ikeda, tetapi juga melihat kondisi
masyarakat ketika ide itu muncul. Oleh karena itu untuk masuk kepada
konsep “perdamaian”, perlu bagi penulis untuk melihat secara
kronologis munculnya ide “perdamaian” yang digagas oleh Daisaku
Ikeda tentunya dengan tidak mengabaikan latar belakang kehidupan
serta pendidikan yang ditempuh oleh seorang Daisaku Ikeda.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini akan dirumuskan
sebagai berikut:
Bab I membahas tentang latar belakang masalah yang di dalamnya
memuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti timbul dan penting serta
memuat alasan pemilihan masalah tersebut sebagai judul. Bab ini juga berisi
rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk pertanyaan untuk
mempermudah penulis mengkaji dan mengarahkan pembahasan, tujuan
penulisan, tinjauan pustaka, metode dan teknik penulisan, dan sistematika
penulisan.
15
Bab II , membahas biografi Daisaku Ikeda, menjelaskan hasil karya-
karya intlektual yang dihasilkan oleh-Nya. Bagaimana Ikeda berjuang
melawan ketidakadilan yang disebabkan Perang Dunia II. Dengan tekad
yang kuat dalam mewujudkan perdamaian akhirnya Ikeda beserta gurunya,
Josei Toda melakukan perlawanan kepada pemerintahan Jepang pada masa
itu, terutama perlawanan secara pemikiran.
Bab III membahas tentang konsep dan gerakan perdamaian Daisaku
Ikeda, yang dituangkan dalam beberapa gagasan dan dihimpun menjadi tiga
gagasan utama yaitu, revolusi manusia, dialog peradaban, dan kewargaan
global. Selanjutnya gagasan-gagasan tersebut diimplementasikan dalam
kehidupan nyata dengan melalui gerakannya, SGI (Soka Gakkai
Internasional). Gerakannya fokus pada tiga aspek yaitu pendidikan,
kebudayaan dan perdamaian.
Bab IV Implementasi Konsep Perdamaian Daisaku Ikeda, meliputi
pembahasan Perdamaian dan Perlucutan Senjata, Bantuan Kemanusiaan dan
Pendidikan Hak Asasi Manusia
Bab V membahas kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis
peneliti terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil temuan akhir
ini merupakan pandangan dan interpretasi tentang inti dari pembahasan
penulisan.
16
16
BAB II
BIOGRAFI DAISAKU IKEDA
A. Biografi Daisaku Ikeda
1. Dinamika Intlektual dan Spiritual Daisaku Ikeda
Daisaku Ikeda lahir di Tokyo pada tahun 1928 merupakan anak ke
lima dari delapan bersaudara. Semasa mudanya, Ikeda menderita sakit,
badannya kurus dan lemah, ia diagnosis mengidap penyakit tuberklosis
sehingga dokter memprediksi hidupnya tidak lebih dari tiga puluh tahun.
Namun Ikeda memiliki semangat yang kuat dalam menjalani hidupnya dan
tetap terus berkarya.1
Ikeda dibesarkan di Tokyo, pada masa perang antara Jepang dan
China yang kemudian menuju Perang Dunia II. Pada masa itu, rezim militer
Jepang mendorong masyarakat Jepang untuk ikut serta dalam peperangan,
hampir setiap orang dalam aspek kehidupan di Jepang ditekan untuk ikut
berperang tanpa terkecuali. Akibat pererangan itu, kediaman Ikeda hancur
dalam serangan udara sehingga ia dan orang tuanya terpaksa tinggal di tempat
penampungan. Sementara keempat saudara laki-lakinya dipaksa menjadi
militer dan terlibat dalam perang. Ikeda merasa tersiksa setelah mendengar
berita tentang kematian kakak paling tuanya, Kiichi. Peperangan inilah yang
kemudian mendorong semangat Ikeda dalam menegakkan dan
mempromosikan perdamaian ke seluruh dunia, dan memicu pencariannya
1 Soka Gakkai Indonesia, Kisah Kaneko: Sebuah Obrolan dengan Kaneko Ikeda, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 33.
17
untuk menyelesaikan penyebab mendasar konflik manusia. Mulai saat itu
kebenciaan Ikeda terhadap perang semakin mendalam.2
Dampak terbesar dari peperangan itu membuat mayoritas anak-anak
muda termasuk Ikeda jatuh ke dalam keadaan skeptisisme yang membuat
putus asa, tersiksa akan kehampaan rohani. Namun Ikeda merasa beruntung,
karena di masa yang paling sulit itu dapat betemu dengan Josei Toda3 yang
bersedia untuk terlibat dengan penyelesaian masalah yang dihadapinya dan
masalah anak-anak muda lainnya. Pertemuan itu tepatnya pada bulan Agustus
1947 dalam acara diskusi Buddhis. Sebagai hasil dari pertemuan itu, Ikeda
mulai mempelajari ajaran Buddhisme Nichiren4 dan bergabung dengan Soka
Gakkai. Dia menjadi anggota piagam divisi pemuda kelompok tersebut dan
menganggap Toda sebagai mentor spiritualnya, yang kemudian menyatakan
bahwa Toda mempengaruhinya melalui belas kasih yang mendalam yang
mencirikan setiap interaksinya.5
Toda sangat yakin bahwa filosofi Buddhisme Nichiren yang fokus
pada pembentukan karakter pada setiap diri manusia akan menjadi kunci
untuk mewujudkan transformasi sosial di Jepang. Gagasan dan pengaruhnya
kemudian mengilhami Ikeda untuk terus mendukung Toda dan visinya, tentu
saja memainkan peran sentral dalam pengembangan Soka Gakkai. Pengaruh
2 Biografi Daisaku Ikeda, artikel diakses pada tanggal 12 Februari 2018 dari
www.daisakuikeda.org 3 Josei Toda (1900-58) adalah seorang pendidik, dan presiden kedua Soka Gakkai, yang
hidupnya diabdikan untuk memulihkan dan merevilatisasi semangat Budhisme di zaman sekarang.
Ia pernah dipenjara bersama bersama gurunya, Presiden Soka Gakkai pertama,Tsunesaburo
Makiguchi, selama Perang Dunia II, kemudian mengembangkan Soka Gakkai menjadi salah satu
perhimpunan Buddhis awam paling signifikan di Jepang sebagai presiden keduanya. 4 Buddhisme Nichiren adalah Tradisi Buddhis Mahayana yang dilandasi Sutra Bunga
Teratai dan mendorong penyebutan frasa Nam-myoho-renge-kyo sebagai pelaksanaan harian. 5 Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Budhisme, (Jakarta, Soka Gakkai Indonesia,
2015), h. 75
18
kuat Ikeda dalam memperjuangkan perdamaian tidak terlepas dari apa yang
telah diajarkan Josei Toda kepadanya tentang Tiga Ajaran Budhisme
Nichiren. Nichiren Daishonin mengajarkan semua orang dengan cara untuk
memahami dan mempraktekkan semangat sejati ajaran Shakyamuni. Dia
mengajarkan tiga prinsip dasar yang yang didasarkan pada kebenaran utama
dari Sutra Teratai yang disebut Tiga Ajaran Besar Tersembunyi. Ketiga ajaran
itu sebagai berikut:
1. Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo berarti “Aku mengabdikan diriku terhadap
kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalam dan keindahannya yang
dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang
paling luhur”. Dengan kata lain kata-kata itu menyatakan pengabdian dirinya
kepada realitas hidup semesta terhadap hidup yang ada dimana-mana dalam
alam semesta. Nichiren Daishonin berpendapat bahwa hanya bilamana
manusia menjadi satu dengan hidup dari alam semesta dia benar-benar
mencapai kebahagiaan mutlak, yang tak tergoncangkan (alam ke-Buddha-an).6
2. Gohonzon
Sutra Teratai mengajarkan bahwa Buddha Shakyamuni tidak lain
adalah perwujudan dari Buddha Abadi: sifat abadi Buddha yang ada di semua
kehidupan dan semua makhluk yang ditakdirkan untuk mewujudkan sebagai
sifat mereka sendiri yang sebenarnya. Gohonzon menggambarkan wawasan
6 T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana,( Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia,tt), hal 521.
19
ini melalui penggunaan kaligrafi Cina dan mewakili kehidupan mencakup
semua Buddha Abadi, bukan obyek atau sesuatu.7
3. Teori Kaidan
Kaidan dianggap tempat di mana seseorang melantunkan Odaimoku,
demikian mendasarkan hidup seseorang pada semangat sejati ajaran Buddha
Shakyamuni. Nichiren Daishonin, menguniversalkan konsep Kaidan sehingga
semua orang bisa menegakkan ajaran dan praktik penting Sutra Teratai setiap
saat melalui lantunan Namu Myoho Renge Kyo.8
Dengan setia mengikuti ajaran dan praktek ini, ajaran Buddha dari
Nichiren mampu menciptakan penyebab yang akan memungkinkan mereka
mewujudkan kebijaksanaan sempurna dan kasih sayang yang besar dari Sang
Buddha dalam segala situasi dan mengubah tidak hanya kehidupan mereka
tetapi bahkan kehidupan orang lain, sehingga dunia ini tidak lagi menjadi
dunia penderitaan dan menjadi tanah murni perdamaian dan ketenangan.
Tiga Ajaran Budhisme Nichiren yang diajarkan Josei Toda kepada
Daisaku Ikeda merupakan salah satu kiprah perjuangan Tsunesaburo
Makiguchi dalam mengenalkan pendidikan penciptaan nilai. Hal ini bermula
setelah Ia menjadi pengikut ajaran Budhisme Nichiren Daishonin pada tahun
1928. Kemudian pada tahun 1930 Tsunesaburo Makiguchi, Josei Toda dan
satu kelompok anggota awam dari Nichiren Shoshu mendirikan Soka Kyoiku
Gakkai (Persatuan untuk pengembangan penelitian, pendidikan dan
pembentukan nilai-nilai baru), pelopor dari Soka Gakkai sekarang. Pada
7 Daisaku Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, (Jakarta, PT Ufuk Publishing
House, 2011), h. 261 8 T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal 522.
20
mulanya Soka Kyoiku Gakkai merupakan sebuah organisasi pendidik yang
bersimpati dengan teori pendidikan penciptaan nilai. Kemudian orang yang
bukan pendidik pun mulai mengikuti, sehingga menjadi organisasi yang
melaksanakan Budhisme Nichiren Daishonin yang merupakan inti pokok dari
penciptaan nilai. Tsunesaburo Makiguchi memimpin pengikut-pengikutnya
dalam satu gerakan pendakwahan dengan menggunakan teknik yang
dinamakan shakubuku. Soka Kyoiku Gakkai secara aktif melaksanakan
shakubuku di luar daerah maupun pertemuan diskusi, sehingga berkembang
di seluruh Jepang dengan mencapai sekitar 3000 anggota.9
Pada tanggal 6 Juli tahun 1943, Tsunesaburo Makiguchi dan Josei
Toda ditangkap oleh pemerintahan jepang dengan alasan keduanya telah
berkhianat terhadap negara dan tidak mau mengikuti ajaran agama Shinto
yang menjadi agama nasional di Jepang. Pada tanggal 18 November 1944,
Makiguchi Sensei meninggal dunia di dalam Rumah Tahanan Tokyo karena
sakit akibat usia tua dan kurang gizi. Ia meninggal dunia pada hari yang sama
dengan 'hari berdirinya Soka Kyoiku Gakkai' di atas 73 tahun. Kehidupan
beliau adalah kehidupan agung sebagai perintis yang meneruskan
pelaksanaan dengan mengorbankan jiwa raga yang sesuai dengan apa yang
diucapkan di dalam Gosho, sehingga menghidupkan kembali semangat
Nichiren Daishonin untuk menyelamatkan umat manusia dan menyebarkan
Hukum Gaib pada masa sekarang ini.10
9 Daisaku Ikeda, Budhisme: Falsafah Hidup, (Jakarta : PT Indira, 1988), h. 90
10 Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Budhisme, (Jakarta : Soka Gakkai indonesia,
2015), h.70-71
21
Sejak awal tahun 1944, Josei Toda menyebut daimoku sungguh-
sungguh di dalam penjara, juga membaca Sutra Bunga Teratai serta sering
merenungkannya. Pada suatu hari, Ia mendapat kesadaran bahwa Buddha
adalah jiwa. Ketika meningkatkan penyebutan daimoku dan perenungan,
Josei Toda memperoleh keyakinan bahwa ia sendiri telah mengikuti upacara
angkasa yang dibabarkan di dalam Sutra Bunga Teratai sebagai seorang
Bodhisatwa muncul dari bumi, dan diberikan tugas jiwa untuk melaksanakan
kosenrufu Sutra Bunga Teratai setelah kemoksaan Buddha Sakyamuni,
sehingga ia mendapat keyakinan bahwa ia adalah bodhisatwa Muncul Dari
Bumi. Hal itu terjadi pada bulan November 1944.11
Melalui kesadaran di dalam penjara, Josei Toda telah mewujudkan
keyakinan yang kokoh terhadap Buddhisme Nichiren Daishonin, dan
menyadari tugas jiwanya sendiri untuk melaksanakan kosenrufu. Kesadaran
Josei Toda di dalam penjara ini telah menjadi titik tolak perkembangan Soka
Gakkai setelah perang dunia kedua. Pada tanggal 3 Juli 1945, Toda Sensei
dibebaskan dari kehidupan penjara setelah dua tahun. Dengan mewarisi cita-
cita Tsunesaburo Makiguchi, dia bangkit seorang diri demi kosenrufu, dan
sebagai direktur umum mulai membangun kembali Gakkai yang saat itu
hancur. Pertama-tama, ia mengubah nama organisasi menjadi Soka Gakkai
(Perhimpunan Penciptaan Nilai), untuk menyesuaikan tujuan Gakkai yang
tidak hanya merevolusi pendidikan, akan tetapi mewujudkan kebahagiaan
seluruh umat manusia dan perdamaian dunia yaitu kosenrufu serta
melaksanakan kembali pertemuan diskusi maupun gerakan shakubukhu di
11
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Budhisme, h. 73
22
luar daerah. Akhirnya ia bertemu dengan Daisaku Ikeda pada tahun 1947 dan
kemudian mengajarkan tentang penciptaan nilai berlandaskan ajaran
Budhisme Nichiren.12
Di samping berguru kepada Josei Toda, Ikeda pun mulai bekerja di
perusahaan penerbitan milik Josei Toda. Ia mulai mengembangkan bakat
sastranya sebagai editor majalah anak laki-laki. Selain menjadi seorang
pendidik, Josei Toda adalah seorang pengusaha yang sangat kreatif dan
sukses. Sebelum terjadi perang di Jepang, Toda memiliki sekolah kursus yang
sangat sukses dan membuka penerbitan buku terutama buku tentang
matematika, dan juga berhasil mengelola sejumlah bisnis lain. Namun, pada
akhir tahun 1949, ia mengalami serangkaian kemunduran besar akibat
hiperinfllasi pasca perang yang membawanya ke ambang kehancuran sosial
dan finansial. Karyawannya meninggalkannya satu demi satu akibat tidak
mendapatkan gaji. Namun, Ikeda tetap setia, bertahan, dan melakukan tugas
menegosiasikan dengan kreditur perusahaan. Selama enam bulan Ikeda tidak
mendapatkan gaji, pada saat itu ia tidak punya pakaian layak dan
kesehatannya pun buruk, tapi atas kesetiaannya terhadap Toda, ia rela
menderita di dunia bahkan kelaparan demi melindungi Toda. Sedikitpun tak
ada penyesalan bagi Ikeda.13
Di tengah perjuangan melawan kebangkrutan dan kegagalan, Josei
Toda bersama Daisaku Ikeda memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah
dan universitas yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat
pendidikan penciptaan nilai (soka) yang pernah digagas oleh mentornya,
12
Daisaku Ikeda, Budhisme: Falsafah Hidup, h. 92 13
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-dasar Budhisme, h. 76
23
Tsunesaburo Makiguci (1871-1944). Ide semacam itu pasti tampak aneh pada
saat yang ekstrim saat itu, namun keseriusan tertinggi yang ditunjukan oleh
Ikeda menunjukan betapa besar ikatannya dengan Toda. Dua dekade
kemudian ia membawa visi tersebut kepada kenyataan sehingga terwujudlah
Sekolah dan Universitas Soka.14
Dengan bantuan Ikeda, Toda akhirnya bisa melunasi hutangnya dan
menyelesaikan urusan keuangannya. Untuk menyelamatkan mentornya dari
kehancuran, Ikeda membutuhkan perjuangan yang sangat melelahkan
sehingga ia harus melepaskan pendidikannya. Namun Toda berjanji untuk
memberi Ikeda sebuah pendidikan tingkat universitas yang menyeluruh.
