Overfishing Makalah

30
HUKUM PERIKANAN “Penangkapan Berlebihan (Overfishing)” Dibimbing Oleh: Dr. Ir. Ismadi, MS Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Genap Matakuliah Hukum dan Peraturan Perikanan Disuun oleh: Ulva Choirul M (135080500111097) Nela Maulina F (135080500111098) Septi Pradita Y (135080501111005) Reza Opisar H (135080501111008) BUDIDAYA PERAIRAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

description

ini makalah

Transcript of Overfishing Makalah

HUKUM PERIKANANPenangkapan Berlebihan (Overfishing)Dibimbing Oleh:Dr. Ir. Ismadi, MSMakalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Genap Matakuliah Hukum dan Peraturan PerikananDisuun oleh:Ulva Choirul M (135080500111097)Nela Maulina F (135080500111098)Septi Pradita Y (135080501111005)Reza Opisar H (135080501111008)

BUDIDAYA PERAIRANMANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS BRAWIJAYA2015 BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangLuas perairan laut Indonesia diperkirakan memiliki luasan sekitar + 5,8 juta km2 (termasuk Zona Ekonomi Eksklusif) yang merupakan 2 per tiga dari luas wilayahnya. Dengan perairan laut yang luas tersebut didalamnya terdapat potensi sumber daya hayati perikanan yang tinggi dan sudah lama dimanfaatkan masyarakatnya. Setidaknya terdapat + 6000 jenis ikan yang belum teridentifikasi semuanya yang merupakan sumber daya hayati perikanan yang potensial apabila dikelola pemanfaatannya secara optimal tanpa menganggu kelestariannya sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.Sebanyak 72,44% sumber daya ikan Indonesia, yaitu 92 dari 127 spesies dan kelompok spesies ikan, di seluruh 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) telah dieksploitasi maksimal (fully exploited) atau mengalami tangkapan berlebih (over fishing). Tersisa 27,56% atau 35 spesies dan kelompok spesies ikan yang masih bisa dimanfaatkan dengan status tingkat eksploitasi sedang.Ikan adalah sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih atau dapat memperbaharui diri. Namun demikian sumberdaya ini bukannya tidak tak terbatas. Untuk itu sumberdaya ikan tersebut harus diatur dan dikelola secara baik, sebab tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan penangkapan ikan berlebih (over fishing). Penangkapan ikan yang berlebihan telah menjadi suatu masalah sebagai akibat dari populasi manusia yang semakin meningkat, kebijakan perikanan "akses terbuka (open access) dan sumberdaya bersama (shared resources). Pauly et al. dalam Strategi Segitiga Karang (RARE-2010) melaporkan bahwa hasil tangkapan ikan dunia telah menurun karena penangkapan ikan berlebihan sejak akhir tahun 1980-an.

Perikanan Indonesia pada periode tahun 2000-2006 telah menghasilkan devisa US$ 2,10 milyar dari ekspor hasil perikanan (DKP 2007). Nilai perikanan Indonesia berdasarkanlanding value pada tahun 2006 menghasilkan US$ 91 milyar dari perikanan tangkap, dan budidaya US$79 milyar seperti dicatat oleh FAO (2009). Selain itu, perkembangan produksi perikanan tangkap juga diperlihatkan oleh Indonesia, yaitu tercatat 800.000 ton pada tahun 1968 dan meningkat tajam menjadi lebih dari 4 juta ton pada tahun 2003. FAO mengemukakan bahwa indikasioverexploitation stok ikan ekonomis penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata, konflik global dalam pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam keberlanjutan perikanan dalam jangka panjang dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan.

1.2 Tujuan Adapun tujuan penulis dari pembuatan makalah ini antara lain: Mahasiswa mampu memahami penjelasan mengenai overfishing (penangkapan berlebih) Mahasiswa dapat mengetahui penyebab terjadinya overfisihng Mahasiswa mampu menjelaskan dampak penangkapan ikan yang berlebih (overfishing) Mahasiswa mampu mengatasi masalah over fishing di Indonesia Mahasiwa mamapu mengetahui kebijakan yang dibuat dan hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Overfishing1.3 Rumusan masalahRumusan masalah pada makalah ini antara lain: Apa yang disebut dengan overfishing ? Apa saja yang menyebabkan terjadinya overfishing? Bagaimana dampak yang ada jika terjadi overfishing? Bagaimana pemerintah mengatasi overfishing di Indonesia?

