Peranan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Palestina

8
Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik Palestina - Israel I. Pendahuluan Hukum internasional bukanlah sebuah rejim hukum yang mempunyai lembaga-lembaga yang rigid. Berbeda dengan rejim hukum nasional, yang mempunyai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, rejim hukum internasional tidaklah memiliki konsep separation of powers. Hukum internasional dipraktikkan dengan pemahaman koordinatif, yang mengutamakan kedaulatan masing-masing negara. Tanpa adanya lembaga yang bertugas untuk melaksanakan law enforcement, hukum internasional sering dikatakan bukan merupakan suatu hukum. Terlepas dari itu semua, masyarakat internasional tetap mengakui eksistensi hukum internasional dalam mengatur interaksi antara subyek hukum internasional. Tidak bisa dipungkiri, hukum internasional saat ini sebagian besar direpresentasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB merupakan organisasi antar-pemerintah yang mempunyai anggota paling besar, dan juga memiliki cakupan sektor pembahasan yang paling luas jika dibandingkan dengan organisasi internasional lain yang lebih cenderung memfokuskan diri kepada salah satu sektor saja (ekonomi, solidaritas Islam, regionalisme, dan lainnya). PBB pun didirikan dengan berdasarkan kepada hukum internasional, dapat dilihat dari dokumen hukum yang menjadi landasan berdirinya PBB, sistem koordinatif yang dianut oleh PBB, dan berbagai konsep lain yang dianut oleh PBB. Hukum internasional yang direpresentasikan oleh PBB dapat dilihat melalui kebiasaan-kebiasaan dalam PBB, dan juga resolusi-resolusi yang dihasilkan oleh badan-badan utama PBB. Resolusi PBB, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetap dianggap sebagai salah satu sumber hukum internasional dan diterima oleh negara-negara. Fakta bahwa PBB lebih merupakan sebuah organisasi politis ketimbang sebagai law-maker dalam rejim hukum internasional, tidak mengenyampingkan peranannya dalam perkembangan hukum internasional. Kehadiran hukum internasional dalam hubungan antar negara, pada awalnya diharapkan mampu hadir sebagai pemecah kebuntuan bagi

description

wrere

Transcript of Peranan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Palestina

Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik Palestina - Israel

I. Pendahuluan

Hukum internasional bukanlah sebuah rejim hukum yang mempunyai lembaga-lembaga yang rigid. Berbeda dengan rejim hukum nasional, yang mempunyai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, rejim hukum internasional tidaklah memiliki konsep separation of powers. Hukum internasional dipraktikkan dengan pemahaman koordinatif, yang mengutamakan kedaulatan masing-masing negara. Tanpa adanya lembaga yang bertugas untuk melaksanakan law enforcement, hukum internasional sering dikatakan bukan merupakan suatu hukum. Terlepas dari itu semua, masyarakat internasional tetap mengakui eksistensi hukum internasional dalam mengatur interaksi antara subyek hukum internasional.

Tidak bisa dipungkiri, hukum internasional saat ini sebagian besar direpresentasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB merupakan organisasi antar-pemerintah yang mempunyai anggota paling besar, dan juga memiliki cakupan sektor pembahasan yang paling luas jika dibandingkan dengan organisasi internasional lain yang lebih cenderung memfokuskan diri kepada salah satu sektor saja (ekonomi, solidaritas Islam, regionalisme, dan lainnya). PBB pun didirikan dengan berdasarkan kepada hukum internasional, dapat dilihat dari dokumen hukum yang menjadi landasan berdirinya PBB, sistem koordinatif yang dianut oleh PBB, dan berbagai konsep lain yang dianut oleh PBB. Hukum internasional yang direpresentasikan oleh PBB dapat dilihat melalui kebiasaan-kebiasaan dalam PBB, dan juga resolusi-resolusi yang dihasilkan oleh badan-badan utama PBB. Resolusi PBB, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetap dianggap sebagai salah satu sumber hukum internasional dan diterima oleh negara-negara. Fakta bahwa PBB lebih merupakan sebuah organisasi politis ketimbang sebagai law-maker dalam rejim hukum internasional, tidak mengenyampingkan peranannya dalam perkembangan hukum internasional.

