Pbl Modul 3 Jatuh
Transcript of Pbl Modul 3 Jatuh
Laporan PBL
MODUL JATUH
SISTEM TUMBUH KEMBANG & GERIATRI
oleh :
KELOMPOK 1B
Firghana Attamimi 1102070116
Chaerullah 1102080128
Andi Fatmawati Mahir 1102090121
Yusli Ardayati 1102090077
Nur Aisyah 1102090027
Mustairal 1102090001
Andi Tenri Syahirah Said 1102090139
Hardi Ashari M.H 1102090051
Titin Arniyanti 1102090086
Irsan Kurniawan 1102090066
Andi Nurjannah Kaddiraja 1102090110
Nur Sabriany Lihawa 1102100156
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2012
PENDAHULUAN
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari
harapan hidup penduduknya. Demikian juga di indonesia sebagai suatu negara
berkembang, dengan perkembangan yang cukup baik, makin tinggi harapan
hidupnya diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000
yang akan datang.
Pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia diproyeksikan sebesar 7,28%
dan pada tahun 2020 sebesar 11,34 % (BPS, 1992). Dari data USA-Bureau of
the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga
lansia tersebar seluruh dunia,antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%.
(Kinsella & Taeuber, 1993).
Hal ini semua merupakan gambaran pada seluruh negara-negara di
dunia, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemajuan dalam
kondisi sosio-ekonominya masing-masing.
Namun, ilmu pengetahuan dan teknologi masih ditantang dengan
menerangkan sebab-sebab orang menjadi tua (menua=aging). Banyak teori-teori
menua diajukan yang belum memuaskan semua pihak. Proses menua ini
merupakan suatu misteri kehidupan yang masih belum dapat diungkap, mungkin
merupakan suatu masalah yang paling sulit untuk dipecahkan.
Skenario 2
Laki–laki umur 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan menurut
keluarganya tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk didepan kamar mandi tadi
pagi. Setelah itu kedua tungkai tak dapat digerakkan tetapi kalau diraba atau
dicubit masih dirasakan oleh penderita. Sejak seminggu penderita terdengar
batuk-batuk dan agak sesak napas serta nafsu makan sangat berkurang tetapi
tidak demam. Penderita selama ini mengidap dan minum obat penyakit kencing
manis dan tekanan darah tinggi, kedua mata dianjurkan untuk operasi tetapi
penderita selalu menolak.
Kata sulit :
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian sehingga penderita mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa hilang kesadaran.(Reuben,
1996).
Kata kunci :
1. Laki-laki 68 tahun.
2. Jatuh terduduk.
3. kedua tungkai tidak bisa bergerak,tetapi masih terasa jika dicubit.
4. Batuk-batuk, agak sesak nafas, nafsu makan berkurang.
5. Riwayat penyakit DM, Hipertensi.
6. Dianjurkan operasi mata tapi penderita selalu menolak.
Pertanyaan :
1. Bagaimana proses penuaan?
2. Etiologi jatuh pada lansia?
3. Apa saja faktor resiko dari jatuh?
4. Apakah ada hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan gejala yang dialami
oleh pasien sekarang?
5. Apakah ada hubungan obat dikonsumsi dengan jatuh?
6. Apakah ada hubungan penyakit mata dengan jatuh?
7. Apa yang menyebabkan pasien tidak bisa menggerakan tungkainya dan
masih merasa jika diraba dan dicubit?
8. Bagaimana pendekatan diagnostik pada pasien tersebut?
9. Apa komplikasi yang bisa terjadi akibat jatuh?
10. Bagaimana penanganan awal dan pencegahannya?
11. Bagaimana dari sudut pandang pespektif islam terhadap lansia?
Pembahasan :
1. Analisis kasus dan daftar masalah pada skenario
Daftar masalah
2. Proses Menua
Definisi Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnyasehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994)
Adapun teori-teori yang membahas mengenai proses menua sebagai
berikut:
a) Teori Genetic Clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-
spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) nya
suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam
ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak
diputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita itu berhenti akan meninggal
dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir
yang katastrofal.
b) Teori motasi somatic
Faktor-faktor penyebab terjadinya proses menua adalah factor lingkungan
yang menyebabkan terjadinya mutasi somatic. Sekarang sudah umum
diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur,
sebaliknya menghindari terkenanya radiasi atau tercemar zat kimia yang
bersifat karsinogenik atau toksik, dapat memperpanjang umur. Menurut
teori ini, terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatic, akan
menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.
c) Rusaknya system imun tubuh.
