Teori Psikopatologis Buddhisme (2)
-
Upload
urbanus-bey -
Category
Documents
-
view
68 -
download
2
Transcript of Teori Psikopatologis Buddhisme (2)
PENGANTAR
Psikopatologis dan psikoterapinya banyak berkembang dari awal ditemukannya
ilmu psikologi sampai sekarang. Ada begitu banyak pendekatan psikologi yang digunakan
untuk mengkatagorikan jenis psikopatologis serta treatment yang digunakan untuk
mengatasainya (psikoterapinya), mulai dari psikoanalisa, behavioristik, humanistik, dan
sampai yang paling akhir adalah psikopatologis berdasarkan ajaran budhis beserta
psikoterapinya.
Mungkin bagi kita menjadi sebuah pertanyaan besar seperti apa psikopatologis
yang dikategorikan dalam ajaran budhis dan seperti apa psikoterapinya?
Pada kesempatan kali ini kelompok kami akan menjelaskan hal itu. Psikopatologis
budhis merupakan bagian dari psikologi Timur. Salah satu sumber yang paling kaya
dari psikologi yang durumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur.
Kebanyakan agama besar di Asia berintikan pada psikologi yang kurang diketahui
oleh penganutnya tetapi diketahui oleh ‘profesional’ seperti pemimpin agamanya.
Inilah psikologi praktis yang diterapkan oleh praktisi untuk melatih budi dan hati
mereka. Kebiasaan yang ada dalam agama-agama Timur termasuk budhis tidak bisa
dipandang sebelah mata, karena tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa sesungguhnya
sumbangan mereka sangat besar juga dalam perkembangan ilmu psikologi di era modern
saat ini.
Menurut kelompok kami psikopatologis dan psikoterapi budhis penting untuk kita
dalami. Hal ini karena budhis banyak mengajarkan tentang psikologi praktis yang mungkin
bagi kita tidak terlalu penting, tetapi ternyata justru menjadi sentral dari kesahatan jiwa
kita. Selain itu, menurut kami kita yang bakalan menjadi bagian dari dunia psikologi dan
kebetulan berasal dari dunia Timur, sangat penting untuk mengetahui dan memahami
psikologi yang lahir dari agama Timur ini.
Budhis sebagai agama terbesar dan tertua di Asia memiliki andil terbesar dalam
perkembangan psikologi Timur, untuk itu kelompok akan menjelaskan secara mendalam
mengenai psikopatologi dan psikoterapi budhis pada paper kali ini.
TEORI PSIKOPATOLOGI BUDDHISME
A. Latar Belakang
Buddhisme ditemukan pada pertengahan 1000 tahun sebelum Masehi oleh
Shyamuni Gautama, yang merupakan anak raja dari Kerajaan India Utara. Selama
pengalaman kehidupannya, Gautama berkenalan dengan penderitaan dan tidak puas
dengan hidupnya yang serba terjamin. Ia meninggalkan rumah, kemudian belajar dengan
beberapa guru agama dan bertapa, tak satupun menyelesaikan masalahanya. Akhirnya,
Gautama berfokus kepada meditasi untuk mencari jalan tengah menuju kebebasan antara
kesenangan hidup dan mempraktikkan menjadi seorang petapa. Ketika duduk dibawah
bodhi true, Gautama telah mengalami “enlightened one” atau pencerahan yang disebut
Buddha. Dia kemudian mulai mengajar pada sekelompok murid dan sampai waktu
wafatnya, telah mencapai komunitas yang besar mengikuti ajarannya. Keberlanjutan
komunitas atau kelompok sangha terbentuk dari tiga dasar atau ‘permata’ dari Buddisme,
mendekati Buddha pada diri mereka dan mengajarkan Buddhisme atau dharma (Harvey,
1990).1
Sumber penemuan awal Buddhis memang sangat bervariasi, baik secara tulisan,
dari mulut ke mulut yang membicarakan ajaran Buddha dan penemuan tulisan “Pali
Canon” yang diturunkan menjadi 3 bagian. Pertama, Vinaya Pitaka, berbicara mengenai
Sangha (rabhi). Kedua, Sutta Pithaka, terdiri dari berbagai ceramah Buddha., dan ketiga
Abidhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha. Pada pembahasan teori selanjutnya,
kami akan membahas lebih lanjut mengenai Abidhamma yang merupakan inti dari ajaran-
ajaran pokok Buddha.
