Penentuan Derajat Anisotropi Batuan Intrunsif Diorit dengan...
Transcript of Penentuan Derajat Anisotropi Batuan Intrunsif Diorit dengan...
Penentuan Derajat Anisotropi Batuan Intrunsif Diorit dengan Menggunakan
Metode AMS( Anisotropy of Magnetic Susceptibility ) dan Metode AAS (
anisotropy of Anhysteretic Susceptibility )
Oleh
Ni Komang Tri Suandayani. Ssi.Msi
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
ABSTRAK
Telah dilakukan pengukuran anisotropi of anhysteretic susceptibility (AAS), dan
anisotropi of magnetic susceptibility (AMS) untuk menganalisa derajat anisotropi batuan intrusif
diorit dan menentukan ukuran bulir magnetik pembawa remanen pada batuan sedimen, untuk
layak tidak sebagai sampel. Sampel batuan yang diambil dari intrusif vertikal diorit yang
berlokasi di Watuliomo tepatnya di gunung Sikambe dan gunung Suwur yang berada di
kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Di buat dalam bentuk silinder dengan diameter 2,54 cm dan
panjang 2,3 cm menggunakan alat Magnetic Measurement Portable Rock Drill (MMPRD).
Sampel berjumlah 10 core dimana yang 7 core berasal dari gunung Sikambe dan 3 core dari
gunung Suwur. Pengukuran AMS yang dilakukan pada sembilan arah pengukuran, menggunakan
Bartington Magnetic Susceptibility Meter Model MS2 dengan sensor MS@B. Sedangkan AAS
dilakukan dengan pengukuran ARM dalam sembilan arah menggunakan seperangkat Molspin
AF Demagnetizer, partial anhysteretic remanent magnetization (pARM) dan Minispin
Magnetometer Anisotropi yang ditunjukkan dari hasil pengukuran metode AMS dan AAS pada
sampel diorit ini sangat tinggi ( derajat anisotropi >5%). Lineasi magnetiknya lebih kuat daripada
foliasi magnetiknya sampel diorit tidak cocok untuk kajian Paleomagnetik. Perbandingan derajat
anisotropi dari metode AAS dan AMS lebih kecil dari 1 (rata-rata 0,64 dengan simpangan baku
0,16). Metode AAS lebih efektif daripada metode AMS untuk sampel yang sedikit mengandung
mineral ferromagnetik, tetapi pada pengukurannya memerlukan waktu yang lebih lama daripada
metode AMS. Perbedaan yang diperoleh dari hasil pengukuran AAS dan AMS disebabkan
sampel di dominasi oleh butiran multi domain dan butiran magnetite.
Kata kunci : anisotropi magnetik, suseptibilitas magnetik, suseptibilitas anhisteretik
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Paleomagnetik adalah suatu kajian tentang arah dan besar rekaman medan magnetik bumi
waktu lampau dalam batuan, rekaman medan magnetik bumi diakibatkan oleh adanya mineral-
mineral magnetik yang terdapat pada batuan. Rekaman ini disebut sebagai remanen magnetik.
Kualitas rekaman tidak saja dipengaruhi oleh jenis mineral magnetik tetapi juga oleh distribusi
ukuran bulir, karena itu analisa tentang mineralogi dan granulometri ( distribusi ukuran bulir )
sangat penting dalam kajian paleomagnetik.
Akurasi rekaman medan magnetik bumi pada batuan juga dipengaruhi oleh sifat batuan,
apakah batuan itu bersifat isotropik atau anisotropik. Batuan yang secara magnetik bersifat
isotropik akan merekam medan magnetik bumi sesuai dengan arah medan magnetik bumi pada
waktu batuan tersebut terbentuk tapi apabila batuan itu bersifat anisotropik maka medan
magnetik bumi yang terekam pada batuan tersebut akan mengalami penyimpangan dari arah
semula .
Dalam kajian paleomagnetik sampel dikatakan belum menyebabkan kesalahan yang
cukup berarti apabila derajat anisotropinya kurang atau sama dengan 5%. Karena itu derajat
anisotropi magnetik sampel perlu dilihat (1)
. Pada penelitian ini derajat anisotropi magnetik dari
batuan jenis diorite akan diukur untuk menentukan kelayakannya sebagai sampel pada kajian
paleomagnetik. Komposisi batuan diorite secara umum adalah pyroxene, sodium-calcium
plagroclase, amphibole dan biotite (9)
. Batuan intrusif diorite umumnya mempunyai bulir-bulir
yang relatif besar karena batuan intrusif (seperti granit, gabro dan diorit) yang mendingin secara
perlahan dalam waktu rang relatif lama, berbeda dengan batuan ekstrusif ( seperti riolit, andesit
dan baslt) yang mendingin secara perlahan dalam waktu yang relatif cepat sehingga ukuran
bulirnya relatif lebih kecil daripada batuan intrusif. Ukuran bulir ini akan mempengaruhi kualitas
rekaman dan anisotropi batuan (13)
. Adapun suseptibilitas batuan diorite ini berkisar 1 x 10-9
sampai 5 x 10-5
untuk satuan SI.
Pada penelitian ini derajat anisotropi batuan intrusif diorit akan dianalisa dengan
menggunakan metode AMS ( Anisotropy of Magnetic Suseptibility ) dan metode AAS (
Anisotropy of Anhysteretic Susceptibility ). Metode AMS merupakan suatu cara pengukuran
anisotropi magnetik batuan dengan menggunakan medan searah yang kecil, sementara metode
AAS merupakan pengukuran anisotropi magnetik batuan yang berkenaan dengan magnetisasi
remanen anhisteretik. Pada metode AAS sampel secara bersamaan dikenai dua medan yang
berbeda, masing-masing medan searah yang lemah dan medan bolak-balik yang kuat, yang
intensitasnya berkurang secara lambat menuju nol.
