PENGARUH PEMBERIAN DARAH SAPI PADA BIOKONVERSI SAMPAH ORGANIK RESTORAN TERHADAP...

66
PENGARUH PEMBERIAN DARAH SAPI PADA BIOKONVERSI SAMPAH ORGANIK RESTORAN TERHADAP REPRODUKSI LARVA LALAT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens L.) ADITYA RIZKY MAULANA PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M / 1441 H

Transcript of PENGARUH PEMBERIAN DARAH SAPI PADA BIOKONVERSI SAMPAH ORGANIK RESTORAN TERHADAP...

PENGARUH PEMBERIAN DARAH SAPI PADA BIOKONVERSI

SAMPAH ORGANIK RESTORAN TERHADAP REPRODUKSI LARVA

LALAT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens L.)

ADITYA RIZKY MAULANA

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M / 1441 H

i

PENGARUH PEMBERIAN DARAH SAPI PADA BIOKONVERSI

SAMPAH ORGANIK RESTORAN TERHADAP REPRODUKSI LARVA

LALAT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens L.)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ADITYA RIZKY MAULANA

11140950000023

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M / 1441

ii

i

ii

iii

ABSTRAK

Aditya Rizky Maulana. Pengaruh Pemberian Darah Sapi Pada Biokonversi

Sampah Organik Restoran Terhadap Reproduksi Larva Lalat Black Soldier

Fly (Hermetia illucens L.). Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains

dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dibimbing oleh Dr. Fahma Wijayanti, M.Si dan Dr. Melta Rini Fahmi, S.Pi,

M.Si. 2019.

Sampah organik restoran memiliki ketersediaan paling banyak karena proses

dekomposisi alami yang lama dan belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh

karena itu diperlukan solusi, yaitu dengan biokonversi menggunakan larva lalat

black soldier fly ditambahkan darah sapi untuk mengoptimalkan proses

biokonversi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penambahan

limbah darah sapi pada sampah organik terhadap jumlah telur dan biokonversi

menggunakan serangga black soldier fly. Larva black soldier fly dipelihara pada

media pakan dengan tiga perlakuan berbeda, yaitu perlakuan A sampah organik

tanpa penambahan darah sapi, perlakuan B sampah organik ditambah 5 % darah

sapi, dan perlakuan C sampah organik ditambah 10 % darah sapi. Data berupa

panjang, lebar, bobot, jumlah telur, kandungan nutrisi, konsumsi substrat, indeks

pengurangan limbah, efisiensi konversi pakan tercerna, dan tingkat kelulusan

hidup diambil untuk menganalisis pengaruh penambahan darah sapi. Hasil

penelitian ini menunjukkan penambahan darah sapi 10% memberikan pengaruh

signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi telur black soldier fly. Penambahan

darah sapi tidak berpengaruh signifikan terhadap proses biokonversi. Berdasarkan

hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa penambahan darah sapi dapat

meningkatkan produksi telur black soldier fly namun belum dapat meningkatkan

proses biokonversi oleh larva lalat black soldier fly.

Kata kunci : Biokonversi, darah sapi, larva lalat black soldier fly (Hermetia

illucens), sampah organik

ii

ABSTRACT

Aditya Rizky Maulana. Influence Of Cow Blood Feeding On The

Bioconversion Of Restaurant Organic Waste To Reproduction Of Black

Soldier Fly (Hermetia illucens L.) Larvae. Undergraduated Thesis.

Depertement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic

University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advised by Dr. Fahma Wijayanti,

M.Si and Dr. Melta Rini Fahmi, S.Pi, M.Si. 2019.

The restaurant organic waste has the most availability due to the optimal process

of natural decomposition and has not been utilized optimally. Therefore we need a

solution, namely by bioconversion using black soldier fly larvae added cow blood

to optimize the bioversion process. This research aims to analyze the effect of

adding cow's blood waste to organic waste on the number of eggs and

bioconversion using black soldier fly insects. The black soldier fly larvae are

maintained on the feed media with three different treatments, namely treatment A

of organic waste without the addition of cow's blood, treatment B of organic waste

plus 5% of cow's blood, and the treatment C of organic waste plus 10% of cow's

blood. Data of the length, width, weight, number of eggs, nutrient content,

substrate consumption, index of waste reduction, conversion efficiency of

digestible feed, and survival rate were taken to analyze the effect of adding cow

blood. The results of this study showed the addition of 10% cow blood to give a

significant influence on the growth and production of black soldier fly eggs. The

addition of cow's blood did not significantly effect on the bioconversion process.

Based on these results, it can be concluded that the addition of cow's blood can

increase the production of black soldier fly eggs but has not been able to increase

the bioconversion process by black soldier fly larvae

Keyword : Bioconversion, black soldier fly (Hermetie illucens) larvae, cow

bloods, organic waste

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pengaruh Pemberian Darah Sapi Pada Biokonversi Sampah

Organik Restoran Terhadap Reproduksi Larva Lalat Black Soldier Fly

(Hermetia illucens L)”. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah

SAW sebagai teladan yang baik pemimpin umat yang telah membawa umat

manusia dai zaman jahiliyah menuju zaman yang berilmu.

Skripsi merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Sains di Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyelesaian skripsi ini penulis

banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penulisan skripsi ini, antara lain kepada :

1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud. selaku Dekan Fakultas

Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas

Sains dan Teknologi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku pembimbing I yang telah memberikan

arahan, bimbingan serta saran kepada penulis dalam melakukan penelitian

dan penulisan.

5. Dr. Melta Rini Fahmi, S. Pi, M. Si. selaku pembimbing II atas kesediaan

dalam membimbing dan memberikan nasihat yang membangun kepada

penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan.

6. Orang tua tercinta yaitu Sri Wuryanto dan Mimi Maisyaroh yang telah

mendoakan dan memberikan izin kepada penulis, serta bantuan moril

maupun materil dengan tulus dan ikhlas sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

iv

7. Balai Riset dan Budidaya Ikan Hias (BRBIH) Depok yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian, terutama

Bapak Marjono dan Bapak Ateng selaku Teknisi yang telah membantu

penulis baik moril maupun materiil selama penelitian, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Ade selaku pegawai Unit Pengelolaan Sampah Kota Depok yang

telah memberikan bantuan moril maupun materil selama penelitian.

9. Teman-teman Biologi angkatan 2014 khususnya kelas A yang turut

membantu dan mendukung dalam proses belajar sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan.

10. Almira yang telah memberikan bantuan dukungan dan semangat sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian

dan penyusunan skripsi hingga selesai.

Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulis dibalas semua amal

baiknya oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini

masih belum sempurna dan masih terdapat kekurangan, sehingga penulis berharap

saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan

penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca guna meningkatkan

ilmu pengetahuan untuk kemajuan umat manusia. Amin.

Jakarta, Januari 2020

v

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .............................................................................................................. i

ABSTRACT ........................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3

1.3 Tujuan ........................................................................................................... 3

1.4 Manfaat ......................................................................................................... 4

1.5 Kerangka Berpikir ........................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5

2.1 Sampah Organik ........................................................................................... 5

2.2 Darah Sapi .................................................................................................... 5

2.3 Biologi Lalat Black Soldier Fly (Hermetia illucens L.) ............................... 6

2.3.1 Morfologi................................................................................................ 6

2.3.2 Siklus Hidup........................................................................................... 7

2.4 Biokonversi oleh Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens L.) ............. 11

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 13

3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 13

3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................... 13

3.3 Cara Kerja ................................................................................................... 13

3.3.1 Persiapan Media Tumbuh Larva...........................................................13

3.3.2 Pemeliharaan Larva.............................................................................. 13

3.3.3 Pemeliharaan Pupa................................................................................ 14

3.3.4 Pemeliharaan Imago..............................................................................14

3.4 Parameter yang Dihitung ............................................................................ 15

3.4.1 Konsumsi Substrat .............................................................................. 15

3.4.2 Indeks Pengurangan Limbah ............................................................... 15

3.4.3 Efisiensi Konversi Pakan Tercerna.......................................................16

vi

3.4.4 Tingkat Kelulusan Hidup .....................................................................16

3.4.5 Analisis Proksimat................................................................................ 16

3.5 Analisis Data .............................................................................................. 17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 18

4.1 Siklus Hidup Black Soldier Fly (Hermetia illucens) .................................. 18

4.1.1 Fase Larva BSF (Hermetia illucens).....................................................18

4.1.2 Fase Prepupa dan Pupa......................................................................... 23

4.1.3 Fase Imago............................................................................................ 25

4.2 Analisis Proksimat Larva BSF ................................................................... 29

4.3 Konsumsi Substrat ..................................................................................... 33

4.4 Indeks Pengurangan Limbah ...................................................................... 34

4.5 Efisiensi Konversi Pakan Tercerna ........................................................... 35

4.6 Tingkat Kelulusan Hidup ........................................................................... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 38

5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 38

5.2 Saran ........................................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39

LAMPIRAN ......................................................................................................... 44

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Panjang, lebar, dan bobot tubuh larva BSF pada hari ke 18 ................... 18

Tabel 2. Pengukuran suhu dan pH media pertumbuhan larva BSF ..................... 22

Tabel 3. Pengamatan prepupa dan pupa ............................................................... 23

Tabel 4. Bobot pupa total ...................................................................................... 25

Tabel 5. Bobot telur .............................................................................................. 27

Tabel 6. Kandungan protein dan lemak larva BSF pada jenis pakan berbeda ...... 30

Tabel 7. Persyaratan mutu pakan ikan sesuai standar nasional Indonesia (SNI) . 31

Tabel 8. Perbandingan nilai parameter pada tiap perlakuan ................................. 33

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian ................................................................. 4

Gambar 2. Siklus hidup black soldier fly ................................................................ 8

Gambar 3. Media peletakkan telur imago black soldier fly .................................. 15

Gambar 4. Bobot tubuh larva selama masa pemeliharaan .................................... 20

Gambar 5. Telur BSF yang diletakkan pada media kayu...................................... 26

Gambar 6. Kandungan nutrisi larva BSF .............................................................. 29

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada panjang tubuh larva BSF ....... 44

Lampiran 2. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada lebar tubuh larva BSF ............ 45

Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada bobot tubuh larva lalat BSF ... 46

Lampiran 4. Morfologi larva lalat BSF ................................................................. 47

Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pupa BSF ............................... 48

Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada konsumsi substrat................... 49

Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada indeks pengurangan limbah ... 50

Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan efisiensi konversi pakan tercerna ... 51

Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada tingkat kelulusan hidup .......... 52

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampah merupakan masalah yang akan selalu dihadapi oleh manusia.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, perluasan

daerah pemukiman, dan perubahan pola konsumsi masyarakat mengakibatkan

peningkatan jumlah timbunan sampah, jenis, dan karakteristik sampah yang

semakin beragam. Pengelolaan sampah merupakan hal penting yang harus

dihadapi karena sampah dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan,

ekonomi, dan sosial. Jumlah timbunan sampah di Indonesia telah mencapai 65

juta ton per tahun dengan pengelolaan 64% diangkut dan ditimbun di Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) sampah, 10% dikubur, 7% dikompos dan didaur ulang,

5% dibakar, dan 7% tidak terkelola (KLHK, 2018). Berdasarkan data tersebut,

pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh dinas terkait hanya berfokus pada

pengumpulan dan pengangkutan ke TPA tanpa melalui proses pengolahan

tertentu.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (2018)

komposisi sampah di Pulau Jawa periode 2017-2018 terdiri dari 46,75% sisa

makanan, 13,01% kayu ranting daun, 9,36% kertas, 14,43% plastik, 2,14% logam,

2,84% kain tekstil, 1,49% karet kulit, 1,59% kaca, dan 6,14% lainnya. Data

tersebut menunjukkan bahwa jenis sampah organik berupa sisa makanan memiliki

ketersedian paling melimpah karena proses dekomposisi alami yang

membutuhkan waktu cukup lama dan sebagian besar belum dimanfaatkan secara

optimal. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan serius yaitu menimbulkan

bau busuk, menjadi sumber penyebab penyakit, menghasilkan gas metan

penyebab pemanasan global dan menghasilkan limbah cairan lindi yang dapat

mencemari air tanah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :

وا ع ل م ع لذلعي ع معبمعضم يقمهو يوذل علل اعكمسمبمتعأميدلي ع لناسل م عبل عوم لبمحرل ع لفمسمادوعفليع لبمر ل رم ظمهم

عوانمع معيمرجل هو لمعم

2

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan

tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)

perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”(Q.S. Ar-Rum: 41).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kerusakan yang ada di bumi merupakan

karena perbuatan manusia dan dampak dari kerusakan tersebut akan kembali

berimbas pada manusia. Sampah merupakan salah satu kerusakan di bumi

disebabkan karena perbuatan manusia yang dapat mencemari lingkungan,

sehingga dampak dari sampah tersebut akan kembali kepada manusia, yaitu

diantaranya dapat menimbulkan penyakit. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk

mengatasi permasalahan sampah tersebut agar tidak kembali berdampak kepada

manusia.

Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan organik yang

dapat diuraikan oleh jasad hidup (khususnya mikroorganisme) atau bersifat

degradable. Upaya pemanfaatan sampah organik saat ini belum dapat

memberikan hasil signifikan. Hal ini dikarenakan kurangnya partisipasi aktif

masyarakat dan teknologi pengolahan sampah masih tergolong mahal (Monita,

2017). Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengupayakan pemanfaatan

sampah organik, salah satunya dengan biokonversi menggunakan larva lalat black

soldier fly (BSF / Hermetia illucens) (Diener, Zurbrügg dan Tockner, 2009).

Biokonversi merupakan perombakan sampah organik menjadi sumber

energi metan melalui proses fermentasi yang melibatkan organisme hidup (Larry

Newton, Craig Sheppard, Wes D, Watson, Gary Burtle, 2005). Penggunaan larva

lalat BSF pada proses biokonversi memiliki beberapa keunggulan, diantaranya

yaitu dapat memakan berbagai bahan organik, tidak berperan sebagai vektor

penyakit, memiliki kandungan protein cukup tinggi, masa hidup larva cukup lama,

dan mudah dibudidayakan. Kemampuan larva BSF dalam mereduksi sampah

organik yaitu sebesar 54-64% (Sipayung, 2015), 9.46-48.08% pada limbah palm

kernel meal (PKM) dan kompos tandan kosong kelapa sawit (Wicaksono, Petrus

dan Yuliansah, 2017), 9,29-36,82% pada limbah singkong (Supriyatna & Putra,

2017), 52.33-77.09% pada limbah kepala dan jeroan ikan tuna (Hakim, Prasetya

dan Petrus, 2017).

3

Menurut Fahmi (2015), kunci sukses pemanfaatan larva black soldier fly

dalam proses biokonversi adalah produksi telur black soldier fly dalam jumlah

masal. Kualitas nutrisi pakan larva black soldier fly berpengaruh terhadap massa

dan ukuran tubuh untuk memaksimalkan produksi telur secara masal dalam

budidaya (Gobbi, Martínez-Sánchez dan Rojo, 2013). Larva BSF memiliki

potensi untuk dijadikan pakan ikan. Penelitian mengenai potensi larva BSF

sebagai pakan ikan telah dilakukan, diantaranya pada ikan Botia (Ananta, 2007),

ikan Balashark (Fahmi, Hem dan Subamia, 2009), dan ikan gurame (Fahmi,

2015). Oleh karena itu perlu dilakukan pengkayaan (enrichment) pada pakan larva

untuk meningkatkan kualitas nutrisi pakan, yakni dengan penambahan darah sapi.

Darah sapi merupakan limbah hasil ikutan ternak yang dimanfaatkan

sebagai bahan pakan penyusun ransum ternak unggas (Ramadhan, Marlida dan

Wizna, 2015). Penelitian Monita (2017) membandingkan telur black soldier fly

yang dihasilkan dari kombinasi pakan sampah organik, sampah organik

ditambahkan silase ikan, dan sampah organik yang ditambahkan darah sapi. Hasil

penelitian tersebut mendapatkan penambahan darah sapi dapat meningkatkan

produksi telur black soldier fly, namun belum mendapatkan dosis yang tepat

dalam penambahan darah sapi. Penelitian ini penting dilakukan untuk

mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan produksi telur black soldier

fly guna mengoptimalkan pengolahan sampah organik.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana pengaruh penambahan limbah darah sapi pada sampah organik

terhadap produksi telur black soldier fly?

2) Bagaimana konsumsi substrat, indeks pengurangan limbah, dan efisiensi

pakan tercerna pada biokonversi sampah organik menggunakan larva lalat

black soldier fly?

1.3 Tujuan

1) Menganalisis pengaruh penambahan limbah darah sapi pada sampah

organik terhadap produksi telur black soldier fly.

4

2) Menganalisis konsumsi substrat, indeks pengurangan limbah, dan

efisiesnsi pakan tercerna pada biokonversi sampah organik menggunakan

larva lalat black soldier fly.

1.4 Manfaat

Sebagai informasi dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat untuk

pengelolaan sampah organik dan budidaya larva lalat black soldier fly yang

berpotensi sebagai pakan ikan.

1.5 Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Peningkatan jumlah penduduk

dan pola hidup masyarakat

Meningkatnya timbunan sampah

organik

Biokonversi sampah organik

dengan larva Black Soldier Fly

Penambahan limbah darah sapi

pada sampah organik

Peningkatan produksi telur Black

Soldier Fly untuk budidaya larva

sebagai pakan ikan

Reduksi sampah organik

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sampah Organik

Sampah menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2018 merupakan sisa

kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat. Menurut

Situmorang (2007) sampah adalah semua benda atau produksi sisa dalam bentuk

padat sebagai akibat dari aktivitas manusia yang dianggap tidak bermanfaat dan

tidak dikehendaki oleh pemiliknya dan dibuang sebagai barang tidak berguna.

Sampah mengandung senyawa kimia terdiri dari air, organik, dan anorganik

dengan persentasenya tergantung bada sifat serta jenisnya (Suriawiria, 2003).

Menurut Sinaga (2009) sampah digolongkan berdasarkan sumber dan

bahan yang terkandung didalamnya. Berdasarkan sumbernya, sampah terdiri atas

sampah rumah tangga, sampah pasar, dan sampah industri. Berdasarkan bahan-

bahan yang terkandung didalamnya, sampah dibedakan menjadi sampah organik,

sampah anorganik, dan sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun).

Sampah organik merupakan jenis sampah yang sebagian besar tersusun

oleh senyawa organik. Sampah organik dapat diuraikan melalui proses alami oleh

mikroorganisme (Suriawiria, 2003). Menurut Purwendro dan Nurhidayat (2006)

sampah organik dibagi menjadi sampah organik basah dan sampah organik

kering. Istilah sampah organik basah dimaksudkan sampah yang memiliki

kandungan air cukup tinggi. Contohnya kulit buah dan sisa sayuran. Sampah

organik kering merupakan sampah organik yang memiliki kandungan air rendah,

seperti kertas, kayu, ranting pohon, dan dedaunan kering.

2.2 Darah Sapi

Menurut Ramadhan, Marlida dan Wizna (2015), darah sapi merupakan

limbah hasil ikutan ternak yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan penyusun

ransum ternak unggas. Darah merupakan limbah yang mengandung bahan organik

yang cukup tinggi dan cepat membusuk. Darah sapi hasil pemotongan hewan

langsung dibuang tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga berpotensi menjadi

limbah yang dapat mengganggu lingkungan. Darah yang terbuang ke lingkungan

6

tanpa proses pengolahan dapat menimbulkan bau dan sumber penyakit (Arif,

2016).

Persentase darah di dalam tubuh sapi adalah sekitar 3,5-7% dari total berat

tubuh (Ernawati, 2015). Hasil analisa biokimiawi darah sapi yang dilakukan oleh

Prihatno, Kusumawati, dan Wayan (2013), mendapatkan kandungan nutrisi darah

sapi yaitu total protein 6,82 g/dl, total kolesterol 166,08 mg/dl, glukosa 68,40

mg/dl, dan kalsium 9,90 mg/dl. Darah sapi dapat dimanfaatkan sebagai pakan

dalam bentuk tepung yang memiliki kandungan protein sebesar 80-85%

(Ramadhan, Marlida and Wizna, 2015). Menurut Wibowo (2010) darah sapi dapat

digunakan sebagai pupuk cair untuk meningkatkan pertumbuhan cabai rawit.

Pemanfaatan limbah darah darah sapi telah banyak dilaporkan, diantaranya yaitu

bahan tambahan pakan ikan (Jamila, 2012), sumber nutrien pada budidaya

Daphnia sp (Purnamasari, Berta dan Siti, 2015), dan pupuk organik cair (Arif,

2016),

2.3 Biologi Lalat Black Soldier Fly (Hermetia illucens L.)

2.3.1 Morfologi

Hermetia illucens atau dikenal sebagai Black Soldier Fly (BSF)

merupakan lalat yang termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda,

kelas Insekta, ordo Diptera, famili Stratiomyidae, genus Hermetia dan spesies H.

illucens (Popa & Green, 2012). Black Soldier Fly memiliki tubuh berwarna hitam

dan bagian segmen basal abdomennya berwarna transparan sehingga sekilas

menyerupai abdomen lebah. Panjang lalat berkisar antara 15-20 mm dan memiliki

waktu hidup berkisar lima sampai delapan hari (Wardhana, 2016). Bentuk tubuh

jantan dan betina mirip namun ukuran tubuh betina lebih besar dan bagian perut

pada segmen kedua lebih kecil daripada individu jantan. Bagian kaki atas

berwarna hitam dengan tanda putih pada kaki belakang dan kaki bagian bawah.

Secara lateral antena tersusun atas 3 segmen dengan panjang 2 kali lipat panjang

kepala. (Popa & Green, 2012).

Saat lalat dewasa berkembang dari pupa, kondisi sayap masih terlipat

kemudian mulai mengembang sempurna hingga menutupi bagian torak. Lalat

dewasa tidak memiliki bagian mulut yang fungsional, karena lalat dewasa hanya

7

beraktivitas untuk kawin dan bereproduksi sepanjang hidupnya (Wardhana, 2016).

Kebutuhan nutrien lalat dewasa tergantung pada kandungan lemak yang disimpan

saat masa pupa. Ketika simpanan lemak habis, maka lalat akan mati (Makkar,

Tran dan Heuze, 2014). Berdasarkan jenis kelaminnya, lalat betina umumnya

memiliki daya tahan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan lalat jantan

(Tomberlin, Adler dan Myers, 2009).

2.3.2 Siklus Hidup

Black Soldier Fly termasuk hewan dengan metamorfosis sempurna

(holometabola). Metamorfosis dimulai dengan telur, larva, pupa dan dewasa

(Gambar 2). Seekor lalat betina Black Soldier Fly mampu memproduksi telur

berkisar 185-1235 telur (Rachmawati, Buchori dan Hidayat, 2010). Literatur lain

menyebutkan bahwa seekor betina memerlukan waktu 20-30 menit untuk bertelur

dengan jumlah produksi telur antara 546-1.505 butir (Tomberlin & Sheppard

2002), 400-1200 butir (Fahmi, 2015), dan 500 butir telur (Holmes, Vanlaerhoven

dan Tomberlin, 2013). Berat massa telur berkisar 15,8-19,8 mg dengan berat

individu telur antara 0,026-0,030 mg (Wardhana, 2016). Menurut Tomberlin,

Sheppard dan Joyce (2002), bahwa waktu dari telur hingga prepupa berkisar dari

22-24 hari pada suhu 27 ⁰C dan siklus hidup Black Soldier Fly dari telur hingga

menjadi lalat dewasa berlangsung sekitar 40-43 hari, tergantung dari kondisi

lingkungan dan media pakan yang diberikan.

Wardhana (2016) menyatakan bahwa lalat betina akan meletakkan

telurnya di dekat sumber pakan, antara lain pada kotoran unggas atau ternak,

tumpukan limbah bungkil inti sawit, dan limbah organik lainnya. Lalat betina

akan tertarik dengan bau senyawa aromatik dari limbah organik (atraktan)

sehingga akan datang ke lokasi tersebut untuk bertelur. Atraktan diperoleh dari

proses fermentasi dengan penambahan air ke limbah organik. Lalat betina

meletakkan sekitar 400 hingga 800 telur di dekat bahan organik yang membusuk

dan memasukkannya ke dalam rongga-rongga yang kecil, kering, dan terlindung.

Betina tersebut akan mati tidak lama setelah bertelur. Telur-telur tersebut

diletakkan dekat dengan bahan organik yang membusuk agar saat menetas nanti,

larva dapat dengan mudah menemukan sumber makanan. Karena ditempatkan

8

dalam rongga-rongga yang terlindungi dari pengaruh lingkungan, larva tersebut

terjaga dari ancaman predator, serta sinar matahari langsung yang dapat

menghilangkan kadar air pada telur (Dortmans, Diener dan Verstappen, 2017).

Gambar 2. Siklus Hidup black soldier fly (Fahmi et al., 2009)

Gobbi, Martínez-Sánchez dan Rojo (2013), menyatakan bahwa jumlah

telur berbanding lurus dengan ukuran tubuh lalat dewasa. Lalat betina yang

memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan ukuran sayap lebih lebar cenderung

lebih subur dibandingkan dengan lalat yang bertubuh dan sayap yang kecil.

