otoritas jasa keuangan.pdf

188
DAFTAR ISI Dari Redaksi ............................................................................ Abstrak Artikel: Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Oleh: Wisnu Indaryanto ................................................................... Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan Oleh: Zulkarnain Sitompul ............................................................... Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Oleh: Wiwin Sri Rahyani .................................................................. Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Lembaga Perbankan Syariah Oleh: Hasbi Hasan .......................................................................... Masalah Penyidik dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan di Indonesia Oleh: Wahyu Wiriadinata ................................................................. Akibat Hukum dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia Oleh: Rudy Hendra Pakpahan ........................................................ Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan Oleh: Khopiatuziadah ...................................................................... Catatan Singkat terhadap Undang-Undang Republik Indo- nesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Oleh: Nova Asmirawati .................................................................... Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik Oleh: Serafina Shinta Dewi ............................................................. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Mengadili Perkara Pemberian Grasi Oleh: R. Tony Prayogo ...................................................................... Biodata Penulis ISSN: 0216-1338 iii 333 - 342 343 - 360 361 - 372 373 - 394 395 - 412 413 - 424 425 - 448 449 - 458 459 - 476 477 - 500 Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Transcript of otoritas jasa keuangan.pdf

Page 1: otoritas jasa keuangan.pdf

DAFTAR ISI

Dari Redaksi ............................................................................AbstrakArtikel:

Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa KeuanganOleh: Wisnu Indaryanto ...................................................................Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa KeuanganOleh: Zulkarnain Sitompul ...............................................................Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam PerspektifUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa KeuanganOleh: Wiwin Sri Rahyani ..................................................................Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadapLembaga Perbankan SyariahOleh: Hasbi Hasan ..........................................................................Masalah Penyidik dalam Tindak Pidana Jasa Keuangandi IndonesiaOleh: Wahyu Wiriadinata .................................................................Akibat Hukum dibentuknya Lembaga Otoritas JasaKeuangan terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan diIndonesiaOleh: Rudy Hendra Pakpahan ........................................................Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas SektorPerbankan: Perspektif Undang-Undang tentang OtoritasJasa KeuanganOleh: Khopiatuziadah ......................................................................Catatan Singkat terhadap Undang-Undang Republik Indo-nesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas JasaKeuanganOleh: Nova Asmirawati ....................................................................Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian SengketaInformasi Publik Sesuai dengan Ketentuan Undang-Undangtentang Keterbukaan Informasi PublikOleh: Serafina Shinta Dewi .............................................................Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalamMengadili Perkara Pemberian GrasiOleh: R. Tony Prayogo ......................................................................

Biodata Penulis

ISSN: 0216-1338

iii

333 - 342

343 - 360

361 - 372

373 - 394

395 - 412

413 - 424

425 - 448

449 - 458

459 - 476

477 - 500

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Page 2: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Page 3: otoritas jasa keuangan.pdf

DARI REDAKSI

Dari Redaksi

Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012menyajikan tema tentang “Otoritas Jasa Keuangan”, tema ini dipilihsehubungan dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundang pada tanggal 22November 2011. Dengan undang-undang ini telah dibentuk Otoritas JasaKeuangan sebagai lembaga independen yang bebas dari campur tanganpihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang terintegrasi terhadapkeseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pembentukan OtoritasJasa Keuangan dilatarbelakangi banyaknya permasalahan lintassektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard,belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, danterganggunya stabilitas sistem keuangan yang semakin mendorongdiperlukannya pembentukan lembaga di sektor jasa keuangan yangterintegrasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agarkeseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggarasecara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkansistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil sertamampu melindungi konsumen dan masyarakat, sesuai dengan tujuantersebut. Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat mendukungkepentingan sektor jasa keuangan nasional, yang pada akhirnya mampumeningkatkan daya saing nasional.

Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012ini memuat artikel-artikel tentang Pembentukan dan KewenanganOtoritas Jasa Keuangan, Konsepsi dan Transformasi Otoritas JasaKeuangan, Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam PerspektifUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,Efektifitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap LembagaPerbankan Syariah, Masalah Penyidik dalam Tindak Pidana jasaKeuangan di Indonesia, Akibat Hukum dibentuknya Lembaga OtoritasJasa Keuangan terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia,Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: PerspektifUndang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Catatan Singkatterhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan, Peran Komisi Informasi dalamPenyelesaian Sengketa Informasi Publik Sesuai dengan Ketentuan

iii

Page 4: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik dan KompetensiPengadilan Tata Usaha Negara dalam Mengadili Perkara PemberianGrasi.

Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isiJurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuktulisan dari pembaca sangat kami harapkan.

Salam Redaksi.

Page 5: otoritas jasa keuangan.pdf

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Indaryanto, WisnuPembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa KeuanganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Sebagai lembaga negara independen yang baru di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangandiharapkan dapat melaksanakan salah satu tugas Bank Indonesia dalam melakukanpengawasan sektor perbankan di negara kita. Berdirinya lembaga independenbaru ini sebenarnya sudah lama diamanatkan oleh Undang-Undang tentang BankIndonesia, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember 2002 dan kemudian menjadipaling lambat 31 Desember 2010. Tugas pengawasan bank merupakan tugas yangpenting khusunya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat danpada akhirnya dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter. Tulisan ini akanmembahas sedikit tentang mekanisme pembentukan dan wewenang dari lembagayang bernama Otoritas Jasa Keuangan.Kata kunci : Pembentukan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

Indaryanto, WisnuEstablishment and Authority of the Financial Services AuthorityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

As a newly independent state institution in Indonesia, the Financial Services Authorityis expected to perform one of the tasks of Bank Indonesia in supervising the bankingsector in our country. The establishment of a new independent agency is long mandatedby the Law on Bank Indonesia, which is no later than December 31, 2002 andpostponed again be later than December 31, 2010. Task of bank supervision is aparticularly important task in order to create a sound banking system and ultimately toencourage the effectiveness of monetary policy. This paper will discuss a bit about theformation mechanism and the authority of the institution called the Financial ServicesAuthority.Keywords: Establishment and Supervision of the Financial Services Authority

Page 6: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Sitompul, ZulkarnainKonsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa KeuanganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Otoritas pengawas lembaga jasa keuangan membutuhkan independensi, baik daripemerintah maupun dari industri yang diawasi, sehingga tujuan Otoritas JasaKeuangan untuk memastikan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuanganterselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat tercapai.Disamping itu, Otoritas Jasa Keuangan juga diharapkan mampu mewujudkansistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampumelindungi kepentingan konsumen dan masyarakatKata kunci : Otoritas Jasa Keuangan, transparan, dan akuntabel

Sitompul, ZulkarnainConception And Transformation Financial Services AuthorityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

Financial institutions, regulatory authorities need independence, both from governmentand from industry-supervised, so the purpose of the Financial Services Authority toensure that the overll activity in the financial services sector held on a regular basis, fair,transparency, and accountable can be achieved. In addition, the Financial ServicesAuthority is also expected to bring the financial system to grow in a sustainable andstate and capable of protecting the interests of consumers and society.Keyword : Financial Services Authority, transparency, and accountable

Page 7: otoritas jasa keuangan.pdf

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Sri Rahyani, WiwinIndependensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Perspektif Undang-Undang Nomor21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa KeuanganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan telah melahirkan suatu lembaga yang independen yaitu OtoritasJasa Keuangan (OJK) yang merupakan hasil dari suatu proses penataan kembalistruktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsipengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. OJK merupakan lembagayang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campurtangan pihak lain. Meskipun OJK lembaga yang independen tetapikeindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Independensi OJKdalam mengatur dan mengawasi kegiatan di sektor jasa keuangan dilakukanpendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturandan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.Keindependensian OJK akan sepenuhnya efektif, apabila terdapat Good CorporateGovernance dalam dunia keuangan dan perbankan.Kata kunci : independen, pengaturan, pengawasan, sektor jasa keuangan