Pelajaran ini-apa yang sekarang disebut Ikeda sebagai “Universitas Toda”-
dilakukan di pagi hari sebelum bekerja dan pada akhir pekan. Pendidikannya
bersama Toda berlanjut sampai tahun 1957, tahun sebelum kematian Toda.
Setiap hari sebelum bekerja Jossei Toda mengajarkan Ikeda sebuah
kurikulum teori sejarah, sastra, filsafat, ekonomi, sains dan organisasi. Toda
sering bertanya perihal bacaan dan buku apa yang telah dibaca oleh Daisaku
Ikeda. Hal pokok yang Ikeda dapatkan dari Josei Toda ialah studi tentang
kemanusiaan sehingga membentuk kepribadiannya menjadi welas asih dan
penyayang terhadap manusia.15
Perjuangan Josei Toda bersama Daisaku Ikeda dalam menyebarkan
ajaran Budhaisme Nichiren menghadapi banyak rintangan, fitnah dan hasutan
dari berbagai pihak, seperti halnya Toda, Ikeda pun sempat ditangkap oleh
14
Biografi Daisaku Ikeda, artikel diakses pada tanggal 12 Februari 2018 dari
www.daisakuikeda.org 15
Biografi Daisaku Ikeda, artikel diakses pada tanggal 12 Februari 2018 dari
www.daisakuikeda.org
24
kepolisian prefektur Osaka dengan tanpa alasan. Ia diinterogasi secara
mendalam selama 15 hari, bahkan diancam oleh Jaksa untuk mengakui
kesalahan, jika tidak ia akan ditangkap. Ikeda memutuskan untuk mengakui
kesalahan yang tidak pernah dilakukannya demi menjaga nyawa gurunya.
Namun ia akan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah di dalam
persidangan berikutnya. Akhirnya Ia dibebaskan dari Rumah Tahanan Osaka.
Sejak itu, Ikeda terus berjuang di pengadilan selama empat setengah tahun,
dan pada tanggal 25 Januari 1962, Ia menerima vonis tidak bersalah.16
Melalui kedekatan seorang guru terhadap muridnya, Pada tahun 1952,
Toda menjodohkan Ikeda dengan seorang wanita bernama Kaneko Shiraki
yang kemudian dikaruniai tiga anak laki-laki, Hiromasa, Shirohisa dan
Takahiro. Sebelum menikah, Ikeda sesekali mengantarnya pulang setelah
pertemuan dalam acara yang diselenggarakan Soka Gakkai. Sesekali bila
bertemu, mereka berjalan bersama menusuri tepian Sungai Tama dan
berbincang tentang segala macam hal. Termasuk membicarakan keadaan
Soka Gakkai dan rencana masa depan organisasi tersebut. Kaneko menyadari
bahwa Ikeda adalah pria muda yang romantis yang memiliki impian-impian
besar dan karakter yang bisa dipercaya. Begitupun Ikeda menyadari kualitas-
kualitas pada diri Kaneko. Pernikahan mereka akan berdampak besar pada
masa depan Soka Gakkai.17
16
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Budhisme, h. 79 17
Soka Gakkai Indonesia, Kisah Kaneko: Sebuah Obrolan dengan Kaneko, h. 35.
25
4. Karir dan Karya Intlektualnya
Daisaku Ikeda adalah filsuf Buddha, tokoh perdamaian, pendidik,
penulis sekaligus penyair. Dia merupakan presiden ketiga Soka Gakkai
Internasional (SGI), Salah satu organisasi Buddha terbesar di dunia. Lembaga
ini didirikan pada 26 Januari 1975 dan sudah memiliki anggota lebih dari 12
juta orang yang konsisten mempromosikan pengembangan karakter dan
perdamaian. Sejak tahun 1983, PBB menganugrahkan “Penghargaan
Perdamaian”, “Penghargaan Kemanusiaan,” dan “Duta Perdamaian” kepada
Ikeda atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian.18
Ia juga
mendirikan banyak institusi, di antaranya adalah Institut Filosofi Oriental
(Institute of Oriental Philosophy), Pusat Ikeda untuk Perdamaian,
Pembelajaran dan Dialog (Ikeda Center for Peace, Learning and Dialogue),
Institut Toda untuk Penelitian Perdamaian dan Kebijakan Global (Toda
Institut for Global Peace and Policy Research) dan sistem pendidikan
komprehensif Soka.19
Pada tanggal 2 Oktober 1960, ia memulai langkah pertama menuju
benua Amerika Utara dan Selatan dalam melakukan kosenrufu dunia.20
Kemudian pada tahun berikutnya, untuk yang pertama kalinya ia
mengunjungi Hongkong, India dan beberapa negeri di Asia, pada tahun yang
sama ia mengunjungi Eropa. Kunjungannya pada waktu itu merupakan
18
Daisaku Ikeda, Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, (Jakarta: PT. Ufuk Publishing
House, 2011), h. 289 19
Daisaku Ikeda, Ikrar Bersama untuk Masa Depan yang lebih Manusiawi: Menghapus
Kesengsaraan dari Bumi, (Tokyo: The Soka Gakkai, 2015), h. 78. 20
Konsenrufu, bahasa Jepang, secara harfiah adalah mengumumkan dan menyebarkan
secara luas ajaran Budhisme, terutama menyebarkan ajaran Nam-myoho-renge-kyo secara luas
pada Masa Akhir Dharma. Dalam SGI, konsenrufu merupakan pengembangan sebuah dunia yang
damai dan manusiawi. Lihat Daisaku, Ikeda, (Discussion on Youth, (Jakarta: Soka Gakkai
Indonesia, 2015), h.544
26
langkah pertama untuk menjalin hubungan dan membangun fondasi
konsenrufu dunia dengan tujuan mewujudkan “Budhisme kembali ke arah
barat, Eropa” maupun “kosenrufu Jambudipa”. Hal ini merupakan wasiat
Nichiren Daisonin yang mulai dijalankannya.21
Sejak tahun 1983, tepat pada tanggal 26 Januari sebagai peringatan
Hari Soka Gakkai Internasional (SGI), setiap tahun Ikeda mengajukan
„proposal perdamaian‟ kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga
mendapat perhatian dunia. Selain itu, ia telah melakukan dialog perdamaian
dengan berbagai intelektual dan pemimpin negara sebanyak 1.600 kali dan
menghasilkan buku dialog sekitar kurang lebih 60 buku, di antaranya adalah
buku dialog dengan Arnold Toynbee.22
Ia menerima gelar Doktor Honoris Causa lebih dari 260
universitas/lembaga pendidikan di dunia, diantaranya Universitas Moskow,
Universitas Glasgow, Universitas Beijing dan Universitas Buenos Aires. Ia
pun mendapatkan hadiah kemanusiaan dari UNHCR dan berbagai
penghargaan lain.23
Daisaku Ikeda banyak berkontribusi dalam memajukan dan
mensejahterakan masyarakat, baik melalui pendidikan, ekonomi, kebudayaan
dan perdamaian. Iapun banyak mendirikan berbagai lembaga, seperti
misalnya lembaga penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian dan
lain-lain. Disamping itu ia juga aktif dalam menulis karya ilmiah seperti
buku, jurnal, proposal perdamaian dan buku hasil dialog. Adapun tulisan-
21
Soka Gakkai Indonesia, Dasar- Dasar Budhisme, h. 81. 22
Abdurrahman Wahid, Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. Ix. 23
Abdurrahman Wahid, Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian, h. Ix.
27
tulisan yang banyak ia angkat yaitu mengenai tema perdamaian. Berikut ini
adalah karya tulis dan pemikirannya melalui berbagai dialog yang telah
dipublikasikan, di antaranya:24
1. A Dialogue Between East and West: Looking to a Human Revolution,
Buku ini merupakan hasil dialog Ikeda dengan Ricardo Diez-
Hochlietner, seorang reformis, ekonom dan intlektual. Dalam dialog
tersebut Ikeda membahas masalah yang dihadapi oleh manusia di
zaman globalisasi ini. Ia menyadari permasalahan yang sering terjadi
di masyarakat adalah kurang adanya rasa saling menghormati di
tengah-tengah keanekaragaman budaya, penyalahgunaan sumber daya
alam dan kekacauan spiritual. Buku ini mencontohkan jenis dialog
yang mendorong orang untuk berprilaku baik, mengormati sesama
demi menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Selain itu buku ini
menyajikan sebuah inspirasi dan mendorong penggambaran pola pikir
dan prilaku manusia untuk mempertahankan keberlangsungan
koeksistensi dunia dan kemanusiaan.
2. A Lifelong Quest for Peace, Buku ini hasil dari dialog Ikeda dengan
Linus Pauling, penerima dua Hadiah Nobel tahun 1945 untuk bidang
kimia dan 1962 untuk perdamaian. Keduanya ini sangat berkomitmen
terhadap perdamaian dan perlucutan senjata. Secara garis besar buku
ini mengeksplorasi hipotesis tentang kehidupan di luar bumi dan juga
jangkauan manusia, selalu kembali ke implikasinya –apakah kemajuan
24
Biografi Daisaku Ikeda, artikel diakses pada tanggal 14 Juli 2017 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Daisaku_Ikeda
28
atau kemunduran- untuk tujuan mencapai perdamaian dan perlucutan
senjata global.
3. A Passage to Peace: Global Solutions from East and West, (Dialog
Ikeda dan Nur Yalman), dialog yang tercatat dalam buku ini dapat
dicirikan sebagai jembatan vital seperti Jalan Sutra Kuno, yang
menghubungkan peradaban timur dan barat di Asia. Ikeda mengajak
agar manusia mengevaluasi berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah,
sains, teknologi dan politik. Menurut Nur Yalman, kontribusi dalam
berbagai disiplin ilmu dapat menjadi pendorong untuk mengatasi masa
masa sulit, mengatasi perbedaan budaya dan menciptakan dunia
manusia yang simpatik, dengan catatan tidak mengesampingkan tradisi
keagamaan.
4. A Quest for Global Peace: Rotblat and Ikeda on War, Ethics, and the
Nuclear Threat, buku ini hasil dialog Ikeda dengan Joseph Rotblat,
keduanya berbicara tentang “kesetiaan pada umat manusia” sebagai
bagian integral dari jenis kesadaran dan sentimen populer yang dapat
membedakan jalan yang berbahaya dari kekuasaan otoritas yang tidak
diragukan.
5. A Youthful Diary: One Man's Journey from the Beginning of Faith to
Worldwide Leadership for Peace, Dalam buku catatan harian ini, Ikeda
menuliskan frustasi dan aspirasi dalam drama kehidupan, pekerjaan,
keluarga, kepercayaan dan teman-teman secara tepat. Ia banyak
mengutip pelajaran yang ia dapatkan dari Toda atau dari ajaran
29
Nichiren, madzhab pemikiran Buddhis yang menjadi dasar Gerakan
Soka Gakkai.
6. Before It Is Too Late, Sebuah dialog bersama Aurelio Peccei, (1985),
Dalam buku ini, Peccei mengemukakan bahwa keamanan nasional dan
perlucutan senjata nuklir, misalnya tidak secara pasti mengarah pada
perdamaian, karena perdamaian lebih dari sekedar dunia tanpa perang.
Sebenarnya dapat dikatakan bahwa perlucutan senjata secara sempit
bertujuan untuk menyingkirkan dunia dari tumpukan stok nuklir yang
ada bahkan menghalangi pembuatan alat perang yang lebih hebat.
Ikeda berpendapat, bahwa upaya perlucutan senjata gagal, disebabkan
dangkalnya jiwa orang yang bersangkutan dan tidak ada upaya dalam
merevolusinya secara mendasar. Kemudian keduanya berpendapat
bahwa solusi untuk masalah global pada akhirnya dapat terbagi dalam
bentuk kerjasama yang lebih kreatif di luar kerangka negara-bangsa.
Ikeda menyerukan tindakan-tindakan dari solidaritas dan integritas
tujuan, bukan dari sinkretisme kepercayaan, sebagai kontribusi
terhadap kemajuan semua umat manusia.
7. Choose Peace: A Dialogue Between Johan Galtung and Daisaku
Ikeda, Dalam pertemuannya ini mereka mengenang teragedi yang
menimpa keluarganya saat Perang Dunia II, keduanya berbagi aspirasi
dan informasi dari tragedi itu untuk perdamaian global dan membahas
peran Buddhisme dalam merumuskan solusi damai.
8. Buddhism: the First Millennium, (1977), dalam buku ini Ikeda
menggabungkan keseluruhan rangkaian pristiwa dari masa lalu yang
30
jauh dengan dugaan mendalam untuk membawa ke permukaan pola
dasar bagaimana dan mengapa Buddhisme menjadi agama dunia besar
-menyebar ke Asia Tenggara, China, Korea dan Jepang- dibantu oleh
penguasa luar biasa seperti raja India Ashoka dan filsuf Yunani-raja
Menander, biarawan dan orang awam seperti Vimalakirti, Nagarjuna,
dan Vasubandhu.
9. Choose Hope: Your Role in Waging Peace in the Nuclear Age with
David Krieger, Santa Monica, California: Middleway Press, 2002,
10. Choose Life: A Dialogue with Arnold J. Toynbee, London: Pluto
Press, 1999, Keduanya menyetujui bahwa dilema yang dihadapi setiap
individu dan masyarakat adalah penguasaan diri atau penghancuran
diri sendiri. Tantangan ini mendasari tugas kemanusiaan dalam
menanggapi banyak keprihatinan global yang dihadapi, yang meliputi
pertumbuhan penduduk, berkurangnya sumber daya alam, konflik
bersenjata dan kehidupan dengan teknologi.
11. Compassionate Light in Asia with Jin Yong, London and New York:
I.B. Tauris & Co Ltd., 2013,
12. Creating Waldens: An East-West Conversation on the American
Renaissance with Ronald A. Bosco and Joel Myerson, Cambridge,
Massachusetts: Dialogue Path Press, 2009,
13. Dawn After Dark with René Huyghe, (1991), Weatherhill, Inc London
and New York: I.B. Tauris & Co Ltd., Reprint edition, 2008,
31
14. Dialogue of World Citizens with Norman Cousins, (tentative
translation from Japanese), Sekai shimin no taiwa, Paperback edition,
Tokyo, Japan: Seikyo Shimbunsha, 2000,
15. Discussions on Youth, Santa Monica, California: World Tribune Press,
2010,
16. Embracing the Future, Tokyo: The Japan Times, Ltd., 2008,
17. Fighting for Peace, Berkeley, California: Creative Arts Book
Company, 2004,
18. For the Sake of Peace: A Buddhist Perspective for the 21st Century,
Santa Monica, California: Middleway Press, 2001,
19. Glass Children and Other Essays, Tokyo: Kodansha International,
1979,
20. Global Civilization: A Buddhist-Islamic Dialogue With Majid
Tehranian, London and New York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2008,
21. Human Rights on the 21st Century with Austregesilo de Athayde,
London and New York: I.B. Tauris & Co Ltd., 2009,
22. Human Values in a changing world with Bryan Wilson Reprint
edition, London and New York: I.B.Tauris & Co Ltd., 2008,
23. Humanity at the Crossroads: An Intercultural Dialogue with Karan
Singh, New Delhi: Oxford University Press India, 1988,
24. Into Full Flower: Making Peace Cultures Happen with Elise
Boulding, Cambridge, Massachusetts: Dialogue Path Press, 2010,
25. Journey of Life: Selected Poems of Daisaku Ikeda, London and New
York: I.B. Tauris & Co Ltd., 2014,
32
26. Kanta and the Deer (children's book), New York: Weatherhill, 1997,
'La fuerza de la Esperanza; Reflexiones sobre la paz y los derechos
humanos en el tercer milenio' (dialogue between Argentine Nobel
Peace laureate Dr. Adolfo Pérez Esquivel and Daisaku Ikeda), Buenos
Aires: Emecé Editores,2011,
27. Life: An Enigma, a Precious Jewel, 1st edition, New York: Kodansha
America, Inc., 1982,
28. Moral Lessons of the Twentieth Century: Gorbachev and Ikeda on
Buddhism and Communism with Mikhail Gorbachev, London and New
York: I.B. Tauris & Co Ltd., 2005,
29. My Recollections, Santa Monica, California: World Tribune Press,
1980,
30. New Horizons in Eastern Humanism Buddhism, Confucianism and the
Quest for Global Peace with Tu Weiming, London and New York:
I.B. Tauris & Co Ltd., 2011,
31. Ode to the Grand Spirit: A dialogue Ode to the Grand Spirit: A
Dialogue (Echoes and Reflections)" — with Chingiz Aitmatov, London
and New York: I.B. Tauris & Co Ltd., 2009,
32. On Being Human: Where Ethics, Medicine, and Spirituality Converge
with René Simard and Guy Bourgeault, Santa Monica, California:
Middleway Press, 2003.
