PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

12
JSTFI Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology Vol.,IV No. 1, Januari 2015 36 PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN RADIONUKLIDA TEKNESIUM-99m SEBAGAI SEDIAAN DIAGNOSTIK UNTUK DETEKSI DINI FILARIASIS Aang Hanafiah 1 , Nurlaila Z. 2 , Nanny Kartini Oekar 2 , Misyetti 2 1 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Bandung 2 Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN, Bandung ________________________________________________________________________ Abstrak Salah satu penyakit menular yang pada tahun belakangan ini menyerang beberapa provinsi di Indonesia adalah penyakit kaki gajah (elephantiasis) atau dikenal dengan filariasis. Beberapa daerah sudah dinyatakan endemik. Karena jumlah penderita filariasis cukup signifikan dengan memberikan dampak menahun yang sangat mengganggu, tidak hanya nilai estetika, namun juga penurunan produktivitas kerja, kualitas hidup dan penurunan indeks pembangunan, maka penyakit ini mendapat perhatian serius dari Kementerian Kesehatan RI. Karena itu pula, di dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2005-2025, ruang lingkup penelitian dalam menanggulangi penyakit menular, termasuk filariasis, lebih diarahkan pada pengembangan metode pengendalian dan pencegahan, dimana salah satu lingkup kegiatannya adalah penelitian tentang diagnosis dan pendeteksian dini. Permasalahan yang dihadapi oleh hampir semua pihak dalam memberantas penyakit infeksi atau penyakit menular, yaitu terlambatnya penyakit tersebut terdiagnosis atau terdeteksi lebih awal. Mengingat bahwa Dietilkarbamazin sering djadikan obat pilihan pada penanganan filariasis, dan dari struktur kimianya memungkinkan dapat ditandai dengan unsur radioaktif yang kelak dapat digunakan sebagai perunut (tracer) dalam proses diagnosis teknik nuklir kedokteran, maka untuk tujuan tersebut telah dilakukan penandaan Dietilkarbamazin dengan radionuklida teknesium-99m. Penandaan dilakukan dengan metode tidak langsung menggunakan DTPA dan Glukoheptonat sebagai co-ligand. Hasil penandaan optimal dengan kemurnian radiokimia di atas 95% diperoleh pada komposisi formula yang mengandung 4mg DEC, 100μg SnCl 2 .2H 2 O, pH 4, dan waktu inkubasi 5-20 menit pada suhu kamar. Dengan tersedianya senyawa bertanda radioaktif berbasis obat yang spesifik bekerja terhadap cacing filaria, diharapkan sediaan ini dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi praktisi medis dalam mendeteksi penyakit filariasis lebih dini. Kata kunci: DEC, Teknesium-99m, filariasis Abstract One of the infectious diseases attacked several provinces in Indonesia in recent years is elephantiasis or known as filariasis disease. Some already declared as endemic areas. Because a significant number of filariasis patients with chronic impacts are very disturbing, not only in aesthetic value, but also a decrease in productivity, quality of life and lowering in development index, the disease is getting serious attention from the Indonesian Ministry of Health. Hence, in the National Research Agenda (ARN) 2005-2025, the scope of research in the treatment of infectious diseases, including filariasis, more focused on the development of control and prevention methods, where the scope of its activity is on the diagnosis research and early detection. The problem faced by almost all parties in combating infectious or contagious disease, is a delay in diagnosis or in early detection. Considering that Diethylcarbamazine often used as the drug of choice in the treatment of filariasis, and the possibility of chemical structure that can be labeled with a radioactive substance to be used as a tracer in the nuclear medicine diagnostic techniques, then in the present study the labeling of Diethylcarbamazine with

Transcript of PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

Page 1: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

36

PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN RADIONUKLIDA

TEKNESIUM-99m SEBAGAI SEDIAAN DIAGNOSTIK UNTUK

DETEKSI DINI FILARIASIS

Aang Hanafiah1, Nurlaila Z.

2, Nanny Kartini Oekar

2, Misyetti

2

1Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Bandung

2Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan – BATAN, Bandung

________________________________________________________________________

Abstrak

Salah satu penyakit menular yang pada tahun belakangan ini menyerang beberapa

provinsi di Indonesia adalah penyakit kaki gajah (elephantiasis) atau dikenal dengan filariasis.

Beberapa daerah sudah dinyatakan endemik. Karena jumlah penderita filariasis cukup

signifikan dengan memberikan dampak menahun yang sangat mengganggu, tidak hanya nilai

estetika, namun juga penurunan produktivitas kerja, kualitas hidup dan penurunan indeks

pembangunan, maka penyakit ini mendapat perhatian serius dari Kementerian Kesehatan RI.

