Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

17
37 Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa Fatkhur Roji Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta [email protected] Abstrak Nahwu merupakan dasar dari ilmu bahasa Arab yang muncul pada abad pertama hijriyah. kemudian nahwu berkembang luas terbukti dengan banyaknya buku-buku kajian tentang nahwu yg membahas metode-metode di dalamnya, ditambah dengan munculnya kelompok-kelompok yang melakukan pendekatan tertentu sejak abad kedua hijriyah, munculkan kelompok Basroh, Kufah, Bagdad, Andalus dan kelompok Mesir hingga adab kelima hijriyah. Dalam Abad modern ini telah tampak upaya dari ahli bahasa Arab untuk merekonsktrusi bahasa Arab agar mudah dipahami oleh pelajar modern baik di Arab maupun non Arab. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi pustaka yang menggunakan pendekatan studi tokoh. Adapun yg menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah Kitab Ihyaun Nahwi karangan Ibrahim Musthofa dan Tajdidun Nahwi karangan Syauqi Dhoif. Data yang diperolah dianalisis dengan dua tahap, tahap pertama menggunakan analisis taksonomi dan kedua menggunakan analisis komparatif. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan Ibrahim Musthofa mendasari upaya pembaruan nahwu dengan pendekatan makna dan ini serupa dengan pemikiran J.R Firth, Syauqi Dhoif mendasari upaya pembaruan nahwunya dengan pendekatan fonologi menunjukkan pengaruh dari pemikiran Bloomfield. Adapun aspek persamaan dalam konsep pembaruan adalah menolak adanya istilah alamat far’iyah dalam i’rob, mereka juga meniadakan bab كانdan saudaranya, ن كادdan saudaranya dalam bab al-marfu’at, mereka juga menyepakati bahwa isim yang jatuh setelah ظنbukan merupakan tarkib isnadi. Aspek perbedaan keduanya dapat diringkas dari dasar landasan pembaruan dan dalam menyusun beberapa bab nahwu. Kata Kunci: Pembaharuan, Nahwu, Shauqi Dhaif, Ibrahim Musthafa Abstract Nahwu is the basis of Arabic science that emerged in the first century hijrah. then nahwu widespread evidenced by the many books the study of nahwu that discuss the methods in it, coupled with the emergence of groups that perform particular approach since the second century hijrah, trigger group basroh, Kufa, Baghdad, andalus and groups of Egyptians until adab to five hijrah. In this modern century has seemed the efforts of Arabic linguists to reconstruct the Arabic language to be easily understood by modern scholars in both the Arab

Transcript of Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Page 1: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

37

Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim

Musthafa

Fatkhur Roji

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta

[email protected]

Abstrak

Nahwu merupakan dasar dari ilmu bahasa Arab yang muncul pada abad

pertama hijriyah. kemudian nahwu berkembang luas terbukti dengan

banyaknya buku-buku kajian tentang nahwu yg membahas metode-metode di

dalamnya, ditambah dengan munculnya kelompok-kelompok yang melakukan

pendekatan tertentu sejak abad kedua hijriyah, munculkan kelompok Basroh,

Kufah, Bagdad, Andalus dan kelompok Mesir hingga adab kelima hijriyah.

Dalam Abad modern ini telah tampak upaya dari ahli bahasa Arab untuk

merekonsktrusi bahasa Arab agar mudah dipahami oleh pelajar modern baik di

Arab maupun non Arab. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi pustaka

yang menggunakan pendekatan studi tokoh. Adapun yg menjadi sumber

primer dalam penelitian ini adalah Kitab Ihyaun Nahwi karangan Ibrahim

Musthofa dan Tajdidun Nahwi karangan Syauqi Dhoif. Data yang diperolah

dianalisis dengan dua tahap, tahap pertama menggunakan analisis taksonomi

dan kedua menggunakan analisis komparatif. Adapun hasil dari penelitian ini

menunjukkan Ibrahim Musthofa mendasari upaya pembaruan nahwu dengan

pendekatan makna dan ini serupa dengan pemikiran J.R Firth, Syauqi Dhoif

mendasari upaya pembaruan nahwunya dengan pendekatan fonologi

menunjukkan pengaruh dari pemikiran Bloomfield. Adapun aspek persamaan

dalam konsep pembaruan adalah menolak adanya istilah alamat far’iyah dalam

i’rob, mereka juga meniadakan bab كان dan saudaranya, ن كاد dan saudaranya

dalam bab al-marfu’at, mereka juga menyepakati bahwa isim yang jatuh setelah

bukan merupakan tarkib isnadi. Aspek perbedaan keduanya dapat diringkas ظن

dari dasar landasan pembaruan dan dalam menyusun beberapa bab nahwu.

Kata Kunci: Pembaharuan, Nahwu, Shauqi Dhaif, Ibrahim Musthafa

Abstract

Nahwu is the basis of Arabic science that emerged in the first century hijrah.

then nahwu widespread evidenced by the many books the study of nahwu that

discuss the methods in it, coupled with the emergence of groups that perform

particular approach since the second century hijrah, trigger group basroh, Kufa,

Baghdad, andalus and groups of Egyptians until adab to five hijrah. In this

modern century has seemed the efforts of Arabic linguists to reconstruct the

Arabic language to be easily understood by modern scholars in both the Arab

Page 2: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 38

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

and non Arab. This research includes research literature that uses character

study approach. As for who becomes the primary source in this study was the

Book of Ibraham Musthofa إحياءالنحو bouquet and جديد النحو Syauqi dhoif bouquet.