Jumlah telur yang diproduksi oleh lalat berukuran tubuh besar lebih banyak

dibandingkan dengan lalat berukuran tubuh kecil. Kelembaban juga dilaporkan

berpengaruh terhadap daya bertelur Black Soldier Fly. Tingkat telur menetas

mencapai sebesar 80% pada kondisi kelembaban lebih dari 60% dan hanya

sebesar 40% ketika kondisi kelembaban kurang dari 60% (Tomberlin & Sheppard

2002).

Telur Black Soldier Fly berwarna putih dan berbentuk oval dengan

panjang sekitar 1 mm terhimpun dalam bentuk koloni. Lalat betina tidak

meletakkan telur di atas sumber pakan secara langsung, oleh karena itu umumnya

daun pisang yang telah kering atau potongan kardus yang berongga diletakkan di

9

atas media pertumbuhan sebagai tempat telur (Wardhana, 2016). Kunci sukses

pemanfaatan larva Black Soldier Fly dalam proses biokonversi adalah produksi

telur Black Soldier Fly dalam jumlah masal (Fahmi, 2015). Lalat betina

dilaporkan hanya bertelur satu kali selama masa hidupnya, setelah itu akan mati

(Tomberlin, Sheppard dan Joyce, 2002). Telur akan menetas menjadi larva dalam

waktu 2-4 hari (Popa & Green, 2012).

Telur akan menetas menjadi larva instar satu dan berkembang hingga larva

instar enam dalam waktu 22-24 hari dengan rata-rata 18 hari (Barros, Bao dan

Luz, 2014). Larva yang baru menetas dari telur berukuran sekitar 2 mm dan

bersifat photophobic, yaitu perilaku larva yang bersifat menjauhi cahaya. Perilaku

tersebut dilakukan untuk mengontrol pergerakan larva dalam kondisi gelap untuk

mendapatkan makanan. Larva memakan bahan-bahan organik yang tersedia di

lingkungan (Popa & Green, 2012). Larva Black Soldier Fly merupakan larva yang

termasuk ke dalam jenis larva vermiform, yaitu larva dengan bentuk tubuh

menyerupai cacing, memanjang (elongate), tidak memiliki kaki (apoda) sehingga

bergerak menggunakan gerakan peristaltik hidroskeleton tubuhnya (Borror,

Triplehorn dan Johnson, 1992). Larva BSF merupakan serangga yang memiliki

kemampuan adaptasi yang tinggi, yang mampu memperpanjang siklus hidupnya

dalam kondisi yang kurang menguntungkan sekalipun (Dortmans, Diener dan

Verstappen, 2017).

Fase larva merupakan fase paling lama dalam siklus hidup Black Soldier

Fly, sehingga dikelompokkan sebagai agen biokonversi karena sebagian besar

fase hidupnya berperan sebagai dekomposer (Fahmi, 2015). Black Soldier Fly

hanya makan pada saat masih di fase larva, sehingga pada tahap perkembangan

larva menyimpan cadangan lemak dan protein untuk fase pupa hingga menjadi

lalat (Dortmans, Diener dan Verstappen, 2017). Laju pertumbuhan larva sangat

pesat hingga hari ke-8, bobot tubuh larva juga terus bertambah sampai ketika

hendak memasuki tahapan prepupa (Monita, 2017). Perkembangan larva dapat

diamati dengan melihat perubahan warna kulit dari putih menjadi coklat

kehitaman (Popa & Green, 2012). Tahapan larva yang masih memiliki warna

kulit putih berlangsung kurang lebih 12 hari. Menurut Rachmawati, Buchori dan

10

Hidayat (2010) larva mulai berubah warna menjadi coklat dan semakin gelap

seminggu kemudian. Fase larva berlangsung selama 18-21 hari (Fahmi, 2015).

Fase larva terakhir yaitu fase prepupa. Larva pada fase ini tidak melakukan

aktifitas makan lagi dan bermigrasi dari sumber makanan mencari tempat kering

dan terlindungi untuk memasuki tahap pupa (Dortmans, Diener dan Verstappen,

2017). Secara alami, prepupa akan meninggalkan media pakannya ke tempat yang

kering, misalnya ke tanah kemudian membuat terowongan untuk menghindari

predator dan cekaman lingkungan (Wardhana, 2016). Struktur mulut pada fase

prepupa berubah menjadi struktur yang bentuknya seperti kait dan warnanya

menjadi cokelat tua hinga abu-abu. Mulut berbentuk kait ini memudahkannya

untuk keluar dan berpindah dari sumber makanannya ke lingkungan baru yang

kering (Dortmans, Diener dan Verstappen, 2017). Prepupa membutuhkan

lingkungan yang kering, lembap dan gelap (Alvarez, 2012).

Dortmans, Diener dan Verstappen (2017), menyatakan bahwa fase pupa

dimulai saat prepupa menemukan tempat yang cocok untuk berhenti beraktivitas

dan menjadi kaku. Agar proses pupasi berhasil, sebaiknya tempat memiliki

kondisi lingkungan yang tidak banyak mengalami perubahan, atau dapat

dikatakan tempat yang selalu hangat, kering, dan teduh. Berakhirnya fase pupa

ditandai dengan keluarnya lalat dari dalam pupa. Holmes, Vanlaerhoven dan

Tomberlin (2013), membandingkan lima substrat dalam fase pupa, yaitu serbuk

gergaji, tanah, humus, pasir dan tidak menggunakan substrat. Fase pupa yang

dipelihara pada substrat pasir dan humus lebih lama dibandingkan pada substrat

tanah dan serbuk gergaji. Fase pupa tanpa substrat berjalan paling cepat karena

untuk mengurangi risiko dari predator atau ancaman lingkungan. Kondisi ini

menyebabkan daya tetas pupa menjadi imago (lalat dewasa) lebih rendah

dibandingkan dengan yang lain. Hal ini diduga karena energi yang tersimpan

selama menjadi larva banyak digunakan untuk mempertahankan diri dari kondisi

lingkungan yang tidak sesuai (Wardhana, 2016). Bobot pupa betina rata-rata 13%

lebih berat dibandingkan dengan bobot pupa jantan (Tomberlin, Adler dan Myers,

2009). Fase pupa berlangsung selama 6-7 hari dan setelah itu serangga akan

bermetamorfosis menjadi serangga dewasa (Fahmi, 2015).

11

Fahmi (2015) menyatakan bahwa fase dewasa merupakan fase dengan

waktu cukup singkat yaitu 6-8 hari dan hanya berfokus pada aktivitas

berkembangbiak. Lalat dewasa tidak membutuhkan makanan dan hanya

membutuhkan sumber air serta permukaan yang lembap untuk menjaga tubuhnya

agar tetap terhidrasi (Dortmans, Diener dan Verstappen, 2017). Lalat dewasa

hanya mengandalkan cadangan lemak tubuhnya yang diperoleh selama tahap larva

sehingga tidak berperan sebagai vektor penyakit dan bakteri (Tomberlin,

Sheppard dan Joyce, 2002). Lalat dewasa pada tahap ini hanya bertujuan untuk

reproduksi. Lalat dewasa kawin dan bertelur pada suhu 24-40 ⁰C dengan

kelembaban relatif 30-90% (Sheppard, Tomberlin dan Joyce, 2002). Perkawinan

dimulai sekitar dua hari setelah lalat dewasa keluar dari pupa (Popa & Green,

2012).

Lalat dewasa jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil daripada betina dan

muncul lebih awal 1 sampai 2 hari sebelum lalat dewasa betina muncul

(Tomberlin, Sheppard dan Joyce, 2002). Lalat dewasa meskipun tidak

memerlukan pakan sepanjang hidupnya, tetapi pemberian air dan madu dilaporkan

mampu memperpanjang lama hidup dan meningkatkan produksi telur.

Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), membuktikan bahwa puncak kematian

lalat dewasa yang diberi minum madu terjadi pada hari ke-10 hingga 11,

sedangkan pada lalat yang diberi minum air terjadi kematian tertinggi pada hari

kelima hingga kedelapan dan berlanjut pada hari ke-10 hingga 12. Ditinjau dari

waktu bertelurnya, lalat betina yang diberi minum madu mencapai puncak waktu

bertelur pada hari kelima, sedangkan pada perlakuan pemberian air terjadi pada

hari ketujuh.

2.4 Biokonversi oleh Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens L.)

Biokonversi merupakan proses perombakan limbah organik menjadi

sumber energi melalui proses yang melibatkan mikroorganisme hidup seperti

bakteri, jamur dan larva serangga (Hakim, Prasetya dan Petrus, 2017). Menurut

Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), biokonversi limbah merupakan proses

mengubah limbah menjadi bentuk lain yang lebih bermanfaat melalui aktivitas

biologi atau peran makhluk hidup. Proses biokonversi dilakukan sebagai upaya

12

peningkatan nutrisi limbah organik, khususnya meningkatkan kandungan protein,

sehingga dapat memberi nilai tambah limbah. Konsep biokonversi tersebut

merupakan solusi menarik yang dapat mengatasi masalah pengelolaan sampah

organik (Monita, 2017). Larva serangga Black Soldier Fly mampu mengkonversi

nutrisi dari sejumlah besar sampah organik menjadi biomassa kaya protein yang

dapat dijadikan pengganti tepung ikan (Diener, Zurbrügg dan Tockner, 2009).

Kemampuan larva dalam mengurai senyawa organik ini dilaporkan terkait

dengan kandungan beberapa bakteri yang terdapat di dalam sistem

pencernaannya. Larva BSF mampu mengurangi limbah hingga 58%. Sebanyak 58

tons prepupa dapat dihasilkan dari kotoran ayam petelur dengan kapasitas 100.000

ekor dalam waktu lima bulan sehingga sangat ideal untuk dikembangkan sebagai

agen biokonversi dan sumber protein alternatif (Tomberlin & Sheppard 2002).

Diener et al. (2011) juga melaporkan bahwa larva BSF mampu mengurai hingga

68% sampah perkotaan, 50% untuk kotoran ayam, 39% untuk kotoran babi serta

25% untuk campuran kotoran ayam dan sapi, sedangkan menurut Zakova &

Barkovcova (2013), larva BSF mampu mengurai sampah tanaman hingga 66,53%.

Penelitian mengenai kandungan protein larva Black Soldier Fly telah

dilaporkan pada berbagai media pakan, yaitu sebesar 19,4% pada media limbah

ikan (Nguyen, Tomberlin dan Vanlaerhoven, 2015), 33,88% pada media sampah

organik (Monita, 2017), dan 25,4% pada media kepala dan isi perut tuna (Hakim,

Prasetya dan Petrus, 2017). Laju konsumsi sampah oleh larva Black Soldier Fly

bervariasi tergantung jenis sampah, kadar air, jumlah larva, ukuran larva, dan

suhu (Alvarez, 2012). Kandungan protein pada larva tersebut digunakan untuk

pemanfaatan larva BSF yang berpotensi sebagai bahan pakan ikan.

13

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari sampai dengan Bulan April

2019 di Balai Riset dan Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Jl. Perikanan No. 13,

Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bak plastik berukuran 60

cm x 40 cm x 15 cm dan ukuran 36 cm x 28 cm x 11 cm, kayu berukuran 20 cm x

3 cm, kandang BSF, alat penggiling sampah, freezer, termometer, pH meter,

spatula, penggaris, timbangan digital, timbangan analitik, dan cawan petri. Bahan

yang digunakan adalah sampah organik restoran yang terdiri dari berbagai jenis

makanan yang beragam yaitu dari produk hewani, nabati, nasi, dan roti., limbah

darah sapi yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH), Tapos Depok,

bungkil kelapa sawit atau disebut dengan Palm Kernel Meal (PKM), larva Black

Soldier Fly (BSF / Hermetia illucens) yang terdapat di BRBIH dan air.

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Persiapan Media Tumbuh Larva

Sampah organik yang digunakan diperoleh dari pengumpul sampah dari

Dinas Kebersihan Kota Depok yang telah memisahkan antara sampah organik dan

sampah anorganik. Sampah organik selanjutnya dimasukkan kedalam alat

penggiling sampah agar sampah tercacah. Sampah yang telah tercacah selanjutnya

ditimbang dan dimasukkan ke dalam bak plastik berukuran 60 cm x 40 cm x 15

cm. Limbah darah sapi juga ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah

perlakuan. Terdapat 3 variasi perlakuan media pakan dengan masing-masing

perlakuan mengguanakan sampah organik sebesar 5 Kg. Perlakuan A yaitu

sampah organik tidak ditambahkan darah sapi, perlakuan B yaitu sampah organik

ditambahkan 5% darah sapi, dan perlakuan C yaitu sampah organik ditambahkan

10% darah sapi. Perlakuan penambahan darah sapi sebesar 5% dan 10% yang

digunakan dalam penelitian ini lebih rendah dan lebih tinggi dari penelitian

14

sebelumnya, yaitu penelitian Monita (2017) yang menggunakan darah sapi

sebesar 6%.