Karena itu pula, di dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2005-2025, ruang lingkup penelitian

dalam menanggulangi penyakit menular, termasuk filariasis, lebih diarahkan pada

pengembangan metode pengendalian dan pencegahan, dimana salah satu lingkup kegiatannya

adalah penelitian tentang diagnosis dan pendeteksian dini. Permasalahan yang dihadapi oleh

hampir semua pihak dalam memberantas penyakit infeksi atau penyakit menular, yaitu

terlambatnya penyakit tersebut terdiagnosis atau terdeteksi lebih awal. Mengingat bahwa

Dietilkarbamazin sering djadikan obat pilihan pada penanganan filariasis, dan dari struktur

kimianya memungkinkan dapat ditandai dengan unsur radioaktif yang kelak dapat digunakan

sebagai perunut (tracer) dalam proses diagnosis teknik nuklir kedokteran, maka untuk tujuan

tersebut telah dilakukan penandaan Dietilkarbamazin dengan radionuklida teknesium-99m.

Penandaan dilakukan dengan metode tidak langsung menggunakan DTPA dan Glukoheptonat

sebagai co-ligand. Hasil penandaan optimal dengan kemurnian radiokimia di atas 95%

diperoleh pada komposisi formula yang mengandung 4mg DEC, 100µg SnCl2.2H2O, pH 4, dan

waktu inkubasi 5-20 menit pada suhu kamar. Dengan tersedianya senyawa bertanda radioaktif

berbasis obat yang spesifik bekerja terhadap cacing filaria, diharapkan sediaan ini dapat

dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi praktisi medis dalam

mendeteksi penyakit filariasis lebih dini.

Kata kunci: DEC, Teknesium-99m, filariasis

Abstract

One of the infectious diseases attacked several provinces in Indonesia in recent years is

elephantiasis or known as filariasis disease. Some already declared as endemic areas. Because

a significant number of filariasis patients with chronic impacts are very disturbing, not only in

aesthetic value, but also a decrease in productivity, quality of life and lowering in development

index, the disease is getting serious attention from the Indonesian Ministry of Health. Hence, in

the National Research Agenda (ARN) 2005-2025, the scope of research in the treatment of

infectious diseases, including filariasis, more focused on the development of control and

prevention methods, where the scope of its activity is on the diagnosis research and early

detection. The problem faced by almost all parties in combating infectious or contagious

disease, is a delay in diagnosis or in early detection. Considering that Diethylcarbamazine often

used as the drug of choice in the treatment of filariasis, and the possibility of chemical structure

that can be labeled with a radioactive substance to be used as a tracer in the nuclear medicine

diagnostic techniques, then in the present study the labeling of Diethylcarbamazine with

Page 2: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

37

technetium- 99m radionuclide has been carried out using DTPA and Glucoheptonate as co-

ligand. The optimal labeling with the chemical purity more than 95% was obtained on the

composition formula containing of 4mg DEC, 100μg SnCl2.2H2O, pH 4, and the incubation time

of 5-20 minutes at room temperature. With the availability of labeled compounds based on

specific drugs that work against filarial worms, we all hope that this preparation can be used to

solve the problems faced by medical practitioners in detecting filariasis disease as early as

possible.

Keywords: DEC, Technetium-99m, filariasis

____________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Filariasis atau dengan nama lain

penyakit kaki gajah (elephantiasis),

termasuk salah satu jenis penyakit yang

mendapat perhatian khusus di dunia

kesehatan. Walaupun jarang menyebabkan

kematian, pada stadium lanjut penyakit ini

dapat menjadikan seseorang menderita

cacat fisik permanen hingga menimbulkan

dampak yang signifikan, terutama di

lingkungan masyarakat yang tengah didera

permasalahan ekonomi, terutama di negara

berkembang di daerah tropis ataupun sub

tropis. Saat ini dilaporkan lebih dari 120

juta orang dari 80 negara telah terinfeksi

filarial (Anonim), bahkan ribuan desa di 26

propinsi di Indonesia dinyatakan endemis

(Hermana, 2007). Karena itulah

Kementerian Kesehatan RI memberikan

perhatian khusus, dan bahkan WHO

mencanangkan kesepakatan global untuk

memberantas penyakit ini dengan

mengangkat tema The Global Goal of

Elimination of Lymphatic Filariasis as a

Public Health Problem by The Year 2020

(Anonim; Departemen Kesehatan RI, 2005;

2006).

Gejala filariasis sebenarnya dapat

dilihat dengan mudah, saat tubuh

merasakan demam berulang setiap satu

hingga dua bulan, selama tiga hingga lima

hari, kemudian tampak gejala

pembengkakan kelenjar di paha dan ketiak.

