Pekerjaan, Kerentanan, dan Ketimpangan Ekonomi: Indonesia ...
Transcript of Pekerjaan, Kerentanan, dan Ketimpangan Ekonomi: Indonesia ...
Pekerjaan, Kerentanan, dan Ketimpangan Ekonomi: Indonesia Ketika Pandemi dan Agenda Ekonomi Ke Depan
Penulis Naskah: 1. Kurnia cahyaningrum effendi, S.I.P 2. Alnick M. Nathan, S.I.P 3. Kevin Hendrika Septi, S.I.P
Editor: Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P Pembawa Pidato Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P
Assalamualaikum wr. Wb.
Salam sejahtara, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan
Yang saya hormati dekan, ketua senat, dosen, pegawai dan seluruh civitas akademika FISIPOL
UGM. Para undangan yang hadir di acara Dies Natalis FISIPOL UGM ke-66. Pada kesempatan
yang baik pada hari ini, izinkanlah saya mewakili panitia menyampaikan pidato yang berjudul
Pekerjaan, Kerentanan, dan Ketimpangan Ekonomi: Dampak Pandemi dan Agenda
Kebijakan Publik di Indonesia
Bapak, Ibu yang saya hormati
Kegiatan dies FISIPOL UGM yang biasanya digunakan sebagai sarana untuk berkumpul dan
melakukan banyak kegiatan secara meriah harus kembali dilakukan secara daring (dalam
jaringan). Namun, saya yakin hal tersebut tidak akan mengurangi antusiesme Bapak/Ibu dan
kolega sekalian di dalam merayakan dies natalis ke-66 ini.
Sudah hampir 2 tahun Covid masuk ke Indonesia, dan pemerintahpun telah berupaya
semaksimal untuk memitigasi penyebaran Covid-19, sayangnya memang jauh dari berakhir.
Berdasarkan web resmi pemerintah pada September ini, tercatat bahwa kasus positif Covid-19
di Indonesia sudah mencapai angka 4.1 juta sejak pengumuman pertama kasus Covid di
indonesia pada Maret tahun 2020 lalu. Sementara itu, data pemerintah menunjukkan sebanyak
lebih 138 ribu kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia.
Pemerintah telah memberlakukan beberapa kebijakan untuk mencegah penyebarannya dan
memitigasi dampak sosial-ekonomi yang berpotensi terjadi. Pertama, pemerintah telah
memberlakukan beberapa kebijakan untuk membatasi mobilitas dan kegiatan masyarakat untuk
mencegah penyebaran Covid, mencegah penyebaran virus. Hal ini terlihat dari pemberlakukan
PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada tahun 2020 diubah lagi menjadi PPKM
(Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) pada awal tahun ini. Tentu saja, pembatasan
kegiatan dan mobilitas masyarakat ini berdampak besar pada kondisi sosial-ekonomi
masyarakat. Pabrik, toko, kantor, warung, banyak yang tutup. Pedagang-pedagang kehilangan
sumber pendapatannya dan karena itu mereka tidak menghasilkan pendapatan, banyak kegiatan
usaha yang terpaksa dirumahkan, merumahkan atau mem-PHK pekerjanya, dan sebagian
bahkan tutup secara permanen. Yang kedua pemerintah juga mendorong program stimulus
pemulihan ekonomi atau PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) dengan alokasi anggaran sekitar
Rp. 744,75 triliun pada tahun 2021 ini untuk melindungi masyarakat dan menstabilkan
ekonomi dari dampak penyebaran Covid. Program stimulus ini bertujuan untuk memperkuat
sistem jaminan sosial dan kesehatan serta dukungan finansial bagi kegiatan usaha (Sparrow et
al, 2020; Temenggung et al, 2021).
Namun demikian, terlepas dari upaya pemerintah melalui pandemi ini dan memitigasi
dampaknya, tampaknya memang situasi sosial-ekonomi masyarakat semakin sulit dan dalam
beberapa hal justru memperburuk kondisi perekonomian Indonesia dari pada sebelumnya.
Menurunnya aktivitas dan peluang ekonomi akibat dari ketidakpastian ketika pandemi telah
menyebabkan tutupnya berbagai macam kegiatan usaha dan meluapnya menghilangnya sumber
pendapatan masyarakat. Tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kerentanan ekonomi di
Indonesia selama masa pandemi juga meningkat.
Bapak dan ibu sekalian
Pandemi juga sudah mengakibatkan masyarakat kehilangan pendapatannya atau PHK. Seperti
yang kita ketahui, ekonomi Indonesia didominasi oleh usaha mikro dan usaha kecil di mana
mayoritas masyarakat menggantungkan hidupnya, ada sekitar 30 juta pelaku UMKM yang
terpaksa menutup usahanya karena pandemi Covid-19 (Kompas 28 Juli 2020). Pada tahun
2020, tingkat pengangguran meningkat dari 4.0% pada Februari menjadi 7.1% pada bulan
Agustus lalu yang berarti ada sekitar 2.8 juta pekerja sudah kehilangan pekerjaannya.
Kalau melihat dari survei Sakernas pada tahun 2020 jumlah pekerja formal juga mengalami
penurunan sebanyak 6 juta juta pekerja daripada tahun 2019 daripada tahun lalu. Sekitar 29 juta
pekerja atau kira-kira setara dengan 21% dari tenaga kerja di Indonesia terkena dampak dari
pandemi, di mana sekitar 24 juta menganggur 2 juta tidak bekerja untuk sementara
(Temenggung et al, 2021: 9-12). Dampak ketenagakerjaan pandemi bisa kita saksikan dalam
keseharian kita. Di perempatan jalan, kita bisa mengamati meningkatnya fenomena pengemis,
penjual dagangan, pedagang asongan dan “manusia perak” atau para badur di tengah Pandemi.
Beberapa laporan berita menunjukkan bahwa munculnya fenomena seperti ini berkaitan dengan
warga-warga yang kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan dam tidak mendapatkan
bantuan sosial dari negara, dan terpaksa mencari nafkah dengan cara lain (The Guardian, 22
Juli 2021).
