PBL Blok 21
description
Transcript of PBL Blok 21
Diabetes Melitus Tipe II
Alvivin
102011215/D4 - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universtas Kristen Krida Wacana
al vivinnnn@yahoo .com - Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Menurut America Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes mellitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980
dikatakan bahwa diabetes merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomic dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah factor dimana diapat
defisiensi insulin absolute atau relative dan gangguan fungsi insulin.1
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
angka insidens dan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia.Berikut akan
dibahas mengenai diabeter mellitus tipe II, dari gejala klinik, patofisiologi sampai ke
penatalaksanaannya.
Isi
Anamnesis
Pada anamnesis hal-hal yang perilu ditanyakan adalah :
Identitas pasien
Nama : Tn.A
Usia : 45 tahun
Selain itu perlu juga ditanyakan alamat,pekerjaan,dan status.
Keluhan utama
Merasa semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu
Berikut adalah pertanyaan untuk menggali keluhan utama :
o Lemasnya terus-menerus atau hilang timbul?
o Lemasnya sampai tidak bisa berjalan atau seperti apa?
o Semakin lemas saat melakukan apa?
1
o Lemas menghilang saat melakukan apa?
o Adakah gejala lain seperti lemas? Seperti pusing atau demam?
Riwayat penyakit sekarang
Berikut adalah pertanyaan yang dapat menggali RPS :
o Apakah terdapat gejala 3P (Poliuria, Polidipsi, dan Polifagia)?
o Apakah terjadi penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas?
o Apakah mata terlihat buram, atau penglihatan ganda?
o Apakah sering merasa kesemutan?
o Apakah terdapat luka di kaki dan penyembuhan yang lama?
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum metformin dan
glibenklamid secara teratur.
Riwayat pengobatan
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat kebiasaan
Tanyakan status nutrisi dan asupan makanannya
Riwayat social dan ekonomi
Pemeriksaan Fisik1
Pengukuran tinggi badan dan berat badan.
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik.
Pemeriksaan funduskopi.
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
Pemeriksaan jantung.
Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari.
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis.
Tanda-tanda penyakit lain yang menimbulkan DM tipe lain.
Pemeriksaan Penunjang1,2
Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
2
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang seyogyanya
dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program
pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi
setempat dan juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa
darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/ tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan unutk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, unutk
memastikan diagnosis definitif.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah-satu resiko DM
sebagai berikut:
1. Usia ≥ 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/m2 yang disertai
dengan faktor:
o Kebiasaan tidak aktif
o Turunan pertama dari orang tua dengan DM
o Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat
DM-gestasional
o Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)
o Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL
o Menderita policyctic ovarial sydrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
o Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelmnya.
o Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
Pemeriksan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, tolenransi gluksosa
yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
3
sementara menuju DM, setelah 5-10 tahun 1/3 kelompok TGT akan menjadi DM, 1/3
tetap TGT, dan 1/3 lainnya akan kembali normal. TGT sering berkaitan dengan
resistensi insulin. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi
dan dislipidemia.
TTGO (Tes Torelansi Glukosa Oral)
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):
o Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
( dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa.
o Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
o Diperiksa konsetrasi glukosa darah puasa
o Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
o Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah unutk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
o Diperiksa glukosa darah dua jam sudah beban glukosa
o Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah dalam 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3
yaitu:
o < 140 mg/dL → normal
o 140 sampai < 200 mg/dL → toleransi glukosa terganggu
o ≥ 200 mg/dL → diabetes
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Masa
Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik
kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada keturunan pertama (first degree
relative), 3) masuk kelompok etnik resoko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander), 4) wanita dengan riwayat melahirkan
bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), 5)
hipertesi ( tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat
antihipertensi), 6) kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL, 7)
wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat toleransi glukosa terganggu
4
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9) keadan lain yang berhubungan
dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit
kardiovaskular. Pada tes penyaringan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah
puasa atau sewaktu atau TTGO.
HbA1C
Pengukuran HbA1c adalah standar kriteria untuk pemantauan jangka panjang
kontrol glukosa darah dan mencerminkan glikemia selama 3 bulan
sebelumnya.Pengukuran HbA1c yang sebelumnya tidak dianggap berguna untuk
diagnosis diabetes mellitus karena kurangnya standarisasi internasional dan
ketidakpekaan untuk mendeteksi bentuk-bentuk intoleransi glukosa ringan.