The data obtained were analyzed in two stages, the first stage using taxonomic

analysis and the second using comparative analysis. The results of this study

indicate underlying Ibrahim Musthofa nahwu reform efforts with this approach

is similar to the meaning and thought JR Firth, Syauqi dhoif underlying reform

efforts nahwunya with phonological approach shows the influence of the

thought of Bloomfield. As for the aspect of equality in the concept of renewal is

refused their term far'iyah address in i'rob, they also negate chapter كان وأخواهتا

كانوأخواتها , in chapter al-marfu 'at, they also agreed that isim that occur

afterوأخواتها ظن not تركيباإلسنادي ,Aspects of the differences between them can be

summarized from the foundation of the reform and in preparing several

chapters nahwu.

Keywords : Apdate, Nahwu, Shauqi Dhaif, Ibrahim Musthafa

ملخصانتشارا واسعا هو نتشرامنذ القرن الأول الهجري ثم تهالنحو أصل من علوم العربية ونشأإن

ذلك ظهرت المدارس النحوية منذ بو ،ظهور الكتب التي درست النحو من حيث مناهجهبقرن المعاصر قد وظهرت وفىليناقس عن النحو العربي. القرن الثاني حتى القرن الخامس

محاولة تجديد من علماء اللغة العربية لتيسير وتسهيل النحو لمتعلمين اللغة العربية في العربي بعض النحاة المحدثين المشهورة المأثرة من كبرباء فى هذا البحث اختار الباحثووالعجم.

بحث مكتبي البحث وهذا وشوقي ضئيف. مجمع اللغة العربية هو إبراهيم مصطفىبمدخل منهج الشخصي ويكون كتاب إحياء النحو عند إبراهيم مصطفى و تجديد النحو عند شوقي ضئيف مصدرا رئيسا فيه، ويستعمل الباحث تحليلين فيه، تحليل التصنيفي و تحليل

صطفى في حركة : فقد أسس إبراهيم مليتفيما من هذا البحث العلمى نتائج البحث فمقارن. تجديد النحو في كتابه بمدخل المعنوي وأثر من فيرث. وأما شوقي ضيف فقد أسس بمدخل الأصوات وأثر من بلومفيلد. وأما أوجه تشابه في أراءهما بدفع علامة الإعراب الفرعية وحذف باب كان وأخوتها، وكاد في المرفوعات، وليس إسمين بعد ظن وأخوتها مسند إليه و مسند.

أما أوجه إختلاف في قد ظهرت في أساسي تجديدهما، في تنسيق الألباب النحوية. و : تجديد، النحو، شوقي ضئيف، إبراهيم مصطفى. الرئيسيةالكلمات

Page 3: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 39

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

Pendahuluan

Upaya dalam memudahkan pengkajian ilmu nahwu telah ada

sejak munculnya ilmu nahwu itu sendiri. Berbagai konsep dan metode

telah dikemukakan oleh para tokoh nahwu, disadari atau tidak, bahwa

perjalanan ilmu nahwu terus berjalan dari abad klasik dimana Ilmu

Nahwu klasik yang telah menjadi satu disiplin ilmu di bawah tangan

kreatif ulama Bashrah dan Kufah lalu disusul kemudian oleh ulama

Baghdad dan Mesir, tidak terlepas dari kekurangan dan kritik

konstruktif-epistemologis dari ulama Nahwu di belakangnya. Kritikan

yang paling tajam sempat dilontarkan oleh seorang pakar bahasa Arab

asal Kordova, Ibn Madla (w. 592 H) dalam ar-Radd 'ala Nuhat (Penolakan

atas Ulama Nahwu) yang ditulis sekitar tahun 581 H. Penolakan Ibn

Madla dalam kitab ini berkisar pada teori rasionalitas dalam

pembentukan ilmu Nahwu klasik yang cenderung “dipaksakan”,

sehingga tak jarang kita menemukan kerumitan-kerumitan dalam

memahami logika ilmu Nahwu.1

Hingga abad modern bahkan kontemporer saat ini. Tentunya

terdapat banyak sejarah tokoh, pemikiran-pemikiran, serta perdebatan

yang terjadi. yang telah banyak memberikan warna tersendiri dalam

khazanah Ilmu Nahwu.Dengan landasan itu, kiranya perlu banyak

kajian terhadap Ilmu nahwu dalam rangka menggali lebih dalam sejarah

perkembangan nahwu hingga sekarang. Karena sesungguhnya hal itu

akan menjadi bukti eksistensi suatu peradaban.

Dalam al-Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun memandang “Ilmu

Nahwu” sebagai bagianintegral dari seluruh pilar linguistik Arab (‘Ulum

al-Lisany al Arab) yang terdiri empat cabang ilmu, yakni: Ilmu Bahasa

(‘Ilm al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwi), Ilmu Bayan (‘Ilm al

Bayan) dan Imu Sastra (‘Ilm al Adab).2 Disiplin Nahwu ini pada masa

formasinya sangat sederhana dan bersifat praktis, Didorong semangat

rasa tanggung jawab terhadap agama, ilmu Nahwu dimaksudkan

sebagai pelurusan terhadap bacaan-bacaan bahasa Arab (terutama ayat-

ayat al-Qur’an) yang dianggap menyalahi bacaan konvensional.