BAB IIPEMBAHASAN2.1 Definisi OverfishingOverfishing dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang Biologi, overfishing dapat diartikan sebagai tingkat mortalitas penangkapan yang lebih besar dari titik maksimum. Dari sisi yang lebih sederhana, overfishing berarti upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Secara umum, ciri-ciri perikanan yang mulai mengalami tangkap lebih adalah waktu melaut yang lebih lama, lokasi penangkapan yang semakin jauh, ukuran mata jaring semakin kecil, yang kemudian diikuti dengan penurunan produktivitas (hasil tangkapan per trip). Ada 6 bentuk over fishing yang terjadi. Pertama, growth overfishing,tangkap lebih yang diakibatkan oleh penangkapan stok ikan sebelum sempat tumbuh menjadi individu yang cukup dewasa sehingga tidak bisa menutupi penurunan stok karena kematian alami. Pada kasus ini, tangkap lebih dapat diatasi dengan cara pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan. Bentuk kedua dari overfishing adalah recruitment overfishing, tangkap lebih yang mengakibatkan jumlah indukan tidak cukup banyak untuk melakukan rekrutmen bagi stok tersebut. Beberapa upaya yang direkomendasikan untuk mencegah terjadinya recruitment overfihing adalah proteksi terhadap sejumlah stok induk yang memadai. Ketiga, biological overfishing, kondisi tangkap lebih gabungan dari growth dan recruitment overfishing yang diakibatkan penangkapan stok melebihi kemampuan stok untuk mencapai MSY (maksimum sustainable yield). Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern). Bentuk keempat dari tangkap lebih adalah economic overfishing, tangkap lebih dimana upaya penangkapan melampaui usaha yang dibutuhkan untuk mencapai MEY (maksimum economic yield) dan upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari kondisi ini adalah dengan memperbaiki pengelolaan dan upaya penangkapan. Kelima, ecosystem overfishing yang terjadi karena perubahan komposisi jenis stok sebagai akibat dari upaya penangkapan berlebihan pada spesies target (yang menghilang) dan tidak digantikan sepenuhnya oleh spesies pengganti. Bentuk terakhir dari overfishing adalah malthusian overfishing, tangkap lebih karena masuknya tenaga kerja baru, yang sebelumnya bekerja di darat, dan berkompetisi dengan nelayan tradisional untuk mengambil stok dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. (Widodo, 2008)Secara global, keadaan overfishing merupakan keadaan yang sudah sangat serius untuk ditangani. Semakin lama jumlah armada semakin bertambah menjadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan 10 tahun yang lalu dengan peralatan teknologi yang semakin canggih tanpa memperhatikan jumlah ketersediaan ikan dan species laut lainnya di alam. Misalnya di Inggris, berdasarkan pemberitaan di Media Indonesia edisi 11 Mei 2010, bahawa, nelayan di Inggris harus berupaya lebih keras untuk mengais sisa-sisa ikan di perairan mereka. Mereka harus bekerja 17 kali lebih keras untuk menangkap ikan dengan jumlah yang sama dengan 120 tahun yang lalu. Hal itu disebabkan karena peralihan dari penggunaan dari kapal layar ke kapal motor yang berteknologi tinggi. Penangkapan berlebih menjadi masalah karena berdasarkan data yang diperoleh oleh organisasi Food and Agriculture Organization (FAO) yang dipublikasikan 2 tahun sekali menyebutkan bahwa lebih dari 80% stok ikan di dunia mengalami eksploitasi berlebihan atau telah dihabiskan atau dalam status kolaps. Dan secara global, stok predator di laut sudah habis sekitar 90%. Hal ini merupakan kasus yang serius karena populasi dari predator tingkat akhir merupakan kunci indikator dari ekosistem yang sehat. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Sebagian besar perairan Indonesia telah mengalami overfishing. Hampir separuh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia mengalami tangkap lebih yang sangat parah untuk ikan karang dan lobster, sementara lebih dari separuh WPP Indonesia telah mengalami tangkap lebih untuk udang penaeid (PRPT-BRKP dan PPPO-LIPI, 2002). Hal ini diperparah pula dengan masih digunakannya data tangkapan per unit usaha serta model Maximum Sustainable Yield (Tangkapan Maksimum Lestari) yang beresiko terhadap kelestarian dan keuntungan jangka panjang perikanan Indonesia (Mous dkk.2005). Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Indonesia bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap yang sangat besar baik dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Beberapa sumber daya perikanan laut di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over exploitasi. Kondisi overfishing ini tidak hanya disebabkan karena tingkat penangkapan yang melampaui potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan akibat pencemaran dan degradasi fisik ekosistem perairan sebagai tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut tropis. Selain itu juga,pembangunan yang tidak ramah lingkungan, pemberian ijin untuk perikanan tangkap yang melebihi quota dan pencurian ikan dari Negara asing juga merupakan penyebab terjadinya penurunan ketersediaan ikan di Indonesia.

2.2 Penyebab OverfishingOverfishing mendorong banyak populasi ikan komersial penting dalam penurunan tajam misalnya ikan cod Kanada utara. Ada beberapa penyebab dari penangkapan ikan yang berlebihan, seperti:1. Kenaikan pesat dalam permintaan untuk produk perikanan yang mengarah untuk meningkatkan harga ikan lebih cepat daripada harga daging:Selama beberapa dekade terakhir, kenaikan besar permintaan terutama untuk ikan laut dan produk perikanan laut yang mengarah untuk meningkatkan harga ikan lebih cepat daripada harga daging. Harga ikan meningkat yang mendorong orang untuk melakukan penangkapan ikan karena teknologi tinggi, harga tinggi dan keuntungan yang tinggi. Akibatnya, investasi perikanan telah menjadi lebih menarik bagi pengusaha dan pemerintah, banyak merugikan masyarakat nelayan skala kecil dan nelayan di seluruh dunia. Dalam dekade terakhir, di wilayah Atlantik utara, populasi ikan komersial cod, semacam ikan, haddock telah jatuh sebanyak 95%, yang diperlukan langkah-langkah mendesak untuk mengaturnya. Beberapa bahkan merekomendasikan nol tangkapan untuk memungkinkan regenerasi ikan. Ikan laut adalah sumber utama untuk omega 3 dan asam lemak -6 dengan jenis nutrisi seperti Ca, vitamin A dan D, dan yang membantu untuk meningkatkan kesehatan manusia dengan rasa yang diinginkan manusia dan mengurangi kadar kolesterol dalam tubuh manusia. Oleh karena itu dari hari ke hari permintaan produk ikan meningkat sangat dan itu mengarah pada penangkapan yang berlebihan.2. Kemajuan teknologi penangkapan Yang Cepat:Sebagian besar masalah yang terkait dengan penangkapan ikan yang berlebihan telah menyebabkan dalam 50 tahun terakhir dengan pesatnya kemajuan teknologi penangkapan. Kapal nelayan akan diganti dengan kapal pabrik besar yang dapat tinggal di laut selama berminggu-minggu pada suatu waktu. Dalam kapal ini seperti pabrik yang memiliki semua peralatan yang diperlukan baik untuk membekukan atau mengolah ikan yang tertangkap oleh kapal berburu mereka, sehingga mereka perlu kembali ke dasar hanya ketika kapasitas kapal mereka sudah penuh. Dengan diperkenalkannya kapal yang dilengkapi alat dan tempat pengolahan, ada pertumbuhan 7% dalam penangkapan ikan setiap tahun selama tahun 1950-an dan 60-an, tetapi sejak itu telah ada sedikit peningkatan dalam ukuran tangkapan, dan setidaknya 20 jenis ikan dunia yang paling penting telah menghilang di 25 tahun terakhir, dengan penderitaan yang lebih parah dari penangkapan ikan yang berlebihan bahwa mereka tidak mungkin untuk dipulihkan . Sebagai hasil tangkapan secara bertahap menjadi lebih kecil, sehingga ukuran jaring yang digunakan dalam jaring ikan telah menurun, sehingga ikan yang lebih kecil dan lebih kecil juga ditangkap. Banyak dari mereka adalah terlalu kecil untuk digunakan sebagai makanan, sehingga mereka dihancurkan untuk dibuat menjadi makanan hewan atau pupuk. Setiap GRT pada tahun 1995 dapat menangkap 4 kali lebih banyak ikan sebagai GRT yang sama pada tahun 1970.3. Peningkatan dramatis penggunaan teknik penangkapan ikan yang merusak:Peningkatan dramatis penggunaan teknik penangkapan ikan yang merusak dan menghancurkan dunia perikanan, mamalia laut dan seluruh ekosistem. Seiring dengan tumbuhnya armada pertumbuhan jaring ikan juga terjadi, tetapi beberapa di antaranya sangat non selektif. Tidak mungkin untuk menangkap hanya spesies ikan yang diinginkan, penangkapan ikan non-target ini disebut bycatch. Bycatch merupakan semua binatang yang tertangkap tetapi tidak ingin atau digunakan atau diperlukan untuk dibuang (Somma 2003). Ini termasuk species langka atau dilindungi, ikan yang secara hukum tidak boleh ditangkap, atau mereka yang memiliki nilai komersial. Diperkirakan bahwa bycatch membentuk seperempat dari semua ikan yang ditangkap, tetapi sebagian besar bycatch yang mati sebelum dilemparkan kembali ke air. Peralatan ini seperti jaring purse seine, pancing rawai, pukat trawl dan sangat berbahaya bagi lingkungan. Mereka cenderung untuk menangkap ikan remaja, burung dan hewan nontarget lainnya. Trawl sangat berbahaya, mereka menghasilkan bycatch signifikan sementara merusak lingkungan karena mereka diseret di sepanjang dasar laut.4. Menggunakan jaring mesh size yang lebih kecil:Memancing menggunakan jaring yang tidak pandang bulu. Setiap ikan yang masuk di jalan bersih akan terperangkap di dalamnya jika mereka terlalu besar untuk melewati mesh. Untuk setiap ton salah satu dari udang tertangkap, tiga ton ikan lainnya yang dibunuh dan dibuang. 20.000 lumba meninggal setiap tahun dalam jaring nelayan salmon di Samudra Atlantik dan Pasifik dan puluhan ribu lumba-lumba dibunuh setiap tahun oleh nelayan tuna. Beberapa ikan laut hidup di bagian atas air. Mereka disebut 'pelagis' ikan, dan tertangkap oleh jaring hanyut. Di sinilah jaring ditangguhkan dari mengapung ditarik antara dua perahu sehingga ikan berenang ke dalamnya. Ikan tidak dapat berenang mundur, jadi setelah mereka tertangkap dalam jaring, tidak ada pelarian kecuali mereka cukup kecil untuk masuk melalui mesh net.5. Lebih banyak waktu, tenaga dan uang di sektor perikanan:Karena ini adalah menguntungkan sehingga orang menginvestasikan lebih banyak uang dan waktu di sektor ini daripada waktu sebelumnya.

. 6 Terbukanya akses ke penangkapan ikan:Dalam 25 tahun terakhir, jumlah nelayan di seluruh dunia telah lebih dari dua kali lipat. Di kebanyakan negara berkembang, masyarakat miskin tidak memiliki pilihan selain "untuk mengumpulkan terakhir dari sumber daya". Akses gratis dan terbuka mendorong overfishing sebagai nelayan cenderung menangkap ikan sebanyak yang mereka bisa tanpa merawat untuk menjaga stok ikan.

7 . Sumber daya perikanan bersifat milik umum, sehingga akses tidak diatur ke banyak sumber dayaFAO melaporkan bahwa karena sifatnya milik bersama dari sumber daya perikanan, sehingga akses tidak diatur ke banyak sumber daya ilegal, di seluruh dunia dilaporkan dan tidak diatur memancing tampaknya meningkat sebagai nelayan berusaha untuk menghindari aturan ketat di banyak tempat dalam menanggapi hasil tangkapan menyusut dan menurun ikan saham. 8 Subsidi dari pemerintah untuk industri perikanan :Saat ini, tidak ada wilayah penangkapan ikan di dunia yang tidak tidak menderita dari keputusan pengelolaan perikanan yang dirancang untuk memenuhi ekonomi jangka pendek atau tujuan politik ( atau keduanya ) daripada melindungi laut lingkungan dan melestarikan populasi ikan . Memang, di banyak negara, pemerintah telah memainkan peran penting dalam mendorong perluasan berlebihannya kapasitas nelayan dan eksploitasi berlebihan dengan menyediakan subsidi menguntungkan. Uni Eropa menghabiskan sejumlah besar uang pada apa yang banyak akan menggambarkan sebagai industri yang sedang lesu. Memang ada argumen yang valid bahwa usaha penangkapan ikan di Uni Eropa harus dibiarkan mati. Namun dampak politik dari ini akan menjadi besar. Sebetulnya subsidi di sektor Perikanan tidak sesuai dengan jumlah orang yang bekerja di dalamnya (kurang dari 1% dari angkatan kerja).Sebuah studi Bank Dunia memperkirakan bahwa subsidi, meskipun menurun, masih senilai sampai $ 20 miliar per tahun. Subsidi perikanan terkadang menyediakan lapangan kerja di daerah pesisir miskin dan membantu negara-negara mengembangkan industri perikanan mereka. Namun, sebagian besar waktu, subsidi yang sama mendorong perusahaan untuk mengembangkan teknologi tinggi penangkapan ikan dan dengan demikian menyebabkan overfishing.

Menurut Sofiah Hidayat, selaku Kepala Seksi Evaluasi Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perikanan tujuannya cenderung untuk meningkatkan produktivitas usaha perikanan. Dari usaha perikanan salah satu yang diharapkan adalah memperoleh keuntungan usaha yang tinggi, usaha perikanan merupakan kegiatan ekonomi yang akan menepatkan prioritas motivasi ekonomi menjadi yang paling depan dan utama, hal ini dapat mengakibatkan gejala lebih tangkap (Overfishing). 6 Ada beberapa faktor penyebab Overfishing, antara lain : a) Penggunaan kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang produktivitasnya tinggi. b) Illegal Fishing c) Unreported Fishing d) Unregulated Fishing

Pemerintah Indonesia harus segera mengupayakan mekanisme yang efektif sebagai upaya penanggulangan overfishing yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

2.3 Dampak OverfishingApabila penangkapan yang berlebih (Overfishing) terjadi disuatu perairan maka akan terjadi berbagai dampak negatif yang aka ditimbulkan antara lain: 1. Produksi perikanan terus menurun setiap tahunnya.Pandangan nelayan di Indonesia yang memiliki keyakina bahwa ikan dilaut tidak akan habis harus dihilangkan. Karena mindset itu membuat para nelayan atau perusahaan besar penangkap ikan akan menangkap ikan sebesar mungkin. Apabila hal ini terus terjadi maka akan menurun produksi ikan, karena pertumbuhan ikan tidak semua cepat dan penangkapan terus terjadi setiap hari.2. Makin mengecilnya ukuran ikan Penangkapan yang terjadi setiap hari di suatru tempat yang sama dan tidak ada pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. Maka dari hari kehari akan mengecil ukuran ikan yang ditangkapa. Karena ikan yang berukuran besar sudah mulai habis/3. Hilangnya beberapa spesies tangkapan utama 4. Pengrusakan habitat ekosistem laut Alat tangkap yang makin canggih membuat kerukan pada ekosistem laut. Terutama pada alat taangkap yang bisa mencapai dasar. Komonitas yang tidak seharusnya terangkat menjadi terbawa ke atas (tertangkap).5. Keseimbangan rantai makanan terganggu Adanya overfishing (penangkapan yang berlebih) mebuat rantai makanan terganggu karena. Akan memutus rantai makanan disuatu perairan. 6. Mata pencaharian ekonomi menurun Jika di perairan terus ditangkap berlebih maka akan mengurangi jumlah ikan. Yang akan menyebabkan nelayan akan kesulitan mencari ikan di laut. 7. Kondisi terumbu karang buruk Dampak dari overfishing jika terjadi teru smenerus adalah kerusakan pada terumbu karang. Karena alat tangkap yang canggih hingga mencapai dasar membuat terumbu karang juga terangkat bahkan jika terkenea alat tangkap sedikit saja bisa merusak terumbu karang.

2.4 Mengatasi Dampak OverfishingOverfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Gejala dari terjadinya overfishing tersebut antara lain : Jumlah (berat dan ukuran) Tangkapan Ikan Berkurang, Hilangnya beberapa jenis ikan, dan Lokasi penangkapan Ikan Semakin Jauh dari Wilayah Pesisir. Berdasarkan penyebab terjadinya, overfishing dibagi menjadi 6 (enam) jenis, yaitu Growth overfishing, Recruitment overfishing, Biological overfishing, Economic overfishing, Ecosystem overfishing, dan Malthusian overfishing (Widodo,J.2008). Tabel 1. Dibawah ini menjelaskan tentang jenis, pengertian dan pencegahan overfishing yang mengacu pada Buku, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan LautTabel 1. Jenis, Pengertian dan Pencegahan OverfishingNo.Jenis OverfishingPengertian /PenyebabPencegahan

1.Growth overfishing

Penangkapan Ikan sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran

1. Pembatasan upaya penangkapan2. pengaturan ukuran mata jaring3. penutupan musim atau daerah penangkapan

2.Recruitment overfishing

Penangkapan terhadap suatu stok ikan sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur.proteksi (misalnya: melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock, broodstock) yang memadai.

3.Biological overfishing

Tingkat penangkapan ikan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY (Maximum Sustainable Yield). Kombinasi dari growth overfishing dan recruitment overfishing.Pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern).

4Economic overfishing

Tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghadilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari penangkapan.Perbaikan pengelolaan perikanan

5Ecosystem overfishing

Suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok ikan sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis pengganti.1. Pengaturan upaya penangkapan2. Penutupan musim atau daerah penangkapan

6Malthusian overfishing

Penangkapan ikan berlebihan yang disebabkan oleh masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktifitas berbasis darat (land-based activities) kedalam perikanan , pantai dalam jumlah yang berlebihan yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak.

1. Pembatasan upaya penangkapan2. Penegakan hukum dan aturan tentang destruktif fishing

Taman Nasional Wakatobi sebagai salah satu kawasan konservasi laut yang masuk dalam cakupan wilayah "Segitiga Karang". Kawasan perairan ini merupakan pusat keanekaragaman hayati laut. Di daerah ini memiliki 500 atau lebih species terumbu karang, 3.000 species ikan dan berbagai inverterbrata yang tiada bandingnya. Wilayahnya membentang seluas hampir 6 Juta Km2 dan karangnya mendukung mata pencaharian 126 juta orang dan kebutuhan protein dari jutaan orang lainnya. Karang di wilayah ini diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar US $ 2,3 Milyar per tahun (The Nature Concervancy,2008).

2.5 Kebijakan Pemerintah Mengatasi OverfishingKebijakan pemerintah terkait peningkatan produksi perikanan terlihat mengabaikan fenomena overfishing, namun bukan berarti pemerintah menutup mata dengan adanya kejadian tersebut. Hal ini tercemin dari beberapa kebijakan yang dibuat dalam rangka menekan laju terjadinya overfishing, diantaranya :Kebijakan pembatasan alat tangkap dengan menetapkan besar lubang mata jaring. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan selektifitas alat tangkap, sehingga yang tertangkap hanya spesies target saja, sedang spesies lain dapat lolos keluar melalui lubang jaring tersebut. Sebagai contoh, pada alat tangkap purse sein, jaring angkat, dan jala tebar. Kebijakan diversifikasi alat tangkap. Dimaksudkan agar nelayan tidak bergantung pada salah satu jenis alat tangkap saja, melainkan dapat memilih jenis alat tangkap yang lain dengan spesies target yang berbeda.

Kebijakan pengendalian alat tangkap melalui mekanisme perizinan. Beberapa kapal penangkap dalam skala tertentu harus memiliki surat izin penangkapan untuk dapat beroperasi di wilayah perairan sekitar pulau maupun di Zona Ekonomi Eksklusif, khusus untuk mengatasi persoalan pencurian ikan oleh Kapal Ikan Asing dan, pemerintah menempuh beberapa cara, antara lain :a. Menempatkan armada Angkatan Laut di wilayah-wilayah perbatasan laut Indonesia. b. Membentuk satuan Polairut (Polisi Perairan dan Laut) di bawah Polda untuk mengatasi pelanggaran yang terjadi didalam wilayah perairan Indonesia. c. Membentuk satuan Pengawas Jagawana di bawah Kementerian Kehutanan untuk menjaga wilayah-wilayah konservasi laut yang berada di dalam tanggung jawab Kementerian Kehutanan.

Sedangkan menurut Amrullah (2013) menyatakna bahwa Meski kebijakan pemerintah terkait peningkatan produksi perikanan terlihat mengabaikan fenomena over fishing, namun bukan berarti pemerintah menutup mata dengan adanya kejadian tersebut. Hal ini tercemin dari beberapa kebijakan yang dibuat dalam rangka menekan laju terjadinya over fishing, diantaranya : Kebijakan pembatasan alat tangkap dengan menetapkan besar lubang mata jaring. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan selektifitas alat tangkap, sehingga yang tertangkap hanya spesies target saja, sedang spesies lain dapat lolos keluar melalui lubang jaring tersebut. Contoh : pada alat tangkap purse sein, jaring angkat, dan jala tebar. Kebijakan diversifikasi alat tangkap. Dimaksudkan agar nelayan tidak bergantung pada salah satu jenis alat tangkap saja, melainkan dapat memilih jenis alat tangkap yang lain dengan spesies target yang berbeda. Pembentukan kawasan konservasi laut dibeberapa tempat yang dianggap masih memiliki potensi plasma nutfah yang cukup tinggi. Seperti Takabonerate, dan Wakatobi. Kebijakan pengendalian alat tangkap melalui mekanisme perizinan. Beberapa kapal penangkap dalam skala tertentu harus memiliki surat izin penangkapan untuk dapat beroperasi di wilayah perairan sekitar pulau maupun ZEE. Terkhusus untuk mengatasi persoalan pencurian ikan oleh KIA dan destructive fishing, pemerintah menempuh beberapa cara, antara lain : Menempatkan armada AL di wilayah-wilayah perbatasan laut Indonesia Membentuk satuan Polairut (Polisi Perairan dan Laut) dibawah Polda untuk mengatasi pelanggaran yang terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia. Membentuk satuan Pengawas Jagawana dibawah Kementerian Kehutanan untuk menjaga wilayah-wilayah konservasi laut yang berada di dalam tanggung jawab Kementerian Kehutanan.Dari sisi penegakan hukum, pemerintah sudah menyiapkan perakat hukum untuk menjerat pelaku pelanggaran baik pencurian ikan maupun penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, diantaranya :1. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan (Perubahan dari UU No. 31 tahun 2004)2. UU No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi ikan3. UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir, laut dan Pulau-pulau kecilFaktanya, tidak satupun solusi dari pemerintah tersebut yang mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Pertama, tentang kebijakan penentuan besar lubang mata jaring, alih-alih mengendalikan alat tangkap yang kurang selektif, malah melalui kebijakan Pemerintah yang lain alat tangkap yang sudah terbukti kurang selektif (bila tidak ingin dikatakan tidak selektif sama sekali) yaitu trawl dicabut larangan penggunaannya di Indonesia. Hal ini berpotensi menjadi alat justifikasi bagi alat tangkap jaring lainnya yang level selektifitasnya masih berada di atas pukat harimau (trawl) tadi. Selain itu, lemahnya pengawasan di tingkat produksi alat tangkap hingga di tingkat pengguna menjadi faktor lain tidak efektifnya kebijakan ini.

Kedua, tentang kebijakan diversifikasi alat tangkap. Secara empiris, disuatu wilayah yang masih kaya dengan sumberdaya ikan cenderung nelayan hanya menggunakan satu jenis alat tangkap saja. Misalnya di pulau Jinato Takabonerate yang masih kaya dengan sumberdaya ikan tongkol dan tuna, maka hampir semua nelayan penangkap memiliki alat tangkap yang sama untuk menangkap ikan target tersebut. Sebaliknya, di wilayah-wilayah yang mulai terasa dampak over fishing, nelayan cenderung melakukan diversifikasi alat tangkap, tujuannya untuk mendapatkan hasil tangkapan baru dikarenakan tangkapan target utama mulai berkurang. Menurut Masyhuri, justru hal seperti ini sangat berbahaya karena pada kenyataannya justru lebih memperparah kerusakan di tempat yang sebelumnya sudah mengalami over eksploitasi. Kasus ini banyak dijumpai di perairan sekitar kepulauan Spermonde.

Ketiga, tentang kebijakan pembentukan kawasan konservasi laut. Hal ini merupakan penyikapan pemerintah dalam mengatasi semakin meluasnya kerusakan ekosistem perairan yang berimplikasi pada menurunnya hasil tangkapan dan berkurangnya keragaman jenis spesies yang pada gilirannya mengancam kestabilan sumberdaya. Pemerintah mencanangkan hingga tahun 2020 Indonesia harus memiliki KKL seluas 20 juta ha. Pada tahun 2010, Indonesia sudah memiliki KKL seluas 14.223.984 ha (Amrullah, 2010), jadi masih ada kurang lebih 6 juta ha KKL yang akan dibentuk. Untuk mencapai terget tersebut, Pemerintah pusat mendorong setiap daerah/kabupaten yang memiliki wilayah perairan untuk membentuk KKL yang sifatnya otonom. Sebagai imbalannya pemerintah pusat akan memberikan insentif secara berkala kepada daerah/kabupaten yang mempunyai KKL untuk memelihara KKL tersebut. Namun, pada kenyataannya, luas KKL memang bertambah secara kuantitatif, tapi tidak disertai dengan penambahan sarana dan prasarana pengawasan serta SDM yang memadai. Pemerintah mengakui kendala utama untuk melakukan penguatan disektor pengawasan adalah besarnya biaya operasionalnya. Sehingga, jalan lain yang ditempuh adalah dengan cara menerapkan pengelolaan KKL berbasis masyarakat (Community Based Management CBM), dimana masyarakat dilibatkan mulai dari proses inisiasi hingga pengawasannya. Hal ini diharapkan akan mampu menekan biaya operasional. Cara ini ternyata juga kurang efektif, karena masyarakat yang dilibatkan memiliki ketergantungan hidup yang sangat tinggi terhadap sumberdaya laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa sandang, pangan dan papan. Selama kemiskinan masih terjadi, fasilitas dan layanan kesehatan masih langka dan mahal, bahan bakar masih sulit didapat dan mahal, maka alih-alih melakukan pengawasan, justru masyarakat sendirilah yang banyak melakukan pelanggaran terhadap zona larang tangkap (No Take Zone Area) dalam KKL tersebut.

Keempat, kebijakan pengendalian alat tangkap melalui mekanisme perizinan. Terbukti dalam banyak survey dan Penelitian cara ini tidak membuahkan hasil yang maksimal. Kendala utamanya adalah perilaku beberapa oknum aparat yang menyalahgunakan wewenang. Aksi sogok menyogok antara pemilik kapal atau alat tangkap dengan pihak yang berwenang menjadi rahasia umum dikalangan aparat dan masyarakat. Sehingga izin penangkapan sangat mudah didapatkan meskipun pada kenyataanya alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan tersebut bersifat destructive (Asti, 2010).

Kelima, Penempatan armada AL di wilayah perbatasan laut Indonesia kurang maksimal. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, jumlah armada yang sangat minim untuk menjaga wilayah perairan Indonesia yang sangat luas menjadi satu persoalan mendasar mengapa banyak KIA lolos masuk ke perairan Indonesia dengan mudahnya. Selain itu, sarana dan prasarana bagi pengawasan tergolong sangat minim, seperti yang diakui oleh Komandan Gugus Keamanan Laut Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama Pranyoto yang mengungkapkan bahwa dalam sehari, kapal patroli TNI AL butuh minimal 5 ton solar untuk patroli di wilayah laut Natuna dengan jumlah armada 4 unit kapal. Kami harus memastikan benar setiap informasi sebelum mengerahkan KRI. Kalau ternyata tidak benar, hanya menghabiskan BBM yang terbatas, ujar Pranyoto. Keenam, perangkat hukum yang disediakan untuk menjerat para pelaku masih terkesan longgar dan memiliki banyak celah, sehingga sama sekali tidak memberikan efek jera. Salah satu contoh, pada pasal 93 ayat 2 UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan disebutkan bahwa kegiatan illegal fishing mendapat sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp. 20 Milliar rupiah. Sementara, kerugian negara akibat kegiatan illegal fishing seperti yang dilaporkan terjadi di Malaku Tenggara saja mencapai Rp. 31,1 trilliun per tahun (Rastra, 2008).

Contoh lain, pada pasal 85 UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan disebutkan : Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Peraturan ini dipakai untuk menjerat para pelaku destructive fishing seperti pengguna bahan peledak dan bius, namun celahnya terbuka lebar pada 2 hal, yaitu (1) barang bukti harus ditemukan di atas perahu atau kapal dan (2) barang buktinya harus dalam keadaan sudah terakit dalam wujud alat bantu penangkapan ikan. Sehingga, meski diketahui suatu kapal melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, tapi bila diperiksa kapal tersebut dan tidak ditemukan alat yang sudah terakit utuh sebagai sebuah bom ikan, melainkan masih dalam bentuk bahan dasarnya yaitu berupa pupuk, botol dan sumbu secara terpisah, maka ia tidak dapat dijerat dengan undang-undang ini.