B. Pembahasan Teori
Di tengah-tengah semua sekolah filsafat Buddha adalah Empat Kebenaran Mulia,
yang oleh tradisi dianggap telah diberikan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertamanya
setelah pencerahan. Ini diberikan dalam Sutta Mahasatipatthana dari Digha Nikaya.
Berikut adalah Empat Kebenaran Mulia yang menjadi dasar ajaran Buddha:
1. Dukha : Menjelaskan ketidakkekalan hidup. Sepanjang hidupnya manusia
mengalami penderitaan.
Penderitaan meliputi hidup dan berhubungan dengan lima "graspings" atau jenis
aktivitas mental: bentuk, perasaan, persepsi, bentukan mental, dan kesadaran.
Buddha umumnya menganggap bahwa karena aspek pengalaman bervariasi
menurut kami keadaan psikologis, mereka adalah konstruksi yang "kosong" dan
tidak memiliki nyata ontologis realitas.
2. Samudaya : Mengenai penyebab Dukha. Penyebabnya adalah keinginan manusia
yang kuat.
Asal-usul penderitaan adalah lampiran atau "mengidam" yang didasarkan pada
aktivitas mental dan menjaga orang di lingkaran samsara (penderitaan). Lampiran
ini meliputi permasalahan dengan cara berpikir seperti graspings. Sebuah
kebiasaan yang sangat berbahaya adalah pembuatan diskriminasi dan menciptakan
ilusi dualitas yang dapat menyebabkan gagasan bahwa kita ada sebagai diri, tetap
independen. Buddhisme dengan demikian menolak konsep jiwa yang abadi dan
menemukan bahkan gagasan itu bermasalah.
3. Nirodha : Menyingkirkan Dukha. Menyingkirkan keinginan kuat = menyingkirkan
Dukha.
Pencerahan dan menghentikan penderitaan dapat ditemukan melalui detasemen
dari dunia, termasuk pemikiran kita diskriminatif atau dualistik dan keyakinan
kami dalam diri, mandiri yang ada. Hal ini menyebabkan nirwana, sebuah negara di
mana penderitaan yang tertinggal
4. Magga : Jalan mengakhiri Dukha, yaitu jalan tengah antara askese dan hedonism
(jalan berjalur delapan).
Praktek-praktek yang diperlukan untuk penghentian penderitaan yang terkandung
dalam Eightfold Path, yang mencakup pengetahuan yang harus dipelajari (Empat
Kebenaran Mulia), serangkaian etika resep (pikiran benar, ucapan benar, perbuatan
benar, dan penghidupan benar), dan praktek meditasi dan kontrol mental (usaha
benar, perhatian benar dan konsentrasi benar). Pada akhir proses ini, seseorang bisa
menjadi seorang Arhat, atau suci dan tercerahkan menjadi dan akhirnya mencapai
nirwana akhir.
Eightfold Path:
a. Mengerti 4 kebenaran mulia dengan benar.
b. Berpikir yang benar, yang membawa pada sikap mencintai.
c. Berbicara yang benar, dengan tujuan yang murni, mulia, baik.
d. Berbuat yang benar, menyangkut tindakan bermoral kepada sesama.
e. Mata pencaharian yang benar, yang tidak mengakibatkan kekerasan.
f. Usaha yang benar, untuk mengusir semua pikiran jahat.
g. Perhatian yang benar, kesadaran akan kebutuhan orang lain.
h. Konsentrasi yang benar, dengan meditasi guna mencapai ketenangan batin.