Ada beberapa perbedaan antara metode AMS dan metode AAS. Anisotropi remanen
anhisteretik dalam beberapa batuan bias sangat tinggi sedangkan anisotropi suseptibilitasnya
sangat lemah bahkan bisa mencapai nol. AAS juga lebih sensitif untuk bahan yang didominasi
oleh butiran single-domain, pseudo single domain komposisi batuan diorite secara umum adalah
pyroxene, sodium-calcium plagioclase, amphibole dan biotite (9)
. Batuan intrusif diorite
umumnya mempunyai bulir-bulir yang relatif besar karena batuan intrusif ( seperti riolit, andesit
dan basalt) yang mendingin dalam waktu yang relatif cepat sehingga ukuran bulirnya relatif lebih
kecil daripada batuan intrusif. Ukuran bulir ini akan mempengaruhi kualitas rekaman dan
anisotropi batuan(13)
. Adapun suseptibilitas batuan diorite ini berkisar 1 x 10-9
sampai 5 x 10-5
untuk satuan SI.
Pada penelitian ini derajat anisotropi batuan intrusif diorite akan dianalisa dengan
menggunakan metode AMS ( Anisotropy of Magnetic Susceptibility) dan metode AAS (
Anisotropy of Anhysteretic Susceptibility ). Metode AMS merupakan suatu cara pengukuran
anisotropi magnetik batuan dengan menggunakan medan searah yang kecil, sementara metode
AAS merupakan pengukuran anisotropi magnetik batuan yang berkenaan dengan magnetisasi
remanen anhisteretik. Pada metode AAS sampel secara bersamaan dikenai dua medan yang
berbeda, masing-masing medan searah yang lemah dan medan bolak-balik yang kuat, yang
intensitasnya berkurang secara lambat menuju nol.
Ada beberapa perbedaan antara metode AMS dan metode AAS. Anisotropi remanen
anhisteretik dalam beberapa batuan bisa sangat tinggi sedangkan anisotropi suseptibilitasnya
sangat lemah bahkan bisa mencapai nol. AAS juga lebih sensitif untuk bahan yang di dominasi
oleh butiran single domain, pseudo single domain dan mengandung mineral-mineral
ferromagnetik sedangkan AMS cenderung dominasi oleh butiran multidomain dan mengandung
mineral-mineral paramagnetik dan superparamagnetik (3)
.
Pada penelitian ini akan dibandingkan hasil kedua metode diatas. Kecenderungan arah
dari sumbu-sumbu suseptibilitas dari kedua metode diatas juga akan di lihat untuk mengetahui
metode manakah yang lebih efektif.
BABII
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anisotropi Magnetik
Sampel batuan dikatakan isotropik secara magnetik , jika sifat-sifat magnetik sampel batuan
tidak tergantung dari arah medan magnet yang diberikan. Batuan seperti ini jarang ditemui di
alam , mungkin disebabkan oleh beberapa hal diantaranya pengaruh fluktuasi temperatur yang
ekstrim, pengaruh stress dan strain, pengaruh sedimentasi dan lain sebagainya. Sebaliknya
sampel batuan dikatakan anisotropi se cara magnetik jika sifat-sifat magnetiknya bergantung
kepada arah medan yang diberikan. Kuantitas-kuantitas anisotropi magnetik ini ditunjukkan
senagai suseptibilitas magnnetik, magnetisasi remanen atau energi magnetisasi saturasi
(Bijaksana, 1991 ; Collinson, 1983 ; Tarling dan Hrouda, 1993). Magnetisasi yang dihasilkan
oleh suatu bahan atau dalam kajian ini berupa batuan karbonat, terdiri atas dua komponen yaitu
magnetisasi induksi ( MI ) dan magnetisasi remanen ( MR ) dengan rumusan sebagai berikut :
M = MI + MR (2.1)
MI ditimbulkan oleh medan magnet luar, sedangkan MRadalah magnetisasi spontan yang
ditimbulkan karena interaksi kuat antara spin-spin tetangga yang terdekat dalam kristal tertentu
dari bahan tersebut. Jika dilihat dari respon batuan yang bersifat anisotropi saat batuan tersebut
magnetisasi, diperoleh dua macam anisotropi magnetik :
1. Anisotropi Suseptibilitas Magnetik ( AMS) magnetisasi merupakan fungsi dari arah
medan yang diberikan.
2. Anisotropi Magnetisasi Remanen (ARM), dimana magnetisasi yang diperoleh dapat
menyimpang dari arah medan magnetik pada saat remanen diperoleh ( Collinson,
1983, Butler, 1992, Tarling dan Hrouda, 1993 ).
Umumnya magnetisasi pada batuan memiliki sifat anisotropi, dimana arah magnetisasi dapat
menyimpang dari medan magnetisasi.
Anisotropi suseptibilitas magnetik merupakan suatu studi yang penting, karena mempunyai
cakupan aplikasi yang luas. AMS dapat digunakan untuk menentukan arah bulir pada batuan.
