Pengertian Istihsan
-
Upload
rijal-elkhaer -
Category
Documents
-
view
24 -
download
2
description
Transcript of Pengertian Istihsan
BAB I
PENDAHULUANA. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam
Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan
akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar
proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun
demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih
tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.
Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan
suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya
mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-
Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam
penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang
tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-
sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula
yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab,
Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang pengertian Istihsan, kehujjahan istihsan
dalam lintas mazhab, Imam Syafi’i dan Istihsan, jenis-jenis Istihsan.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengertian istihsan?
2. Bagaimana kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab?
3. Bagaimanakah hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan?
4. Bagaimanakah jenis-jenis istihsan?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian istihsan.
2. Menjelaskan kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab.
3. Menjelaskan hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan.
4. Menjelaskan jenis-jenis istihsan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berasal dari kata حسن yang berarti baik atau indah,
yang maksudnya adalah sesuatu yang di anggap baik atau indah.1
Adapun istihsan menurut istilah, Abu Hasan Al-Karkhi (mazhab Hanafi)
mendefinisikan bahwa:
منه اقوى لوجه اخر حكم عن بالمسالة العدول ه ان هو االستحسانIstihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada
sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang dipandang lebih
kuat atau lebih baik.2
Definisi istihsan menurut Ibnul Araby (mazhab Maliki) ialah memilih
meninggalkan dalil, mengambil rukhshah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu
berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu. Ia membagi Istihsan
kepada empat macam, yaitu :
1. Meninnggalkan dalil karena urf.
2. Meninggalkan dalil karena ijma’.
3. Meninggalkan dalil karena maslahat.
4. Meninggalakan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan
masyaqat.3
1 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Maktabah Dar Al-Fikr, 1986), h.
136.
2 Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), h. 106.
3 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 402.
3
Dengan demikian, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan
qiyas jali (nyata) kepada qiyas khafi (samar), atau dari dalil kulliy kepada hukum
takhshish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil
pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.4
Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status
hukumnya tidak ada, maka penyelesaiannya harus menggunakan dua sisi yang
kondratif, yaitu
1. Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.
2. Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak (khafi) menghendaki adanya
ketetapan hukum lain.5
Berdasarkan pernyataan tersebut, pada diri mujtahid ada dalil yang di anggap
lebih mendahulukan sisi ketidaktampakan (khafi), sehingga ia berpindah ke sisi yang
nyata (jali/lahiriyyah). Begitu juga jika ada ketetapan hukum kulli pada diri mujtahid,
namun ia menghendaki adanya dalil juz’iy dari hukum kulliy tersebut dan
memberikan ketetapan hukum kepada juz’iynya. Maka hal ini dalam syara’ dikenal
dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan adalah penerapan perpindahan suatu bentuk
hukum qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.6
B. Kehujjahan Istihsan dalam Lintas Mazhab
Para ahli hukum berbeda pandangan dalam menanggapi masalah sejauh mana
validitas kehujjahan istihsan dalam beristimbathil hukm, sesuai dengan latar belakang
keilmuan masing-masing.
1. Golongan Yang Menerima penggunakan Istihsan Sebagai Hujjah 4 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo: Maktabah Dar al-Qalam, 1978), h. 79.
5 Ma’shum zein, Ilmu Ushul…, h. 107.
6 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz II, Cet Ke-III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). h.
737.
4
Menurut Syarkishi, ulama yang menggunakan istihsan adalah dari kalangan
Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, meskipun mereka berbeda dalam memberikan
istilah dan rincian macamnya.7 Ketiga kalangan ini berpendapat bahwa istihsan dapat
digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.
Al-Taftazani menyatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang
disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nash, atau
kepada ijma’, atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi. 8
a. Kehujjahan Istihsan Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat
dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu
pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Maliki sering berfatwa dengan menggunakan
istihsan.9
Fiqh Maliki merupakan fiqh yang sangat memperhatikan kaidab-kaidah
umum (al-qawaid al-ammat) dan dasar-dasar yang universal (al-ushul al-kulliyat)
karena kaidah-kaidah itu bersifat qath’i (tegas, pasti). Dan karena dalil-
dalil ‘aqli (dalil-dalil yang dihasilkan oleb akal manusia) yang memberi
faedah qath’i menjadi tidak qath’i dengan sendirinya, maka cara sampai
kepada qath’i adalah melalui induksi.