3.3.2 Pemeliharaan Larva

Larva BSF yang telah berumur 6 hari dimasukkan ke dalam bak plastik

berukuran 60 cm x 40 cm x 15 cm yang telah terdapat media pakan. Setiap

perlakuan digunakan 2.500 ekor larva dan tiap perlakuan dilakukan 3 kali

pengulangan. Pakan ditambahkan setiap 2 hari selama masa pemeliharaan larva.

Lama masa pemeliharaan larva adalah 18 hari. Bobot tubuh larva, suhu dan pH

media pemeliharaan dilakukan pengukuran setiap 2 hari sampai hari ke-18 dan

dicatat. Panjang dan lebar tubuh larva diukur pada hari ke-18. Pengukuran

panjang tubuh dan lebar tubuh larva dilakukan menggunakan software ImageJ.

3.3.3 Pemeliharaan Pupa

Larva yang telah memasuki fase prepupa dan pupa dapat dipanen dan

dipindahkan ke wadah pemeliharaan pupa yaitu bak plastik berukuran 36 cm x 28

cm x 11 cm. Pupa yang dihasilkan pada tiap perlakuan ditimbang dan dicatat.

3.3.4 Pemeliharaan Imago

Pemeliharaan imago Black Soldier Fly diawali dengan mempersiapkan

kandang berukuran 75 cm x 75 cm x 100 cm. Pupa pada tiap perlakuan ditimbang

dan dimasukkan ke dalam kandang yang telah disiapkan. Media peletakkan telur

disiapkan, yaitu berupa media PKM yang berasal dari BRBIH Depok yang telah

difermentasi selama 2 hari dimasukkan ke dalam bak plastik berukuran 36 cm x

28 cm x 11 cm, kemudian tumpukan lembaran kayu dengan celah-celah kecil di

sela-selanya diletakkan di atas wadah tersebut (Gambar 3).

Pupa akan menetas menjadi imago dan imago akan melakukan aktivitas

kawin dan bertelur. Imago akan meletakkan telur pada celah-celah tumpukan kayu

tersebut. Telur imago yang dihasilkan pada tiap perlakuan dipanen setiap 2 hari,

lalu ditimbang dan dicatat.

15

Gambar 3. Media peletakkan telur imago black soldier fly

3.4 Parameter yang Diukur

3.4.1 Konsumsi Substrat (Substrate Consumption)

Konsumsi substrat merupakan jumlah substrat yang dikonsumsi larva yang

dinyatakan dalam persen selama masa pemeliharaan larva. Untuk menghitung

konsumsi substrat, sisa substrat yang diberikan pada larva selama pemeliharaan

ditimbang lalu dibandingkan dengan berat substrat total perlakuan (Diener,

Zurbrügg dan Tockner, 2009). Pengukuran konsumsi substrat yaitu dengan cara

berat substrat awal dikurang berat substrat akhir, dibagi berat substrat lalu

dikalikan dengan seratus persen.

3.4.2 Indeks Pengurangan Limbah (Waste Reduction Index / WRI)

Indeks pengurangan limbah merupakan indeks pengurangan limbah oleh

larva per hari. Nilai WRI yang tinggi menyatakan kemampuan larva dalam

mereduksi limbah juga tinggi (Diener, Zurbrügg dan Tockner, 2009). Pengukuran

indeks pengurangan limbah yaitu dengan cara dilakukan pengukuran pakan total

terlebih dahulu. Pengukuran pakan total yaitu jumlah pakan total dikurang sisa

pakan total setelah waktu tertentu, dibagi dengan jumlah pakan total. Indeks

pengurangan limbah selanjutnya dapat diketahui dengan cara penurunan pakan

total dikurang dengan total waktu larva memakan pakan, lalu dikalikan dengan

seratus persen.

16

3.4.3 Efisiensi Konversi Pakan Tercerna (Efficiency of Conversion of Digested

feed / ECD)

Efisiensi konversi pakan tercerna adalah konversi pakan yang dicerna oleh

larva selama masa pemeliharaan. Nilai ECD dapat diketahui dengan cara

dilakukan pengukuran pertambahan berat larva dan jumlah pakan yang

dikonsumsi terlebih dahulu. Pertambahan berat larva adalah berat akhir larva

dikurang dengan berat awal larva. Jumlah pakan yang dikonsumsi adalah berat

awal pakan dikurang dengan berat akhir pakan. Efisiensi konversi pakan tercerna

selanjutnya dapat diketahui dengan cara pertambahan berat larva dibagi dengan

jumlah pakan yang dikonsumsi dikurang berat sisa pakan.

3.4.4 Tingkat Kelulusan Hidup (Survival Rate)

Tingkat kelulusan hidup (survival rate) merupakan jumlah larva yang

hidup dibandingkan dengan jumlah awal larva, dinyatakan dalam satuan persen

(Myers et al., 2008). Tingkat kelulusan hidup dapat diketahui dengan cara jumlah

larva hidup akhir penelitian dibagi dengan jumlah larva hidup awal penelitian lalu

dikalikan dengan seratus persen.

3.4.5 Analisis Proksimat

Analisis proksimat adalah analisis kimiawi pada pakan atau bahan

menghasilkan kadar abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar. Analisis

proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan nutrisi larva BSF pada setiap

perlakuan pakan. Analisis proksimat dilakukan menggunakan metode standar

berdasarkan Assiciation of Analytical Communities (AOAC, 2005). Jumlah

sampel yang digunakan untuk analisis proksimat yaitu sebesar 100 gram larva dari

tiap perlakuan. Kadar air dilakukan dengan metode oven (100 ⁰C selama 24 jam).

Kadar abu dilakukan dengan metode pemanasan dalam tanur pada suhu 600 ⁰C.

Protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl. Lemak kasar dilakukan dengan

metode ekstraksi soxhlet dan serat kasar menggunakan metode Van Soest (asam-

basa).

17

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, kemudian

dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik digunakan pada

pengukuran panjang tubuh, lebar tubuh, bobot tubuh larva, bobot pupa BSF,

konsumsi substrat, indeks pengurangan limbah, efisiensi konversi pakan tercerna,

dan tingkat kelulusan hidup larva BSF. Analisis data menggunakan one way-

analysis of variance (ANOVA) pada taraf kepercayaan 95%, dari hasil analisis

jika terdapat pengaruh maka dilakukan uji lanjut untuk mengetahui perbedaan

antar perlakuan yaitu uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf

kepercayaan 95% (P<0.05).

18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Siklus Hidup Black Soldier Fly (BSF / Hermetia illucens)

4.1.1 Fase Larva BSF (Hermetia illucens)

Pemeliharaan larva berlangsung selama 18 hari. Selama fase makan, larva

mengalami pertumbuhan panjang, lebar, dan bobot. Pertumbuhan larva BSF pada

masing-masing media pemeliharaan setelah penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Panjang, lebar, dan bobot tubuh larva BSF pada hari ke 18

Perlakuan Parameter

Panjang (mm) Lebar (mm) Bobot (g)

A 17,21 ± 1,19 a 4,68 ± 0,30 a 7,38 ± 0,75a

B 16,88 ± 1,18 a 4,67 ± 0,24 a 7,08 ± 0,76a

C 18,21 ± 1,08 b 4,93 ± 0,24 b 9,19 ± 0,47b

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (p<0,05).

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan panjang tubuh larva BSF pada ketiga

perlakuan berkisar 16,88-18,21 mm, lebar tubuh berkisar 4,67-4,93 mm, dan

bobot tubuh berkisar 7,08-9,19 g. Hasil statistik menunjukkan panjang, lebar dan

bobot tubuh larva BSF pada perlakuan C berbeda nyata dibandingkan dengan

perlakuan A dan B (Lampiran 1, Lampiran 2 & Lampiran 3). Hal ini

menunjukkan bahwa pemberian darah sapi sebesar 10% memberikan pengaruh

signifikan terhadap pertumbuhan larva, dikarenakan pada darah sapi memiliki

kandungan nutrisi berupa total protein 6,82 g/dl, total kolesterol 166,08 mg/dl,

glukosa 68,40 mg/dl, dan kalsium 9,90 mg/dl Prihatno, Kusumawati, dan Wayan

(2013). Darah sapi merupakan limbah hasil ikutan ternak yang dapat

dimanfaatkan sebagai pakan dalam bentuk tepung yang memiliki kandungan

protein sebesar 80-85% (Ramadhan, Marlida and Wizna, 2015). Darah sapi

digunakan untuk meningkatkan nutrisi pada sampah organik, sehingga diharapkan

dapat meningkatkan pertumbuhan lava, kandungan nutrisi larva, dan produksi

19

telur. Kandungan nutrisi pada darah sapi tersebut diduga mempengaruhi

pertumbuhan larva BSF.

Pertumbuhan larva bergantung pada jumlah, suhu, dan jenis media yang

diberikan. Menurut Gobbi, Martínez-Sánchez dan Rojo (2013), kualitas dan

kuantitas makanan yang dicerna memiliki pengaruh penting terhadap

pertumbuhan, waktu perkembangan larva, kelangsungan hidup dan mortalitas

BSF. Sampah organik yang digunakan pada penelitian ini adalah sampah organik

restoran, sehingga memiliki jenis makanan yang beragam yaitu dari produk

hewani, nabati, nasi dan roti.

Penelitian mengenai pertumbuhan panjang, lebar, dan bobot larva BSF

pada media yang berbeda telah diteliti. Pada media kotoran sapi dengan jeroan

ikan, larva memiliki bobot 0,10-0,16 g (St-Hilaire et al., 2007). Larva BSF pada

media Palm Kernel Meal (PKM) memiliki panjang tubuh 19,9 mm, lebar tubuh

5,7 mm, dan bobot tubuh 0,18 g setelah 18 hari pemeliharaan (Rachmawati,

Buchori dan Hidayat, 2010). Penelitian Wicaksono, Petrus dan Yuliansah (2017),

pada media Palm Kernel Meal (PKM) dan kompos tandan kosong kelapa sawit

memiliki bobot larva 13,12 g. Pada media nangka muda memiliki bobot larva 9,16

g (Pangestu, 2017). Pada media sampah organik restoran ditambahkan silase ikan

sebesar 6% dan darah sapi sebesar 6% memiliki panjang 15,85-16,44 mm, lebar

4,05-4,22 mm, dan bobot 0,09-0,11 mg (Monita, 2017). Perbedaan panjang, lebar,

dan, bobot tubuh larva yang dihasilkan pada media pakan yang berbeda

dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pakan tersebut.

Caruso, Devic dan Subamia (2014), mengatakan bahwa larva BSF

memiliki panjang tubuh dapat mencapai 13-20 mm. Larva BSF dapat mencapai

panjang 20 mm dan lebar 6 mm (Kim, Bae dan Park, 2011). Berdasarkan hasil

penelitian yang telah dikaji sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa panjang

tubuh dan lebar tubuh larva BSF pada ketiga perlakuan dalam penelitian ini lebih

tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Monita (2017) dengan

media yang sama yaitu darah sapi. Hal ini dikarenakan perbedaan dosis pemberian

darah sapi yang lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

Perbedaan tersebut juga diduga dapat disebabkan oleh kondisi sampah organik

20

pada penelitian ini yang telah dicacah serta takaran antara jumlah makanan yang

diberikan dengan kepadatan larva di dalam wadah perlakuan yang berbeda dari

penelitian sebelumnya. Sampah yang telah dicacah dapat memudahkan larva BSF

untuk mencerna sampah tersebut. Takaran antara jumlah makanan dengan

kepadatan larva yang tepat akan mengoptimalkan pertumbuhan larva BSF.

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi.

Gambar 4. Rata-rata Bobot Tubuh Larva Selama Masa Pemeliharaan

Berdasarkan Gambar 4, bobot tubuh larva pada tiap perlakuan mengalami

peningkatan dan penurunan pada hari tertentu. Bobot tubuh larva tertinggi terjadi

pada hari ke-14 yaitu perlakuan A sebesar 9,06 g, perlakuan B sebesar 9,7 g, dan

perlakuan C sebesar 10,27 g. Bobot larva pada perlakuan C lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B. Hal ini dikarenakan

penambahan darah sapi sebesar 10% berpengaruh signifikan terhadap bobot tubuh

larva (Lampiran 3). Perlakuan A pada hari ke-4 dan hari ke-6 memiliki bobot

tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B dan perlakuan C. Hal

ini diduga disebabkan kemampuan larva pada hari tersebut belum mampu

mencerna nutrisi pakan yang ditambahkan darah sapi. Peningkatan bobot larva

hingga hari ke-14 dikarenakan larva berada pada fase aktif makan. Larva sangat

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

2 4 6 8 10 12 14 16 18

Bob

ot

Larv

a

Hari Ke

Perlakuan A

Perlakuan B

Perlakuan C

21

aktif makan dan mengkonversi sampah organik menjadi cadangan lemak dan

energi untuk mendukung siklus hidupnya hingga fase imago (Monita, 2017).