Jika mutasi somatic menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen
permukaan sel , maka hal ini dapat menyebabkan system imun tubuh
menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing
dan menghancurkannya.perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun.(Goldstein,1989)
d) Teori menua akibat metabolisme
Pentingnya metabolism sebagai factor penghambat umur panjang.
Semakin tinggi metabolism seseorang maka akan menambah
pertumbuhan dan menurunkan dan memperpendek umur dan
sebaliknya.
e) Kerusakan akibat radikal bebas
Radikal bebas (RB) dapat terbentuk di alam bebas, dan di dalam tubuh
jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan didalam rantai
pernapasan didalam mitokondria ( Oen, 1993). Radikal bebas dihasilkan
saat terbentuk ATP sehingga radikal bebas ini akan menghancurkan sel-
sel semakin lama semakin banyak maka sel-sel mati.
3. Etiologi jatuh adalah :
a. Kecelakaan merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus
jatuh lansia)
Murni kecelakaan misalnya terpeleset,tersandung.
Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan
akibat proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda-
benda yang ada dirumah tertabrak, lalu jatuh.
b. Nyeri kepala dan atau vertigo.
c. Hipotensi orthostatic:
Hypovolemia/ curah jantung
Disfungsi otonom
Penurunan kembalinya darah vena ke jantung
Terlalu lama berbaring
Pengaruh obt-obat hipotensi
Hipotensi sesudah makan
d. Obat-obatan
Diuretik/antihipertensi
Antidepresan trisiklik
Sedativa
Antipsikotik
Obat-obat hypoglikemik
alkohol
e. Proses penyakit yang spesifik
Penyakit-penyakit akut seperti :
Kardiovaskuler : - aritmia
- Stenosis aorta
- Sinkope sinus carotis
Neurologi : - TIA
- Stroke
- Serangan kejang
- Parkinson
- Kompresi saraf spinal karena spondilosis
- Penyakit cerebelum
f. Idiopatik (tak jelas sebabnya)
g. Sinkope : kehilangan kesadaran secara tiba-tiba
- Drop attack (serangan roboh)
- Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba
- Terbakar matahari
4. Faktor risiko jatuh dibagi dua golongan besar, yaitu :
a. Faktor-faktor intrinsik (faktor dari dalam)
b. Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar)
Faktor instrinsik Faktor ekstrinsik
5. Hubungan batuk, sesak napas dan anoreksia dengan jatuh
Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan
terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas organnya masih besar.
Penurunan anatomik dan fungsional dari organ tersebut akan menyebabkan
lebih mudah timbulnya penyakit pada organ tersebut. Salah satunya pada
system gastrointestinal. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan
Kondisi fisik dan neuropsikiatri
Penurunan visus dan pendengaran
Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan reflek postural karena proses menua
Obat-obatan yang diminum
Alat-alat bantu berjalan
Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)
FALLS (JATUH)
morfologik degenerative, antara lain perubahan atrofik pada rahang,
sehingga gigi lebih mudah tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada
mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan. Berbagai perubahan morfologik
akan menyebabkan perubahan fungsional sampai perubahan patologik,
diantaranya gangguan mengunyah dan menelan, serta perubahan nafsu
makan. Gizi yang kurang dan timus yang mengalami resorbsi akan
menyebabkan mudah terkena infeksi. Infeksi saluran napas menyebabkan
batuk dan sesak. Batuk dan sesak disebabkan karena perubahan anatomi
dan penurunan fungsi fisiologis dari system respirasi. Perubahan anatomi
diantaranya peningkatan diameter trachea dan saluran napas utama,
membesarnya duktus alveolaris, berkurangnya elastisitas penyangga
parenchyma paru, penurunan massa jaringan massa paru, berkurangnya
kekuatan otot-otot pernapasan, dan kekakuan dinding thoraks. Sedangkan
penurunan fungsi fisiologis yaitu kekuatan otot pernapasan menurun,
ventilasi dan perfusi paru menurun, menurun (CV, FVC, FEV1), meningkat
(FRC, RV). Keadaan tersebut dapat menyebabkan penurunan system imun
sehingga mudah terkena infeksi dan menyebabkan batuk. Sesak yang terjadi
menyebabkan hipoksia sehingga aliran oksigen ke otak menurun dan
menyebabkan jatuh.