Dalam laporan 2009, sebuah komite ahli internasional yang ditunjuk oleh
American Diabetes Association (ADA), Asosiasi Eropa untuk Studi Diabetes, dan
International Diabetes Association merekomendasikan tes HbA1c untuk
mendiagnosis tipe 1 dan tipe 2 diabetes mellitus.
Rekomendasi komite untuk diagnosis diabetes mellitus adalah tingkat HbA1c
sebesar 6,5% atau lebih tinggi, dengan konfirmasi dari tes ulang (kecuali gejala klinis
yang hadir dan tingkat glukosa > 200 mg/dL).
Profil lipid pada keadaan puasa (kolestrol total, HDL, LDL, trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen dna protein dalam urin
EKG
Foto sinar-X dada
Differential Diagnosis
Diabetes Melitus Tipe 1
Pasien dengan DM-1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplisof
dengan polidipsia, poliura, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang
terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat
dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapat pengobatan
segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
umumnya penderita peka terhadap insulin.
5
Tes untuk membedakan tipe 2 dan tipe 1 Diabetes
Mengurkur konsentrasi insulin atau C-peptida (sebuah fragmen dari proinsulin yang
berfungsi sebagai penanda untuk sekresi insulin) jarang diperlukan untuk
mendiagnosis diabetes mellitus tipe 2 atau membedakan tipe 2 diabetes dari diabetes
mellitus tipe 1. Kadar insulin umumnya tinggi di awal perjalanan tipe 2 diabetes
mellitus dan secara bertahap berkurang dari waktu ke waktu. Tingkat C-peptida puasa
lebih dari 1 ng / dL pada pasien yang telah menderita diabetes selama lebih dari 1-2
tahun adalah sugestif dari diabetes tipe 2 (yaitu, residu beta-fungsi sel). Dirangsang C-
peptida konsentrasi (setelah tantangan makan standar seperti Sustacal atau setelah
glukagon) agak dipertahankan sampai akhir dalam perjalanan diabetes mellitus tipe 2.
Tidak adanya respon C-peptida untuk konsumsi karbohidrat mungkin menunjukkan
jumlah sel beta kegagalan.
Antibodi terhadap insulin, sel-sel islet, atau asam glutamat dekarboksilase (GAD)
yang absen di tipe 2 diabetes mellitus. Diabetes autoimun laten dewasa (LADA)
adalah bentuk-onset lambat diabetes tipe 1 yang terjadi di tengah baya (biasanya
putih) orang dewasa. Hal ini dapat dibedakan dari diabetes tipe 2 dengan mengukur
antibodi anti-GAD65. Pasien tersebut dapat merespon insulin secretagogues untuk
jangka waktu singkat (bulan).
Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 diabetes dan diabetes
tipe 2. Islet-cell (IA2), anti-GAD65, dan anti-insulin autoantibodi dapat hadir dalam
tipe, awal 1 tapi tidak tipe 2, diabetes.
Pengukuran-sel islet (IA2) autoantibodi dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis dapat
membantu membedakan tipe 1 dan diabetes tipe 2. Penurunan titer ini setelah 6 bulan.
Anti-GAD65 antibodi sugestif dari diabetes tipe 1. Mereka dapat hadir pada saat
diagnosis dan terus-menerus positif dari waktu ke waktu.
MODY3
Maturity Onset of Diabetes of the Young (MODY) adalah sebuah bentuk diabetes
yang disebabkan oleh mutasi genetic.MODY merupakan sebuah bentuk diabetes
monogenic.Setiap gen yang bermutasi menyebabkan sedikit tipe diabetes yang
berbeda.Bentuk yang paling sering ditemukan adalah MODY3 dan MODY2 karena
mutasi pada genetic HNF1A dan GCK.Biasanya MODY didiagnosa pada akhir masa
anak2, remaja, ataupun tahap awal dewasa.Namun sekarang lebih sering berkembang
6
pada orang dewasa mulai umur 50-an.Banyak orang dengan MODY salah didiagnosa
menjadi memiliki diabetes tipe 1 atau tipe 2.Namun, hasil diagnose MODY dapat
menyebabkan pemberian perawatan yag berbeda dan dapat membantu menemukan
apabila ada anggota keluarga yang juga terkena MODY.