Ada beberapa catatan penting disini. Pertama, asumsi dasar dari Empat Kebenaran
mulia adalah sebuah pencerahan yang dirasakan pada ketenangan batin dari manusia dan
semua kebutuhan menjadi kosong dan diselesaikan dari halangan. Ada perumpamaan
mengenai ‘kaca berdebu’, jadi untuk mencapai keadaan yang sempurna perlu
mengosongkan atau menghilangkan debu dari permukaan kaca. Kedua, Buddhist
memberikan jalan untuk me-makeover seorang individu termasuk gaya hidup seseorang,
etika, kepercayaan dan meditasi. Penemuan kitab Buddhis seperti Dhammapada,
menguatkan penekanan mengenai pencarian ketenangan batin. Ketiga, proses dari
Eightfold Path terjadi tanpa keterangan untuk Tuhan, karena prinsip Buddhis adalah
nontheisthic. Keempat, Buddhist fokus pada pengalaman empiris dari kenyataan dan
mencoba menghindari spekulasi metafisikal mengenai kejadian alami. Sebagai contoh,
Buddhis menolak dualism sederhana yang mengatakan bahwa pada akhirnya kenyataan itu
tampak nondualistik, dan proses tersebut mengurangi pemnderitaan untuk berpikir tentang
jalan tersebut, bahwa tidak segala sesuatunya adalah satu.
Teori Kepribadian Abhidhama
Dalam Abidhamma, kepribadian merupakan pikiran merupakan titik tolak, titik
pusat dan merupakan pemikiran yang dibebaskan dan dimurnikan oleh seorang santo atau
merupakan suatu titik kulminasi (puncak).
Unsur-unsur kepribadian dalam Abidhamma antara lain:
a. Kepribadian serupa dengan konsep atta atau diri (self) menurut konsep Barat
bahwa kepribadian adalah sekumpulan proses impersonal yang tidak kekal (timbul
dan menghilang). Yang tampak dari kepribadian terbentuk dari perpaduan antara
proses-proses impersonal.
b. Apa yang kelihatan sebagai ‘diri’ adalah jumlah keseluruhan bagian tubuh yakbi,
pikiran, pengindraan, nafsu, ingatan, dan sebagainya. Benang penyambung jiwa
adalah bhava yaitu kesinambungan kesadaran dari waktu ke waktu.Setiap peristiwa
kehidupan dibentuk oleh peristiwa sebelumnya yang pada gilirannya akan
membentuk peristiwa berikutnya, dengan bhava sebagai penghubung
kesadarannya.
c. Fokusnya adalah rangkaian peristiwa, yakni hubungan berkesinambungan antara
keadaan jiwa dan objek indra. Keadaan jiwa seseorang selalu berubah dari satu
peristiwa ke peristiwa lainnya dan terjadi sangat cepat.
d. Meneliti perubahan jiwa tersebut dilakukan lewat introspeksi yaitu observasi teliti
dan sistematik yang dilakukan seseorang terhadap pengalaman pribadi.
e. Objek psikologi Abhidhamma adalah pengindraan dari panca indra, pikiran-pikiran
yang dianggap sebagai indra keenam dan setiap keadaan jiwa yang terdiri dari
sekumpulan sifat-sifat jiwa, yang disebut faktor-faktor jiwa.
f. Prinsip-prinsip keadaan jiwa adalah:
1) Setiap keadaan jiwa hanya sebagian kecil faktor yang hadir.
2) Kualitas keadaan jiwa ditentukan oleh faktor-faktor mana yang
digabungkan.
3) Setiap keadaan jiwa berasal dari pengaruh biologis dan situasi, disamping
pemindahan pengaruh dari momen sebelumnya.
4) Setiap keadaan jiwa pada gilirannya menentukan kombinasi khusus faktor-
faktor dalam keadaan jiwa selanjutnya.
g. Faktor-faktor jiwa berperan sebagai:
1) Kunci menuju karma (prinsip bahwa setiap perbuatan dimotivasi oleh
keadaan jiwa).
2) Tingkah laku yang pada hakikatnya secara moral adalah netral. Sifat moral
yang ditinjau dari motif yang melatarbelakangi orang melakukan suatu
perbuatan, yang di dalamnya memiliki campuran faktor jiwa negatif.