Sementara itu, buruh formal pun juga berada di posisi yang semakin sulit. Selain dirumahkan
atau terkena PHK massal, buruh juga mengalami berbagai macam pelanggaran hak-hak
normatif ketenagakerjaan dan hak-hak kesehatan dan keselamatan kerja. Berdasarkan survei
yang dilakukan terhadap buruh di kawasan Jabodetabek, laporan LBH di Jakarta tahun
2021)menunjukkan pelanggaran hak-hak normatif berupa pemotongan upah, PHK tanpa
pesangon, pekerja yang dirumahkan tanpa dibayar, perubahan status kerja dari pekerja tetap
menjadi pekerja kontrak outsourcing, dan juga pemberangusan serikat buruh. Sementara itu,
sebagian buruh masih dipaksa untuk tetap bekerja di tempat kerja mereka oleh perusahaan tanpa
ada upaya mitigasi. Laporan LBH Jakarta (2021) mencatat bahwa sebagian perusahaan tidak
memiliki kebijakan yang memenuhi protokol kesehatan, tidak memfasilitasi tes swab atau test
usap PCR terutama bagi buruh yang berkontak erat dengan mereka yang positif terkena Covid-
19, ada sebagian yang juga tidak mendapatkan alat pelindung diri diantara buruh ketika mereka
bekerjaperusahaan abai terhadap hak-hak K3 itu jadi inilah yang kita hadapi sampai pada bulan
September ini.
Bapak dan Ibu sekalian
Dampak dari hilangnya pendapatan masyarakat dapat dilihat dari meningkatnya tingkat
kemiskinan di Indonesia. Data dari SMERU Institute (2021b), jumlah penduduk miskin di
Indonesia bertambah 1,12 juta menjadi 27,54 juta penduduk. Tingkat kemiskinan meningkat
dari 9.22% pada tahun 2020 bulan September menjadi 10.4% pada bulan Maret 2021. Artinya,
memang pandemi telah memukul mundur upaya pengentasan kemiskinan selama tiga tahun
terakhir. Meningkatnya kemiskinan disebabkan oleh berkurangnya aktivitas ekonomi dan
kegiatan usaha yang menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan sumber pendapatannya,
terutama mereka yang berpendapatan rendah. Ada sekitar 74.% rumah tangga di Indonesia
mengalami penurunan pendapatan dengan tingkat rata-rata penurunan lebih dari 40% dari
pendapatan mereka semenjak Januari 2020. Jadi artinya di tingkat nasional pengeluaran rata-
rata rumah tangga juga bisa ketahui mengalami penurunan sebesar -2.3% atau kalau dilihat dari
penurunan pengeluaran mediannya sebesar -3.1% (SMERU, 2021b).
Namun demikian, tidak semua rumah tangga mengalami dampak yang sama dari pandemi.
Sebagian mengalami keterpurukan ekonomi, tetapi sebagian lagi justru malah tidak merasakan
dampak pandemi yang signifikan. Laporan Oxfam (2021) menunjukkan bahwa pandemi Covid-
19 adalah istilahnya “virus ketimpangan” yang justru memperlihatkan, memperburuk,
ketimpangan. Kalau kita ketahui tadi ada banyak penduduk yang miskin, kita juga melihat
bahwa pada bulan Maret sampai dengan Desember tahun 2020, kekayaan dari kelompok
milyarder di seluruh dunia justru bertambah sebanyak US$ 3.9 triliun. Sementara itu di
Indonesia, kelompok hal serupa terjadi. Kelompok kaya justru mengalami peningkatan harta
kekayaan mereka selama masa pandemi. Data dari BPS, menunjukkan rasio gini Indonesia
mengalami kenaikan selama pandemi dari 0,381 pada Maret 2020 menjadi 0,384 pada Maret
2021. Kekayaan keluarga terkaya di Indonesia bertambah dari US$ 37,7 miliar dolar menjadi
US$ 38,8 miliar dolar. Keluarga terkaya di urutan kedua hartanya bertambah dari 9,6 miliar
dolar AS ke 11,9 miliar dolar. KPK melaporkan bahwa dari 70% pejabat pemerintah juga
bertambah kekayaannya. Ada sekitar 58% menteri, 45% pejabat DPR dan, 38% gubernur dan
wakil gubernur, dan 18% bupati/walikota dan wakil bupati/walikota, mengalami pertambahan
harta kekayaan lebih dari Rp. 1 miliar rupiah selama masa pandemi (Kompas, 10 September
2021). Hal ini menunjukkan bahwa ketika mayoritas masyarakat Indonesia sedang berjuang
menghadapi kondisi ekonomi yang semakin sulit dan tidak pasti, sebagian kelompok kaya
justru malah menikmati penambagan kekayaan.
Bapak/Ibu segenap Civitas Akademika FISIPOL Universitas Gadjah Mada yang saya
hormati
Kerentanan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi tidak hanya berdampak pada pekerja tetapi
juga pada keluarga dan anak yang akan menjadi generasi penerus. Menurut laporan UNICEF
pada tahun 2021 ini, pandemi Covid-19 berpotensi menyebabkan semakin banyak anak yang
jatuh ke bawah garis kemiskinan dan mengalami masalah kesehatan akibat memburuknya
kondisi ekonomi keluarga dan tentu saja rumah tangga yang tidak kondusif bagi pengembangan
anak. Covid juga berpotensi pada memburuknya kondisi pendidikan anak. Ditutupnya sekolah,
universitas, dan tempat pendidikan ketika pandemi memaksa sekitar 60 juta anak-anak dan
pelajar di Indonesia untuk beralih ke metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun, peralihan
ini pun menciptakan permasalahan baru (Azzahra, 2020). Ketimpangan antar daerah,
ketimpangan antarkota dan desa, menyebabkan sebagian daerah tidak mampu menunjang PJJ
dengan maksimal karena masalah akses internet dan gawai (Arsendy et al, 2020). Terlebih lagi,
keluarga anak juga menjadi lebih kewalahan akibat dipaksa untuk mendukung PJJ anak-anak
mereka, dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit. 65% dari rumah tangga dengan anak yang
mengalami peningkatan pengeluaran untuk akses ke gawai dan internet anak mereka dan sekitar
57.3% tidak memiliki akses ke internet. Bahkan sekitar 23% dari 40% rumah tangga termiskin
tidak memiliki gawai jadi ini tentu menjadi masalah sendiri.
