PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

24
PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK I. TINJAUAN UMUM Tujuan terapi obat adalah untuk mencegah, menyembuhkan, atau mengendalikan berbagai stadium penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang memadai harus tertuju kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (terapi tidak toksik) diperoleh. Farmakokinetik mengevaluasi pergerakan obat di dalam tubuh selama kurun waktu tertentu. Kerja farmakologi, seperti halnya toksikologi obat, terutama terkait dengan konsentrasi obat di dalam plasma. Oleh sebab itu, dokter harus mengetahui kecepatan awitan kerja obat, intensitas efek obat, dan durasi kerja obat yang bersandar pada empat jaras fundamental pergerakan dan modifikasi obat di dalam tubuh (Gambar 1.1). Pertama, absorpsi obat dari lokasi pemberian (Absorpsi) merupakan pintu masuk agen/zat terapeutik tersebut (secara langsung atau tidak langsung) menuju plasma. Kedua, kemudian obat tersebut secara reversibel meninggalkan aliran darah dan menyebar ke dalam cairan interstisial dan intraseluler (Distribusi). Ketiga, obat tersebut dimetabolisme oleh hati, ginjal, atau jaringan lainnya (Metabolisme). Akhirnya, obat tersebut dan zat metabolitnya dieliminasi dari tubuh dalam urine, empedu, atau tinja (Eliminasi). Bab ini memberikan pengetahuan tentang pengaruh keempat proses tersebut (Absorpsi, Distribusi, Metabolime, dan Eliminasi) . terhadap keputusan dokter mengenai cara pemberian obat tertentu, jumlah dan frekuensi masing-masing dosis, serta rentang/interval dosis. II. RUTE PEMBERIAN OBAT Rute/cara pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan di dalam air atau lipid, ionisasi, dan sebagainya) dan tujuan terapi (misalnya, harapan suatu awitan kerja

Transcript of PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

Page 1: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

PENGENALAN FARMAKOLOGI

FARMAKOKINETIK

I. TINJAUAN UMUM

Tujuan terapi obat adalah untuk mencegah,

menyembuhkan, atau mengendalikan berbagai

stadium penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis

obat yang memadai harus tertuju kepada jaringan

target sehingga kadar terapeutik (terapi tidak toksik)

diperoleh. Farmakokinetik mengevaluasi pergerakan

obat di dalam tubuh selama kurun waktu tertentu.

Kerja farmakologi, seperti halnya toksikologi obat,

terutama terkait dengan konsentrasi obat di dalam

plasma. Oleh sebab itu, dokter harus mengetahui

kecepatan awitan kerja obat, intensitas efek obat, dan

durasi kerja obat yang bersandar pada empat jaras

fundamental pergerakan dan modifikasi obat di dalam

tubuh (Gambar 1.1). Pertama, absorpsi obat dari lokasi

pemberian (Absorpsi) merupakan pintu masuk

agen/zat terapeutik tersebut (secara langsung atau

tidak langsung) menuju plasma. Kedua, kemudian

obat tersebut secara reversibel meninggalkan aliran darah dan menyebar ke dalam cairan

interstisial dan intraseluler (Distribusi). Ketiga, obat tersebut dimetabolisme oleh hati, ginjal,

atau jaringan lainnya (Metabolisme). Akhirnya, obat tersebut dan zat metabolitnya dieliminasi

dari tubuh dalam urine, empedu, atau tinja (Eliminasi). Bab ini memberikan pengetahuan

tentang pengaruh keempat proses tersebut (Absorpsi, Distribusi, Metabolime, dan Eliminasi).

terhadap keputusan dokter mengenai cara pemberian obat tertentu, jumlah dan frekuensi

masing-masing dosis, serta rentang/interval dosis.

II. RUTE PEMBERIAN OBAT

Rute/cara pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan di dalam air

atau lipid, ionisasi, dan sebagainya) dan tujuan terapi (misalnya, harapan suatu awitan kerja

Page 2: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

obat yang cepat, atau kebutuhan akan pemberian jangka

panjang atau terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat

dua rute utama pemberian obat, enteral dan parenteral.

(Gambar 1.2 menggambarkan subkategori rute

pemberian ini dan metode pemberian obat lainnya.)

A. Enteral

Pemberian enteral, atau pemberian obat melalui

mulut, adalah cara yang paling sederhana dan paling

sering dilakukan dalam pemberian obat. Ketika

diberikan melalui mulut, obat bisa ditelan atau

diletakkan pada bawah I idah sehingga memudahkan

absorpsi langsung ke dalam aliran darah.

1. Oral: Pemberian obat melalui mulut memberi

banyak keuntungan bagi pasien; obat oral mudah diberikan dan dapat membatasi

jumlah infeksi sistemis yang dapat mempersulit tata laksana. Selain itu, toksisitas atau

overdoses karena pemberian oral dapat diatasi dengan pemberian antidot, seperti arang

aktif. Di pihak lain, jaras yang terlibat dalam absorpsi obat adalah yang terumit, dan

obat terpapar dengan kondisi pencernaan saluran

cerna yang kasar sehingga absorpsi terbatas.

Beberapa obat diabsorpsi mulai dari lambung;

namun, duodenum merupakan pintu masuk utama

menuju sirkulasi sistemis karena permukaan

absorbsinya lebih besar. Sebagian besar obat yang

diabsorbsi dari saluran cerna masuk menuju

sirkulasi portal dan hati sebelum terdistribusi ke

dalam sirkulasi umum. Obat-obat tersebut

mengalami metabolisme lintas-pertama (first-pass

metabolism) di dalam hati, tempat obat-obat

tersebut mungkin dimetabolisme secara ketat

sebelum memasuki sirkulasi sistemis (Gambar

1.3). [Catatan: Metabolisme lintas-pertama oleh

usus atau hati membatasi manfaat banyak obat

yang diminum per oral. Sebagai contoh, lebih dari 90% nitroglycerin dilarutkan hanya

Page 3: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

dalam satu kali lintasan melalui hati, yang menjadi alasan utama bahwa obat ini tidak

diberikan per oral.] Obat-obatan yang mengalami tingkat metabolisme lintas-pertama

yang tinggi harus diberikan dalam jumlah yang memadai untuk memastikan

kecukupan zat aktif obat mencapai organ target. Pemberian obat bersama makanan,

atau dikombinasi dengan obat-obatan lain, dapat memengaruhi absorpsi. Keberadaan

makanan dalam lambung memperlambat waktu pengosongan lambung sehingga obat

yang dihancurkan oleh asam (misalnya, penicillin) menjadi tidak dapat diabsorbsi

(lihat hlm. 432). [Catatan: Salut enterik obat melindungi obat dari lingkungan yang

asam; salut tersebut mencegah iritasi oleh lambung dan pelepasan obat bisa

diperpanjang, tergantung formulasinya, yang menghasilkan suatu efek lepas-lambat.]

2. Sublingual : Penempatan bawah lidah menyebabkan obat tersebut berdifusi dalam

anyaman kapiler sehingga secara langsung masuk menuju sirkulasi sistemis.