Orang yang menderita MODY sering memiliki gejala atau hasil lab yang tidak
biasa untuk diabetes tipe 1 dan tipe 2. Contohnya MODY bisa terdapat pada:
o Pasien diabetes tipe1 yang memiliki hasil tes darah terhadap antibody negatif, yang
biasanya dilakukan pada saat diagnose diabetes.
o Pasien diabetes tipe 1 yang menghasilkan sejumlah insulin yang signifikan beberapa
tahun setelah diagnosis. (detectable blood levels of c-peptide, proinsulin, and/ or
insulin)
o Pasien diabetes tipe 2 yang memiliki berat badan normal atau tidak terlalu kelebihan
berat badan dan tidak menunjukkan tanda kekebalan insulin
o Pasien diabetes yang merupakan anggota keluarga dari 3 generasi sederet atau lebih
yang telah didiagnosa memiliki diabetes.
o Pasien diabetes yang memiliki gula darah yang stabil cenderung agak meningkat
dimana secara tiba-tiba sering ditemukan MODY dengan gejala yang sering mengarah
ke diabetes tipe 1 atau tipe 2.
LADA4
Diabetes autoimun laten dewasa (LADA) adalah bentuk-onset lambat diabetes tipe
1 yang terjadi di tengah baya (biasanya putih) orang dewasa. Hal ini dapat dibedakan
dari diabetes tipe 2 dengan mengukur antibodi anti-GAD65. Pasien tersebut dapat
merespon insulin secretagogues untuk jangka waktu singkat (bulan).
Orang yang memiliki LADA memiliki tanda dari diabetes tipe 1 dan tipe
2. Diagnosis biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Para peneliti memperkirakan
bahwa sebanyak 10 persen orang didiagnosis dengan diabetes tipe 2 memiliki
LADA. Beberapa ahli percaya bahwa LADA adalah perkembangan secara perlahan
dari diabetes tipe 1 karena pasien memiliki antibodi terhadap sel beta pankreas
penghasil insulin.
Kebanyakan orang dengan LADA masih memproduksi insulin mereka sendiri
ketika pertama kali didiagnosis, seperti orang-orang dengan diabetes tipe 2. Pada
tahap awal penyakit ini, penderita LADA tidak memerlukan suntikan
insulin. Sebaliknya, mereka mengontrol kadar glukosa darah mereka dengan
7
pengaturan makanan, aktivitas fisik, dan obat diabetes oral. Namun, beberapa tahun
setelah diagnosis, orang dengan LADA harus mengambil insulin untuk mengontrol
kadar glukosa darah. Selama LADA berlangsung, sel-sel beta pankreas kemungkinan
tidak lagi membuat insulin karena sistem kekebalan tubuh telah menyerang dan
menghancurkannya, seperti pada diabetes tipe 1.
Working Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesis maka ditentukan bahwa diagnosisnya adalah diabetes
mellitus tipe II.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara :1
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah
diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk
diagnosis DM.
3. Dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitive dan
spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbasan sendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi criteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh:
o TGT : Diagnoisis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11.0 mmol/L)
o GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L)
Tabel 1.Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Patokan Penyaring dan Diagnosis DM5
Tabel 2.Langkah-langkah Diagnosis DM6
8
Epidemiologi2
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 sampai 1,6% kecuali di dua tempat yaitu
Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah
urban yaitu di kelurahan Kayu Putih adalah 5,69% dan di daerah rural di suatu daerah di
daerah Jawa Barat tahun 1995 adalah 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di
daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi
diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban
dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus
Terkait Malnutrisi (DMTM) atau sekarang disebut diabetes tipa lain di daerah rural di Jawa
Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang mengejutkan. Demikian juga di Makasar prevalensi
terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian
dan Pengambangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Resiko Penyakit
Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951
wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM (unadjusted) di lima wilayah DKI sebesar
12,1% dengan DM terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%.
9
Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup
tinggi, hampir 3 kali lipat dari kasus DM yang sudah terdeteksi.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama yang disebabkan oleh kerena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka
dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau leebih tepat lagi dalam kurun waktu 1
atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati
peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlaj pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada
tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.
Dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86%-138% yang disebabkan
oleh karena :
Faktor demografi: 1) Jumlah penduduk meningkat ; 2) Penduduk usia lanjut
bertambah banyak; 3) Urbanisasi makin tak terkendali.
Gaya hidup yang kebarat-baratan: 1) Penghasilan per capita tinggi; 2)Restoran siap
santap; 3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan.
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi.
Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.
Etiologi7
Agaknya, diabetes mellitus tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu,
asupan kalori berlebihan, pengeluaran tidak memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di
atas genotipe rentan. Indeks massa tubuh di mana berat badan berlebih meningkatkan risiko
untuk diabetes bervariasi dengan kelompok-kelompok ras yang berbeda.
Sebagai contoh, dibandingkan dengan orang-orang keturunan Eropa, orang-orang dari
keturunan Asia berada pada peningkatan risiko untuk diabetes pada tingkat lebih rendah dari
kelebihan berat badan. Hipertensi dan prehipertensi yang dikaitkan dengan risiko lebih besar
terkena diabetes dalam putih dibandingkan dengan Amerika Afrika. Selain itu, di lingkungan
rahim mengakibatkan berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi beberapa individu untuk
mengembangkan tipe 2 diabetes mellitus. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes
mellitus tipe 2 adalah obesitas. Namun, besar berbasis populasi, penelitian prospektif telah
menunjukkan bahwa diet padat energi dapat menjadi faktor risiko perkembangan diabetes
yang independen dari obesitas awal.Diabetes mellitus dapat disebabkan oleh kondisi lain.
Beberapa studi menunjukkan bahwa polusi lingkungan mungkin memainkan peran dalam
10
pengembangan dan perkembangan diabetes melitus tipe 2.Sebuah platform terstruktur dan
terencana diperlukan untuk sepenuhnya mengeksplorasi potensi-menginduksi diabetes
polutan lingkungan. Diabetes sekunder dapat terjadi pada pasien yang memakai
glukokortikoid atau ketika pasien memiliki kondisi yang menentang aksi insulin (misalnya,
sindromCushing,akromegali,pheochromocytoma).
Patofisiologi8
Pada diabetas melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi
jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah
lubang kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci (insulin) banyak, tetapi karena
lubang kunci (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan
demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di
samping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi dan normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin.
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor
yang berperan antara lain :
Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel)
Kurang gerak badan
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Faktor keturunan (herediter)
Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Yang
menyolok adalah peningkatan jumlah jaringan amilois pada sel beta yang disebut amilin.
Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu
melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin.
Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai macam
akibat diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah disebabkan adanya
resistensi insulin atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin. Pada sebagian
besar pasien DM tipe 2 mengalami hiperinsulinemia pada awalnya sebagai bentuk
kompensasi terhadap kurangnya glukosa yang masuk ke dalam sel, konsekuensi terjadinya
hiperinsulinemia berkepanjangan adalah terjadinya defiensi insulin yang dalam keadaan ini
relatif.
11
Sel kekurangan sumber enegi dan menimbulkan respon glikogenesis,
glukoneogenesis, dan lipolisis unutk menghasilkan glukosa unutk energi. Hal ini
memperparah hiperglikemia. Penghancuran protein dan lemak tubuh menyebabkan
penurunan berat badan. Glukosa disekresi di urin dalam bentuk diuresis yang selanjutnya
dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh. Pasien menjadi dehidrasi, selalu
merasa haus dan minum air dalam jumlah banyak (polidipsia).
Sekresi insulin residual berarti bahwa seseorang dengan Diabetes melitus tipe 2 tidak
mengalami ketoasidosis diabetik, namun orang tersebut dapat mengalami koma hiperosmolar
non-ketotik (HONK) yang diinduksi oleh hiperglikemia berkepanjangan serta dehidrasi dan
hipernatremia.