Apabila diraba, pembengkakan ini terasa

panas. Kemudian diikuti dengan

pembengkakan pada daerah tungkai kaki,

lengan, buah dada, bahkan juga kantung

buah zakar pada laki-laki, dan pembesaran

payu dara pada perempuan hingga

mencapai ukuran 2-3 kali lipat dari ukuran

asalnya. Pembengkakan umumnya terjadi di

kaki hingga mencapai 3-4 kali lebih besar

dari ukuran normal, dan menyerupai kaki

gajah (elephantiasis) seperti terlihat pada

Gambar 1.

Kondisi tersebut merupakan

keadaan pada tahap yang sudah sangat

terlambat untuk diagnosis infeksi filaria,

karena sistem limfatik penderita telah

mengalami kerusakan dan tidak berfungsi.

Deteksi filaria bergantung pada

keberadaan cacing stadium mikrofilaria

dalam darah tepi, atau dikenal dengan

istilah periodisitas. Uniknya, periodisitas

filaria ditemukan di antara pukul 10 malam

hingga pukul 2 pagi (nocturnal), sehingga

Page 3: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

38

pengambilan sampel darahpun harus

dilakukan malam hari. Di samping itu, larva

aktif baru ditemukan 6-12 bulan setelah

seseorang terinfeksi filaria, dan manifestasi

filariasis seperti pada Gambar 1 baru

terlihat ±4 tahun kemudian, sehingga

deteksi dini untuk kasus ini cukup sulit

ditegakkan. Pemeriksaan laboratorium

seperti identifikasi antigen filaria dengan

teknik ELISA atau Rapid Immuno-

chromatography Card sebenarnya dapat

pula dilakukan, namun teknik ini sering

memberikan false positif. Karena itu, teknik

diagnosis yang memiliki nilai kesensitifan

dan kespesifikan yang tinggi, masih sangat

diperlukan.

Telah teridentifikasi bahwa

penyebab infeksi filariasis yang paling

banyak ditemukan di Indonesia adalah

cacing gelang genus filaria, Wuchereria

bancrofti. Cacing ini hidup dan

berkembang biak dalam darah dan jaringan

penderita. Cacing tersebut berada pada

sistem limfatik pada siang hari, dan baru

bermigrasi ke saluran darah pada malam

hari. Karena itulah deteksi dini penyakit ini

agak sulit ditegakkan.

Permasalahan yang dihadapi oleh

hampir semua pihak dalam memberantas

penyakit infeksi atau penyakit menular,

yaitu terlambatnya penyakit tersebut

terdiagnosis atau terdeteksi. Demikian pula

halnya dengan penyakit filariasis,

masyarakat tidak sadar bahwa mereka telah

terinfeksi cacing filaria. Karena itulah

ketersediaan perangkat diagnosis untuk

metode deteksi dini sangat diperlukan

seperti halnya ditekankan pada Agenda

Riset Nasional Indonesia 2005-2025

(Kemenristek RI, 2006).

Teknik nuklir kedokteran dengan

menggunakan radiofarmaka, memberi

harapan untuk dapat dijadikan pilihan

alternatif memecahkan permasalahan ini

(Richard et al., 2004; Saha, 2004).

Dihipotesiskan bahwa DEC-sitrat yang saat

ini digunakan sebagai obat filariasis

(Addiss et al., 2004), secara kimia

Gambar 1. Manifestasi Filariasis

Page 4: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

39

memungkinkan untuk ditandai dengan

nuklida teknesium-99m. Radiofarmaka

99mTc-DEC diperkirakan akan di-uptake

oleh mikrofilaria di dalam tubuh orang

terinfeksi. Dengan demikian mikrofilaria

yang berikatan dengan 99m

Tc-DEC ini dapat

dilacak keberadaannya, dan diharapkan

deteksi dini dapat ditegakkan.

Metode limfosintigrafi yang

berkembang baru-baru ini di kedokteran

nuklir adalah suatu cara diagnosis untuk

menelusuri sistem limfatik menggunakan

senyawa bertanda radioisotop

(radiofarmaka) pemancar sinar- yang

disuntikkan secara intradermal. Pergerakan

radiofarmaka tersebut kemudian dideteksi

dari luar tubuh dengan kamera gamma atau

probe khusus untuk limfosintigrafi,

sehingga diperoleh gambaran seluruh

sistem limfatik beserta kelainan atau

penyumbatannya. Sejauh ini limfosintigrafi

hanya dilakukan untuk mengetahui adanya

penyumbatan dalam sistem limfatik tanpa

mengetahui apa yang menjadi

penyebabnya, atau digunakan untuk

menelusuri adanya sentinel node pada

penderita kanker payudara, getah bening dll

(Melrose, 2003). Dengan teknik yang sama,

dimungkinkan cacing filaria yang berada

atau mungkin dapat menyumbat saluran

getah bening dapat dideteksi, apalagi bila

senyawa yang digunakan untuk mendeteksi

dapat terikat secara spesifik (drug

targeting) pada cacing tersebut.