Visualisasi karakteristik anisotropi digambarkan dalam ellipsoida triaxial, yang memiliki sumbu-
sumbu utama suseptibilitas maksimum (ƛ1 ), suseptibilitas median (ƛ2 ) dan suseptibilitas
minimum (ƛ3 ), dalam representasi kordinat kartesian. Dimana jika ƛ1 = ƛ2 = ƛ3 , maka
ellipsoida berbentuk sferis, jika ƛ1 = ƛ2 dan ƛ2> ƛ3, maka ellipsoida berbentuk pipih ( oblate
flattened ) dan jika ƛ1> ƛ 2dan ƛ2 = ƛ3 maka ellipsoida akan berbentuk lonjong( prolate).
Petunjuk mengenai adanya penjajaran bulir-bulir magnetik (terelongasi) diinterpretasikan oleh
karakteristik elllipsoida suseptibilitas magnetik. Penjajaran bulir-bulir magnetik umumnya
terdapat pada mineral ferromagnetik. Penjajaran bulir-bulir magnetik yang terjadi pada batuan
dengan foliasi yang jelas, akan cenderung memiliki sumbu panjang yang terotasi ke arah bidang
foliasi. Jika ƛ3 tegak lurus dengan foliasi, maka ellipsoida suseptibilitas magnetik cenderung
berbentuk pipih. Sebaliknya, sebuah batuan dengan lineasi yang jelas akan memiliki
suseptibilitas magnetik yang lonjong ƛ1 sejajar dengan arah lineasi. Batuan sedimen biasanya
menunjukkan AMS yang ramping dari ellipsoid suseptibilitas lonjong dengan ƛ3 tegak lurus
dengan permukaan ( Tarling dan Hrouda, 1993 ).
II.2. Pengukuran Anisotropi Suseptibilitas Magnetik
Nilai suseptibilitas magnetik suatu bahan yang anisotropi akan berbeda-beda sesuai dengan arah
medan dimana bahan tersebut diukur. Jika suatu sampel diberikan medan magnetik ke arah
tertentu, maka akan terukur harga suseptibilitas akan berbeda apabila diberikan medan dengan
arah yang lain. Harga suseptibilitas yang berbeda-beda inilah yang menunjukkan sifat anisotropi
suatu bahan. Pada dasarnya karakteristik anisotropi suatu bahan bergantung pada anisotropi
individual partikel magnetik yang terkandung dalam suatu bahan. Anisotropi individual partikel
magnetik dipengaruhi oleh ketidaksferisan bahan atau anisotropi bentuk ( shape anisotropy )dan
anisotropi dalam struktur kristal yang sering disebut juga magnetocrystalin anisotropy.
Dalam pengukuran anisotropi magnetik, umumnya digunakan tiga metode yaitu, pengukuran
anisotropi suseptibilitas, pengukuran isotropi suseptibilitas dan pengukuran magnetisasi induksi
secara langsung. Adapun dalam penelitian ini menggunakan metode anisotropi suseptibilitas
magnetik ( Bijaksana, 1991: Tauxe, 1998 ).
Medan H yang kecil diberikan pada suatu sampel, maka magnetisasi induksi M tidak selalu
sejajar dengan medan yang diberikan . Biasanya medan H yang diberikan sebesat 1 mT.
Implikasinya secara matematis, dapat didefinisikan dalam tiga komponen tensor yang saling
orthogonal, yakni :
Type equation here.M1 = ƛ11 H1 +ƛ12 H2 + ƛ13 H3 (2.2)
Type equation here.M2 = ƛ21 H1 +ƛ22 H2 + ƛ23 H3 (2.3)
Type equation here.M3 = ƛ31 H1 +ƛ32 H2 + ƛ33 H3 (2.4)
Dan dapat ditulis kembali sebagai :
Mi = ƛij Hj (2.5)
Dengan i = 1,2,3..
Dalam pendiskripsian anisotropi magnetik, parameter suseptibilitas magnetik dinyatakan dalam
besaran tensor rank-2 yang bersifat simetri dan digambarkan dalam ellipsoida triaxial.
Selanjutnya tensor suseptibilitas rank-2 ini ditulis sebagai ƛij, yang dalam bentuk matriks :
ƛ11 ƛ12 ƛ13
ƛij = ƛ21 ƛ22 ƛ23 (2.6)
ƛ31 ƛ23 ƛ33
Parameter ƛij adalah pengali kesetaraan, antara kuantitas magnetisasi arah-t yang disebabkan oleh
medan arah-j karena pendekatan yang digunakan bersifat simetri, maka : ƛ12 = ƛ21, ƛ23 = ƛ32, ƛ31 =
ƛ13, sehingga hanya ada enam komponen yang saling bebas dan dapat diselesaikan dengan enam
persamaan untuk menentukan ellipsoid suseptibilitas. Setiap persamaan berhubungan dengan
pengukuran suseptibilitas magnetik (M) dalam arah medan magnet berbeda (n), sehingga
menghasilkan persamaan :
Mn =l12 ƛ11 + l2
2 ƛ22 + l3
2 ƛ33 + 2l2l3 ƛ23 +2l3l1 ƛ31 + 2l1l2 ƛ12 (2.7)
Dimana l1 adalah arah cosinus dari medan yang diberikan. Untuk n pengukuran, M dapat
dinyatakan sebagai matriks berorde n x 1 dengan keenam persamaan dinyatakan sebagai :
((R1)(R
-1)) (R
1) (M) = ƛ (2.8)
Dengan (R) adalah matriks n baris dengan kolom l1,l2,l3,2l2l3, 2l3l1, 2l1l2 dan (Rt) adalah transpose
dari matriks (R). Dalam sistem koordinat, suseptibilitas umumnya diberikan dalam tiga
komponen ( ƛ1 ƛ2 ƛ3 ) yang saling ortogonal. Ketiga komponen ini diperoleh dengan
menyelesaikan persamaan karakteristik matriks ƛij sebagai berikut :
Det (ή𝛿ij – ƛij ) = 0 (2.9)
(ή𝛿ij – ƛij ) ƛ = 0 (2.10)
Dimana ή adalah nilai eigen dari matriks ƛij, ƛ merupakan vektor eigen yang berkolerasi dengan
ή dan ⸹ij adalah delta krocneker. Adapun sumbu ellipsoida suseptibilitas diperoleh dari nilai
eigen ƛ1,ƛ2 dan ƛ3( (Tauxe, 1998).