Kesalahan-kealahan bacaan tersebut dalam tradisi bahasa dan bangsa

1Arifudin, Akademi Ilmu Tata Bahasa Arab di Andalusia: Kronologi dan Kontribusi.

(Surabaya, Jurnal Sastra Arab, 2013). Hal. 78. 2Al-Hasyimi, Al-Sayyid Ahmad, al-Qawaid al- Asasiyah Li al-Lughah al-

Arabiyyah, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, 2012). Hal.98.

Page 4: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 40

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

Arab disebut “al-Lahn”, yaitu kekeliruan dalam berbahasa yang

karenanya telah dianggap tidak fasih lagi.3

Adalah Abu Aswad al-Dauli, seorang hakim di kota Bashrah,

Irak, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merasa prihatin

terhadap semakin maraknya lahn. Abu Aswad yang juga sebagai ahli

qira’at tentu merasa sangat bertanggung jawab untuk menjaga al-Qur’an

dari pengaruh lahn. Oleh karena itu, dia mulai merumuskan tanda-tanda

bacaan tertentu untuk mempertahankan bacaan yang mutawatir

sanadnya. Dalam hal ini bacaan al-Qur’an yang ditulis pada masa

khalifah Utsman bin Affan (al-Mushaf al-Utsmani).

Tanda-tanda bacaan yang dirumuskan oleh Abu Aswad ini sangat

sederhana, yakni hanya berupa “titik-titik”. Titik dibagian atas sebuah

huruf, titik dibagian bawah huruf, dan titik dibagian kiri-atas sebuah

huruf.4 Titik-titik pada huruf inilah yang kemudian hari dikenal dengan

istilah “al-fathah, al-Kasrah dan al-Dhammah”, kemudian pada periode

perkembangan Nahwu, dalam arti yang sebenarnya, fathah, kasrah dan

dhammah menjadi bagian yang terpenting dalam pembicaraan ilmu

Nahwu tersebut, yaitu dijadikan sebagai tanda-tanda i’rab (‘alamat al-

I’rab).

Ilmu Nahwu sebagaimana yang kita kenal sekarang ini yang sarat

dengan berbagai aturan dan teori meupakan hasil dari sebuah proses

yang cukup panjang dalam sejarah linguistik Arab. Dimulai dengan

kegiatan kodifikasi dan sistemisasi kosakata bahasa Arab yang cukup

menyita waktu, barulah para ahli bahasa (al-Lughawiyyun, linguistik)

membangun dan meletakkan prinsip-prinsip dasar aturan bahasa

tersebut.5 Prinsip-prinsip dasar nahwu pada mulanya bersifat sangat

sederhana, kemudian berkembang menjadi sebuah “ilmu” yang sangat

pelik dan rumit. Nahwu tidak lagi sekedar berfungsi sebagai aturan atau

tatabahasa yang bersifat deduktif, tetapi juga telah menjadi (salah satu)

instrumen memahami al-Qur’an itu sendiri yang pada gilirannya

memunculkan banyak teori nahwu yang dikembangkan oleh para ahli

3 Haniah, Analisis Kesalahan dalam Berbahasa Arab pada skripsi mahasiswa Jurusan

Bahasa Arab dan Sastra Arab, (Makassar: Arobi:Journal Of Arabic Studies Vol. 3 No. 1,

2018).Hal. 34. 4 Sri Guno Najiib Chaqoqo, Sejarah Nahwu, (Salatiga: LP2M Press IAIN Salatiga

Cet. 1, 2015). Hal. 41. 5 Zam Zam Afandi, Bias Tiologis dalam Linguistik Arab, (Yogyakarta, Jurnal

Adabiyat Vol. 7 No. 5, 2015). Hal. 145.

Page 5: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 41

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

nahwu. Hal ini tentu, paling tidak menurut hemat penulis, justru

semakin mempersulit memahami dan mempelajari ilmu Nahwu itu

sendiri. Teori-teori nahwu ini kian tambah rumit setelah ilmu ini juga

dikembangkan oleh para teolog dan juga para filosof yang berupaya

memasukkan prinsip-prinsip logika dan rasionalitas ke dalam ilmu

nahwu.6 Kesan rumit dan pelik ini diperparah lagi dengan munculnya

aliran-aliran dalam nahwu; aliran Basharh, Kufah, Bagdad dan

Andalusia yang masing-masing memiliki karakter dan mengembangkan

prinsip-prinsipnya sendiri.

Dengan rumitnya masalah nahwu, sehingga penulis perlu

merumuskan bahwa pembaharuan nahwu menurut Shauqi Dhaif dan

Ibrahim Musthafa, sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan

pembaharuan nahwu oleh kedua tokoh tersebut.

Metode Penelitian

Artikel ini merupakan studi literatur atau pustaka dengan

pendekatan kualitatif. Penelitian kepustakaan adalah serangkaian

kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,

membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sumber

primer penelitian ini adalah karya-karya Shauqi Dhaif dan Ibrahim

Musthafa. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptis analisis.

