Pengetahuan Baru Dalam Neuropatogenesis HIV
-
Upload
petersouisa6454 -
Category
Documents
-
view
17 -
download
6
description
Transcript of Pengetahuan Baru Dalam Neuropatogenesis HIV
Tanggal Presentasi Supervisor
Book review Ruangan 2
Pengetahuan Baru Dalam Neuropatogenesis HIV
Di ambil dari buku “HIV And The Brain
(New Chellenges In The Modern Era)”
Halaman 17-27
Oleh: Adi Nugroho
Pembimbing: Prof.Dr.dr.O.S. Hartanto, Sp.S (K)
PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF FK UNS-RSUD Dr. Moewardi
Surakarta 2012
Pengetahuan Baru Dalam Neuropatogenesis HIV
Torry P. Johnson dan Avindra Nath
Pendahuluan
Lebih dari dua dekade, kemajuan substansial yang dibuat untuk mengerti patofisiologi dimensia
akibat infeksi HIV. Namun obat neuroprotektif memperlihatkan sedikit atau tidak ada efek pada
sindrom tersebut. Meskipun terdapat berbagai alasan akibat kegagalan itu, hal itu juga meminta
kita untuk melihat hal yang lain pada pendekatan studi neuropatogenesis HIV. Sangat penting.
diakui bahwa respon imun bawaan ( innate ) telah sering menjadi sasaran pendekatan terapi yang
mungkin memiliki efek antiviral yang penting. Selanjutnya, efek virus pada neurogenesis
mungkin sangat penting, dan pada pasien yang diobati dengan terapi antiretroviral. Infiltrasi sel
T dalam otak mungkin merupakan mediator penting dalam cidera neuron. Bab ini membawa
kepada perkembangan baru dalam patofisiologi Infeksi HIV dan menyoroti hal-hal yang
membutuhkan perhatian lebih dan penyelidikan lebih lanjut.
Pada epidemi awal , setelah ditemukan HIV adalah retrovirus dan bisa ditemukan di makrofag, di
lapangan banyak berpikir patofisiologi komplikasi neurologis akibat infeksi HIV jelas. Seperti
dalam retrovirus lain yang telah dipelajari sebelum HIV. Seperti virus visna yang menginfeksi
domba menyebabkan ensefalopati, itu berpikir bahwa infeksi pada makrofag akan cukup untuk
mendorong perubahan semua glial dan neuronal di otak. Namun, tahun-tahun sejak telah terbukti
bahwa neuropathogenesis infeksi HIV adalah masih membingungkan. Lebih dari 20 tahun yang
lalu sejak dimensis HIV pertama kali dijelaskan, dan meskipun kita telah belajar banyak tentang
beberapa elemen kunci bagaimana HIV menyebabkan disfungsi neuroglial, masih ada
pertanyaan kunci lain yang tetap tidak terjawab.
Hal ini sangat jelas bahwa otak adalah reservoir penting bagi virus dan virus dapat berada dalam
beberapa jenis sel selain makrofag, Mekanisme kegigihan virus dan latensi, bagaimanapun, tetap
tidak diketahui. Hasilnya tidak ada obat yang tepat dapat digunakan pada reservoir. Meskipun
semua studi pada patofisologi penyakit tersebut, sekarang tidak ada secara klinis digunakan
pengganti marker untuk hubungan HIV dengan kerusakan kognitif. Lebih lanjut clinical trials
dengan agen neuroprotektif pada demensia HIV gagal memperlihatkan sedikit signifikan
keuntungan klinis. Meskipun mungkin banyak alasan kegagalan tersebut. Hal itu juga bermakna
kita perlu melakukan evaluasi ulang patofisiologi hubungan HIV dengan kerusakan kognitif
untuk membantu mengidentifikasi target novel dan mendekati perkembangan terapi. Pada bagian
ini, kami memfokuskan diskusi beberapa konsep baru yang muncul.