6.
R
iwayat penyakit terdahulu dengan jatuh yang dialami pasien
7. Hubungan obat yang dikonsumsi dengan jatuh
8. Hubungan penyakit mata dengan jatuh
9. Etiologi pasien tidak bisa menggerakkan tungkainya dan masih merasa
jika diraba dan dicubit
Pada kasus ini pasien dinyatakan jatuh terpeleset. Mekanisme trauma
Seseorang yang jatuh terpeleset kemungkinan bisa ke depan atau ke be-
lakang. Jika jatuh ke depan maka kemungkinan akan mengalami trauma
capitis atau cidera ekstremitas atas sebagai akibat menahan tubuh dengan
tangan. Sedangkan jika jatuh ke belakang maka kemungkinan akan men-
galami trauma capitis atau cidera ekstremitas atas atau cidera tulang be-
lakang (vertebra).
Pada kasus ini tidak dikeluhkan adanya trauma capitis atau cidera ek-
stremitas atas, cidera yang terjadi hanya berupa tungkai yang tidak dapat dig-
erakkan tapi masih berasa. Ini berarti bahwa kemungkinan yang mengalami
gangguan adalah persarafan motorik tungkai tersebut sementara saraf sen-
soriknya masih berfungsi dengan baik.
Secara anatomis tungkai (ekstremitas bawah) dipersarafi oleh serabut
saraf dari vertebra segmen lumbal dan sacral. Jadi kemungkinan besar
ketika terjatuh, pasien tersebut mengalami trauma vertebra segmen lumbal-
sakral yang mengakibatkan tertekannya ramus-ramus saraf di cornu anterior
atau bagian dari kornu anterior dari segmen lunbosakral tersebut yang
tertekan yang berfungsi sebagai saraf motorik pada kedua tungkai yang
mengakibatkan tungkai tidak dapat digerakkan.
10. Pendekatan diagnostik
Pada pasien geriatri/ usia lanjut, kita harus melakukan pemeriksaan/
assesmen secara holistik/ paripurna, berkesinambungan dan tepat. Dengan
maksud agar dapat meninjau keseluruhan dari gangguan fisisnya, psikososial
dan juga gangguan fungsional sehingga nantinya dapat mengidentifikasikan
masalah tersebut termasuk mengidentifikasikan faktor resiko yang berperan
serta kemudian merencanakan penatalaksanaan menyeluruh dengan
penekanan pada kemampuan fungsional pasien atau setidaknya memberikan
perhatian yang sama dengan diagnosis dan pengobatan penyakit sebab
kompleksitas masalah pada usia lanjut dapat meningkatkan resiko iatrogenik.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
a. Anamnesa riwayat penyakit (jatuhnya)
Anamnesa dibuat baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau
keluarganya. Anamnesis ini meliputi :
1. Seputar jatuhnya : mencari penyebab jatuhnya misalnya apa karena
terpeleset, tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau
berdiri dari jongkok atau sebaliknya, sedang buang air kecil atau be-
sar, sedang batuk atau bersin, sedang menolwh tiba-tiba ataupun ak-
tivitas lainnya.
2. Gejala yang menyertai : seperti nyeri dada, berdebar-debar, nyeri
kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak
nafas.