Laporan dari Bank Dunia mengestimasi bahwa pandemi Covid-19 memperparah ketimpangan
pendidikan antara golongan miskin dan kaya. Padahal, kualitas pendidikan di Indonesia
sebelum pandemi juga cukup memprihatinkan. Ada sebagian pakar menulis Rosser (2018)
misalnya saja bahwa penyebab dari buruknya kualitas pendidikan di Indonesia karena
minimnya anggaran pendidikan, kualitas fasilitas sekolah yang relatif kurang memadai,
rendahnya kualifikasi guru atau pengajar, dan minimnya kesejahteraan guru. Penilaian skor
PISA pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 42% dari anak-anak usia 15 tidak memenuhi
standar minimum dari kemampuan tes membaca, matematika, dan sains dasar.
Bapak/Ibu sekalian
Permasalahan mengenai kerentanan dan ketimpangan ekonomi seperti ini bukanlah hal yang
baru. Pandemi Covid-19 hanya menunjukkan, dan bahkan memperburuk sebenarnya, masalah
yang sedang dihadapi. Selama dua dekade belakangan ini, Indonesia sebenarnya cukup sukses
dalam mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan dari 24.2%
pada tahun 1998 menjadi hanya 9.66% pada tahun 2018. Meskipun demikian, sebagian
masyarakat masih tergolong sebagai kelompok rentan (vulnerable) karena pendapatannya
hanya 1.6 kali dari garis kemiskinan. Pada tahun 2016 misalnya saja, jumlah kelompok miskin
dan rentan di Indonesia mencapai 38.2% (OECD, 2019). World Bank (2019) tentunya mencatat
“kelas menengah tanggung” ini diperkirakan angkanya mencapai 45% dari penduduk
Indonesia. Kelompok ini memiliki standar hidup yang lebih tinggi daripada kelompok miskin
atau rentan, tetapi mereka secara ekonomi masih belum aman dan dapat mudah terjatuh ke
kemiskinan akibat goncangan ekonomi.
Kalau kita melihat kondisi antar daerah. Kita juga bisa melihat dan mencermati dari indeks
kedalaman kemiskinan. Pada bulan Maret 2018 hingga awal 2020 sebelum pandemi,
kemiskinan Provinsi Papua pada tingkat 6,16%) Papua Barat (5,79%), Nusa Tenggara Timur
(4,02%), dan Nusa Tenggara Barat (2,58%). Ini adalah provinsi dengan indeks kedalaman
kemiskinan yang tertinggi. Dengan demikian jika terjadi gejolak ekonomi di provinsi-provinsi
tersebut sudah pasti penduduknya akan menjadi lebih miskin dan lebih rentan jika dibandingkan
dengan provinsi lainnya. Di Provinsi Papua misalnya, hanya 23% desa yang dapat mengakses
jalan aspal/beton dari/ke lokasi sentra produksi pertanian. Pada saat pandemi ini akan lebih sulit
lagi. Karena tentu saja tingkat keperahan kemiskinan di provinsi tersebut akan terpengaruh oleh
pembatasan mobilitas dan juga situasi ekonomi yang menjadi kurang kondusif.
Bapak dan ibu, kolega, dan staf di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah
Mada yang saja hormati
Sejak krisis tahun 1997, sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia oleh para ekonom disebut
sebagai “jobless growth” pertumbuhan ekonomi tetapi mengakibatkan banyak pengangguran.
Artinya, perekonomian kita pulih dan tumbuh namun lapangan pekerjaan yang tercipta, itu
pekerjaan formal dan layak, sebenarnya tidak sebanding dengan angka pertumbuhan ekonomi.
Fenomena “jobless growth” ini didorong oleh kemerosotan dari sektor industri manufaktur
(Aswicahyono et al, 2010; Tadjoeddin & Chowdhury, 2019). Tenaga kerja di Indonesia
didominasi oleh pekerja informal. Menurut data BPS sebelum pandemi ada sekitar 57% dari
tenaga kerja di Indonesia atau kalau dihitung 74 juta pekerja itu sebenarnya pekerja informal
yang formal kira-kira hanya 55 juta pekerja, dan inilah yang menjadu masalah bagi Indonesia
kerena ILO juga menilai pekerja informal sebagai vulnerable employees itu punya banyak
pekerjaan rentan dan ciri-cirinya adalag kualitasnya, berpendapatan rendah, tidak produktif,
tida dilindungi oleh hukum, dan tidak ada jaminan sosial serta hak-hak ketenagakerjaan yang
memadai (ILO, 2002: 4; Rothenberg et al, 2016). Pekerja informal yang dimaksud bukan hanya
driver atau pengendara ojek online, tetapi juga pedagang keliling atau kaki lima, penjual di
warung kecil, kuli bangunan, petani, buruh tani, pementas seni jalanan, bahkan juga pekerja
rumah tangga yang mengasuh anak-ana di setiap rumah tangga., terdapat para pekerja informal
“terselubung” yang berupa pekerja upahan yang tidak memiliki kontrak kerja tertulis dan
karenanya itu tidak dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Mereka adalah contohnya buruh-
buruh di warung makan, di tempat cuncian atau laundry, atau buruh di kafe murah dan toko-
toko kecil yang biasa kita kunjungi. Sakernas pada tahun 2019, jumlah mereka mencangkup
sekitar 43% dari pekerja formal atau setara dengan 22.4 juta pekerja (World Bank, 2021a: 47).
Artinya, dominasi dari pekerja informal yang rentan bukan karena pilihan individu melainkan
karena meraka terpaksa akibat tidak adanya pekerjaan yang layak yang mampu menyerap
tenaga kerja Indonesia, termasuk golongan pemuda.
Nah, kalau di formal di sektor formal pada tahun 2000 kita lihat juga masih ada kecenderung
kualitasnya yang rendah dan rentan. Untuk memulihkan perekonomian Indonesia pasca-krisis
waktu itu, pemerintah mengesahkan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja. Tentunya harapannya, pasar tenaga kerja yang lebih
fleksibel dapat mempermudah perusahaan untuk menyesuaikan tenaga kerja mereka di saat
ekonomi kita masih tidak menentu agar ekonomi kita dapat bangkit kembali seperti sebelumnya
dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan baru (Manning & Roesad, 2007; Juliawan,
2010; Tjandraningsih, 2013). Fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan tahun
2003 diwujudkan dalam bentuk jenis pekerjaan baru yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT), atau sering kali disebut dengan pekerja kontrak, dan pekerjaan alih daya, atau
outsourcing, yang direkrut oleh perusahaan melalui pihak ketiga atau melalui jasa pemasok
tenaga kerja.