Respon Imun Bawaan (innate) : Teman atau Lawan
Kebanyakan studi mempertibangkan induksi respon imun bawaan (innate) seperti sitokin,
kemokin, stress oksidatif, dan protease yang merugikan neuron. Konsep tersebut diaplikasikan
pada kebanyakan penyakit neurogeneratif, mencakup hubungan HIV dengan kerusakan kognitif
(gambar. 1). Meskipun ada alasan untuk mempercayai bahwa pada pengaturan infeksi viral,
seperti respon mungkin tidak selalu bermusuhan dengan host. Organisme yang mempunyai
respon imun selular sering menggunakan respon imun bawaan (innate) untuk memproteksi dari
invasi patogen. Contohnya, tanaman tanpa sistem imun adaptif spesifik, mungkin menggunakan
metalloproteinase, sepanjang dengan mekanisme perlindungan bawaan (innate) lain, untuk
menyerang infeksi. Contohnya gen metalloproteinases-2 pada kacang kedelai. Glycine max
adalah upregulated pada respon untuk vareasi infeksi. Dengan begitu pada keadaan dimana
respon imun selular gagal untuk mengontrol patogen seperti infeksi HIV persisten pada CNS,
respon imun bawaan (innate) diaktivasi. Contohnya, hal itu diperlihatkan pada matrix
metalloproteinase (MMP), yang hubungan strukturnya sama, zinc-containing endopeptidases,
hal tersebut diketahui meningkatkan pasien dengan demensia HIV yang membelah protein Tat
HIV dan seperti itu menginaktif protein Tat dan mencegah protein dari penyebab neurotoksik
atau dari transaktivasi genom HIV (2). Dengan cara yang sama stress oksidatif mungkin
diusahakan oleh host untuk menyebabkan inaktifasi protein virus oleh modifikasi oleh radikal
bebas, nitric oxide, atau pelepasan aldehid reaktif peroksidasi lemak. Meskipun tipe mekanisme
ofensifnya non spesifik dan hasilnya kerusakan sel host (gambar.1). Hal itu terutama sekali benar
saat adanya aktivasi kronik respon imun bawaan (innate). Pertimbangannya sampel MMPs yang
sama, memperlihatkan molekul tersebut secara enzimatis mendegradasi protein matrik
ekstraselular dan dapat akibatnya mengganggu sawar darah otak (blood brain barrier) dan sinaps
neuronal. MMPs dapat juga membelah pada protein host, seperti kemokin (7), dan produk
pembelahan tersebut menyebabkan neurotoksisitas. Lebih lanjut MMPs mungkin secara
langsung berinteraksi dengan reseptor integrin pada neuron, dan memulai kaskade pemimpin
even untuk kematian sel neuronal (8).
Lebih lanjut, respon imun bawaan (innate) mungkin berinteraksi satu sama lain. MMPs dapat
menjadi nitrosilat dan tetap berlaku di status hiperaktif, mungkin berkontribusi untuk
neurotoksisitas dibawah kondisi stress oksidatif (9). Studi otopsi juga mengkonfirmasi
peningkatan level inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada pasien dengan dimensia HIV (10-
11). iNOS hadir pada makrofag dan mikroglia dan level tersebut berkorelasi dengan keparahan
dimensia HIV (12-16). Pada model monyet dengan imunodefisiensi virus, ekspresi iNOS
ditemukan berhubungan dengan kerusakan dendrit (17). Nitric oxide dan peroxynitrite berpotensi
beracun pada neuron dan mediasi keracunan melalui formasi kompleks iron-nitric oxide pada
sistem enzim iron-containing, oksidasi kelompok protein sulfhydryl, nitrasi protein, nitrosilasi
asam nukleat, dan retakan strand DNA (lihat pada (18)). Pada adanya spesies oksigen bebas dan
nitric oxide, peroxynitrite mungkin dibentuk. Peroxynitrite sangat reaktif dan modifikasi residu
tirosin pada protein untuk membentuk 3-nitro-tyrosine, meskipun hal itu mungkin memodifikasi
residu sistin dan histidin juga. Penulis menemukan peningkatan level protein modifikasi 3-nitro-
tyrosine pada CSF pada individu dengan kerusakan progresif disfungsi neurokognitif lebih dari
beberapa bulan, juga memasukkan demensia HIV aktif. Level 3-nitro-tyrosine adalah indikator
yang sangat sensitif stres nitrosatif dibandingkan nitrat dan level nitrit pada CSF (Lie et
al.,2008).