Penurunan bobot larva pada tiap perlakuan terjadi pada hari ke-16, hingga hari ke-

18 selama masa pemeliharaan larva. Hal ini dikarenakan larva telah berada pada

fase prepupa, sehingga tidak melakukan aktivitas makan (Tabel 4). Perbedaan

perlakuan akan mempengaruhi pertumbuhan larva BSF. Komposisi nutrisi pada

pakan akan mempengaruhi pertumbuhan larva Hermetia illucens (Tomberlin,

Sheppard dan Joyce, 2002).

Hasil penelitian Wicaksono, Petrus dan Yuliansah (2017), menggunakan

media palm kernel meal dan kompos tandan kosong kelapa sawit menunjukkan

bahwa, penurunan bobot larva terjadi pada hari ke-12 hingga hari ke-18. Hasil

penelitian Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), menggunakan media bungkil

kelapa sawit menunjukkan bahwa, penurunan bobot larva terjadi pada hari ke-19.

Penurunan bobot larva disebabkan oleh larva yang telah memasuki fase prepupa.

Larva pada fase prepupa akan berhenti mengkonsumsi pakan untuk

mengosongkan ususnya (self-cleansing) dan larva akan bergerak mencari tempat

yang kering untuk menjadi pupa (Hall & Gerhardt, 2002). Berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa larva BSF dapat dipanen pada hari ke-14

untuk digunakan sebagai pakan ikan.

Pengukuran suhu dan pH media dilakukan saat larva dipindahkan ke

wadah perlakuan. Suhu dan pH media berperan penting dalam proses biokonversi

sampah organik oleh larva BSF dalam mempercepat proses biokonversi dan

mendukung pertumbuhan larva. Berdasarkan hasil pengukuran pada penelitian ini

didapatkan suhu media pada ketiga perlakuan berkisar 31,7-32,3 oC dan pH media

berkisar 5,9-6,4 (Tabel 2). Hasil pengukuran suhu media pada penelitian ini

menunjukkan bahwa suhu tergolong tinggi, namun suhu dan pH masih berada

pada batas yang bisa ditolerir oleh larva BSF.

Aktivitas larva selama fase makan sangat aktif dan lahap sehingga suhu

tubuh larva mempengaruhi perubahan suhu media. Larva mengeluarkan energi

untuk mengkonsumsi sampah restoran pada penelitian ini yang sangat beragam

(heterogen) terdiri dari berbagai jenis produk makanan, yaitu produk hewani,

22

nabati, nasi, dan roti. Kondisi ini menyebabkan suhu media cukup tinggi (Monita,

2017). Suhu merupakan parameter utama untuk perkembangan dan tingkat

kelangsungan hidup larva BSF (Tomberlin, Adler dan Myers, 2009). Menurut

Caruso, Devic dan Subamia (2014), suhu optimal media pertumbuhan larva yaitu

berkisar 20-30o C. Menurut Alattar (2012) larva BSF mampu mentolerir dalam

kondisi lingkungan dengan etanol, asetat, suhu dan pH ekstrim. Larva BSF toleran

terhadap tingkat pH 0,7-13,7 dan mampu mengubah pH awal dari 2,7 sampai 12,7

menjadi antara 7,8 dan 8,9.

Tabel 2. Pengukuran suhu dan pH media pertumbuhan larva BSF

Perlakuan Parameter

Suhu (oC) pH

A 31,7 ± 1,10 6,4 ± 1,08

B 32,3 ± 1,15 6,1 ± 1,05

C 32,0 ± 1,23 5,9 ± 1,15

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi.

Pengolahan lindi dengan memanfaatkan larva BSF telah terbukti

menurunkan konsentrasi asam organik dan alkohol serta menetralisir pH, sehingga

dapat digunakan dalam bioteknologi pengolahan lindi. Larva BSF juga sangat

resisten dan mampu bertahan terhadap kondisi lingkungan, seperti kekeringan,

kekurangan makanan atau kekurangan oksigen (Diener et al., 2011). Sheppard,

Tomberlin dan Joyce (2002), mengungkapkan bahwa telur dan larva umumnya

dipelihara pada suhu 27 oC tetapi juga mentolerir berbagai kondisi lingkungan.

Hasil penelitian Erickson, Islam dan Sheppard (2004), menunjukkan bahwa

pertumbuhan optimal larva BSF pada media kotoran ayam dan kotoran babi

adalah pada suhu 27 oC dan 32 oC. Suhu dan pH media berpengaruh terhadap

perkembangan dan kelangsungan hidup larva BSF. Tomberlin, Adler dan Myers

(2009), dalam penelitiannya mendapatkan hasil tingkat kelangsungan hidup larva

pada suhu media 27⁰ C dan 30⁰ C lebih tinggi dibandingkan dengan pada suhu

media 36⁰ C.

23

4.1.2 Fase Prepupa dan Pupa

Fase larva BSF setelah fase larva yaitu fase prepupa. Fase prepupa

dicirikan dengan adanya perubahan warna tubuh dan keaktifan pergerakan larva.

Larva mengalami perubahan warna tubuh dari putih menjadi kekuningan, coklat

kekuningan, coklat muda sampai coklat gelap (Lampiran 3). Keaktifan pergerakan

larva BSF dari sangat aktif berangsur-angsur menjadi tidak aktif atau melambat.

Hal ini menunjukkan bahwa larva telah memasuki fase prepupa sehingga tidak

melakukan aktivitas makan lagi dengan meninggalkan residu makanan menuju

tempat kering untuk persiapan memasuki fase pupa (Monita, 2017).

Tabel 3. Pengamatan prepupa dan pupa

Perlakuan

Prepupa Pupa

Umur (Hari)

16 18 19 20

A

Mulai muncul

warna

kekuningan,

kuning

kecoklatan, dan

coklat

Tidak

melakukan

aktivitas

makan

- Muncul pupa

B

Mulai muncul

warna

kekuningan,

kuning

kecoklatan, dan

coklat

Tidak

melakukan

aktivitas

makan

Muncul pupa -

C

Mulai muncul

warna

kekuningan,

kuning

kecoklatan, dan

coklat

Tidak

melakukan

aktivitas

makan

- Muncul pupa

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi.

Larva BSF memasuki fase prepupa pada penelitian ini antar perlakuan

tidak ada perbedaan, yaitu semua perlakuan pada hari ke-16 telah memasuki tahap

prepupa (Tabel 3). Hal tersebut dicirikan dengan terjadinya perubahan warna pada

24

larva, dari warna putih kekuningan menjadi kuning kecoklatan hingga coklat. Fase

prepupa diakhiri dengan larva sudah tidak melakukan aktivitas makan, yaitu pada

penelitian ini terjadi pada hari ke-18. Fase prepupa pada tiap perlakuan

berlangsung selama 3 hari. Fase prepupa juga merupakan tahap berada pada

ukuran maksimum dengan penyimpanan lemak yang banyak sebagai cadangan

makanan sampai menjadi serangga dewasa (Larry Newton, Craig Sheppard, Wes

D, Watson, Gary Burtle, 2005). Fase prepupa selanjutnya bermetamorfosis

menjadi fase pupa, dicirikan dengan adanya perubahan warna tubuh yaitu coklat

gelap sampai hitam legam, pergerakan tubuh prepupa menjadi melambat

berangsur-angsur tidak bergerak (pasif) dengan tekstur kulit pupa lebih keras,

berkerut serta bobot tubuh lebih ringan (Monita, 2017).

Munculnya pupa pada perlakuan B lebih cepat dibanding dengan

perlakuan A dan C. Produksi pupa pada perlakuan B (266,28 g) dan perlakuan C

(167,15 g) juga lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (118,33 g) (Tabel

4). Hasil statistik menunjukkan bahwa bobot pupa pada perlakuan B berbeda

nyata dengan perlakuan A dan perlakuan C (Lampiran 5). Hal ini menunjukan

bahwa penambahan darah sapi sebesar 5% pada sampah organik restoran

memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan tanpa penambahan

pakan tambahan. Hal ini dapat disebabkan larva selama fase makan pada kedua

perlakuan tersebut mampu mengakumulasi makanannya secara optimal untuk

digunakan sebagai cadangan makanan, selain itu kandungan nutrisi pada sampah

organik restoran yang ditambahkan dengan darah sapi juga diduga lebih tinggi

dibandingkan dengan tanpa perlakuan penambhan darah sapi.

Beberapa hasil penelitian tentang waktu perkembangan serangga BSF

pada media yang berbeda telah dikaji. Pada media pakan ayam, waktu

perkembangan BSF dari telur sampai prepupa 16-33 hari, pada media limbah

feses 27 hari, dan pada media kombinasi limbah feses dengan sampah pasar 18

hari serta pada media hanya sampah pasar 18 hari (Diener et al., 2011a). Pada

media PKM, telur serangga BSF menetas setelah 3-6 hari, tahap larva 3-4 minggu,

pupa mencapai tahap dewasa sekitar 1 minggu dan masa hidup dewasa 1-2

minggu (Fahmi 2015).

25

Tabel 4. Bobot pupa total

Perlakuan Bobot Pupa (g)

A 118,33 ± 44,76a

B 266,28 ± 57,06b

C 167,15 ± 5,51a

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (p<0,05).

Pada media sampah organik ditambah dengan darah sapi dan silase ikan,

waktu memasuki fase pupa pada hari ke-16 dengan presentase munculnya pupa

berkisar antara 85-95% (Monita, 2017). Perkembangan dan siklus hidup BSF

bervariasi antara populasi (liar atau budidaya) dan lingkungan (suhu, kelembaban,

intensitas cahaya) serta kualitas dan kuantitas makanan. Kualitas dan kuantitas

makanan berpengaruh penting terhadap mortalitas, perkembangan ovarium BSF

dan perkembangan baik fisiologis maupun morfologi dari BSF dewasa.

4.1.3 Fase Imago

Berdasarkan hasil pengamatan pupa akan menetas menjadi imago setelah

5 hari. Pupa yang telah menetas menjadi imago langsung terbang dan aktif. Imago

yang telah memadati kandang tiap perlakuan, terlihat aktivitas imago sangat aktif

pada pagi hari hingga siang hari. Hal ini dicirikan dengan imago yang aktif

terbang dan melakukan proses kawin. Saat sore hari aktivitas imago mulai

menurun. Aktivitas imago pada penelitian ini terlihat mulai pukul 09:00 WIB

dengan suhu berkisar 28-32 oC. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Monita

(2017) yang mengungkapkan bahwa aktivitas imago terlihat mulai pukul 08:00

WIB dan sangat aktif mulai pukul 09:00 WIB sampai pukul 14:00 WIB dengan

suhu kandang berkisar 30-40 oC dan kelembaban udara berkisar 27-60%.

Menurut Monita (2017), imago BSF sangat membutuhkan kondisi di

bawah sinar matahari penuh, karena pada kondisi tersebut aktivitas imago sangat

baik dan aktif untuk mendukung proses kawin dan bertelur. Serangga BSF toleran

terhadap berbagai suhu dan kelembaban udara. Serangga dewasa biasanya kawin

dan bertelur pada suhu 24-40 oC (Sheppard, Tomberlin dan Joyce, 2002). Hasil

penelitian (Diener et al., 2011) berhasil membentuk koloni BSF yang stabil

26

dengan suhu 31,8 oC merupakan kondisi optimal untuk reproduksi dan imago BSF

toleran terhadap berbagai suhu dengan kisaran 15-47 oC.

Aktivitas kawin dan bertelur dipengaruhi oleh lingkungan dan waktu,

khususnya intensitas cahaya matahari dan ketersediaan ruang yang cukup sangat

penting selama aktivitas kawin (Tomberlin & Sheppard, 2002). Menurut

Sheppard, Tomberlin dan Joyce (2002), suhu optimal lingkungan untuk aktivitas

kawin imago BSF yaitu berkisar 27,5–37,5⁰ C. Waktu, suhu dan kelembaban

udara secara signifikan berkorelasi dengan perilaku bertelur, sedangkan intensitas

cahaya berkorelasi dengan jumlah BSF dewasa kawin dengan pasangan serangga

BSF kawin 75% ketika pagi hari (Tomberlin & Sheppard, 2002). Keberhasilan

proses kawin bergantung pada intensitas cahaya, panjang paparan cahaya dan

panjang gelombang serta kepadatan (densitas) serangga dewasa dalam ruang

aktivitas kawin (Alvarez, 2012).

Gambar 5. Telur black soldier fly yang diletakkan pada media kayu

Berdasarkan hasil pengamatan, imago BSF mulai bertelur pada hari ke-5

setelah pupa menetas. Imago yang telah kawin akan meletakkan telurnya di celah

kecil pada antara media lembaran kayu yang telah disediakan. Telur BSF yang

diletakkan pada media akan membentuk koloni dan berwarna putih kekuningan

(Gambar 5). Fase imago berlangsung selama 15 hari. Telur dipanen secara berkala

setiap dua hari sekali hingga hari ke-15, ditandai dengan kondisi semua imago

tiap perlakuan di dalam kandang sudah mati. Bobot telur yang dipanen selama

periode pengamatan pada ketiga perlakuan disajikan dalam Tabel 5.