Dalam pengukuran suseptibilitas AMS pada penelitian ini mengacu pada skema pengukuran
yang dimodifikasi (Bijaksana, 1999). Pola pengukuran dapat di lihat pada gamnar II.2. Arah
cosinus (koordinat geometri ruang) sumbu-sumbu North, East dan Down tu N,E,d dapat
dinyatakan sebagai berikut :
M1 ( 1,0,0 ) M5 (1
2 , 0,
1
2 )
M2 ( 0,1,0 ) M6 (0, 1
2 ,
1
2 )
M3 (0,0,1 ) M7 ( - 1
2,
1
2, 0 )
M4 ( 1
2 ,
1
2 , 0 ) M8 ( -
1
2 ,
1
2 , 0 )
Suseptibilitas diukur dalam delapan arah-
arah menurut persamaan 2.8 yaitu :
M1 = ƛ11
M2 = ƛ22
M3 = ƛ33
M4 = 1
2 ƛ11 +
1
2 ƛ22 + ƛ12
M5 = 1
2ƛ11 +
1
2 ƛ33 + ƛ31
M6 = 1
2 ƛ22 +
1
2 ƛ33 + ƛ23
M7 = 1
2 ƛ11 +
1
2 ƛ22 – ƛ12
M8 = 1
2 ƛ11 +
1
2 ƛ33 – ƛ31 (2.11)
Jika ditulis dalam notasi matrik sebagai berikut :
M = Rƛ (2.12)
Dimana
Tensor anisotropi tersebut
dapat dihitung dengan bentuk
persamaan 2.7 sehingga
persamaan tersebut menjadi :
ƛ dapat diselesaikan memakai software MATLAB seperti persamaan 2.7 dengan mensubstitusi
komponen-komponen ƛ nilai eigen terbesar didefinisikan suseptibilitas maksimum ƛmax nilai
eigen antara sebagai suseptibilitas intermediate ƛint , nilai eigen terendah sebagai suseptibilitas
minimum ƛmin. Suseptibilitas total ( ƛm ) didefinisikan sebagai nilai rata-rata dari ketiga nilai
eigen yakni
ƛm = ƛ + ƛ+ƛ
3 . Untuk mengetahui kecendrungan arah anisotropi suseptibilitas , deklinasi dan
inklinasi dapat di cari.
II.3. Parameter Anisotropi
Untuk mengetahui kecendrungan anisotropi suseptibilitas pada sampel batuan sedimen
digunakan beberapa parameter anisotropi, yang terdiri dari (Collinson,1983: Tarling and hrouda,
1993 ) :
1. Lineasi magnetik (L) yang dirumuskan sebagai berikut :
L = ƛmax / ƛint (2.16)
2. Derajat anisotropi (P) yang dirumuskan sebagai berikut :
P = ƛmax / ƛmin (2.17)
3. Foliasi magnetik (F) yang dirumuskan sebagai berikut :
F = ƛint / ƛmin (2.18)
4. Faktor bentuk (T) yang dirumuskan sebagai berikut :
T = (ln F – ln L)/(ln F + ln L ) (2.19)
Jika P = 1, maka sampel bersifat isotropik, jika P semakin besar maka sampel semakin
anisotropik.
Nilai T berada diantara -1 dan 1 yang memberikan implikasi sebagai berikut :
T = -1 menggambarkan bentuk ellips suseptibilitasnya lonjong rotasional, menunjukkan
bahwa hanya lineasi yang meningkat
T = 0 menggambarkan bentuk ellllllllllllips suseptibilitasnya netral, menunjukkan
bahwa lineasi dan foliasi meningkat dengan derajat yang sama.
T = 1 menggambarkan bentuk ellips suseptibiltasnya pepat rotasional, menunjukkan
bahwa foliasi yang meningkat.
-1<T<0 menggambarkan bentuk ellips suseptibilitasnya lonjong, menunjukkan bahwa
lineasi yang lebih dominan.
0<T<1 menggambarkan bentuk ellips suseptibilitasnya pepat, menunjukkan bahwa
foliasi lebih dominan. Sampel akan bersifat isotropis jika P = 1, dan akan bersifat
anisotropis jika P semakin besar. Kuantitas P dapat dinyatakan dalam persen dengan
rumus :
P(%) = ( (ƛmax / ƛmin ) – 1 ) x 100% (2.20)
Batuan dengan prosentase anisotropi diatas 3 % dapat dinyatakan sebagai batuan yang
anisotropi. Nilai prosentase anisotropi pada batuan biasanya berkisar antara 1 s/d 15 %.