Gambar. 1. Efek non spesifik antiviral sistem imun mempimpin pengrusakan CNS. Aktivasi makrofag melepaskan radikal bebas dan menginduksi stress oksidatif dan nitrosatif, yang mungkin secara langsung berinteraksi dengan protein virus dan menyebabkan pengrusakan fungsional. Sel tersebut juga melepaskan protease seperti matrik metalloprotein yang mungkin membelah protein virus. Meskipun respon mungkin juga menyebabkan kerusakan neuron dan sel glia. Hal yang sama, aktivas sel T mungkin masuk ke dalam otak pada pasien yang diterapi dengan obat antiretroviral, mendahului sindrom imun reconstitution. Sel itu tidak dapat menghilangkan virus dari otak, tetapi proses pelepasan protease seperti granzyme, perforin, dan granulosin,. Substansi tersebut juga toksik untuk sel otak lain (lihat warna platenya).
Bentukan lain stress oksidatif seperti protein karbonil, ukuran protein oksidasi, dan level
hidroxynonenol ester (HNE), ukuran lipid peroxidation , juga meningkat pada CSF dan otak
individu dengan demensia HIV (20). Pengukuran level ceramide dan sphingomyelin pada CSF
juga dapat mempunyai nilai prediksi pada identifikasi resiko dimensia HIV, seperti ini produksi
lipid merupakan juga diubah oleh stress oksidatif (22). Studi in vitro juga mendemonstrasikan
tentang protein HIV gp 120 dan Tat mungkin menginduksi kematian neuronal melalui induksi
stress oksidatif (23). Studi di masa depan memerlukan petunjuk protein yang tepat secara
fungsional mengubah sebagai konsekuensi stress oksidatif dan jika produksi protein baru oleh sel
akan mengalahkan modifikasi posttranslasi oleh stres oksidatif protein tersebut. Sangat penting,
hal itu perlu ditentukan jika disini menemani perubahan kromosom DNA atau enzim perbaikan
DNA oleh proses tersebut, untuk itu mungkin mempunyai konsekuensi yang jauh pada fungsi
selular.
Sindrom Imun Reconstitution : Suatu Konsekuensi Tak Dikenal
Pada Terapi Antiretroviral
Hal ini hanya baru-baru ini dikenali pada beberapa pasien yang mungkin berkembang pada
sindrom pengrusakan neurologi yang mengikuti inisiasi kombinasi terapi antiretroviral. Hal itu
terjadi disamping tetesan isi virus dan peningkatan dalam penghitungan sel CD4. Meskipun
sindrom tersebut mungkin melibatkan sistem organ lain, saat hal tersebut melibatkan CNS
mungkin fatal. Sindrom tersebut dimasukkan dalam immune reconstitution inflammatory
syndrome (IRIS) dan menggambarkan sebagai pengrusakan berkesinambungan klinis pada
pasien yang sukses diterapi dengan kombinasi terapi antiretroviral (24). Hasil penghitungan CD4
yang rendah pada waktu inisiasi terapi antiretroviral, tampak lebih besar untuk perkembangan
resiko IRIS, seperti halnya peningkatan resiko kegagalan untuk kompletnya rekonstitusi respon
imun (24, 25). Rekonstitusi sistem imun sesudah inisiasi terapi kombinasi antiretroviral
mengikuti pola yang sudah diramalkan pada awal peningkatan sel T memori, diikuti oleh
peningkatan produksi thymic sel T naive, dengan peningkatan kuantitas sel T CD4+ secara
keseluruhan (25,26). Faktor resiko lain untuk perkembangan IRIS termasuk isi virus yang tinggi
pada saat onset terapi antiretroviral, rekonstitusi prompt sistem imun sesudah inisial, dan infeksi
dengan prioritas penyakit oportunistik untuk terapi kombinasi antiretroviral (27).