Akan tetapi, fleksibilitas pasar tenaga kerja justru menciptakan pekerjaan formal berkualitas
rendah. Karena, para tenaga kerja fleksibel tersebut mengalami kondisi ketenagakerjaan yang
lebih buruk dibandingkan dengan para pekerja tetap. Penelitian lapangan telah menunjukkan
telah menunjukkan bahwa pekerja kontrak dan outsourcing cenderung memiliki upah yang
lebih rendah, hak-hak dan perlindungan ketenagakerjaan yang minim, serta mereka
menghadapi prospek kerja yang tidak pasti. Perusahaan dapat lebih efektif menekan ongkos
buruh dengan menggunakan tenaga kerja fleksibel sehingga mereka berlomba-lomba
menggantikan pekerja mereka dengan pekerja tetap atau outsourcing. Proses “pemutihan” yang
dilakukan perusahaan dengan memecat pekerja tetap mereka untuk kemudian mereka
mengganti dengan pekerja kontrak ini menjadi persoalan sendiri. Pakar menilai Ford (2013)
misalnya menilai sebagai istilahnya “union-busting by stealth” atau pemberangusan serikat
buruh secara terselubung agar para pekerja tidak berani melawan atau berserikat. Ini kondisi
ironis yang kita hadapi sejak krisis
Bapak dan ibu, kolega, staf dan rekan-rekan yang saya hormati
Perkembangan upah riil (real wage) pekerja juga cenderung stagnan dan terputus dari
peningkatan produktivitas tenaga kerja. Selama tahun 2001-2016, upah riil hanya tumbuh
sebanyak 1.7% setiap tahunnya, sementara produktivitas tumbuh tiap tahunnya sebanyak 3.7%
saja.” Artinya, sejak tahun 2001 hingga 2015 pekerja di Indonesia sebenarnya kurang mampu
menikmati hasil dari peningkatan produktivitas mereka dalam bentuk peningkatan upah atau
kesejahteraan ekonomi.
Terdapat juga data yang menunjukkan proporsi cukup besar yang pendapatan setara dengan
upah minimum “yang mengindikasikan bahwa upah minimum telah menjadi upah yang lumrah
bagi kategori pekerja upahan reguler”. Artinya upah rendah itu menjadi hal yang biasa di
Indonesia. Kondisi pengupahan bagi pekerja formal menjadi lebih sulit setelah disahkannya PP.
No. 78/2015 tentang Pengupahan. Kebijakan ini membuat sistem penentuan kenaikan upah
minimum berdasarkan kalkulasi dari tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, bukan
berdasarkan perundingan tripartit antara serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah di daerah
sebagaimana sebelumnya. Sistem penentuan upah minimum seperti ini tidak hanya
melanggengkan upah murah, terutama di daerah dengan upah minimum yang sudah rendah,
tetapi juga berpotensi memperburuk ketimpangan upah dan ekonomi antar daerah.
Bapak dan ibu, kolega, staf dan rekan-rekan yang saya hormati
Meningkatnya kerentanan dan ketimpangan ekonomi itu merupakan konsekuensi dari model
pembangunan dan struktur ekonomi sejak krisis tahun 1997. Pertama, sejak krisis Indonesia
mengalami deindustrialisasi secara prematur dan semakin bergantung pada sektor jasa dan
ekstraktif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Kedua, dominasi usaha yang dengan skala kecil, produktivitas rendah, dan informal sifatnya.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (2017), ada 99% dari usaha di Indonesia didominasi
oleh usaha skala mikro-kecil. Ini berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya di
mana mereka memiliki usaha skala besar-menengah yang relatif lebih besar. Selain itu, usaha
mikro-kecil juga cenderung bersifat informal tidak diatur oleh negara sehingga mereka tidak
memiliki akses ke kredit atau layanan publik lainnya agar bisa membangun usahanya. Jadi alih-
alih sebagai penyokong ekonomi, dominasi dari usaha skala mikro-kecil dalam ekonomi justru
merupakan gejala dari struktur ekonomi yang tidak sehat.
Dengan struktur ekonomi seperti ini, Indonesia akan rentan terjebak dalam “middle-income
trap” terjebak sebagai negara dengan pendapat menengah. Middle-income trap ini merupakan
fenomena yang kita khawatirkan, karena kita kehilangan daya saing ekonomi dan industri
sehingga kita tidak mampu berkembang menjadi negara dengan pendapatan tinggi. Ini sudah
sampaikan dalam tulisan para pakar. Sebagian ekonom mengatakan tantangan dari middle
income trap ini ada tiga hal misalnya saja Andreoni & Tregena (2020) mengungkapkan bahwa
mestinya ada strategi tiga hal. Pertama, ‘breaking into’ upaya memasuki dan bersaing di
ekonomi global di saat terjadi keterbatasan dalam daya saing teknologi. Kedua, ‘linking up’,
yaitu mengusuhakan mengintegrasikan rantai produksi domestik ke rantai global kemudian
‘linking back’, membangun rantai dan sistem produksi lokal dan tentu saja yang penting
‘keeping pace’ tetap mengukuti dan mendorong perkembangan inovasi teknologi dan inilah
yang penting supaya ekonomi Indonesia bisa menghasilkan jumlah pekerjaan yang layak dan
tentu saja bisa berkembang secara merata.
Bapak dan Ibu sekalian
Melihat kondisi perekonomian Indonesia yang memprihatinkan ini, dan kemungkinan juga
diperburuk dengan situasi pandemi, diperlukan strategi perubahan dalam kebijakan ekonomi
makro maupun kebijakan industri di Indonesia. Strategi ekonomi harus bisa menghindarkan
kita dari jebakan middle income jebakan dari negara berpendapatan menengah. Pada tahun 2020
tempo hari, kita sudah melihat pemerintah mengesahkan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja
sebagai salah satu instrumen untuk membangun ekonomi Indonesia. Undang-undang Cipta
Kerja telah lama digodok, bahkan jauh sebelum pandemi sampai di Indonesia, karena bertujuan
untuk melakukan reformasi struktural yang cukup masif untuk memperbaiki ekonomi kita.