Pemberian suatu obat secara sublingual mempunyai beberapa keuntungan, yakni

absorpsinya cepat, kenyamanan pemberian, kejadian infeksi yang rendah, terhindar

dari lingkungan pencernaan yang kasar dan metabolisme lintas-pertama.

B. Parenteral

Rute parenteral menghantarkan obat langsung melewati sawar pertahanan tubuh menuju

sirkulasi sistemis atau jaringan bervaskular. Pemberian secara parenteral digunakan untuk

obat yang terabsorbsi buruk melalui saluran cerna (misalnya, heparin) dan obat yang tidak

stabil dalam saluran cerna (misalnya, insulin). Pemberian parenteral juga digunakan untuk

pasien yang tidak sadar dan berada dalam keadaan yang memerlukan awitan kerja obat

yang cepat. Selain itu, rute ini memiliki bioavailabilitas yang tertinggi dan tidak terpapar

metabolisme lintas-pertama atau lingkungan pencernaan yang kasar. Pemberian parenteral

memberi kendali terbaik terhadap dosis obat yang sesungguhnya dalam tubuh. Meskipun

demikian, rute ini bersifat ireversibel dan dapat menyebabkan nyeri, ketakutan, dan

infeksi. Tiga rute parenteral yang utama adalah intravaskular (intravena atau intraarteri),

intramuskular, dan subkutan (lihat Gambar 1.2). Masing-masing rute mempunyai

kelebihan dan kekurangan.

1. Intravena (IV) : Suntikan adalah rute pemberian parenteral tersering. Obat yang tidak

terabsorbsi per oral, seperti pelumpuh neuromuskular atracurium, sering kali tidak ada

pilihan lain. Dengan pemberian IV, obat tidak melewati saluran cerna sehingga

terhindar dari metabolisme lintas-pertama oleh hati. Pemberian intravena

menimbulkan suatu efek yang cepat dan kendali maksimal atas kadar obat dalam

sirkulasi. Namun, berbeda dengan obat yang terdapat di dalam saluran cerna, obat-

Page 4: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

obatan yang disuntikkan tidak dapat dikeluarkan kembali dengan cara-cara seperti

dimuntahkan atau diikat dengan arang aktif. Suntikan intravena secara tidak sengaja

dapat menyertakan bakteri melalui kontaminasi pada lokasi suntikan. Suntikan

intravena juga dapat memicu hemolisis atau menyebabkan efek samping lainnya

karma distribusi obat yang berkonsentrasi tinggi ke dalam plasma dan jaringan terlalu

cepat. Oleh sebab itu, kecepatan masuk obat harus dikendalikan secara hati-hati.

Perhatian yang sama juga harus diberikan untuk obat-obatan yang disuntikkan secara

intra-arteri.

2. Intramuskular (IM) obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berbentuk

larutan yang mengandung air atau preparat depo khusus—sering berupa suspensi obat

dalam vehikulum non-berair, seperti polietilen glikol. Absorbsi obat-obatan dalam

larutan berair berlangsung cepat, sedangkan absorbsi preparat-preparat depo

berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, zat obat mengendap

pada lokasi suntikan. Kemudian obat larut perlahan-lahan sehingga dosis yang

diberikan bertahan dalam waktu yang lebih lama. Contohnya adalah obat suntik

haloperidol decanoate lepas lambat (lihat hlm. 181), berdifusi lambat dari otot dan

menghasilkan suatu efek neurolepsis yang lama.

3. Subkutan (SC) : Rute pemberian ini, seperti halnya suntikan intramuskular,

memerlukan absorbsi dan agak lebih lambat dibanding rute intravena. Suntikan

subkutan mengurangi risiko yang berhubungan dengan suntikan intravaskular.

[Catatan: Sejumlah kecil epinefrin kadang-kadang dikombinasikan dengan suatu obat

untuk membatasi area kerja obat tersebut. Epinefrin bekerja sebagai suatu

vasokonstriktor lokal dan mengurangi pelepasan obat, seperti lidocaine, dari lokasi

pemberian]. Contoh-contoh lain meliputi obat berbahan padat, seperti batang tunggal

yang mengandung kontrasepsi etonogestrel, yang diimplantasi untuk aktivitas jangka

panjang (lihat h1m. 359), dan juga pompa mekanis terprogram yang dapat

diimplantasi untuk melepas insulin pada penderita diabetes melitus.

C. Lain-lain

1. Inhalasi : Inhalasi memfasilitasi penyebaran obat secara cepat melewati area

permukaan membran mukosa saluran pernapasan dan epitel paru yang luas sehingga

menghasilkan efek yang hampir sama cepatnya dengan efek yang dihasilkan oleh

pemberian obat secara intravena. Rute pemberian ini digunakan untuk obat-obatan

berbentuk gas (misalnya, beberapa obat anestetik) atau obat-obatan yang dapat

didispersi ke dalam aerosol. Rute ini terutama efektif dan menyenangkan bagi

Page 5: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

penderita-penderita dengan keluhan-keluhan pernapasan (seperti asma atau penyakit

paru obstruktif kronis) karena obat diberikan secara langsung pada lokasi kerjanya dan

memiliki efek samping sistemis yang minimal. Contoh obat-obatan yang diberikan

melalui rute ini meliputi albuterol dan kortikosteroid, seperti fluticasone.

2. Intranasal: Ini merupakan rute pemberian obat secara langsung ke dalam hidung.

Obat-obatan tersebut meliputi dekongestan nasal, seperti kortikosteroid anti-inflamasi

mometasone furoate. Desmopressin diberikan secara intranasal pada pengobatan dia-

betes insipidus; calcitonin salmon, suatu hormon peptida yang digunakan dalam

pengobatan osteoporosis, juga tersedia dalam bentuk semprot hidung. Obat yang

disalahgunakan, cocaine, biasanya digunakan dengan cara diendus melalui hidung.

3. Intratekal/intraventrikular: Terkadang, obat perlu diberikan secara langsung ke

dalam cairan serebrospinal. Misalnya, amphotericin B digunakan dalam mengobati

meningitis kriptokokal (lihat h1m. 486).

4. Topikal: Pemberian topikal digunakan bila suatu efek lokal obat diinginkan.

Misalnya, clotrimazole, yang dipakai dalam bentuk krim yang dioles langsung pada

kulit untuk mengobati dermatofitosis, dan tropicamide atau cyclopentolate, yang

dipakai (diberikan tetes demi tetes) secara langsung pada rnata untuk mendilatasikan

pupil dan memudahkan pengukuran kelainan refraksi.

5. Transdermal: Rute pemberian ini mencapai efek sistemis melalui kulit, biasanya

berupa suatu koyok transdermal. Kecepatan absorbsi sangat bervariasi, tergantung

sifat-sifat fisik kulit pada lokasi pemberian. Rute pemberian ini paling sering

digunakan untuk pemberian obat tertentu, seperti obat antiangina nitroglycerin,

antiemetik scopolamine, dan koyok kontraseptif sekali seminggu (Ortho Evra) yang

memiliki efek serupa dengan pil pencegah kehamilan per oral.