3. Kondisi komorbid yang relevan : pernah menderita hipertensi, dia-
betes mellitus, stroke, parkinsonisme, osteoporosis, sering kejang,
penyakit jantung, rematik, depresi, deficit rematik dll
4. Review obat-obatan yang diminum : anti hipertensi ( alfa inhibitor
non spesifik dll ), diuretic, autonomic bloker, anti depresan, hipnotik,
anxiolitik, analgetik, psikotropik, ACE inhibitor dll
5. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh apakah licin/bertingkat-
tingkat dan tidak datar, pencahayaannya dll
b. Pemeriksaan Fisis
1. Mengukur tanda vitalnya : Tekanan darah (tensi), nadi,
pernafasan(respirasinya) dan suhu badannya (panas/hipotermi)
2. Kepala dan leher : apakah terdapat penurunan visus, penurunan pen-
dengaran, nistagmus, gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan,
bising.
3. Pemeriksaan jantung : kelainan katup, aritmia, stenosis aorta, sinkope
sinus carotis dll
4. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,
kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor, dll
5. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi, problem
kaki (podiatrik), deformitas dll
c. Assesmen Fungsionalnya
Seyogyanya dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebiasaan
pasien dan aspek fungsionalnya dalam lingkungannya, ini sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan. Pada assesmen
fungsional dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
1. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangkit dari
duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan,
ketika mau duduk dibawah dll.
2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat
Bantu ( kursi roda, tripod, tongkat dll) atau dibantu berjalan oleh kelu-
arganya.
3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, berpergian, konti-
nens. Terutama kehidupannya dalam keluarga dan lingkungan sekitar
(untuk mendeteksi juga apakah terdapat depresi dan lain-lain).
d. Pemeriksaan tambahan
1. Radiologi : melihat ada tidaknya fraktur, perlu juga foto thoraks untuk
melihat ada tidaknya pneumonia
2. Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, GDS, Elektrolit, Urin,
albumin, SGOT dan SGPT, fraksi lipid, Fungsi tiroid
e. Pemeriksaan fungsi
1. Penapisan depresi : skor GDS 15 (Geriatric Depression Scale 15)
2. Pemeriksaan kemampuan mental dan kognitif : skor AMT
(Abbreviated Mental Test) dan MMSE (Mini Mental State Examination)
3. Penilaian status fungsional : Indeks ADL’s Barthel (Activity Daily
Living)
11. Komplikasi yang dapat terjadi karena jatuh adalah (Kane, 1994; Van-der-
Cammen, 1991)
a. Perlukaan (injury)
Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena.
Patah tulang (fraktur) :
- Pelvis
- Femur (collum femur)
- Humerus
- Lengan bawah
- Tungkai bawah
- Kista
Hematom subdural
b. Perawatan rumah sakit
Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
Resiko penyakit-penyakit iatrogenik
c. Disability
Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
d. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan
e. Mati
12. Penanganan yang dapat dilakukan
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang
dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik,
dan mengembalikan kepercayaan diri penderita.
The Panel on fall telah merekomendasikan penanganan jatuh pada
masyarakat, sesduah melakukan asistment secara menyeluruh,
mengidentifikasikan anormalitas dari komponen kontrol postural dan
performen fisik secara menyeluruh dari keseimbangan dan cara berjalan,
juga masalah kesehatan, status fungsional, dan cara mendapatkan bantuan
(Nnodim JO, Alexander NB, 2005). Penyebab yang potensial berpengaruh
dicatat dan direncanakan strategi penanganan baik intervensi secara
farmakologi/pembedahan & rehabilitasi seperti yang tercantum pada
appendik F (Hile ES, Studenski SA, 2007; Assesment & treatment).
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau eliminasi
faktor resiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya.
Penatalaksanaan ini harus terspadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri
dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik,
dll), sosialworker, arsitek, dan keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individualis, artinya berbeda untuk setiap
kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bersama-sama mengakibatkan
jatuh. Bila penyebab merupakan penyait akut penanganannya menjadi lebih
mudah, sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta
efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial
sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi
diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan
bepergian/aktifitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.