Komplikasi yang timbul dari rekonstitusi sistem imun dapat dibedakan pada CNS seperti halnya
pada region lain, dan dapat menunjukkan cepatnya pengrusakan neurologi pada pasien di atas
hari (28). Proses tersebut dimediasi oleh respon imun sempurna yang menargetkan juga infeksi
oportunistik yang hadir memprioritaskan inisiasi terapi kombinasi antiretroviral, atau antigen
yang tidak diketahui, mungkin bahkan antigen dirinya sendiri (24). IRIS terjadi kira-kira pada
15-35% pasien HIV yang inisiasi kombinasi terapi antiretroviral, dengan prosentsi yang sama
terjadi pada anak-anak (27,29,30). Beberapa pasien berkembang menjadi encephalitis fulminan
ketika terapi kombinasi antiretroviral dimulai. Walaupun bentukan fulminant CNS-IRIS
mendapatkan atensi, hal itu sungguh seperti itu, pada era terapi kombinasi antiretroviral, bentuk
yang lebih lembut IRIS juga ada.
Secara histologi terlihat infiltrasi yang massif sel T pada otak pasien dengan CNS-IRIS. Hal itu
menunjukkan kenaikan kematian neuronal, dan rusaknya sawar darah otak (BBB) (31,32).
Pengrusakan BBB dapat kemudian pada gilirannya mengijinkan sel imun yang lebih kuat
mengakses otak. Yang terpenting, studi memunculkan tentang identifikasi peningkatan sel T
pada otak pasien yang dilakukan otopsi atau otak yang dibiopsi pada setelah era terapi kombinasi
antiretroviral (33,34). Dimensia HIV secara luas dikemudikan oleh aktivasi makrofag dan HIV
menginfeksi makrofag, sedangkan sel T tampak untuk mediasi efek yang merugikan IRIS
(34,35)(gambar.1).
Manifestasi klinik CNS-IRIS berbeda dan tergantung pada kehadiran atau tidak, seperti halnya
tipenya, munculnya infeksi oportunistik. Beberapa infeksi oportunistik memainkan peran yang
tetap pada perkembangan CNS-IRIS, seperti spesies Mycobacterium, Cryptococcus, JC virus,
dan Cytomegalovirus, masing-masing dengan gejala dan keluaran klinis yang berbeda-beda
(28). Ketika CNS-IRIS diidentifikasi, perawatan termasuk menggunakan kortikosteroid untuk
menekan sistm imun (24,28). Ukuran pencegahan termasuk prioritas skrening infeksi
oportunistik untuk onset terapi kombinasi antiretroviral dan sesuai terapi campur tangan jika
perlu untuk menurunkan presentasi antigen.