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
III.1. Pengambilan Sampel
Sampel batuan yang digunakan adalah batu gamping atau limestone yang berlokasi di Uluwatu
Jimbaran Kabupaten Badung Bali. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampel setangan
( hand Sample), dimana sampel batuan yang masih bongkahan. Sebelum dilakukan pemboran di
laboratorium, hand sample diletakkan pada suatu wadah yang berbentuk kotak sesuai dengan
posisi sebenarnya di lapangan , kemudian di gibs untuk mengkokohkan kedudukan hand sample
ini. Selanjutnya sampel siap di bor dalam arak tegak lurus bidang horizontal. Core diperoleh
dengan menggunakan MMPRD hand drill ( Magnetic Measurement Portable Rock Drill) (
Magnetic Measurement Ltd, Lancasshire United Kingdom) dengan panjang masing-masing core
antara 10 – 20 cm. Sampel berjumlah 8 core (silinder panjang) dengan diameter 2,54 cm.
Masing-masing di beri no 1,2,3,...8 dan masing-masing potongan diberi inisial BG1, BG2, ..... dan
seterusnya sehingga diperoleh 10 sampel
III.2. Pengukuran Anisotropi Suseptibilitas Anhisteretik (AAS)
Suseptibilitas anhisteretik masing-masing sampel ditentukan dengan mengukur remanen
anhisteretik sampel dalam sembilan arah. Pengukuran ini dilakukan di Laboratorium fisika Bumi
ITB. Sebelum memberikan magnetisasi remanen anhisteretik (ARM) pada satu arah, pertama
sampel didegmanetisasi menggunakan medan bolak balik 80 mT atau lebih tinggi lagi untuk
memastikan bahwa remanen magnetiknya menurun kurang lebih 5%. Untuk demagnetisasi ini
digunakan instrumen molspin AF demagnetizer ( Molspin Ltd, Newcastle upon Type, United
Kingdom). Prinsip kerja instrument ini menggunakan metode Alternating Field (AF)
demagnetization atau demagnetisasi medan bolak-balik. Molspin menggunakan sistem tumbling
dua sumbu. Harga medan tertinggi adalah 1000Oe (100mT) pada frekuensi 180 Hz. Pengukuran
di mulai dengan memasang sampel pada tumbler sampel diputar, kemudian ditempatkan coil
yang dilapisi tiga lapis mumetal. Pada tumbler sampel diputar, kemudian diberikan medan bolak
balik 80 mT, atau lebih sehingga intensitasnya menurun hingga 5% atau lebih kecil lagi.
Demagnetisasi ini dilakukan untuk setiap arah yang berbeda sebelum pemberian ARM pada tiap
sampel.
Setelah didemagnetisasi, sampel kemudian diberi ARM dengan menggunakan instrument
Molspin demagnetizer juga. Untuk pemberian ARM, instrument ini dimodifikasikan dengan
lapisan tambahan yang terdiri dari gulungan kawat di sekitar kawat utama demagnetizer.
Gulungan kawat ini digunakan untuk memberikan medan searah yang besarnya 0,1 mT pada
sampel di saat demagnetizer memberikan medan bolak balik 80 mT, yang berkurang secara
lambat menuju nol. Medan searah 0,1 mT diberikan oleh instrument yang disebut PARM (
Partial Anhysteretic Remanent Magnetization).
Hasil dari remanen anhysteretiknya diukur dengan menggunakan Minispin Magnetometer
( Molspin Ltd, Newcastle upon Type, United Kingdom) yang dikontrol oleh microprocesor
Rockwell 6502. Prinsip kerja instrumen ini adalah membangkitkan sinyal AC 780 Hz sebanding
dengan komponen momen magnetik yang paralel dengan sumbu fluxgate . Untuk meningkatkan
rasio sinyal terhadap noise, sampel diputar dalam fluxgate dengan frekuensi 6 Hz.Amplitude dan
fasa sinyal tersebut menunjukkan magnitude dan komponen horizontal magnetisasi samnpel
sinyal output kemudian digitalkan dengan ADC ( analog Digital Converter) dan disimpan dalam
memori komputer. Untuk putaran pendek (short) jumlah putaran ditetapkan 24 dan untuk putaran
panjang ( long), ditetapkan 120. Pengukuran dilakukan dengan mengubah empat posisi sampel.
Visualisasi perubahan posisi sampel ditunjukkan pada gambar III.2
Gambar III.2 Perubahan Posisi Sample Pada Pengukuran Remanen Magnetik
Semua langkah-langkah diatas diulang untuk semua arah sampai kesembilan arah yang
dikehendaki terukur. Posisi kesembilan arah ini dapat dilihat pada gambar III.3. Kesalahan dalam
pengukuran intensitas ARM ini menjadi 1%
Gambar III.3 Visualisasi pengukuran anisotropi suseptibilitas
Pada pemberian ARM, instrumen Molspin demagnetizer tidak memberikan perlengkapan
dudukan khusus untuk posisi kesembilan arah yang akan diukur tersebut, untuk keperluan ini
peneliti menyiapkan dudukan guna menempatkan sampel sesuai dengan posisi yang diharapkan.
Untuk itu peneliti menggunakan bahan nylon padat yang berbentuk batangan.