Selain karya tulis yang disebut di atas, masih banyak karya tulisnya
terutama membahas tentang kebudayaan, pendidikan, kemanusiaan dan
perdamaian. Semuanya itu berdasarkan filsafat Budhisme.
33
BAB III
PEMIKIRAN PERDAMAIAN DAISAKU IKEDA
A. Reformasi Manusia
1. Kondisi Jiwa Manusia
Berbicara tentang kondisi jiwa manusia, maka hal ini erat
hubungannya dengan lima falsafah hidup yang diajarkan oleh Nichiren
Daishonin terutama tentang teori “tiga ribu gagasan dalam satu saat
tunggal” atau diistilahkan dengan Ichinen-Sanzen. Kelima falsafah itu
menitikberatkan terhadap etika dan moral, atau dikenal sebagai aksiologi,
salah satu kategorisasi filsafat Yunani. Dalam ajarannya Nichiren
menjelaskan tentang filsafat hidup manusia, lebih jelasnya tentang jalan
yang harus ditempuh manusia untuk dapat terlepas dari karma dan bisa
mencapai nibbana. Adapun lima falsafah Budhisme Nichiren sebagai
berikut: (1) Hubungan antara budi dan zat dalam Jasad, (2) Hubungan antara
lingkungan dan jasad, (3) Roh semesta meresapi segala sesuatu dalam alam
semesta (4) Kesadaran manusia dalam melihat dunia, dan (5) Ichinen -
Sanzen1
Pertama, Hubungan antara budi dan zat dalam jasad, Nichiren
Daishonin mengembangkan suatu teori terperinci tentang hubungan antara
budi dan zat dalam jasad hidup dengan istilah-istilah khas dalam
menerangkan teorinya salah satunya adalah kata shikiho yang berarti semua
zat atau semua penomena fisik. Yang kedua adalah kata shimpo yang berarti
kerja pikiran atau cara berpikir. Yang ketiga adalah kata funi yang berarti
1 Daisaku Ikeda, Budhisme : Falsafah Hidup, (Jakarta, PT Indira, 1988), h. 19
34
kedua hal itu (zat dan kerja pikiran) tak dapat dipisahkan. Dan kata yang
keempat adalah sikhisin yang artinya gabungan antara bagian pertama shiki-
ho dan shim-po funi, dengan kata lain bahwa teori tersebut bermaksud untuk
menjelaskan adanya keutuhan dari budi dan zat. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa gagasan umum dari teori ini adalah “jiwa itu ada dan meresapi segala
sesuatu”. Dengan kata lain, bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki
jiwa.2
Kedua, Hubungan antara lingkungan dan jasad, teori ini
menggunakan istilah shoho dan eho. Shoho berarti pokok, kedudukan
subyektif, atau jasad sedangkan eho adalah obyek atau lingkungan. Nichiren
Daishonin menerangkan bahwa shoho dan eho atau jasad dan lingkungan
adalah dua bagian namun juga merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Karena Shoho tak dapat merupakan shoho tanpa adanya eho
begitupun sebaliknya, ibarat adanya bayangan karena adanya badan tidak
mungkin ada bayangan tanpa adanya badan. Inti dari teori yang
dikembangkan ini adalah bahwa manusia tidak dapat terpisah dari
lingkungan yang dapat mempengaruhinya. Manusia harus menjalani
hidupnya dengan menyelaraskan diri dengan alam, merawat dan
menjaganya bukan merusaknya. Karena keduanya merupakan satu kesatuan
nyata yang tak dapat dipisahkan.3
Ketiga, Roh semesta meresapi segala sesuatu dalam alam semesta,
dalam teori ini Nichiren Daishonin membagi segala sesuatu di alam semesta
ke dalam ujo (wujud yang memiliki rasa atau kesadaran) dan hijo (bentuk
2 Daisaku Ikeda, Budhisme : Falsafah Hidup, h. 24.
3 Daisaku Ikeda , Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, (Jakarta, PT. Ufuk Publishing
House, 2011) h, 197
35
tanpa rasa atau tanpa kesadaran). Ujo dapat mengandung hijo; ialah
makhluk-makhluk perasa mengandung unsur-unsur tanpa rasa. Dan hijo
dapat menampilkan sifat perasa; meskipun emosi-emosi dan kesadaran
masih dalam keadaan tidur, apabila diberi syarat yang tepat, makhluk-
makhluk tanpa rasa dapat berkembang menjadi perasa. Karena wujud hayati
(kehidupan) dan nirhayati (tanpa kehidupan) adalah wujud sementara.
Kesadaran seorang Budhis akan peresapan roh semesta pada semua
perwujudan baik yang perasa maupun tanpa rasa, akan menuntunnya
menuju kesadaran akan kehidupan yang kekal. Dalam teori ini Nichiren
Daishoni mengajarkan bahwa roh semesta meresapi segala sesuatu yang ada
di dalamnya.4
Keempat, Kesadaran manusia dalam melihat dunia, dalam hal ini
Nichiren Daishonin mengolongkan pada tiga macam cara yang harus
dicapai manusia dalam memandang dunia : Ketai yaitu pengamatan akan
betuk-bentuk sementara atau fenomena material, Kutai yakni pengamatan
akan kehampaan atau fenomena spiritual, dan chutai yaitu pengamatan akan
sifat hakiki benda-benda atau fenomena esensial. Ketai adalah pada
dasarnya mengenai usaha untuk memperoleh pengetahuan tentang benda-
benda tersendiri dan hubungan dengan lingkungannya; ketai bersifat
intlektual dan konseptual yang berhubungan dengan fisika, matematika dan
penalaran-penalaran yang serupa. Kutai adalah intuitif dan sukar sekali
dipahami, tak dapat dimengerti dalam kata-kata yang melambangkan
eksistensi maupun noneksistensi. Chutai berjuang untuk mengetahui sifat
4 Daisaku Ikeda, Budhisme : Falsafah Hidup, h. 24.
36
hidup sesungguhnya. Hidup bukan hanya suatu gabungan semata-mata dari
unsur-unsur material dan spiritual. Hidup mempuyai sifatnya sendiri, yang
menyingkapkan dirinya dalam kedua aspek material dan spiritual. Hidup
tidak mencurahkan perhatian yang lebih besar kepada salah satu dari dua
jenis pengamatan itu. Teori ini dikenal dengan teori en’yu-no-santai atau
“jenis-jenis pengamatan, yang saling mengisi dan melengkapi” secara
ringkas menyatakan maksud kesatuannya. Teori ini dikembangkan oleh
bikkhu China Chih-i (538-597), yang mendirikan T‟ientai-t‟ai (bahasa
Jepang Tendai) Budhisme.5
Kelima, Ichinen-Sanzen, Kata-kata Ichinen-Sanzen adalah suatu
ungkapan yang sangat padat arti dari pandangan T‟ien‟t‟ai tentang
organisasi hidup. Secara harfiah kata Ichinen berarti mikrokosmos
sedangkan Sanzen dapat menunjang kepada banyak aspek yang berlainan,
tapi arti yang dimaksudkan disini adalah totalitas dari semua fenomena atau
makrokosmos. Dengan kata lain Ichinen-Sanzen ialah “tiga ribu gagasan
dalam satu saat tunggal”. Artinya bahwa semua aspek dan realitas adalah
begitu rapatnya terjalin sehingga aspek-aspek itu tetap ada dalam satu saat.
Jadi menurut teori ini, segala sesuatu dalam alam semesta saling berkaitan;
mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos tersirat dalam setiap
mikrokosmos.6
Teori ini berasal dari sekte Tendai yang diadopsi dan dikembangkan
oleh Nichiren Daishonin beberapa dekade kemudian. Teori ini membahas
tentang “tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal” yaitu gagasan tentang
5 Daisaku Ikeda, Budhisme : Falsafah Hidup, h. 34.
6 Daisaku Ikeda, Budhisme : Falsafah Hidup, h. 35
37
terdapatnya sepuluh alam eksistensi yang harus dilalui oleh semua makhluk
hidup di setiap masa kehidupannya. kesepuluh alam tersebut, antara satu
dengan lainnya memiliki keterkaitan. Masing-masing mengandung hakikat
dirinya dan 9 alam yang lain. Terdapat 10 faktor pokok yang memberi ciri
kepada setiap makhluk. Dan setiap makhluk dapat berhubungan dengan 3
lingkungan. Ketika dikalikan jumlah keseluruhannya (10x(1+9)x10x3)
menjadi 3000. Jadi di dunia ini terdapat 3000 alam ekstensi. Dari
perhitungan itulah tercetus teori tentang “3000 gagasan”. 7
Teori Ichinen-Sanzen ini yang kemudian menjadi dasar bagaimana
seseorang mengetahui kondisi jiwanya dari kesepuluh alam eksistensi
tersebut. Reformasi manusia merupakan suatu latihan penguasaan diri dalam
menumbuhkan kesadaran atas kondisi jiwa yang harus terus diasah secara
tekun dan rutin. Hal ini yang menjadi titik sentral Ikeda dalam menjalankan
misinya terhadap perdamaian dunia, karena inti ajaran filosofi Buddha
berkaitan langsung dengan masalah pembentukan karakter. Dalam sebuah
ayat Budhisme dikatakan “Engkau adalah penguasa atas dirimu sendiri.” Di
bagian kedua berbunyi “Jadilah pelita bagi dirimu sendiri, andalkanlah diri
sendiri, peganglah erat-erat pada hukum tersebut sebagai pelita, dan jangan
bergantung pada apapun juga.” Demikianlah ajaran dan filosofi hidup
Buddha yang selalu menekankan penguasaan diri dalam menumbuhkan
kesadaran atas kondisi jiwa.8
Atas dasar filosofi Budha tersebut, Ikeda menekankan pentingnya
reformasi di dalam diri tiap-tiap individu dan mewujudkan keyakinan ke
7 Daisaku Ikeda , Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, h.142
8 Daisaku Ikeda, Demi Perdamaiaan : 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, (Jakarta:
PT Bhuana Ilmu Populer, 2001), h. 29.
38
dalam tindakan. Sejalan dengan prinsip ini, Ikeda mendukung Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam mendorong berbagai kegiatan demi menuju
perdamaian. Melalui upaya-upaya itu Ikeda memberikan sumbangsih
kepada masyarakat sebagai satu kesatuan.
Berbicara tentang reformasi manusia, Buddhaisme menggolongkan
kondisi jiwa manusia ke dalam istilah “Sepuluh Dunia.” Sepuluh dunia
adalah sebuah teori yang membagi suasana jiwa ke dalam sepuluh
klasifikasi sebagai dasar pandangan kejiwaan Budhdhaisme. Dengan
mempelajari teori Sepuluh Dunia ini, kita bisa memahami suasana jiwa dan
mendapatkan pengarahan agar setiap orang bisa mewujudkan reformasi
manusia. Sepuluh Dunia tersebut ialah : 1. Dunia Neraka, 2. Dunia
Kelaparan, 3. Dunia Kebinatangan, 4. Dunia Amarah atau Keberangan, 5.
Dunia Kemanusiaan, 6. Dunia Kebahagiaan, 7. Dunia Kecendikiaan, 8.
Dunia Penciptaan, 9. Dunia Alam Bodhisattva, dan 10. Dunia Alam Ke-
Buddha-an.9
Kondisi jiwa setiap manusia selalu berubah-ubah dijelaskan oleh
Nichiren Daishonin dalam “The True Object of Worship”, sebagai berikut:10
“Bila kita mengamati wajah seseorang pada waktu berlainan, kita
mendapatkan bahwa orang itu terkadang penuh kegembiraan,
terkadang marah, dan terkadang tenang. Kadang kala keserakahan
muncul di wajah orang itu, kadang kala kebodohan dan sekali waktu
kejahatan. Kegilaan adalah Alam Neraka, keserakahan adalah Alam
Kelaparan, kebodohan adalah Alam Kebinatangan, kejahatan adalah
Alam Amarah, kegembiraan adalah Alam Kebahagiaan dan
ketenangan adalah Alam Kemanusiaan.”
9 Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, (Jakarta: PT. Indira, 1990), h. 109
10 Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, (Jakarta: Soka Gakkai Indonesia,
2015), h.25
39
Dari pernyataan di atas jelas bahwa setiap manusia memiliki kondisi
jiwa yang selalu berubah-ubah. Daisonin melihat betapa pun seseorang
menampakkan diri dengan wajah berseri-seri, mungkin sesungguhnya ia
berada dalam alam neraka meskipun tampak menguasai dirinya, atau
mungkin berada dalam kelaparan rohaniah.
Sepuluh Dunia di atas merupakan kesimpulan-kesimpulan yang pada
umumnya ditarik dari pengalaman manusia. Dengan memperhitungkan
semua macam keadaan yang mungkin dialami oleh setiap diri manusia.
Sepuluh Dunia yang mendasari hidup ini telah disimpulkan oleh para filsuf
Buddhis.11
Sepuluh dunia atau alam hidup yang tertera di atas merupakan
falsafah Budhisme Nichiren tentang teori “tiga ribu gagasan dalam satu saat
tunggal” yang diistilahkan dengan Ichinen-Sanzen.
2. Sepuluh Alam Hidup dan Sepuluh Faktor
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Sepuluh Dunia adalah
teori yang membagi suasana jiwa ke dalam sepuluh klasifikasi. Kesepuluh
Dunia ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, yaitu
“Enam Dunia Pertama” dan “Empat Dunia Suci”. Di bawah ini penulis akan
menjelaskannya sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
Enam Dunia Pertama dari Sepuluh Dunia adalah Dunia Neraka,
Dunia Kelaparan, Dunia Kebinatangan, Dunia Kemarahan, Dunia
Kemanusiaan dan Dunia Kebahagiaan. Penjelasannya sebagai berikut:
11
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia,h. 110
40
Pertama, Dunia Neraka. Arti kata neraka (bahasa Jepang: Jigoku)
pada awalnya memiliki arti „penjara di bawah tanah‟. Namun neraka yang
dimaksud di sini adalah suasana jiwa paling rendah yang diikat dengan
kesengsaraan. Ji berarti paling rendah, goku berarti ketidakbebasan karena
diikat atau ditahan. Dengan kata lain dunia neraka adalah suasana jiwa yang
merasakan hidup itu sendiri merupakan kesengsaraan atau melihat apapun
merasakan kemalangan.12
Niciren Daishonin mengatakan bahwa Neraka adalah tempat api
yang mengerikan (Writing Nichiren Daishonin -1, h. 1026). Dunia neraka
adalah suasana jiwa yang merasa semua lingkungan memberikan
kesengsaraan seperti kobaran api, sehingga keadaan jiwanya penuh dengan
kegersangan dan kemarahan. Kemarahan itulah yang dimaksud Nichiren
sebagai dunia neraka. Kemarahan merupakan rasa benci yang disebabkan
oleh hal-hal yang tidak berjalan sesuai dengan keinginan sendiri.13
Penulis beranggapan bahwa konflik dan perseteruan yang terjadi
baik di kancah nasional ataupun internasional itu diakibatkan adanya
kondisi jiwa seperti dikatakan di atas. Sesuatu yang tidak sejalan dengan
keinginan hati selalu ditentang tanpa memikirkan efek negatifnya.
