PBL B16 - IBD 2
description
Transcript of PBL B16 - IBD 2
Inflammatory Bowel Disease: Kolitis UlseratifAndreas Santoso
102012383/ F5
[email protected]/08561336133
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida wacana
A. Pendahuluan
Kolitis ulseratif (KU) merupakan salah satu jenis dari Inflammatory Bowel Disease
(IBD) yang adalah penyakit inflamasi saluran cerna dengan penyebab pasti belum
jelas. Salah satu jenis lain lain dari IBD adalah Penyakit Crohn (PC). Namun jika
tidak dapat dibedakan antara KU dan PC maka dapat disebutkan sebagai
Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit
inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan
radiasi.1
Skenario yang didapat adalah sebagai berikut: “Ny. R, 35 th datang ke poliklinik
umum dengan keluhan saat BAB kotorannya bercampur darah berwarna merah segar
4-5x sejak 3 hr smrs. Pasien juga mengatakan sejak 3 minggu yang lalu BABnya
encer 3-4x/hari, disertai nyeri perut bagian bawah yang hilang timbul. Menurut pasien
keluhan diare ini cukup sering dialami dan hilang timbul sejak 3 tahun lalu, dan biasa
setiap muncul diare bisa berlangsung 1-2 minggu. Pasien mengatakan tidak adanya
daging menonjol yang keluar dari anus saat BAB.
PF: konjungtiva anemis, pf lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang: Hb
9g/dl, leukosit 6000/mm3, HT 29%, trombosit 200.000/mm3.”
B. Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan dengan jelas dan cermat. Karena pasien mengeluhkan
keluhan pada sektor gastrointestinal, terutama pada bagian nyeri abdomen dan diare,
1
maka pertanyaan-pertanyaan yang diberikan akan difokuskan kepada kedua hal
tersebut.2
Pada anamnesis, hal pertama yang harus ditanyakan adalah mengenai identitas pasien,
meliputi nama, umur, alamat tempat tinggal, serta pekerjaan sehari-hari. Identitas
lengkap lainnya dapat ditambahkan secara bebas. Selanjutnya anamnesis akan
diarahkan kepada keluhan utama, yang merupakan alasan utama pasien datang kepada
dokter. Tidak lupa untuk menanyakan sudah berapa lama pasien mengalami hal
tersebut. Selanjutnya anamnesis akan diarahkan lebih dalam mengenai keluhan utama
tersebut.
Pada skenario, keluhan utama pasien adalah saat BAB kotoran bercampur darah
merah segar, encer dan ada nyeri perut bagian bawah yang hilang timbul..
Anamnesis pada kasus diatas akan ditujukan lebih dalam mengenai nyeri perut dan
diare berdarah yang dialami oleh pasien.2
Setelah menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan nyeri perut
serta diare, kita sudah bisa mereka-reka menuju kepada kolitis ulseratif. Pertanyaan-
pertanyaan yang harus ditanyakan adalah riwayat mengenai infeksi apa yang pernah
dialami pasien, riwayat penggunaan obat (antibiotik dan NSAIDs), riwayat merokok,
dan riwayat keluarga yang pernah mengalami hal serupa, atau ada penyakit inflamasi
yang diperantarai autoimun lainnya seperti psoriasis, multiple sclerosis, dan lain-lain),
serta polip atau kanker kolon. 3
Selain adanya gejala diare berdarah, hal lain yang harus diperhatikan/ditanyakan
adalah buang air besar pada malam hari, inkontinensia, penurunan berat badan,
demam, dan gejala-gejala ekstraintestinal lainnya seperti artritis, sakit pada punggung,
lesi kulit, pembengkakan pada mata, dan ulserasi oral, untuk menentukan derajat
keparahannya penyakit. Pada wanita harus ditanyakan siklus menstruasinya karena
akan berhubungan dengan perjalanan penyakit dan terapinya lebih lanjut.3
Pemeriksaan Fisik
Untuk melakukan pemeriksaan fisik abdomen yang baik, kita memerlukan: (1)
penerangan/cahaya yang baik, (2) pasien yang rileks, dan (3) pajanan abdomen yang
penuh dari daerah di atas prosesus sifoideus hingga simfisis pubis. Daerah inguinal
harus dapat dilihat. Genitalia harus tetap ditutupi. Otot-otot abdomen harus lemas
untuk mempermudahkan pelaksanaan semua aspek pemeriksaan khususnya palpasi.2
2
Langkah-langkah yang dapat mempermudah dalam pemeriksaan abdomen adalah
sebagai berikut:2
Pasien harus sudah mengosongkan kandung kemihnya.
Buat pasien nyaman berbaring terlentang dengan sebuah bantal di kepalanya
dan juga di bawah lututnya.
Minta pasien meletakkan kedua lengannya pada sisi tubuh, jangan
menaruhnya di atas kepala karena posisi tersebut akan meregangkan dan
mengencangkan otot-otot abdomen sehingga palpasi sulit dilakukan.
Sebelum memulai palpasi, minta pasien menunjuk daerah yang nyeri, dan
periksalah daerah tersebut paling akhir.
Hangatkan tangan dan stetoskop, hindari kuku yang panjang.