Disebut deskriftis guna membuat gambaran secara sistematis, faktual

dan akurat mengenai fakta-fakta, corak serta hubungan7 pembaruan

nahwu yang diusung oleh keduanya. Adapun metode analisis ditujukan

untuk menyelidiki secara terperinci terkait pembaharuan nahwu dari

keduanya sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi-

rekomendasi untuk keperluan masa yang akan datang.8 Metode

komparatif tidak luput digunakan dalam penulisan artikel ini untuk

mendapatkan gambaran yang detail tentang perbedaan dan kesamaan

Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa dalam pembaharuan nahwu.

Biografi Shauqi Dhaif

6 Toni Franciska, Konsep I'rob dalam Ilmu Nahwu "sebuah kajian epistemologis",

(Yogyakarta: Jurnal al-Mahara Vol. 1, No. 1, 2015). Hal. 81. 7 M. Nazir, Metode Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988). Hal. 63.

8 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: CV. Alfabeta, 2005). Hal. 11.

Page 6: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 42

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

yauqi Dhaif lahir di Aulad Hamam, Mesir pada 13 Januari 1910,

dan wafat pada14 Maret 2005, pada usia 95 tahun.9Syauqi Dhaif

mengawali upayanya dalam pembaharuan nahwu dengan pen-tahqiq-

annya terhadap buku karangan Ibnu Madha yaitu ar-Radd ala an-Nuhat

wa al-Masyriq fi an-Nahwi, yang telah memberi warna baru dalam

khazanah ilmu nahwu. Beliau merekonstruksi kembali pemikiran nahwu

yang telah berkembang selama ini yang dianggap menyulitkan

pengajaran nahwu dengan perinsip mudah, gampang, ringkas,

sederhana, dan mudah dipahami oleh para pelajar bahasa Arab.

Beliau menuangkan pemikirannya tersebut dalam beberapa

bukunya yaitu Tajdid al-Nahwi, Taisiraat Lughawiyah, dan Taisiru al-Nahwi

al-Ta’limi Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdidihi. Diantara ketiga buku

ini, yang paling masyhur dalam khazanah ilmu nahwu adalah yang

pertama yaitu Tajdid al-Nahwi, yang menyajikan konsep-konsep yang

sempurna dalam pengajaran nahwu, dan juga memberi warna-warna

baru yang disandarkan atas perinsip-perinsip dasar yang bersumber dari

buku Ibnu Madha.

Pada dasarnya karya-karya yang disusun beliau dimaksudkan

untuk senantiasa dalam mempelajari nahwu menjadi lebih sederhana

dan mudah dipahami, hal ini dimaksudkan supaya pembelajaran nahwu

tidak mendapatkan kesulitan dalam memahami bab-bab nahwu.

Biografi Ibrahim Musthafa

Jika kita membahas tentang Ibrahim Mustafa tidak enak rasanya

jika kita tidak mengetahui tentang beliau, beliau dilahirkan di andalus

pada tahun 1863 hijriah dan meninggal pada tahun 1927 hijriah,10

Ibrahim musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu

abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti

pandangan dan pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada

fakultas Adab Universitas Fu’ad al-Awal (kini menjadi Universitas

Kairo).

Pada tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu

yang ia beri judul “Ihya al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun

9Eva Ardinal, Pemikiran Syauqi Dhaif Dan Upaya Pembaharuannya di Bidang

Pengajaran Nahwu, (Kerinci: Jurnal Islamika Vol. 13 No. 2, 2013). Hal. 178. 10 Rena Umamawati,Min Naqd Ibrahim Musthafa Fi Ba'd Al Masaail Al Nahwiyah Fi

Kitabihi Ihya Al Nahwi, (Surabaya: Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2016).

Hal. 37.

Page 7: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 43

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

kemudian yaitu pada bulan Juli 1937 diterbitkan oleh lajnat al-ta’lif wa

al-tarjamah wa al-nasyr Kairo dengan kata pengantar doktor Taha

Husain yang memuji buku tersebut, kitab ini menjadi salah satu dari

kitab pertama tentang pembaharuan ilmu nahwu, dia memberi nama

kitab ini berdasarkan saran dari doktor Taha Husain.

Pada bagian pengantarnya, Ibrahim Musthafa menyatakan

sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu yang aku geluti

selama tuju tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa lembar saja.

Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari

bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para

pelajar dan menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel

sehingga mereka dapat dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga

mengantarkan mereka dapat memahami uslub-uslubnya

(stylistikanya)…”.11

Dan pada akhir kitabnya dia beliau menyatakan “i’rab itu tidak

ada pada fiil, i’rab itu hanya ada pada ism, karena fi’il itu tidak bisa

dii’rab.