Efek dari menderita diabetes melitus dapat bermanifestasi mempengaruhi banyak
sistem dalam tubuh seperti pada mata, ginjal dan pada persarafan (neuropati diabetik). Pada
neuropatik diabetik proses kejadiannya berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang
berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur dipol, sintesis advance glycosilation end
products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan akttivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi
berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun bersama dengan rendahnya mioinositol dalam sel yang terjadi karena efek
hiperglikemia (sorbitol da fruktoda) yang merusak sel saraf. Manifestasi neuropati diabetik
sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan yang terdeteksi dengan pemeriksaan
elektrofisologis, hingga keluhan nyeri hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati
lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.
Rasa yang dikeluhkan pasien karena neuropati diabetik bervariasi mulai dari kesemutan,
kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek, ditikam.
Gejala Klinik1
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut dibawah ini.
Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Penatalaksanaan
12
Medika Mentosa2,9
Macam-macam obat hipoglikemik oral :
Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin bisanya
diberika dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan
dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat
terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindari sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada
laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-
hati pada orang usia lanjut.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa
darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah
diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam
dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin diatas diduga terjadi melalui
peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP activated
protein kinase (AMPK), yang merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan
glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas acetyl Co-A karboksilase
(ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim lipogenik.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia
sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihipoglikemik. Pada
pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh
sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai
20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak
menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonylurea.
Kombinasi sulfonylurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional
karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa
darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal
13
keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat
menurunkan glukosa darah yang lebih banyak.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonylurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan
diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study)
dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan
tunggal metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan
glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonylurea lebih baik
dibandingkan kobinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan
kombinasi metformin dan insulin lebih baik daripada insulin saja.
Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin dan
ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan
bersamaan dengan makanan.
Di samping berpengaruh terhadap glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada
komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogem
activator inhibitor (PAI-1).
Penggunaan dalam klinik. ,etformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai
kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone.
Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa
darah puasa (60-70 mg/dl) dan A1C (1-2%) dibandingkan dengan placebo pada pasien yang
tidak terkendali hanya dengan diet. Efektifitas metformin menurunkan glukosa darah pada
orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi
insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia
dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil
maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak
berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki
konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1C 1,4-2,6 % dibandingkan
14
dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan
sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.
Mekanisme kerja. Glitazone merupakan agonist peroxisome proliferator activated receptor
gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan
target kerja insulin seperti jaringan adipose, oto skelet dan hati, sedang reseptor pada organ
tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiaasi adiposity, dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas
insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT-1, GLUT-4, p85alphaPI-3k dan uncoupling
protein-2 (UCP). Selain daripada itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan
mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin, dll.
Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan
makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam
bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara
klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali
sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5 %
dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi
dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal.
Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonylurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini
digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila
konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea
sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjangg dengan
sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relative murah. Berbagai macam obat
15
golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis
dan mekanisme kerjanya.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin
yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih
mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada
diabetes mellitus tipe 1.
Efek akut obat golongan sulfonylurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama.
Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada
pemakaian jangka lama >12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (bahkan
sampai >20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu dianjurkan
untuk memakai glibenklamid sehari sekali. Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah
puasa lebih besar daripada glukosa sesudah makan, masing-masing sampai 36% dan 21%.
Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah.Pada
pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang.
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana
kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih
besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis
yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup
bermakna.
Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi
glukosa puasa < 200 mg/dl, SU sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara
bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila
glukosa darah puasa >200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya
diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang
diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan
makanan porsi terbesar.
Kombinasi sulfonylurea dengan insulin. Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan
bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa
darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama,
tidak tergantung dari kadar glukosa darah puasanya. Dengan memberikan dosis insulin kerja
16
sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat
dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah
siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasanya.
Kombinasi sulfonylurea dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis
insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat
diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid. Kerjana
juga melalui reseptor sulfonylurea dan mempunyaii struktur yang mirip dengan sulfonylurea
tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme
dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel
pada kompleks sulfonylurea sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Sedang nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa
darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa
postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek
terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk menurunkan A1C tidak begitu kuat.
Penghambat alfa glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Mekanisme kerja. Acarbose merupakan penghambat kuat alpha glukosidasae yang
terdapat pada dinding eritosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis
akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan
memperpanjang peningkatan glukosa darah post-prandial, dan mempengaruhi respons insulin
plasma. Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat
menyebabkan hipoglikemia.