Ruang lingkup dari penelitian tahap

ini lebih ditujukan pada optimasi

pembuatan senyawa bertanda 99m

Tc-Dietil-

karbamazin (99m

Tc-DEC) dengan

mempelajari beberapa parameter reaksi

antara dietil-karbamazin (DEC) yang telah

dikenal secara luas sebagai obat anti

filariasis dengan radionuklida teknesium-

99m (99m

Tc) yang diperoleh dari hasil luruh

radioisotop Molibdenum-99 (99

Mo).

Analisis efisiensi penandaan dan uji

kemurnian ditentukan dengan metode

kromatografi, sedangkan uji stabilitas

sediaan dilakukan segera setelah proses

penandaan, ataupun terhadap sediaan yang

dibuat dalam bentuk kit kering berdasarkan

periode waktu penyimpanan.

Tujuan penelitian pada tahap ini

lebih difokuskan pada penetapan kondisi

optimal penandaan dan pembuatan formula

kit kering yang merupakan prototipe

sediaan sebagai perangkat diagnosis

penyakit menular (filariasis).

Dengan tersedianya senyawa

bertanda radioaktif berbasis obat yang

spesifik bekerja terhadap cacing filaria,

diharapkan sediaan ini dapat dimanfaatkan

untuk menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi praktisi medis dalam mendeteksi

penyakit filariasis ini lebih dini. Karena itu

pula, saran tindak lanjut untuk penelitian

berikutnya adalah melakukan kajian

intensif secara in-vitro untuk melihat uptake

sediaan pada cacing filariasis, kemudian

ditindaklanjuti dengan uji praklinis dan uji

klinis pada pasien volunter terutama di

daerah endemik.

Page 5: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

40

BAHAN, ALAT DAN METODE

PENELITIAN

Bahan dan peralatan

Bahan kimia yang digunakan

adalah dietil karbamazin sitrat (Sigma),

SnCl2.2H2O (Sigma), DTPA (dietil triamin

penta asetat), glukoheptonat, amonia,

asetonitril dan aseton semuanya buatan

E.Merck. Selain itu digunakan pula air

untuk injeksi dan larutan NaCl fisiologis

steril (IPHA), pereaksi Dragendorf yang

dibuat segar, dan Generator radioisotop

99Mo-

99mTc (PT.Batan Teknologi), serta

kertas kromatografi Whatman 31-ET,

ITLC-SG (Pall Co.) dan lapis tipis TLC-

SG(E.Merck).

Peralatan utama yang digunakan

adalah timbangan analitis dan seperangkat

peralatan penunjang, dan ruang aseptis

untuk pembuatan kit-kering radiofarmaka.

Seperangkat alat kromatografi kertas, dose

calibrator (Ortec), pencacah saluran

tunggal (SCA) (Canberra).

Ruang Lingkup dan Metodologi

Terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu :

1. Optimasi kondisi penandaan

Dietilkarmamazin (DEC)

Untuk memperoleh hasil penandaan

DEC sitrat yang optimal menggunakan

radionuklida teknesium-99m (99m

Tc),

beberapa parameter dominan seperti,

bentuk senyawa DEC, kondisi reaksi

penandaan, jumlah reduktor SnCl2 , pH

penandaan dan, waktu inkubasi dipelajari.

1.1. Pemilihan metode penandaan

Proses penandaan dilakukan

dengan metode langsung dan tidak

langsung, yaitu dengan menggunakan

DTPA dan glukoheptonat sebagai co-

ligand.

1.2. Pemilihan metode untuk analisis

keberhasilan penandaan

Metode kromatografi kertas dan

lapis tipis dipilih untuk menentukan

keberhasilan penandaan. Beberapa sistem

kromatografi kertas yang dicoba yaitu

dengan menggunakan fase diam kertas

Whatman-31ET( 1x 10 cm) dan fase gerak

asetonitril 50 %, ITLC-SG/aseton TLC-

SG/aseton, TLC-SG/campuran metanol dan

amonia dengan perbandingan 100 : 1,5 dan

ITLC-SA/air. Semua fase diam digunakan

dengan ukuran 1 x 10 cm. Proses

kromatografi dilakukan untuk memisahkan

99mTc-DEC dengan pengotornya yang

mungkin terbentuk selama proses

penandaan. Pengotor radiokimia yang

mungkin terbentuk adalah 99m

Tc-sitrat pada

proses penandaan dengan metode langsung,

dan 99m

Tc-DTPA atau 99m

Tc-glukoheptonat

pada penandaan tidak langsung.