6. Rektal : Lima puluh persen aliran darah rektum memintas sirkulasi portal; dengan

demikian, biotransformasi obat oleh hati menjadi berkurang. Seperti halnya rute

sublingual, rute rektal mempunyai keuntungan tambahan, yaitu terhindar dari

penghancuran obat oleh enzim usus atau tingkat pH yang rendah di dalam lambung.

Rute rektal juga berguna jika obat menginduksi muntah ketika diberikan per oral, atau

jika pasien muntah-muntah; atau jika pasien tidak sadar. [Catatan: Rute rektal sering

digunakan pada pemberian obat antimuntah.] Namun, absorpsi pemberian melalui

rektum sering kali berubah-ubah dan tidak sempurna, serta banyak obat mengiritasi

Page 6: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

mukosa rektum.

III. ABSORBSI OBAT

Absorbsi adalah pemindahan obat dari lokasi pemberian menuju aliran darah. Kecepatan dan

efisiensi absorbsi tergantung cara pemberiannya. Untuk pemberian intravena, absorbsi

berlangsung sempurna karena dosis total obat mencapai sirkulasi sistemis. Pemberian obat

dengan rute lain hanya bisa menghasilkan absorbsi parsial sehingga menurunkan

bioavailabilitas. Sebagai contoh, suatu obat memerlukan cairan saluran cerna agar terlarut dan

kemudian menembus sel-sel epitel mukosa usus, tetapi keadaan penyakit atau keberadaan

makanan bisa memengaruhi proses ini.

A. Pengakutan obat dari saluran cerna

Tergantung sifat-sifat kimiawinya, obat terabsorbsi dari saluran cerna melalui difusi pasif

atau transpor aktif.

1. Difusi pasif : Tenaga penggerak absorbsi pasif

suatu obat adalah perbedaan konsentrasi antar

membran pemisah dua kompartemen tubuh; jadi,

obat tersebut bergerak dari satu bagian lain yang

berkonsentrasi tinggi menuju bagian

berkonsentrasi rendah. Difusi pasif tidak

melibatkan suatu karier, tidak tersaturasi, dan

kurang menunjukkan spesifisitas struktur. Se-

bagian besar obat masuk ke dalam tubuh melalui

mekanisme ini. Obat-obat larut-lemak mudah

melintasi sebagian besar membran biologis karena

kelarutannya di dalam lapisan ganda membran

(membrane bilayers). Obat-obatan larut-air

menembus membran sel melalui saluran atau pori-

pori berair (Gambar 1.4). Obat-obat lain dapat

masuk ke dalam sel melalui protein karier

transmembran yang khusus, yang memuclahkan

perlintasan molekul besar. Protein karier ini

mengalami perubahan struktur yang menyebabkan obat atau molekul endogen

memasuki bagian interior berbagai sel, memindahkan obat atau molekul tersebut dari

bagian yang berkonsentasi tinggi menuju bagian yang berkonsentrasi rendah. Proses

Page 7: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

ini dikenal sebagai difusi terfasilitasi. Tipe difusi ini tidak memerlukan energi, dapat

tersaturasi, dan mungkin dapat dihambat.

2. Transpor aktif : Cara ini juga melibatkan protein-protein karier spesifik yang

terentang pada membran sel. Sejumlah kecil obat yang memiliki struktur mirip

metabolit-i-netabolit alamiah ditranspor secara aktif melewati membran sel

menggunakan protein-protein karier khusus ini. Transpor aktif bergantung pada energi

dan diatur oleh hidrolisis adenosin trifosfat (Iihat gambar 1.4). Tranpor aktif mampu

memindahkan obat dengan melawan gradien konsentrasi yaitu dari bagian

berkonsentrasi rendah menuju bagian berkonsentrasi lebih tinggi. Proses ini

menunjukkan kinetik saturasi untuk karier tersebut, seperti halnya reaksi katalisasi

enzim yang menunjukkan kecepatan maksimum pada kadar substrat yang tinggi ketika

semua situs aktifnya telah terisi substrat.'

3. Endositosis dan eksositosis : Cara ini memindahkan obat-obat yang berukuran sangat

besar melintasi membrane sel. Endositosis merupakan pengambilan molekul obat oleh

membran dan transpor ke dalam sel dengan cara mencengkeram vesikel yang terisi

obat. Eksositosis adalah kebalikan dari endositosis dan digunakan oleh sel untuk

menyekresi berbagai zat melalui proses pembentukan vesikel sejenis. Misalnya,

vitamin B 12 ditranspor melintasi dinding usus secara endositosis. Neurotransmiter

tertentu (misalnya, norepinefrin) disimpan di dalam vesikel terikat-membran pada

ujung saraf dan dilepas secara eksositosis.

B. Efek pH pada absorbsi obat

Sebagian besar obat berupa asam lemah atau basa lemah. Obat-obatan yang bersifat asam

(HA) melepaskan sebuah ion H+ yang menyebabkan sebuah anion bermuatan (A

-)

membentuk:2

Basa lemah (BH+) juga dapat melepaskan sebuah H

+. Namun, bentuk obat dasar berproton

biasanya bermuatan, dan kehilangan sebuah proton menghasilkan basa tidak bermuatan

(B):

Page 8: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

1. Rute obat tidak bermuatan melalui suatu

membran: Suatu obat lebih mudah melewati

suatu membran bila obat tersebut tidak

bermuatan (Gambar 1.5). Jadi, pada asam

lemah, HA yang tidak bermuatan dapat

menembus melalui membran, sedangkan A-

tidak dapat. Pada basa lemah, senyawa tidak

bermuatan, B, menembus membran sel, tetapi

BH+ tidak. Oleh sebab itu, konsentrasi efektif

bentuk permeabel masing-masing obat pada

lokasi absorpsi ditentukan oleh konsentrasi

relatif bentuk bermuatan dan tidak

bermuatannya. Selanjutnya, rasio antara dua

bentuk ini ditentukan oleh pH pada lokasi

absorbsi dan kekuatan asam-lemah atau basa

lemah yang dinyatakan sebagai nilai pKa

(Gambar 1.6). [Catatan: pKa adalah ukuran

kekuatan interaksi antara suatu senyawa dengan

proton. Makin kecil pKa suatu obat, makin kuat

keasamannya. Sebaliknya, makin tinggi pKa,

makin kuat basanya.] Keseimbangan distribusi

tercapai bila konsentrasi bentuk obat yang

permeabel adalah sama pada seluruh cairan

tubuh. [Catatan: Obat-obatan yang sangat

mudah larut dalam lipid secara cepat menyebrangi membran dan sering masuk ke

dalam jaringan dengan kecepatan yang ditemukan oleh aliran darah.]

Page 9: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

2. Penentuan jumlah obat akan ditemukan pada tiap sisi membran: Hubungan pKa

dan rasio konsentrasi asam-basa terhadap pH dinyatakan dengan persamaan

Henderson-Hasselbalch:3

Persamaan ini berguna dalam menentukan jumlah obat yang akan ditemukan pada tiap

sisi suatu membran, yang memisahkan dua kompartemen yang memiliki pH

berbeda—misalnya, lambung (pH 1,0 sampai 1,5) dan plasma darah (pH 7,4).