Regulasi-regulasi yang mempersulit kegiatan usaha atau membuat kegiatan investasi menjadi
tidak kondusif lalu disederhanakan dan dipermudah agar iklim berbisnis di Indonesia menjadi
lebih (Temenggung et al, 2021). Harapannya, UU Cipta Kerja dapat membangkitkan kembali
pertumbuhan ekonomi yang lesu.
Namun, bila telaah lebih dalam, UU Cipta Kerja tampaknya kurang tepat apabila melihat
tantangan-tantangan ekonomi yang harus diatasi agar Indonesia dapat keluar dari “middle-
income trap”. Kita ambil dua isu pokok yaitu ketenagakerjaan dan lingkungan. Berdasarkan
catatan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang lalu (2020), UU Cipta Kerja, di
satu sisi, akan membuat pasar kerja di Indonesia menjai lebih fleksibel dibandingkan
sebelumnya —dengan memperluas lingkup penggunaan tenaga kerja fleksibel dan
mempermudah hiring-and-firing— sementara di sisi lain, juga menghapus banyak peraturan
terkait persyaratan izin lingkungan dan tata ruang yang berpotensi melemahkan perlindungan
terhadap lingkungan.
Dari dua hal ini, UU Cipta Kerja memberi kesan bahwa strategi ekonomi Indonesia bergantung
kepada buruh murah, dengan kondisi kerja yang semakin rentan, dan eksploitasi sumber daya
alam secara lebih leluasa. Padahal, banyak pakar yang berpendapat bahwa mengandalkan
strategi pembangunan ekonomi Indonesia pada buruh murah itu akan beresiko karena, di satu
sisi, dapat mengakibatkan terbatasnya domestic effective demand sehingga menghambat
pertumbuhan ekonomi terutama di sektor industri manufaktur, dan, di sisi lain, dapat membuat
Indonesia terjebak pada industri dengan nilai tambah rendah karena ketersediaan buruh murah
sehingga berpotensi menghambat pengembangan industri domestik dengan nilai tambah tinggi.
Undang-undang ini juga cenderung mempermudah eksploitasi sumberdaya alam secara lebih
luas karena mengurangi kembali kondisi ketika masa commodity boom yang membuat industri
dan ekonomi Indonesia kehilangan daya saingnya (Wihardja, 2016). Karena itu, tanpa ada peran
aktif negara untuk memaksa sektor swasta agar membangun backward-and-forward linkages
dan mengembangkan kapasitas produksi domestik, UU Cipta Kerja berisiko dapat menjebak
Indonesia juga dalam “middle-income trap” ketika pelaksanaannya tidak bisa kita kotrol secara
baik.
Belakangan ini, ilmu ekonomi berkembang dengan pesat dan darinya muncul gagasan-gagasan
baru mengenai kebijakan ekonomi makro. Ada gagasan mengenai pajak kekayaan atau wealth
taxes demi mengurangi ketimpangan ekonomi yang semakin tinggi (Piketty, 2014; Atkinson,
2015). Juga muncul pembahasan untuk memperkuat representasi buruh dalam tata kelola
perusahaan, seperti melalui sistem kodeterminasi (codetermination) di Eropa ditulis oleh
Berger & Vaccarino kemudia ada Jäger tahun 2021., dan yang terbaru adalah pajak karbon atau
industrial policy, new industrial policy, green industrial policy yang mendorong dekarbonisasi,
mendorong transformasi ekonomi dengan mengurangi emisi gas rumah tangga dan konsumsi
bahan bakar fosil.
Bapak dan ibu, kolega, staf dan rekan-rekan yang saya hormati
Saya ingin berfokus pada satu gagasan yang menurut saya penting yaitu Industrial Policy atau
Kebijakan Industrial. Kebijakan ini memiliki akar dari tradisi “developmental state” atau
negara pembangunan sebagaimana digunakan oleh negara-negara Asia Timur, India, Amerika
Latin, dan Asia Tenggara sejak pertengahan abad 20 untuk memacu pembangunan ekonomi
(Johnson, 1982; Amsden, 1989; Chang, 2002). Konsep developmental state juga
menggambarkan pemerintahan di masa Orde Baru dalam beberapa hal. Akan tetapi, berbeda
dengan developmental state, industrial policy kebijakan industrial lebih mengedepankan proses
inovasi dan pengembangan teknologi yang mampu menghasilkan peningkatan produktivitas
serta kapasitas produksi industri domestik. Oleh karena itu, industrial policy dalam bentuk
“murni” juga dapat disebut sebagai Technological and Innovation Policy. Ini menurutu tulisan
dari Cherif & Hasanov, tahun 2019. Inilah yang membedakan perkembangan ekonomi di Asia
Timur dengan Indonesia. Di saat Indonesia tidak mampu meningkatkan kapasitas produksinya
dan bergantung pada investasi serta teknologi dari luar negeri sehingga terjebak di “middle-
income trap contry, seperti yang kita lihat dibanyak negara, negara-negara di Asia Timur
mampu mengembangkan industri dalam negeri mereka, mendorong inovasi teknologi yang
dapat meningkatkan produktivitas mereka, dan bersaing dengan ekonomi maju lainnya.
Beberapa tahun belakangan ini, gagasan mengenai industrial policy kembali menjadi relevan.