Pembaharuan Nahwu Shauqi Dhaif

Dalam pen-tahqiq-annya beliau merumuskan bahwa dalam upaya

pembaharuan nahwu terdapat enam pokok konsep yang ditawarkan,

yang meliputi:

a) Penyusunan kembali bab-bab dalam nahwu yang tumpang tindih,

menambahkan, dan mengumpulkan bab-bab yang dianggap

sejenis. Seperti contoh Bab كان واخوتها hendaknya dimasukkan pada

bab fi’il lazim. Teori merofa’kan isim dan menasobkan khobar diubah

dengan isimnya menjadi failnya dan khobarnya menjadi hal saja.

b) Menghapus dua peng-i’rab-an, yaitu taqdiri dan mahalli. Seperti

contoh dari I;rab taqdiri adalah جاء الفتى dibaca rofa’ tanpa harus

menyebutkan rofa’ muqoddar yang aslinya dzommah

c) Menghapus i’rab yang tidak efisien untuk kebenaran dalam

pengucapan[4]. I’rab yang danggap tidak efisien tersebut adalah

bab ististna’, bab adawat syarat, kam istifhamiyah dan khabariyah,

kata لاسيما dan .yang disukun ان

d) Meletakkan pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah yang lebih

spesifik pada sebagian bab-bab nahwu. Secara garis besar Syauqi

11 A.S. Ade Wahyu, Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer, (Jakarta: Makalah

UIN Syarif Hidayatullah, 2011). Hal. 1.

Page 8: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 44

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

Dzaif berpendapat ada tiga definisi topik pembahsan materi

nahwu yang perlu diperbaharui, yaitu bab Maf’ul Mutlaq, Maf’ul

ma’ah, dan bab hal.

e) Membuang penambahan-penambahan dalam bab nahwu yang

tidak penting. Seperti pembuangan kaidah-kaidah isim

alat, karena isim alat bersandar pada sima’i, dan tidak membuthkan

kaidah.

f) Penambahan topik yang dianggap signifikan. Seperti penambahan

pembahasan khusus yang disertai kaidah-kaidah pengucapan

atau makhraj, kerena dapat menumbuhkan kesadaran dalam

menjaga al-Qur'an.

g) Beliau berpendapat bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung

dengan nun taukid tidak berbeda dengan fi’il mudhori’ yang di

dahului oleh amil nashob dimana keduanya sama-sama berkhir

dengan harakat fathah. Seperti pada contoh kalimat لن

ن dari أسافر Sebagaimana telah diketahui bahwa fi’il . أسافر

mudhori’yang bersambung dengan nun taukid mabni fathah.12

Jika fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun taukid

berharakat fathah karena nashob, lalu bagaimana dengan contoh: ن لا تمدح

ن Lafadz .امرا حتى تجربه dinashobkan sedang lafadz tersebut didahukui تمدح

oleh لا nahi yang notabene adalah huruf jer. Apakah nashob dan jer bisa

berkumpul dalam satu keadaan yang sama?

Beliau juga merekomendasikan untuk menyamakan fi’il mudhori’ yang

bersambung dengan nun niswah dalam I’rab jazem, Seperti pada contoh:

النساء لم يسافرن, النساء لن يسافرن , النساء يسافرن

1. Beliau juga menganggap bahwa khobar dapat berupa marfu’,

mansub dan majzum.

a) Ketika nashob seperti contoh: ضربي العبد مسيئا

b) Ketika jer seperti contoh: وما ربك بظلام للعبيد

2. Anggapan beliau pada isim dan saudara-saudaranya sebagai إن

mubtada’ yang didaca nashob dengan hujjah bahwa mubtada’

bisa dibaca jer ketika didahului oleh رب dan huruf jer yang

12 Musthafa Ghalayaini, Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah, (Kairo: Darul Hadits, 2011).

Hal. 76.

Page 9: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 45

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

berupa tambahan. Beliau berdalih: “jika mubtada’ bisa dibaca jer,

kenapa kita tidak mengatakan kalau mubtada’ bisa dibaca

nashob?

a) Pada contoh: نفد من صولرب قول أ dan وليل كموج البحر أرخى سدوله .

lafadz قول dan ليل jelas dibaca jer karena sebagai mudhof ilaih,

tetapi lafadz tersebut berkedudukan sebagai mubtada’. Sedang

yang dimaksud oleh Dr. Syauqi Dhoif sebagai mubtada’ yang

dibaca nashob seperti pada contoh: إن الله عليم خبير

3. Beliau mengatakan “sesungguhnya mudhaf ilaih itu menyerupai

isim yang ikut pada isim yang lain walaupun wajib dibaca jer.

Seperti contoh ثلاثة أقلام.disini jelas bahwa lafadz أقلام mengikuti

lafadz ثلاثة. Bisa juga kta katakan لأقلام الثلاثةا sebagai susunan sifat

atau badal.

4. Beliau merekomendasikan untuk mengabaikan fa’il ataupun

naibul fa’il ketika dalam bentuk dhomir mustatir. seperti

contoh: محمد سئل, زيد قام . Menurut hemat beliau, tidak perlu repot-

repot mengi’rabi kedua contoh yang telah disebut karena fa’il

dan naibul fa’il dari keduanya “hanya” dhomir yang tidak

terlihat oleh mata.

5. Rekomendasi beliau untuk mengabaikan I’rab pada jumlah. Pada

contoh: مررت برجل يزرع lafadz يزرع dii’rabi jer karena sebagai sifat

dari lafadz رجل yang nakiroh. Tetapi pada contoh: مررت بالرجل

.dalam keadaan nashob karena sebagai hal يزرع lafadz يزرع

Sebagaimana perkataan para ahli nahwu bahwa “setiap jumlah

yang jatuh setelah isim nakiroh berupa sifat, tetapi jika setelah

ma’rifat maka jumlah tersebut berkedudukan sebagai hal.