Lakukan pendekatan secara perlahan, hindari gerakan cepat yang tidak
terduga. Amati wajah pasien dengan seksama untuk menemukan setiap tanda
yang menunjukkan rasa nyeri atau ketidaknyamanan.
Alihkan perhatian pasien dengan percakapan atau pertanyaan. Jika pasien
merasa takut atau geli, mulai palpasi dengan tangan pasien berada di bawah
kedua tangan kita. Sesudah beberapa saat, sisipkan tangan di bawah tangan
pasien dan lakukan palpasi secara langsung.
Inspeksi
Dimulai dari posisi berdiri lazimnya disebelah kanan tempat tidur pasien, lakukan
inspeksi abdomen. Ketika memeriksa kontur abdomen dan mengamati gerakan
peristaltis, ada baiknya dilakukan dengan membungkuk atau duduk agar dapat melihat
dengan jelas. Dalam inspeksi, yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:2
Kulit, yang meliputi: jaringan parut (sikatriks), striae (stretch marks, berwarna
perak), vena yang berdilatasi, ruam dan lesi. Striae berwarna merah muda-
ungu dapat ditemukan pada sindrom Cushing. Vena yang berdilatasi
ditemukan pada sirosis hepatis atau obstruksi vena kava inferior.
Umbilicus, amati kontur dan lokasinya, dan setiap tanda-tanda inflamasi atau
hernia.
Kontur abdomen, apakah:
o Rata, buncit (protuberan) atau skafoid (sangat cekung atau konkaf)?
3
o Bagian pinggang terlihat membenjol atau terdapat benjolan setempat?
(ikut sertakan pemeriksaan daerah inguinal dan femoral). Pinggang
yang membenjol ditemukan pada asites, pemeriksaan daerah inguinalis
dan femoralis untuk menemukan hernia.
o Abdomennya simetris? Ketidaksimetrisan abdomen disebabkan karena
adanya organ yang membesar atau massa.
o Terdapat organ atau massa yang dapat diraba? (cari pembesaran hati
atau lien yang teraba di bawah tepi iga).
Peristalsis, diamati jika kita mencurigai obstruksi intestinal. Dapat terlihat
normal pada orang yang sangat kurus.
Pulsasi, pulsasi aorta yang normal sering terlihat di daerah epigastrium.
Peningkatan pulsasi terjadi pada aneurisma aorta atau peningkatan tekanan
nadi.
Palpasi
Pemeriksaan palpasi dikenal sebagai palpasi ringan dan palpasi dalam. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:2
Palpasi ringan: pemeriksaan meraba abdomen secara lembut, terutama
membantu kita untuk mengidentifikasi nyeri tekan pada abdomen, resistensi
otot, dan beberapa organ serta massa yang letaknya superfisial. Temukan
setiap organ atau massa yang letaknya superfisial dan setiap daerah dengan
nyeri tekan atau dengan peningkatan resistensi pada tangan pada palpasi.
Palpasi dalam: biasanya palpasi diperlukan untuk menentukan batas-batas
massa abdominal. Sekali lagi, gunakan permukaan ventral jari-jari tangan dan
lakukan pada keempat kuadran abdomen. Kenali setiap massa dan perhatikan
lokasi masa tersebut, ukuran, besar, konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, dan
temukan korelasi antara hasil pemeriksaan palpasi dengan bunyi yang
ditemukan pada perkusi.
Perkusi
Perkusi dilakukan untuk membantu menilai jumlah serta distribusi gas di dalam
abdomen dan mengenali kemungkinan adanya massa yang padat atau berisi cairan.
Lakukanlah perkusi secara ringan pada keempat kuadran abdomen untuk menilai
4
distribusi bunyi timpani dan redup. Biasanya bunyi timpani lebih dominan karena
keberadaan gas di dalam traktus gastrointestinal.2
Perhatikan setiap daerah bunyi redup yang luas yang menunjukkan adanya massa atau
pembesaran organ di balik daerah tersebut. Hasil observasi ini akan mengarahkan
palpasi yang dilakukan. Pada sisi abdomen yang membuncit, perhatikan terjadinya
perubahan bunyi timpani menjadi redup yang menandakan keberadaan struktur padat
di belakangnya.2
Auskultasi
Auskultasi memberikan informasi penting mengenai motilitas usus. Dengarkan
abdomen sebelum melakukan perkusi dan palpasi karena kedua manuver ini dapat
merubah frekuensi bunyi usus. Auskultasi dapat mengungkapkan bunyi bruits, yaitu
bunyi vaskular yang menyerupai bising jantung di daerah aorta atau pembuluh arteri
lainnya di abdomen. Terdengarnya bunyi ini menandakan adanya pembuluh darah
yang tersumbat.2
Dengarkan bunyi usus, perhatikan frekuensi dan sifatnya. Bunyi normal terdiri atas
bunyi dentingan (click) dan gemericik (gurgles) yang terdengar dengan frekuensi
yang diperkirakan 5-34 kali per menit. Kadang dapat terdengar borborigmi, yaitu
bunyi gemericik (gurgles) yang panjang dan lama karena hiperperistaltis (bunyi ini
sering disebut sebagai “bunyi perut yang kosong”). Karena bunyi usus menjalar
secara meluas ke seluruh abdomen, biasanya auskultasi dilakukan pada satu titik saja
seperti pada kuadran kanan bawah, biasanya sudah cukup.2
Pemeriksaan Fisik Terkait Kolitis Ulseratif
Pada kebanyakan pasien dengan kolitis ulseratif, pemeriksaan fisik memberikan hasil
yang normal, termasuk pemeriksaan fisik abdomen. Pada pemeriksaan fisik yang
paling mungkin memberikan perbedaan adalah adanya rasa nyeri ringan pada bagian
kiri bawah (kolon sebelah kiri) yang terasa pada saat palpasi dalam. Pemeriksaan fisik
yang terlihat abnormal secara signifikan terjadi hanya pada kasus yang sangat berat,
di mana nyeri yang dirasakan juga lebih parah. Pada kolitis ulseratif, manifestasi
perianal tidak ditemukan. Jika ada manifestasi perianal seperti hemoroid yang besar,
fisura-fisura, abses, atau fistula, maka diagnosis akan lebih mengarah kepada penyakit
Crohn dibandingkan dengan kolitis ulseratif.3
5
Tanda-tanda anemia yang muncul adalah pucatnya konjungtiva dan bantalan kuku.
Pasien kolitis ulseratif juga dapat menunjukkan gejala lain seperti inflamasi okular,
eritema nodosum, pioderma gangrenosum, atau hingga artritis pada sendi-sendi
besar.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yang dicurigai kolitis ulseratif
adalah pemeriksaan darah lengkap. Jika pasien dengan kolitis ulseratif yang cukup
aktif maka akan ditemukan peningkatan CRP, hitung trombosit, ESR, dan penurunan
Hb. Fecal lactoferin cukup menjadi marker yang sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi inflamasi pada intestinal. Pada kasus berat, level albumin serum dapat
menurun cukup signifikan. Leukositosis dapat terjadi tapi tidak merupakan indikator
yang spesifik untuk menentukan aktivitas penyakit. Pemeriksaan yang mungkin dapat
menentukan tingkat keparahan penyakit adalah hematocrit, ESR, dan level serum
albumin. Pemeriksaan mikrobiologi pada feses penting untuk menentukan apakah
penyebab penyakit merupakan infeksi atau tidak.3-5
Fecal Markers
Penanda utama dalam kolitis ulseratif adalah adanya infiltrasi neutrofil di dalam
kripta sel epitel dan lamina propria dan berhubungan dengan eksudasi neutrofil pada
feses di dalam lumen kolon. Tidak adanya leukosit pada feses menyingkirkan adanya
inflamasi dan mengacu kepada hal lain yang berupa kelainan struktural ataupun iritasi
kolon.3
Calprotectin, yang berasal dari sel granulosit, calcium binding protein, dapat
digunakan sebagai penilaian diagnostik untuk mengidentifikasi adanya diare
inflamatorik dan aktivitas inflamasi yang terjadi. Sama halnya dengan lactoferin, yang
merupakan protein granulosit neutrofilik yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan
latex agglutination assay atau dengan polyclonal antibody-based enzyme linked
immunoassay, dapat digunakan untuk membedakan antara IBD atau irritable bowel
syndrome (IBS).3
Serological Markers
6
Pemeriksaan diagnostik serologi terbaru untuk mengidektifikasi IBD adalah
pemeriksaan adanya ANCA (Anti Neutophil Cytoplasmic Antibody) dan pANCA
(Perinuclear Anti Neutrophilic Cytoplasmic Antibodies). Pengembangan terus
dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas dan spefisitas dari tes serologi ini.
Progresivitas penelitian semakin menunjukkan antigen yang dituju oleh antibodi
pANCA tersebut.3
Prevalensi pANCA pada pasien dengan kolitis ulseratif berkisar antara 50%. Berbeda
dengan predominansi pANCA pada penyakit kolitis ulseratif, antibodi terhadap
Saccharomyces cerevisiae (ASCA-anti saccharomyces cerevisiae antibody) lebih
spesifik ditemukan pada pasien dengan penyakit Crohn dan positif pada 40-60%
pasien.3
Pada akhirnya, untuk bisa membedakan antara kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn
tidak bisa dengan mendeteksi pANCA pada pasien dengan kolitis yang masih belum
diketahui penyebabnya. Hasil serologi pANCA+ ASCA- lebih sering ditemukan pada
pasien kolitis ulseratif dibandingkan dengan penyakit Crohn dengan sensitivitas 44%-
58% dan spesifitas 81%-98%. Sebaliknya, pANCA- dan ASCA+ memiliki sensitivitas
30%-64% dan spesifitas 92%-97% untuk penyakit Crohn.3
Endoskopi
Kolitis ulseratif hampir selalu bisa didiagnosa dengan menggunakan endoskopi,
memeriksa rectum dan colon sigmoideum. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD
adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil meragukan. Endoskopi akan
menunjukkan inflamasi yang kontinu, difus, yang mulai terlihat dari rektum,
kemudian menjalar ke arah proksimal. Berdasarkan data beberapa RS di Jakarta
menunjukkan lokalisasi KU pada rektum dan rektosigmoid sebesar 80%, 12% pada
kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).1,3
Mukosa colon yang normal dan sehat adalah halus dan berkilau, memantulkan cahaya
endoskopi, dan memperlihatkan percabangan vascular dari mukosa kolon. Jika
terdapat inflamasi, maka mukosa kolon akan menjadi edema, eritematosa, lebih
bergranular, sehingga pantulan cahaya menjadi acak dan tidak beraturan. Mukosa
yang berganulasi dapat halus atau kasar. Kasarnya mukosa yang bergranula tersebut
menunjukkan adanya pinpoint ulceration dan berhubungan dengan tingkat
kerapuhannya (dapat menyebabkan pendarahan spontan ataupun pendarahan karena
skope yang dimasukkan).3
7
Gambaran endoskopi yang terlihat pada KU yang ringan adalah eritema, gambaran
vaskularisasi mulai menghilang, dan kerapuhan yang ringan. Gambaran endoskopi
pada KU yang sedang adalah eritema yang jelas, kehilangan gambaran vaskularisasi,
kerapuhan, dan erosi. Sedangkan pada KU yang berat terlihat adanya ulserasi dan
pendarahan spontan. Gambaran histologi berubah lebih lambat dibandingkan dengan
gejala klinisnya, tapi tetap dapat digunakan untuk menilai tingkat aktivitas penyakit.4
Ketika KU mulai menyembuh, maka perubahan mukosa terlihat dengan sangat jelas.
Mukosa kolon menyembuh dengan pertumbuhan jaringan granulasi untuk
menggantikan ulserasi yang telah terjadi, dan hingga akhirnya terjadi pemulihan
gambaran vaskularisasi pada mukosa kolon, namun gambaran tidak terlihat jelas atau
bahkan tidak jelas sama sekali karena percabangan vaskularisasi tidak terlalu banyak
yang ireguler. Pada area yang mengalami inflamasi lebih parah, pertumbuhan jaringan
granulasi terlihat lebih jelas dan mengalami reepitelisasi berbentuk pseudopolip
postinflamasi. Pseudopolip yang terbentuk bervariasi antara ukuran dan bentuknya,
dan sering berbentuk seperti finger-like projections. Jika ulserasi yang terjadi lebih
berat, maka bisa terbentuk mucosal bridges. Pseudopolip yang terbentuk tidak
memiliki potensi neoplasma sama sekali, namun sulit untuk membedakannya dengan
polip adenoma lainnya. Terutama jika memang pasien mengalami KU yang sangat
berat, maka pembentukan pseudopolip tersebut dapat menutupi seluruh mukosa,
sehingga menyebabkan kesulitan untuk mendeteksi adanya polip adenoma.3
Pada KU yang parah, endoskopi dapat tetap dilakukan, namun hanya oleh dokter yang
sudah sangat berpengalaman, untuk dapat menentukan tingkat keparahan pada
perubahan mukosa kolon, seberapa dalam ulserasi yang terjadi, untuk akhirnya
mengarah kepada prognosis dan terapi yang akan dilakukan. Kolonoskopi dan biopsi
dapat juga digunakan untuk membantu melihat apakah ada komplikasi berupa infeksi
seperti C. difficile.3
Imaging
Penggunaan barium konvensional untuk mendiagnosis dan menilai KU sudah
digantikan dengan pemeriksaan endoskopi. Namun pemeriksaan radiologi dapat
menjadi tambahan selain endoskopi pada kasus-kasus klinik tertentu. Foto polos
abdomen dapat digunakan untuk menentukan kolitis yang berat dimana garis batas
adanya udara pada kolon dapat mendemonstrasikan ada tidaknya haustrasi atau
dilatasi pada kolon (untuk menyingkirkan megakolon toksik).3
8
Kelainan spesifik pada KU yang mungkin dapat dilihat dengan kontras barium enema
adalah hilangnya haustrasi pada bagian yang mengalami inflamasi, lesi striktur,
fistulasi, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus atau polip, penebalan dinding usus,
gambaran kolon yang terlihat seperti memendek, dan peningkatan jarak/ruang antara
sakrum dengan rektum. Pemeriksaan barium enema dikontraindikasikan pada pasien
dengan KU berat karena berpotensi terjadinya perforasi atau dapat menginduksi
terjadinya megakolon toksik.1,3
Diagnosis Kerja
Inflammatory Bowel Disease adalah penyakit inflamasi kronik remiten dan progresif
yang melibatkan seluruh saluran cerna serta mukosa kolon, berkaitan dengan risiko
peningkatan karsinoma kolon dan penyebab pasti yang tidak diketahui sampai saat ini.
IBD secara klinis dibagi menjadi dua yaitu penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulseratif
(KU).
Kolitis Ulseratif ditandai dengan inflamasi mukosa difus yang terbatas hanya pada
kolon saja. KU terdiri dari prokitis (terbatas pada rectum), proktosigmoitidis (rectum
dan sigmoid), left side colitis (rectum hingga flexura lienalis), extensive colitis
(hingga flexura hepatica) dan pancolitis (mengenai seluruh kolon). 1,3,4
Diagnosis kerja pada skenario ini adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang
mengarah kepada kolitis ulseratif (KU).
Alur Diagnosis
Secara praktis, diagnosis IBD didasarkan kepada: (1) anamnesis yang akurat
mengenai adanya perjalanan penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-remisi
diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta ada tidaknya riwayat keluarga; (2) gambaran
klinik yang sesuai dengan ketentuan poin pertama; (3) data laboratorium yang
menyingkirkan penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya infeksi
gastrointestinal. Eksklusi penyakit Tuberkulosis sangat penting mengingat gambaran
klinisnya mirip dengan PC. Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk
IBD; (4) temuan endoskopik yang khas dan didukung konfirmasi histopatologik; (5)
temuan gambaran radiologik yang khas; (6) pemantauan perjalanan klinik pasien yang
bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.1
9
Diagnosis Banding
Penyakit Crohn
KU dan PC memiliki kemiripan dengan penyakit-penyakit lainnya. Langkah pertama
juga harus bisa membedakan antara KU dengan PC, yang merupakan satu bagian
dalam IBD. Sekali pasien didiagnosa menderita IBD, menentukan antara KU atau PC
terkadang tidak dapat langsung dilakukan, hingga sekitar 15% kasus. Pada keadaan
ini dinamakan sebagai indeterminate colitis. Tetapi, gejala-gejalanya akan semakin
spesifik seiring dengan berjalannya penyakit tersebut. Juga pada sekitar 5% kasus (1-
20% kasus) tidak dapat membedakan KU dengan PC melalui spesimen reseksi kolon
karena gambaran histologik yang saling overlapping.4
Simtom PC lebih bervariasi, PC ditandai dengan inflamasi transmural dan dapat
mengenai semua bagian di saluran cerna. PC dapat berupa inflamasi, fistula dan
striktur. Gejala sistemik seperti malaise, anoreksia, dan demam lebih sering
ditemukan di PC
Kolitis Infeksi
Infeksi pada kolon dan usus kecil dapat menyerupai KU ataupun PC. Dapat berupa
bakteri, jamur, virus, hingga protozoa. Kolitis yang disebabkan oleh Campylobacter
dapat memiliki kemiripan dengan KU pada endoskopi, dan juga dapat menimbulkan
relaps seperti pada KU. Infeksi Salmonella juga dapat menyebabkan diare cair
ataupun berdarah, nausea, dan muntah. Shigellosis juga dapat menyebabkan diare
cair, nyeri perut, demam, dan dapat diikuti dengan rectal tenesmus (rasa tidak puas
saat BAB), juga dapat diikuti adanya darah dan lendir yang berasal dari rektum.
Ketiga infeksi di atas biasanya merupakan self-limited disease, tetapi sekitar 1%
pasien yang terinfeksi Salmonella menjadi carier yang asimtomatik.4
Infeksi Yersinia enterocolitica terjadi biasanya pada ileum terminal dan dapat
menyebabkan ulserasi mukosa, invasi neutrofil, hingga penebalan dinding ileum.
Infeksi bakteri lainnya yang dapat menyerupai IBD adalah: (1) infeksi C. difficile,
yang dapat menyebabkan diare cair, tenesmus, nausea, hingga muntah; (2) infeksi E.
coli, dengan strain-strain yang dapat menyerupainya adalah enterohemoragik,
enteroinvasif, dan enteroadherent E.coli, di mana ketiganya dapat menyebabkan diare
10
yang berdarah, serta nyeri abdomen. Diagnosis untuk kolitis yang disebabkan oleh
bakteri ini adalah kultur feses dan analisa toksin C. difficile.4
Divertikulitis
Diverkulitis dalam membedakannya dengan KU cukup sulit, baik secara klinis
ataupun radiografi. Keduanya dapat menyebabkan demam, nyeri abdomen,
leukositosis, meningkatnya ESR, obstruksi parsial, dan fistula. Satu-satunya cara
membedakan adalah dengan dilakukannya endoskopi, karena pada diverkulitis tidak
terjadi perubahan mukosa yang drastis seperti pada KU, serta pada diverticulitis dapat
terlihat adanya lubang kantong-kantong yang terlihat dari lumen usus. Namun harus
tetap diingat bahwa endoskopi dilakukan ketika pasien sedang tidak dalam masa
diare, karena ditakutkan jika divertikulitis sedang dalam fase akut, maka ketika
dilakukan endoskopi dapat terjadi perforasi.4,6
Epidemiologi
Fakta menunjukkan bahwa rasio terjadinya KU antara pria dan wanita sama begitu
pula dengan kerabatnya, yaitu PC. KU biasanya lebih sering terjadi pada umur
remaja/dewasa muda (15-30 tahun), namun juga dapat terjadi pada umur yang cukup
tua yaitu sekitar 60-80 tahun. Orang berkulit putih memiliki prevalensi KU lebih
tinggi dibandingkan dengan bukan orang berkulit putih. Kelompok bersosioekonomi
tinggi lebih banyak terjadi kasus KU dibandingkan dengan kelompok
bersisioekonomi rendah.4
Efek dari merokok rupanya dapat meningkatkan resiko terjadinya KU sebesar 40%
dibandingkan mereka yang tidak merokok. Bahkan mantan perokok sekalipun masih
memiliki resiko 1.7 kali lebih besar terkena KU dibandingkan dengan mereka yang
sama sekali tidak pernah merokok. Bukti lain menunjukkan bahwa appendectomy
memberikan proteksi terhadap KU, namun meningkatkan resiko terjadinya PC, yaitu
segera setelah appendectomy, namun resiko akan terus menurun. Hal ini dapat
menjadi faktor pendukung diagnosis yang penting bagi mereka yang baru saja terkena
PC setelah appendectomy.4
Pada 5-10% pasien yang terkena IBD, merupakan kasus yang bersifat familial. Pasien
ini biasanya menunjukkan gejala yang lebih awal, yaitu pada umur yang masih cukup
muda. Jika kedua orang tua menderita IBD, maka masing-masing anaknya akan
11
memiliki resiko IBD sebesar 36%. IBD juga dapat terjadi/berhubungan dengan
adanya gangguan pada genetik, seperti pada Turner’s syndrome dan Hermansky-
Pudlak syndrome.4
Etiologi dan Patogenesis
Sampai saat ini belum ada penjelasan pasti apa yang menyebabkan terjadinya IBD.
Namun diduga IBD merupakan penyakit multifaktor yang bisa disebabkan oleh faktor
genetik, mikrobiota usus, lingkungan, sistem imun dan faktor pejamu.
Faktor genetik
penelitian menunjukan bahwa penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD.
Peluang untuk terkena KU sekitar 6%-17%. Kelainan kromosom 16 , 5 dan
perinuclear antinetrophi antibody (pANCA) sering ditemukan pada penderita IBD.1,3
Faktor lingkungan
beberapa agen infektius diduga sebagai penyebab IBD, namun isolasi agen infeksius
dari mukosa tidak dapat membuktikan hubungan etiologi begitu juga dengan
pemberian antibiotik yang tidak efektif pada IBD. Selain agen infektius, faktor
makanan seperti pajanan susu sapi atau makanan diduga ikut berperan mencetuskan
terjadinya IBD. 1,3
Faktor Imunologi
setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan
regulasi yang menetap dan mengakibatkan proses inflamasi. Kerusakan ini dipicu
oleh aktivasi antibodi dan komplemen yang sering ditemukan pada KU. Pemberian
kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme kelainan
kekebalan. 1,3
Integritas Epitel
kelainan pada barier epitel mukosa dapat meningkatkan pajanan antigen terhadap
kekebalan usus. 1,3
Manifestasi Klinis
Gejala utama pada KU adalah diare, pendarahan rectal, tenesmus, adanya lendir, dan
nyeri abdomen. Tingkat keparahan gejala menunjukkan tingkat keparahan penyakit.
12
Kadang-kadang diare berdarah terjadi berselang-seling dan ringan, sehingga pasien
seringkali tidak mencari bantuan medis.4
Diare berdarah meruapakan maifestasi utama dari KU. Pasien dengan proktitis
biasanya akan mengeluarkan darah segar atau darah dengan lendir, yang dapat
bercampur dengan feses maupun hanya pada permukaan feses saja. Jika penyakit
mulai menyebar ke arah yang lebih dalam, maka darah akan bercampur dengan feses.
Motilitas kolon terganggu karena adanya inflamasi, sehingga waktu transit di usus
menjadi lebih cepat. Jika penyakitnya sangat berat, feses yang keluar berupa cair dan
mengandung darah, pus, serta lendir. Diare biasanya terjadi pada malam hari ataupun
postprandial. Gejala nyeri abdomen menjadi kekhasan pada KU, di mana nyeri terasa
pada regio LLQ pada abdomen. Gejala lain yang dapat muncul adalah demam,
anoreksia, nausea, vomiting, dan penurunan berat badan.4
Tabel 1. Gambaran klinis IBD1
Gambaran Klinis Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn
Diare kronik ++ ++
Hematokesia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen - ++
Fistulasi -/+ ++
Stenosis/striktur + ++
Usus halus -/+ ++
Rektum 95% 50%
Ekstraintestinal + +
Megakolon toksik + -/+
Tabel 2. Kriteria Trulove untuk KU1
Variabel Ringan Berat Fulminan
Diare/hari <4 >6 >10
Feses berdarah Intermiten Sering Selalu
Suhu (oC) Normal >37,5 >37,5
Nadi/menit Normal >90 >90
Hemoglobin Normal <75% normal Perlu transfuse
13
LED 30 (mm/jam) >30 (mm/jam) >30 (mm/jam)
Radiografi kolon Udara, edematous,
thumbprinting
Dilatasi
Tanda klinik Abdominal
tenderness
Abdominal
distention and
tenderness
Komplikasi
Hanya sekitar 15% pasien dengan KU menunjukkan adanya nyeri yang sangat hebat
pada abdomen. Pendarahan yang hebat terjadi pada kasus yang berat sebagai serangan
hebat pada sekitar 1% pasien, dan biasanya treatment ditujukan untuk menghentikan
pendarahan. Namun, jika pasien membutuhkan 6-8 unit darah dalam 1-2 hari, maka
kolektomi harus dilakukan.4
Toxic megacolon adalah pembesaran pada colon transversa atau colon descendens
dengan diameter >6 cm, dengan kehilangan haustrasi, dan terjadi pada KU yang berat.
Keadaan ini terjadi pada 5% kasus dan dapat dipicu oleh adanya abnormalitas
elektrolit dan narkotika. Sekitar 50% dari kasus pembesaran/dilatasi akut ini dapat
diselesaikan dengan terapi medikamentosa saja, tetapi pada pasien yang tidak
memberikan respon apa-apa harus dilakukan kolektomi.4
Perforasi merupakan komplikasi lokal yang paling berbahaya, karena pemeriksaan
fisik peritonitis tidak terlalu jelas, terutama karena pasien juga menerima terapi
berupa glukokortikoid. Meskipun perforasi biasanya jarang terjadi, tingkat
mortalitasnya mencapai 15%.4
Striktura juga dapat terjadi pada 5-10% pasien dan menjadi perhatian utama karena
dapat menuju kepada neoplasma. Meskipun striktura yang ringan/jinak dapat berasal
dari inflamasi dan fibrosis yang terjadi pada KU, stiktura yang tidak dapat dilewati
dengan kolonoskopi harus dianggap/diasumsikan sebagai neoplasma ganas sebelum
tindakan pembuktian dilakukan. Striktura yang tidak dapat dilewati dengan
kolonoskopi merupakan indikasi dilakukannya tindakan pembedahan.4
14
Penatalaksanaan
Terapi IBD bertujuan untuk meringankan respons radang secara keseluruhan. Namun,
tidak ada senyawa yang dapat mencapai tujuan tersebut, dan respons setiap pasien
terhadap pemberian obat sangat terbatas dan tidak dapat diperkirakan. Tujuan spesifik
farmakoterapi IBD meliputi pengendalian keparahan akut penyakit tersebut,
pemeliharaan keadaan tanpa gejala, dan penanganan komplikasi spesifik seperti
fistula. Obat-obat tertentu cocok untuk satu atau dua tujuan ini. Sebagai contoh,
glukokortikoid menjadi untuk terapi pilihan untuk flare sedang hingga parah, namun
tidak sebagai terapi jangka panjang karena efek samping, dan ketidakmampuannya
mempertahankan keadaan penyakit tanpa gejala.8
Selama beberapa tahun, glukokortikoid dan sulfasalazine menjadi pilihan utama untuk
IBD. Saat ini, obat-obatan yang digunakan untuk keadaan inflamasi/imun, seperti
azatioprin dan siklosporin, digunakan untuk IBD. Senyawa-senyawa biologis telah
dikembangkan dan dapat menarget langkah tunggal dalam reaksi bertahap sistem
imun.8
Terapi Berbasis Mesalamin/Aminosalisilat
Terapi lini pertama untuk KU ringan-sedang biasanya melibatkan mesalamin (asam 5-
aminosalisilat, atau 5-ASA). Obat yang mengandung 5-ASA rupanya berhasil
digunakan untuk terapi IBD. 5-ASA berbeda dengan asam salisilat hanya dengan
penambahan grup asam amino pada posisi ke 5 (meta). Aminosalisilat diharapkan
dapat bekerja secara topical (tidak sistemik) pada mukosa gastrointestinal. 8,9
Sulfasalazine merupakan salah satu contoh obat oral pertama yang dihantarkan secara
efektif di bagian distal saluran GI. Ikatan azo (N=N) pada sulfasalazine mencegah
absorbsi pada lambung dan usus halus, serta setiap komponen tersebut tidak
dibebaskan untuk absorbsi hingga bakteri di kolon memutuskan ikatan tersebut.8,9
Dosis sulfasalazine adalah 4 g/hari yang dibagi menjadi 4 dosis bersama dengan
makanan. Untuk menghindari efek yang merugikan, dosis ditingkatkan secara
bertahap dimulai dari dosis awal 500 mg dua kali sehari Untuk pasien dengan KU
yang parah, sulfasalazine akan kurang efektif walaupun ditambahkan dengan
glukokortikoid sistemik. Efek samping sulfasalazine terjadi pada 10-45% pasien dan
terutama berkaitan erat dengan gugus sulfa. Beberapa efek samping berkaitan dengan
dosis, termasuk sakit kepala, mual, dan letih. Reaksi-reaksi ini dapat diminimalkan
15
dengan pemberian obat bersama dengan makanan atau dengan mengurangi dosis.
Reaksi alergi dapat saja terjadi berupa Steven-Johnson, dan sebagainya. Sulfasalazine
menurunkan jumlah dan motilitas sperma secara reversibel, namun tidak
mempengaruhi fertilitas wanita. Sulfasalazine juga menghambat absorpsi folat di
usus, sehingga biasanya pemberian sulfasalazine ditambahkan dengan asam folat.8
Glukokortikoid
Walaupun glukokortikoid terkenal sangat efektif untuk mengatasi eksaserbasi akut,
banyak tantangan dan kekeliruan yang terjadi dalam penggunaannya untuk terapi
IBD, dan biasanya digunakan untuk tingkat sedang hingga parah.8
Pada gastrointestinal, glukokortikoid yang biasa digunakan adalah prednisone dan
prednisolone. Predinison diberikan 40-60 mg per hari, dosis yang lebih tinggi
umumnya tidak efektif. Pada kasus yang lebih parah dapat diberikan hidrokortison
atau metilprednisolon secara intravena.8,9
Sediaan baru yang berupa controlled-release telah tersedia untuk dapat melepas obat
pada distal ileum dan kolon, di mana ia akan diserap, dan bioavaibilitasnya mencapai
10%. Budesonide dengan dosis 9 mg/hari selama 10-12 minggu cukup memberikan
hasil yang efektif.8,9
Senyawa Imunosupresan
Ada 3 jenis senyawa imunosupresan yang dapat digunakan untuk terapi IBD, yaitu
tiopurin, metotreksat, dan siklosporin.8
Derivat tiopurin bersifat sitotoksik, yaitu merkaptopurin dan azathioprin, digunakan
untuk mengobati IBD yang parah atau pasien yang resisten terhadap steroid, atau
bergantung pada steroid. Kedua obat ini dapat saling menggantikan satu sama lain
dengan penyesuaian dosis yang tepat. Dosis azatiophrin adalah 2-2,5 mg/kg dan
merkaptopurin 1,5 mg/kg.8
Metotreksat (MTX) biasanya digunakan pada pasien IBD yang resisten terhadap
steroid, atau bergantung pada steroid. MTX lebih cocok diberikan parenteral sebesar
15-25 mg/minggu. Namun efikasinya pada KU belum diteliti lebih jauh karena lebih
banyak digunakan pada PC.8
Siklosporin efektif untuk KU parah yang gagal terapi glukokortikoid memadai.
Antara 50%-80% pasien yang parah ini mengalami perbaikan yang cukup signifikan
16
umumnya dalam 7 hari, dengan dosis intravena 2-4 mg/kg/hari, bahkan dapat
menghindari dilakukannya kolektomi darurat.8
Terapi Anti-TNF
Infliximab merupakan immunoglobulin chimera (25% mencit, 75% manusia) yang
berikatan pada dan menetralisir TNF-alfa, salah satu sitokin utama yang memerantarai
karakteristik respon imun TH-1. Infliximab dapat diberikan secara intravena dengan
dosis sebesar 5 mg/kg.8
Terapi Antibiotik
Antibiotik dapat digunakan untuk: (1) terapi tambahan bersama obat-obatan lain
untuk IBD aktif; (2) terapi untuk komplikasi spesifik PC; (3) profilaksis untuk
kekambuhan pada PC pascaoperasi. Hal ini menunjukkan bahwa terapi antibiotik
lebih ditujukan kepada PC daripada KU.8
Prognosis
Prognosis selalu bergantung kepada tingkat keparahan penyakit. Diagnosis yang tepat
dan cepat dan tentu terdiagnosa pada tingkat penyakit ringan, dapat memberikan
prognosis yang baik. Prognosis sewaktu-waktu dapat berubah tergantung dengan
respons pasien terhadap pengobatan, dan sebagainya.
C. Kesimpulan
Kolitis ulseratif adalah salah satu jenis dari inflammatory bowel disease selain
penyakit Crohn. Penanda utama diagnosis pada KU adalah perjalan penyakit yang
kronis dengan eksaserbasi akut, diare berdarah dan berlendir, terdapat tanda-tanda
anemia, pada pemeriksaan feses lengkap tidak ditemukan adanya bakteri, serta
terdapat nyeri tekan pada LLQ. Hal ini sesuai dengan skenario yang ada di mana laki-
laki berusia 36 tahun tersebut mengalami nyeri perut yang sudah hilang timbul selama
satu tahun, dan mengalami diare dengan darah dan lendir. Terdapat nyeri tekan LLQ
dan pada pemeriksaan feses lengkap tidak ditemukan adanya bakteri. Tanda lain yang
17
ditemukan adalah adanya anemia (Hb 10 g/dL), sehingga pasien ini didiagnosis
menderita kolitis ulseratif.
D. Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 591-7.
2. Bickley LS. Bates: buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi ke-8.
Jakarta: EGC; 2009. h. 326-32; 339-44.
3. Yamada T. Textbook of gastroenterology. 5th ed. Volume 1. USA: Blackwell
Publishing; 2009. p. 1387; 1393-400.
4. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison’s principles of
internal medicine. Volume 2. 18th ed. USA: The McGrawHill Companies; 2012.
p. 2477-87.
5. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The
McGrawHill Companies; 2010. p. 582-3.
6. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology: the biologic
basis for disease in adults and children. 6th ed. Missouri: Mosby Elsevier; 2010. p.
1471.
7. Kumar, Abbas, Aster. Robbins basic pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2013. p. 784-5.
8. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & gillman: manual
farmakologi dan terapi. Jakarta: EGC; 2011. h. 616-23.
9. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic & clinical pharmacology. 12 th ed.
USA: The McGrawHill Companies; 2012. p. 1101-3.
18