Penentangan-penentangan ini sejatinya bukan berlandaskan kemarahan yang
sifatnya membangun tetapi sebaliknya. Kemarahan seperti itu tentunya
didasari dengan emosi yang menggebu-gebu yang melahirkan kebencian.
Kedua, Dunia Kelaparan. Dunia Kelaparan adalah suasana jiwa
yang sengsara karena keinginannya tidak terpenuhi, suasana jiwa yang
12
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 25 13
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 26
41
dikuasai keserakahan atau hawa nafsu yang tak terhingga sehingga hatinya
tidak bebas dan menimbulkan kesengsaraan. Hal ini sesuai dengan
perkataan Nichiren dalam Gosho14
“Keserakahan adalah dunia kelaparan,
dunia kelaparan adalah tempat menyedihkan di mana mereka menyantap
anak meraka sendiri karena kelaparan.” Di dalam dunia kelaparan ini, hawa
nafsu tidak bisa dimanfaatkan untuk menciptakan sesuatu, bahkan manusia
dapat dijadikan budak hawa nafsu dan selalu menderita.15
Tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap manusia pasti mengalami
jiwa seperti ini. Hal itu merupakan tabiat dari setiap manusia yang hidup di
muka bumi ini. Ini adalah ujian yang harus dilewati, karena jika dibiarkan
kondisi jiwa seperti ini akan berdampak negatif bagi lingkungan. Biasanya
orang lemahlah yang ujung-ujungnya menjadi sasaran dari keserakahan ini.
Jiwa seperti ini dapat diminimalisir dengan pendidikan karakter seperti yang
telah diajarkan oleh Budhisme. Pendidikan karakter sangat dibutuhkan
sekali dalam menumbuhkan sifat welas asih. Jika sifat welas asih sudah
tertanam maka martabat setiap orang akan dihargai dan dihormati.16
Menurut Ikeda, keserakahan adalah salah satu ciri dari Dunia
Kelaparan yang seolah-olah tanpa batas, berkobar dahsyat, memangsa
jasmani dan rohani. Setiap manusia rentan terhadapnya, karena keserakahan
menurutnya bentuk ekstrim dari hasrat, sedangkan manusia dilahirkan
dengan banyak hasrat atau nafsu naluriah, termasuk hasrat untuk tetap
14
Gosho adalah tulisan Nichiren Daisonin dalam bentuk lepas maupun kumpulan.
Termasuk di dalamnya adalah surat-surat yang mendorong secara pribadi uraian tentang
Buddhisme dan ajaran lisan yang dcatat. Lihat Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h.
294 15
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 117 16
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 27
42
hidup. Karena hasrat tersebut diperlukan untuk pemeliharaan hidup, maka
menurut Ikeda hasrat dalam arti itu sangat bermanfaat. Sebaliknya mengejar
nafsu tanpa tujuan yang lebih luhur sama dengan menjadi budak nafsu dan
hanya akan menjurus pada kemalangan bagi diri sendiri dan orang lain.17
Ketiga, Dunia Kebinatangan. Dunia ini disebut dengan dunia
kebinatangan karena dunia ini diistilahkan terhadap binatang yang memiliki
sifat kebodohan. Seseorang yang berada dalam kondisi jiwa kebinatangan
akan terlihat bodoh, dalam artian tidak dapat membedakan yang benar dan
yang salah, dan bertindak berdasarkan naluri. Di samping itu jiwanya terikat
dengan kepentingan sesaat dan memiliki akal budi yang tidak berjalan
dengan baik.18
Nichiren menyebut bahwa sifat alamiah hewan buas adalah
mengancam yang lemah dan takut pada yang kuat. Di samping itu binatang
biasanya mengandalkan kekuatan, hanya ada istilah membunuh atau
dibunuh. Jiwa seperti ini sangat berbahaya jika hinggap dalam diri
seseorang, karena suasana jiwa seperti ini akan lupa pada akal budi dan hati
nurani, dapat merugikan orang lain demi kehidupan diri sendiri, selalu
menghabiskan waktu dalam persaingan hidup.19
Keempat, Dunia Kemarahan. Dunia Kemarahan, dalam bahasa
Jepang disebut dunia shura, yang berasal dari kata asura, yaitu sebutan
untuk dewa India yang suka berperang. Dunia kemarahan memiliki ciri khas
tersendiri yaitu suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan
selalu mempunyai keinginan untuk mengalahkan orang lain. Manusia yang
17
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 117 18
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 27 19
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 120
43
berada dalam kondisi jiwa seperti ini merasa dirinya lebih unggul,
meremehkan orang lain dan berpura-pura sebagai orang arif atau orang baik,
padahal di dalam jiwanya penuh dengan iri hati terhadap orang yang lebih
unggul dari dirinya. Daishonin mengatakan bahwa orang yang berada dalam
kondisi jiwa seperti ini memiliki pikiran bengkok dalam artian tidak
memperhatikan isi hati yang sesungguhnya dan berpura-pura setia kepada
orang lain.20
Kelima, Dunia Kemanusiaan. Nichiren Daisonin menjelaskan bahwa
dunia kemanusiaan merupakan suasana jiwa yang tenang, tentram, dan
mempertahankan kemanusiaan. Di samping itu ia mengatakan bahwa orang
arif dapat disebut manusia sedangkan yang tidak berakal budi tidak lebih
dari binatang. Maksud dari perkataan ini adalah bahwa dunia kemanusiaan
memiliki ciri khas tersendiri yaitu kekuatan akal budi untuk
mengidentifikasikan yang baik dan yang buruk dan dapat membedakan
keduanya sehingga dapat mengontrol diri sendiri dengan patokan tersebut.21
Dunia kemanusiaan ini harus dipertahankan oleh setiap orang
dengan usaha yang maksimal, karena dunia kemanusiaan ini dapat
dikatakan langkah pertama dari suasana jiwa yang dapat mengendalikan
hawa nafsu. Di samping itu dunia kemanusiaan dapat menjadi wadah yang
benar untuk mencapai kesadaran Buddha. Besar kemungkinan dunia
kemanusiaan ini jatuh ke jalan buruk karena berjodoh buruk, tetapi di lain
20
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 28 21
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 127
44
pihak memiliki kemampuan untuk maju ke jalan empat dunia suci dengan
upaya untuk melaksanakan pertapaan Buddhisme.22
Keenam, Dunia Surga. Dunia Surga diposisikan sebagai salah satu
suasana jiwa kegembiraan yang dirasakan pada saat keinginan atau hawa
nafsu terpenuhi. Daishonin mengatakan bahwa kegembiraan adalah dunia
surga. Suasana jiwa dunia surga adalah keadaan di mana hawa nafsu
sesungguhnya tersebut terpenuhi dan terpendam pada kegembiraan. Akan
tetapi, kegembiraan itu tidak bertahan lama, oleh karena itu, dunia surga
bukan suasana jiwa kegembiraan sebagai tujuan manusia.23
Keenam dunia yang dijelaskan diatas dapat dipengaruhi oleh hal-hal
di luar itu. Seseorang dapat menikmati kegembiraan dunia surga ketika
kebetulan hawa nafsunya terpenuhi atau bisa menikmati ketenangan dunia
ketika lingkungan tentram. Akan tetapi begitu syarat itu hilang, secara
otomatis akan langsung jatuh ke dalam suasana jiwa yang sengsara seperti
dunia neraka atau dunia kelaparan. Keenam dunia yang disebutkan di atas
bukanlah suasana jiwa yang sungguh-sungguh bebas dan mandiri.
Seseorang dapat berupaya mengatasi hal tersebut dengan melakukan
pertapaan Buddhisme. Di samping itu bertujuan untuk mendirikan suasana
jiwa yang mandiri dan bahagia tanpa dipengaruhi oleh lingkungan luar.
Pertapaan Buddhisme yang dimaksud di sini adalah empat dunia suci, yakni
dunia pendengar ajaran, dunia kesadaraan, dunia bodhisatwa, dan dunia
Buddha.24
22
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 29 23
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 131 24
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 30
45
Ketujuh dan Kedelapan, Dunia Pendengar Ajaran atau Dunia
Kecendikiaan dan Dunia Penciptaan. Dunia Kecendikiaan adalah keadaan
shravaka, seorang murid yang telah memperoleh pengertian dengan
mendengarkan ajaran-ajaran Sang Buddha secara langsung. Sedangkan
Dunia Penciptaan adalah keadaan Pratyeka Buddha, seorang manusia yang
telah memperoleh pencerahan dengan pengetahuan Dua Belas Sebab yang
saling bergantung. Kedua Dunia ini merupakan Dunia yang luhur, namun
tidak digolongkan sebagai bentuk hidup yang paling mulia, dalam artian
dunia ini merupakan peroses pencapaian pencerahan yang baru yang bersifat
khusus atau pencerahan belum lengkap. Kendatipun demikian, kedua dunia
ini jauh lebih unggul dibanding keenam dunia yang telah disebutkan
sebelumnya.25
Ikeda beranggapan bahwa sang diri di dalam kedua dunia ini sebagai
diri yang bertafakur, diri yang berhenti menengok ke belakang dan berusaha
memahami makna segala hal. Proses tersebut dapat meliputi mawas diri
yang merupakan proses merenungkan hidup batin dan hubungannya dengan
kosmos. Kedua dunia ini berbeda dengan keenam dunia sebelumnya yang
secara khas memusatkan perhatian pada lingkungan, sedangkan kedua dunia
ini berfokus pada batin dan kepada makna yang lebih dalam dari hidup
manusia secara menyeluruh.26
Kesembilan, Dunia Bodhisatwa. Bodhhisatwa merupakan perjuangan
manusia untuk memperoleh kesadaran Buddha. Suasana jiwa seperti ini
adalah menjalankan pelaksanaan mencari kebenaran yang menuju suasana
25
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 131 26
Daisaku Ikeda, Hidup, Mutiara Penuh Rahasia, h. 141
46
yang tertinggi yaitu dunia Buddha. Di samping itu, memberikan manfaat
terhadap orang lain, menebar kebaikan yang telah diperoleh dari pertapaan
Budhis. Dunia bodhisatwa ini merupakan suasana jiwa yang memiliki rasa
tugas jiwa demi manusia dan dharma yang didasarkan pada sifat welas asih.
Daishonin berkata, “Seorang penjahat kejam sekalipun mencintai istri dan
anak-anaknya. Ia pun memiliki bagian dari dunia bodhisatwa dalam
dirinya.”27
Kesepuluh, Dunia Kebuddhaan. Dunia ini adalah Dunia yang paling
tertinggi di antara kesembilan dunia lainnya dan tidak dapat dituliskan
selengkapnya dengan kata-kata. Nichiren Daishonin menulis, “Kebuddhaan
adalah yang paling sulit diperagakan”. Tetapi setiap manusia harus percaya
bahwa dirinya mampu mencapai dunia kebuddhaan ini. Dunia Buddha
adalah suasana jiwa luas dan kaya raya yang akan dibuka jika seseorang
menyadari bahwa sumber pokok dari jiwa diri sendiri adalah Hukum Gaib.28
Buddha yang telah membuka suasana jiwa tersebut mewujudnyatakan welas
asih dan kearifan yang tak terhingga, dan terus berjuang agar seluruh umat
manusia dapat memperoleh suasana jiwa dunia Buddha yang sama dengan
dirinya.29
Buddhisme menawarkan Dunia Kebudhaan ini sebagai eksistensi
ideal kehidupan manusia. Emosi seperti kegembiraan dan kesedihan,
kesenangan dan kemarahan hanya sekedar benang-benang untuk menenun
27
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 33 28
Hukum Gaib adalah hukum pokok kehidupan dan alam semesta. Hukum Nam-myoho-
renge-kyo. Arti dari myoho dalam Myoho-renge-kyo, disebut “Hukum Penuh Kegaiban”. Lihat
Daisaku Ikeda, Discussion on youth,(Jakarta: Soka Gakkai Indonesia, 2015), h. 544 29
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 34
47
lembaran kehidupan, dan suatu pengalaman hidup. Namun itu semua dapat
dibentuk dan diarahkan oleh Dunia Kebuddhaan itu sendiri.30
Menurut Ikeda kesepuluh dunia yang telah disebutkan di atas
bukanlah alam yang berbeda sebagaimana yang kita pahami, tetapi
kesepuluh dunia ini adalah mencerminkan kondisi jiwa seseorang yang silih
berganti, apakah jiwa yang dikendalikan oleh nafsu hati, diri yang terjerat
egoisme, diri yang tidak dikendalikan oleh penalaran atau hati nurani,
ataukah diri yang penuh kegembiraan dan gairah hidup. Dalam pandangan
Buddhisme kondisi jiwa seperti itu dapat dimaklumi dan dimengerti.
Kesepuluh Alam tersebut mengandung sepuluh alam lainnya dalam dirinya.
Ini berarti bahwa setiap alam, disamping semua alam lainnya mengandung
alam ke-Buddha-an. Dengan kata lain bahwa semua orang dari semua jenis
dan derajat mempunyai benih-benih Buddha untuk mencapai Cita Buddha.31
Sepuluh faktor (syarat bereksistensi bagi semua makhluk dan tersirat
pada semua benda) sebagai berikut:
1. Faktor Nyoze-so (bentuk),
2. Faktor Nyoze-sho (naluri),
3. Faktor Nyoze-tai (wujud),
4. Faktor Nyoze-riki (daya),
5. Faktor Nyoze-sa (kegiatan),
6. Faktor Nyoze-in (faktor penyebab dalam),
7. Faktor Nyoze-en (faktor penyebab luar),
8. Faktor Nyoze-ka (efek terpendam; latent),
9. Faktor Nyoze-ho (efek nyata),
30
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h.28 31
Daisaku Ikeda , Mengungkap Misteri Hidup dan Mati, h. 173
48
10.Faktor Nyoze-honmatsu-kukyoto (perpaduan dari sembilan faktor
lainnya).
Faktor satu, dua, dan tiga melukiskan realitas-realitas jasmaniah dan
rohaniah dari hidup. Faktor empat sampai dengan sepuluh menjelaskan cara
bagaimana hidup itu berlangsung.
Sepuluh alam hidup dan sepuluh faktor tersebut di atas berhubungan
dengan tiga lingkungan atau dunia (san-ken):
1. Go-on Seken (dunia kesatuan; lingkungan Panca-Skandha),
2. Shujo-Seken (dunia dari makhluk hidup),
3. Kokudo-Seken (dunia dari lingkungan).
Jadi 10 Alam Hidup x 10 alam lainnya dalam dirinya x 10 faktor x 3
lingkungan/dunia = 3000 dari alam-alam ini ada pada satu saat eksistensi.