Patofisiologi IRIS sangat sedikit dipahami, meskipun produksi respon antibody dan respon CTL
tergantung stimulasi efektif oleh sel T helper CD4+ (37,38). Terpisah dari kontrol tidak
langsung respon imun antiviral, sel CD4+ mampu berfungsi sebagai efektor lewat pelepasan
sitokin dan induksi lisis sel. Kesempurnaan respon selular CD4+ berhubungan dengan tetap
melakukan virus load yang rendah, dibandingkan dengan pasien dengan penurunan respon sel T
CD4+ (37), Menyoroti pentingnya sel T CD4+ untuk mengontrol infeksi HIV. Apalagi, sel T
CD4+ mungkin memainkan peran yang penting mengontrol pathogen di CNS (39,40), adalah
diiindikasikan oleh semua studi fungsional dan sel T CD4+ berisikan prosentasi yang tinggi total
populasi sel T pada CNS (41,42). Meskipun, HIV secara istimewa menginfeksi sel T CD4+
spesifik HIV, menunjukkan deplesi subset sel T (43), pada hubungan dengan mekanisme lain
(44). Kehilangan produksi IL-2 sel T CD4+ menyebabkan pengurangan respon imun secara
keseluruhan terhadap HIV, seperti sentral sel T memori (CCR7+,CD45RA-,produksi IL-2)
terjadi pengurangan jumlah dibandingkan dengan jumlah efektor sel T memori (CCR7-
,CD45RA-, proliferasi rendah). Respon imun adatif terhadap HIV sangat penting untuk
mengontrol replikasi virus; meskipun respon yang sama pada kontek CNS dapat dirugikan
kepada pasien, seperti neuron tidak melengkapi untuk mendukung dan inflamsi agresif.
Banyak penelitian sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman secara keseluruhan
mekanisme yang berkontribusi proses penyakit CNS-IRIS, spesialnya pada investigasi aktivasi
sel T pada tidak adanya infeksi oportunistik dan karakteristik sel imun yang berkembang pada
IRIS. Perkembangan sekarang pada non-CNS-IRIS pada kelinci percobaan (46) seharusnya
berguna sebagai alat pada pembedahan, pada sebagian, mekanisme yang mendasari aktivasi sel T
yang menyimpang dari biasanya, dan akan menyediakan pengertian yang mendalam ke dalam
antigen non tuberculosis yang lain yang diterima sel imun. Perkembangan pada model SIV CNS-
IRIS akan dimanfaatkan, pada model ini dapat digunakan untuk tes terapeutik potensial. Sampai
semua factor berkontribusi pada IRIS dipahami, kontradiksi pada kombinasi terapi antiretroviral
akan tidak dapat diprediksi, dan intervensi potensial untuk mencegah IRIS akan terabaikan.
Modulasi Neurogenesis Pada Infeksi HIV : Target Baru Untuk Terapi
Neuroregeneratif
Atensi yang banyak difokuskan pada usaha untuk melindungi kerusakan dan kematian neuron.
Beberapa studi detail memperlihatkan secara jelas bukti apoptosis neuronal dan kehilangan
dendrite pada otak pasien yang terinfeksi HIV., dan studi eksperimental mengimplikasikan
protein HIV dan substansi dilepaskan dari aktivasi sel glial yang menyebabkan kerusakan.
Meskipun ada bukti yang berlimpah, samapai saat ini semua klinikal trial dengan terapi
neuroprotektif memperlihatkan sedikit atau tidak peningkatan fungsi kognitif pada pasien
dengan infeksi HIV (47). Observasi tersebut tidak unik pada dimensia HIV tetapi pada semua
penyakit neurogeneratif, seperti penyakit alzeimer, penyakit parkinson, stroke, dan amyotropic
lateral sclerosis, terapi neuroprotektif mengalami kegagalan suram. Hal ini sudah membuat
penulis dan yang lain mengevaluasi ulang target terapi, Hal itu akan sangat jelas bahwa disini
didapatkan penggantian kontinyu dan regenerasi neuron selama dewasa; karenanya, sedikit
pengrusakan neurogenesis mungkin mempunyai konsekuensi yang jauh pada otak. HIV
memperlihatkan untuk menginfeksi sel progenitor neural secara in vitro dan in vivo. Sel
mengekspresikan CXCR4, sebuah coreceptor HIV, dan mempromosikan deferensiasi sel tersebut
ke penggani astrosit neuron (48,49). Ekspose sel progenitor neural juga menghasilkan penurunan
proliferasi sel tersebut (50), menyebabkan penghentian pada fase G1 pada siklus sel lewat
kaskade yang terdiri dari p38 mitogen-activated protein kinase (51). Dengan demikian strategi
terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi blokiran dan promosi neuroregenerasi mungkin
pendekatan baru untuk terapi dimensia HIV dan penyakit neurodegenerasi yang lain.