Pengotor radiokimia dapat

dideteksi dengan alat pencacah saluran

tunggal sebagai akibat dari adanya paparan

sinar gamma yang dapat ditangkap oleh

detektor NaI/Tl dari alat tersebut.

Terjadinya penguraian DEC-sitrat menjadi

DEC dan sitrat dapat dideteksi dari

kromatogram kertas/pelat dengan

penampak noda larutan Dragendorf.

Page 6: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

41

1.3. Optimasi parameter dominan pada

penandaan DEC

1.3.a. Optimasi bentuk dan jumlah DEC

Pada penandaan secara langsung,

jumlah DEC-sitrat yang digunakan

bervariasi dari 2 sampai 6 mg dengan

kenaikan 1 mg. Setelah DEC dilarutkan

dalam aquadest sebanyak 300 µL,

kemudian ditambahkan ke dalamnya

SnCl2.2H2O padat, dan dibiarkan sampai

larut sempurna; pH diukur, kemudian

ditambahkan larutan 99m

Tc-perteknetat, dan

selanjutnya campuran diinkubasi pada

temperatur kamar selama 10 menit.

Efisiensi penandaan ditentukan dengan

metode kromatografi lapis tipis yang sesuai.

Proses penandaan tidak langsung

dilakukan dengan mengubah terlebih

dahulu DEC-sitrat menjadi bentuk basanya

dengan penambahan larutan basa kuat

(NaOH), kemudian baru direaksikan

dengan bahan co-ligand DTPA atau

glukoheptonat. Setelah itu, ke dalam

campuran tersebut ditambahkan larutan

SnCl2.2H2O dalam jumlah tertentu dan

larutan 99m

Tc-perteknetat. Inkubasi

dilakukan dalam penangas air mendidih

selama 5-20 menit.

1.3.b. Optimasi jumlah reduktor

SnCl2.2H2O

Penandaan dilakukan menggunakan

jumlah DEC yang terbaik dari percobaan

1.3.a. dengan metode langsung, sedangkan

jumlah SnCl2.2H2O divariasikan dari 0, 50,

75, 100,125, 150, 200 hingga 250 µg. Hasil

dinyatakan baik apabila memberikan

efisiensi penandaan dan kemurnian

radiokimia lebih besar dari 90%.

1.3.c. Pengaruh pH pada hasil penandaan

Sebelum penambahan larutan

99mTc-perteknetat, campuran DEC dan

Sn(II) diatur pH-nya dengan larutan NaOH

0,1 N sampai mencapai 4, 5, 6 dan 7.

Inkubasi dilakukan selama 10 menit,

kemudian ditambahkan larutan 99m

Tc-

perteknetat ke dalamnya. Efisiensi

penandaan ditentukan dengan metode

kromatografi.

1.3.d. Pengaruh volume larutan 99m

Tc-

perteknetat

Agar volume akhir tidak terlalu

besar, maka volume larutan 99m

Tc-

perteknetat yang ditambahkan ke dalam

formula diupayakan seoptimal mungkin

sehingga memberikan sediaan 99m

Tc-DEC

dengan konsentrasi radioaktif yang cukup

tinggi. Untuk tujuan ini, larutan 99m

Tc-

perteknetat yang digunakan divariasikan

mulai dari 1, 2, 3 dan 4 mL. Efisisensi

penandaan yang diperoleh dibandingkan

untuk mengetahui korelasi antara jumlah

volume dengan hasil/efisiensi penandaan.

2. Uji stabilitas sediaan

Kestabilan sediaan, baik dalam

bentuk radiofarmaka 99m

Tc-DEC maupun

sediaan kit-kering DEC dalam

penyimpanan ditentukan berdasarkan

kemurnian radiokimianya setelah

penambahan 99m

Tc-perteknetat.

Page 7: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

42

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selain variasi bentuk senyawa

DEC, pada penelitian ini juga dilakukan

kajian cara penandaan, baik langsung

maupun tidak langsung dengan

menggunakan pereaksi pembantu (ligand

exchange atau co-ligand) DTPA dan

glukoheptonat.

Proses penandaan diperkirakan

melalui alur reaksi seperti tertera di bawah

ini :

1. 99m

Tc (VII) – perteknetat + reduktor

yang sesuai (SnCl2) + co-ligan yang

sesuai 99m

Tc-tereduksi (sebagai inti

99mTc) +

99mTc (VII)-bebas +

99mTc-co-

ligan

2. 99m

Tc-tereduksi + DEC 99m

Tc-DEC +

99mTc-tereduksi bebas

Senyawa bertanda 99m

Tc-DEC yang

diperoleh diperkirakan mempunyai struktur

molekul seperti tertera pada Gambar 2.