Oleh karena itu setiap individu akan mampu untuk mencapai ke-Buddha-
an.32
Menurut Ikeda tidaklah mustahil perdamaian dunia dapat tercapai,
namun menurutnya perdamaian itu adalah perdamaian yang sifatnya
eksternal yang dangkal, rapuh dan akan goyah dengan adanya sedikit
gangguan. Pondasi yang kokoh bagi tercapainya perdamaian yang
sesungguhnya dan tak dapat dihancurkan adalah membangun perdamaian di
dalam hati setiap orang, dengan istilah “revolusi manusia”. Orang yang tak
memiliki perdamaian batin tidak mungkin dapat memberikan perdamian
32
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 41
49
kepada orang lain. Oleh karena itu Ikeda mengistilahkan perdamaian
menjadi dua kategori yaitu perdamaian internal dan perdamaian eksternal.33
3. Agama dan Revolusi Manusia: Sumber Penciptaan Nilai
Nur Yalman34
(1931) meyakini bahwa “tantangan yang terus
menerus bagi kehidupan manusia adalah sumber penciptaan nilai. Menurut
Ikeda maksud dari pernyataan “tantangan yang terus menerus” adalah setiap
orang harus menyuarakan kearifan untuk membangun jaringan solidaritas di
antara orang yang ingin bangkit dari keterpurukan. Menurutnya tanpa
adanya gerakan untuk melakukan sesuatu, mustahil sesuatu yang diharapkan
akan terwujud. Seperti halnya keinginan untuk tercapainya perdamaian akan
menjadi impian hampa tanpa adanya gerakan untuk menentang
ketidakadilan dan keserakahan para elite penguasa; tragedi perang tidak
serta merta berhenti tanpa adanya persatuan untuk menghentikannya.35
Penciptaan perdamaian abadi bergantung pada sejauh mana setiap
individu mampu menguasai diri yang dapat dibentuk melalui praktik
keagamaan. Bila agama semulia namanya, dan bila agama dapat
menanggapi kebutuhan zaman kontemporer, agama mestinya sudah mampu
menumbuhkan dasar spiritual untuk menjadi warga dunia di kalangan para
penganutnya. Dalam pandangan Budhisme, persoalan tentang bagaimana
menciptakan “pertahanan perdamaian” dalam setiap individu, merupakan
faktor yang mesti mendahului berbagai faktor sistemik eksternal, dan
33
Daisaku Ikeda, Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru, Dialog kreatif Islam dan Buddha,
(Jakarta:PT Mizan Pustaka, 2010), h. 231. 34
Nur Yalman adalah antropolog sosial terkemuka Turki di Harvad University, di mana
ia menjabat sebagai Profesor Riset Senior bidang Antropologi Sosial dan Studi Timur Tengah. 35
Daisaku Ikeda, Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru, Dialog kreatif Islam dan Buddha,
h. 39.
50
merupakan buah sekaligus inti dari setiap upaya untuk membangun dunia
yang damai.36
Jelas peran agama sangat penting sekali dalam menciptakan suatu
perdamaian dunia. Agama menjadi pijakan penting bagi setiap individu
dalam mengarungi kehidupan terutama dalam mengembangkan moral yang
baik. Hal ini sejalan dengan filsafat hidup Budhisme yang menekankan pada
penguasaan dan pengendalian diri, sifat welas asih dalam kaitannya dengan
kemanusiaan yang ditampilkan melalui perilaku dan tindakan. Di dalam
pandangan Budhisme, pertumbuhan dan penyempurnaan karakter
merupakan tujuan pelatihan religius yang sesungguhnya. Sebagaimana
dikatakan Ikeda, bahwa norma-norma yang tidak dihasilkan dari dalam dan
tidak mendorong perkembangan karakter individu akan melemah dan tidak
efektif. Hanya bila norma-norma eksternal dan nilai-nilai internal berfungsi
secara timbal balik dan saling mendukung, maka keduanya memungkinkan
umat manusia melawan kejahatan dan dapat hidup sebagai teladan sejati dan
pahlawan hak asasi manusia.37
Setiap orang ditekankan untuk menumbuhkan kesadaran atas kondisi
jiwa serta mengasahnya secara tekun dan rutin agar kondisi jiwanya
meningkat dari kondisi jiwa terendah sampai kondisi jiwa tertinggi,
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hal ini merupakan latihan penguasaan
diri yaitu suatu latihan dalam me-revolusi manusia.
Menurut Ikeda, jika seseorang dapat menguasai diri, ia tidak akan
memaksakan nilai-nilai dirinya pada orang lain, serta tidak pula menginjak-
36
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h.19 37
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 19
51
injak adat istiadat dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh orang lain.
Begitu pula halnya, penguasaan diri ini tidak hanya mengamini adat-istiadat
dan nilai-nilai yang ada pada diri orang lain, tapi juga dapat mencegah
penilaian terhadap kondisi ekonomi, pemahaman dan konsekuensi terhadap
orang lain.
Pernyataan Ikeda ini mengajarkan kita untuk saling menghormati
sesama, selama kita disebut sebagai “manusia” tanpa memandang perbedaan
suku, ras, agama dan golongan. Jadi ia menegaskan bahwa setiap manusia
tidak boleh diremehkan dan harus mendapatkan penghormatan tertinggi
sebagai manusia. Di dalam Sutra Bunga Teratai, ada seorang bodhisatva
yang digelari sebagai “Yang Tidak Pernah Meremehkan”. Bodhisatva ini
percaya bahwa setiap manusia itu memiliki sifat Buddha. Pernah suatu
ketika ada orang yang berbuat jahat dan mengganggunya, tapi ia tidak
menghiraukan perbuatan jahat itu, ia tidak membalasnya dengan perbuatan
yang sama, ia tetap menolak untuk meremehkannya karena ia percaya
meremehkan seseorang sama saja meremehkan Buddha. Ia terus
menyampaikan ajarannya ini hingga saat-saat terakhir, memberikan
penghormatan pada semua manusia melalui setiap kata dan perbuatannya.38
Dari prinsip boddhisatwa yang tidak tergoyahkan ini kita dapat
mengambil pelajaran darinya sebagai teladan dalam menumbuhkan
penguasaan diri di dalam diri kita. Hal ini merupakan disiplin utama
Buddhisme yang menggambarkan pentingnya penguasaan diri sebagai
38
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h.30
52
kebijakan universal seluruh umat manusia serta persyaratan pertama untuk
sebuah dunia tanpa perang.
Disiplin utama Buddhisme ini sejalan dengan pandangan Sokrates
mengeni etik yang bersifat intelektuil dan rasionil yang menekankan pada
pencapaian budi baik. Budi ialah tahu, jadi orang yang berpengetahuan
dengan sendirinya berbuat baik. Kebaikan seseorang harus mencapai
terlaksananya keadilan dalam pergaulan hidup. Apa yang baik bagi
seseorang baik bagi masyarakat, begitu pun sebaliknya. Jadi antara
kepentingan seseorang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat. Siapa yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai
dengan penngetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara
keyakinan dan perbuatan. Budi berdasar atas pengatahuan, maka budi dapat
dipelajari.39
“Lampauilah kecemasan dan penderitaan pribadi anda, dan ubahlah
diri anda sedemikian rupa demi mengontribusikan diri untuk masyarakat
dan kemanusiaan “ demikianlah moto gerakan SGI untuk
mengkampanyekan revolusi manusia.40
Pernyataan di atas sangat tepat sekali, bahwa setiap individu dituntut
untuk terus memperbaiki diri, memiliki kemauan dan disiplin yang kuat.
Kesengsaraan orang lain tidak dapat kita atasi jika kesengsaraan pada diri
sendiri masih melekat. Tentunya ini sejalan dengan ajaran Buddhisme
mengenai “penciptaan nilai” yang mengedepankan kedisiplinan yang baik
dalam menjalani hidup.
39
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta:UI-Press, 2006), h. 83. 40
Daisaku Ikeda, Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru: Dialog Kreatif Islam- Budha , h.
38.
53
B. Dialog Peradaban
1. Budhisme dan Kekuatan Dialog
Dalam memperjuangkan pedamaian dunia, Ikeda memiliki
komitmen teguh terhadap dialog. Gerakan dialog tersebut berfokus pada
perdamaian, pendidikan dan kebudayaan, baik dialog antar peradaban atau
antar agama yang dilakukannya telah membangun solidaritas kebaikan yang
memperdalam pemahaman bersama dan menyambung pertukaran umat
manusia. Hal ini dibuktikan melalui kunjungannya ke berbagai negara untuk
melakukan dialog dengan para pemimpin negara dan tokoh intlektual.
Melalui dialog ia dapat bertukar pendapat dan memberikan masukan
terhadap pentingnya memperjuangkan perdamaian dunia. Upaya-upaya
inilah yang terus dilakukan, karena ia menganggap dialog adalah senjata
paling ampuh bagi orang-orang moderat. Menurutnya dialog dapat
dihidupkan dengan melalui sumberdaya energi dan kekuatan spiritual.41
Ikeda menekankan dan menganjurkan untuk melakukan dialog
terbuka, tanpa memandang siapa dan apa setatus orang yang diajak
berdialog. Menurutnya orang yang tertutup seolah-olah ia bunuh diri
terhadap spiritualnya, dalam artian tidak mengenali diri sendiri secara utuh
tanpa melibatkan kontak dengan orang lain. Dialog dapat melatih diri
seseorang menjadi manusia, manusia yang penuh kasih sayang, berhati
mulia, serta dapat mengetahui dan merasakan kebahagiaan dan penderitaan
orang lain. Tanpa adanya dialog itu semua tidak akan pernah terlibat dalam
pikiran seseorang, karena menurutnya tanpa adanya kontak dengan orang
41
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h.33
54
lain -melalui dialog- kita tidak dapat menguasai ketegangan-ketegangan
dalam diri seseorang sehingga dapat menyebabkan keraguan terhadap orang
lain, menaruh curiga dan akhirnya mudah terjebak oleh kekuatan yang
memecah belah.42
Ia memandang, bahwa orang yang menolak dialog yang damai dan
memilih kekerasan adalah salah satu ciri orang yang menyerah pada
kelemahan manusiawi dalam artian mengakui kekalahan spiritual manusia.
hal ini didasarkan pada filosofi Buddhisme yang sejak awal sudah berkaitan
dengan penolakan terhadap kekerasan dan memiliki prinsip penyelesaian
konflik secara damai dengan melalui dialog. Kehidupan Sakyamuni secara
keseluruhan tidak tersentuh dengan dogma, dan interaksi dengan para
pengikutnya menekankan pentingnya dialog.43
Ikeda mengatakan bahwa saat ini kita telah memasuki suatu tahap
sejarah di mana “ dialog” setara pentingnya dengan “kehidupan” dan
“perdamaian”. Dari pernyataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa dialog
merupakan langkah yang amat penting dalam menyelesaikan masalah yang
ada. Karena dengan dialog lah titik temu permasalahan dapat dicarikan
solusinya sekaligus dapat diselesaikan dengan mudah. Karena di dalam
dialog kita dituntut untuk mengemukakan pendapat, menganalisis pendapat
orang lain dan mencari jalan keluar demi menyelesaikan permasalahan yang
ada. Hal ini sejalan dengan apa yang selalu sang Buddha Sakyamuni
lakukan terhadap murid-muridnya. Sekalipun kondisi fisiknya tidak
42
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 34 43
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 35.
55
memungkinkan untuk berdialog, tapi ia terus memberi peluang kepada
murid-muridnya.
2. Kristalisasi Ciri-ciri Demokratis
Ikeda Mengatakan, “Bagaimana manusia abad ke-21 mengatasi
krisis yang dihadapi ? Tentu saja, tidak ada solusi sederhana, tidak ada
„tongkat sihir‟ yang bisa kita gunakan untuk membuat semuanya menjadi
lebih baik. Inti dari usaha semacam itu harus menghasilkan potensi dialog
yang maksimal. Selama sejarah manusia berlanjut, kita akan menghadapi
tantangan abadi untuk mewujudkan, memelihara dan memperkuat
perdamaian melalui dialog.”44
Gagasan-gagasan Ikeda mengenai dialog tidak hanya isapan jempol
tanpa adanya tindakan yang nyata. Ikeda membuktikan gagasan itu secara
langsung dengan mengadakan kunjungan ke berbagai negara di belahan
dunia ini. Kurang lebih 40 puluh tahun ia terus mempromosikan perdamaian
dunia melalui dialog. Ia mengadakan dialog dengan ratusan individu dari
berbagai budaya, tradisi iman dan jalan hidup, seperti dengan mantan
Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, aktivis hak sipil Rosa Parks,
profesor Harvad University dan lainnya. Inti dari diadakannya dialog
tersebut ialah untuk menemukan landasan bersama dan mengidentifikasi
cara memecahkan masalah kompleks yang dihadapi umat manusia.45
Ikeda memberi penegasan mengenai dogmatis yang terkungkung
dalam diri seseorang yang diakibatkan oleh kehidupan yang tidak
44
Daisaku Ikeda, Daisaku Ikeda: A Biographical Sketch, artikel diakses pada tanggal 18
Juli 2017 dari www.daisakuikeda.org 45
Daisaku Ikeda, Daisaku Ikeda: A Biographical Sketch, artikel diakses pada tanggal 18
Juli 2017 dari www.daisakuikeda.org
56
mengedepankan dialog, ia akan merasa benar sendiri dan mengakibatkan
tindakan yang radikal secara fatal. Dengan dialoglah kegelapan dapat
dihilangkan sebagai penerang dan menuntun langkah di depan seperti
halnya sebuah lampu yang dapat menerangi kegelapan. “Without dialogue,
humans are fated to walk in the darkness of their own dogmatic self-
righteousness. Dialogue is the lamp by which we dispel that darkness,
lighting and making visible for each other our steps and the path ahead.”46
Ikeda menegaskan bahwa ajaran Budhaisme memiliki prinsip
beradaptasi dengan adat istiadat setempat, prinsip ini merupakan pola pikir
yang mengormati setinggi-tingginya budaya dan kebiasaan serta adat
istiadat di setiap wilayah, selama tidak menyimpang dari makna inti ajaran
Budhhisme. Prinsip itu juga menganjurkan agar tanggap menerima ciri khas
lingkungan setempat dan memenuhi kebutuhan zaman. Dari sebuah prinsip
ini Ikeda kemudian memfokuskan aktivitas pertemuan kecil di berbagai
wilayah yang disebut pertemuan dialog (zadankai). Pertemuan tersebut
dihadiri penduduk setempat tanpa memendang perbedaan usia, jenis
kelamin, pekerjaan, kedudukan atau pendidikan. Dalam pertemuan itu
mereka saling bertukar pendapat mengenai kehidupan yang dialami baik itu
berupa penderitaan ataupun kebahagian yang kemudian saling memberi dan
mendapat semangat dari satu sama lain. Berbicara dari hati ke hati dan
semua peserta memiliki keterbukaan.47
46
Daisaku Ikeda, Words of Wisdom Buddhist Inspiration for Daily Living, artikel diakses
pada tanggal 10 September 2017 dari www.ikedaquotes.org 47
Abdurrahman Wahid, Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 159
57
Pertemuan dialog seperti itu merupakan sumber demokrasi, karena
pada hakikatnya demokrasi bermula dari adanya saling mengakui dan
menghormati kepribadian atau watak masing-masing orang sebagai sesama
manusia. Tentu pertemuan dialog tersebut padat dengan idealisme
demokrasi.
Ikeda kembali menegaskan bahwa “bukti manusia itu manusiawi
terletak pada spirit dialog” hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh
Jalal ad-Diin Muhammad Rumi, Sastrawan besar Persia pada abad ke-13
sebagaimana dikutip “Manusia itu lebih unggul daripada binatang buas
karena dapat berbicara, tetapi jika manusia tidak berbicara tentang hal-hal
baik, binatang buaslah yang lebih unggul”. Disamping itu Majid Tehranian,
Direktur Toda Institute for Global Peace and Policy Research,
mengungkapkan pendapat akan pentingnya dialog dalam kondisi kekerasan
dan penguasaan. Terlebih dengan kondisi globalisasi pasar dan masyarakat,
berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban menjalin kontak yang dekat
pada skala yang masif yang kemungkinan besar dapat menimbulkan
munculnya formasi politik dan ekonomi yang kompetitif dan kooperatif,
konflik persepsi dan minat, juga konversasi dan negosiasi. Kesemuanya itu
menurut Tehranian perlu adanya dialog antar kedua belah pihak yang
bersangkutan. Jika tidak dilakukan maka dalam kondisi kekerasan dan
penguasaan seperti ini benih permusuhan akan terus terjadi sampai masa
yang akan datang.48
48
Daisaku Ikeda, Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru: Dialog Kreatif Islam- Budha, h.
41.