Sri Rahyani, WiwinThe Independence of the Financial Services Authority Perspectives in Law Number 21Year 2011 Concerning the Financial Services AuthorityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

The approved Law Number 21 Year 2011 concerning the Financial Services Authorityhas given birth to an independent institution, namely the Financial Services Authority(OJK), which is the outcome of a restructurization process of organizational structure ofthe institutions that conduct the management and supervision functions in theregulation and supervision of the financial services sector. OJK is an institution that isindependent in conducting its duty and authority, free from the interference of anyother. Even though OJK is independent but its independence does not apply fully.The indepedence of OJK in managing and monitoring activity in financial services sectoris done by approach through good coordination in producing regulation and doing closemonitoring to an independent institution. The independence of OJK will be fullyeffective if there is good corporate governance in finance and banking sector.Keywords : independent, regulation, supervision,the financial services sector

Page 8: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Hasan, HasbiEfektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Lembaga PerbankanSyariahJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Efektivitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perbankan syariahsangat bergantung pada komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah, seperti DSN dan DPS. Salahsatu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK denganDSN dan DPS tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktoratperbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Selain itu, struktur keanggotaanDK-OJK yang akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkanSDM yang memiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankansyariah, sehingga OJK diharapkan memiliki skema dan prosedur dalampengembangan perbankan syariah.Kata kunci : efektifitas, regulasi, supervisi, koordinasi

Hasan, HasbiEffective Control of Financial Services Authority on Sharia Banking InstitutionsIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

The effectivity of the supervision of Financial Services Authority (OJK) to the Shariabanking will be depending much on communication and coordination between OJK andother institutions related to Shariah banking such as DSN and DPS. One of the efforts tofacilitate the communication and coordination between OJK, DSN and DPS is by makingunit or directorate of Sharia banking in the structure of OJK organization. In addition tothat, the structure of membership of DK-OJK which will be authorized by thegovernment and House of Representative needs to consider human resources havingthe commitment and good understanding about the finance of Sharia banking. So that,it is hoped that OKJ will have scheme and procedure in developing Sharia banking.Key words : effectivity, regulation, supervision and coordination

Page 9: otoritas jasa keuangan.pdf

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Wiriadinata , WahyuMasalah Penyidik dalam Tindak Pidana Jasa Keuangan di IndonesiaJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Tulisan ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektivitaspenyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menanggulangi kejahatan jasakeuangan di Indonesia. Pertanyaan dan masalah ini muncul karena dalam Undang-Undang Otoritas jasa Keuangan ada Penyidik OJK yang mempunyai kewenanganpenyidikan terhadap tindak pidana OJK yang mencakup sektor perbankan, pasarmodal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasakeuangan lainnya. Padahal sudah ada penyidik lain yang mempunyai kewenanganuntuk menyidik, yaitu Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Kerangka teoritis bertolakdari pemikiran Aristoteles yang mengemukakan tentang tujuan hukum untukmencapai keadilan juga stuffen theory dari Hans Kelsen. Metode penulisan adalahyuridis normatif, dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, baik yangada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/bukuilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan denganOtoritas Jasa Keuangan. Hasilnya berupa aspek yuridis dituangkan dalam bentukdeskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah: Akan terjadi tumpangtindih antara penyidik OJK dengan Penyidik Jaksa, Polisi dan KPK, baik dalampenyidikan tindak pidana umum maupun khusus/korupsi, tentang efektivitasdari penyidik OJK harus dibuktikan di masa yang akan datang.Kata Kunci : Penyidik, Jasa Keuangan, Efektivitas, Tumpang Tindih

Wiriadinata , WahyuInvestigaor Problem in Crime Financial Services in IndonesiaIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