Dengan demikian maka kaidah istihsan dalam hubungannya dengan dalil fiqh
merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dan sejumlah
dalil nash yang saling dukung mendukung kepada suatu pengertian yang memberi
faedah qath’i. Oleh karena itu kaidah istihsan itu merupakan kaidah umum yang
ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik dali lafazh itu, diterapkan
7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet ke 4, (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 315.
8 al-Taftazani, Syarh al-Talwih ala Taudhih, Juz. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, t.t.), h.
82.
9 Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 112.
5
kepada setiap peristiwa yang ada relevansinya dan ditetapkan hukumnya dengan
memasukkannya ke dalani kategori obyek yang umuni itu, jika peristiwa itu
merupakan masalah khusus.10
b. Kehujjahan Istihsan Hanafiah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan
istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang
menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa
kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan menyangkut dengan istihsan.11
Jadi, dari ketiga kalangan yang telah disebutkan, yang lebih banyak menggunakan
istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa
menggunakan istihsan lebih baik daripada qiyas.12
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bias menjadi dalil
syarak. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang
ditetapkan oleh qiyas atau umum nash. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat
dijadikan dalil (hujjah).13
c. Kehujjahan istihsan Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui
adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan
tetapi, al-Jalal al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa
istihsan diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk
di dalamnya golongan Hanabilah.14
d. Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum istihsan10 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994). h.
31-33.
11 Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.
12 Amir Syarifuddin, Ushul…, h. 315.
13 Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiy (Beirut: Dar al-Nahdhat
al-‘Arabiyah, t.t.), h. 594.
6
Adapun dalil-dalil yang menjadikan pegangan ke tiga golongan pendapat ini
adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Firman Allah:
“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya.” (Q.S. Az-Zumar: 55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah.
“Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan
kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S Az-Zumar:
17-18)
Menurut mereka, ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
2. Berdasarkan hadits Nabi saw:
14 Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.
7
فهو )ا ئ سي رأوا وما حسن ه الل عند فهو )ا حسن المسلمون رأى فما
ئ سي ه الل عند“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik”.(H.R. Ahmad)
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
3. Berdasarkan ijma’:
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa
masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
- Bolehnya masuk ke dalam hammam. tanpa ada penetapan harga tertentu,
penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di
muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.15
2. Golongan Yang Menolak Penggunaan Istihsan Sebagai Hujjah
Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jail kepada qiyas kafi atau beralih
pada kepada adat kebiasaan, merupakan masalah yang controversial, yang dengan
sendirinya menjadi kurang kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’I
termasuk ulama paling keras menolak isithsan dalam bentuk ini.
Kalangan ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip,
demikian pula ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah. Karena mereka
tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka pun menolak istihsan karena
kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari
qiyas.
15 Saifuddin al-Hasan ‘Alim al-Amidi, al-Ahkam Fi Ushulil Ahkam, Juz: II, (Kairo: Muassisah
al-Halabiy, 1937), h. 892.
8
Di antara argument para ulama yang menolak istihsan (selain argumen
penolakan Syafi’i) adalah sebagai berikut.
a. Yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang
ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang diqiyaskan
dngan hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan
berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan
manusia bukan hukum syar’i. hukum semacam ini didasarkan atas kehendak
dan selera nafsu. Umat Islam tidak disuruh mengikuti hukum dari nafsu
tersebut.
b. Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian dari
hukum itu ditetapkan dengan nash Kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan
Nabi. Ada pula isyarat dari nash untuk mengikuti hukum yang ditetapkan ulil
amri itu adalah ijma’, yaitu ketetapan tentang hal yang disepakati. Sedangkan
dalam hal yang diperdebatkan, disuruh untuk menghubungkannya kepada
nash yang ada yaitu melalui qiyas. Tidak boleh beralih dari hukum yang
dituntut oleh nash atau qiyas kepada pendapat berdasarkan istihsan, karena
yang demikian berarti mendahulukan hukum yang ditetapkan akal ketimbang
hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’.16
C. Imam Al-Syafi’i dan Istihsan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam al-
Syafi’i merupakan salah seorang ulama yang menetang dengan keras istihsan sebagai
metode dalam beristinbath hukum. Penolakannya itu tercermin dari perkataanya yang
masyhur yaitu:
ع شر فقد استحسن من“Siapa saja yang menetapkan suatu hukum dengan dasar istihsan, berarti ia
membuat hukum syaria’ah yang baru.”