3) Intinya: Segala yang ada pada manusia adalah akibat pikirannya dan
dibentuk oleh pikirannya juga.
Faktor jiwa dalam Abidhamma disebut kamma, merupakan suatu istilah teknis
untuk prinsip bahwa setiap perbuatan dimotivasikan oleh keadaan-keadaan jiwa yang
melatarbelakanginya. Faktor jiwa dikelompokkan menjadi dua, yaitu Kusula yang berarti
murni, baik dan sehat, serta Akusula berarti tidak murni, tidak baik, tidak sehat. Faktor
jiwa sehat atau tidak sehat ditentukan dari apakah faktor tersebut mempermudah atau
mengganggu usaha mengheningkan jiwa dalam samadi.
Selain faktor-faktor jiwa sehat dan tidak sehat ada 7 faktor jiwa netral yaitu
appresiasi, persepsi, kemauan, perasaann, keterarahan/pemusatan, perhatian spontan, dan
energi psikis. Faktor-faktor tersebut merupakan kerangka dasar tempat tertanamnya faktor-
faktor jiwa sehat dan tidak sehat, yang kombinasinya berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Faktor jiwa ada yang sehat dan yang tidak sehat. Faktor-faktor jiwa tidak sehat
masih dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kognitif antara lain delusi, pandangan
salah, kebingungan, sikap tidak tahu, tanpa belas kasihan, dan egoisme. Kelompok yang
kedua adalah kelompok afektif antara lain keresahan, kekhawatiran, yang berhubungan
dengan ketergantungan: tamak, kikir, iri hati, kemuakan, kontraksi, dan kebekuan. Faktor-
faktor di atas menyebabkan jiwa menjadi kaku, tidak luwes dan jika dominan menjadi
lamban. Faktor-faktor sehat dan tidak sehat bersifat polar, artinya tidak ada jalan tengah
atau harus digantikan.
Sedangkan faktor-faktor jiwa sehat dari kognitif antara lain pemahaman (insight
lawan dari delusi), mindfulness, rendah hati, sikap penuh hati-hati, kejujuran, kepercayaan,
ketidakterikatan, ketidakmampuan, sikap tidak memihak, sikap tenang, kegembiraan,
luwes, mampu adaptasi, kecakapan.
Dinamika kepribadian adalah gerak kepribadian yang terjelma dalam tingkah laku,
baik yang nampak maupun tidak, terjadi karena interaksi antara faktor-faktor jiwa sehat
dan tidak sehat. Contoh sifat-sifat tingkah laku tertentu dari interaksi berbagai jiwa:
a. Ketamakan, kekikiran, iri hati dan kemuakan, dilawan oleh alobha, adosa,
tatramajjhata, passadhi, mencerminkan ketenangan fisik dan jiwa karena
berkurangnya perasaan terikat.
b. Alobha, adosa, tatramajjhata dan passadhi menggantikan sikap rakus atau sikap
menolak dengan sikap penuh perhatian yang mungkin tiimbul dalam kesadaran
menyebabkan sikap menerima apa adanya.
c. Egoisme, iri hati, kemuakan, menyebabkan orang haus kekuasaan.
d. Sikap tenang, bebas, ketidakmuakan, netral, menyebabkan orang menimbang
keuntungan dengan keinginan. Sikap netral memandang situasi dengan tenang.
e. Ahuta, muduta, paqunnata, mengakibatkan orang berpikir dan bertindak dengan
leluasa dan mudah, memaksimalkan ketrampilannya.
f. Faktor-faktor tersebut menekan faktor kontraksi dan kebekuan yang tidak sehat,
yang dalam keadaan tertentu seperti depresi. Faktor sehat menyebakan orang dapat
menyesuaikan diri secara fisik dan psikis.