Nilai intensitas remanen anhisteretik rata-rata yang dipeoleh dari sembilan arah tersebut
digunakan untuk menetukan enam komponen tensor suseptibilitas yang kemudian keenam
komponen tensor ini digunakan untuk menghitung suseptibilitas principal dan arah daru
suseptibilitas tersebut. Perhitungannya dilakukan dengan software Mathcard 2000. Dengan
mensubstitusikan nilai intensitas suseptibilitas yang diperoleh dari sembilan arah tersebut, maka
nilai eigen dan vektor eigennya dapat dicari. Nilai eigen terbesar didefinisikan sebagai
suseptibilitas maksimum (ƛmax), nilai eigen antara didefinisikan sebagai suseptibilitas
intermediate ( ƛint) dan nilai eigen minimum didefinisikan sebagai suseptibilitas minimum ( ƛmin)
Arah ( dalam bentuk deklinasi dan inklinasi ) dari masing-masing suseptibilitas tersebut
diperoleh dari vektor eigennya. Dari perhitungan ini akan dapat juga diperoleh deklinasi dan
inklinasi guna mengetahui kecendrungan arah anisotropi suseptibilitas tersebut. Hasil
perhitungannya dapat dilihat pada selanjutnya.
Ringkasan pengukuran suseptibilitas dengan menggunakan metode AAS ini dapat dilihat pada
gambar III.4
Gambar III.4 Diagram Alur Pengukuran AAS Untuk Langkah ke 7 Arah Dirubah Berturut-turut
alah 2,3,4,5,6,7,8, Dan sembilan sesuai dengan gambar III.3
III, 3. Pengukuran Anisotropi Suseptibilitas Magnetik (AMS)
Pengukuran anisotropi suseptibilitas juga dilakukan di Laborstorium Fisika Bumi ITB
dengan menggunakan instrument Barington Magnetic Susceptibility Meter model MS2 (
Barington Instrument Ltd, Oxford, Unioted Kingdom ). Instrumen ini terdiri dari sensor MS2B
dengan diameter internal 36 mm yang dihubungkan dengan MS2 meter pengukur oleh kabel.
Sampel ditempatkan di dalam sensor yang menghasilkan frekuensi berubah-ubah. Hasil
pengukuran ini ditampilkan pada MS2 meter pengukur. Instrumen ini dapat mengukur harga
suseptibilitas dari 1 x 10-6
sampai 9999 x 10-6
dalam satuan cgs atau 1,26 x 10-5
sampai 1,26 x
10-1
untuk satuan SI.
Pengukuran dilakukan dengan memasukkan sampel sejajar dengan sumbu coil sensor.
Hasil pengukuran akan langsung terbaca pada MS2 meter yang terhubung langsung dengan
komputer. Hal ini dilakukan berulang kali dengan arah yang berbeda sesuai dengan arah yang
akan diukur. Program ini menghitung rata-rata suseptibilitas magnetik dari sampel. Pengukuran
dilakukan sebanyak sembilan kali dengan merubah orientasi sampel, secara visual dapat dilihat
pada gambar 3.3. Hasil pengukuran rata-rata suseptibilitas ini kemudian dihitung dengan
menggunakan software Mathcard 2000 untuk mencari nilai eigen dan vektor eigennya.Dimana
nilai eigen terbesar didefinisikan sebagai suseptibilitas maksimum (ƛmax), nilai eigen antara
didefinisikan sebagai suseptibilitas intermediate (ƛint), dan nilai eigen terkecil didefinisikan
sebagai suseptibilitas minimum (ƛmin ). Arah ( dalam bentuk deklinasi dan inklinasi ) dari
masing-masing suseptibilitas tersebut diperoleh dari vektor eigennya. Harga suseptibilitas rata-
rata (ƛavg = (ƛmax + ƛint + ƛmin )/3 dimana ƛmax, ƛint, dan ƛmin adalah nilai suseptibilitas maksimum,
intermediate dan minimum.
Urutan pengukuran anisotropi dengan metode AMS ini dapat dilihat pada gambar 3.5
Gambar III.5 Diagram alur pengukuran anisotropi suseptibilitas magnetik
BAB IV
HASIL PENGUKURAN DAN ANALISA DATA
IV.1. Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran anisotropi suseptibilitas anhisteretik sampel-sampel tersebut
merangkumkan bahwa derajat anisotropi untuk sampel Sikambe bervariasi dari 19,6% sampai
78,1% ( dengan rata-rata 38,6% dan simpangan bakunya 14,14 )( tabel 4.1), harga ini memang
cukup tinggi di banding penelitian terdahulu yang selalu lebih kecil dari 10% (12)
untuk dykes
dan 16% untuk sedimen (3)
. Sumbu minimum terlihat menyebar dan sumbu maksimum untuk
beberapa sampel mendekati horizontal ( gambar 4.1a). Faktor bentuk rata-rata untuk sampel
Sikambe ini adalah -0,46 ( tabel 4.1), hal ini menunjukkan untuk beberapa sampel lineasi
magnetiknya lebih dominan yang menandakan bahwa bentuk anisotropinya prolate (memanjang)
Derajat anisotropi untuk sampel Suwur diperoleh berkisar 27,2% sampai 60,7% dengan
rata-rata 34,2 dan simpangan bakunya 9,23 (tabel 4.1). Sumbu minimum dan sumbu
maksimumnya terlihat menyebar (gambar 4.1b). Faktor bentuk rata-rata untuk sampel ini adalah
-0,37 (tabel 4.1), hal ini menunjukkan beberapa sampel lineasi magnetiknya lebih dominan dan
menunjukkan bentuk anisotropinya prolate (memanjang).