58
Penekanan terhadap dialog ini persis apa yang dilakukan oleh
Sokrates dalam memperbaiki dan membangun moral masyarakat, orang
diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia selalu berkata, yang ia
ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Sebab itu ia bertanya. Tanya
jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Inilah awal
mula adanya dialektik atau dialog, bersoal jawab antara dua orang.49
C. Kewarganegaraan Global
1. Ciri-ciri dan Karakter Warga Negara Global
Ikeda memiliki keinginan yang kuat untuk terus berkunjung ke berbagai
belahan dunia, ia meyakini kunjungan yang dilakukannya sangat penting
demi menjalin hubungan baik dan memperluas persahabatan dengan bangsa-
bangsa lain untuk menegakkan perdamaian. Pada tahun 1962, setelah dilantik
sebagai presiden ke tiga Soka Gakkai, Ikeda berkunjung ke Iran, Irak, Turki,
Mesir dan negara-negara lainnya, padahal kondisi masyarakat Jepang ketika
itu masih belum mengijinkan orang-orang Jepang dapat pergi bebas ke luar
negeri.50
Ikeda terus mengupayakan persahabatan seperti ini terjalin dengan
baik terutama bagi generasi-generasi muda. Hal ini telah dibuktikan melalui
pertukaran mahasiswa Universitas Soka dengan lebih dari 100 universitas
dari 44 negara dan wilayah termasuk negara-negara yang memiliki budaya
Islam. Menurutnya hubungan pertukaran persahabatan seperti ini baik dalam
bidang pendidikan, akademik ataupun kebudayaan akan dapat memperluas
solidaritas umat manusia secara universal tanpa mengenal batas perbedaan
49
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, h. 75. 50
Daisaku Ikeda, Abdurrahman Wahid, Dialog Peradaban untuk toleransi dan
perdamaian, h. 37.
59
bangsa dan agama. Pertukaran persahabatan seperti ini sudah diajarkan oleh
Buddha Sakyamuni sekitar abad ke-6 SM dengan mengutus misi ke negara-
negara wilayah barat seperti Yunani, Makedonia, Anatolia, Syiria, Mesir dan
negara-negara lainnya.51
Menurut Ikeda seseorang dapat dikatakan sebagai warga negara
global jika memiliki jiwa lapang dalam menerima suatu perbedaan, misalnya
mudah berteman dengan orang dari negara-negara lain sekalipun dengan
orang yang berbeda suku, ras, agama dan golongan. Selain itu sebagai warga
negara global seseorang harus mampu mampu menganut perspektif global,
yang memandang melampaui batas-batas keetnisannya dan juga tidak
beranggapan bahwa nilai-nilai di negaranya sendiri berlaku di tempat lain di
dunia ini. Orang yang memiliki kepercayaan diri dan mampu memandang
persoalan secara adil dan obyektif. Ikeda juga menambahkan bahwa warga
negara global adalah semua orang yang bekerja untuk menciptakan sebuah
dunia yang damai dan manusiawi yang dibangun di atas aktivitas, kontribusi,
dan keteladanan melalui ajaran Buddhisme.52
Hal ini dibuktikan Ikeda dalam kunjungannya ke Uni Soviet pada
tahun 1974, saat Perang Dingin di negara-negara timur dan barat bergejolak.
Namun kunjungannya tersebut mendapat berbagai keritikan dan cacian dari
berbagai pihak baik dalam maupun luar organisasi. Karena Unisoviet
merupakan negara yang tidak mengakui kehadiran agama, sedangkan Ikeda
sendiri adalah seorang agamwan. Ikeda pun menjawab keritikan itu secara
51
Daisaku Ikeda, Abdurrahman Wahid, Dialog Peradaban untuk toleransi dan
perdamaian, h. 40-41 52
Daisaku Ikeda, Untuk Pemimpin Masa Depan, Discussion on Youth, (Jakarta: Soka
Gakkai Indonesia, 2015), h. 107
60
tegas “Karena di negara itu ada manusia maka Saya pergi untuk bertemu
dengan manusia”. Menurutnya persahabatan adalah hal yang patut
dibanggakan sebagai manusia.53
Sebagai manusia diperlukan rasa bangga pada kemenangan yang
diraih oleh sahabatnya. Justru manusialah yang merupakan tolok ukur
bersama berbagai bangsa dan ras maupun suku. Manusia adalah fondasi
kebersamaan dan bibit kemenangan. Pernyataan seperti ini jelas bahwa yang
perlu di junjung tinggi adalah sisi kemanusiaan. Jika ini dilakukan, sebesar
apapun perbedaan yang ada maka akan mudah diatasi. Manusia dapat
memperluas solidaritas persahabatan sebagai manusia dengan cara mengatasi
semua perbedaan.
Ikeda mengutip dari Antoine de Saint-Exupery (1967) “Mereka akan
bertambah besar dan berkembang dengan menghargai orang lain. Sebagai
manusia diperlukan rasa bangga pada kemenangan yang diraih oleh
sahabatnya. Justru manusialah yang merupakan tolok- ukur bersama berbagai
bangsa dan ras maupun suku. Manusia adalah fondasi kebersamaan kita.
Manusia adalah bibit kemenangan kita.” Pernyataan seperti ini jelas bahwa
yang perlu di junjung tinggi adalah sisi kemanusiaan. Jika ini dilakukan,
sebesar apapun perbedaan yang ada maka akan mudah diatasi. Manusia dapat
memperluas solidaritas persahabatan sebagai manusia dengan cara mengatasi
semua perbedaan.
53
Daisaku Ikeda, Abdurrahman Wahid, Dialog Peradaban untuk toleransi dan
perdamaian, h. 60
61
2. Kompetisi Kemanusiaan
Penguasaan diri dan dialog peradaban memiliki efek positif bagi
kehidupan setiap individu untuk melangkah lebih jauh dalam merekatkan tali
persaudaraan yang diistilahkan oleh Ikeda sebagai kewarganegaraan global.
Kedua hal itu juga dapat memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai yang
mendasari sistem ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan dan agama.
Tsunesaburo Makiguchi di dalam bukunya The Geography of
Human Life yang diterbitkan pada awal abad ke -20, menggambarkan
pergeseran modus kompetisi nasional dari militer ke politik dan ekonomi, ia
mencanangkan suatu visi yang disebutnya “kompetisi kemanusiaan” yang
menggambarkan suatu transformasi kualitatif yang mendalam mengenai
kompetisi itu sendiri, ke arah model yang mengakui keserbaterpautan dan
menekankan aspek-aspek kerjasama dalam hidup. Ia membayangkan suatu
masa ketika rakyat dan negara bersaing dalam pengertian berjuang bersama
dalam rangka memberikan sumbangan tertinggi pada kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.54
Dari konteks ini, Makiguci menegaskan bahwa tujuan tertinggi suatu
negara terletak pada pencapaian kemanusiaan. Tidak ada rumus sederhana
bagi faham kemanusiaan. Seluruh aktivitas, entah itu bidang politik atau
ekonomi, harus dilakukan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, yang
terpenting adalah menghindari tindakaan mementingkan diri sendiri, tetapi
juga kehidupan orang lain. Orang harus melakukan segala sesuatu demi orang
lain, karena dengan memberikan manfaat bagi orang lain, kita sendiri akan
54
Tsunesaburo Makiguchi, Makiguchi Tsunesaburo zenzhu, (Tokyo: Daisan Bunmeisha,
1983), h. 14-15
62
mendapatkan manfaatnya. Dengan kata lain, ini berarti menjalani kehidupan
kolektif secara sadar.
Dalam hal ini Ikeda menanggapi, bahwa kompetisi kemanusiaan
akan mempengaruhi bentuk kompetisi lainnya, yang akhirnya akan
memunculkan pergeseran kesadaran di dalam diri manusia dari kompetisi
menuju kehidupan berdampingan dan kerjasama.
Tsunesaburo Makiguchi55
dan Josei Toda (1900-1958) menyatakan
bahwa diri mereka adalah seorang warga negara global, walaupun mereka
belum pernah meninggalkan Jepang. Pada 1950-an, Toda, ketika mengarahkan
perhatian pada masa depan Asia dan seluruh dunia, menyebut umat manusia
sebagai satu “keluarga global”. Pernyataan seperti ini diperkuat oleh Ikeda
melalui pendapatnya bahwa seseorang itu tidak ada bedanya dengan yang lain
walaupun berbeda kebangsaan, pada intinya sebagai warga negara global
sejati seseorang dapat merasakan penderitaan, kesedihan, kebahagiaan dan
kegembiraan yang dirasakan orang lain. Dapat bersatu dengan orang lain
untuk mendukung kepentingan manusia bersama.56
Untuk mewujudnyatakan gagasan Tsunesaburo Makiguchi dan Josei
Toda, Ikeda mengembangkan gerakan perdamaian, kebudayaan dan
pendidikan dengan berdasarkan Budhisme. Gerakan Dialog Ikeda yang
berfokus pada perdamaian, kebudayaan dan pendidikan telah tersebar luas ke
seluruh dunia. Dialog Ikeda dengan tokoh dunia semakin berkembang. Sampai
55
Tsunesaburo Makiguchi (1871-1944), pendiiri dan presiden pertama Soka Gakkai,
yang awalnya disebut Soka Kyoiku Gakkai (Masyarakat Pendidikan yang Menciptakan-Nilai). Ia
seorang pendidik berpikiran maju, ahli geografi, dan reformis agama yang hidup dan bekerja
selama dasawarsa awal era modern Jepang yang penuh gejolak. Karena menentang militerisme
dan ultranasionalisme Jepang, ia dipenjara dan meninggal dalam Perang Dunia II. Lihat Daisaku
Ikeda, Discussion on Youth, (Jakarta: Soka Gakkai Indonesia, 2015), h. 553 56
Daisaku Ikeda, Untuk Pemimpin Masa Depan, Discussion on Youth, h. 113
63
sekarang telah dilaksanakan dialog dengan pemimpin negara, budayawan,
rektor universitas dan lain-lain sebanyak lebih dari 1.600 kali. Dialog antar
peradaban maupun dialog antar agama yang dilakukannya telah membangun
solidaritas kebaikan yang memperdalam pemahaman bersama dan
menyambung pertukaran umat manusia.57
Shariputra, seorang murid Buddha dalam hal ini menganalogikan dengan
dua ikatan batang gelagah. “Mari kita andaikan ada dua ikatan gelagah,
sepanjang keduanya saling bersandar satu sama lain, mereka akan berdiri
tegak, begitu pula karena ada yang “ini”, maka ada yang “itu”, dan karena ada
yang “itu”, maka ada yang “ini”. Namun, bila kita ambi salah satu ikatan
tersebut, yang lain akan roboh.
Perumpamaan semacam ini sejalan dengan konsep Buddhisme tentang
kesalingtergantungan yang mengajarkan keberadaan bersama semua isi alam
semesta, termasuk manusia dan alam, dalam hubungan-hubungan yang saling
bergantung. Kesalingbergantungan ini menggambarkan simbiosis
mikrokosmos dan makrokosmos yang berpadu sebagai satu organisme.58
Setiap manusia, tidak bisa eksis sendiri-sendiri tanpa adanya bantuan dari
orang lain dan tentu saling membutuhkan satu sama lainnya. Begitu pula
halnya dengan penciptaan komunitas dunia, peradaban global yang
berkeadilan, penuh cinta kasih dan harapan, harus dimulai dengan berpaling
dari etos kompetisi “memangsa atau dimangsa” dan menggantikannya dengan
sebuah etos bersama akan kerjasama dan keberadaan yang saling
57
Soka Gakkai Indonesia, Dasar-Dasar Buddhisme, h. 81-82 58
Daisaku Ikeda, Sang Buddha Shakyamuni, Biografi Tafsir , ( Jakarta : PT Indira, 1989),
h. 77
64
bergantungan. Ini sesungguhnya lebih dekat dengan makna asli dari kata
kompetisi.
3. Jalur Kesadaran Global
Berbicara tetang kewarganegaraan global, Ikeda mengatakan bahwa kita
harus mengubah orientasi perspektif dengan menyadari bahwa saat ini seluruh
umat manusia tidak perlu memikirkan kepentingan dan tanggungjawab yang
dibatasi oleh garis batas negara berdasarkan motif-motif tidak pasti dan
sempit.
Menurut pengamatan Ikeda bahwa globalisasi telah membawa ke
permukaan berbagai masalah yang mudah sekali melintas batas-batas negara,
seperti kerusakan lingkungan, kemiskinan, pertumbuhan penduduk dan
peningkatan jumlah pengungsi dan makin banyaknya orang-orang yang terusir
dari tempat tinggalnya. Ini semua membutuhkan tindakan untuk
mengatasinya. Dalam kerangka sistem negara yang berdaulat, berbagai krisis
sudah lama didefinisikan sebagai masalah teritorial, dan karenanya banyak
negara telah memfokuskan upaya pada penguatan militer. Namun menurut
Ikeda persoalan global yang kini mengancam kita tidak dapat diatasi dengan
pendekatan konvensional. Sehingga bila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut,
bakal terjadi konflik dan perang di berbagai wilayah regional.
Kerusakan lingkungan secara global , kemiskinan, pertumbuhan penduduk
merupakan persoalan yang sangat rumit dan sulit untuk menemukan solusi
yang simultan dan komprehensif. Masalah kemiskinan dapat diminimalisir
dengan adanya bantuan dari negara industri, namun hal itu dikembalikan
65
kepada upaya internal negara-negara miskin untuk mengembangkan diri. Dan
menurut Ikeda kunci utamanya adalah terletak pada pendidikan.59
Dalam hal menjaga pertumbuhan penduduk maka sangat penting untuk
memberikan pendidikan mengenai keluarga berencana. Perlu ditemukan cara
untuk meningkatkan kesempatan pendidikan umum bagi semua orang di
negara berkembang. Secara statistik sudah ditunjukan bahwa menyediakan
kesempatan pendidikan bagi perempuan dapat mempercepat kemajuan dan
mengurangi jumlah anak yang dilahirkan.
Persoalan global lainnya yang sangat kerusial yaitu mengenai peningkatan
pengungsi yang jumlahnya semakin membengkak. Pada tahun 2014, Jumlah
pengungsi yang menghindari perang, konflik, atau penganiayaan di dunia
telah mencapai 60 juta jiwa. Menurut sebuah laporan PBB, jumlah tersebut
merupakan rekor tertinggi.60
Untuk menjadikan manusia di dunia ini sebagai warga dunia dan
mengakui setiap individu sebagai warga dunia, Ikeda menyarankan untuk
menyusun Piagam Warga Dunia sebagai dasar pendididkan warga dunia.
Piagam ini menjadi piagam pendidikan perdamaian yang secara komprehensif
membahas tentang lingkungan, pembangunan, perdamaian dan hak asasi
manusia. Namun menurut Ikeda, kesadaran manusia bahwa mereka adalah
bagian dari satu dunia yang utuh masih terhitung rendah rendah, masih ada
konflik di seluruh dunia yang berakar pada prasangka rasial dan agama.
Ikeda menambahkan, mukodimah dari Piagam Warga Dunia harus
menyatakan bahwa segenap perbedaan diantara manusia di bidang
59
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 131 60
Kompas, PBB: Jumlah Pengungsi Dunia Catat Rekor Tertinggi, artikel diakses pada
tanggal 18 Juli 2017 dari www.kompas.com
66
kebudayaan, agama, dan bahasa itu serupa dengan keberanekaragaman spesies
yang berakar di tanah bumi yang sama, bahwa semua manusia di muka bumi
adalah warga dunia, dan bahwa perdamaian dan kebahagiaan umat manusia
harus dicapai dari titik pandang yang universal.61
Eksistensi warga dunia dan kebebasan kebangsaan tentu saja tidak
bertentangan satu sama lain. Di dunia zaman sekarang, sudah terbuka
sepenuhnya kemungkinan untuk mendalami identitas kebangsaan dan
kebudayaan tiap orang dan memandang dunia secara luas seraya melakuakan
tugas-tugas kemanusiaan. Menurut Ikeda untuk mengatasi berbagai krisis
yang terpampang di hadapan kita, kita tidak hanya harus mengatasi masalah-
masalah yang mendesak di depan mata, tetapi harus menggali ke kedalaman
waktu dan sejarah supaya mendapatkan visi yang menjangkau jauh ke masa
depan, berabad-abad, atau bahkan bermilenium ke depan. Ikeda memberi
peringatan agar setiap manusia menyadari misi unik sebagai aktor-aktor dalam
sejarah transformasi dalam naungan warga negara global dan terus berusaha
bersatu dalam perjuangan bersama melawan dan menyelesaikan berbagai
permasalahan yang mengancam di planet ini.