6. Beliau menganjurkan untuk mendalami penjelasan tentang

kedudukan isim mabni, isim manqus, dan isim maqsur. Beliau

berpendapat bahwa isim-isim ini perlu pejelasan lebih detail

tentang kedudukannya pada kalimat, yang mana pada setiap

I’rab yang ditempati, isim-isim ini tetap sama seperti sediakala.13

Pembaharuan Nahwu Ibrahim Musthafa

1. Redevenisi Nahwu

13 Ali Muzhir Al Yasiri, Al-Fikr al-Nahw ‘inda al ‘Arb Usulu wa Manahijuhu,

(Beirut: al Dar al-Arabiyyah Li al Maushu’at, 2012). Hal. 89.

Page 10: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 46

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

Sebelum mengajukan definisi nahwu menurut versinya,

Ibrahim Musthafa terlebih dahulu mengkritik para ulama’nahwu

klasik yang pada umumnya memberi definisi nahwu

dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi

akhir kata baik dari segi mu’rab maupun mabninya”

Dengan definisi nahwu seperti itu, lanjut Ibrahim, kajian nahwu

hanya berkutat dan terfokus pada pada huruf-huruf terakhir pada

sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan

mabninya. Definisi seperti ini, kritik Ibrahim, sama dengan

mempersempit wilayah kajian nahwu.

Bagi Ibrahim pengertian nahwu adalah “aturan penyusunan

kalimat dan penjelasan posisi setiap kata yang ada di dalamnya,

posisi kalimat dalam kaitannya dengan kalimat lain yang lebih

luas, sehingga menjadi sebuah ungkapan/susunan yang sistematis

dan memiliki pengertian yang memadai”.14

2. Penolakan pada amil

Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim

Musthafa terlebh dahulu menggali dan mengambil intisari dari

konsep amil tersebut dengan menyatakan sebagai berikut: “lebih

dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan mengkaji masalah

i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat

dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk

membongkar rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya

kajian mereka menyatakan bahwa I’rab adalah wujud adanya

pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang

tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan

cara kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep

amil bagi mereka adalah nahwu itu sendiri”.

Beliau mengklarifikasikan sebagai berikut:15

a. Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil

tersebut tidak disebutkan secara langsung maka harus

diperkirakan (muqaddar), memang ada amil yang harus

tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan

14 Abdullah, ad- Dars an-Nahwi fi al- qarn al-isyrin, (Kairo: Maktabah Adab, 2004).

Hal. 167. 15Hazuar, Konsep I'rab dalam Pandangan Ibrahim Mustafa dan Ibrahim Anis, (Curup

: Jurnal Arabiyatuna Vol. 3 No. 1, 2019). Hal. 169.

Page 11: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 47

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

(muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil

muqaddar yang tidak sama seperti dalam contoh:

" ”إسق اللهم سقيا دعائى لك– سقيا لك، تقديره

b. Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk

sebuah ma’mul. Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’

nahwu klasik membagi cara kerja keduanya, satu amil

mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya

lagi beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasusu

kalimat:"بحسبك هذا". Huruf “ba” pada kata “hasbika” bermal

pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil

ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’.

Dari kasusu semacam ini lalu mereka menciptakan teori

“al-Tanâzu’” (saling betrebut dalam beramal) yang sangat

rumit dan berbelit-belit.

c. Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il

semata dan hanya beramal pada isim, baik rafa’ nashab.

Fi’il hanyaa dapat merafa’kan satu isim saja, menasabkan

lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan

menasabkan sekaligus.

d. Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal

sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil

tapi sebagai amil yang lemah. Ia tidak dapat beramal

kepada kata yang mendahuluinya, bahkan diantaranya ada

dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat

tertentu seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga

kata ni’ma dan bi’sa. Sedangkan fi’il naqis hanya dapat

beramal kepada mubtada’ dan khabar.

e. Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena

dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim

maf’ul dan isim mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki

kemiripan dengan fi’il maka ia tidak dapat beramal atau

menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama

isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat

merafa’kan dan menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia

hanya dapat menjazamkan saja.

f. Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri

sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu

Page 12: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 48

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

dengan fi’il, kedua dapat beramal jarena dipersamakan

dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim

maupun fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan

mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat beramal

menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam

proses amalnya dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan

amalnya dilihat dari sejauhmana huruf tersebut memiliki

kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun

lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena

ia memiliki arti yang berfungsi meperkuat pernyataan

(taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il

dari segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri

dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi

bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu

dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan

kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti

pula semakin lemah beramalnya.

g. Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan

khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan”

dan “lam” misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il

mudhari’ sebab keduanya memang hanya dapat

berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya

dengan huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia

tidak memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il

mudhari’ maupun fi’il madhi.

h. Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam

menurut konteks dan posisinya, misalnya seperti hurur

“lâ”, ia terkadang dapat beramal sebagaimana amalnya

“laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.

i. Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu

termasuk kategori amil yang kuat, maka ia dapat

diletakkan setelah ma’mulnya.

j. Pada prinsipnya antara amil dan ma’mul harus terkait

langsung, tidak ada pemisah diantara keduanya, namun

jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat

dipisah dengan ma’mulnya.