Berdasarkan hasil panen telur imago BSF yang disajikan dalam Tabel 5

didapatkan hasil pada perlakuan B (3,34 g) dan perlakuan C (3,43 g) memiliki

bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (2,34). Hal ini

27

menunjukkan bahwa pengkayaan pakan dengan menambahkan darah sapi

memberikan pengaruh positif yaitu dapat meningkatkan produksi telur yang

dihasilkan oleh imago BSF. Semakin tinggi kualitas makanan, semakin juga

menghasilkan produksi telur yang lebih banyak (Gobbi, Martínez-Sánchez dan

Rojo, 2013). Produksi telur imago BSF dalam jumlah masal merupakan kunci

utama pemanfaatan larva BSF dalam proses biokonversi terutama dalam skala

besar (Fahmi, 2015). Monita (2017) menjelaskan bahwa kualitas nutrisi makanan

larva sangat penting dan pengaruhnya terhadap massa tubuh atau ukuran individu,

untuk memaksimalkan produksi telur secara berkesinambungan dalam budidaya

BSF.

Tabel 5. Bobot telur

Hari ke - Bobot Telur (g)

A B C

1 0,01 0,09 0,15

3 0,3 0,49 0,42

5 0,48 0,64 0,47

7 0,57 0,87 0,4

9 0,27 0,41 0,52

11 0,23 0,47 0,8

13 0,4 0,23 0,39

15 0,08 0,14 0,28

Jumlah 2,34 3,34 3,43

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi.

Hasil panen telur pada penelitian Monita (2017) mendapatkan produksi

telur pada media sampah organik ditambah 6% silase ikan sebesar 2,64 g, sampah

organik ditambah 6% darah sapi sebesar 2,88 g, dan sampah organik tanpa

penambahan sebesar 2,03 g. Penelitian Istirokhah (2012), mendapatkan bahwa

pada media PKM rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh imago BSF dalam 2

kg pupa adalah 19,01 g. Ardianti (2011) dalam penelitianya mendapatkan

produksi telur pada media PKM sebesar 5,41 g dan pada media PKM ditambah

28

dengan limbah ikan sebesar 9,94 g. Penelitian Rachmawati, Buchori dan Hidayat

(2010), mengemukakan bahwa rata-rata 464.000 BSF muncul di insektarium

dengan rasio jenis kelamin seimbang (1:1) menghasilkan jumlah telur setiap

minggu 4,2 kg (jumlah rata-rata 637 butir per betina).

Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago BSF dari ketiga perlakuan selama

periode pengamatan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan

penelitian Ardianti (2011) dan Istirokhah (2012). Hal ini kemungkinan disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu ukuran kandang yang cukup kecil, tidak terdapatnya

sumber air di dalam kandang, dan setiap panen telur terdapat telur yang diletakkan

oleh imago BSF di media PKM, sehingga lengket pada media tersebut dan tidak

dapat dipanen. Jumlah imago yang sangat padat dengan ukuran kandang yang

cukup kecil, menyebabkan imago tidak memiliki ruang pergerakan yang leluasa

untuk melakukan aktivitas kawin dan juga dapat menyebabkan stress bagi imago,

faktor tersebut kemungkinan dapat memengaruhi jumlah imago yang kawin dan

bertelur (Monita, 2017).

Sumber air juga merupakan faktor yang penting bagi imago BSF dalam

melakukan aktivitas kawin dan bertelur. Hal ini dikemukakan oleh Tomberlin,

Sheppard dan Joyce, (2002), yang menyatakan bahwa koloni imago BSF tanpa

pemberian air menyebabkan imago mengalami dehidrasi dan kurang kuat,

sehingga tidak dapat bereproduksi secara efektif untuk bertelur. Imago BSF

bereproduksi tanpa makan dan mengandalkan cadangan lemak yang diperoleh

selama fase larva untuk kelangsungan hidup imago untuk kawin dan bertelur

(Monita, 2017). Ukuran kandang dan jumlah imago juga berpengaruh terhadap

aktivitas kawin dan bertelur pada imago BSF. Penelitian Tomberlin, Sheppard dan

Joyce, (2002) mengungkapkan bahwa ukuran kandang imago BSF (2 x 2 x 3 m3)

berisi 500 imago menghasilkan 72% pasangan imago BSF kawin dengan jumlah

telur per individu berkisar 206-639 butir dengan berat per individu telur berkisar

0,02-0,03 mg. Sheppard, Tomberlin dan Joyce (2002), mengungkapkan bahwa

kondisi yang mendukung aktivitas kawin imago BSF yang dapat diandalkan yaitu

dengan ukuran kandang (2 x 2 x 4 m3), memiliki ketersediaan intensitas cahaya

matahari, dan ruang udara yang cukup.

29

Caruso, Devic dan Subamia (2014), melaporkan bahwa terdapat beberapa

faktor yang memengaruhi produksi telur,yaitu faktor fisiologis (fekunditas rendah,

infertilitas, dan kekurangan nutrisi), faktor perilaku (frekuensi kawin rendah,

identifikasi tempat bertelur yang buruk, dan predasi), faktor abiotik (kurangnya

stimulasi lingkungan) atau faktor teknis (telur diletakkan di luar kotak sarang telur

dan efisiensi koleksi telur). Keberhasilan proses kawin bergantung pada intensitas

cahaya, panjang paparan cahaya dan panjang gelombang serta kepadatan serangga

dewasa dalam ruang aktivitas kawin, dengan demikian dapat mempengaruhi

produksi telur yang dihasilkan oleh imago (Alvarez, 2012).

4.2 Analisis Proksimat Larva BSF

Larva BSF memiliki kemampuan yang baik dalam mendekomposisi

sampah organik yang diindikasi dengan kandungan nutrisinya (Fahmi 2015). Hal

ini dikarenakan, di dalam sampah organik terutama sampah makanan yang

bervariasi mengandung sejumlah protein, lemak, karbohidrat, energi, vitamin dan

mineral. Oleh karena itu, kualitas nutrisi dan ketersediaan pakan larva yang

terpenuhi sangat penting untuk mendukung keberlangsungan fase hidupnya dan

kualitas nutrisi larva yang optimal.

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi. Gambar 6. Kandungan nutrisi larva BSF

4,35

31,17

34,79

11,754,78

31,74

35,85

15,39

3,89

30,95

33,94

17,55

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Kadar Abu Kadar

Lemak

Kadar

Protein

Kadar Serat

Kasar

Kan

du

ngan

Nu

tris

i (%

)

Jenis Nutrien

Perlakuan A

Perlakuan B

Perlakuan C

30

Berdasarkan Gambar 6, hasil analisis proksimat atau kandungan nutrisi

larva BSF pada penelitian ini yaitu kadar abu pada ketiga perlakuan berkisar

3,89-4,78%, kadar lemak berkisar 30,95-31,74%, kadar protein berkisar 33,94-

35,85%, dan kadar serat kasar berkisar 11,75-17,55%. Kadar abu pada penelitian

ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu pada penelitian Rachmawati,

Buchori dan Hidayat (2010), berkisar 7,65-11,36% dan penelitian Monita (2017)

berkisar 6,52-7,83%. Menurut Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), abu

adalah konstituen anorganik dan berasal dari mineral. Larva lalat BSF telah

diketahui mengandung besi (Fe), fosfor (P), mangan (Mn), seng (Zn), tembaga

(Cu), dan kalsium (Ca) yang ditemukan dengan konsentrasi tinggi dan sodium

(Na) dalam konsentrasi rendah (Dierenfeld & King, 2008).

Tabel 6. Kandungan protein dan lemak larva BSF pada jenis pakan berbeda

Kadar abu yang rendah pada penelitian ini dapat disebabkan oleh

tingginya kadar air pada pakan. Menurut Mangunwardoyo (2011) menyatakan

bahwa kadar air yang tinggi pada substrat dapat menyebabkan rendahnya kadar

abu. Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), menjelaskan bahwa abu

Protein (%) Lemak (%) Jenis Pakan Sumber Literatur

35-42 - Pakan Ayam Diener et al. (2009)

48 20 PKM Rachmawati et al.

(2010)

45 30 PKM + Silase ikan Ardianti (2011)

61 14 PKM + Limbah pasar +

Limbah ikan Fahmi (2015)

22,2-28,7 6,1-9,8 Kepala dan jeroan tuna Hakim (2017)

31,44-33,88 30,07-34,39 Sampah organik +

Silase ikan + Darah sapi Monita (2017)

11,30-12,71 - Kulit pisang dan

Nangka muda Pangestu (2017)

33,94-35,85 30,95-31,74

Sampah organik

restoran + darah sapi

5% dan 10%

Hasil penelitian ini

31

merupakan bahan yang tidak tercernakan sehingga tidak menghasilkan energi,

oleh karena itu sebaiknya kandungan abu dalam pakan bernilai rendah.

Kadar lemak dan kadar protein pada perlakuan B lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan C (Gambar 6). Hal ini

menunjukkan bahwa penambahan darah sapi sebesar 5% memberikan pengaruh

positif terhadap kandungan nutrisi larva BSF. Kadar lemak dan kadar protein

perlakuan C lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B

diduga dikarenakan kemampuan konsumsi substrat pada perlakuan C paling

rendah (Tabel 8). Hal ini menyebabkan larva tidak mencerna nutrisi dengan

maksimal dari penambahan darah sapi sebesar 10%. Kandungan protein dan

lemak larva BSF pada jenis pakan yang berbeda telah dikaji oleh beberapa peneliti

(Tabel 6). Berdasarkan hasil pada penelitian ini kadar protein lebih tinggi dan

kadar lemak tidak jauh berbeda dengan penelitian Monita (2017) (Tabel 6).

Nutrisi larva BSF sangat dipengaruhi oleh media pakan, jika media tersebut kaya

protein maka larva akan mengandung tinggi protein, demikian juga jika media

kaya akan lemak maupun serat (Tomberlin, Sheppard dan Joyce, 2002).

Kemampuan larva BSF dalam memakan berbagai jenis bahan organik kemudian

mengkonversi menjadi protein, lemak maupun kalori adalah karena keberadaan

enzim protease, lipase, dan amilase dalam sistem pencernaannya (Kim, Bae dan

Park, 2011). Kemampuan konversi bahan organik oleh larva BSF tersebut

menjadikannya sebagai sumber pakan tinggi nutrisi khususnya protein (Makkar,

Tran dan Heuze, 2014).

Tabel 7. Persyaratan mutu pakan ikan sesuai standar nasional Indonesia (SNI)

Jenis Ikan Protein min (%) Lemak, min (%)

Mas 30 5

Bawal 30 6

Nila 30 5

Patin 30 5

Lele 30 5

Gurame 32 6

32

Kandungan protein merupakan komposisi utama dalam produk pakan

hewan, sehingga diharapkan protein tinggi dalam larva BSF dapat menjadi

sumber protein bagi pakan hewan. Menurut WHO (2013), protein merupakan

komponen dasar dalam pembuatan pakan hewan yang berperan penting dalam

proses pertumbuhan. Larva lalat BSF memiliki kualitas protein yang baik untuk

dijadikan bahan pakan (Mohammed et al., 2017). Larva BSF dapat digunakan

sebagai pakan tambahan bagi ikan, oleh karena itu kandungan nutrisi dari larva

BSF juga harus memenuhi persyaratan mutu pakan ikan sesuai dengan Standar

Nasional Indonesia (SNI) (Tabel. 7). Tingkat kebutuhan protein ikan menurut

Craig dan Helfrich (2009) yaitu untuk ikan karnivora sebesar 40-50% dan ikan

omnivora sebesar 25-35%. Kadar protein pakan pada akuakultur rata-rata 18-20%

untuk udang laut, 28-32% untuk ikan patin, 32-38% untuk ikan nila. Sebagian

besar petani ikan menggunakan pakan lengkap yang mengandung semua nutrisi

yang dibutuhkan yakni protein (18-50%), lipid (10-25%), karbohidrat (15-20%),

abu (< 8.5%), fosfor (< 1.5%), air (< 10%), dan jumlah vitamin dan mineral

(Monita, 2017). Berdasarkan Tabel 7, yaitu persyaratan mutu pakan ikan sesuai

SNI pada beberapa jenis ikan, dapat disimpulkan bahwa kisaran protein dan lemak

yang dikandung oleh larva BSF dalam penelitian ini memenuhi kebutuhan protein

dan lemak bagi ikan sesuai SNI, sehingga berpotensi sebagai pakan ikan.