Pembaharuan atensi dengan demikian dialihkan ke arah faktor seperti eritropoitin dan faktor
pertumbuhan yanhg diturunkan otak seperti obat antidepresan yang dapat mempromosikan faktor
pertumbuhan (52).
Regulasi Reservoir HIV Di Otak : Memerlukan Target Terapi Yang baru
HIV terutama menginfeksi 2 tipe sel, makrofag/microglia dan astrosit perivaskuler. Virus dapat
berada di dalam tipe sel dalam waktu lama. Hak ini menunjukkan infeksi produktif atau
persisten pada makrofag, namun di dalam astrosit, membentuk infeksi laten, dimana protein
virus awalnyaterbentuk tetapi virus yang infeksius tidak diproduksi. Dalam keadaan ini, replikasi
virus sementara mungkin dirangsang oleh paparan sitokin (53, 54). Astrosit juga memiliki
tingkat perputaran yang sangat rendah dan karenanya sel-sel ini adalah reservoir yang sempurna
untuk virus. Beberapa grup telah menunjukkan bahwa neuron, sel endotel, dan sel progenitor
neural juga mampu terinfeksi dan mirip dengan astrosit, membentuk infeksi nonproduktif. virus
mampu menginfeksi beberapa jenis sel adalah tidak mengejutkan; meskipun menghilangkan
reservoir tersebut merupakan tantangan berat. Mekanisme yang mengatur replikasi virus dalam.
jenis sel atau mempertahankan mereka dalam keadaan laten kurang dipahami. Satu studi
mengimplikasikan 68-kDa SRcassociated protein mengikat dan terlibat dalam putaran dan
transportasi ke inti dan kurang diekspresi dalam astrosit (55) pengamatan yang tidak
dipublikasikan dari laboratorium penulis telah menunjukkan bahwa protein leukemia
promyelocyte diekspresikan pada level tinggi dalam astrosit dibandingkan dengan limfosit dan
makrofag dan dapat mengikat protein Tat dan dengan demikian mencegah replikasi HIV (Daley
dan Nalh, tidak diterbitkan).
Peran Dari Strain Virus Dan Clades Di Neuropathogenesis HIV
Spektrum genotipe virus atau spesies kuasi dihasilkan sepanjang perjalanan penyakit karena
kesetiaan rendah reverse transcriptase, kurangnya proofreading oleh polimerase virus, tingginya
tingkat produksi virus dan tekanan seleksi in vivo (56). Oleh karena itu sekali virus memasuki
otak, mungkin berevolusi memperoleh urutan heterogenitas yang berbeda dari yang di organ
limfoid karena tekanan selektif yang berbeda di otak, Sejauh ini, hanya sejumlah terbatas dari
studi yang telah melihat urutan virus dari jaringan otak dan sedikit telah mencoba untuk
membuat korelasi fungsional dari urutan virus. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa otak
yang diperoleh dari urutan virus cenderung untuk mendukung penetapannya sebagai reservoir,
misalnya, urutan tat yang diperoleh dari otak dari pasien dimensia bertransaksivator rendah HIV-
LTRnya, yang memungkinkan virus untuk tinggal laten dan dengan demikian melepaskan diri
dari sistem imun (57). Pada saat yang sama, mereka memperoleh sifat lebih neurotoksik dan Tat
dan urutan gpl20 dari pasien dimensia HIV menunjukkan potensi neurotoksik meningkat (57,
58).