[Catatan: Kelarutan dalam lipid dari obat yang tidak terionisasi secara langsung

menentukan laju keseimbangannya.]

C. Faktor-faktor fisik yang memengaruhi absorbsi

1. Aliran darah pada lokasi absorbsi: Aliran darah menuju usus jauh lebih besar

daripada aliran darah yang menuju lambung; jadi, absorbsi dari usus jauh lebih baik

daripada lambung [Catatan: Keadaan syok sangat mengurangi aliran darah yang

menuju ke jaringan subkutan sehingga mengurangi absorbsi pada pemberian SC].

2. Jumlah area permukaan yang tersedia untuk absorbsi : Karena usus memiliki

permukaan yang kaya akan mikrovili, usus mempunyai luas permukaan kira-kira 1000

kali lebih luas dibanding permukaan lambung; Jadi, absorbsi melalui usus lebih

efisien.

3. Lama kontak dengan permukaan absorbsi: Jika suatu obat dalam saluran cerna

bergerak sangat cepat, seperti pada keadaan diare berat, obat tidak diabsorbsi secara

baik. Sebaliknya, segala sesuatu yang memperlambat transpor obat dari lambung

menuju usus akan memperlambat kecepatan absorbsi obat tersebut. [Catatan: Input

parasimpatis meningkatkan kecepatan pengosongan lambung, sedangkan input

simpatis (misalnya, akibat latihan fisik atau perasaan stres) memperpanjang waktu

pengosongan lambung, begitu pula antikolinergik (misalnya, dicyclomine). Selain itu,

keberadaan makanan dalam lambung akan melarutkan obat dan memperlambat

pengosongan lambung. Oleh sebab itu, suatu obat yang diminum bersama makanan,

umumnya, terabsorbsi lebih lambat.]

Page 10: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

IV. DISTRIBUSI OBAT

Distribusi obat merupakan sebuah proses perpindahan suatu obat secara reversibel dari

sirkulasi darah menuju ke interstisium (cairan ekstraseluler) dan/atau sel-sel jaringan.

Perpindahan obat dari plasma menuju interstisial terutama tergantung pada aliran darah,

permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma dan jaringan, dan

sifat hidrofobik relatif obat tersebut.

A. Aliran darah

Kecepatan aliran darah kapiler jaringan sangat bervariasi sebagai akibat distribusi curah

jantung yang tidak sama ke berbagai organ. Aliran darah yang menuju otak, hati, dan

ginjal lebih besar daripada aliran darah yang menuju otot rangka; jaringan adiposa tetap

menclapat aliran darah yang lebih renclah. Perbedaan aliran darah ini turut menjelaskan

durasi singkat hipnosis yang dihasilkan oleh bolus suntikan intravena thiopental (lihat

h1m. 159). Besarnya aliran darah, bersama kelarutan lipid thiopental yang tinggi,

memuclahkan pergerakan yang cepat menuju ke susunan saraf pusat (SSP) dan

menghasilkan efek anestesia. Distribusi yang lebih lambat ke otot rangka dan jaringan

adiposa menurunkan konsentrasi plasma dengan cukup sehingga konsentrasi dalam SSP

yang tinggi menjadi turun dan kesadaran pulih kembali. Meskipun fenomena ini terjadi

pada semua obat hingga derajat tertentu, redistribusi terutama terjadi pada kerja obat

berdurasi sangat singkat, thiopental, dan senyawa yang memiliki sifat kimiawi dan

farmakologi yang serupa.

B. Permeabilitas kapiler

Permeabilitas kapiler ditentukan oleh struktur kapiler dan sifat kimiawi obat tersebut.

1. Struktur kapiler: Struktur kapiler sangat bervariasi dalam hal fraksi membran basalis

yang terpapar oleh taut celah antara sel-sel endotel. Tada otak, struktur kapiler bersifat

kontinu dan tidak ada taut celah antara sel-sel endotel (Gambar 1.8). Berbeda dengan

hati dan limps yang sebagian besar membran basalisnya terpapar akibat putusan-

putusan kapiler yang berukuran besar dapat dilewati protein plasma yang berukuran

besar.

Page 11: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

a. Sawar darah-otak : Untuk memasuki otak,

obat harus melewati sel-sel endotel kapiler

SSP atau ditranspor secara aktif. Misalnya,

pengangkut spesifik untuk asam amino netral

yang berukuran besar mengangkut levodopa

menuju otak. Sebaliknya, obat yang larut-

lipid memenetrasi secara muclah menuju SSP

karena dapat telarut di dalam membran sel-

sel endotel. Obat-obat yang terionisasi atau

yang polar umumnya tidak dapat masuk ke

SSP karena tidak mampu melewati sel

endotel SSP, yang tidak memiliki taut calah.

Sel-sel endotel kapiler pada otak yang

tersusun rapat ini membentuk taut sempit

yang disebut sawar darah otak.

2. Struktur obat: Sifat kimiawi obat sangat

memengaruhi kemampuannya menembus

membran sel. Obat-obat hidrofobik yang

mempunyai distribusi elektron seragam dan tidak

bermuatan mudah bergerak menembus sebagian

besar membran biologis. Obat-obat ini dapat larut

dalam membran lipid sehingga menembus

seluruh permukaan sel. Faktor utama yang

memengaruhi distribusi obat hidrofobik adalah

aliran darah yang menuju area itu. Sebaliknya,

obat-obat hidrofilik, yang mempunyai distribusi

elektron atau muatan positif atau negatif yang

tidak seragam, tidak mudah menembus membran

sel sehingga harus melalui taut celah.

C. Pengikatan obat pada protein plasma

Pengikatan reversibel pada protein plasma menjadikan obat berada dalam bentuk yang

tidak dapat berdifusi dan memperlambat pemindahan keluar obat tersebut dari

kompartemen vaskular. Pengikatan bersifat relatif tidak selektif, seperti struktur kimia,

dan terdapat pada sisi protein tempat senyawa endogen, seperti bilirubin, biasa

Page 12: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

menempel.. Albumin plasma adalah protein pengikat obat yang utama dan dapat bertindak

sebagai reservoir obat; seperti halnya konsentrasi obat bebas berkurang akibat eliminasi

oleh metabolisme atau ekskresi, demikian pula obat yang terikat akan berdisosiasi dari

protein tersebut. Hal ini berguna untuk mempertahankan konsentrasi obat yang konstan di

bebas sebagai suatu fraksi seluruh obat dalam plasma.

V. VOLUME DISTRIBUSI

Volume distribusi adalah suatu volume cairan, yang

secara hipotesis, tempat obat tersebar di dalamnya.

Meskipun volume distribusi tidak mempunyai dasar

fisiologis maupun fisis, kadang-kadang perbandingan

distribusi suatu obat dengan volume-volume

kompartemen cairan dalam tubuh memiliki kegunaan

(Gambar 1.9).

A. Kompartemen cairan dalam tubuh

Begitu obat memasuki tubuh, melalui Rute

pemberian apa pun, obat tersebut memiliki potensi

untuk berdistribusi ke dalam satu dari tiga

kompartemen cairan tubuh yang berbeda atau

terisolasi dalam satu sisi seluler.