Kandungan lemak menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan

dalam pembuatan tepung larva lalat BSF (Aniebo & Owen, 2015). Lipid

merupakan salah satu komponen penting yang harus ada dalam pembuatan pakan

hewan, khususnya hewan akuatik (Li, Zeng dan Qiu, 2017). Lipid merupakan

sumber komponen utama lainnya selain protein dalam pembuatan pakan (Hu et

al., 2017). Komponen lipid yang dominan ditemukan pada larva black soldier fly

adalah asam lemak (Li, Zeng dan Qiu, 2017). Larva lalat tersusun atas 58-72%

lemak jenuh dan 19-40% lemak tak jenuh dari total kandungan lemak (Li Q et al.,

2011b; Kroeckel et al., 2012; Makkar et al., 2014; Surendra et al., 2016). Larva

lalat mengandung 21% asam laurat, 16% asam palmitat, 32% asam oleat dan

0,2% asam lemak omega-3 (Makkar, Tran dan Heuze, 2014). Adanya kandungan

lipid yang baik terutama asam lemak membuat larva lalat banyak dimanfaatkan

33

dalam produksi minyak (black soldier oil) (Li, Zeng dan Qiu, 2017).

Penggunaanya diduga mampu menggantikan penggunaan minyak kedelai (Peng et

al., 2008; Deng et al., 2014; Emre et al., 2016; Li et al., 2017), minyak biji bunga

matahari (Bransden, 30 Carter & Nichols, 2003) atau minyak kelapa dalam

pembuatan pakan ikan (Luo et al., 2014; Li et al., 2017).

4.3 Konsumsi Substrat (Substrate Consumption)

Konsumsi substrat merupakan jumlah substrat yang dikonsumsi oleh larva

yang dinyatakan dalam persen selama masa pemeliharaan larva. Berdasarkan hasil

perhitungan yang disajikan pada Tabel 8 didapatkan konsumsi substrat pada

perlakuan A sebesar 83,33%, perlakuan B sebesar 80%, dan perlakuan C sebesar

73,33%. Nilai konsumsi substrat dengan perlakuan ditambahkan darah sapi yaitu

perlakuan B dan perlakuan C memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan

dengan tanpa penambahan darah sapi yaitu perlakuan A. Hasil statistik

menunjukkan bahwa konsumsi substrat pada perlakuan C berbeda nyata

dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B (Lampiran 6). Hal ini diduga

kadar air pada perlakuan C lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan

perlakuan B, karena akibat dari pemanambahan darah sapi sebesar 10%.

Tabel 8. Perbandingan nilai parameter pada tiap perlakuan

Perlakuan

Parameter

Konsumsi

Substrat (%)

Indeks

Pengurangan

Limbah (% hari)

Efisiensi

Pakan

Tercerna (%)

Kelulusan

Hidup (%)

A 83,33 ± 0,94b 4,67 ± 0,05b 10,81 ± 1,42a 98,71 ± 0,50a

B 80 ± 1,63b 4,43 ± 0,12b 11,55 ± 1,86a 98,73 ± 0,57a

C 73,33 ± 2,36a 4,10 ± 0,14a 19,57 ± 3,10b 98,64 ± 0,28a

Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik

ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah

sapi. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (p<0,05).

Kandungan air yang tinggi pada darah dapat menyebabkan peningkatan

kadar air pada media yang ditambahkan darah tersebut. Penelitian sebelumnya

(Diener et al., 2009; Bonso, 2013; Hakim, 2017) menyatakan bahwa dalam

membudidayakan BSF kadar air media harus rendah, karena larva tidak dapat

34

berkembang dengan baik dan bahkan tidak dapat tumbuh pada media dengan

kadar air >70%. Media pakan larva BSF dengan kadar air tinggi akan

menyebabkan kondisi anaerobik yang akan menghasilkan ammonia (NH3) dan

metana (CH4), sehingga dapat menghambat proses konsumsi substrat oleh larva

dan memengaruhi pertumbuhannya (Saragi & Bagastyo, 2015).

Penelitian mengenai konsumsi substrat larva BSF telah dilakukan

sebelumnya dengan media yang berbeda. Penelitian Diener, Zurbrügg dan

Tockner (2009), dengan media pakan ayam memperoleh nilai konsumsi substrat

sebesar 26,2-39,7%, penelitian Manurung et al. (2016) dengan media limbah

jerami padi dihasilkan nilai konsumsi substrat sebesar 9,58-31,53%, Supriyatna &

Putra (2017) dengan media limbah singkong memperoleh nilai konsumsi substrat

sebesar 9,29-36,82%, Hakim, Prasetya dan Petrus (2017) dengan media jeroan

dan kepala ikan tuna sebesar 52,33-77,09%, dan Wicaksono, Petrus dan Yuliansah

(2017) dengan media palm kernel meal dan kompos tandan kosong kelapa sawit

sebesar 9,46-48,08%.

Perbedaan nilai konsumsi substrat pada media yang berbeda diduga

disebabkan oleh kualitas media yang berbeda, sehingga berpengaruh terhadap

nutrisi yang diperoleh oleh larva BSF untuk berkembang. Pertumbuhan dan

perkembangan larva BSF dipengaruhi oleh kandungan nutrisi media. Media pakan

dengan kandungan protein dan lemak yang tinggi akan mempercepat kenaikan

bobot larva (Tomberlin, Sheppard dan Joyce, 2002).

4.4 Indeks Pengurangan Limbah (Waste Reduction Index / WRI)

Indeks pengurangan limbah (WRI) merupakan indeks pengurangan limbah

oleh larva BSF per hari. Menurut Hakim, Prasetya dan Petrus (2017), nilai WRI

digunakan untuk menghitung kemampuan larva BSF dalam mengkonsumsi media

pakan dengan mempertimbangkan waktu atau periode pemberian pakan. Nilai

WRI yang tinggi menunjukkan bahwa kemampuan larva dalam mereduksi pakan

juga tinggi. Berdasarkan Tabel 8, nilai WRI yang diperoleh pada penelitian ini

yaitu pada perlakuan A sebesar 4,67%, pada perlakuan B sebesar 4,43%, dan pada

perlakuan C sebesar 4,10%. Hasil statistik menunjukkan bahwa indeks

pengurangan limbah pada perlkuan C berbeda nyata dibandingkan dengan

35

perlakuan A dan perlakuan B (Lampiran 7). Perlakuan A yaitu sampah organik

restoran tanpa ditambahkan darah sapi dan perlakuan B yaitu sampah organik

restoran ditambahkan 5% darah sapi diduga dapat dikonsumsi oleh larva BSF

secara optimal dibandingkan dengan perlakuan C yaitu sampah organik restoran

ditambahkan 10% darah sapi. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar air media

pakan pada perlakuan C lebih tinggi dengan perlakuan lainnya, sehingga dapat

menghambat proses konsumsi substrat dan indeks pengurangan limbah.

Hakim, Prasetya dan Petrus (2017) menjelaskan bahwa, nilai WRI

berbanding lurus dengan nilai konsumsi substrat, jika nilai konsumsi substrat

tinggi maka nilai WRI juga tinggi. Nilai WRI mengindikasikan efisiensi larva

BSF dalam mereduksi substrat yang diberikan, serta menunjukkan efektivitas

waktu yang diperlukan untuk mereduksi substrat tersebut (Supriyatna & Putra,

2017). Nilai WRI yang semakin tinggi menunjukkan semakin baik efisiensi

reduksi substrat yang dihasilkan (Diener, Zurbrügg dan Tockner, 2009).

4.5 Efisiensi Konversi Pakan Tercerna (Efficiency of Conversion of Digested-

Feed / ECD)

Efisiensi konversi pakan tercerna merupakan konversi pakan yang dicerna

oleh larva BSF selama masa pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 8 nilai ECD yang

diperoleh pada penelitian ini yaitu pada perlakuan A sebesar 10,81%, perlakuan B

sebesar 11,55%, dan perlakuan C sebesar 19,57%. Nilai ECD merupakan

gambaran tingkat efisiensi larva BSF dalam mengkonversi pakan yang

dikonsumsi menjadi biomassanya, semakin tinggi nilai ECD maka semakin tinggi

pula tingkat efisiensinya (Hakim, Prasetya dan Petrus, 2017).

Nilai ECD pada pertumbuhan larva BSF berhubungan dengan kualitas

pakan yang diberikan (Ahmad, 2001). Nilai ECD yang paling tinggi pada

penelitian ini diperoleh pada perlakuan C, yaitu dengan penambahan darah sapi

sebesar 10%. Hasil statistik juga menunjukkan bahwa perlakuan C berbeda nyata

dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B (Lampiran 8). Hal tersebut

menunjukkan bahwa penambahan darah sapi sebesar 10% pada sampah organik

restoran memberikan pengaruh signifikan terhadap efisiensi konversi pakan

tercerna. Hal tersebut diduga karena kualitas nutrisi pakan yang meningkat

36

dengan diberi penambahan darah sapi sebesar 10%. Nilai ECD berbanding lurus

dengan bobot larva, semakin tinggi nilai ECD maka semakin tinggi pula

peningkatan bobot larva BSF. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan C yang

memiliki nilai ECD paling tinggi juga diperoleh bobot yang tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B (Tabel 1).

Hakim, Prasetya dan Petrus (2017), dalam penelitiannya yang

menggunakan media pakan jeroan dan kepala ikan tuna mendapatkan nilai ECD

dan bobot larva pada media kepala ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan

media jeroan ikan tuna. Hal tersebut disebabkan kualitas jeroan ikan tuna lebih

rendah dibandingkan dengan kepala ikan tuna. Kualitas nutrisi media yang kurang

bagus akan memberikan nilai ECD yang lebih rendah, sehingga peningkatan

bobot larva juga rendah.

4.6 Tingkat Kelulusan Hidup (Survival Rate / SR)

Tingkat kelulusan hidup merupakan jumlah larva yang masih hidup hingga

akhir masa pemeliharaan larva. Berdasarkan Tabel 8, tingkat kelulusan hidup

yang diperoleh pada penelitian ini yaitu, pada perlakuan A sebesar 98,71%,

perlakuan B sebesar 98,73% dan perlakuan C sebesar 98,64%. Nilai tingkat

kelulusan hidup atau survival rate (SR) terendah pada perlakuan C yaitu sebesar

98,53 % larva hidup (Lampiran 7). Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan air

yang tinggi pada media sampah organik yang ditambahkan darah sapi sebesar

10%.

Berdasarkan hasil statistik pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa, tidak

ada pengaruh yang signifikan dari penambahan darah sapi sebesar 5% dan 10%

pada sampah organik restoran terhadap tingkat kelulusan hidup larva BSF. Kadar

air pada media berpengaruh terhadap nilai SR pada larva BSF. Hal ini

dikemukakan oleh Fatchurochim et al. (1989) yang melakukan penelitian terhadap

pengaruh kadar air dalam pakan (kotoran ternak) BSF. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa larva BSF masih mampu hidup pada pakan yang

mengandung kadar air sebesar 20-90% dengan nilai SR rendah, sedangkan SR

larva tertinggi tercapai pada pakan dengan kadar air 40-60%. Hasil penelitian

Hakim, Prasetya dan Petrus (2017), mendapatkan bahwa nilai tingkat kelulusan

37

hidup larva BSF pada media limbah kepala ikan tuna lebih tinggi dibandingkan

dengan pada media limbah jeroan ikan tuna. Hal ini dikarenakan kandungan

protein yang lebih tinggi dan kadar air yang sesuai, sehingga menyebabkan larva

BSF pada media limbah kepala ikan tuna memiliki nilai tingkat kelulusan hidup

yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada media limbah jeroan ikan tuna.

38

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1) Perlakuan penambahan darah sapi sebesar 10% pada sampah organik

dapat meningkatkan produksi telur black soldier fly, guna memaksimalkan

biokonversi sampah organik menggunakan larva lalat black soldier fly

untuk menghasilkan produk bahan pakan ikan yang potensial dan bernilai

tinggi.

2) Penambahan darah sapi pada sampah organik untuk proses biokonversi

menggunakan larva lalat black soldier fly dapat meningkatkan nilai

efisiensi pakan tercerna namun belum dapat meningkatkan nilai konsumsi

substrat dan indeks pengurangan limbah pada proses biokonversi tersebut.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji lebih dalam mengenai

analisis proksimat pada pakan, dosis dan jenis pakan tambahan lainnya untuk

menghasilkan produksi telur dan larva BSF paling baik dalam skala produksi

masal, serta takaran yang optimal antara jumlah larva yang digunakan dengan

jumlah sampah organik. Perlu dikaji jenis pakan tambahan lainnya untuk

mengoptimalkan proses biokonversi menggunakan larva BSF. Perlu diperhatikan

wadah pemeliharaan larva agar dapat mengurangi kadar air pada pakan.

39

DAFTAR PUSTAKA

[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Komposisi

sampah di Pulau Jawa [Internet]. [diakses 3 Desember 2018]. Tersedia

pada : http//www.sipsn.menlhk.go.id.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia, 2008. Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan sampah [Internet].