This paper, aims to answer the question to what extent the effectiveness ofinvestigators Financial Services Authority (OJK) in tackling crime financial services inIndonesia. Questions and problems arise because the law there investigator FinancialServices Authority OJK which has the authority to investigate criminal OJK coveringbanking, capital market, insurance, pension funds, financial institutions and othersfinancial institutions. Whereas other investigators already has the authority toinvestigate, namely attorney, the police and the KPK. Theoretical framework departedfrom the Aristoteles argued about the purpose of the law to achieve justice also stuffentheory of Hans Kelsen. Normative method of writing is, by studying the legislation, eitherin the statute itself and is in the literature/science books of law, especially laws relatingto the Financial Services Authority. The result is a juridical cast in the form of descriptiveanalysis. The conclusions of this paper are: There will be an overlap between the OJKinvestigator with thr Attorney Investigator, Police and the KPK, both in general andcriminal investigations special/corruption, about the effectiveness of the investigatorOJK should be proved in the future.Keywords : Investigator, Financial Services, Effectiveness, Overlapping

Page 10: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Pakpahan, Rudy HendraAkibat Hukum dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan terhadap PengawasanLembaga Keuangan di IndonesiaJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Pemindahan fungsi pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dilakukankarena adanya penilaian bahwa pengawasan bank yang dilakukan oleh BI selamaini kurang efektif, sehingga dengan dilakukannya harmonisasi dan sinkronisasiberbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut pengawasan lembagakeuangan diharapkan fungsi pengawasan lembaga keuangan khususnya bank yangsekarang sudah dipegang oleh OJK dapat meningkat dan dilakukan dengan adilterhadap semua institusi yang diawasi. Jika hal tersebut tidak segera direspon,dikhawatirkan pengawasan lembaga keuangan khususnya bank sama saja denganyang dilakukan BI sehingga tidak menyelesaikan masalah tetapi yang terjadi adalahmemindahkan masalah yang sama kepada lembaga lain yang dibentuk dengananggaran negara yang begitu banyak.Kata kunci : fungsi pengawasan, leembaga keuangan

Pakpahan, Rudy HendraDue to Legal Formation Institutions Financial Services Authority Supervision ofFinancial Institutions in IndonesiaIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

The transfer of authority supervision function to Financial Services Authority (OJK)conducted caused by assessment that supervision of bank conducted by BI during thetime less effective, so that done of synchronization and harmonization various law andregulation which concerning supervision of financial institution expected by functionsupervision of financial institution specially bank which now have been holded by OJKcan mount and conducted dispassionately to all institution be controlled. If mentioneddo not immediately responded, felt concerned about supervision of financial institutionspecially bank is the same with conducted by BI so that do not finish the problem ofinstead that happened to remove the problem of same to other institute which formedwith state budget which so much.Keyword : supervision function, financial institution

Page 11: otoritas jasa keuangan.pdf

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

KhopiatuziadahHubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang tentang Otoritas Jasa KeuanganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 secara nyata merubah konstalasikewenangan pengawasan di sektor jasa keuangan termasuk perbankan. Peralihankewenangan pengawasan di sektor perbankan yang semula berada di satu tanganyakni di Bank Indonesia baik pengawasan bidang macroprudential maupunmicroprudential, berdasarkan UU ini diserahkan kepada OJK. Namun demikianUU ini memberi ruang kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan kewenanganpengawasan yang bersifat macroprudential dengan tetap berkoordinasi dengan OJK.Pengaturan hubungan kelembagaan yang belum secara rinci dan jelasmemungkinkan timbulnya multi penafsiran dan berpengaruh pada arah kebijakanperaturan perundang-undangan terkait di sektor perbankan, Harmonisasi dansinkronisasi peraturan-peraturan terkait tersebut harus dilakukan dengan jugamenghindari konflik kepentingan jangka pendek.Kata Kunci : Hubungan kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank

Indonesia, pengawasan, jasa keuangan, sektor perbankan

KhopiatuziadahInstitutional Relations of the Banking Sector Supervisory: Perspectif of Law on theFinancial Services AuthorityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