1. Kompartemen plasma : Jika suatu obat

memiliki berat molekul yang sangat besar atau

terikat kuat pada protein plasma, obat tersebut

menjadi terlalu besar untuk melalui taut celah

endotel kapiler sehingga mudah terperangkap

dalam kompartemen plasma (vaskular).

Akibatnya, obat tersebut terdistribusi dalam

suatu volume (plasma) yang kira-kira 6% dari

berat badan, atau kira-kira 4 L dari cairan

tubuh pada seorang individu yang memiliki berat badan 70 kg. Heparin (lihat hal.

277) menunjukkan tips distribusi ini.

2. Cairan ektraseluler : Jika suatu obat mempunyai berat molekul yang rendah tetapi

bersifat hidrofilik, obat tersebut dapat bergerak melalui taut celah endotel kapiler

menuju cairan interstisial. Namun, obat-obatan hidrofilik tidak dapat melintasi

Page 13: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

membran lipid sel untuk masuk ke fase cair di dalam sel. Oleh sebab itu, obat-obat ini

terdistribusi ke dalam suatu volume yang merupakan penjumlahan cairan plasma dan

cairan interstisial, Yang bersama-sama membentuk cairan ekstraseluler. jumlah ini

sekitar 20% dari berat badan, atau kira-kira 14 L pada orang dengan berat badan 70

kg. Antibiotika aminoglycoside (lihat h1m. 447) menunjukkan tipe distribusi ini.

3. Cairan tubuh total : Jika suatu obat mempunyai berat molekul Yang rendah dan

bersifat hidrofobik, obat tersebut tidak hanya dapat bergerak melalui taut celah menuju

interstisial, tetapi juga dapat bergerak melalui membran sel menuju cairan intraseluler.

Oleh sebab itu, obat tersebut terdistribusi menuju suatu volume yang berkisar 60%

dari berat badan atau kira-kira 42 liter pada seseorang dengan berat badan 70 kg.

Ethanol menunjukkan volume distribusi ini dengan nyata (lihat bawah).

4. Tempat-tempat lain : Pada kehamilan, janin dapat menyerap obat sehingga

meningkatkan volume distribusi. Obat yang sangat larut-lemak seperti thiopental (lihat

hlm. 159), juga dapat mempunyai volume distribusi yang luar biasa tinggi.

B. Volume distribusi yang nyata

Suatu obat jarang berhubungan dengan hanya satu kompartemen cairan tubuh. Sebaliknya,

sebagian besar obat terdistribusi dalam beberapa kompartemen, Sering kali berikatan

dengan komponenkomponen seluler–misalnya, lipid (berlimpah di dalam adiposit dan

membran sel), protein (berlimpah dalam plasma dan sel) atau asam nukleat (berlimpah

dalam inti sel). Oleh sebab itu, volume tempat obat terdistribusi disebut volume distribusi

yang nyata, atau Vd Dengan kata lain, konstanta ini merupakan koefisien partisi obat

antara plasma dan seluruh tubuh.

1. Penentuan Vd

a. Distribusi obat tanpa adanya eliminasi : Volume

nyata tempat obat terdistribusi (Vd) ditentukan oleh

penyuntikan suatu obat dengan dosis standar yang

mula-mula masuk seluruhnya ke dalam sistem

vaskular. Obat tersebut kemudian bergerak dari

plasma menuju interstisial dan ke sel, menyebabkan

konsentrasi plasma berkurang menurut waktu.

Untuk memudahkan, anggaplah bahwa obat tersebut

tidak dieliminasi dari tubuh; obat tersebut kemudian

mencapai suatu konsentrasi yang sama dan

Page 14: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

clipertahankan sesuai waktu (Gambar 1.10). Konsentrasi di dalam kompartemen

vaskular adalah jumlah total obat yang diberikan dibagi volume tempat obat

terdistribusi, Vd:

C=D/Vd atau Vd = D/C

dengan C = Konsentrasi obat dalam plasma dan D = jumlah total obat dalam tubuh.

Misalnya, jika. 25 mg obat (D = 25 mg) diberikan dan konsentrasi dalam plasma

adalah 1 mg/L, VC, = 25 mg/1 mg/L = 25 L.

b. Distribusi obat bila terdapat eliminasi :

Kenyataannya, obatobat dieliminasi dari tubuh,

dan suatu grafik konsentrasi plasma terhadap

waktu menunjukkan dua fase. Penurunan multi-

multi konsentrasi dalam plasma disebabkan oleh

suatu fase distribusi yang cepat, yaitu obat

ditransfer dari plasma menuju ke interstisial dan

cairan intraseluler. Fase ini diikuti oleh fase

eliminasi yang lebih lambat, yaitu selama obat

meninggalkan kompartemen plasma dan

menghilang dari tubuh, misalnya oleh eliminasi

ginjal atau empedu atau biotransformasi di hati

(Gambar 1.11). Kecepatan eliminasi obat, biasanya,

proporsional dengan konsentrasi obat, C; artinya,

kecepatan eliminasi sebagian besar obat bersifat

first-order dan menunjukkan hubungan yang tinier

terhadap waktu—jika lnC (dengan InC adalah log

C, dari pada C) diekstrapolasi menurut waktu

(Gambar 1.12). Hal ini karena proses eliminasi

tidak disaturasi.

c. Penghitungan konsentrasi obat jika distribusi

bersifat cepat : Anggaplah bahwa proses eliminasi

bermula pada saat penyuntikan dan terns

berlangsung selama fase distribusi. Konsentrasi

obat dalam plasma, C, dapat diperhitungkan

kembali mulai pada waktu nol (saat penyuntikan) untuk menentukan C0 yang

Page 15: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

merupakan konsentrasi obat yang tercapai jika fase distribusi terjadi secara instan.

Misalnya, jika 10 mg obat disuntikkan ke pasien dan konsentrasi plasma yang

diperhitungkan pada waktu nol adalah Co = 1 mg/L (dari grafik yang ditunjukkan

dalam Gambar 1.12), lalu Vd = 10 mg/1 mg/L = 10 L.

d. Distribusi obat yang tidak merata antarkompartemen: Volume distribusi yang

nyata menganggap bahwa obat terdistribusi secara sama dalam suatu kompartemen

tunggal. Namun, sebagian besar obat terdistribusi secara tidak merata dalam beberapa

kompartemen dan volume distribusi tidak memberikan suatu volume fisik yang nyata

tetapi lebih mencerminkan rasio obat dalam ruangan ekstraplasma terhadap ruang

intraplasma. Meskipun demikian, Vd berguna karena dapat cligunakan untuk

mengalkulasi jumlah obat yang diperlukan agar mencapai konsentrasi plasma yang

diinginkan. Misalnya, anggaplah aritmia pada seorang pasien penyakit jantung tidak

terkontrol dengan baik karena kadar digitalis dalam plasma tidak adekuat. Seharusnya,

konsentrasi obat dalam plasma adalah C1 dan kadar digitalis yang diinginkan

(diketahui dari uji klinis) berkonsentrasi lebih tinggi, C2. Dokter perlu tabu jumlah

obat tambahan yang harus diberikan untuk meningkatkan kadar obat dalam sirkulasi

dari C1 menuju C2:

(Vd)(C1) = jumlah obat awal di dalam tubuh

(Vd)(C1) = jumlah obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi

plasma yang diinginkan.