Page 13: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 49

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

k. Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih

lemah daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab

amil-amil yang bekerja untuk fi’il terkadang dapat

dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti

huruf-huruf yang berfungsi sebagai“adawât al-syarthi”.

l. Sebuah kata, dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul

sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat saling beramal.

m. Bagian kata saja tidak dapat berperana sebagai amil.

n. Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari segi

“mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-

hal tertentu yang membuatnya demikian.

o. Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka

mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti

“inna” dan “kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf

tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya,

ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-

masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak

dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.

3. Penyatuan tempat antara mubtada, fail dan naibul fail

Menurut beliau disatukannya ketiga bab tersebut karena antara

ketiganya itu sama-sama isim, karena ketiga hukumnya sama-sama

rafa’, kata beliau “jika kita melihat bab ini, kita akan menemukan bab

yang menyebabkan ketiganya itu bisa dimasukkan dalam satu bab”.

4. Fathah bukanlah alamat I’rob

Jika selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu

ada tiga macam yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka menurut

Ibrahim musthafa fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu

tanda i’rab. Jadi menurutnya, tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu

dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan karena adanya

pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk

menentukan makna dari kalimat.

Dhlommah adalah tanda dari isnad, sedangkan kasroh adalah

tanda dari idlafah, Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua

bahasan nahwu yang termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang

disebut idafah yaitu idafah konvensional (kata majmuk) dan idafah

yang didahului oleh huruf (jar) seperti huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’

Page 14: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 50

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai huruf idhafah

(hurûf al-Idhafah).

Sedangkan fathah menurut beliau bukanlah termasuk dalam

tanda I’rab karena menurut beliau fathah tidak enimbulkan atau

menunjukkan ma’na apapun, adi sebenarnya fathah itu adalah tanda

yang disukai orang arab dikarenakan fathah itu lebih ringan dari

tanda yang lainnya.

5. Penolakan terhadap alamat I’rab fariyah (cabang)

Disamping i’rab asli (dhammah, kasrah dan fathah), para ahli

nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau

yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan

sebabagi pengganti dari i’rab yang asli.

Dalam kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh

berikut ini: " وك، رأيت أباك، مررت بأبيكجاء أب ”, menurut ahli nahwu klasik

yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf “wawu”, yang

kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam

contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”

Persamaan Menurut Shauqi Dhaif Dan Ibrahim Musthafa

1. Segi Sejarah

Keduanya sama-sama terdapat pengaruh dalam pembaharuan

nahwu sesuai yang tertuang dalam kitab al-Raddu 'ala al-Nuhah

dan sesuai dengan penolakan Ibnu Madha dari Teori 'Amil yang

penggunaannya sesuai pendapat ulama terdahulu dalam mabni

nahwu araby.

2. Segi Panjangnya

Keduanya dalam sepanjang pembaharuan dan mempermudah

dari pengembangan nahwu arab dalam kurun waktu 20 tahun,

dan keduanya terdapat pembaharuan dalam bahasa Arab sesuai

yang terlihat jelas pada karangan kitab keduanya.

3. Segi Pembelajaran

Keduanya dari perguruan tinggi mesir dan keduanya dari anggota

perkumpulan bahasa Arab.

4. Segi Pemahaman Pembaharuan

(a). Keduanya sepakat menolak tanda i'rob far'iyah dan menolak

fathah sebagai tanda I'rob.(b). Keduanya sepakat isim sesudah كان

tidak ada isim kaana dan tidak ada khabar kaana karna keduanya

tidak dari musnad dan musnad ilaih, adapun isim sesudah kaana

Page 15: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 51

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

dinamakan fail kaana dan adapun khabar kaana dinamakan hal

kaana. (c). adapun dalam hukum isim sesudah kaada dan

saudaranya dan isim musyabihat dengan tanpa menggunakan لا، لات

.

5. Segi Qowaid Nahwu

Keduanya sepakat dalam bab ظن dan saudaranya isim sesudah

dzanna dinamakan maf'ul dan dan ashlinya mubtada khabar dan

keduanya menolak terhadap dasar dan tidak adanya isim sesudah

musnad dan musnad ilaih.

Perbedaan Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa16

Segi Analisis Perbedaan

Shauqi Dhaif Ibrahim Musthafa

Segi Dasar

Pembaharuan

Dalam kita Tajdid al-

Nahwu tampak jelas

dalam muqodimah

Dasar harakat

pembaharuannya

dalam pemahaman

ucapan kalimat dan

lembutnya lafadz

suara dan terjadi pada

setiap 'irob untuk

memperbagus dalam

ucapan.

Pada dasarnya

terdapat pada kitab

Ihya al-Nahwu yang

paling penting dalam

keadaan akhir

kalimat dalam

jumlah dan

maknanya yang di

kumpulkan didalam

jumlah.

Segi Qowaid nahwu

Tidak menambah bab

dalam bab al-Tawabi'

seperti dalam al-

Khalib.

Membuang bab al-

Tanaazi' dan al-

isytighal dalam bab al-

mansubat.

Menambah bab

khabar dalam bab al-

tawabi' sehingga

terdapat lima bab

diantaranya na'at,

'athaf, taukit, badal dan

khabar.