17
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti
meteorismus, flatulence, dan diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi pada
hampir 50% pengguna obat ini. Penghambat alfa glukosidase dapat menghambat
bioavaibilitas metformin jika diberikan bersamaan pada orang normal.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran pencernaan.
Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh
flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh
eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui
feses.
Penggunaan dalam klinik. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai
kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek
maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saar makanan utama. Hal ini perlu karena
merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat
yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau
sesudahnya makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hiperglikemik Oral 1,4
o Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap
o Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obatan
tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24
jam)
o Bila memberikannya bersama dengan obat lain, pikirkanlah keungkian adanya interaksi obat
o Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat
oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin
o Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Insulin2
Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes
tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Ada beberapa jenis; insulin rekombinasi
manusia adalah yang paling sering digunakan, walaupun beberapa pasien lebih memilih
menggunakan insulin sapi atau babi. Sediaan dengan kombinasi yang berbeda antara lama
kerja pendek dengan menengah/ panjang sering digunakan. Analog insulin adalah insulin
18
yang mengalami modifikasi kimiawi, yang lebih singkat sehingga memungkinkan langsung
pemebrian sebelum makan. Obat hipoglikemik oral (misalnya metformin) terkadang
diberikan bersama terapi insulin untuk penderita diabetes tipe 2 untuk memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin.
Indikasi :
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Katoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO hampir maksimal
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar,strok)
Kehamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Table 3 : Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus 10
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah (mg/dL)
- Puasa
- 2 jam postprandial
A1C (%)
Kol.total (mg/dL)
Kol.LDL (mg/dL)
Kol.HDL (mg/dL)
Trigliserida (mg/dL)
IMT (kg/m2)
Tekanan darah (mmHg)
80-100
80-144
<6,5
<200
<100
>45
<150
18,5-23
≤130/80
100-125
145-179
6,5-8
200-239
100-129
150-199
23-25
130-140/80-90
≥126
≥180
≥8
≥240
≥130
≥200
>25
>140/90
Non Medika Mentosa
Terapi Gizi Medis1,2
19
Terapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual. Beberapa manfaat dari terapi gizi medis :
1. Menrunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki proil lipid
5. Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. Memperbaiki sisten koagulasi darah
Tujuan terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah mendekati normal :
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dL
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dL
Kadar A1C <7%
2. Tekanan darah <130/80 mmHg
3. Profil lipid :
Kolesterol LDL <100 mg/dL
Kolesterol HDL >40 mg/dL
Trigliserida <150 mg/dL
4. Berat badan senormal mungkin
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status
kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu juga terdapat beberapa faktor
fisiologis seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada
usia tua, dan lain-lain. Pada infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang
tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus.
Jenis Bahan Makanan1,2
Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetesi tidak boleh
lebih dari 55-65% total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika
dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA). Pada
setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
20
Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori
per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan
protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam
amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.1,4
Lemak. Mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini
sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A,D,E,dan K.
Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetesi karena
terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes.
Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total,
kolesterol VLDL, dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang, dapat melinduni jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit.
Latihan Jasmani 1,2
Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satunya.
Aktivitas minimal dari otot skelet lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal
paru, dibutuhkan oleh semua orang yang termasuk diabetesi sebagai kegiatan sehari-hari,
misalnya bangun tidur, memasak, bekerja, berbicara, berfikir,. Jenis latihan jasmani bagi
diabetesi diantaranya jalan, jogging, berenang dan bersepeda, dengan durasi 30-60 menit.4
Kegiatan fisik diabetisi (tipe 1 maupun 2), akan mengurangi resiko kejadian
kardiovaskular dan meningkatkan angka harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan
ras nyaman, baik secara psikis, fisik maupun sosial dan tampak sehat.
Komplikasi10
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor :
1. Komplikasi metabolik akut
2. Komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.
Komplikasi metabolik akut 10
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang realtif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe-1
adalah ketoasidosis diabetik (KDA).
21
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria
berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak
bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ke- tosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang
jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan
penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian
akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari
potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.
DKA ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin,
(2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin
mempercepat ketoasidosis.
Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat—diberikan melalui infus
intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering—dan infus glukosa dalam air atau
salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan benda
keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga memerlukan
penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada
penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya
dekompensasi diabetik akut dan DKA.
Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan
antibiotika. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi
metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih
tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa
ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa | serum lebih besar dari 600 mg/dl.
Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, d iuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien
dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka
mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian
elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK
tidak terdapat ketosis.
Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi
insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin
mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang
dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi
22
hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,
gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah
laku yang aneh, senso- rium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan
hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan
hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena.
Kadang-kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuskulär
untuk meningkatkan kadar glukosa darah.
Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan
hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang
seringkah meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar
glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah
hipoglikemia adalah dengan | menurunkan dosis insulin, dan dengan demikian menurunkan
hiperglikemia.
Komplikasi Kronik Jangka Panjang 10
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil—
mikroangiopati dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar— makroangiopati.
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina
(retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati \
diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan
peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar
dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan
pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuh-
kan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT.
Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul
15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.
Ada kaitan yang kuat antara Hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya
retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil)
dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat
mengakibatkan kebutaan (Gbr. 63-2). Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati
adalah fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan
parut korioretinai. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800
23
parut yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya
dapat menekan neovas- kularisasi dan perdarahan yang menyertainya.
Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi
nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini,
pasien mungkin memerlukan diálisis atau transplantasi ginjal.
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol
fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga
mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan.
Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar
mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan
mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwarat dan menyebabkan hilangnya akson.
Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati.
Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensai getaran dan proprioseptik, dan
gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot, dan
atrofi. Neuropati dapat menyrang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polioneuropati),
saraf-saraf kranila atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai
diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dan gastroparesis, hipotensi postural,
dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokard
akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap
hipoglikemia dan tidak menyadar i reaksi-reksi hipoglikemia.
Mikroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.
Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi
penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan gangguan ini berupa : (1) penimbunan
sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia dan (3) kelainan pembekuan darah.
Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika
mengenai arteri-arteri perifer, dapat menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai
klaudikasio intermitten dan gangren pada ektremitas serta insufisiensi serebral dan stroke.
Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan
infark miocardium. Diabetes juga mengganggu kehamilan.
Perempuan yang menderita diabetes dan hamil, cenderung mengalami abortus spontan,
kematian janin intrauterin, ukuran janin besar, dan bayi prematur i dengan insidens sindrom
distres pemapasan yang i tinggi, serta malformasi janin. Tetapi, sekarang ini kehamilan ibu-
ibu dengan diabetes telah mengalami j perbaikan berkat pengontrolan glukosa darah yang
lebih ketat selama kehamilan, kelahiran yang dibuat lebih dini, dan kemajuan-kemajuan di
24
bidang I neonatologi dan pena tala ksanaaan komplikasi pada j neonatus. Perubahan
lingkungan hormonal selama hamil menyebabkan peningkatan kebutuhan insulin j yang
progresif, yang mencapai puncaknya pada se- I mester ketiga, dan penurunan tajam
kebutuhan insu- i lin setelah melahirkan.
Bukti klinis dan percobaan sekarang ini menunjukkan bahwa timbulnya komplikasi diabetik
jangka panjang karena kelainan kronik metabolisme disebabkan oleh insufisiensi sekresi
insulin. Komplikasi diabetik dapat dikurangi atau dicegah jika pengobatan diabetes cukup
efektif untuk membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal seperti yang diindikasikan
oleh hemoglobin glikat.
Pentingnya pengontrolan glukosa dalam menurunkan atau menefegah komplikasi
diabetes telah disoroti oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang
merupakan pusat penelitian selama lebih dari 10 tahun. Pasien dengan diabetes tipe I yang
menerima terapi insulin secara efektif dan menurunkan kadar hemoglobin glikat hingga <
70%, 50% hingga 75% mengalami penurunan dalam komplikasi mikroangiopati mayor
termasuk retinopati, nefropati, dan neuropati. Penelitian selama 10 tahun yang dilakukan
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), memperlihatkan pentingnya
pengontrolan glukosa untuk menurunkan risiko komplikasi pada pasien dengan diabetes tipe
2.