DINAMIKA PSIKOPATOLOGI BUDDHISME
Psikodinamika Abidhamma dapat terjadi karena interaksi antar faktor jiwa dengan
mekanisme sebagai berikut :
a. Faktor-faktor jiwa sehat dan tidak sehat saling menghambat, kehadiran yang satu
menekan faktor tandingannya. Tapi tidak selalu ada hubungan satu lawan satu
antara faktor sehat dan tidak sehat.
b. Kamma seseorang menentukan keadaan jiwanya sehat atau tidak.
c. Kombinasi faktor merupakan hasil dari pengaruh biologis, pengarruh situasi dan
pindahan pengaruh dari keadaan jiwa sebelumnya. Biasanya sebagai suatu
kelompok.
d. Dalam keadaan jiwa tertentu faktor-faktor tersebut muncul dengan kekuatan yang
berbeda. Faktor apa saja yang paling kuat akan menentukan bagaimana seseorang
mengalami dan bertindak dalam suatu momen. Hirarki kekuatan dan faktor tersebut
menetukan menentukan keadaan spesifik itu akan menjadi baik atau buruk.
e. Jika sekumpulan faktor tertentu sering muncul dalam jiwa seseorang, maka akan
menjadi sifat kepribadian. Faktor yang sudah menjadi kebiasaan seseorang
menentukan sifat kepribadiannya.
f. Sifat kepribadian menurut faktor jiwa sehat dan tidak sehat:
a) Perseptal (kognitif)
- Pemahaman x Delusi
- Sikap penuh perhatian x
pandangan yang salah
- Sikap rendah hati x sikap tak
tahu malu
- sikap penuh hati-hati x
kecerobohan
- kepercayaan x egoisme.
b) Afektif
- Ketenangan x keresahan
- Ketidak-terikatan x ketamakan
- Ketidak-muakan x kemuakan
- Kenetralan x iri hati
- Kegembiraan x kekikiran
- Fleksibilitas x kekhawatiran
- Kamampuan adaptasi x
pengerutan
- Kecakapan x kebekuan
- Kejujuran x kebingungan.
Kepribadian Sehat dan Gangguan Jiwa menurut Abidhamma
Faktor-faktor yang membentuk keadaan jiwa seseorang dari saat ke saat
menentukan kesehatan jiwanya. Definisi gangguan jiwa menurut Abidhamma adalah
ketidakadaan faktor-faktor sehat dan adanya faktor-faktor tidak sehat. Setiap macam
gangguan jiwa disebabkan karena faktor-faktor tidak sehat tertentu menguasai jiwa.
Kriteria kesehetana jiwa adalah adanya faktor-faktor sehat dan ketidakadaan faktor-
faktor tidak sehat dalam pengelolaan sumber daya psikologis seseorang. Faktor sehat
selain menggantikan faktor tidak sehat, juga merupakan lingkungan jiwa yang diperlukan
untuk sekelompok keadaan afektif positif yang tidak akan bisa muncul kalau terdapat
faktor yang tidak sehat. Faktor-faktor tersebut meliputi kebaikan hati yang penuh kasih dan
kegembiraan altruistik.
Tujuan perkembangan psikologis dalam Abidhamma adalah meningkatkan jumlah
keadaan-keadaan yang sehat dan dengan demikian mengurangi keadaan yang tidak sehat
dalam jiwa seseorang. Jadi, puncak kesehatan jiwa seseorang dengan sama sekali tidak ada
faktor-faktor yang tidak sehat muncul. Meskipun setiap orang terdorong untuk mencari hal
yang ideal ini, tetapi sangat sulit untuk mencapainya (jarang terjadi).
Mengapa hanya sedikit orang yang dapar mencapai kesehatan jiwa yang ideal? Hal
ini dikarenakan oleh anusaya, yaitu kecenderungan laten dari jiwa yang mengarah pada
keadaan tidak sehat. Anusaya tersebut dalam keadaan tidak aktif dalam jiwa seseorang.
Tujuh anusaya tersebut adalah (diambil dari faktor jiwa tidak sehat yang paling kuat):
Ketamakan, pandangan yang salah, delusi, kemuakan, keraguan, kesombongan dan
keresahan. Ketika seseorang mengalami keadaan jiwa sehat, anusaya tersebut tertunda
sementara, namun mereka berusaha kuat untuk muncul ke permukaan jiwa.
TEORI PSIKOTERAPI BUDDHISME
Psikoterapi adalah aplikasi dari penerangan (insight) psikologi menuju
pertumbuhan, penyembuhan atau proses pendewasaan seseorang. Buddha dan psikoterapi
berbagi keinginan untuk mengurangi penderitaan dengan mengubah kesadaran dan
perhatian penuh.
Psikoterapi Budha dimulai dengan mengartikulasi tentang diri(self). Self dapat
dilihat melalui dua cara, yaitu: mengobservasi proses self dalam kesadaran dan suatu
gambaran diri(self) termasuk struktur ketidaksadaran serta ide yang kita miliki mengenai
diri kita sendiri. Menurut Budha, sense of self adalah suatu konstruksi tanpa keberadaan
yang nyata (real existence) dan perlu untuk dipasrahkan ( needs to be surrendered), yaitu
dengan meditasi mindfulness. Meditasi mindfulness bukan saja memisahkan kita dari
identifikasi dengan self tapi juga menolong kita kita untuk tidak melekat dan memanage
perasaan sombong, benci dan serakah serta kelekatan pada hal-hal yang tidak sehat,
kebanggaan yang keliru, dan usaha yang menuju pada penderitaan yang lebih besar. Goal
dari meditasi mindfulness adalah untuk menjadi observer yang tidak melekat pada aktivitas
mental kita.
Deskripsi dari psikologi mindfulness cenderung menekankan pada dua komponen,
yaitu: mindfulness meliputi perhatian pada regulator dan memelihara fokus pada events
atau kejadian, sambil mencegah mental berbicara pada diri sendiri dan menganalisa
pengalaman.Kedua, meliputi sikap yang tidak menghakimi terhadap pengalaman sikap
mental partisipan. Penerimaan adalah suatu sikap yang krusial dalam mindfulness.Meditasi
adalah suatu tehnologi yang dapat sesuai dengan maksud atau tujuan scientific atau terapi.
Mempergunakan meditasi sebagai tehnologi dapat memanipulasi perhatian, menyebabkan
relax dan mengeksplorasi diri atau intensity pada proses psikoterapi.
Mindfulness dapat diintegrasikan dalam terapi menurut satu atau lebih dari tiga
cara, yaitu: pertama,sebagai latihan bagi terapis, kedua menyediakan suatu referensi
framework yang menginformasikan proses terapi( seperti Budha yang mengatakan tentang
penderitaan, hal ini akan menjadi petunjuk bagi konselor) dan ketiga, dapat diajarkan
sebagai suatu skill atau digunakan sebagai basis dari suatu program pendidikan.
Clinical mindfulness program secara tipikal meliputi perubahan pelatihan
conscious pada non judgemental awareness. Ini dimulai dengan mengobservasi nafas kita,
suara, pikiran, perasaan dan aktivitas-aktivitas seperti berjalan dsb. Nonjudgemental
awareness menyebabkan awareness pada keadaan saat ini dan menghilangkan kebiasaan
dan reaksi otomatis. Selain itu menurut framework tradisi Budha, insight meditasi juga
tergantung dari persepsi moral awal, seperti komitmen pada kemurahan hati, atau tidak
melakukan tindakan yang membahayakan orang,lain. Hal tersebut akan menyebabkan
konsentrasi menjadi lebih baik dan mengembangkan mindfulness dan insight.
DINAMIKA PSIKOTERAPI BUDDHISME
Membangun Kesehatan Jiwa
Mengetahui keadaan jiwa tidak sehat belum berarti dapat menghentikannya. Pendekatan
yang dianjurkan adalah melakukan meditasi atau samadi. Terbagi menjadi :
a. Meditasi dengan konsentrasi
1) Meditasi dengan usaha mengarahkan perhatiannya kepada hanya satu objek
atau titik pusat. Mediator berusaha memperthankan hanya satu objek dalam
pikiran.