Pengukuran anisotropi suseptibilitas magnetik pada sampel Sikambe menunjukkan hasil
dengan rata-rata berkisar dari 1867,5 x 10-6
sampai 3424 x 10-6
dalam satuan SI. Tabel 4.2
menyimpulkan hasil pengukuran suseptibilitas magnetik. Derajat anisotropi untuk sampel
Sikambe ini bervariasi dari 13,1% sampai 28,5% dengan rata-rata 23,9% dan simpangan baku
3,13. Sumbu minimum dan sumbu maksimum terlihat menyebar. Hal ini dapat dilihat pada
gambar 4.2a, faktor bentuk rata-rata untuk sampel Sikambe -0,80. Hal ini menunjukkan bahwa
lineasi magnetiknya lebih dominan dan menandakan bentuk anisotropinya prolate (memanjang).
Sampel Suwur menunjukkan hasil rata-rata suseptibilitasnya dari 2639,8 x 10-6
sampai
3098,6 x 10-6
dalam satuan SI. Derajat anisotropi untuk sampel Suwur bervvariasi dari 14,5%
sampai 27,0% dengan rata-rata 23,4% dan simpangan baku 3,0. Sumbu minimum terlihat
mendekati vertikal dan sumbu maksimum beberapa sampel terlihat mendekati horizontal (
gambar 4.2b). faktor bentuk rata-rata untuk sampel Suwur -0,92 menunjukkan lineasi
magnetiknya lebih dominan dan menandakan bentuk anisotropinya prolate (memanjang).
Daari hasil pengukuran AMS, terlihat bahwa lineasi magnetiknya lebih dominan daripada
foliasi magnetiknya, seperti juga hasil dari pengukuran AAS. Derajat anisotropi dari hasil
pengukuran AMS selalu lebih kecil dari hasil pengukuran AAS, kecuali untuk sampel Sikambe
2A. Perbandingan antara pengukuran AMS dan AAS bervariasi dari 0,31 sampai 0,92 dengan
rata-rata 0,64 dan simpangan baku 0,16. Hasil pengukuran AMS dan AAS memperlihatkan pola
yang tidak sama umumnya sumbu minimum dan sumbu maksimumnya terlihat menyebar, hanya
sampel Suwur dari hasil AMS yang memperlihatkan sumbu minimum mendekati vertikal dan
sumbu maksimum mendekati horizontal.
Gambar IV.1 Arah sumbu utama suseptibilitas anhisteretik kotak penuh untuk sumbu
maksimum, kotak kosong untuk sumbu minimum pada sampel Sikambe dan sampel Suwur
Gambar IV.2 Arah sumbu utama suseptibilitas magnetik kotak penuh untuk sumbu maksimum,
kotak kosong untuk sumbu minimum pada a. Sampel sikambe dan b pada sampel Suwur
Kecenderungan arah sumbu maksimum tidak sama, hal ini bisa dilihat dari gambar IV.1b dan
IV..2b
Tabel IV.1 Hasil pengukuran AAS
Tabel IV.1 (Lanjutan)
Tabel IV..2 Hasil Pengukuran AMS
Tabel IV.2 Lanjutan
Analisa Data dan Diskusi
Dari hasil pengukuran anisotropi suseptibilitas anhisteretik menunjukkan bahwa sampel Sikambe
dan Suwur memiliki derajat anisotropi yang tinggi ( rata-rata derajat anisotropi magnetiknya
37,1% dengan simpangan baku 12,7 dan dari hasil pengukuran suseptibilitas magnetiknya juga
menunjukkan derajat anisotropi yang tinggi ( rata-rata derajat anisotropi magnetiknya 23,7%
dengan simpangan baku 3,05) hal sangat berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa derajat anisotropi untuk batuan beku ditemui selalu lebih kecil dari 10% (12)
.
Hal ini disebabkan oleh ukuran bulir dari sampel ini berbeda dengan ukuran bulir dari batuan
beku yang biasa di teliti (dykes), dimana dari ukuran bulir yang ditemui pada sampel ini adalah
multidomain. Hal ini bisa di lihat dari distribusi ukuran bulir pada gambar 4.3. Ukuran bulir yang
mendominasi bahan bisa mempengaruhi kualitas rekaman remanen magnetik batuan dan akan
menyebabkan perbedaan anisotropi batuan. Penyebab lain adalah ketidakstabilan remanen
magnetiknya gambar 4.4 yang mana hal ini juga menunjukkan bahwa sampel ini memiliki
ukuran bulir yang relatif besar sehingga mempengaruhi anisotropinya (anisotropinya tinggi ).
Gambar. IV.3 Distribusi ukuran bulir (dari garis dari yang paling curam berturut-turut bernilain
0,1μm, 0,2μm 1μm 5μm 20-25μm dan 200μm)(10)
Gambar IV.4 Kurva Penurunan Intensitas (a dan plot ortogonal dari demagnetisasi AF (b dan c)
untuk sample (sikambe 3 C) skala plot ortogonal dalam mA/m10
Gambar. IV.6 Kurva peberian IRM untuk 4 sample yang menunjukan saturasi pada medan
magnetik rendah, hal ini mengidentifikasikan batuan mengandung minderal magnetite (10)
Hasil pengukuran derajat anisotorpi dengan metode AAS selalu menunjukkan hasil yang
kecil dari hasil pengukuran anisotropi dengan menggunakan metode AMS yang juga ditemukan
pada pengukuran anisotropi pada sedimen (3)
. Hal ini disebabkan ukuran bulir magnetite yang
mendominasi tipe anisotropi itu berbeda.