Sebagai virus telah berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah dunia, telah menjadi jelas
bahwa ada perbedaan geografis yang jelas dalam manifestasi neurologis infeksi HIV, di wilayah
di dunia terinfeksi dengan HIV clade C, hanya didapatkan bentuk ringan dari gangguan kognitif
memiliki telah diterima pada pasien dengan imunosupresi yang tidak ada diterapi antiretroviral
(28, 59). Meskipun memungkinkan terjadi bias dalam pemilihan pasien mungkin sebagian
bertanggung jawab untuk perbedaan ini, ada juga bukti yang menunjukkan bahwa perbedaan
genetik pada gen tat dari clades HIV juga dapat mengubah patogenisitas virus. Sebagai contoh,
sistein pada posisi 31 virus clade B dimutasi ke serin dalam virus clade C, hasil mutasi ini dalam
sifat chemotaeticnya menurun pada virus clade C dan penurunan neurotoksisitas (60, 61). Studi
dari Uganda menunjukkan bahwa orang terinfeksi virus clade D lebih mungkin lebih
menyebabkan demensia dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi Virus clade A (62),
Pembedaan secara molekuler perbedaan itu tidak diketahui.Secara ringkas, studi terbaru yang
mengindikasikan patofisiologi komplikasi neurologis sangat kompleks dari pada yang
diperkirakan sebelumnya. Mereka mungkin terjadi pada populasi genetik yang rentan dan
mungkin dipengaruhi oleh jenis dan clade virus. Peran sel T dan respon bawaan (innate) dalam
mediasi sindrom menjadi semakin penting di era terapi antiretroviral. Wawasan ini akan
mendikte terapi baru yang mendekati untuk populasi.
Peran Faktor Genetik Host di Neuropatogenesis HIV
Epidemiologi demensia HIV menunjukkan bahwa host faktor genetik harus berkontribusi
pada patofisiologi demensia HIV. Beberapa pasien meskipun viral loadnya tinggi dan
imunosupresi yang mendalam kognitifnya masih utuh, sementara persentase yang lebih kecil dari
pasien tersebut berkembang menjadi penyakit dimensia. Meskipun demikian bukti berlimpah,
hanya segelintir gen telah dipelajari sebagai faktor potensial dalam neuropatogenesis HIV. Salah
satu alasannya adalah bahwa penelitian seperti ini membutuhkan ukuran sampel yang besar. Gen
Apo E telah dipelajari terbaik dalam hal ini. Semua populasi dasar dan studi eksperimental in
vitro dan in vivo menunjukkan bahwa individu dengan ApoE4 gen lebih mungkin berkembang
menjadi demensia HIV (63) khususnya di kalangan yang lebih tua orang HIV + (64). Individu
dengan infeksi HIV dan alel ApoE4 meningkatkan stres oksidatif di otak dan CSF (65,66) dan
kultur neuronal manusia dengan alel ApoE4 lebih rentan terhadap toksisitas oleh protein HIV
(66). Selanjutnya, lipidated apoE3 manusia sangat melindungi neuron dari Tat protein HIV yang
menginduksi toksisitas, sedangkan lipidated apoE4 manusia menunjukkan tidak ada
perlindungan (67). Studi epidemiologi lain menunjukkan yang macrofag chemoattractant factor
atau CCL-2 mutation (68) dan mutasi pada reseptor CCR2 (alel 64-I) (69) berkorelasi dengan
kehadiran seperti demensia yang dipengaruhi infiltrasi makrofag. Tumor necrosis factor-
promotor polimorfisme juga berkorelasi dengan kehadiran seperti demensia oleh pengaruh level
produksi Tumor necrosis factor- ,, yang dapat menyebabkan neurotoksisitas (70), polimorfisme
pada gen iNOS telah ditemukan pada manusia. Sebuah polimorfisme fungsional CCTTT-
berulang dalam gen wilayah promotor tidak ditemukan pengaruh viral load HIV atau jumlah
CD4 pada individu dengan inefsi HIV (71), namun perannya dalam menginduksi stres nitrosative
di otak yang terinfeksi HIV belum belum dipelajari.