Pengelolaan gangguan penglihatan (Nnodim JO, Alexander NB,
2005)
Peresepan lensa kaca mata harus dapat mengoreksi dengan tepat
gangguan ketajaman penglihatan. Kacamata dengan lensa tunggal lebih
dipilih dibandingkan dengan lensa multifokal karena menimbulkan
gangguan persepsi kedalaman dan kontras bagian tepi yang
meningkatkan resiko jatuh.
Katarak yang dilakukan ekstraksi akan menurunkan resiko jatuh
meskipun katarak tunggal. Untuk gangguan adaptasi gelap terapi dengan
mengganti terapi glaukoma yang tidak menyebabkan miosis. Intervensi
gangguan penglihatan ini umumnya tidak efektif sebagai intervensi
tunggal. Penglihatan dapat berperan menurunkan resiko jatuh sebagai
bagian program penurunan resiko secara multifaktorial.
Pengelolaan gangguan keseimbangan
Latihan merupakan komponen yang paling berhasil dari program
penurunan resiko jatuh dan merupakan intervensi tunggal yang efektif
berdasarkan meta analisis. Pada lansia yang memiliki resiko tinggi untuk
jatuh, kebutuhan dan lama latihan keseimbangan sangat individual.
Penelitian terkini menyarankan latihan kelompok juga efektif. Latihan
keseimbangan pada pasien lansia dapat dilihat pada appendik F.
Intervensi obat-obatan
Terapi obat-obatan pada pasien harus dikaji lebih lanjut. Obat-
obatan yang diberikan harus benar-benar diperlukan, obat-obatan yang
terlalu banyak akan meningkatkan resiko jatuh. Apabila memungkinkan
terapi nonfarmakologi harus dilakukan pertama kali. Benzodiasepin baik
yang kerja panjang maupun yang kerja pendek meningkatkan resiko jatuh
demikian juga trisiklik antidepresan dan golongan selective serotonin
reuptake inhibitor khususnya pada dosis tinggi. Obat-obat psikotropika
harus dimulai dengan dosis rendah dan kemudian dinaikkan perlahan
(Nnodim JO, Alexander NB, 2005).
Pemberian obat-obat penghiang sakit kronik secara terjadwal lebih
efektif dibandingkan pemberian bila diperlukan. Terapi ekstrapiramidal
dengan levodopadan obat yang lain dapat memperbaiki imobilitasi tetapi
sering tidak dapat memperbaiki instabilitas postural (Hile ES, Studenski
SA, 2007).
Postural hipertensi dapat dikontrol dengan penyesuaian dosis obat,
kaus kaki kompresi, perubahan perilaku misalnya menghindari perubahan
posisi yang mendadak, latihan ROM (Range of Motion) aktif pada
ekstremitas bawah untuk meningkatkan venous return sebelum posisi
berdiri.
Intervensi lingkungan
Intervensi tunggal pada penelitian terkontrol mengatakan bahwa
modifikasi lingkungan akan meningkatkan keamanan, namun tidak
menurunkan resiko jatuh. Bagaimana pun intervensi lingkungan
merupakan bagian dari program multifaktorial, keamanan lingkungan
difikirkan berpengaruh menurunkan resiko yang paling mudah dilakukan
(Nnodim JO, Alexander NB, 2005).
Pemakaian alas kaki
Berjalan dengan menggunakan kaus kaki sebaiknya dicegah.
Sepatu harus sesuai dengan ukuran kaki, kuat, dan mempunyai bentuk
yang baik dengan sol yang tidak licin, dan hak yang rendah. Alas kaki
dengan tali sepatu sering menyebabkan slip. Sepatu olahraga kurang
menyebabkan jatuh pada orang tua (Nnodim JO, Alexander NB, 2005).
