PBL SP 12
-
Upload
putuadiputra -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
description
Transcript of PBL SP 12
Tetanus
Agung Ganjar Kurniawan
102010169
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida
Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : [email protected]
Pendahuluan
Tetanus adalah satu penyakit yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,
yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil
Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh
melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan
serangga). Penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani ini, bermanifestasi
sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu
tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Pembahasan
A. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi :
a. Nama dan Usia : Laki-laki, usia 22 tahun.
b. Keluhan Utama : Keluhan demam, mulut terasa kaku dan nyeri tungkai bawah kanan
c. Keluhan Penyerta : Kulit tungkai kanan bawah kemerahan, teraba panas dan bengkak,
keluar nanah dari sela-sela luka.
d. Riwayat pengobatan : Tidak ada
e. Riwayat kecelakaan : pasien mengalami kecelakaan 2 minggu lalu dan terdapat luka
robek pada tungkai kanan bawah dan terdapat 27 jahitan.
B. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital : Tekanan darah pasien 110/70 mmHg, denyut nadi 82x/menit.
Inpeksi : Kulit tungkat bawah di daerah luka terdapat kemerahan, dari
sela-sela luka yang dijahit keluar nanah, mulut terasa kaku.
Palpasi : Teraba panas di sekitar luka dan terdapat bengkak.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan bakteriologik ditemukan clostridium tetani.
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui tentang infeksi yang terjadi.
C. Diagnosis
Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Diagnosis tetanus dapat
diketahui dari pemeriksaan fisik pasien, berupa gejala klinik : kejang tetanik, trismus, dysphagia,
Rhisus sardonicus (otot wajah kaku). Biasanya tampak luka yang mendahuluinya. Pembuktian kuman
seringkali tidak perlu karena amat sukar mengisolasi kuman dari luka penderita.1
Vulnus Laceratum
Terjadinya gangguan kontinuitas suatu jaringan sehingga terjadi pemisahan jaringan yang
semula normal, luka robek terjadi akibat kekerasan yang hebat sehingga memutuskan
jaringan. Gejala klinik nya terlihat adanya syok dan syndroma remuk (cris syndroma), dan
tanda-tanda lokal biasanya nyeri dan pendarahan. Syok ditandai dengan tekanan darah
menurun hingga tidak teraba, keringat dingin dan lemah, kesadaran menurun hingga tidak
sadar. Syok dapat terjadi akibat adanya daerah yang hancur misalnya otot-otot pada daerah
yang luka.2
D. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini berspora dan
bersifat obligat anaerob, bukan saja tidak bisa hidup dengan udara tapi bakteri ini juga selalu mati
dengan adanya O2, kecuali bila bakteri ini wujud dalam bentuk endospore. Selalu dijumpai pada tinja
binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan
tinja binatang tersebut. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai
drumstick. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun jika ia menginfeksi luka
seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, tahan terhadap sinar matahari
dan bersifat resisten terhadapa berbagai disinfektan dan pendidihan selama 20 menit.
Clostridium tetani tidak bersifat invasif. Kumannya tetap berada di luka. Spora akan menjadi
bentuk vegetatif dan eksotoksin akan dibentuk apabila keadaannya memungkinkan yaitu keadaan
anaerob yang biasanya terjadi karena adanya jaringan nekrotik, adanya garam kalsium, adanya
kuman piogenik lainnya, vaskularisasi yang tersumbat, dan bekas pemotongan tali pusat.
Clostridium tetani menghasilkan neurotoxin, suatu eksotoksin, tetanospasmin yang dilepaskan
ketika sel lisis. Tetanospasmin bertanggung jawab untuk menimbulkan manifestasi klinik dari tetanus
yaitu kejang opistotonus dan kekakuan pada wajah, leher, perut dan anggota gerak.3
E. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas parsial, dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksin ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah
dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di
Negara beriklim tropis dan Negara – Negara sedang berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina,
Vietnam, Indonesia, dan Negara lain di benua Asia.
Bila tidak memiliki imunisasi aktif, seorang pasien dengan usia berapapun dapat mengalami
tetanus melalui luka yang terkontaminasi oleh tanah. Orang dewasa yang berusia > 60 tahun
merupakan kelompok berisiko tertinggi, terutama wanita yang mungkin lahir sebelum dikenalkan
imunisasi pada anak-anak .