Gagasan ini sebelumnya sempat dianggap tabu oleh kebanyakan ekonom perumus kebijakan
publik karena dianggap menyalahi mekanisme pasar yang efisien, dianggap menyebabkan
korupsi dan rent-seeking, dan menunjuk -bukti kegagalan intervensi di beberapa negara di
Amerika, Afrika, Asia, dan terutama negara bekas blok komunis (Rodrik, 2004; Stiglitz, 2017;
Cherif & Hasanov, 2019). Namun demikian, industrial policy mulai menemukan kembali
relevansinya mengingat berbagai macam permasalahan sosial yang saat ini dihadapi oleh
masyarakat seperti persoalan-persoalan deindustrialisasi, ketimpangan ekonomi, minimnya
lapangan pekerjaan yang layak, dan perubahan iklim. Yang terakhir ini menjadi permasalahan
yang sangat urgen untuk segera diatasi bagi masyarakat, karena ini tidak hanya terjadi di
Indonesia tetapi terjadi di seluruh dunia. Ekonom sendiri itu secara kolektif juga membahas
industrial policy secara lebih serius Ha-Joon Chang & Antonio Andreoni (2020), Dani Rodrik
(2004), Mariana Mazzucato (2018), Reda Cherif & Fuad Hasanov (2019), Justin Lin (2017),
dan jugaJoseph Stiglitz (2017) termasuk yang memberikan kontribusi teoritis mengenai
industrial policy dari segi perancangan maupun implementasinya. Sebagaimana pendapat Dani
Rodrik, ekonom dari Harvard, yang mengatakan persoalan utamanya bukan pada apakah
kebijakan ini iya atau tidak untuk dilaksanakan bagaimana kebijakan ini dilaksanakan
Dalam bukunya, The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths,
Mazzucato (2018) menulis bahwa negara bisa mampu berperan sebagai “active,
entrepreneurial, and risk-taking agent” yang mampu mengarahkan dan memobilisasi investasi
publik untuk mempelopori dan mengembangkan inovasi teknologi di bidang komunikasi,
komputasi, farmasi, dan energi terbarukan. Dia mengambil contoh pemerintah Amerika Serikat
sebagai entrepreneurial state yang mendorong investasi publik, kolaborasi research anda
development antara sektor swasta dengan lembaga riset dan universitas, atau secara langsung
di bawah lembaga sektor publik seperti Kementerian Energi, NASA, dan Kementerian
Pertahanan di Amerika Serikat yang mempelopori perkembangan teknologi GPS, internet,
touchscreen, microprocessor, atau baterai lithium dan sebagainya pada waktu itu, yang
kemudian diadopsi oleh Apple Incoperatioan dalam mengembangkan produk ipod,ipad dan
smartphone tentu saja. Jadi salah satu alasan kesuksesan Amerika Serikat menjadi pusat
teknologi dunia, di Silicon Valley dengan, IBM, Apple, Microsoft, Google, karena mereka
istilahnya memiliki venture capitalist terbesar di dunia: yaitu pemerintah Amerika Serikat
sendiri. Hal yang sama tampaknya juga terjadi di China, dimana mereka berinvestasi besar-
besaran yang didorong oleh sektor publik yaitu Pemerintah.
Nah, jadi dengan demikian ada empat prinsip dalam membangun entrepreneurial state sebagai
industrial policy. Pertama, kebijaknnya harus bersifat mission-oriented memiliki suatu arah dan
tujuan konkrit yang ingin dicapai. Kedua, membangun lembaga sektor publik yang dinamis
dengan remuneratif demi menarik talent dan technical expertise yang dibutuhkan dalam
perancangan dan implementasi industrial policy. Ini saya kira FISIPOL sangat penting untuk
mengembangkan ini. Ketiga, mengarahkan negara untuk membentuk dan menciptakan pasar
dengan mengkombinasikan kebijakan supply-side seperti investasi publik, pengadaan dan juga
demand-side memberikan insentif atau subsidi kepada masyarakat untuk belanja terkait dengan
pengembangan teknologi dan pemanfaatannya. Yang keempat, mendorong inovasi dan
teknologi yang tentu saja penting bagi negara untuk juga socializing both risks and rewards
artinya apa, resiko dan juga imbalan yang kita perolah itu supaya diketahui oleh publik sehingga
publik juga paham bagaimana menanggung risiko dari investasi publik yang dilakukan tetapi
juga memahami ada manfaat langsung dari proses inovasi.
Pakar yang lain juga menjelaskan tiga prinsip dari industrial policy yang disebut sebagai
Technology and Innovation Policy. Pertama, menggunakan intervensi negara untuk mengatasi
kegagalan pasar “market failures” demi mendukung industri domestik dan menciptakan
kapabilitas baru dalam bentuk industri yang lebih “sophisticated.” Kedua, mengedepankan
industri ekspor agar tidak hanya untuk bersaing di ekonomi global tetapi juga sebagai instrumen
akuntabilitas performa industri melalui sinyal di pasar ekspor. Ketiga, mendorong kompetensi
yang lebih kuat, kompetisi yang lebih sehat tidak hanya untuk pasar dalam negeri tetapi juga
bersaing dalam pasar global. Dani Rodrik (2004) dan Joseph Stiglitz (2017) berpendapat bahwa
industrial policy perlu dilihat bukan sebagai kebijakan-kebijakan statis tapi merupakan seb
proses learning.
Bapak dan ibu, kolega, staf dan rekan-rekan yang saya hormati
Bagaimana kita mewujudkan industrial policy sebagai agenda kebijakan? Selain seperti yang
saya katakan tadi, sudah ada contoh di Amerika Serikat dengan komitmen Green New Deal kita
perlu benar-benar mempertimbangkannya untuk diterapkan di Indonesia. Jadi Indonesia
memerlukan Green New Deal-nya sendiri. Green New Deal ini artinya apa kebijakan industrial
policy yang betul-betul berorientasi pada green economy pada sistem ekonomi yang
berkelanjutan dan tentu saja dengan maksud untuk melindungi semua tenaga kerja kita.
Sebagian masyarakat terutama civitas akademika di FISIPOL tentu mengenal istilah reforma
agraria diwujudkan melalui Undang-Undang Pokok Agraria 1960 walaupun masih banyak
kritik tentang hal itu. Maka, di abad 21 ini, Indonesia membutuhkan Reforma Industri
“Industrial reform”, industrial policy kebijakan industri baru yaitu maksudnya adalah
merombak struktur ekonomi dan industri di Indonesia mendorong pengembangan inovasi
teknologi dan kapasitas produksi dalam negeri, mendorong meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, dan menciptakan lapangan kerja layak bagi masyarakat. Reforma Industri ini akan
menjadi kunci agar perekonomian Indonesia tidak hanya mampu bersaing dengan negara-
negara “emerging economies” lain seperti Tiongkok, Vietnam, Malaysia, Brazil, Afrika
Selatan, Korea Selatan, dan Taiwan, tetapi juga dapat mengatasi permasalahan minimnya
pekerjaan layak yang menempatkan mayoritas masyarakat Indonesia dalam kondisi penuh
dengan kerentanan.
Bapak, Ibu sekalian Para Kolega yang saya hormati
Terimakasih atas kesabaran mengikuti pidato dies natalis FISIPOL yang ke-66. Mudah-
mudahan ini bermanfaat untuk kita semua dan kedepannya mudah-mudahan ini bisa kita
tularkan kepada mahasiswa kita dan juga menjadi bahan pemikiran untuk meningkatkan sistem
pembelajaran di masa pandemi ini dan tentu saja bisa mengembangkan ke masa depan setelah
pandemi ini berakhir. Tetap jaga kesehatan, mudah-mudahan kita tetap diberi kekuatan untuk
mewujudkan mimpi dan angan-angan kita bagi seluruh kolega Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada.
Terimakasih. Billahi Taufik Walhidayah
Wassalamu’alaikum wr. wb
Daftar Pustaka
Amsden. A. H. (1989) Asia's Next Giant: South Korea and Late Industrialization. Oxford:
Oxford University Press.
Andreoni, A. & Tregena, F. (2020) Escaping the middle-income technology trap: A
comparative analysis of industrial policies in China, Brazil and South Africa. Structural
Change and Economic Dynamics 54 (1): 324–34.
Arsedy, S., Sukoco, G.A. dan Purba, R. E. (2020). “Riset dampak COVID-19: potret gap
akses online ‘Belajar dari Rumah’ dari 4 provinsi”, The Conversation, diakses
https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-aksesonline-belajar-dari-
rumah-dari-4-provinsi-136534 pada tanggal 19 September 2021
Aswicahyono, H., Hill, H. & Narjoko, D. (2010) “Industrialisation after a Deep Economic
Crisis: Indonesia.” The Journal of Development Studies 46 (6): 1084-1108
Atkinson, A. B. (2015) Inequality: What Can Be Done? Massachusetts: Harvard University
Press.
Azzahra, N. F. (2020). Addressing Distance Learning Barriers in Indonesia Amid the Covid-
19 Pandemic. Policy Brief No. 2. Jakarta: CIPS Indonesia diakses https://www.cips-
indonesia.org/post/addressing-distance-learning-barriers-inindonesia-amid-the-covid-19-
pandemic tanggal 18 September 2021
Berger, B. & Vaccarino, E. (2016) Codetermination in Germany: a role model for the UK and
the US?. The Bruegel. https://www.bruegel.org/2016/10/codetermination-in-germany-a-role-
model-for-the-uk-and-the-us
Bloomfield, J. & Steward, F. (2020) The Politics of the Green New Deal. The Political
Quarterly 91 (4): 770-779.
Chang, H. J. (2002) Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical
Perspective. London: Anthem Press.
Chang, H.J. & Andreoni, A. (2020) Industrial Policy in the 21st Century. Development and
Change 51(2): 324-335.
Cherif, R. & Hasanov, F. (2019) The Return of the Policy That Shall Not Be Named:
Principles of Industrial Policy. IMF Working Paper No. 19/74.
Cohen, D. A. & Riofrancos, T. (2020) Latin America’s Green New Deal, NACLA Report on
the Americas 52(2): 117-121.
Eichengreen, B., Park, D. & Shin, K. (2013) Growth Slowdowns Redux: New Evidence on the
Middle-Income Trap. NBER Working Paper No. 18673
Fakultas Hukum UGM (2020) Kertas Kebijakan Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Ford, M. (2013) “Employer Anti-Unionism in Democratic Indonesia.” dalam Global Anti-
Unionism: Nature, Dynamics, Trajectories and Outcomes, edited by G. Gall and T. Dundon.
Bassingstoke: Palgrave Macmillan.
Friedman, L. (2019) What Is the Green New Deal? A Climate Proposal, Explained. The New
York Times. 21 February 2021. https://www.nytimes.com/2019/02/21/climate/green-new-
deal-questions-answers.html
Gunn-Wright, R. & Hockett, R. (2019) The Green New Deal: Mobilizing for a Just,
Prosperous, and Sustainable Economy. New Consensus.
https://newconsensus.com/projects/green-new-deal
Hanushek, E. A. & Kimko, D. D. (2000). “Schooling, Labor-Force Quality, and the Growth
of Nations,” The American Economic Review, vol. 90 no. 5, pp.1184-1208.
Herrera, S. & Pang, G. 2005. "Efficiency of public spending in developing countries : an
efficiency frontier approach," Policy Research Working Paper Series 3645, The World Bank.
ILO (2002) Decent work and the informal economy. Geneva: ILO.
Jacobus, Elvira H., Kindagen, P., Walewangko, Een N. 2018. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Sulawesi Utara. Jurnal Pembangunan Ekonomi
dan Keuangan Daerah. Vol.19, No.3.
Jäger, S., Noy, S., & Schoefer, B. (2021) What Does Codetermination Do?. NBER Working
Paper 28921.
Johnson, C. (1982) MITI and the Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy, 1925-
1975. Stanford: Stanford University Press.
Juliawan, B. H. (2010) “Extracting Labor from Its Owner: Private Employment Agencies and
Labor Market Flexibility in Indonesia.” Critical Asian Studies 42 (1): 25-52
Kementerian Koperasi dan UKM (2017) Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah
(UMKM), dan Usaha Besar (UB) Tahun 2016.
Kim, K., Sumner, A., Yusuf, A. A. (2019) Is Structural Transformation-led Economic Growth
Immiserizing or Inclusive? The Case of Indonesia. Dalam Immiserizing Growth: When
Growth Fails the Poor, edited by P. Shaffer, R. Kanbur, and R. Sandbrook. Oxford: Oxford
University Press.
Kompas. (10 September 2021). KPK Ungkap 70,3 Persen Pejabat Bertambah Kaya Selama
Pandemi. https://nasional.kompas.com/read/2021/09/10/06000081/kpk-ungkap-70-3-persen-
pejabat-bertambah-kaya-selama-pandemi?page=all diakses pada 19 September 2021
Lin, J. Y. (2017) Industrial policies for avoiding the middle-income trap: a new structural
economics perspective. Journal of Chinese Economic and Business Studies. 15(1): 5-18.
Manning, C. & Roesad, K. (2007) “The Manpower Law of 2003 and its implementing
regulations: Genesis, key articles and potential im-pact.” Bulletin of Indonesian Economic
Studies 43 (1): 59-86.
Marron, D. B., & Toder, E.J. (2014) "Tax Policy Issues in Designing a Carbon Tax."
American Economic Review 104 (5): 563-68.
Mazzucato, M. (2018) The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths.
London: Penguin.
Meyer, R. (2019) A Centuries-Old Idea Could Revolutionize Climate Policy. The Atlantic. 19
February 2021. https://www.theatlantic.com/science/archive/2019/02/green-new-deal-
economic-principles/5829
OECD (2019) Social Protection System Review of Indonesia. Paris: OECD Publishing.
Oxfam (2021) The Inequality Virus: Bringing together a world torn apart by coronavirus
through a fair, just and sustainable economy. Oxford: Oxfam International.
Paul, M. Fremstad, A., & Mason, J.W. (2019) Decarbonizing the US Economy: Pathways
Toward a Green New Deal. Roosevelt Institute.
https://rooseveltinstitute.org/publications/decarbonizing-us-economy-toward-a-green-new-
deal/
Piketty, T. (2014) Capital in the Twenty- First Century. Massachusetts: Belknap Press.
Rahiem, M. D. H. (2020). The Emergency Remote Learning Experience of University
Students in Indonesia amidst the COVID-19 Crisis. International Journal of Learning,
Teaching and Educational Research, 19(6), 1-26. https://doi.org/10.26803/ijlter.19.6.1
Roberts, D. (2019) Green New Deal critics are missing the bigger picture. Vox. 23 February
2020. Diakses dari: https://www.vox.com/energy-and-
environment/2019/2/23/18228142/green-new-deal-critic
Rodrik, D. (2004) Industrial Policy for the Twenty-First Century. Diaksess dari:
https://drodrik.scholar.harvard.edu/publications/industrial-policy-twenty-first-century
Rosser, A. (2018). Beyond access: Making Indonesia’s education system work. The Lowy
Institute. https://www.lowyinstitute.org/publications/beyond-access-making-indonesia-s-
education-system-work
Rothenberg, A. D., Gaduh, A., Burger, N. E., Chazali, C., Tjandraningsih, I., Radikun, R.,
Sutera, C., Weilant, S. (2016) Rethinking Indonesia’s Informal Sector. World Development
Vol. 80, pp. 96–113.
Santoso, Fidelis D P., Mukhlis, Imam. 2021. Ketimpangan Pendapatan dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi pada Masa Sebelum dan Saat Pandemi Covid-19 di Indonesia. Jurnal
Ekonomi, Bisnis dan Pendidikan. Vol.1 No.3, hlm.146-162.
SMERU (2021a) Analysis of the Social and Economic Impacts of COVID-19 on Households
and Strategic Policy Recommendations for Indonesia. SMERU Institute.
https://smeru.or.id/en/content/analysis-social-and-economic-impacts-covid-19-households-
and-strategic-policy
SMERU (2021b). Situasi Kemiskinan selama Pandemi. SMERU Institute.
https://smeru.or.id/id/content/situasi-kemiskinan-selama-pandemi diakses pada 18 September
2021
Sparrow, R., Dartanto, T. & Hartwig, R. (2020) “Indonesia Under the New Normal:
Challenges and the Way Ahead.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 56 (3): 269-299.
Sparrow, R., Dartanto, T., & Hartwig, R. (2020) Indonesia Under the New Normal:
Challenges and the Way Ahead. Bulletin of Indonesian Economic Studies 56 (3): 269-299.
Stiglitz, J. (2017) “Industrial Policy, Learning and Development.” dalam The Practice of
Industrial Policy: Government-Business Coordination in Africa and East Asia, edited by John
Page & Finn Tarpe. Oxford: Oxford University Press.
Suryadarma, D., Suryahadi, A., & Sumarto, S. (2006). Causes of Low Secondary School
Enrollment in Indonesia. SMERU Working Paper.
Sutherland, D. Price, R., Joumard, I, and Nicq, C. (2007), "Performance Indicators for Public
Spending Efficiency in Primary and Secondary Education", OECD Economics Department
Working Papers, No. 546, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/285006168603.
Tadjoeddin, M. Z. & Chowdhury, A. (2019) Employment and Re-Industrialisation in Post
Soeharto Indonesia. London: MacMillan.
Tarigan, H., Sinaga, J H., Rachmawati, R R. 2020. Dampak Pandemi Covid-19 terhadap
Kemiskinan di Indonesia. https://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/23-BBRC-2020-IV-
1-1-HLT.pdf
Temenggung, D., Saputro, A., Rinaldi, R. & Pane, D. (2021) Managing Recovery and
Seizing Reform Opportunities. Bulletin of Indonesian Economic Studies 57(1): 1-28.
The Guardian (22 Juli 2021) Struggling for work and food, Indonesia’s poorest suffer as
Covid crisis deepens. https://www.theguardian.com/global-
development/2021/jul/22/struggling-for-work-and-food-indonesias-poorest-suffer-as-covid-
crisis-deepens
Tirto.id (31 Januari 2021) Pandemi Memperlebar Ketimpangan Kaya-Miskin di Indonesia dan
Dunia. https://tirto.id/pandemi-memperlebar-ketimpangan-kaya-miskin-di-indonesia-dan-
dunia-f9JZ
Tjandraningsih, I. (2012). “State-Sponsored Precarious Work in In-donesia.” American
Behavioral Scientist 57 (4) 403 –419.
TNP2K (2018) The Future of The Social Protection System in Indonesia: Social Protection
for All. Jakarta: TNP2K Publication.
UNICEF (2021) Towards a child-focused COVID-19 response and recovery. Jakarta:
UNICEF.
Wihardja, M. M. (2016) The Effect of the Commodity Boom on Indonesia's Macroeconomic
Fundamentals and Industrial Development. International Organisations Research Journal 11
(1): 39-54.
Wiradi, G. (2009) Seluk-Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria.
Yogyakarta: STPN Press.
World Bank (2015) Indonesia’s Rising Divide. Washington: The World Bank.
World Bank (2019) Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class. Washington: The
World Bank.
World Bank (2021a) Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia. Washington: World Bank.
World Bank (2021b) Rewrite the future: How Indonesia’s education system can overcome the
losses from the COVID-19 pandemic and raise learning outcomes for all. Washington: The
World Bank.