2) Konsentrasi pada faktor sehat mempermudah mencapai konsentrasi
mendalam. Semakin dalam konsentrasi jiwa semakin stabil dan faktor tidak
sehat dapat ditekan.
3) Faktor-faktor yang mempercepat meditasi adalah vicara dan vitaka (pikiran
yang terpusat pada satu objek), pitti (perasaan terpesona), viriya (energy,
tenaga), Uphekka (ketenangan hati).
4) Tingkatan samadi melalui 2 macam yaitu konsentrasi (tingkatan
membangun ketenangan hati) dan Jhana (keadaan di luar kesadaran).
b. Meditasi dengan sikap penuh perhatian
1) Berusaha mencapai kesadaran penuh pada setiap dan semua isi jiwa.
2) Terdapat 3 tingkatan yaitu :
Tahap Vipassana
Tahap insight atau pemahaman. Ditandai dengan persepsi jiwa yang
semakin halus. Mencapai puncak (Nibbhana) yaitu berhenti secara total
semua proses kejiwaan (nirvanik / bersifat nirvana).
Tahap Nirvana
Orang tidak mengalami apapun, juga tidak ada kebahagian dan
ketenangan hati. Keadaan yang lebih hampa dari jhana. Mengubah
secara radikal dan kekal jiwa seseorang. Lenyapnya faktor tidak sehat.
Tahap Arahat
Tingkat ideal kesehatan jiwa yang sehat. Sifat-sifat kepribadian diubah
secara permanen. Sifat bebas dari ketamakan, kecemasan, dogmatism,
kemuakan, hawa nafsu, pengalaman penderitaan, kebutuhan
peneguhan, kenikmatan, pujian dan keinginan diri melebihi hal pokok.
Sifat kaya dengan sikap netral, kesiap-siagaan dan gembira, perasaan
belas kasih, persepsi cepat tepat, kesenangan dan ketrampilan
bertindak, keterbukaan serta kepekaan.
Budhisme dan Kesehatan
Buddhisme juga memiliki perspektif tentang kesehatan dan serangkaian praktek
yang dirancang untuk meningkatkannya. Hal ini mungkin paling baik dikembangkan di
pengobatan Buddha Tibet, yang menggabungkan ide-ide Buddhis dengan konsep-konsep
dari Hindu dan tradisional Cina obat-obatan. Dalam pemikiran Buddhis, semua kecuali
yang tercerahkan tercerahkan adalah sakit dan menderita. Gangguan mental, kecanduan,
dan delusi menyebabkan ketidakpuasan, kecemasan, dan depresi, meskipun penyakit
mungkin tidak jelas sekarang. Pada akhirnya penyebab penyakit terletak pada kecanduan
dan delusi, meskipun mereka menampakkan diri yang secara langsung menyebabkan
perubahan keseimbangan dari tiga doshas atau cairan tubuh, yaitu angin, empedu, dan
dahak.
Dalam Pengobatan Buddha Tibet, gangguan dapat diklasifikasikan dalam beberapa
cara, yaitu Pertama, mereka dapat dikategorikan oleh humor yang tidak seimbang.
Empedu gangguan dianggap "panas" masalah yang diyakini berasal dari kebencian,
sementara dahak gangguan yang "dingin" dan dianggap berkaitan ketidaktahuan.
Gangguan angin juga "dingin" dan terkait dengan keinginan atau lampiran seperti dalam
kecanduan dan dapat diberi makan oleh perilaku, ekses mental, atau gaya hidup yang tidak
seimbang. Kedua, gangguan dapat diberi label sesuai dengan sumber penyebabnya. Dalam
sistem ini, permasalahan diberi label sebagai :
1. Ringan atau dangkal karena masalah ketepatan dengan diet dan perilaku,
2. Spiritual karena semangat untuk memiliki, membutuhkan pendekatan spiritual
menggunakan ritual yang dilakukan oleh lama atau orang suci
3. Masalah dimulai pada awal kehidupan, tetapi perwujudannya kemudian, yang
mungkin memerlukan obat-obatan atau operasi
4. Gangguan karma akibat efek negatif dari perilaku dalam kehidupan masa lalu
Seperti Kristen, Buddha memandang semua orang sebagai orang yang
membutuhkan penyembuhan, tetapi bukan dari pendekatan teknologi untuk kesehatan.
