Pendidikan Yang Berkebudayaan
-
Upload
abaz-zahrotien -
Category
Documents
-
view
107 -
download
0
Transcript of Pendidikan Yang Berkebudayaan
Pendidikan yang Berkebudayaan
atau Kebudayaan yang Berpendidikan
Study Kritis Atas Artikel Prof. Dr. Wasino
di Harian Suara Merdeka Edisi 8 Januari 2008
Oleh Abaz Zahrotien
Menarik apa yang dicatat oleh Prof. Dr. Wasino dalam artikelnya di
Harian Suara Merdeka, Edisi Selasa 8 Januari 2008 tentang Pendidikan yang
Berkebudayaan. Guru Besar di Universitas Negeri Semarang (Unes) ini
memaparkan fenomena pendidikan kita hari ini dan dikaitkan dengan tatanan
kebudayaan serta berbagai warisan fisik dan nonfisik kebudayaan masa lampau.
Titik yang paling menarik dari semua itu adalah titik berat ungkapannya
mengenai system pendidikan yang berkebudayaan, sesuai dengan judulnya, disini
dia memaparkan tentang kondisi pendidikan kita yang telah banyak mengabaikan
factor kebudayaan dan lebih memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak
perlu mendapatkan perhatian khusus. Pendidikan kita hari ini terfokus pada
bagaimana menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan kompeten dalam
bidang-bidang tertentu sesuai dengan jurusan yang dia ambil dan didalami selama
masa pendidikan.
Sementara itu, factor budaya (kebudayaan) mendapatkan tempat yang
paling terbelakang, bahkan hamper-hampir dilupakan oleh masyarakat sendiri
secara umum. Bahkan ironisnya, mereka dengan melupakan budayanya sendiri,
justru memilih untuk menggunakan produk asing yang menurut mereka lebih
fleksibel dan efesien untuk mereka. Prof. Dr. Wasino, mengomentari hal ini
dengan, orang Jawa yang kehilangan “Jawane”, orang Indonesia yang kehilangan
“keindonesiaannya”.
Dampak utamanya, Indonesia hari ini tidak memiliki corak pembudayaan
yang tetap dan orisinil. Semuanya adalah produk Negara lain yang dikemas ulang
dalam tatanan local. Indonesia sekarang telah kehilangan tradisinya, bangsa yang
telah kehilangan identitasnya. Tidak lagi ada orang Indonesia yang mau
melestarikan budayanya sendiri. Mereka cenderung lebih asyik dengan budaya
yang berasal dari luar negeri.
Tetapi, ketika kasus besar menyapa. Seperti klaim Malaysia terhadap
Reog Ponorogo hangat diperbincangkan, kita baru sadar dan merasa tidak terima
dengan perlakuan Malaysia yang semena-mena terhadap budaya kita. Lagu Rasa
Sayange yang juga diklaim oleh Malaysia juga memancing emosi kita untuk
melawan tindangan Malaysia yang merebut identitas Negara lain secara sepihak.
Nasib yang sama juga dialami oleh Tempe yang lisensinya dimiliki oleh Jepang.
Atau corak kain batik dan berbagai khazanah local yang ada di Indonesia.
Pengambilalihan warisan budaya semacam ini membuat gerah warga
Indonesia. Semuanya tersentak untuk turut serta melawan terhadap tindakan
exploitation d’ I home par I home secara sepihak.
Namun dibalik itu semua juga memunculkan pertanyaa, apa yang telah
kita lakukan untuk memberdayakan budaya yang kita miliki itu? Sementara kita
sendiri cenderung lebih welcome terhadap budaya-budaya popular dan yang up to
date yang tentunya datang dari luar negeri.
Disinilah pendidikan perlu berperan kembali sebagai basis dasar
pemberdayaan kebudayaan untuk sebagai media pelestarian. Manusia tidak hanya
menjadi objek pendidikan yang menjadi target terciptanya sumber daya manusia
yang maju. Tetapi juga manusia sebagai objek yang melakukan perubahan
terhadap kemajuan itu sendiri dengan tetap berpegangan pada khazanah
kebudayaan local.
Pembagian wilayah yang jelas antara Dinas Pendidikan Nasional dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga perlu dipertegas lagi untuk mendapatkan
cita-cita ideal bagi perkembangan dalam bidang kepariwisataan dan pendidikan.
Tidak ada double job didalam kedua birokrasi Negara ini. Semuanya mendapatkan
wilayah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat Negara sesuai
dengan amanat yang diembannya.