Kehadiran hukum internasional dalam hubungan antar negara, pada awalnya diharapkan mampu hadir sebagai pemecah kebuntuan bagi memberikan keadilan bagi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam konteks masyarakat internasional. Namun pad perkembangannya, tidak jarang hukum internasional justru dibuat tidak berdaya dihadapan kepentingan negara-negara besar. Dalam berbagai konflik yang telah hadir di ranah hubungan internasional, negara-negara adidaya tidak pernah meluputkan sedikit kesempatan pun untuk menanamkan pengaruhnya diantara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Kubu Barat dan Timur selalu menjadi dua dunia yang berusaha untuk menyebarkan pahamnya di berbagai belahan dunia.

Selama terjadinya Perang Dingin antara Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Timur yang dipimpin Uni Sovyet, kedua negara tersebut berusaha untuk menyebarkan isme-nya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam sebuah konflik, khususnya konflik bersenjata. Beberapa perang yang telah menjadi bukti pertarungan kedua kubu tersebut antara lain :

1. Perang Vietnam. Berlangsung pada tahun 1959-1975. Peperangan ini terjadi antara Vietnam Utara, yang berbasis komunis dan Vietnam Selatan yang anti-komunis. Dalam periode tersebut, Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat sedang berlangsung. Blok Timur mendukung pemerintahan Vietnam Utara, dan Blok Barat mendukung Vietnam Selatan.

2. Perang Korea. Berlangsung pada tahun 1950-1953. Perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara, meskipun banyak pihak yang terlibat secara tidak langsung didalamnya. Korea Utara, yang berbasis komunis, berusaha untuk menyatukan semenanjung Korea ke dalam satu pemerintahan tunggal, yang telah terpisah semenjak tahun 1948. Korea Utara didukung oleh Uni Sovyet, sementara Korea Selatan didukung oleh AS dan sekutunya.

3. Perang Afghanistan. Salah satu perang di Afghanistan yang melibatkan kekuatan Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung antara tahun 1979-1989. Uni Sovyet membantu pemerintahan Afghanistan yang berideologikan Marxis untuk menumpas gerakan pemberontak Mujahidin yang didukung oleh AS dan negara-negara Islam lainnya.

Ketiga perang tersebut menjadi sedikit bukti bagi usaha penyebaran ideologi bagi kedua kubu tersebut. Hukum internasional pun dibuat tidak berdaya untuk melawannya. Melalui PBB, hukum internasional hanya lahir sebagai resolusi-resolusi mandul yang tidak sanggup untuk memberikan penyelesaian bagi konflik yang sedang berlangsung. Perang Dingin akhirnya berakhir, yang ditandai dengan bubarnya Uni Sovyet dan runtuhnya Tembok Berlin. Pembubaran Uni Sovyet secara otomatis menjadikan AS sebagai satu-satunya negara adidaya yang tersisa. Pada saat ini, Rusia sebagai pewaris kedigdayaan politik Uni Sovyet, tidak mampu berbuat banyak dihadapan AS. Dalam beberapa hal, khususnya dalam masalah separatisme di Georgia dan Chechnya, Rusia masih dapat bersikap untuk melawan hegemoni AS dalam masalah keamanan dunia. Sementara PBB tidak dapat berbuat banyak kepada AS, yang telah menyumbangkan sekitar 24% pada anggaran belanjanya.