Law No 12/2011 has significantly changed and transformed the supervisory authorityconstellation of financial services sector including banking. It was the single supervisoryof central bank both macroprudential dan microprudential supervisions, under the LawNo.12/2011, the authority to supervise banking sector that was originally in the hand ofBank Indonesia submitted to The Financial Services Authority (OJK). However, the lawgives space to the central bank to implement macroprudential supervisory authority thatis fixed in coordination with the OJK. The unclear stipulation of Institutional relationsallows the multi-interpretation which will influence the direction of policyof relatedlegislations in the banking sector. Harmonization and synchronization of relatedregulations should be emphasized, moreover avoiding short-term conflicts of interest.Keywords : institutional relations, Financial Services Authority, Bank of Indonesia,

supervisory, Financial services, banking sector

Page 12: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Asmirawati, NovaCatatan Singkat terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun2011 tentang Otoritas Jasa KeuanganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Lahirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan sebuahterobosan dibidang hukum perbankan, sebab pengaturan dan pengawasan sektorperbankan di Indonesia tidak lagi berada pada Bank Indonesia namun dialihkankepada otoritas jasa keuangan, yaitu sebuah lembaga independen yang mempunyaifungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan,pemeriksaan dan penyidikan terhadap industri jasa keuangan di Indonesia.Terlepas pro-kontra terhadap subtansi materi yang termuat dalam Undang-Undangtentang Otoritas Jasa Keuangan, tentu terdapat beberapa titik kelemahan dalamUndang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang terkait dengan teknikpenyusunan peraturan perundang-undangan misalnya yang terkait dengan teknikpenormaan yang berakibat timbulnya perbedaan tafsir dikalangan penggunanya.Kata kunci : Otoritas Jasa Keuangan, Teknik Penormaan

Asmirawati, NovaA Brief Note on the Law of the Republic of Indonesia Number 21 Year 2011 Concerningthe Financial Services AuthorityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

Birth of law on the Financial Services Authority is a breakthrough in the field of bankinglaw, for regulation and supervision of the banking sector in Indonesia are no longer inBank Indonesia, but were transferred to the financial services authority, which is anindependent agency that has the functions, duties and powers to make arrangements,supervision, inspection and investigation of the financial services industry in Indonesia.Despite the pros and cons of the substance of the material contained in the Act on theFinancial Services Authority, of course, there are some weak points in the law on theFinancial Services Authority related to preparation techniques such as legislationrelating to techniques that cause a difference norms interpratation among users.Keywords : Financial Services Authority, Engineering Norm

Page 13: otoritas jasa keuangan.pdf

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Shinta Dewi, SerafinaPeran Komisi Informasi dalam Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Sesuaidengan Ketentuan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi PublikJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Hak setiap orang untuk mengembangkan diri yang salah satunya denganpemenuhan atas hak untuk memperoleh informasi masih belum dapat dipenuhisecara menyeluruh oleh pemerintah. Dengan disusunnya Undang-Undang tentangKeterbukaan Informasi Publik serta dibentuknya Komisi Informasi sebagai lembagamandiri yang mengawal pelaksanaan Undang-Undang tersebut, makadimungkinkan akan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran keterbukaaninformasi yang dilakukan oleh badan publik.Kata kunci : informasi publik, Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi

Publik, Sengketa informasi publik, Komisi Informasi

Shinta Dewi, SerafinaThe Role of the Information Commission in Publik Information Dispute Resolution Basedon: the Provisions of Public Information ActIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