Intervensi pendidikan/pengetahuan yang berhubungan jatuh
Data-data intervensi ini sedikit tersedia. Satu penelitian acak
terkontrol yang dilakukan oleh Reinsch dan kawan-kawan yang
mengikutkan 230 lansia yang hidup di masyarakat membandingkan
tentang peningkatan pengetahuan tentang jatuh yang dilakukan seminggu
sekali dengan peningkatan pengetahuan kesehatan yang tidak ada
hubungan dengan jatuh. Kedua intervensi ini setelah diikuti selama 1 juta
tahun mendapatkan bahwa pengetahuan tentang jatuh saja tidak
memberikan pengaruh terhadap angka kejadian jatuh (Fink HA, Wyman
JF, Hanlon JT, 2003).
13. Pencegahan
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena
bila sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap
memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan ini, antara lain : (Tinetti, 1992;
Van-der-Cammen, 1991; Reuben, 1996),
Identifikasi faktor resiko
Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencariadanya faktor intrinsik resiko jatuh, perlu dilakukan asessment
keadaan sensorik, neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik
yang sering mendasari/menyebabkan jatuh.
Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat
menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus
cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih
dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga
sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti,
peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga
tidak mengganggu jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat
tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang
mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi
pegangan di dinding.
Banyak obat-obatan yang berperan terhadap jatuh. Mekanisme
tersering termasuk sedasi, hipotensi ortostatic, efek ekstrapiramidal,
miopati dan gangguan adaptasi visual pada penerangan yang redup.
Obat-obatan yang menyebabkan sedasi diantaranya golongan
benzodiasepin (Diazepam, chlordiazepoxide, flurozepam, desmethy-
diazepam, oxazepam, lorazepam, nitrazepam, triazolam, alprazolam),
antihistamin bersifat sedatif, narkotik analgesik, trisiklik antidepresan
(Amitryptiline, Imipramine), SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor) misalnya fluoxetine, setraline, antipsikotik, antikonvulsan dan
etanol (Trevor AJ, Way WL, 2002). Obat-obat yang menyebabkan
hipotensi orthostatic seperti antihipertensi, antiangina, obat
antiparkinson, trisiklik antidepresan dan anti psikotik. Obat-obat yang
menyebabkan efek ekstrapiramidal misalnya metokloperamide,
anyipsikotik, SSRI. Obat-obatan yang menyebabkan miopati misalnya
kortikosteroid, colchisine, statin dosis tinggi terutama apabila
dikombinasi dengan fibrat, interferon. Obat yang menyebabkan miosis
seperti pilocarpine untuk pengobatan glaukoma. Dosis, waktu
pemberian, dan ketaatan minum obat juga mempengaruhi terjadinya
jatuh. Pasien dengan obat yang banyak/polifarmasi rentan pula
mempengaruhi keseimbangan (Hile ES, Studenski SA, 2007).
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat,
tripoid, kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi
ringan, aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi
badan lansia.
Penilaian cara berjalan (GAIT) dan keseimbangan
- Penilaian pola berjalan secara klinis
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola
jalan. Keseimbangan, kekuatan dan flesibilitas diperlukan untuk
mempertahankan postur yang baik. Ketiga elemen itu merupakan
dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik pada setiap
individu. Pola jalan yang normal dibagi 2 fase yaitu:
Fase pijakan (stance phase)
Fase ini adalah fase dimana kaki bersentuhan dengan pijakan.
Fase ini 60 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3
yaitu:
Heel stroke yaitu saat tumit salah satu kaki menyentuh
pijakan.
Mid stance yaitu saat kaki menyentuh pijakan.
Push off yaitu saat kaki meninggalkan pijakan.
Fase dimana kaki tidak menyentuh pijakan (swing phase)
Fase ini 40 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3
yaitu:
Acceleration yaitu saar kaki ada di depan tubuh.
Swing through yaitu saat kaki berayun ke depan.
Deselerasi yaitu saat kaki kembali bersentuhan dengan
pijakan.
Dalam pola jalan lansia ada beberaa perubahan yang
mungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut:
Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota
gerak atas dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang
apabila tubuh bergerak.