61
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 145
67
BAB IV
IMPLEMENTASI DAN RELEVANSI KONSEP PERDAMAIAN
DAISAKU IKEDA
A. Perdamaian dan Perlucutan Senjata
Presiden Soka Gakkai ke-dua, Josei Toda menyeru kepada kaum muda
tentang hak eksistensi bagi seluruh umat manusia di dunia, seruannya sebagai
berikut:1
“Kita warga dunia, memiliki hak untuk hidup yang tidak dapat diganggu-
gugat. Siapa pun yang mencoba merampas hak ini adalah setan, monster.
Kendati suatu negara dapat menaklukkan dunia dengan menggunakan
senjata nuklir, para penakluk harus dianggap sebagai iblis, sebagai
inkarnasi makhluk keji. Saya yakin sudah menjadi misi generasi muda
Jepang untuk menyemai gagasan ini ke seluruh dunia”.
Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Nichiren
Daisonin tentang hak hidup. Setiap individu, tidak peduli apapun ras, jenis
kelamin, kapasitas atau kedudukan sosialnya, memiliki kekuatan untuk mengatasi
tantangan yang tak terelakkan dalam kehidupan, kekuatan untuk mengembangkan
kehidupan yang berdaya cipta dan bernilai tinggi, dan kekuatan untuk
memberikan pengaruh positif pada komunitas, masyarakat dan dunia. Senada
dengan apa yang dicita-citakan Nichiren, Daisaku Ikeda terus mengupayakan
langkah-langkah menuju perdamaian, tidak hanya dengan menghindarkan
manusia dari tragedi perusakan senjata nuklir, tetapi juga dari penderitaan yang
disebabkan perang. Ia terus mendorong para generasi muda untuk melaksanakan
perjuangan tanpa kompromi melawan sisi-sisi kehidupan manusia yang keji.
1 Daisaku Ikeda, Demi Perdamaian : 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, (Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer, 2001), h. 147
68
Selama bertahun-tahun, Ikeda telah berdialog dengan banyak pemikir
ternama dunia, berpidato di lebih dari lima puluh negara, menulis secara ekstensif
tentang hal-hal yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan kemanusiaan.
Proposal tahunannya untuk perdamaian diterbitkan setiap tahunnya pada hari
berdirinya SGI 26 Januari 1975, mengulas keadaan dunia dan menawarkan usul-
usul inisiasi praktis sebagai respon penuh semangat berdasarkan filosofi
Buddhisme.2
Dalam proposalnya, Ikeda mengusulkan kepada lembaga-lembaga yang
bersangkutan untuk memperkuat kerangka kerjanya dalam mencegah proliferasi
senjata konvensional yang menyebabkan insiden terorisme di seluruh dunia. Sejak
24 Desember 2014, Traktat Perdagangan Senjata sudah mengatur perdagangan
senjata konvensional dari mulai senjata kecil sampai tank dan misil. Namun,
traktat itu baru diratifikasi oleh 79 negara, dan belum ada kesepakatan yang
dicapai mengenai masalah-masalah utama seperti mekanisme pelaporan untuk
transfer senjata internasional. Para peserta traktat gagal dalam merumuskan
laporan, apakah laporan harus tersedia bagi publik dan senjata mana yang harus
dilaporkan.3
Kemudian ia mengusulkan agar perdagangan internasional senjata
konvensional diatur dengan ketat dan komunitas internasional harus
memanfaatkan Traktat Perdagangan Senjata untuk memutus siklus kebencian dan
kekerasan di seluruh dunia. Karena menurutnya dampak dari proliferasi senjata
kecil sangat berbahaya. Senjata kecil dapat dengan mudah dibawa dan
2 Daisaku Ikeda, Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan Luhur
Menuju Perdamaian, (Jakarta, Soka Gakkai Indonesia, 2016), h. 102 3 Daisaku Ikeda, Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan Luhur
Menuju Perdamaian, h. 67
69
dioperasikan, hingga memudahkan pemaksaan terhadap anak-anak untuk menjadi
serdadu. Ada kurang lebih 300.000 serdadu anak-anak di seluruh dunia, yang
menghadapi risiko cedera fisik, trauma psikologi, dan kematian. Di samping itu,
Ikeda berencana untuk memasukkan persoalan aliran uang dan senjata gelap, ia
mendesak negara-negara untuk segera meratifikasi Traktat Perdagangan Senjata
sebagai bukti komitmen terhadap persoalan tersebut. Agenda pengurangan aliran
itu secara signifikan pada tahun 2030 adalah salah satu target Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDG, Sustainable Development Goals) yang
diadopsi pada September 2015.4
Dalam proposalnya pada tahun 2016, di samping usulannya tentang
peraturan perdagangan senjata konvensional, Ikeda juga menyinggung tentang
pelarangan dan penghapusan senjata nuklir. Ia menghimbau kepada Kelompok
Kerja Terbuka (OEWG, open-ened Working Group) Majelis Umum PBB agar
mempertimbangkan tiga poin penting yang digagasnya. Pertama, Mencabut
pasukan yang membalas serangan nuklir dari status siaga tinggi; kedua, Mundur
dari kebijakan yang menaungi nuklir; dan ketiga, menghentikan modernisasi
senjata nuklir. 5
Ikeda menyarankan kedua poin pertama, harus segera dilakasanakan.
Karena menurutnya sifat senjata nuklir tampak jelas tidak ada manfaatnya setelah
mengetahui konsekuensi terhadap kemanusiaan. Hal ini telah dialami langsung
oleh korban serangan bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Pada 6 dan 9 Agustus
1945. Dampak buruk dari bom atom itu sendiri bukan hanya kepada orang-orang
4 Daisaku Ikeda, Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan Luhur
Menuju Perdamaian, h. 68 5 Daisaku Ikeda, Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan Luhur
Menuju Perdamaian, h. 80
70
di sekitar kejadian tetapi lebih daripada itu. Sehingga rahim yang ada di dalam
perut orang yang terkena radius bom atom mendapatkan efek buruknya.
Senada dengan Ikeda, Dokumen Final Konferensi Tinjauan NPT 2010
menghimbau kepada negara-negara senjata nuklir agar segera mengurangi peran
dan signifikansi senjata nuklir dalam semua konsep, doktrin, serta kebijakan
militer dan keamanan. Ikeda meyakini bahwa Jepang harus memimpin dalam
upaya mengubah rezim keamanannya, yang sekarang mengandallkan perluasan
strategi penangkalan dalam kebijakan Amerika Serikat yang menaungi nuklir.
Poin terakhir yang diajukan Ikeda adalah menghentikan modernisasi
senjata nuklir. Artinya bahwa segala hal yang menyangkut pemeliharaan dan
pengembangan senjata nuklir harus dihentikan. Hal ini sudah diperingatkan
olehnya pada Proposal Perdamaian tahun 2015 lalu. Karena menurutnya biaya-
biaya untuk kepentingan pemeliharaan nuklir yang digelontorkan secara besar-
besaran dan terus menerus mengakibatkan pada pembiaran ketimpangan di dunia
sehingga mengakar kuat.6
Dalam hal ini, melalui Soka Gakai Internasional yang dipimpinnya, Ikeda
mendorong anggotanya untuk ikut andil dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi)
Generasi Muda Internasional untuk penghapusan senjata nuklir yang diadakan di
Hirosima pada Agustus 2015 lalu. Dalam konferensi tersebut, enam kelompok
termasuk SGI mengucapakan ikrar sebagai berikut :
“Senjata nuklir adalah simbol sebuah zaman yang silam; sebuah simbol yang
menjadi ancaman besar terhadap realitas kita sekarang ini dan tidak punya
tempat dalam masa depan yang sekarang kita ciptakan, Menghapus senjata nuklir
6 Daisaku Ikeda, Ikrar Bersama untuk Masa Depan yang Lebih Manusiawi : Menghapus
Kesengsaraan Dari Bumi, (Soka Gakkai, Tokyo, 2015), h. 48
71
adalah tanggung jawab kami, hak kami. Kami tidak akan lagi berdiam diri
sementara peluang penghapusan senjata nuklir disia siakan. Kami, pemuda-
pemudi dengan semua keragaman kami dan dalam solidaritas mendalam,berikrar
akan mewujudkan sasaran ini. Kami adalah generasi perubahan”.7
Menurut Ikeda, jika ikrar ini terus diselenggarakan oleh generasi muda
dari seluruh dunia maka akan mengakar dalam hati setiap manusia di dunia ini
sehingga tidak ada rintangan yang tidak dapat diatasi, tidak ada tujuan yang tidak
dapat dicapai.
Hal ikrar semacam ini sudah menjadi komitmen teguh anggota SGI untuk
memberikan dukungan bagi upaya penghapusan senjata nuklir dan tercapainya
Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang didasari solidaritas kaum muda,
generasi perubahan. Dengan cara ini akan terwujud sebuah dunia, masyarakat
global, tempat tak seorang pun menderita.
SGI Divisi Mahasiswa Korea Selatan meluncurkan sebuah universitas
yang fokus dalam mewujudkan sebuah perdamaian dunia melalui kegiatan-
kegiatannya seperti promosi perdamaian melalui seminar, pameran foto hak asasi
manusia, pertunjukan film dan loka karya. Kegiatan ini biasa dilakukan setiap satu
tahun sekali dengan mengangkat tema berbeda yang dipilih dari proposal
perdamaian tahunan yang diterbitakan oleh Ikeda.8
Menurut hemat penulis, komitmen-komitmen anggota SGI untuk
mewujudkan perdamaian dunia merupakan buah dari pada ajaran mendalam yang
melekat di hati mereka tentang revolusi jiwa yang sesuai dengan pondasi
7 Soka Gakkai Internasional, Internasional Youth Summit for Nuclear Abolition ,
Generation of Change, artikel diakses 07 Desember, 2017 dari www.sgi.org 8 Soka Gakkai Internasional, South Korea: Conversation for Peace, artikel diakses 07
Desember, 2017 dari www.sgi.org
72
Budhisme dalam memuliakan martabat inheren setiap manusia. Dengan kata lain,
titik tolak Budhisme adalah impuls manusia di seluruh dunia untuk menghindari
penderitaan atau bahaya, dan perasaan yang tak bisa disangkal tentang keunikan
dari keberadaan setiap individu. Impuls ini telah menyadarkan bahwa orang lain
pastilah merasakan hal yang sama. Kita akan memperoleh perasaan yang nyata
tentang realitas penderitaan orang lain sejauh kita dapat menempatkan diri di
posisi orang tersebut.
Nichiren (1222-1282), biksu Budhis abad ke-13 yang ajarannya menjadi
dasar gerakan SGI, menekankan prinsip bahwa semua mahluk hidup dapat
mencapai Kebudhaan; bahwa semua orang memiliki martabat bawaan dan dapat
mewujudkan kemungkinan yang tak terbatas, memiliki tekad membantu orang
lain, penuh keramahan, kasih sayang dan penuh kesukacitaan. Prinsip ini
merupakan intisari Sutra Bunga Teratai yaitu Nam-myoho-renge-kyo, bahwa
semua makhluk hidup sadar atau tidak sadar memiliki kapasitas untuk menjadi
tercerahkan sehingga menjadi orang yang bijaksana dengan sempurna dan
memiliki kasih sayang besar terhadap sesama di kedalaman hidup. Sebagaimana
yang bersemayam di inti terdalam dari ajaran-ajaran Buddhis.9
B. Bantuan Kemanusiaan
Buddha Sakyamuni mengajarkan tentang pemuliaan atas martabat yang
melekat pada seluruh manusia, Ia menjelaskan sebagai berikut:
“Semua gemetar di hadapan kekejaman; nyawa sangat berharga bagi
semua. Dengan menempatkan diri sendiri di posisi orang lain, siapapun
tidak boleh membunuh atau menyebabkan orang lain membunuh”.10
9 Daisaku Ikeda, Hidup Mutiara Penuh Rahasia (Jakarta : PT INDIRA, 1990), h. 155
10 h. 20
73
Dari pernyataan ini jelas bahwa Sakyamuni mengajak seluruh manusia
memandang dunia ini dengan pandangan yang empatik, memiliki perasaan
terhadap penderitaan yang dihadapi orang lain. Jika kita memiliki perasaan yang
nyata tentang realitas penderitaan orang lain dan memposisikan diri pada orang
tersebut, dengan sendirinya sifat altruisme akan melekat pada diri kita dan dengan
demikian mengikatkan diri ke suatu cara hidup yang melindungi semua manusia
dari kekejaman dan diskriminasi.
Dalam hal ini, melalui SGI, Ikeda mengilhami anggota-anggotanya untuk
selau berempati terhadap penderitaan dan kebahagiaan seluruh manusia, dan maju
bersama-sama dalam sebuah ikatan jiwa dengan jiwa. Ikeda tidak mengukur nilai
atau potensi seseorang berdasarkan penampilannya, tapi lebih memusatkan pada
martabat yang melekat pada setiap individu sebagai manusia yang perlu dijunjung
tinggi.
Josei Toda selalu mengatakan “ Bangsa apa pun tidak boleh dikorbankan,
Kita harus menghapuskan kata “sengsara” dari muka bumi ini”. Sebenarnya ide
dari perkataan ini bermula dari konsep Makiguchi tentang “kompetisi
kemanusiaan” yang menggambarkan suatu cita-cita untuk memperoleh
kebahagiaan dan kebaikan bersama dalam kehidupan seluruh umat manusia.11
Melalui prinsip ini, Ikeda menetapkan suatu tujuan untuk mensejahterakan dan
melindungi seluruh rakyat termasuk diri seseorang, bukan hanya meningkatkan
kepentingan pribadi semata. Dengan adanya komitmen seperti ini, melalui
berbagai cara dan usaha, Ikeda berusaha melakukan perbaikan dan kemajuan
untuk kesejahteraan orang lain sehingga tercipta suatu kehidupan yang harmonis.
11
Daisaku Ikeda, Majid Tehranian, Jalan Sutra Baru: Dialog Kreatif Islam- Budha,
(Bandung: Mizan, 2010) , h. 229
74
Adapun implementasi dari ajaran Budhisme terhadap kegiatan
kemanusiaan yang telah dilakukan oleh anggota SGI misalnya penggalangan dana
untuk para korban bencana alam, pengungsi, pendidikan publik, pemberantasan
buta aksara dan lain-lain.
SGI banyak berperan dalam kegiatan kemanusiaan, tercatat sejak tahun
1973, SGI sudah mengumpulkan beberapa juta dolar untuk membantu para
pengungsi melalui Kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi, UNHCR. 22
bantuan kemanusiaan bersekala besar telah dilakukan oleh SGI seperti perawatan
medis, pengadaan makanan, pendidikan, dan layanan lainnya melalui kerjasama
dengan organisasi terkait.12
Pada September 2015, PBB merumuskan sebuah kerangka kerja baru
untuk melanjutkan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG, Millenium
Development Goals) yang diadopsi pada tahun 2000 dengan sasaran meringankan
beban dunia seperti kemiskinan dan kelaparan. Tujuan-tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDG, Sustainable Development Goals) tersebut ditetapkan dalam
agenda Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan
Berkelanjutan.13
Dalam proposal perdamaian tahun 2016, Ikeda mendesak SDG,
Sustainable Development Goals, untuk memuat perlindungan terhadap martabat
anak-anak dan hak-hak mendasar para pengungsi dan migran internasional.
Karena menurutnya, kita tidak bisa bergerak maju menuju masa depan yang lebih
baik tanpa menjawab tantangan yang dihadapi oleh orang-orang yang rentan.
12
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global (Jakarta:
PT Bhuana Ilmu Populer, 2008), h. 19 13
Daisaku Ikeda, Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan Luhur
Menuju Perdamaian, h. 14
75
Salah satu upaya untuk mendorong pelaksanaan SDG adalah KTT kemanusiaan
Dunia, dimana persoalan pengungsi menjadi fokus pembahasan.
Pada tahun 1998, anggota SGI menyumbangkan peralatan medis untuk
membantu kamp-kamp pengungsi di bagian timur Nepal. Longsor di Peru juga
mendapatkan perhatian berupa bantuan kemanusiaan dengan memberikan obat-
obatan, pakaian, air bersih, selimut dan hal-hal yang dibutuhkan oleh korban
longsor. Selain itu SGI berperan memberikan bantuan kemanusiaan terhadap
korban banjir Argentina dan China, korban angin puyuh di India, korban gempa
bumi di Bolivia dan Iran, serta korban gempa bumi dan tsunami di Indonesia.