Buddhisme Tibet tidak memanfaatkan teknik seperti diagnosis dengan pemeriksaan
nadi atau analisa urin, dan perawatan mungkin termasuk perubahan diet, pembersih
emetic, atau pengobatan tradisional Cina seperti akupunktur atau jamu. Namun,
Buddhisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan bukanlah pengobatan tapi cara
hidup yang baru dan berpikir bahwa akan mencakup orientasi terhadap realitas,
pandangan non-dualistik, perubahan perilaku ke arah tindakan yang lebih sadar diri,
dan memperdalam hubungan yang ditandai dengan perilaku amal terhadap orang lain.
Ini terlihat tidak memisahkan spiritual dan fisik sehingga teknik spiritual tetap terkait
dengan yang fisik. Mantra dan ritual doa digunakan untuk memproduksi dan
memperkuat aksi pengobatan alami, serta menghilangkan ketidakseimbangan mental
atau fisik. Obat tidak hanya memiliki manfaat fisik tetapi juga dapat bekerja untuk
menghilangkan hambatan untuk praktek meditasi. Teknik pertobatan pengakuan iman
adalah dengan menggabungkan meditasi pengabdian kepada Sang Buddha dan
kontemplasi (merenung). Khususnya, keserakahan dapat disembuhkan dengan
merenungkan ketidakmurnian, kemarahan dengan merenungkan dan berlatih kebaikan,
dan kebodohan dengan belajar kebijaksanaan melalui merenungkan kealamian dan
keaslian sesuatu hal.
Karena perkembangan spiritual dalam Buddhisme terjadi dalam kaitannya dengan
praktik meditasi, pandangan Buddhis banyak pembangunan tidak bisa dipahami tanpa
pengetahuan dari praktek-praktek (lihat Bagian . Sebuah contoh yang agak lebih
mudah diakses dari pembangunan dalam tradisi Buddhis Zen disediakan dalam
Sepuluh Gambar Oxherding . Ini serangkaian gambar menggambarkan perjalanan
menuju tujuan Buddhis menemukan kekosongan dari diri palsu dan meninggalkan
belakang untuk diri kita yang sebenarnya dan keadaan nondualism. Ini adalah
perjalanan yang dimulai dengan keadaan kekosongan dan berakhir dengan pengalaman
yang berbeda dari itu.Itu gambar menggunakan metafora pikiran sebagai sapi yang
pertama harus disiplin dan kemudian
kemudian dilupakan. Salah satu versi dari seri gambar berjalan seperti ini:
• gembala menyadari ada sapi (sifat sejati seseorang) dan mencari itu
• gembala ini menemukan jejak itu, confi rming pencarian
• gembala itu melihat lembu: pengalaman menyediakan sekilas rst fi pencerahan
• gembala itu menangkap sapi, yang liar dan tidak disiplin
• sapi ini dijinakkan dan ditambatkan, disiplin telah mulai
• Para gembala naik rumah pada sapi, kami tetap damai antara diffi culties
• gembala itu lupa lembu dan dalam istirahat: meditasi adalah usaha
• gembala juga menghilang: pengalaman kesatuan
• Ada kembali ke sumber di mana semua sederhana dan mudah
• Ada kembali ke pasar di mana ts benefi dibawa ke orang lain
Pada akhirnya, orang tersebut telah menemukan diri sejati-nya, yang dalam Zen adalah
paradoks ada diri sama sekali!
DAFTAR PUSTAKA
Hall,S. Calvin dan Garner Lindsay (ed. Supratiknya). 1993. Teori-Teori Holistik.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Neson, M. James. 2009. Psychology, Religion and Spirituality. New York: Business Media