Perbedaan antara kedua nilai tersebut adalah dosis obat tambahan yang diperlukan,

sama dengan Vd (C2–C1).

2. Efek Vd yang besar terhadap waktu-paruh suatu obat

Nilai Vd yang besar berpengaruh penting terhadap waktu-paruh suatu obat karena

eliminasi obat tergantung pada jumlah obat yang sampai ke hati atau ginjal (atau organ-

organ lain tempat metabolisme berlangsung) per satuan waktu. Penghantaran obat menuju

organ-organ penghancur tidak hanya tergantung pada aliran darah, tetapi juga fraksi obat

dalam plasma. Jika Vd suatu obat bernilai besar, sebagian besar obat berada dalam

ruangan ekstraplasma dan tidak berada pada organ-organ ekskresi. Oleh sebab itu, setiap

faktor yang meningkatkan volume distribusi dapat menyebabkan peningkatan waktuparuh

dan memperpanjang lama kerja obat. [Catatan: Vd yang luar biasa besar menunjukkan

adanya isolasi obat dalam beberapa organ atau kompartemen).

Page 16: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

VI. METABOLISME OBAT

Obat paling sering dieliminasi melalui biotransformasi

dan/atau ekskresi ke dalam urine atau empedu. Proses

metabolisme mengubah obat-obat lipofilik menjadi

produk yang bersifat lebih polar dan mudah diekskresi.

Hati adalah lokasi utama metabolisme obat, tetapi obat-

obat tertentu dapat mengalami biotransformasi dalam

jaringan lain, seperti ginjal dan usus. [Catatan: Beberapa

obat, pada awalnya, diberikan dalam. bentuk senyawa

tidak aktif (pro-drug) dan harus dimetabolisme menjadi

bentuk aktif.]

A. Kinetika metabolism

1. Kinetika first-order: Transformasi metabolic

obat dikatalisis oleh enzim-enzim, dan sebagian

besar reaksi mengikuti kinetika Michaelis-

Menten:4

Pada sebagian besar situasi klinis, konsentrasi obat, [C], jauh lebih kecil daripada

konstanta Michaelis, Km, dan persamaan Michaelis-Menten berkurang menjadi,

Jadi, kecepatan metabolisme obat proporsional secara langsung terhadap konsentrasi

obat bebas dan, kinetika first-order terobservasi (Gambar 1.14). Hal ini berarti bahwa

suatu fraksi obat yang konstan dimetabolisme per satuan waktu.

2. Kinetika zero-order: Dosis sejumlah obat, seperti aspirin, ethanol, dan phenytoin,

sangat besar sehingga [C] jauh lebih besar dari Km, dan persamaan kecepatan menjadi:

Enzim dijenuhkan oleh konsentrasi obat-bebas yang tinggi dan kecepatan metabolisme

tetap konstan sepanjang waktu. Ini disebut sebagai kinetika zero-order (atau kadang-

Page 17: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

kadang secara klinis disebut sebagai kinetika non-linier). Suatu jumlah obat yang

konstan dimetabolisme per satuan waktu.

B. Reaksi-reaksi metabolisme obat

Ginjal tidak dapat mengeliminasi secara efisien obat-obat lipofilik yang telah menembus

membran sel dan terabsorbsi kembali di tubulus distal. Oleh sebab itu, obat-obat yang

larut-lipid harus dimetabolisme lebih dahulu di dalam hati dengan menggunakan dua

rangkaian reaksi umum, disebut Fase I dan Fase II (Gambar 1.15).

1. Fase I: Reaksi Fase I berfungsi mengubah molekul lipofilik menjadi molekul yang

lebih polar dengan cara menambah atau membuka gugus fungsional yang bersifat

polar, seperti —OH atau —NH2. Metabolisme Fase I dapat meningkatkan,

mengurangi, atau tidak mengubah aktivitas farmakologis obat.

a. Reaksi Fase I yang menggunakan sistem P450 : Reaksi Fase I yang paling

sering terlibat di dalam metabolisme obat dikatalisis oleh sistem sitokrom P450

(juga disebut fungsi campuran mikrosomal oksidase).

Obat + O2 + NADPH + H+ --> Obat dimodifikasi + H2O + NADP

+

Oksidasi berlangsung melalui pengikatan obat dengan bentuk oksidasi sitokrom

P450 kemudian oksigen tereduksi, berikatan dengan NADPH:sitokrom P450

oksidoreduktase.

b. Ringkasan sistem P450 : Sistem P450 penting untuk metabolisme berbagai

senyawa endogen (steroid, lipid, d1l.) dan biotransformasi zat-zat eksogen

(xenobiotik). Sitokrom P450, ditandai sebagai CYP, tersusun dari berbagai

kelompok isozim yang mengandung-heme, yang terdapat pada sebagian besar sel,

terutama di dalam hati dan saluran pencemaan. Nama kelompok tersebut

ditunjukkan dengan angka yang diikuti oleh huruf kapital untuk subkelompok

(misalnya, CYP3A). Angka lain ditambahkan untuk menunjukkan isozim yang

Page 18: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

spesifik (CYP3A4). Terdapat banyak gen,

dan enzim, yang berbeda; oleh sebab itu,

beragam P450 dikenal sebagai isoformis.

Enam isozim bertanggung jawab untuk

sebagian besar reaksi yang dikatalisis-

P450: CYP3A4, CYP2D6, CYP2C9/10,

CYP2C19, CYP2E1, dan CYP1A2.

Persentase obat-obatan yang tersedia saat

ini dan merupakan substrat dari isozim-

isozim tersebut berturut-turut adalah 60,

25, 15, 15, 2, dan 2 persen. [Catatan: Satu

obat dapat merupakan substrat lebih dari

satu isozim.] Jumlah CYP3A4 yang cukup

besar ditemukan di dalam mukosa usus,

berperan dalam metabolisme lintas-

pertama, seperti chlorpromazine dan

clonazepam. Seperti yang mungkin

diperkirakan, enzimenzim ini menghasilkan keragaman genetik yang sangat

banyak, yang berdampak pada dosis regimen tiap orang, dan, yang lebih penting

lagi, sebagai penentu respons terapeutik dan risiko efek camping. CYP2D6, secara

khusus, tampaknya menyebabkan polimorfisme genetis.5 Mutasi menghasilkan

kapasitas metabolisme substrat menjadi sangat rendah. Misalnya, beberapa orang

tidak mendapatkan keuntungan dengan pemberian analgesik opioid codeine karena

mereka tidak memiliki enzim yang melakukan O-demetilasi dan mengaktifkan

obat tersebut. Reaksi ini tergantung pada CYP2D6. Frekuensi polimorfisme ini

sebagian ditentukan berdasarkan ras, dengan prevalensi sebesar 5-10% adalah

Kaukasia Eropa, sedangkan ras Asia Tenggara hanya 2%. Polimorfisme lainnya

telah ditandai untuk isozim subkelompok CYP2C. Meskipun CYP3A4

menghasilkan keragaman antar individu lebih dari 10 kali lipat, tidak ada

polimorfisme yang terdeteksi untuk isozim P450 ini.

c. Penginduksi : Enzim-enzim yang tergantung pada sitokrom P450 merupakan

target penting bagi interaksi farmakokinetik. Salah satunya, penginduksian isozim

CYP yang terpilih. Beberapa obat, terutama phenobarbital, rifampin, dan

carbaniazepine, mampu meningkat sintesis satu atau lebih isozim CYP.