Berhadapan dengan AS, PBB seakan-akan hanya menjadi sebuah organisasi internasional yang melegitimasi kepentingan AS. Standar ganda yang diterapkan oleh AS, ditambah kekuatan veto dalam Dewan Keamanan PBB, telah menjadikan AS sebagai negara yang tidak terkontrol untuk menyebarluaskan pahamnya. Pada tahun 2003, ketika AS memutuskan untuk mengagresi Irak dengan alasan kepemilikan Irak terhadap senjata pemusnah massal, PBB tidak mengeluarkan resolusi yang melarang AS untuk melakukan agresi tersebut. Sementara ketika Iran dikenakan sanksi karena melakukan pengayaan uranium, meskipun pengayaan tersebut belum terbukti untuk membuat senjata nuklir.

Konflik antara Palestina dan Israel pada saat ini memang tidak lagi melibatkan dua negara adidaya, namun persaingan antara kedua negara adidaya sempat terjadi dalam konflik ini. Rusia hanya berperan kecil pada saat ini dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Keterlibatannya hanya sebatas pada The Quartet for the Middle East, yaitu koalisi antara PBB-Uni Eropa-AS-Rusia untuk menyelesaikan permasalahan di Timur Tengah. Sementara peran AS lebih dari sekedar keikutsertaannya dalam Kuartet. Melalui berbagai konferensi internasional yang digagasnya untuk mendamaikan kawasan Timur Tengah, AS berperan sebagai polisi dunia yang seakan-akan berhak untuk mengatur relasi antar negara. Sementara itu, PBB telah berulangkali mengeluarkan resolusi-resolusi yang berkaitan dengan permasalahan kawasan Timur Tengah, khususnya konflik Palestina-Israel. Tetapi resolusi-resolusi tersebut hanyalah menjadi tumpukan dokumentasi semata dalam kronik perjalanan konflik Palestina-Israel.

Tulisan ini akan membahas peranan PBB dalam dua wacana dari sekian banyak isu yang muncul dalam konflik Palestina-Israel, khususnya permasalahan mengenai penerapan hukum internasional, yaitu mengenai pembangunan pemukiman Israel di wilayah pendudukan dan status pengungsi Palestina di kawasan Timur Tengah

Mempertanyakan Peran PBB

Oleh: Tubagus Erif Faturahman

DALAM sistem internasional yang anarkis, dunia dipenuhi pertarungan kepentingan negara yang melahirkan perasaan curiga terhadap lainnya. Dalam sistem seperti itu, negara yang punya power kuat relatif berpeluang lebih besar untuk memenangkan kompetisi. Konsekuensinya, tiap negara akan mengutamakan pembangunan militer yang dianggap instrumen power paling utama.

Negara-negara yang power-nya rendah harus menerima kenyataan, akan selalu menjadi obyek negara-negara kuat. Untuk menghindarinya, caranya menggabungkan diri kepada kekuatan tertentu baik secara sukarela atau terpaksa.

Sejarah mencatat ada dua kekuatan yang pernah mewarnai kompetisi global secara ketat yaitu Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Dua kekuatan itu menjadi penentu akhir stabil atau tidaknya sistem internasional pada masa lalu. Kini, runtuhnya Uni Soviet, AS berdiri sebagai aktor tanpa tanding yang menjadikannya penentu akhir segala keputusan politik global dan hadir di mana-mana.

Dialah negara atau aktor paling berperan dalam memerangi dan menumpas aneka aksi terorisme internasional. Ia polisi sekaligus hakim internasional yang dapat bertindak apapun demi kepentingannya, atau sebaliknya, menolak segala yang dianggap akan merugikan kendati harus berhadapan dengan opini publik internasional seperti kasus ICC (Mahkamah Pidana Internasional). Amerika yang menentukan siapa pahlawan yang harus dibela dan siapa agresor yang harus diperangi bersama.

Pertanyaannya, di mana peran PBB sebagai institusi internasional yang paling bertanggung jawab atas perdamaian dan stabilitas percaturan politik internasional? Mengapa PBB tidak pernah mampu mengambil alih kasus internasional yang melibatkan negara-negara kuat di dalamnya?