Keberhasilan reaksi dievaluasi dari

besarnya efisiensi penandaan yang

dinyatakan dalam persen (%).

Apabila dilihat alur reaksi yang

terjadi pada saat proses penandaan DEC

dengan 99m

Tc seperti tersebut di atas, maka

pengotor radiokimia yang mungkin ada di

dalam sistem reaksi adalah 99m

Tc-

perteknetat bebas, 99m

Tc-tereduksi bebas,

dan 99m

Tc yang mungkin berikatan dengan

co-ligan. Berdasarkan hal tersebut, maka

tahapan analisis hasil penandaan dengan

memilih metode kromatografi yang dapat

memisahkan senyawa 99m

Tc-DEC dari

pengotor radiokimianya menjadi hal yang

sangat menentukan.

Gambar 2 memperlihatkan dugaan

struktur molekul 99m

Tc-DEC yang mungkin

terjadi. Terlihat jelas bahwa 99m

Tc sebagai

ion logam yang menjadi inti kompleks

khelat terikat pada gugus sitrat dari molekul

DEC. Karena itulah, hal lain yang juga

penting untuk diperhatikan adalah tahapan

optimasi kondisi penandaan. Kondisi

penandaan harus dijaga jangan sampai

terjadi pemutusan gugus sitrat dari molekul

DEC. Apabila hal ini terjadi, maka sasaran

untuk mendapatkan senyawa bertanda

99mTc-DEC tidak tercapai, dan kesalahan

diagnosis bisa terjadi. Untuk menunjang

hal tersebut, maka tahapan analisis hasil

penandaan merupakan tahap yang sangat

kritis.

Gambar 2. Dugaan struktur molekul 99m

Tc-dietil karbamazin sitrat (DEC)

Page 8: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

43

Dengan memperhatikan Gambar 2,

terlihat adanya perubahan struktur antara

DEC sebagai senyawa asal dengan 99m

Tc-

DEC sebagai senyawa bertanda. Apabila

perubahan struktur molekul ini

mempengaruhi sifat farmakodinamikanya

sebagai obat anthelmintik (anti filaria),

maka senyawa bertanda yang diperoleh

menjadi tidak bermanfaat untuk tujuan

deteksi filariasis, karena senyawa 99m

Tc-

DEC tidak akan ter-uptake oleh cacing

filaria. Berdasarkan hal tersebut, maka uji

karakteristik radiofarmaka 99m

Tc-DEC

menjadi tahapan yang juga penting

mendapat perhatian.

Proses penandaan dinyatakan

berhasil apabila tingkat kemurnian 99m

Tc-

DEC tidak kurang dari 90%. Penentuan

kemurnian dalam penelitian ini dihitung

berdasarkan timbunan aktivitas di daerah Rf

dari suatu sistem kromatografi dengan

TLC-SG sebagai fase diam dan aseton

kering sebagai fase gerak . Hasil penandaan

dengan perubahan berbagai parameter

seperti disebutkan di atas, ditunjukkan pada

Tabel 1.

Optimasi Kadar Reduktor

Seperti halnya reaksi dengan

beberapa ligan, teknesium pada tingkat

valensi 7 sangat stabil dan tidak mudah

bereaksi dengan senyawa lainnya, karena

itu peran reduktor sangat penting artinya

untuk mengubah valensi teknesium ke

tingkat yang lebih rendah. Rangkuman

yang ditunjukkan pada Tabel 1,

mengindikasikan bahwa variasi jumlah

reduktor mempengaruhi hasil penandaan.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah

SnCl2.2H20 sebesar 100 µg memberikan

hasil penandaan yang paling tinggi.

Hasil Penandaan DEC dengan Teknesium-99m

No. Bentuk Senyawa Formula Efisiensi Penandaan

1. DEC-sitrat DEC-sitrat 2-6 mg

SnCl2.2H2O 0-250 µg

NaTcO4 (1-4 ml)

Inkubasi 10-30’, suhu kamar

Variasi pH 4-7

76,21 - (95,07±2,13%)

1. Fase diam TLC-SG

dengan fase gerak

aseton kering

2. Fase diam ITLC-SA

dengan fase gerak air

2. DEC-sitrat + DTPA

(sebagai co-ligand)

Idem, kecuali DEC-sitrat + DTPA 66,12%

3. DEC (base) – non

sitrat

Idem, kecuali DEC base – non sitrat

(inkubasi 10-20’ pada suhu kamar

dan air mendidih)

4,5% (suhu kamar)

9,9% (air mendidih)

4. DEC (base) + GHA

(sebagai co-ligand)

Idem, kecuali DEC base +

glukoheptonat

38,16% (suhu kamar)

72,10% (air mendidih)

Tabel 1. Parameter Dominan pada Penandaan DEC

Page 9: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

44

Pengaruh Perubahan pH pada Hasil

Penandaan

Dengan diperolehnya data seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 2, dimana

kadar 100 µg SnCl2.2H2O memberikan

yield penandaan tertinggi, optimasi

selanjutnya adalah memvariasikan besaran

pH.