16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 315.
9
Imam Syafi’i juga menyatakan dengan tegas bahwa, tidak seorang pun
berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak
seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan).
Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru
yang tidak mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya.17
Dari perkataan al-Syafi’i di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan istihsan adalah pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan (al-
khabar) dari salah satu empat dalil syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil
dari al-khabar itu secara lafal dan juga tidak diambil dari logikanya secara qiyas,
serta tidak ada ijma’ pada hukum tersebut, maka fatwa itu dinamakan istihsan, karena
tidak bersandarkan kepada al-khabar baik secara (langsung kepada) nash maupun
secara istinbath. Fatwa itu hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya dan
dengan kecenderungan perasaannya, tanpa berdalil kepada suatu aI-khabar dan tanpa
mempertanggungkan kepada al-khabar itu.
Menurut Imam Syafi’i, haram bagi seseorang yang berpendapat
dengan istihsan, apabila istihsan itu bertentangan dengan al-khabar. Sedang, al-
khabar yang terdiri atas Kitab dan sunnah adalah sesuatu yang berharga yang diteliti
maknanya oleh mujtahid untuk memperoleh pengertiannya yang benar. Mujtahid itu
bisa memahami al-khabar dengan qiyas dan seorang pun tidak boleh mengemukakan
pendapat kecuali dari segi ijtihad. Dan ijtihad adalah upaya mencari kebenaran. Maka
dengan demikian tidak boleh seseorang mengatakan, aku menganggap baik, tanpa
melakukan qiyas.18
Seandainya, qiyas boleh diingkari, maka boleh juga bagi orang yang bukan
ahli ilmu berpendapat dengan sesuatu yang tidak ada nash dengan istihsan yang
mereka gunakan. Padahal sebenarnya pendapat yang tidak berdasarkan kepada al-17 Imam al-Syafi’i, al-Risalah, (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1940), h. 25.
18 Ibid., h. 503-505.
10
khabar dan qiyas tidak sah karena tidak bersumber kepada al-Quran, sunnah,
dan qiyas. Banyak nash, baik a1-Quran maupun hadits yang melarang berpendapat
yang tidak disandarkan kepada al-khabar. Karena sesungguhnya apabila Nabi SAW
menyuruh melakukan ijtihad, maka ijtihad selalu berdasarkan suatu tuntutan. Dan
menuntut sesuatu harus berdasarkan dalil-dalil, sedangkan dalil-dalil itu adalah qiyas.
Sedangkan dalam istihsan tidak terdapat qiyas.
Selanjutnya Imam Syafi’i memberikan contoh dengan mengatakan, bahwa
seseorang yang tidak mengerti masalah harga seorang budak, maka tidak boleh
dimintakan menetapkan harga seorang budak laki-laki atau harga seorang budak
perempuan. Demikian juga kepada orang yang tidak mengerti masalah upah pekerja
tidak boleh dimintakan menetapkan upah pekerja. Sebab, apabila ia menetapkan
harga budak tidak sesuai dengan dalalat (petunjuk) harganya atau menetapkan upah
pekerja tidak sesuai dengan dalalat upahnya, berarti ia bentindak sembarangan.
Oleh karena itu, menurutnya lebih lanjut, menyimpulkan hal-hal yang kecil
seperti itu saja tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, apalagi masalah halal dan
haram yang merupakan ketentuan Allah maka tidak boleh ditetapkan secara
sembarangan dan secara istihsan. Yang demikian, tidak lain daripada mencari
enaknya saja (talazzuz).