SEBAGAI institusi internasional terbesar, PBB bertugas menjaga stabilitas internasional yang terwujud dalam tiga hal: peningkatan perdamaian; penciptaan perdamaian; dan pemeliharaan perdamaian. Kenyataannya, tugas itu kerap menghadapi hambatan yang justru datang dari anggotanya sendiri.

Dalam kasus yang berkait dengan negara yang memiliki power relatif lemah, peran PBB terlihat amat menonjol dan kuat. Tetapi dalam menghadapi aksi negara kuat, PBB justru sebaliknya, terlihat lemah tidak berdaya.

Ini terjadi karena dalam hubungan internasional, pembangunan dan pelaksanaan suatu hukum, kaidah, dan tata aturan berbagai kesepakatan lembaga internasional, selalu mengalami aneka hambatan dan ketidak-efektivan karena terhadang batasan kedaulatan setiap negara atau tidak adanya lembaga internasional otoritatif yang berkompeten dalam pengaturan sistem internasional. Segala norma dan institusi internasional seolah mandul tidak berdampak serius terhadap para defector, terutama negara-negara yang memiliki power relatif besar.

Hukum internasional dan berbagai norma organisasi internasional banyak ditaati, tetapi negara-negara besar dapat melanggarnya jika mereka mau tanpa ada sanksi berarti dari negara-negara lain atau PBB sekalipun. Dengan nada mengejek, Stalin menganalogkan PBB seperti Paus, tidak memiliki pasukan militer sendiri serta perindustrian untuk menghasilkan berbagai komoditas yang dapat digunakan guna mengubah kebijakan eksternal maupun internal suatu negara.

PBB tidak memiliki simpanan khromium untuk menyuap AS agar ikut memberlakukan sanksi penuh di Rhodesia (kini Zimbabwe)! PBB tidak memiliki sumber minyak yang dapat menjamin suplai tetap ke AS untuk membuatnya tidak mengintervensi atau standar ganda dalam perpolitikan di Timur Tengah. PBB sepenuhnya tergantung negara-negara anggota dalam hal dana operasional sehingga sehebat apapun wewenang yang dimilikinya, ia tidak akan leluasa menjalankannya.

Ini terjadi karena PBB bukan pemerintahan dunia yang memiliki kedaulatan di atas kedaulatan tiap negara dan hak pelaksanaan koersif atas anggota-anggotanya yang melanggar peraturan yang telah diterapkan. PBB bukan sistem politik yang mampu bertindak sendiri atau menguasai sistem internasional. Efektivitasnya ditentukan oleh kualitas politik dunia dan rasa kebersamaan anggotanya.

Celakanya, benturan kepentingan antar-anggota PBB yang memiliki power kuat kerap terjadi sehingga banyak kebijakan yang gagal karena diveto salah satu anggota tetap Dewan Keamanan, atau tidak begitu efektif karena beberapa negara kuat enggan mendukung, kendati tidak menolaknya. Tidak bisa dipungkiri, realitas politik internasional kerap ditentukan oleh negara-negara besar.

Adalah sebuah kelemahan utama di mana sebuah lembaga internasional menerapkan sanksi, sementara pelaksanaannya didesentralisasikan kepada negara-negara anggotanya karena notabene lembaga itu sendiri tidak mampu menjalankan keputusannya sendiri.

Ketiadaan sistem yang dapat memaksa semua negara anggota untuk secara kolektif patuh terhadap berbagai keputusan PBB menjadikan negara-negara besar lebih suka bertindak individual atau sepihak demi menjaga kepentingan ekonomi dan politiknya tanpa rintangan dari siapa pun. Dan tindakan itu sah karena status dan hak prerogatif mereka dijamin dalam PBB.

DENGAN berbagai kelemahan itu, bisakah jaminan PBB diandalkan guna menciptakan dan memelihara perdamaian internasional?