Gerakan otomatis menurun, amplitudo dan kecepatan
berkurang seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.
Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi
sehingga kerja otot meningkat.
Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot, khususnya otot
penggerak sendi panggul.
Langkah lebih pendek agar merasa lenih aman.
Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap
fase menumpu.
Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder
kekakuan sendi.
Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun
Penurunan sudut antara tumit dan lantai
Penurunan irama jalan
Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul
Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai
- Penilaian keseimbangan
Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat
berdiri secara statis dan dinamik, termasuk pemeriksaan
kemampuan untuk bertahan terhadap ancaman baik internal
maupun eksternal. Pemeriksaan statis termasuk lebar cara berdiri
sendiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang nyaman
tanpa dukungan ekstremitas atas, diikuti oleh berdiri dengan mata
tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk penderita
gangguan keseimbangan. Penghilang input visual saat berdiri
dengan kaki menyempit (Tes Romberg) membutuhkan informasi
somatosensorik dan vestibuler, sehingga meningkatnya goyangan
menandakan adanya masalah sensori perifer vestibuler. Bagi
lansia yang dapat melakukan tes Romberg dengan baik, tes statis
yang lebih sulit seperti semitandem, tandem dan satu kaki yang
terangkat dapat dilakukan.
Kemampuan untuk mempertahankan postur berdiri sebagai
respon dari gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta
pasien untuk melakukan tes pencapaian fungsionaltes dinamik
respon tubuh untuk gangguan eksternal dapat dilakukan jika
penderita lansia telah mampu untuk melakukan tes keseimbangan
statis lebar tanpa menggunakan alat bantu atau bantuan
ekstremitas atas. Tes refleks yang benar (The test of righting
reflexes), pemeriksa berdiri dibelakang pasien yang diminta untuk
menarik atau mendorong, dan bereaksi untuk mempertahankan
tetap berdiri. Pemeriksa kemudian secara cepat mendorong pelvis
pasien pada bagian belakang sambil menjaga pasien secara
dekat. Kekuatan dorongan dengan amplitudo yang cukup untuk
mengubah pusat massa keluar dari dasar landasan pasien.
Respon yang kas, satu kaki akan berpindah ke belakang secara
cepat tanpa bantuan ekstremitas atas atau bantuan pemeriksa.
Respon yang abnormal disebut reaksi balok kayu/timber reaction
yang mana tidak ada usaha untuk menggerakkan kaki dan
diperkirakan adanya defisit sistem nervous sentral, sering
bersama dengan komponen ekstrapiramidal.
Mengatur/ mengatasi faktor situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut/eksaserbasi akut
penyakit yang diderita lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin
kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional bahaya
lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan
lingkungan seperti tersebut di atas. Faktor situasional yang berupa
aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan
penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik seberapa
jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasi
pemeriksaan kondisi fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakukan
aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk
terjadinya jatuh.
Buku ajar geriatri R.Boedhi-Darmojo
14. Perspektif Islam tentang lansia adalah
Buku ajar geriatri R.Boedhi-Darmojo
Daftar Pustaka
1. H Slamet Suyono, SpPD,KE. Prof. Dr. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ) edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Adelman,M,Alan.Daly,P,Mel.20 Common Problems In Geriatrics.2001.Mc GRAW-HILL INTERNATIONAL EDITION.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT
atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga kelompok kami dapat
menyelesaikan laporan diskusi Modul 3, Skenario Jatuh, pada blok Sistem
Tumbuh Kembang dan Geriatri ini, yang disusun dan diajukan untuk memenuhi
persayaratan pada diskusi panel Sistem Tumbuh Kembang dan Geriatri, Fakultas
Kedokteran UMI.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami mengharapkan kritik positif yang bersifat membangun dan saran-
saran dari pihak yang terkait, agar dapat kami gunakan sebagai pembelajaran
kami menjadi lebih baik ke depannya.
Akhirnya, harapan kami semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Makassar, 15 Januari 2012
Kelompok 1B