One of the individual right which has to be fulfilled by the government is the right toobtain information, however this right has not yet been completely fulfilled by thegovernment due to several constrains exist. With the promulgation of disclosure of publicinformation act, followed by the establishment of the commission of information as anindependent body, it’s possible will be able to minimize the probability of disclosureinformation violations by the public agencies.Key words : public information, the law on public information disclosure,

public information Disputes, the information commission

Page 14: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Prayogo, R. TonyKompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Mengadili Perkara PemberianGrasiJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Pemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana Schapelle Leigh Corby warganegara Australia dan Peter Achim Franz Grobmann warga Negara Jerman yangmerupakan terpidana dalam kasus peredaran Narkotika, telah menimbulkankontroversi dalam masyarakat. Pemberian grasi tersebut menurut sebagianmasyarakat dianggap sebagai bentuk ketidak konsistenan pemerintah terhadapsegala upaya-upaya pemberantasan tindak pidana Narkotika yang dicanangkannyaselama ini. Selain itu pemberian grasi oleh Presiden dianggap telah melanggarketentuan peraturan perundang-undangan dan melanggar asas-asas umumpemerintahan yang baik, serta melukai rasa keadilan masyarakat. Ketidak adanyaketentuan dalam UU Grasi yang memberi batasan bagi pemohon grasi denganlatar belakang kasus narkotika (yang tergolong sebagai extra ordinary cryme), turutmendukung adanya sikap skeptis masyarakat terhadap segala upaya pembarantasantindak pidana norkotika yang dilakukan oleh Pemerintah. Sebagian masyarakattersebut menganggap dengan tidak adanya pembatasan tersebut, memungkinkanpemohon grasi dengan latar belakang kasus dengan kategori extra ordinary crymeberpeluang untuk mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden dan berpeluangpula untuk dapat dikabulkan Grasinya oleh Presiden. Oleh sebab itu gunamencegah “sah”nya Keputusan Presiden tentang pemberian grasi ditempuh melaluimekanisme Peradilan Tata Usaha Negara. Mekanisme yang dilakukan melalui“pengujian” melalui lembaga peradilan ini pula tidak tepat ditinjau secara yuridiskarena grasi merupakan suatu bentuk kewenangan konstitusional Presiden yangdiatur dalam UUD 1945. Grasi merupakan hak prerogative Presiden. Dengandemikian secara yuridis Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tidak memilikikewenangan untuk mengadili objek sengketa aquo yang berupa Keputusan Presidententang grasi tersebut. Namun agar pemberian grasi tidak sewenang-wenangdiberikan oleh Presiden, instrument kontrol dari masyarakat berupa (socialcontrol), baik melalui control media serta instrument politik yang dilakukan olehwakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat dapat digunakan untuk mencegahabuse of power oleh Presiden dalam memberikan grasi.Kata kunci : pemberian grasi, tindak pidana narkotika.

Prayogo, R. TonyCompetence of the Court of Operating Procedures Passing in Case Granting ClemencyIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 3.

Clemency granting given from president to Schapelle Leigh Corby, a Australian, andPeter Achim Franz Grobmann, a Germany, convicted person in circulation narcotics caseraises the controversy in community. A portion of community considered the clemencygranted as government inconsistency to the eradication of Narcotic crime proclaimed.Besides that, the clemency granted given by president considered as violation to theprovisions of statutory regulations and violate the good general principles of governmentand hurt a sense of community justice. The absence of provision of clemency which givesboundaries for claimant with narcotics background (as an extra ordinary crime), alsocontributing sceptical public attitudes against narcotics crime eradication effortsconducted by government. A portion of community considered the absence of thoseboundaries enable the clemency applicant with background extra ordinary crimes

Page 15: otoritas jasa keuangan.pdf

category had a chance to lodge clemency to president and had a chance to grant theclemency. Therefore to prevent presidential decree legitimation concerning the grantingof clemency taken though state administrative courts. Mechanism conducted by“testing” in judicial institutions is inappropriate reviewed in a juridical manner due tothe clemency is constitutional authority of President regulated in UUD 1945. Clemencyis a prerogative right of president. Thus, a state administrative court does not have theauthority to prosecute the object of dispute juridically concerning President Decree ofclemency. However to avoid clemency arbitrary by the president; social control, mediacontrol and political instrument conducted by representative from house ofrepresentative could be used to prevent abuse of power by a president in giving grantingclemency.Keywords : granting clemency, narcotics criminal acts