Page 19: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

Akibatnya, terjadi peningkatan biotransformasi obat dan dapat menyebabkan

penurunan konsentrasi obat yang termetabolisme oleh isozim CYP yang signifikan

dalam plasma, seperti yang terukur oleh AUC, dengan kehilangan efek

farmakologis secara bersamaan. Misalnya, rifampin, suatu obat antituberkulosis

(lihat h1m. 478), sangat menurunkan konsentrasi penghambat protease Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dalam plasma,' menghilangkan kemampuan obat

tersebut untuk menyupresi pematangan virion HIV. Gambar 1.16 mendata

beberapa penginduksi yang lebih penting bagi representatif isozim CYP. Akibat

peningkatan metabolisme obat meliputi: 1) penurunan konsentrasi obat dalam

plasma, 2) penurunan aktivitas obat jika metabolit tidak aktif, 3) peningkatan

aktivitas obat jika metabolit aktif, dan 4) penurunan efek terapeutik obat. Selain

obat-obatan, zat-zat alami dan polutan juga dapat menginduksi isozim CYP.

Misalnya, hidorkarbon aromatik polisiklik (ditemukan sebagai polutan udara)

dapat menginduksi CYP1A. Induksi ini berdampak pada obat tertentu; misalnya,

amitriptyline dan warfarin yang dimetabolisme oleh P4501A2. Hidorkarbon

polisiklik menginduksi P4501A2 yang menurunkan konsentrasi terapeutik agen-

agen tersebut.

d. Penghambat : Penghambatan aktivitas isozim CYP merupakan sumber interaksi

obat yang penting yang menyebabkan efek samping yang serius. Bentuk

penghambat yang paling Sering adalah kompetisi untuk isozim yang sama.

Namun, beberapa obat mampu menghambat reaksi ketika obat tersebut bukan

sebagai substratnya (misalnya, ketoconazole) sehingga menimbulkan interaksi

obat. Sejumlah obat telah memperlihatkan penghambatan pada satu atau lebih jalur

biotransformasi warfarin yang tergantung-CYP. Misalnya, omeprazole adalah

penghambat yang poten tiga isoenzim CYP yang bertanggung jawab terhadap

metabolisme zvarfarin. Jika kedua obat tersebut digunakan bersama, konsentrasi

zvarfarin dalam plasma meningkat, yang mengakibatkan penghambatan koagulasi

yang lebih hebat dan risiko terjadi perdarahan, serta reaksi perdarahan serius

lainnya [Catatan: penghambat CYP yang lebih penting adalah erythromycin,

ketoconazole, dan ritonavir karena masing-masing menghambat beberapa isozim

CYPI. Cimetidine menghambat metabolisme theophylline, clozapine, dan

zvarfarin. Zat-zat alami, seperti jus anggur, dapat menghambat metabolisme obat.

Jus anggur menghambat CYP3A4 sehingga obatobatan, seperti amlodipine,

darithromycin, dan indinavir, yang dimetabolisme oleh sistem ini, memiliki

Page 20: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

jumlah yang lebih tinggi dalam sirkulasi sistemis menyebabkan kadar dalam darah

menjadi lebih tinggi dan potensial terhadap peningkatan efek terapeutik dan/atau

toksik obat-obatan tersebut. Penghambatan metabolisme obat dapat menyebabkan

peningkatan kadar plasma terus menerus selama pengobatan jangka panjang,

perpanjangan efek farmakologis obat, dan peningkatan toksisitas yang diinduksi

oleh obat.

e. Reaksi Fase I yang tidak melibatkan sistem P450 : Reaksi ini meliputi oksidasi

amina (misalnya, oksidasi katekolamin atau histamin), dehidrogenasi alkohol

(misalnya, oksidasi etanol), esterase (misalnya, metabolisme pravastatin dalam

hati), dan hidrolisis (misalnya, procain).

2. Fase II: Fase ini terdiri dari reaksi-reaksi konjugasi. Jika metabolit hasil proses

metabolisme Fase I sudah bersifat cukup polar, metabolit tersebut dapat diekskresikan

oleh ginjal. Namun, banyak metabolit Fase I sangat lipofilik sehingga tertahan dalam

tubuli ginjal. Reaksi konjugasi lanjutan dengan suatu substrat endogen, seperti

glucuronic acid, sulfuric acid, acetic acid, atau asam amino, menghasilkan senyawa

yang polar, yang umumnya lebih larut dalam air, dan paling Sering bersifat tidak aktif

secara terapeutik. Kecuali itu, morphine-6-glucuronide, yang lebih poten dibanding

morphine. proses glukuronidasi merupakan reaksi konjugasi terpenting dan tersering.

Sistem konjugasi ini kurang pada neonatus, yang menyebabkan neonatus, khususnya

rentan terhadap obat-obat seperti chloramphenicol, yang diinaktifkan dengan pe-

nambahan glucuronic acid (lihat hlm. 454). [Catatan: Obatobat yang memiliki gugus

—OH, —HN2, atau —COON dapat langsung masuk ke dalam reaksi Fase II dan

terkonjugasi tanpa metabolisme Fase I sebelumnya]. Konjugat obat yang sangat polar

tersebut kemudian dapat diekskresikan oleh ginjal atau empedu.

3. Urutan terbalik fase-fase : Tidak semua obat mengalami reaksi Fase I dan Fase II

dengan urutan tersebut. Misalnya, isoniazid mula-mula mengalami asetilasi (suatu

reaksi Fase II) dan kemudian dihidrolisis menjadi isonicotinic acid (suatu reaksi Fase

I)

VII. ELIMINASI OBAT

Page 21: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

Pengeluaran obat dari tubuh terjadi melalui berbagai

rute, yang terpenting adalah melalui ginjal dalam

bentuk urine. Rute lainnya meliputi empedu, usus,

paru-paru, atau ASI pada ibu-ibu yang menyusui.

Seorang penderita dengan gagal ginjal mungkin

menjalani dialisis ekstrakorporeal, yang akan

mengeluarkan molekul kedl, seperti obat-obatan.

A. Eliminasi obat melalui ginjal

1. Filtrasi glomerulus: Obat-obatan masuk ke

ginjal melalui A. renalis yang bercabang

membentuk suatu pleksus kapiler glomerulus.