Dengan demikian, maka selain Rasulullah tidak ada seorang pun yang berhak
mengemukakan pendapat kecuali berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di
atas. Orang tidak boleh berpendapat dengan “apa yang dianggapnya baik”, karena
pendapat dengan apa yang dianggapnya baik” adalah sesuatu yang dibuat-buatnya
bukan berdasarkan tradisi atau contoh yang telah ada.19
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwasa Imam Syafi’i
menghubungkan istihsan dengan semua fatwa yang tidak disandarkan kepada al-
khabar, baik secara langsung kepada nash maupun dengan cara menghubungkan
19 Ibid., h. 21.
11
kepada nash dengan cara qiyas. Atau dengan kata lain bahwa istihsan merupakan
metode istinbath hukum yang tidak berdasarkan kepada al-Quran atau sunnah
atau ijma’ atau atau qiyas. Dengan demikian, maka tidak mengherankan kalau Imam
Syafi’i menolak istihsan sebagai dalil syarak dan beliau mengkritik keras istihsan
tersebut.
Berkaitan dengan penolakannya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan
beberapa argumen, diantaranya adalah:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)?”(Q.S. Al-Qiyamah: 35)
Dalam menanggapi ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa Allah tidak
membiarkan begitu saja kepada manusia dengan sia-sia, tetapi Allah memerintahkan
sesuatu kepadanya dan melarang sesuatu bahkan menjelaskan kedudukan perintah
dan larangan tersebut melalui ayat-ayat al-Qur’an lain yang telah diturunkan kepada
nabi-Nya secara qath’iy.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59)
Dalam menanggapi maksud yang terdapat di dalam ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat ini berisi:
12
- Anjuran untuk selalu mengembalikan segala penyelesaiannya kepada al-Qur’an dan hadits, sedang istihsan bukan al-Qur’an dan bukan pula hadits.
- Tidak ada anjuran untuk mengembalikan persoalan kepada istihsan, sehingga istihsan tidak dapat dianggap sebagai hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum syara’.20
D. Jenis-jenis Istihsan
Dengan adanya definisi dan pandangan para ahli tentang istihsan, maka dapat
dipahami bahwa istihsan dapat dilihat dari dua sisi, yang masing-masing sisi dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk:
1. Dilihat Dari Sisi Hubungan Antara Qiyas Dan Istihsan
Dari sisi ini, istihsan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Qiyas Jali. Qiyas ini terbagi lagi menjadi 6, yaitu:
- Qiyas bi al-Ta’tsir, yaitu qiyas dengan efek penetapan hukum yang lemah
jika dibandingkan dengan istihsan sebagai pembandingannya.
- Qiyas yang secara lahiriyyah lemah dan batal, tetapi jika dilakukan
penelitian secara cermat, ditemukan adanya keabsahan atau ditemukan ada
efek penetapan hukum, lantaran adanya hal-hal yang tersembunyi yang
menjadikannya sebagai landasan dari penetapan hukum tersebut.
b. Istihsan, hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:
- Istihsan bi al-Ta’tsir, yaitu istihsan dengan efek penetapan hukum yang
lebih kuat, sekalipun tersembunyi.
- Istihsan yang secara lahiriyah terlihat efek penetapan hukumnya, sekalipun
jika dicermati ditemukan sisi ketidak-absahan yang tersembunyi.21
20 Wahbah, Ushul…, h. 749.
21 Al-Badawiy, Abu Husain Ali bin Muhammad bin Husain, Ushul al-Bazdawiy, Juz: IV,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiy, t.t.), h. 2-4.
13
Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi fokus
persoalannya hanya terdapat pada efek penetapan hukumnya (ta’tsir), bukan pada
aspek lahir dan tersembunyinya, artinya jika efek penetapan hukum qiyasnya itu
sangat kuat, maka yang harus diperioritaskan adalah istihsan.
Adapun contoh kasusnya adalah kasus air sisa minuman burung buas dan
kasus sujud Tilawah di tengah-tengah bacaan al-Qur’an dalam shalat.