Lineasi magnetiknya yang lebih kuat daripada foliasi magnetiknya ( faktor bentuk T rata-
rata -0,24 dengan simpangan baku 0,36), hal ini memperlihatkan hasil yang berbeda dengan
sumbu-sumbu minimum dan maksimumnya menyebar. Hal ini berarti sumbu-sumbu
suseptibilitas tersebut tidak memperlihatkan kecenderungan ke suatu arah tertentu, dan ini berarti
pula bahwa bulir-bulir mineral magnetik pada diorit ini tidak menunjukkan pertumbuhan yang
sesuai dengan arah terbentuknya intrusif diorit tersebut (vertikal). Hasil ini sangat berbeda
dengan temuan yang telah dilakukan sebelumnya, dimana sumbu-sumbu suseptibilitasnya selalu
sesuai dengan arah aliran purbanya (12)
. Hal ini bisa disebabkan karena sampel diorit yang
digunakan memiliki kandungan magnetite yang besar dan ukuran bulirnya menunjukkkan multi
domain sehingga mempengaruhi pada pengukuran. Seperti yang telah disebutkan pada bab I
bahwa metode AAS sangat di pengaruhi oleh butiran single domain dan Pseudo single domain
serta mineral ferromagnetik sedangkan untuk metode AMS dipengaruhi oleh butiran
multidomain, mineral paramagnetik dan superparamagnetik.
Walaupun metode AAS lebih efektif daripada metode AMS untuk sampel yang
mengadung mineral ferromagnetik tetapi pengukuran AAS ini memerlukan waktu yang lebih
panjang daripada pengukuran AMS. Untuk pengukuran AAS bisa mengambil waktu 3 sampai 4
jam untuk satu sampel sedangkan pengukuran AMS hanya 15 menit untuk satu sampel.
Disamping itu pada pengukuran AAS bisa saja remanen magnetik yang diukur menunjukkan
pola tertentu namun pada pengukuran AMS menunjukkan pola yang lain. Hal seperti ini bisa
diakibatkan karena kontribusi dari mineral diamagnetik dan paramagnetik yang tumbuh sehingga
mempengaruhi pengukuran AMSnya yang mengakibatkan arah yang diukur dari kedua metode
ini tidak saling mendukung.
BAB V
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada penelitian yang telah dilakukan ini
diantaranya :
1. Anisotropi magnetik yang ditunjukkan dari hasil pengukuran metode AAS dan AMS
pada sampel diorite ini sangat tinggi ( derajat anisotropi > 5% ). Lineasi magnetiknya
lebih kuat daripada foliasi magnetiknya.
2. Sampel Diorit ini tidak cocok untuk kajian paleomagnetik.
3. Arah sumbu-sumbu suseptibilitasnya tidak menunjukkan pola tertentu, yang berarti
bahwa butir-butir magnetik sampel ini tidak menunjukkan pola pertumbuhan yang sesuai
dengan pola pertumbuhan intrusi diorite berbeda dengan batuan beku pada umumnya.
4. Perbandingan derajat anisotropi dari metode AAS dan AMS lebih kecil dari 1 (rata-rata
0,64 dengan simpangan baku 0,16)
5. Metode AAS lebih efektif daripada metode AMS untuk sampel yang sedikit mengandung
mineral ferromagnetik, tetapi pada pengukurannya memerlukan waktu yang lebih lama
daripada metode AMS.
6. Perbedaan yang diperoleh dari hasil pengukuran AAS dan AMS disebabkan sampel
didominasi oleh butiran multidomain dan butiran magnetite.
DAFTAR PUSTAKA
Bijaksana, S, Magnetic Anisotropy of Cretaceous Deep Sea Sedimentary Rock from The Pacific
Plate, Unpublished M.Sc. Thesis , Memorial University of New Foundland, 51p, 1991.
Bijaksana S, Analisa Mineral Magnetik dalam masalah lingkungan, Jurnal Geofisika, 1,19-27.
2002
Bijaksana . S . Ngkoimani, L, Abdulah C.L. Hardjono, T, Cenozoic reconstructing of Java, Proc.
HAGI=IAGI Joint Conv, Jakarta, 2003
Dunlop, D,J & Ozdemir Ozden, 1997, 1997, rock Magnetism, Cambridge University Press,
United Kingdom.
Hall, r, Reconstructing Cenozoic SE Asia, Journal Asian Earth Sciences, 20. 353,2002
King, J, Banerjee, S.K. Marvin, J dan Ozdemir, O, A Comparison of Different Magnetic
Methods for Determining the Relative Grain Size of magnetite in Natural Materials, Some
Results from Lake Sediments, Earth and Planetary Sciense Letter, 59, 404-419, 1982.
Ngkoimani, L ,S,, Bijaksana , The Houw Liong, The Suitability of Andesitic, Rocks from
Yogyakarta for Paleomagnetic Study, Prosiding HAGI 29th, 426-430, Yogyakarta, 2004.
Soeria atmadja, R, Maury. R,C,Bellon, H , Pringgoprawiro, H, Polve, M, Tertiary magnetic Belt
in Java 9,12,, 13-77, 1994
Sutanto, Soeria Atmadja, R, Maury, R, C, H. Bellon. H, Proceed Geologi dan Geoteknologi
Pulau Jawa 73-76. 1994
Tarling, d, H, hrouda , F, The Magnetic Anisotropy of rocks, Chapman & Hall, 1993.
Tauxe , L, Paleomagnetic Principles and Practice, Kluwer Academic Publishers, 1998
Wartono, R, Sukandarrumidi, Rosidi H.M.d, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1995