Data yang tertera pada Tabel 3,

menunjukkan bahwa kenaikan pH

menyebabkan penurunan efisiensi

penandaan. Pengamatan pH di sekitar 4

hingga 7 lebih ditujukan untuk penyesuaian

dengan pH cairan tubuh, sehingga

pengamatan di luar nilai tersebut tidak

dilakukan. Besaran pH 4, memberikan hasil

penandaan tertinggi.

Pengaruh Variasi Waktu Inkubasi pada

Hasil Penandaan

Dengan diperolehnya tetapan kadar

SnCl2.2H2O dan besaran pH, percobaan

dilanjutkan dengan mengamati pengaruh

perubahan waktu inkubasi pada suhu

kamar. Pengamatan pada suhu yang lebih

tinggi tidak dilakukan untuk menghindari

proses degradasi sediaan. Pengaruh

perubahan waktu inkubasi diterakan pada

Tabel 4.

Data yang tertera dalam Tabel 4,

menunjukkan bahwa waktu inkubasi

optimal pada suhu kamar berkisar di antara

10-20 menit.

Pengaruh Volume Larutan 99m

Tc-

perteknetat

Mengingat volume sediaan harus

sekecil mungkin terkait dengan cara

penyuntikan, maka penambahan larutan

99mTc-perteknetat harus diperhatikan. Pada

Tabel 5 berikut ditunjukkan pengaruh

besarnya volume 99m

Tc-perteknetat pada

hasil penandaan. Percobaan dilakukan

dengan memvariasikan penambahan

volume 99m

Tc-perteknetat mulai dari 1, 2, 3

hingga 4 ml.

No. Perubahan pH Efisiensi Penandaan (%)

1 4,0 95,99 ± 0,16

2 5,0 94,44 ± 0,33

3 6,0 83,34 ± 1,62

4 7,0 84,70 ± 3,39

No. Jumlah SnCl2.2H2O (μg) Efisiensi Penandaan (%)

1 0 2,82 ± 2,67

2 50 91,08 ± 0,83

3 75 92,11 ± 0,52

4 100 93,55 ± 2,68

5 125 90,89 ± 5,59

6 150 91,11 ± 3,97

7 200 93,55 ± 3,34

8 250 93,37 ± 4,33

Tabel 2. Pengaruh Jumlah Reduktor SnCl2.2H20 pada Penandaan DEC

Tabel 3. Pengaruh pH pada Hasil Penandaan DEC

Page 10: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

45

Data dalam Tabel 5, walaupun

menunjukkan adanya penurunan hasil

penandaan, namun dari sisi persyaratan,

kesemuanya masih dalam batas yang

diizinkan. Namun demikian, yang menjadi

permasalahan adalah jumlah volume yang

akan diberikan ke pasien menjadi tidak

favourable, karena itu sesedikit mungkin

volume yang disuntikkan menjadi pilihan

para klinisi.

Uji Stabilitas Sediaan

Ketidakstabilan sediaan terutama

yang terkait dengan penurunan hasil

penandaan (yield) dan kemurnian

radiokimia, pada umumnya disebabkan oleh

dua hal utama:

1. Sediaan tidak segera digunakan setelah

dilakukan penambahan larutan

perteknetat.

2. Sediaan kit disimpan terlalu lama

sebelum ditandai

Perubahan hasil penandaan akibat

sediaan yang tidak segera digunakan setelah

penambahan larutan 99m

Tc-perteknetat

ditunjukkan pada Tabel 6, sedangkan

pengaruh lamanya penyimpanan dalam

bentuk kit hingga ± 4 bulan, tidak

menunjukkan perubahan yang signifikan

dan masih memberikan hasil penandaan dan

kemurnian radiokimia di atas 95%.