2. Dilihat Dari Sisi Pengambilan Dalilnya
Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya, hal ini diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu:
a. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafiy, yaitu penentuan hukum melalui penelitian,
karena dala kasus ini ditemukan dua dalil (baik al-Qur’an maupun hadits)
yang masing-masing dalil mempunyai konsekuwensi hukum tersendiri, lalu
penentuan hukumnya harus dilakukan pentarjihan pada dalil yang dianggap
lebih sesuai dengan persoalan tersebut, lantaran memiliki dampak penetapan
hukum (ta’tsir) yang lebih kuat. Jika demikian, maka istihsan mengambil
jalan memperioritaskan qiyas khafi berdasarkan nash.22
Adapun contoh kasusnya dalam sisi ini adalah wakaf tanah pertanian dan
kasus perbedaan besar kecilnya harga barang yang belum diserah terimakan.
b. Istihsan bi al-Nash, yaitu penetapan hukum berdasarkan pada prinsip dasar
universal yang sudah ditangkap oleh dalil yang cakupannya kulliy, lantaran
secara spesifik (juz’iyyah) terdapat nash, baik al-Qur’an maupun hadits yang
menyalahi kaidah umum tersebut. Jika demikian, maka istihsan mengambil
jalan memperioritaskan ketetapan hukum spesifik daripada hukum kulliy
berdasarkan dalil.23
22 Khallaf, Ilmu Ushul…, h. 81.
23 Wahbah, Ushul…, h.743.
14
Adapun contohnya istihsan dengan al-Qur’an adalah kasus wasiat kepada ahli
waris dan kasus nazar mensedekahkan harta. Adapun contoh istihsan hadits yaitu
kasus kelupaan orang berpuasa makan dan minum, dan kasus transakasi pemesanan
barang.
c. Istihsan bi al-Ijma’, yaitu aqwal atau fatwa sahabat tentang suatu hukum
dalam kasus-kasus kontemporer yang secara lahiriyyah bertentangan dengan
hasil penetapan qiyas atau kaidah kulliy, atau memang mereka bersikap tidak
mengingkarinya jika hal tersebut dilakukan oleh publik.
Contohnya adalah kasus kontrak kerja pertukaran barang dengan imbalan jasa.
d. Istihsan bi al-Dharuriy, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah umum akan
dipastikan berdampak munculnya kesulitan, dan untuk menghilangkannya,
diberlakukanlah pengecualian berdasarkan dharurat.
Contohnya adalah kasus pencucian sumur atau kamar mandi yang terkena
najis dengan menguras sebagian atau keseluruhan air.
e. Istihsan bi al-Mashlahah, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah umum akan
berakibat munculnya kerugian (mafsadah) atau tidak tercapainya
kemashlahatan yang sudah menjadi tujuannya. Untuk menghilangkannya,
dipakailah istihsan dengan melakukan hukum yang dimungkinkan dapat
mewujudkan kemashlahatan.
Adapun contohnya adalah kasus pemberian zakat pada bani Hasyim, garis
keturunan Rasulullah.
f. Istihsan bi al-‘Urf, yaitu penerapan qiyas atau kaidah kulliy berdasarkan
tradisi yang sudah berlaku secara umum, seperti kasus penyediaan toilet,
tanpa ada kepastian berapa lama dan berapa banyak air yang dipergunakan
dengan imbalan pembayaran tarif yang telah ditentukan, dan ketentuan ini
sudah berlangsung lama dari masa ke masa dan tidak ada seorangpun dari ahli
hukum islam yang mengingkarinya.24
24 Muhammad Mushthafa Syalbiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Maktabah Dar al-Nadhlah al-
Arabiyyah, 1986), h. 274-278.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru
yang dihasilkan melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan
sebelumnya karena adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut
kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di
dalamnya.
2. Kalangan yang menerima istihsan sebagai hujjah terdiri dari Malikiyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah. Adapun kalangan yang menolak istihsan sebagai
hujjah adalah terutama Imam Syafi’i, mazhab Zhahiriyah, ulama Syi’ah dan
sebagian ulama kalam Mu’tazilah.
3. Imam Syafi’i adalah seorang penentang keras istihsan. Beliau menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah pendapat yang tidak
bersandarkan kepada keterangan (al-khabar) dari salah satu empat dalil
syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i
tidak menggunakan istihsan sebagai hujjah, melainkan menentang keras
penggunaan istihsan sebagai hujjah.
4. Istihsan jika dilihat dari sisinya terbagi 2, yaitu:
1. Dilihat dari sisi hubungan antara qiyas dan istihsan.
16
2. Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya yang terdiri dari istihsan bi al-qiyas
al-khafiy, istihsan bi al-nash, istihsan bi al-ijma’, istihsan bi al-dharuriy,
istihsan bi al-mashlahah, dan istihsan bi al-‘urf.
17