Prognosis7
Prognosis dari pasien dengan diabetes mellitus sangat dipengaruhi dari derajat
pengaturan penyakit mereka. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan peningkatakn resiko
komplikasi mikrovaskuler, yang ditunjukkan pada Diabetes Control and Complications Trial
(DCCT) pada individu dengan DM tipe 1 dan United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) pada orang dengan DM tipe 2.
Pengembalian regulasi glukosa menjadi normal selama upaya pencegahan dari
progesitivitas pre diabetes ke diabeters adalah sebuah indicator yang baik untuk
memperlambat progresivotas penyakit dan berhubungan dengan prognosis yang lebih baik.
Pencegahan1,2
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah
orang-orang yang belum sakit. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggungjawab
bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus
mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup beresiko. Menjelaskan
25
kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya.
Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola
makan seimbang adalah alternative terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-
anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional yang
selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan
menurunkankadarkolestrol.
Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan
juga cara hidup beresiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan
olahraga teratur. Dengan menganjurkan olahraga kepada kelompok beresiko tinggi, misalnya
anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat
efektif dan murah.
Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat
menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi,
yaitu penyediaan sarana olahraga yang merata sampai ke pelosok.
Pencegahan Sekunder
Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya
lebih kecil; yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya
tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima
kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah
kadar glukosa harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang
tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus
normal. Dan suapaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa
darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara nonfarmakologis dulu secara maksimal,
misalnya dengan diet dan olahraga, tidak merokok, dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru
menggunakkan obat baik oral maupun insulin.
Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada
pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan
primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit
paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan
keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain yang sudah dapat pelatihan untuk itu. (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil
apabila cakupan pasien diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini berobat
juga harus dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya
26
kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Di AS saja kelompok ini sama besar dengan yang
terdiagnosis, bisa dibayangkan keadaan di Indonesia.
Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru
dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila
diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena reversible. Untuk negara berkembang
termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.
Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosa
ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan
berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang
harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu
agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.
Pencegahan Tersier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam
pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :
Pencegahan komplikasi diabetes yang pada consensus dimasukkan sebagai
pencegahan sekunder.
Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit
organ.
Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali anatara pasien dengan dokter
maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya.
Dalam hal ini peran penyuluhan sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien
untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang
jumlahnya terbatas. Oleh karena itu harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk
keperluan itu yaitu penyuluh diabetes (diabetes educator).
Penutup
Diabetes Melitus tipe II merupakan penyakit metabolic yang ditandai dengan peningkatan
glukosa darah (hiperglikemia) dan disertai gejala utama yaitu polidipsi, poliuri, dan
polifagia.DM tipe II penatalaksaannya adalah dengan diberikan obat-obat yang tergolong
27
Anti Diabetik Oral (ADO, dan apabila tidak mempan terhadap ADO maka dapat diberikan
insulin.
28
Daftar Pustaka
1. Sidartawan S, Ahmad R, Asman M, Imam S, Agung P, Putu M.A,dkk. Konsensus pengelolaan dan pecegahan diabetes mellitus tipe II. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia ;2008.h.1-41.
2. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen penyakit dalam UI;2008.h.1873-95.
3. Diunduh dari :http://monogenicdiabetes.uchicago.edu/what-is-monogenic-diabetes/mody-
maturity-onset-diabetes-of-the-young/, 1 November 2013.
4. Medscape Journal. Latent Autoimmune Diabetes of The Adult. Diunduh dari :
http://www.medscape.com/viewarticle/764562, 1 November 2013.
5. Diunduh dari:http://www.morphostlab.com/direktori-penyakit/metabolic-disease/diabetes-mellitus-diabetes-melitus-metabolic-disease.html, 1 November 2013.
6. Diunduh dari :http://sikkahoder.blogspot.com/2012/05/video-diabetes-dan-cara-diagnosis.html, 1 November 2013
7. Medscape Journal. Type 2 Diabetes Mellitus. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview, 1 November 2013.
8. Schteingart DE. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit dalam: Pankreas :
Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Edisi VI. Vol. II. Jakarta: EGC. h.1259-74.
9. Sulistia GG, Rianto S, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Ed5. Jakarta;
Departemen Farmakologi Universitas Indonesia. h.481-95.
10. Robbins, Contran, Kumar. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG;2004.
29