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum. Tetanus neonatal merupakan masalah khusus di beberapa negara berkembang akibat
kontaminasi sekitar umbilikus oleh tanah atau kotoran hewan untuk tujuan terapi.1
F. Patofisiologi
Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian terkontaminasi
oleh spora dari Clostridium tetani. Bentuk spora dari bakteri akan berubah menjadi vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut (anaerobic) dan kemudian
mengeluarkan eksotoksin yang menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan
sistem limpa. Dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Kuman
tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah luka, sehingga tidak ada penyebaran kuman.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor end plate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama
disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut
berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter
inhibisi yaitu Gama Aminobutyric Acid (GABA) dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan
spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat
toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot
bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri,
penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Dengan penggunaan diazepam dosis
tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan dikelola dengan teliti.4
G. Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu).
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
Localized tetanus (Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah
muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.5
Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal
beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot
masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk
dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme
otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari
laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan di dalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila
dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia,
penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan
yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani,
maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan
menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan
faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Klasifikasi tingkat keparahan tetanus
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan,
tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan, frekuensi
pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
Derajad (IV) sangat berat
Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kadiovaskular. Hipertensi
berat takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,salah satunya dapat
menetap.6
Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips):
Tolah ukur Nilai
Masa inkubasi
Kurang 48 jam 5
2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
lebih 14 hari 1
Lokasi infeksi
Internal/umbilikal 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi
Tidak ada 10
Mingkin ada/ibu mendapat 8
Lebih dari 10 tahun yang lalu 4
Kurang dari 10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor yang
memberatkan
Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa 10
Keadaan yang tidak langsung membahayakan jiwa 8
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
A.S.A.** derajat 1
** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit
H. Penatalaksanaan
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organism yang terdapat dalam tubuh
hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam
tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisir; dan efek dari toksin yang telah terikat pada
sistem saraf pusat diminimisasi.
Penatalaksanaan umum:
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.6 Dan tujuan tersebut
dapat diperinci seperti berikut: 7
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Obat-obatan :
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan Tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/12 jam secafa IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain
seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan
diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya
bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
Tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
Tetanus selesai.
Tabel 1 : PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA
RIWAYAT
IMUNISASILuka bersih, Kecil Luka Lainnya
(dosis) Tet. Toksoid
(TT)
Antitoksin Tet.Toksoid
(TT)
Antitoksin
Tidak
diketahui
ya tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
Keterangan:
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)
Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada Tetanus Neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat–obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.8
Tabel 2: JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam
Meprobamat
Klorpromasin
Fenobarbital
0,5 – 1,0 mg/kg
300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Stupor, Koma
Tidak Ada
Hipotensi
Depressi pernafasan
Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset
3000 - 6000 unit, Tetanus immune globulin satu kali saja.
1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri
tetracycline 2 gram sehari.
Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk
mencegah cyanosis dan apnoe.
Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam
sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.
Pengobatan menurut Gilroy:
Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan
barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
Kasus berat :
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap
satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan
respirator oleh tenaga yang berpengalaman
4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah
conjunctivitis
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
8. Rontgen foto thorax
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan
beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
I. Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasme, kekakuan otot-otot
pernafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia serta kompressi fraktur vertebra
dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolysis dan renal failure.
Rhabdomyolysis adalah keadaan dimana otot rangka dengan cepat hancur, sehingga mengakibatkan
mioglobin (protein otot) bocor ke dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal akut. 1
J. Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang
lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya
sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang
pembentukkan antitoksin (karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,
walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat
untuk merangsang pembentukan kekebalan).1
Pencegahan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan merawat luka dan pemberian anti
tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan kekebalan pasif sehingga
mencegah terjadinya tetanus atau memperpanjang masa inkubasi.
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya
cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT) yang
diberikan tiga kali dengan interval 4-6 minggu, dan diulang pada umur 18 bulan dan 5 tahun .
Untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada waktu persalinan
terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat.2
Kesimpulan
Pasien laki-laki usia 22 tahun menderita Tetanus. Hal tersebut dilihat dari pemeriksaan fisiknya yang mengarah pada tetanus ditambah pasien sempat mengalami kecelakaan sebelumnya.
Daftar Pustaka
1. Ismanoe G. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.p.445.
2. Willson J M. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.p.54
3. Rahim A, Lintong M, Suharto, Jasodiwondo S. Buku Ajar Mikrobiologi kedokteran: Batang
positif gram. Jakarta; Binarupa Aksara Publishing: 2008.p.19.
4. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.p.21-4.
5. Harrison. Tetanus. in: Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th. New York:
McGrawHill; 2003.p.577-8.
6. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007.p.49- 50.
7. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Jakarta:
EGC; 2007.p.1777-9.
8. Syarif, Amir, Estuningtyas, Ari, Setiawati, Arini. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: EGC;
2008.p.245-7