Obat bebas (tidak terikat albumin) mengalir

melalui celah kapiler menuju ruang Bowman

sebagai bagian filtrat glomerulus (Gambar

1.17). Kecepatan filtrasi glomerulus (125

mL/menit) normalnya sekitar 20% aliran

plasma ginjal (600 mL/menit). [Catatan:

Kelarutan dalam lipid dan pH tidak me-

mengaruhi perjalanan obat menjadi filtrat

glomerulus]

2. Sekresi tubulus proksimal: Obat-obat yang tidak ditransfer menjadi filtrat

glomerulus meningggalkan glomerulus melalui arteriol eferens, yang membentuk

suatu pleksus kapiler yang mengelilingi lumen nefron pada tubulus proksimal. Sekresi

terutama terjadi pada tubulus proksimal melalui dua sistem transpor aktif yang

membutuhkan energi (memerlukan karier), satu untuk transpor anion (misalnya,

bentuk asam lemah yang dihilangkan protonnya) dan satu lagi untuk kation (misalnya,

bentuk basa lemah yang dihilangkan protonnya). Setiap sistem transpor ini

menunjukkan spesifisitas yang rendah dan dapat mentranspor banyak senyawa; jadi,

kompetisi antar-obat melalui karier-karier ini dapat terjadi pada tiap sistem transpor

tersebut (misalnya, lihat probenecid, hlm. 612). [Catatan: Bayi bayi prematur dan

neonatus belum mempunyai mekanisme sekretorik tubulus yang berkembang

sempurna sehingga obat-obat tertentu dapat tertahan di dalam filtrat glomerulus].

3. Reabsorbsi tubulus distal : Begitu suatu obat bergerak menuju tubulus kontortus

distal, konsentrasinya meningkat dan melampaui konsentrasi di dalam ruang

Page 22: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

perivaskular. Obat tersebut, jika tidak bermuatan, dapat berdifusi keluar lumen nefron,

kembali ke dalam sirkulasi sistemis. Pengubahan pH urine untuk meningkatkan

bentuk ionisasi obat dalam lumen dapat digunakan untuk mengurangi jumlah obat

yang berdifusi-kembali sehingga meningkatkan bersihan (clearance) obat yang tidak

diinginkan. Aturan yang umum adalah asam lemah dapat dieliminasi melalui

alkalinisasi urine, sedangkan eliminasi basa lemah dapat ditingkatkan dengan

asidifikasi urine. Proses ini disebut "pemerangkapan ion (ion trapping)". Sebagai

contoli, seorang penderita overdoses phenobarbital (asam lemah) dapat diberi

bicarbonate, yang menyebabkan alkalinisasi urine dan menjaga obat tetap terionisasi

sehingga mengurangi reabsorbsi phenobarbital. Jika overdoses terjadi karena basa

lemah, seperti cocaine, asidifikasi urine dengan NH4Cl menyebabkan protonisasi obat

dan peningkatan bersihannya.

4. Peranan metabolisme obat: Sebagian besar

obat larut dalam lipid dan, jika tanpa

modifikasi kimiawi, akan berdifusi keluar dari

lumen tubulus ginjal ketika konsentrasi obat di

dalam filtrat menjadi lebih besar daripada

konsentrasi di dalam ruangan perivaskular.

Untuk mengurangi reabsorbsi ini, obat diubah,

terutama di dalam hati, oleh tubuh menjadi

lebih polar dengan menggunakan dua jenis

reaksi: Reaksi Fase I (lihat hlm. 16), yang

melibatkan penambahan gugus hidroksil atau

penghilangan gugus hidroksil, karboksil atau

amino, dan reaksi Fase 11 (lihat hlm. 19) yang

menggunakan reaksi konjugasi dengan sulfat,

glisin atau glucuronic acid untuk

meningkatkan polaritas obat. Konjugat-

konjugat tersebut diionisasi dan molekul-

molekul yang dimuati listrik tidak dapat

berdifusi-kembali dari lumen ginjal (Gambar

1.18).

B. Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal

Bersihan plasma adalah volume plasma yang clibersihkan dari semua obat dalam waktu

Page 23: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

tertentu, misalnya mL/menit. Bersihan sama dengan jumlah aliran plasma ginjal dikalikan

dengan rasio ekstraksi dan karena rasio ini biasanya tidak berubah-ubah menurut waktu,

bersihan bersifat konstan.

1. Rasio ekstraksi : Rasio ini menunjukkan penurunan konsentrasi obat di dalam plasma

dari arteri menuju vena ginjal. Obat masuk menuju ginjal dengan konsentrasi C1 dan

keluar dari ginjal dengan konsentrasi C2. Rasio ekstrasksi = C2/ C1

2. Kecepatan ekskresi: Rasio ekskresi ditentukan dengan persamaan:

Kecepatan ekskresi = (bersihan) (konsentrasi plasma)

mg/menit mL/menit mg/mL

Eliminasi suatu obat selalu mengikuti kinetika first-order dan konsentrasi obat di

dalam plasma menurun secara eksponensial menurut waktu. Hal ini dapat digunakan

untuk menentukan waktu-paruh, 1/2, obat (waktu yang diperlukan agar konsentrasi

obat berkurang dari C menjadi 1/2C).

dengan ke= konstanta kecepatan first-order untuk eliminasi obat dari tubuh secara

total; dan CL = bersihan (clearance)

C. Bersihan tubuh total

Bersihan tubuh total (sistemik), CLtotal atau CLt, merupakan penjumlahan bersihan dari

berbagai organ yang memetabolisme obat dan organ yang mengeliminasi obat. Ginjal

adalah organ ekskresi utama yang Sering; namun, hati juga berperan menghilangkan obat

melalui metabolisme dan/atau ekskresi ke dalam empedu. Pasien gagal ginjal terkadang

bisa mendapat keuntungan dari suatu obat yang terekskresi melalui jalur ini, menuju usus

dan tinja daripada melalui ginjal. Beberapa obat dapat juga direabsorbsi melalui sirkulasi

enterohepatik sehingga memperpanjang waktu paruhnya. Bersihan total dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan berikut:

Pengukuran dan penjumlahan masing-masing bersihan ini tidak mungkin dilakukan.

Namun, bersihan total dapat diturunkan dari persamaan kondisi-seimbang (steady-state):

D. Keadaan Klinis yang menyebabkan perubahan waktu paruh obat

Bila seorang penderita mempunyai suatu kelainan yang mengubah waktu-paruh suatu

obat, penyesuaian dosis diperlukan. Pemrediksian penyesuaian waktu-paruh penting untuk

ditentukan pada pasien tertentu. Waktu-paruh suatu obat ditingkatkan oleh 1)

Page 24: PENGENALAN FARMAKOLOGI FARMAKOKINETIK.pdf

berkurangnya aliran plasma ginjal atau hati—misalnya, pada syok kardiogenik, gagal

jantung, atau perdarahan; 2) berkurangnya rasio ekstraksi-misalnya, pada penyakit ginjal;

dan 3) berkurangya metabolisme—misalnya, ketika obat lain menghambat

biotransformasinya atau pada insufisiensi hati, seperti sirosis. Pada sisi lain, waktu-paruh

obat dapat menurun akibat 1) peningkatan aliran darah hati; 2) penurunan ikatan protein;

dan 3) peningkatan metabolisme.