Page 16: otoritas jasa keuangan.pdf

333

* Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukumdan HAM DIY

PEMBENTUKAN DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN(ESTABLISHMENT AND AUTHORITY OF THE FINANCIAL SERVICES

AUTHORITY)Wisnu Indaryanto*

(Naskah diterima 18/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakSebagai lembaga negara independen yang baru di Indonesia, Otoritas JasaKeuangan diharapkan dapat melaksanakan salah satu tugas Bank Indonesiadalam melakukan pengawasan sektor perbankan di negara kita. Berdirinyalembaga independen baru ini sebenarnya sudah lama diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Bank Indonesia, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember 2002dan kemudian menjadi paling lambat 31 Desember 2010. Tugas pengawasanbank merupakan tugas yang penting khususnya dalam rangka menciptakansistem perbankan yang sehat dan pada akhirnya dapat mendorong efektivitaskebijakan moneter. Tulisan ini akan membahas sedikit tentang mekanismepembentukan dan wewenang dari lembaga yang bernama Otoritas JasaKeuangan.Kata kunci : Pembentukan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

AbstractAs a newly independent state institution in Indonesia, the Financial ServicesAuthority is expected to perform one of the tasks of Bank Indonesia in supervisingthe banking sector in our country. The establishment of a new independent agency islong mandated by the Law on Bank Indonesia, which is no later than December 31,2002 and postponed again be later than December 31, 2010. Task of banksupervision is a particularly important task in order to create a sound banking systemand ultimately to encourage the effectiveness of monetary policy. This paper willdiscuss a bit about the formation mechanism and the authority of the institution calledthe Financial Services Authority.Keywords : Establishment and Supervision of the Financial Services Authority

A. PendahuluanSetelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011,pengaturan dan pegawasan sektor perbankan yang semula berada padaBank Indonesia sebagai bank sentral di negara kita dialihkan padaotoritas jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya

Page 17: otoritas jasa keuangan.pdf

334

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan2 Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23Tahun 1999 tentang Bank Indonesia3 Penjelasan Pasal 34 ayat (1) 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atasUndang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

disingkat OJK, adalah lembaga yang indpenden dan bebas dari campurtangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenangpengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang ini.1

Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untukmemisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuahbadan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukumpemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-UndangNomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan:

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasansektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk denganUndang-Undang.

(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud padaayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya31 Desember 2010.2

Sedangkan pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank danperusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputiasuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaanpembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakanpengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalammenjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintahdan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan PemeriksaKeuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnyalembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasamadengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalamUndang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembagapengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan denganpelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan BankIndonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dandata makro yang diperlukan. 3

Page 18: otoritas jasa keuangan.pdf

335

Pembentukan Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

Ke-independenan OJK berkaitan dengan beberapa hal: yaitupertama independen yang berkait dengan pemberhentian anggotalembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yangdiatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan,tidak sebagaimana lazimnya administrative agencies yang dapat sewaktu-waktu oleh Presiden karena jelas merupakan bagian dari eksekutif.Kedua, selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensiPresiden, sifat independen juga tercermin dari :

1. kepemimpinan lembaga yang bersifat kolektif, bukan hanya satuorang pimpinan. Kepemimpinan kolegial ini berguna untuk prosesinternal dalam pengambilan keputusan-keputusan, khususnyamenghindari kemungkinan politisasi keputusan sebagai akibatproses pemilihan keanggotaannya;

2. kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal daripartai politik tertentu; dan

3. masa jabatan para pemimpin lembaga tidak habis secarabersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).4

Dalam Undang-Undang tentang OJK, pimpinan tertinggi terletakpada Dewan Komisioner. Mengenai struktur Dewan Komisioner terdiridari 9 (Sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan KeputusanPresiden, dengan susunan sebagai berikut:

a. seorang ketua merangkap anggota;

b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;

c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkapanggota;

e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnyamerangkap anggota;

f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindunganKonsumen;

4 Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 3, September 2009,hlm. 152.