Selain penggelontoran dana bantuan untuk para pengungsi, Pada tahun
1993, anggota SGI mengumpulkan 300.000 radio dan menyumbangkannya
melalui Otoritas Transisional PBB di Kamboja untuk rakyat Kamboja. Karena
pada waktu itu Kamboja membutuhkan informasi terkait pemilu demokratis yang
pertama kali diadakan. Masih bantuan untuk rakyat Kamboja, pada tahun 1997
anggota SGI menyumbangkan dana pembangunan sekolah dasar tepatnya di Desa
Chheu Teal, Kamboja.14
Dan masih banyak bantuan kemanusiaan lainnya yang
dilakukan oleh gerakan SGI.
Selain bantuan kemanusiaan berupa materi, SGI juga berperan dalam
masalah pendidikan. Di Amerika Serikat, Komisi Perdamaian Kaum Muda yang
merupakan binaan SGI Amerika Serikat menyelenggarakan serangkaian
konferensi untuk meneliti berbagai permasalahan masyarakat seperti AIDS dan
aksi kekerasan anak muda. Pada tahun 1998 di Philadelphia, SGI bekerjasama
dengan intstansi lain seperti psikolog, pekerja sosial, dan pakar penegak hukum
14
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 176
76
untuk mendiskusikan masalah kekerasan dalam masyarakat setempat. Selain itu di
Singapura, SGI memberikan kursus bulanan kepada khalayak terkait dengan
beragam persoalan, misalnya penuaan dan kehidupan setelah masa pensiun15
.
C. Pendidikan Hak Asasi Manusia
Warisan tertinggi yang diterima oleh keturunan adalah pendidikan,
walaupun memang kemakmuran materi juga penting. Namun sebagai orang tua
misi untuk mengajarkan kemakmuran batiniah dalam jiwa manusia sangatlah
penting. Pendidikan yang membangun setiap moral manusia inilah yang dimaksud
dengan pendidikan kemanusiaan yang sesungguhnya. Karena menurut Ikeda jiwa
itu merupakan pusaka yang paling mulia. Secara otomatis baik dan tidaknya
kehidupan dunia ini sebagian besar ditentukan oleh setiap jiwa manusia.
Kecintaan terhadap orang lain, pebuatan darma bakti atau pengorbanan
untuk masyarakat sekitar, kebijaksanaan mulia, keberanian memerangi
ketidakbenaran, ketabahan, ini semua merupakan sesuatu yang bersumber dari
jiwa yang baik, jiwa yang selalu diasah dengan melalui pendidikan moral
sehingga secara otomatis akan berdampak pada kehidupan yang bijaksana dalam
menyikapi suatu keadaan. Karena setiap manusia memiliki kekuatan agung dan
kebaikan di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ikeda bahwa akhlak
adalah misi pendidikan dan agama.16
Pada Juni 1996, Ikeda melakukan kunjungan ke Simon Wiesebthal Centre
di Los Angeles, Amerika Serikat . Ikeda dalam ceramahnya memperkenalkan
15
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 1778 16
Daisaku Ikeda dan Abdurahman Wahid, Dialog Peradaban untuk toleransi dan
Perdamaian, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 115
77
suatu keyakinan dan perbuatan Presiden Makiguchi17
, yaitu sikap menyingkirkan
kejahatan dan menerima kebaikan. Menurut Ikeda keduanya itu merupakan dua
sisi satu keping logam. Ikeda menekankan supaya setiap manusia menjadi seorang
pemberani yang bersemangat dan aktif untuk menegakkan perbuatan baik tanpa
memuaskan diri pada kebaikan pasif.18
Memperjuangkan hak asasi manusia berarti sebuah perjuangan dalam
menghadapi suatu perbedaan sehingga setiap individu dituntut untuk
meningkatkan keberanian dalam menerima, menghormati dan menghargai
perbedaan dari berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini Ikeda terus berupaya
mendorong anggota SGI terlibat dalam menuntaskan dan menemukan solusi bagi
permasalahan yang sedang dihadapi oleh setiap manusia baik secara lokal maupun
internasional. Upaya-upaya tersebut dilakukan melalui diskusi kelompok kecil
dan dalam kegiatan pertukaran kebudayaan dengan orang-orang dari berbagai
latar belakang. Sealin kegiatan kemasyarakatan seperti itu, SGI mensponsori
kegiatan pendidikan publik pada tingkat nasional dan regional untuk
meningkatkan kesadaran hak asasi manusia di seluruh dunia.19
Pada tahun 1993, SGI bekerja sama dengan Komisi Hak Asasi Manusia
PBB dalam rangka merayakan hari peringatan ke 45 penerapan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, SGI mennyelenggarakan pameran bertajuk
“Toward a Century of Humanity: An Overview of Human Rights in Today’s
17
Makiguchi adalah pendiri sekolah penciptaan nilai, Soka Kyo Iko Gakkai yang
kemudian berganti menjadi Soka Gakkai sebuah organisasi keagamaan buddhisme di Jepang,
kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh muridnya Josei Toda. Makiguchi lahir pada tanggal 6
Juni 1871 di Kashiwazaki, Jepang. 18
Daisaku Ikeda dan Abdurahman Wahid, Dialog Peradaban untuk toleransi dan
Perdamaian, h.121 19
Sokka Gakkai Internasional, Transforming Lives : The Power of Human Rights
Education, artikel diakses pada tanggal 7 Desember 2107 dari www.sgi.org
78
World (Menuju Abad Kemanusiaan: Sebuah Tinjauan Hak Asasi Manusia di
Dunia Masa Kini)”. Pameran ini menggambarkan ringkasan evolusi haka asasi
manusia dan berbagai tantangan perwujudannya di masa kini. Sedangkan pada
tahun 1994, Soka University bekerjasama dengan Simon Wiesenthal Center, yaitu
sebuah organisasi independen Amerika Serikat pendukung hak asasi manusia,
dengan mengadakan pameran pertama di Jepang tentang Holocaust yang berjudul
“The Courage to Remember (Keberanian untuk Mengingat)”. Kemudian
sepanjang tahun 1998, pameran tersebut dilakukan secara bergantian di 40 kota
dan disaksikan lebih dari 1 juta orang.20
Selain agenda di atas, SGI berupaya memberikan pendidikan tentang hak
asasi manusia melalui ceramah, seminar dan pertukaran pelajar. Di Jepang,
Komisi Kebudayaan dan Perdamaian Divisi Pemudi SGI, mengadakan rangkaian
ceramah bertajuk “Journalism and Human Rights (Jurnalisme dan Hak Asasi
Manusia)”. Pameran ini digelar untuk meninjau peran media masa dalam
mendukung hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. SGI
Italia mensponsori kegiatan seminar hak asasi manusia dengan menampilkan para
ilmuan dan aktivis Eropa ternama. Soka University menyelenggarakan rangkaian
ceramah panjang tentang hak asasi manusia selama setahun dengan menampilkan
para pembicara terkemuka.21
Dalam melakukan kegiatan kemanusiaan SGI melibatkan upaya kolektif
masyarakat sipil, pemerintah dan organisasi lainnya. Sebuah pameran dengan
mengangkat tema “Transforming Lives: The Power of Human Right Education”
adalah sebuah upaya SGI untuk mengkontribusikan masyarakat dalam
20
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 180 21
Daisaku Ikeda , Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global, h. 180
79
mempromosikan martabat manusia dan bekerja untuk merangkul kesetaraan,
inklusi dan menghormati keberagaman. Kegiatan-kegiatan seperti ini terus
dilakukan oleh SGI dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran penting
pendidikan hak asasi manusia dalam mempromosikan martabat, kesetaraan dan
perdamaian serta mencegah pelanggaran hak asasi manusia. Melalui SGI ini Ikeda
tidak hanya melengkapi pembelajaran dengan pengetahuan tentang hak asasi
manusia, tetapi juga memiliki tujuan yang sangat penting yaitu mengembangkan
nilai, sikap dan prilaku yang memberdayakan masyarakat untuk mengambil
tindakan dalam membela dan memajukan hak asasi manusia, demokrasi dan
supermasi hukum serta mengeksplorasi konsep dan pendidikan hak asasi
manusia.22
22
Sokka Gakkai Internasional, Transforming Lives : The Power of Human Rights
Education, artikel diakses pada tanggal 7 Desember 2107 dari www.sgi.org
80
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Daisaku Ikeda tidak saja memahami dan mempraktikkan idiom-idiom
kebuddhaan secara kritis-transformatif, tetapi ia juga memahami dan
mempraktikkan idiom-idiom modernitas secara kritis-strategis. Hal ini
dikarenakan kesungguhannya dalam mencari solusi bagi permasalahan yang
dihadapi umat manusia demi menciptakan perdamaian dunia. Sebagai bagian
penutup dalam penulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa dijelaskan
dari beberapa bab penulisan di atas :
1. Bahwa revolusi manusia merupakan suatu proses perubahan mendasar
dalam menghilangkan ego dan kepentingan pribadi dengan tumbuh
mementingkan orang lain. Daisaku Ikeda mengatakan bahwa revolusi
manusia adalah revolusi yang mendasar dari segala revolusi. Melalui
pengetahun terhadap kondisi jiwa manusia yang diistilahkan dengan
sepuluh alam hidup beserta sepuluh faktornya dan mengamalkan ajaran
sutra bunga teratai dan terus menyebut Nam-myoho-re-nge-kyo maka
perubahan dalam diri seseorang dapat menjadi lebih positif, dari ketakutan
menjadi keyakinan, dari penghancuran menjadi daya cipta, dari kebencian
menjadi welas asih. Revolusi manusia ini merupakan konsep perdamaian
yang digagas oleh Daisaku Ikeda dalam pemikirannya yang terpenting
dalam proses terbentuknya dunia yang damai, jauh dari keterpurukan
81
diakibatkan kemiskinan, konflik, perang dan penganiayaan dan
diskriminasi.
2. Dialog merupakan konsep perdamaian yang digagas oleh Daisku Ikeda
baik dialog antar peradaban atau antar agama. Menurutnya dialog dapat
melatih diri seseorang menjadi manusia, manusia yang penuh kasih
sayang, berhati mulia, serta dapat mengetahui dan merasakan kebahagiaan
dan penderitaan orang lain. Dialog yang digagas Daisaku Ikeda merupakan
dialog yang universal tanpa memandang siapa dan apa setatus orang yang
diajak berdialog. Dialog menurut Ikeda tidak hanya melulu membicarakan
hal-hal yang krusial dan terkonsep tapi masalah kehidupan sehari-hari pun
perlu didialogkan ia menyebutnya dengan istilah zandakai (perkumpulan
kecil).
3. Kewarganegaraan global. Menurut Ikeda untuk mengatasi berbagai krisis
yang terpampang di hadapan kita, kita tidak hanya harus mengatasi
masalah-masalah yang mendesak di depan mata, tetapi harus menggali ke
kedalaman waktu dan sejarah supaya mendapatkan visi yang menjangkau
jauh ke masa depan, berabad-abad, atau bahkan bermilenium ke depan.
Ikeda mengatakan bahwa kita harus mengubah orientasi perspektif dengan
menyadari bahwa saat ini seluruh umat manusia tidak perlu memikirkan
kepentingan dan tanggungjawab yang dibatasi oleh garis batas negara
berdasarkan motif-motif tidak pasti dan sempit. Seluruh umat manusia
harus bersatu dalam mempererat tali persaudaraan, menciptakan hidup
damai, saling mengasihi, saling mengayomi, saling menghargai secara
82
berdampingan tanpa adanya sesuatu yang membatasi sekalipun batas
negara, yang diistilahkannya sebagai warga negara global.
4. Menurut Daisaku Ikeda, ada beberapa point yang menjadi kendala
terciptanya perdamaian di antaranya menolak paham relasi internasional,
kerakusan, kemiskinan, dan pengabaian masalah lingkungan. Ini semua
dapat dikendalikan dengan mengaplikasikan ketiga konsep yang
digagasnya yaitu revolusi manusia, dialog peradaban dan
kewarganegaraan global. Karena perdamaian merupakan anugrah atas
pengendalian diri dan dialog yang tulus, suatu pengungkapan rasa hormat
yang paling tinggi. Perdamaian harus dimulai di tingkat individu, barulah
kemudian menyebar ke sendi-sendi masyarakat yang terdalam.
B. Saran-saran
Sebagai bagian terakhir dalam penulisan ini, maka ada beberapa hal
yang menjadi penting bagi penulis sendiri dan seluruh umat manusia pada
umumnya, sebagai catatan terakhir dalam karya ilmiah ini :
1. Persoalan kemiskinan, kelaparan, kebodohan, penindasan dan lainnya
bukanlah persoalan individul, tetapi persoalan umat seluruhnya. Oleh
karena itu, agar kemiskinan, kelaparan, kebodohan dan penganiayaan
dapat dihapuskan dan umat manusia terlepas dari permasalahan
tersebut perlu kiranya umat manusia bersatu menghapuskannya tanpa
memandang suku, ras, agama, dan golongan.
2. Dalam rangka untuk menciptakan rasa saling mengerti dan memahami
dibutuhkan dialog yang berkelanjutan, sehingga tidak hanya sebatas
mengerti tapi tidak memahami segala jenis perbedaan yang ada.
83
3. Menyelenggarakan kerjasama baik melalui jalur komunitas, bangsa-
bangsa, ataupun kebudayaan sampai ke tingkat internasional supaya
terjadi sikap saling menghargai dan toleransi. Karena secara otomatis,
ketika kerjasama selau diupayakan dalam berbagai hal, maka akan
tercipta rasa saling memiliki dan mengasihi antara umat manusia.
84
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifudin . Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Baker, Anton. Metode Filsafat. Jakarta: Galia Indonesia, 1996.
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press, 2006
Ikeda, Daisaku dan Tehranian, Majid. Jalan Sutra Baru, Dialog kreatif Islam dan
Buddhisme. Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2010.
Ikeda, Daisaku. Budhisme: Falsafah Hidup. Jakarta: PT Intermasa, 1988.
. Demi Perdamaian, 7 Jalur Menuju Keharmonisan Global.
Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008.
. Penciptaan Nilai untuk Perubahan Global Membangun
Masyarakat yang Berdaya Lenting dan Berkelanjutan. Japan: The Soka
Gakai, 2014.
. Ikrar Perdamaian untuk Masa Depan yang lebih Manusiawi:
Menghapus Kesengsaraan dari Bumi. Japan: The Soka Gakai, 2015.
. Untuk Pemimpin Masa Depan, Discussion on Youth. Jakarta:
Soka Gakkai Indonesia, 2015.
. Sang Buddha Shakyamuni, Biografi Tafsir. Jakarta : PT Indira,
1989.
. Penghormatan Universal untuk Martabat Manusia: Jalan Luhur
Menuju Perdamaian. Jakarta: Soka Gakkai Indonesia, 2016.
. Mengngkap Misteri Hidup dan Mati. Jakarta: PT. Ufuk
Publishing House, 2011.
. The Word Yours To Change, Kisah-kisah Tokoh Dunia yang
Menginspirasi Jutaan Orang. Jakarta: Ufuk Press, 2013.
85
. Rainbow Smiles Await Photographs and Poems by Daisaku
Ikeda. Tokyo: Soka Gakkai, 2017
Makiguchi Tsunesaburo. Makiguchi Tsunesaburo zenzhu. Tokyo: Daisan
Bunmeisha, 1983.
Partanto, Paul A & Al Barry, M Dahlan. Kamus Ilmiah Populer.
Soka Gakkai Indonesia, Kisah Kaneko: Sebuah Obrolan dengan Kaneko Ikeda.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.
. Profil Soka Gakkai Indonesia: Mengejar Perdamaian, Jakarta:
Soka Gakkai Indonesia, tt.
. Dasar-Dasar Budhisme. Jakarta: Soka Gakkai Indonesia, 2015.
Soka Gakkai Internasional. From War to Peace. Tokyo: Soka Gakkai
Internasional, 2015.
Wahid, Abdurrahman dan Ikeda, Daisaku. Dialog Peradaban untuk Toleransi
dan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Sumber Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Daisaku_Ikeda/
www.daisakuikeda.org
www.ikedaquotes.org
www.kompas.com