SIMPULAN

Telah dilakukan penandaan

Dietilkarbamazin sitrat (DEC) dengan

radionuklida teknesium-99m sebagai

sediaan alternatif yang ditujukan untuk

deteksi dini filariasis. Hasil penandaan

optimal dengan tingkat kemurnian di atas

95% diperoleh dengan menambahkan

No. Waktu Inkubasi (menit) Efisiensi Penandaan (%)

1. 0 94,20 ± 1,10

2. 5 94,57 ± 0,40

3. 10 94,53 ± 2,17

4. 15 94,47 ± 1,20

5. 20 95,07 ± 2,13

6. 30 92,20 ± 0,29

No. Volume 99m

Tc-perteknetat (ml) Efisiensi penandaan (%)

1. 1,0 97,90

2. 2,0 92,23

3. 3,0 93,89

4. 4,0 94,58

Stabilitas Sediaan Berdasarkan Periode Waktu Setelah Rekonstitusi99m

Tc-perteknetat

Penyimpanan 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam

Yield / Kemurnian (%) 96,31 90,48 88,90 87,16

Tabel 4. Pengaruh Perubahan Waktu Inkubasi pada Hasil Penandaan DEC

Tabel 5. Pengaruh Volume 99m

Tc-perteknetat pada Penandaan DEC

Tabel 6. Pengaruh Penyimpanan Setelah Penambahan Larutan 99m

Tc-perteknetat

Page 11: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

46

99mTc-perteknetat ke dalam suatu formula

yang terdiri dari 4 mg DEC-sitrat, 100 µg

SnCl2.2H2O, pH 4, dan waktu inkubasi

pada suhu kamar selama 5-20 menit. Uji

kemurnian ditentukan dengan metode

kromatografi menggunakan fase diam TLC-

SG dan ITLC-SA, dan aseton kering, serta

air sebagai fase gerak.

Berdasarkan pengamatan, hasil

penandaan dan kemurnian sediaan masih di

atas 95%, dan tetap stabil, serta masih dapat

digunakan selama lebih dari 4 bulan apabila

disimpan dalam bentuk kit kering. Namun

demikian, sediaan 99m

Tc-DEC harus segera

digunakan setelah disiapkan, dan

disarankan untuk tidak disimpan lebih dari

1 jam setelah rekonstitusi dengan larutan

Natrium perteknetat.

Pengaruh volume larutan 99m

Tc-

perteknetat yang ditambahkan, walaupun

sedikit menurunkan efisiensi penandaan,

namun masih dalam batas yang diizinkan.

Walaupun demikian, untuk kenyamanan

pasien, maka volume penyuntikan

sebaiknya diupayakan sesedikit mungkin.

Pembuatan formula dan

penguasaan teknologi penyiapan sediaan

99mTc-DEC telah berhasil diperoleh, namun

demikian, kajian intensif non-klinis, baik

secara in-vitro untuk melihat uptake sediaan

pada cacing filariasis, dan kajian in-vivo

harus dilakukan untuk menjamin keamanan

pengguna.

Uji klinis terhadap beberapa orang

yang diduga (suspect) terjangkit filariasis,

khususnya di daerah endemik juga perlu

dilakukan agar sediaan ini benar-benar

diyakini dapat digunakan sebagai perangkat

diagnosis dini penyakit kaki gajah/filariasis,

dan diharapkan dapat menjadi sumbangan

nyata yang bermanfaat bagi masyarakat

luas, khususnya bagi dunia kesehatan di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Addiss D., Critchley J., Ejere H., Garner P.,

Gelband H., Gamble C. 2004.

Albendazole For Lymphatic Filariasis.

In: The Cohrane Library, Issue 1.

(International Filariasis Review

Group). Chichester, Uk: John Wiley &

Sons, Ltd.

Anonim. WHO: Eliminating Lymphatic

Filariasis.

Http://Www.Dpd.Cdc.Gov/Dpdx/Html

/Frames/A-F/Filariasi/Body_Filariasis

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman

Pengendalian Filariasis (Penyakit

Kaki Gajah). Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor

1582/Menkes/Sk/Xi/2005,

Departemen Kesehatan RI. 2007. National

Task Force Eliminasi Filariasis.

Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor 345/Menkes/Sk/V/2006.

Hermana, A. 2007. ”Filariasis: Dari Cacing

Jadi Gajah.” Pikiran Rakyat, 22 Maret

2007.

Kementerian Negara Riset Dan Teknologi

Republik Indonesia. 2006. Penelitian,

Pengembangan Dan Penerapan Ilmu

Pengetahuan Dan Teknologi Bidang

Page 12: PENANDAAN DIETIL KARBAMAZIN (DEC) DENGAN …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.,IV No. 1, Januari 2015

47

Kesehatan Dan Obat (Buku Putih –

ARN, 2005-2025), Jakarta, 14-22.

Melrose, W.D. 2003. Chemotherapy For

Lymphatic Filariasis: Progress But

Not Perfection Anti-Infective Therapy.

1(4) 571-577.

Richard J. Kowalsky; Steven W. Falen.

2004. Radiopharmaceuticals In

Nuclear Pharmacy And Nuclear

Medicine. 2nd

Edition, Washington,

Am. Pharm. Ass.

Saha Gb. 2004. Fundamentals Of

Nuclear Medicine. 5th

Ed., New

York, Springer.