[diunduh 24 Oktober 2018]. Tersedia pada : http//www.walhi.or.id.

Alattar, M. A. (2012). Biological treatment of leachates of microaerobic

fermentation. Theses. Portland State University. USA.

Alvarez, L. (2012). The role of black soldier fly, Hermetia illucens (L.)

(Diptera: Stratiomyidae) in sustainable waste management in northern

climates. University of Windstor. Ontario, Canada.

AOAC. (2005). Official methods of analysis 18th edition. Gaithersburg, Maryland

20877-2417, USA.

Arif, Z. (2016). Uji kualitas pupuk organik cair yang dibuat dari limbah rumah

potong hewan. [Skripsi]. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Barros-Cordeiro K.B., Nair Báo S, & Pujol-Luz J. R. (2014). Intra-puparial

development of the black soldier fly, Hermetia illucens. J Insect Sci. 14:1-

10.

Borror, D. J., Triplehorn, C. A., & Johnson, N. F. (1992). Pengenalan pelajaran

serangga edisi keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Caruso, D., Devic, E., Subamia, I. W., Talamond, P., & Baras, E. (2014).

Technical handbook of domestication and production of diptera black

soldier fly (BSF) Hermetia illucens, Stratiomyidae. IRD-DIVA-ISEM. No

2014-038.

Diener, S.,C. Zurbrügg, & K. Tockner. (2009b). Conversion of organic material

by black soldier fly larvae: establishing optimal feeding rates. Waste

Management Research 27, pp. 603-610.

Dortmans, B., Diener, S., Verstappen, B., & Zurbrugg, C. (2017). Black soldier

fly biowaste processing a step-by-step guide. Eawag: Swiss Federal

Institute of Aquatic Science and Technology, Dübendorf, Switzerland.

Erickson, M. C., M. Islam., C. Sheppard., J. Liao., & M. P. Doyle. (2004).

Reduction of Escherichia coli and Salmonella enterica serovar enterisidis

40

in chicken manure by larvae of the black soldier fly. Journal of Food

Protection 67 (4). Pp. 685-690.

Ernawati, H., Nur, C. C., Susi, K., & Gusti, I. I. (2015). Pemanfaatan limbah

darah sapi dan kiambang sebagai pupuk ramah lingkungan untuk

mendukung pertanian lahan gambut yang berkelanjutan. Udayana

Mengabdi 14 (1) : 13 – 17.

Fahmi, M. R., Hem, S., & Subamia, I. W. (2009). Potensi maggot untuk

peningkatan pertumbuhan dan status kesehatan ikan. J. Ris. Akuakultur 4

(2) :221-232.

Fahmi, M. R. (2015). Optimalisasi proses biokonversi dengan menggunakan mini-

larva Hermetia illucens untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan. Pros sem

nas masy biodiv indon 1(1), pp. 139-144.

Gobbi, P., Martínez-Sánchez A, & Rojo S. (2013). The effects of larval diet on

adult life-history traits of the black soldier fly, Hermetia illucens (Diptera:

Stratiomyidae). Eur J Entomol. 110:461-468.

Hall, D. C., & Gerhardt, R. R. (2002). Flies (Diptera). Medical and veterinary

entomology. 8:127-161. Academic Press. Sandiago. California.

Hakim, A. R., Agus, P., & Hilmawan, T. B. M. P. (2017). Studi laju umpan pada

proses biokonversi limbah pengolahan ikan tuna menggunakan larva

Hermetia illucens. JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 12 No. 2 Tahun

2017: 179-192.

Holmes, L. A., Vanlaerhoven, S. L., & Tomberlin, J. K. (2013). Substrate effects

on pupation and adult emergence of Hermetia illucens (Diptera:

Stratiomyidae). Environ Entomol. 42:370-374.

Jamila. (2012). Pemanfaatan darah dari limbah RPH. [Modul]. Teknologi

pengolahan limbah dan sisa hasil ternak. Fakultas Peternakan Universitas

Hasanudin. Makassar.

Katayane, F.A., Bagau, B., Wolayan, F.R., Imbar, M.R. (2014). Produksi dan

kandungan protein maggot (Hermetia illucens) dengan menggunakan

media tumbuh berbeda. Jurnal Zootek. Vol 34, edisi khusus, hal 27-36.

Kim, W., Bae, S., Kim, A., Park, K., Lee, S., Choi, Y., Han, S., Park, Y., & Koh,

Y. (2011). Biochemical characterization of digestive enzymes in the black

soldier fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae). Journal of asia

pasific entomology. 14: 11-14.

Li, Q., Zheng, L., Qiu, N., Cai, H., Tomberlin, J, K., & Yu, Z. (2011).

Bioconversion of dairy manure by black soldier fly (diptera :

41

stratiomyidae) for biodiesel and sugar production. Journal of waste

management.

Liu, Q., J. K. Tomberlin., J. A. Brady., M. R. Sanford., & Z. Yu. (2008). Black

soldier fly (Diptera : Stratiomyidae) larvae reduce Escherechia coli in

dairy manure. Environ Entomol 37 (6). Pp. 1525-1530.

Makkar, H. P. S., Tran, G., Heuzé, V., & Ankers, P. (2014). State of the art on use

of insects as animal feed. Animal Feed Science and Technology, 197 (14),

1–33.

Monita L. (2017). Biokonversi sampah organik menggunakan larva black soldier

fly (Hermetia illucens) dan EM4 dalam rangka menunjang pengelolaan

sampah berkelanjutan. [Thesis] Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Murniyati, A. S & Sunarman. (2000). Pendinginan pembekuan dan pengawetan

ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Newton L., Sheppard, C., Watson, D.W., Burtle, G., Dove, R. (2005). Using the

black soldier fly, Hermetia illucens, as a value-added tool for the

management of swine manure. Report for The Animal and Poultry waste

Management Center. North Carolina State University Raleigh.

Nguyen, T.T.X., J.K. Tomberlin, & S. Vanlaerhoven. (2015). Ability of black

soldier fly (Diptera: Stratiomyidae) larvae to recycle food waste. Environ

Entomol 44 (2), pp. 406-410.

Pangestu, W., Agus, P., & Rochim, B. C. (2017). Pengelolaan limbah kulit

pisang dan nangka muda menggunakan larva black soldier fly (Hermetia

illucens). Simposium Nasional RAPI XVI-2017. FT UMS.

Popa, R., & Green, T. (2012). Biology and ecology of the black soldier fly. Lake

Oswego, Oregon. USA.

Prihatno, Surya, A., Kusumawati, A., Karja, N. W. K., & Sumiarto, B. (2013).

Profil biokimia darah pada sapi perah yang mengalami kawin berulang.

Jurnal Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Purnamasari, T., Berta, P., & Siti, H. (2015). Penambahan darah sapi yang telah

difermentasi sebagai sumber nutrien dalam budidaya Daphnia sp.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Lampung.

Purwendro, S., & Nurhidayat. (2006). Mengolah sampah untuk pupuk dan

pestisida organik. Penebar Swadaya. Depok.

Rachmawati, D. Buchori, P. Hidayat, S. Hem, & M. R. Fahmi. (2010).

Perkembangan dan kandungan nutrisi larva Hermetia illucens (Linnaeus)

42

(Diptera: Stratiomyidae) pada bungkil kelapa sawit. J Entomol Indon 7(1),

pp. 28-41.

Ramadhan, R. F., Marlida, Y., Mirzah, & Wisna. (2015). Metode pengolahan

darah sebagai pakan unggas. Jurnal Peternakan Indonesia. 17 (1) : 63-76.

Sheppard, D.C., J.K. Tomberlin., J.A. Joyce., B.C. Kiser., & S. M. Sumner.

(2002). Rearing methods for the black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae).

J Med Entomol 39 (4), pp. 695-698.

Sinaga, D. (2009). Pembuatan pupuk cair dari sampah organik dengan

menggunakan biosca sebagai starter. [Skripsi]. Departemen Teknologi

Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sipayung, P. Y. E. (2015). Pemanfaatan larva black soldier fly (Hermetia illucens)

sebagai salah satu teknologi reduksi sampah di daerah perkotaan.

[Skripsi]. Jurusan Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Supriyatna, A., Manurung, R., Esyanthi, R.R., Putra, R.E. (2016), Growth of

black soldier larvae fed on cassava peel wastes, an agriculture waste.

Journal of Entomology and Zoology Studies, 2016; 4(6): 161-165.

Suriawiria U. (2003). Mikrobiologi air. Bandung (ID): PT Alumni.

Tomberlin, J.K., & D.C. Sheppard. (2002). Factors influencing mating and

oviposition of black soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) in a colony. J

entomol sci 37 (4), pp. 345-352.

Tomberlin, J.K., D.C. Sheppard, & J. A. Joyce. (2002). Selected life history

traits of black soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) reared on three

artificial diets Ann Entomol Soc Am 95 (3), pp. 379-386.

Tomberlin JK, Adler PH, Myers HM. 2009. Development of the black soldier fly

(Diptera: Stratiomyidae) in relation to temperature. Enviromental Entomol.

38:930-934.

Wardhana, A. H. (2016). Black soldier fly (Hermetia illucens) sebagai sumber

protein alternatif untuk pakan ternak. Wartazoa Vol. 26 No. 2 Th. 2016

Hlm. 069-078.

Wibowo, R. (2010). Pengaruh pemberian serum darah sapi dan ayam terhadap

pertumbuhan tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) pada tanah

ultisol. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.

Wicaksono, L. H., Himawan, T. B. M. P., & Ahmad, T. Y. (2017). Reduksi

limbah palm kernel meal dan kompos tandan kosong kelapa sawit

43

menggunakan larva Hermetia illucens. Simposium Nasional RAPI XVI –

2017. FT UMS.

Zakova, M & Borkovcova, M. (2013). Hermetia illucens application in

management of selected types of organic waste. Electronic International

Interdiciplinary Conference.

44

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada panjang tubuh larva BSF

ANOVA

Panjang

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 47.892 2 23.946 18.067 .000

Within Groups 194.831 147 1.325

Total 242.722 149

Panjang

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

B 50 16.8832

A 50 17.2050

C 50 18.2099

Sig. .164 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

45

Lampiran 2. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada lebar tubuh larva lalat BSF

ANOVA

Lebar

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.162 2 1.081 15.859 .000

Within Groups 10.018 147 .068

Total 12.179 149

Lebar

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

B 50 4.6695

A 50 4.6758

C 50 4.9272

Sig. .905 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

46

Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada bobot tubuh larva lalat BSF

ANOVA

Berat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7.792 2 3.896 5.694 .041

Within Groups 4.105 6 .684

Total 11.897 8

Berat

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

B 3 7.0800

A 3 7.3800

C 3 9.1867

Sig. .672 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

47

Lampiran 4. Morfologi larva lalat BSF (Hermetia illucens)

Keterangan : (a) larva perlakuan A hari ke 6, (b) larva perlakuan B hari ke 6, (c)

larva perlakuan C hari ke 6, (d) larva perlakuan A hari ke 14, (e) larva perlakuan

B hari ke 14, (f) larva perlakuan C hari ke 14, (g) larva perlakuan A hari ke 18, (h)

larva perlakuan B hari ke 18, (i) larva perlakuan C hari ke 18.

a

b

c

d

e

f

g

h

i

48

Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pupa BSF

ANOVA

Pupa

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 34097.705 2 17048.852 9.669 .013

Within Groups 10579.235 6 1763.206

Total 44676.939 8

Pupa

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

A 3 118.3333

C 3 167.1533

B 3 266.2800

Sig. .204 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

49

Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada konsumsi substrat (substrate

consumption)

ANOVA

KS

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 155.556 2 77.778 17.073 .003

Within Groups 27.333 6 4.556

Total 182.889 8

KS

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

C 3 73.33

B 3 80.00

A 3 83.33

Sig. 1.000 .104

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

50

Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada indeks pengurangan limbah

(waste reduction index / WRI)

ANOVA

WRI

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .487 2 .243 12.882 .007

Within Groups .113 6 .019

Total .600 8

WRI

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

C 3 4.100

B 3 4.433

A 3 4.667

Sig. 1.000 .083

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

51

Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada efisiensi konversi pakan tercerna

(efficiency of conversion of digested feed / ECD)

ANOVA

ECD

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 141.509 2 70.754 9.364 .014

Within Groups 45.336 6 7.556

Total 186.845 8

ECD

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

A 3 10.8067

B 3 11.5533

C 3 19.5667

Sig. .751 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

52

Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada tingkat kelulusan hidup (survival

rate / SR)

ANOVA

SR

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .014 2 .007 .021 .979

Within Groups 1.967 6 .328

Total 1.981 8

SR

Duncan

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1

C 3 98.6400

A 3 98.7067

B 3 98.7333

Sig. .853

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.