Membahas bab al-

Tanaazi' dan al-

Isytighal dalam bab

al-takmilah al-Bahs.

16 Kisno Umbar, Pembaharuan nahwu versi Ibrahim musthafa dan shauqi dhaif,

(Malang : Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016). Hal. 135-139.

Page 16: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 52

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

Segi Pengetahuan

Nahwu

Dalam kitabnya

pembaharuan nahwu

tidak terdapat batasan

dalam mengetahui

nahwu al-wadhih, dan

dari mengetahui

nahwu menurut

ulama terdahulu,

nahwu adalah ilmu

untuk mengetahui

berbagai hal pada

akhir kata arab dari

segi I'rob dan bina'.

Nahwu merupakan

undang-undang

dalam menentukan

al-Kalam, dan

penjelasan pada

setiap kata yang

wajib dalam kata

jumlah, jumlah

beserta beberapa

jumlah, sehingga

memecah ibarat dan

memungkinkan

dalam penekanan

ma'nanya.

Kesimpulan

Pembaharuan nahwu menurut shauqi dhaif Dalam kita Tajdid al-

Nahwu tampak jelas dalam muqodimah Dasar harakat pembaharuannya

dalam pemahaman ucapan kalimat dan lembutnya lafadz suara dan

terjadi pada setiap 'irob untuk memperbagus dalam ucapan. Sedangkan

menurut Ibrahim Musthafa Pada dasarnya terdapat pada kitab Ihya al-

Nahwu yang paling penting dalam keadaan akhir kalimat dalam jumlah

dan maknanya yang di kumpulkan didalam jumlah.

Terdapat perbedaan antara Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

hal tersebut dikaitkan dengan segi dasar pembaharuan, segi Qowaid

Nahwu dan segi pengetahuan nahwu, hal tersebut dapat dilihat bahwa

Dalam kitabnya pembaharuan nahwu tidak terdapat batasan dalam

mengetahui nahwu al-wadhih, dan dari mengetahui nahwu menurut

ulama terdahulu, nahwu adalah ilmu untuk mengetahui berbagai hal

pada akhir kata arab dari segi I'rob dan bina, sedangkan menurut

Ibrahim Musthafa Nahwu merupakan undang-undang dalam

menentukan al-Kalam, dan penjelasan pada setiap kata yang wajib dalam

kata jumlah, jumlah beserta beberapa jumlah, sehingga memecah ibarat

dan memungkinkan dalam penekanan ma'nanya.

Page 17: Pembaharuan Nahwu Menurut Shauqi Dhaif dan Ibrahim Musthafa

Fatkhur Roji 53

El-Ibtikar Vol 9 No 1 Juni 2020

Daftar Pustaka

Abdullah. 2004. ad- Dars an-Nahwi fi al- qarn al-isyrin, Kairo: Maktabah

Adab.

Ade Wahyu, A S. 2011. Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer, Jakarta:

Makalah UIN Syarif Hidayatullah.

Afandi,Zam Zam. 2015. Bias Tiologis dalam Linguistik Arab, Yogyakarta,

Jurnal Adabiyat Vol. 7 No. 5.

Al Yasiri, Ali Muzhir. 2012. Al-Fikr al-Nahw ‘inda al ‘Arb Usulu wa

Manahijuhu, Beirut: al Dar al-Arabiyyah Li al Maushu’at.

Al-Hasyimi, Al-Sayyid Ahmad, 2012, al-Qawaid al- Asasiyah Li al-Lughah

al-Arabiyyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama.

Ardinal, Eva, 2013, Pemikiran Syauqi Dhaif Dan Upaya Pembaharuannya di

Bidang Pengajaran Nahwu, Kerinci: Jurnal Islamika Vol. 13 No. 2.

Arifudin, 2013, Akademi Ilmu Tata Bahasa Arab di Andalusia: Kronologi dan

Kontribusi. Surabaya, Jurnal Sastra Arab.

Chaqoqo, Sri Guno Najiib, 2015, Sejarah Nahwu, Salatiga: LP2M Press

IAIN Salatiga Cet. 1.

Franciska, Toni, 2015. Konsep I'rob dalam Ilmu Nahwu "sebuah kajian

epistemologis", Yogyakarta: Jurnal al-Mahara Vol. 1, No. 1.

Ghalayaini , Musthafa, 2011, Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah, Kairo: Darul

Hadits.

Haniah, 2018, Analisis Kesalahan dalam Berbahasa Arab pada skripsi

mahasiswa Jurusan Bahasa Arab dan Sastra Arab, Makassar:

Arobi:Journal Of Arabic Studies Vol. 3 No. 1.

Hazuar, 2019, Konsep I'rab dalam Pandangan Ibrahim Mustafa dan Ibrahim

Anis, Curup : Jurnal Arabiyatuna Vol. 3 No. 1.

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Umar, Kisno, 2016, Pembaharuan nahwu versi Ibrahim musthafa dan shauqi

dhaif, Malang : Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim.

UmamawatI, Rena, 2016, Min Naqd Ibrahim Musthafa Fi Ba'd Al Masaail Al

Nahwiyah Fi Kitabihi Ihya Al Nahwi, Surabaya: Tesis Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel.