file · Web viewDan untuk mengetahui korelasi antara kemiskinan dan pembangunan sehingga...
Transcript of file · Web viewDan untuk mengetahui korelasi antara kemiskinan dan pembangunan sehingga...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah kemiskinan memang telah ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan , tetapi miskin dalam bentuk
kemudahan dan materi. Dari ukuran modern masa kini mereka tidak menikmati fasilitas
pendidikan layanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada
zaman modern. pada Negara berkembang kemiskinan tentu menjadi masalah mutlak yang
harus segera diselesaikan disamping masalah lain yaiut ketimpangan pendapatan,
structural pemerintahan, inflasi deficit dan lain-lain. Masalah kemiskinan yang dihadapi
setiap Negara akan selalu dibarengi dengan masalah pertumbuhan penduduk yang
kemudian menghasilkan pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan
nasional maupun pembangunan, dan pendidikan yang menjadi modal utama untuk dapat
bersaing didunia kerja. Karena itu pada penjelasan berikut akan banyak dibahas masalah
tersebut yang kami rangkum dalam rumusan masalah.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari kemiskinan dan indikatornya ?
2. Bagaimana mengukur ketimpangan dan kemiskinan ?
3. Apakah definisi pembangunan dan indicator-indikator keberhasilan pembangunan ?
C. TujuanBertujuan untuk mengetahui apa saja indicator-indikator kemiskinan sehingga suatu
wilayah dan negara dikatakan miskin, apa saja factor-faktor penyebabnya. Dan untuk
mengetahui korelasi antara kemiskinan dan pembangunan sehingga munculnya masalah
ketimpangan-ketimpangan dan bagaimana mengukur ketimpangan tersebut lalu mencari
solusi sehingga pertumbuhan atau kemajuan suatu Negara sesuai dengan tujuannya dalam
menumbuhkan kesejahteraan rakyat di semua aspek kehidupan.
1
BAB II
KEMISKINAN KETIMPANGAN DAN PEMBANGUNAN
A. KEMISKINAN
1. pengertian kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai
seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berkaitan erat dengan
kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak
sebagai warga Negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif. Sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral
dan evaluative dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah
“Negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada Negara-negara yang “miskin”
kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup :
a. Gambaran kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-
hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
b. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan
dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada
bidang ekonomi.
c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai “ memadai”
disini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi diseluruh
dunia.
Kemiskinan adalah problem sosial. Bagi kebanyakan orang, kemiskinan merupakan masalah
yang cukup merisaukan. Ia di anggap sebagai penyakit sosial yang paling dahsyat dan menjadi
musuh utama Negara (hairi Abdullah 1984:16) kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena
2
ekonomi semata-semata, tetapi juga sebagai masalah sosial dan politik (syed othman alhabshi
1996). Karena dirasakan dahsyatnya bahaya kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap
sebagai jihad (anwar Ibrahim 1983/1984:25). Secara umum, kemiskinan mempunyai empat
dimensi pokok, yaitu ; kurangnya kesempatan (lack of capacity or empowerment). Dan
lazimnya kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (poverty line). Kemiskinan tidak saja
mengakibatkan penyakit busung lapar (gizi buruk) atau pengemis dan lain sebagainya,
kemiskinan juga mengakibatkan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat. Secara
psikologis orang miskin cenderung lebih sensitive, gampang tersinggung , kurang percaya diri
bahkan gampang emosi, sehingga kondisi ini rawan dengan berbagai upaya pemanfaat pihak
ketiga yang menggunakannya sebagai kendaraan/alat untuk memancing kerusuhan de sebuah
daerah, intinya kemiskinan memiliki keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan
ekonomi sebuah daerah. Karena merupakan masalah pembangunan yang multidimensi, maka
pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah dan
keseninambungan.
2. Konsep Kemiskinan
Dari berbagai literature yang mengupas tentang konsep kemiskinan, paling tidak ada dua macam
konsep kemiskinan yang dapat kita terima sebagai rujukan, yaitu :
1. Kemiskinan absolute
2. Kemiskinan relative
a. Konsep pertama kemiskinan absolute dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu
yang kongkrit (a fixed yardstick). Ukuran ini lazimnya berorientasi kebutuhan hidup
dasar minimum anggota masyarakat ( sandang pangan dan papan)
Masing-masing Negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan absolu yang berbeda-beda, sebab
kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena
ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan semacam itu mengenal garis batas kemiskinan.
Kemiskinan absolute juga dapat dilihat dari sejauh mana tingkat pendapatan penduduk miskin
tersebut mampu mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs ), yaitu pangan, sandang, papan,
kesehatan dan pendidikan. Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini diequivalenkan
3
dengan daya belinya (uang uang). Mereka yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok tertentu
sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis kemiskinan.
b. Konsep yang kedua kemiskinan relative dirumuskan berdasarkan the idea of relative
standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah
kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda dengan pada daerah tetentu lainnya, dan
kemiskinan pada waktu (saat) tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan
relative lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan in term of judgement anggota masyarakat
tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Kemiskinan relative dilihat
berdasarkan persentasi pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang
berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang dianggap miskin
(edi suandy hamid 2000:14)
3. Stigma Kemiskinan
Setidaknya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah
kemiskinan, yaitu;
a. Kemiskinand cultural (the cultural perspective )
b. Kemiskinan dalam structural atau situasional (the situasional perspective)
Masing-masing perspective tersebut memiliki tekanan, acuan dan metodolgi tersendiri yang
berbeda dalam menganalisa masalah kemiskinan. Perspektif cultural mendekati masalah
kemiskinan pada tiga level analisis; individual, keluarga dan masyarakt. Pada level individual
ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; sikap parochial, sikap
apatisme, fatalism, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Kemudian perspektif structural/situasional masalah kemiskinan sebagai dampak dari system
ekonomi yang mengutamakan akumulasi capital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi
capital antara lain mengejawantahkan dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih
mengutamakan pertumbuhan (development). Program-program tersebut antara lain berbentuk
intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-
besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi suandy hamid (2000;19)
mengatakan bahwa masalah kemiskinan yang terjadi saat ini tidak biasa dilepaskan dari
4
meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju pertambahan
angkatan kerja baru tidak bias diserap oleh pasar kerja, melainkan juga terjadi pemutusan
hubungan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur,
baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun
setengah menganggur atau bekerja dibawah jam kerja normal (under un employment)
4. Indikator-Indikator Kemiskinan
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan
perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan
masyarakat adil dan
makmur. Adapun indikator-
indikator kemiskinan antara
lain:
1. Pendidikan yang
terlampau rendah
Dengan adanya tingkat
pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang
kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupanyya. Keterbatasan
pendidikan/ keterampilan yang dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk
dalam dunia kerja. Atas dasar kenyataan diatas dia miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
1. Malas bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena masalah ini
menyangkut mentalitas dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap
acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja. Cenderung untuk menggantungkan hidupnya
pada orang lain, baik dari keluarga, saudara atau famili yang dipandang mempunyai kemampuan
untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.
5
1. Keterbatasan sumber alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan
keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh para ahli, bahwa masyarakat itu
miskin karena memang dasarnya (alamiah miskin).
Alamiah miskin yang dimaksud adalah kekayaan alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu,
tidak menyimpan kekayaan mineral dan sebagainya. Dengan demikian layaklah kalau miskin
sumber daya alam, miskin juga masyarakatnya.
1. Terbatasnya lapangan kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara
ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang/ masyarakat harus mampu menciptakan
lapangan kerja baru. Tetapi secara faktual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya
keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa skill atau modal.
1. Keterbatasan modal
Keterbatasan modal adalah sebuah kenyataan yang ada di negara-negara yang sedang
berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat tersebut.
Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat ataupun bahan
dalam menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh
penghasilan. Keterbatasan modal bagi negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan
sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaaan modal maupuin
dari segi penawaran akan modal.
1. Beban keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak pula tuntutan/ beban untuk hidup yang
harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi
dengan usaha peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka
memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan pertambahan
jumlah keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda dirinya dan bersifat latent.
6
5. Usaha Mengatasi Kemiskinan
Dari kegagalan kebijaksanaan konvesional mengenai pertumbuhan ekonomi di banyak Negara
berkembang dalam mengurangi kemiskinan, pengangguran dan disparitas (ketimpangan)
pendapatan secara berarti telah memaksa baik para perencana ekonomi dan teknokrat maupun
para peneliti ekonomi untuk kembali mempelajari secara sunguh-sunguh kebijaksanaan
tersebut,serta mendorong mereka untuk mempelajari alternatif-alternatif yang realistis bagi
kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yang konvensional. Dalam hal ini pendekatan kebutuhan
dasar dalam perencanaan pembangunan merupakan hasil yang logis dari suatu proses reorientasi
yang panjang dalam pemikiran tentang pembangunan.
Dari hasil-hasil penelitian kemudian pusat perhatian para ahli lambat laun mulai bergeser dari
tekanan pada penciptaan lapangan kerja yang memadai ke penghapusan kemiskinan, dan
akhirnya ke penyediaan barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk,
yang berupa dua perangkat, yaitu:
a) Perangkap kebutuhan konsumsi perorangan akan pangan ,sandang , dan pemukiman.
b) Perangkap yang mencakup penyediaan jasa umum dasar ,seperti fasilitas
kesehatan,pendidikan ,saluran air minum ,pengangkutan ,dan kebudayaan.
Di samping kedua perangkat tersebut ,kebutuhan dasar atau kebutuhan dasar manusiawi kadang-
kadang juga digunakan untuk mencakup tiga sasaran lain, yaitu :
1) Hak atas pekerjaan produktif dan yang memberikan imbalan yang layak, sehingga cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap rumah tangga atau perorangan .
2) Prasarana yang mampu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk
memnuhi kebutuhan dasar penduduk.
3) Partisipasi seluruh penduduk ,baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam
pelaksanaan proyek-proyek yang berhubungan dengan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa
kebutuhan dasar.
7
Gambar ketimpangan
Pengalaman dari negara-negara Asia Timur, yaitu Korea, Taiwan, Jepang menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan disertai pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat
tercapai. Karena di negara-negara tersebut program pembangunan pedesaan sangat diutamakan.
B. MENGUKUR KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN
Kalau kita merenungkan kembali krisis ekonomi yang kita alami beberapa tahun lalu,
tampaknya kita mempunyai cukup alasan untuk mengatakan bahwa krisis tersebut telah
menimbulkan dampak sosial-ekonomi-politik yang luar biasa bagi Indonesia. Kendati kinerja
ekonomi pascakrisis cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan menunjukkan
bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi
bagi kebanyakan manusia Indonesia.
Eksklusi tersebut timbul karena
redistribusi pendapatan dan tentunya
juga redistribusi kekuatan ekonomi-
politik yang berlangsung secara tiba-
tiba dalam perekonomian kita, ketika
krisis itu menghantam. Eksklusi bagi
mereka yang sudah miskin dan mereka
yang menjadi miskin karena krisis,
tidaklah teatrikal, tapi amat kasat mata
dan nyata. Hasil akhir dari redistribusi
tersebut masih terasa sangat
menyesakkan bagi mereka yang berada di bagian bawah dari piramida sosial-ekonomi.
Indikator Mengukur Ketimpangan
Berikut ini akan diuraikan beberapa indikator yang sering digunakan oleh para peneliti untuk
mengukur ketimpangan di suatau negara atau daerah.
1. Size distributions (quintiles, deciles)
8
Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap
individu atau rumah tangga. Cara mendapatkan penghasilan itu tidak dipermasalahkan.
Oleh karena itu para ekonom cenderung mengurutkan semua individu berdasarkan
pendapatan yang diterimanya, lantas membagi total populasi kedalam beberapa
nkelompok atau ukuran. Biasanya populasi dibagi menjadi 5 kelompok atau kuantil dan
10 kelompok atau desil.
2. Lorenz curves
Indeks gini seringkali ditampilkan
bersamaan dengan kurva Lorenz, yang
menggambarkan hubungan antara pangsa
kumulatif pendapatan dan penduduk. G
adalah indeks gini yang diturunkan dari
kurva Lorenz dengan cara membagi
daerah yang dibatasi oleh garis diagonal
dan kurva Lorenz dengan total daerah
pada segitiga yang lebih rendah
9
3. Gini coefficients and aggregate measures of inequality
Dari semua pengukur ketimpangan, indeks gini adalah yang paling sering dipakai sebagai
indikator ketimpangan. Salah satu yang menarik dari indeks gini ialah pendekatannya
yang sangat langsung terhadap ukuran ketidakmerataan, memuat perbedaan di antara
setiap pasangan pendapatan, yang sejauh ini merupakan ukuran ketidakmerataan ekonomi
yang paling populer. Pada kenyataannya, pasangan-pasangan yang diobservasi yang
dipakai dalam penghitungan Indeks gini digunakan untuk menghasilkan Kurva Lorenz.
Hal ini dilakukan dengan mem-plot pasangan pangsa (kumulatif) pendapatan dan
penduduk dalam sebuah kotak.
Nilai dari indeks gini berkisar antara 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa seluruh
pendapatan terbagi secara merata terhadap seluruh unit masyarakat (perfect equality),
sedang nilai 1 berarti seluruh pendapatan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu unit
saja pada keseluruhan distribusi (perfect inequality). Ketimpangan yang rendah
mempunyai nilai indeks gini sebesar 0,4 atau di bawahnya. Ketimpangan yang tinggi
apabila mempunyai indeks gini di atas 0,4 dalam distribusinya.
4. Functional distributions
Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-
masing faktor produksi. Relevansi teori fungsional kurang tajam, karena tidak
memperhitungkan peranan dan pengaruh kekuatan diluar pasar.
C. TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
1. Pengertian Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigm besar
modernisasi dan ketergantungan ( lewwellen 1995 kiely 1995 dalam tikson 2005 ). Paradigm
modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial
dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan paradigma
ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan ( under development ) ketergantungan
( dependent development ) dan system dunia ( world system theory ) sesuai dengan klasifikasi
larrain (1994) sedangkan tikson (2005) membaginya kedalam tiga klasifikasi teori pembangunan
10
yaitu modernisasi keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradifma tersebut itulah
kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang [paling menarik untuk
diperdebatkan . mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata
pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai
dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, weber, dan marx) pandangan marxix, modernisasi
oleh rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan
pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun ada tema-tema pokok yang
menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya
terkoordinasi untuk menciptakan alternative yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga
Negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (nugroho dan rochim
dahuri 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan
perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternative
yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya
berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Ada pun mekanismenya
menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan
secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang
berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai
moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-
macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bias saja diartikan berbeda oleh satu
orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan yang lainnya, Negara satu dengan lainnya.
Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk
melakukan perubahan (Riyasdh dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “suatu usaha atau
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, Negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa
(nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih
sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan kea rah yang lebih baik melalui upaya yang
dilakukan ssecara terencana”.
11
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang
mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan
industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut
didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi
serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu,
keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing
mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang
berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi
dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system
sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi,
kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan
sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan
yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan
sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat
dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa,
sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi
sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan
industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui
pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya
sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan
partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering
dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping
adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan
spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada
penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat,
ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro
12
(commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan
(progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah semua
proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana.
Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak
dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang
menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup
bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi diartikan sebagai proses
trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi,
industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang
mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu
proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi
modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern,
menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu
sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep
pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai suatu
upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud
adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang
mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan
perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat
menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah-
kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi Pembangunan
mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan
bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan
sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam
pembangunan.”
13
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat
dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal ini
pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan
(improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
1. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di
Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih
sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan,
dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-
faktor sekunder dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional
antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan
jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang menunjukkan
kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas
Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan
ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :
1. Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu
indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi.
Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia
yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang
tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan
pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia
ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara
otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi).
14
Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola
distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan
pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
2. Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan
transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya
perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri
dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri
dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang
akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak ,
kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di
wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi
apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan
pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi
penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa
kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di
Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di
Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan.
Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan
investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi
dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal
pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang
memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta
maupun pemerintah.
15
5. Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat
memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan
ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa
diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1)
angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka
melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat
menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang
langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka
melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan
sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena
tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya.
Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur
kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai
ukuran kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator
pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide
dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas
sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada
pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan
sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan
oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia
akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia
secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi
tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam
hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan,
16
umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan
terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn
mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata
pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung
berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan
peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge,
attitude danskills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.
2. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus
pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah,
makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatanProduk Domestik
Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi
menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per kapita). Definisi ini
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi
pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah
strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi.
Kontribusi mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat segi
kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-indikator sosial yang ada
(Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan
pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari benarkah semua indikator
ekonomi memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai
mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi),
pengentasan garis kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang,
dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa
perubahan dalam paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat
sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli menganjurkan
17
bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Kuncoro, 2000;
Todaro, 2000):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan,
papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti
luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai
manusia yang berada di daerah itu.
3. Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir,
berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna pembangunan tersebut mengakibatkan
terjadinya pergeseran makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004), pada akhir
dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa “pertumbuhan
ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan ekonomi” (economic
development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara
maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi
dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi
pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula
agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat
yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses
pembangunan (Esmara, 1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan
ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional,
sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan.
Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan
ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan
perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata
lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih
memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
18
Dalam praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal
pembangunan umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian
pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh
karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan
ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Peranan sumber
daya manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah
satu “faktor produksi” saja.Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan
merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah
mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi
keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan
produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam kerangka production
centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan
dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam itu terbatas pada masalah
pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas
manusia yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi
tuntutan masyarakat industrial.Alternatif lain dalam strategi pembangunan manusia adalah
apa yang disebut sebagaipeople-centered development atau panting people first (Korten,
1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia (rakyat) merupakan tujuan utama dari pem-
bangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan sumber daya yang paling
penting Dimensi pembangunan yang semacam ini jelas lebih luas daripada sekedar
membentuk manusia profesional dan trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi.
Penempatan manusia sebagai subyek pembangunan menekankan pada pentingnya
pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia untuk
mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti
pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri (self-
reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam
(ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut
19
etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas dapat dirangkum
sebagai berikut:
1. Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari per -
tumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada
pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga
mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa
diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi
modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi
lemah.
2. Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan
semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari
setiap program pembangunan.
3. Pembangunan “mandiri” telah muncul sebagai kunsep strategis dalam forum internasional
sebelum kunsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja
sama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global.
4. Pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan
ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan
pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah, strategi
pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5. Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan
konsepecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP
dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan
kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan
masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro,
2004).
20
3. Pembangunan Dan Kemiskinan
Di Indonesia pola perkembangan pembangunan juga mengikuti pendapatan yang dikemukakan
Kuznets, artinya golongan miskin kurang terjamah oleh hasil-hasil pertumbuhan ekonomi.
Mengapa mereka tidak terangkat, padahal pemerintah telah mengambil kebijaksanaan
penyebaran proyek-proyek
ke daerah-daerah ke desa-
desa.
Bila diteliti golongan-
golongan miskin yang tidak
terjamah oleh hasil-hasil
pembangunan karena:
a) Ketimpangan dalam
peningkatan pendidikan.
Selama belum ada kewajiban
belajar golongan miskin tidak akan mampu berpartisipasi mengenyam peningkatan anggaran
pendidikan.
b) Ketidakmerataan kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk berpartisipasi diperlukan tingkat
pendidikan, keterampilan, relasi, dan sebagainya. Golongan miskin tidak memilikinya .
c) Ketidakmerataan pemilikan alat-alat produksi.Golongan miskin tidak memiliki alat-alat
produksi, penghasilannya untuk makan saja sudah susah, sehingga tidak mungkin untuk
membentuk modal.
d) Ketidakmerataan kesempatan terhadap modal dan kredit ada. Modal dan kredit
pemberiannya menghendaki syarat-syarat tertentu dan golongan miskin tidak mungkin
memenuhi persyaratannya.
21
e) Ketidakmerataan menduduki jabatan-jabatan. Untuk mendapat pekerjaan yang memberi
makan pada keluarga saja susah, apalagi menduduki jabatan-jabatan yang sering memerlukan
relasi tertentu dan persyaratan tertentu.
f) Ketidakmerataan mempengaruhi pasaran. Karena miskin dan pendidikannya rendah, maka
tidak mungkin golongan miskin dapat mempengaruhi pasaran .
g) Ketidakmerataan kemampuan menghindari musibah misalnya penyakit, kecelakaan dan
ketidak beruntungan lainnya. Bagi golongan miskin dibutuhkan bantuan untuk dapat mengatasi
musibah tersebut. Mengharapkan diri mereka sendiri dapat mengangakat dirinya tanpa
pertolongan, sukar dipastikan.
h) Laju pertumbuhan penduduk lebih memberatkan golongan miskin. Dengan jumlah
keluarga besar, mereka sulit dapat menyekolahkan, memberi makan, dan pakaian secukupnya.
Hanya keluarga yang kaya atau berpenghasilan besar sajalah yang mampu.
Dapatlah dipastikan bahwa golongan berpenghasilan rendah, karena kurang terjamah pendidikan,
tidak memiliki sarana-sarana, misalnya kredit, modal, alat-alat produksi, relasi dan sebagainya,
tidak akan mampu berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi dan menikmati pembagian hasil-
hasilnya tanpa adanya kebijaksanaan khusus yang ditujuakan untuk mengangkat mereka.
4. Sebab Ketimpangan Pembangunan
Menurut Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab terjadinya
ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan
di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan
pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan
pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
22
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku
pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta
antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan
dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha,
input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan
peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung
pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung
peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan
Sementara pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor
yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-
hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial
endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi
pembangunan yang tidak tepat_cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth).
Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara bekal
“resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital,
keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi
adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang
dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah,
begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.
Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan
berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk, aspek, atau
dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita,
tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata
berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah
perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.
23
Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan
mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi
dan pertumbuhan. Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah,
tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi
persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku
ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya dapat
dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah
cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif.
Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan sampai kue pembangunan hanya milik
segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah
mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
24
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan masalah yang sangat penting
untuk dicermati dalam tatanan masyarakat yang beradab. Secara normatif hal tentang
penghapusan ihwal kemiskinan dan kesenjangan adalah termasuk hal yang harus dicermati
dalam perencanaan pembangunan Ekonomi.
Sebelum mengambil kebijakan, terlebih dahulu pengambil kebijakan harus mengetahui
bagaimana kondisi kemiskinan dan kesenjangan terjadi di dalam wilayahnya. Salah satunya yaitu
dengan cara mengidentifikasi kedua hal tersebut dengan metode statistik pengukur ketimpangan;
yakni menggunakan metode statistik kuantil, desil, kurva lorenz, gini, dan lainnya. Juga dalam
mengukur kemiskinan, terdapat metode berupa penghitungan pendapatan, kemiskinan absolut,
dan yang lain.
Metode penghitungan kemiskinan dalam perkembangannya juga mengalami banyak
penyempurnaan dalam teorinya. Hal ini karena masalah tentang kemiskinan juga ternyata
melibatkan banyak aspek yang multidimensional.
Dalam strategi pembangunan, diperlukan strategi pertumbuhan yang inklusif. Inklusif
berarti bahwa "trickle down effect" dari pertumbuhan juga harus dapat dinikmati oleh mereka
yang berada dalam golongan income rendah. Dengan strategi itu diharapkan kemiskinan dan
kesenjangan bisa dihilangkan.
25