Tentu ada banyak kelemahan dan kegagalan PBB jika dibuat suatu draf tersendiri. Sebaliknya, keberhasilan yang dilakukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik pun banyak. Potensi pemeliharaan perdamaian PBB tidak hanya ditentukan oleh penggunaan negara-negara besar. Yang tidak kalah penting, negara-negara mengizinkan pihak ketiga ikut berpartisipasi dan diplomasi.

Kedua, pragmatis. Bila tidak ada PBB, siapa lagi? Agar institusi internasional mampu menciptakan tertib politik, diperlukan kerja sama negara-negara donatur besar untuk menciptakan institusi yang mampu mengkoordinasikan aksi dan harapan-harapan anggotanya.

Seperti pengendara mobil, demikian Jones menganalogikan, ia akan mengemudikan mobilnya sesuai aturan lalu-lintas karena takut ditilang polisi (sanksi koersif), alasan keselamatan (sanksi utilitarian) dan karena ingin ikut membina kehidupan sosial bersama yang teratur sehingga jalanan tidak macet (sanksi normatif).

Demikian juga negara dalam sistem internasional. Setiap bentuk institusi internasional memiliki aneka aturan dan sanksi yang bersifat normatif, utilitarian, maupun koersif. Negara-negara tunduk pada aturan institusi lebih karena didasarkan pada sanksi yang bersifat normatif dan utilitarian.

Pada dasarnya sistem internasional bersifat resiprokal , saling menguntungkan dan amat peka. Jika sebuah negara melakukan tindakan tercela atau kesalahan, maka negara lain akan melakukan balasan serupa atau mengeluarkan resolusi maupun deklarasi yang memalukan, kecuali bila kepentingan dan kebutuhannya begitu tinggi melebihi kecaman eksternal dan rasa malu.

Sanksi koersif merupakan jalan terakhir yang hanya diterapkan bila negara menyimpang dari pola perilaku normatif dan utilitarian.

Kelemahan utama yang dimiliki PBB adalah strukturnya. Sejak didirikan, lembaga ini telah dipolitisir negara-negara besar yang menjadi pemenang dalam perang dunia.

Mereka memiliki kedudukan dan hak prerogatif khusus dengan tujuan mencegah segala tindakan yang tidak sesuai kepentingannya melalui prinsip kebulatan suara dan hak veto seperti tercantum dalam pasal 27 di mana segala aktivitas PBB harus disetujui seluruh negara anggota tetap Dewan Keamanan.

Struktur dan pengaruh anggota Dewan Keamanan yang terlalu kuat inilah yang menjadi kunci utama apakah misi perdamaian akan dapat dilakukan atau justru melahirkan peperangan.

Solusinya, struktur harus dirombak. Kesulitannya, perombakan harus disetujui seluruh anggota tetap Dewan Keamanan yang ada kini.Sayang, kecuali terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem internasional, kemungkinan itu amat kecil karena dianggap akan mengurangi hak dan kepentingan mereka.

Kelemahan lain, masalah biaya operasi pemeliharaan perdamaian seperti kasus penolakan Soviet dan negara-negara lain terhadap beberapa aktivitas pemeliharaan perdamaian yang mereka tentang, usulan pembebanan pada negara yang tengah berkonflik, penarikan dana secara sukarela, tagihan bagi yang sepakat tindakan operasional hingga pelelangan atau pendelegasian operasi.

Aneka masalah itu sampai kini masih menjadi kendala PBB. Menjadi kian sulit karena PBB, sebagai institusi internasional yang liberalis secara kelembagaan, ternyata dijadikan kendaraan kaum atau praktisi realis pragmatis untuk memperoleh kepentingan negaranya.Namun, sekali lagi, dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada, kehadirannya dirasakan lebih banyak memberi kebaikan dan sumbangan bagi perdamaian dan pembenahan sistem internasional untuk lebih baik daripada, misalnya, harus dibubarkan atau ditiadakan..