Page 19: otoritas jasa keuangan.pdf

336

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakananggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yangmerupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.5

Calon Dewan Komisioner diusulkan oleh Presiden yang pemilihandan penentuannya dilaksanakan oleh Panitia Seleksi. Panitia Seleksitersebut dibentuk dengan Keputusan Presiden dan beranggotakan 9(sembilan) orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia,dan masyarakat.

Setelah melakukan pengumuman calon anggota Dewan Komisionerkepada masyarakat, Panitia Seleksi melakukan penyaringanadministrasi terhadap para calon yang telah mendaftar dan kemudianhasilnya disampaikan kepada Presiden untuk dipilih dan disampaikankepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pola rekrutmen Dewan KomisionerOJK seperti ini menimbulkan pertanyaan, yaitu siapa saja yang menjadiPanitia Seleksi untuk mencari calon-calon yang memang qualifiedmengisi jabatan Dewan Komisioner OJK. Meskipun telah disebutkanPanitia Seleksi terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, danmasyarakat, tetapi semua bergantung pada Presiden yang berwenangmembentuk panitia Seleksi tersebut. Kualitas Dewan Komisioner yangakan dibentuk sangat bergantung pada proses awal seleksi oleh PanitiaSeleksi. Selain itu permasalahan lain yang timbul adalah mengenaikewenangan OJK itu sendiri yang sangat besar, melebihi apa yangdiamanatkan oleh Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagailembaga independen yang melakukan pengawasan terhadap perbankandi Indonesia.

B. Lembaga Negara Independen dan Pola RekrutmennyaSeperti telah disebutkan diatas, OJK lahir atas dasar Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Lembaga Negara yangindependen sebelumnya yang telah lahir beserta dasar hukum yangmelahirkannya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

5 Pasal 10 ayat (4) Pasal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Page 20: otoritas jasa keuangan.pdf

337

Pembentukan Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

Tabel 1

Lembaga Negara Independen dan Dasar Hukumnya

Dari tabel di atas, penulis hanya ingin mengungkapkan bahwawalaupun semua lembaga Negara independen tersebut mempunyai dasarhukum pembentukan, namun terdapat perbedaan mengenai mekanismepola rekrutmen. Oleh Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan,setidaknya ada beberapa pola rekutmen keanggotaan lembaga Negaraindependen, yaitu: 6

6 Opcit, hlm. 155.

Page 21: otoritas jasa keuangan.pdf

338

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

1. anggota komisi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas usuldari Presiden.

Untuk melancarkan proses pemilihan calon anggota komisi,pemerintah membentuk panitia seleksi (Pansel) yang terdiri dariunsur pemerintah dan masyarakat. Pansel ini yang kemudianmelakukan seluruh tahap penjaringan dan penyeleksian calonanggota komisi dan hasilnya diserahkan kepada Presiden untukdiusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR kemudianmelakukan pemilihan terhadap calon anggota yang telah diusulkanoleh Presiden. Sebelum melakukan pemilihan, DPR terlebih dahuluakan melakukan fit and proper test terhadap para calon. Setelahitu, pemilihan dilakukan melalui mekanisme voting. Terakhir,hasil dari DPR diserahkan kepada Presiden untuk disahkan.Seleksi dengan pola ini diterapkan pada Komsi PemberantasanTindak Pidana Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, dan KomisiInformasi.

2. anggota komisi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas usulkomisi tersebut.

Seluruh proses seleksi calon anggota komisi dilakukan olehkomisi yang bersangkutan. Biasanya proses seleksi ini dilakukanoleh sebuah panitia seleksi yang dibentuk oleh komisi terkait. Hasilseleksi calon anggota kemudian diserahkan kepada DPR untukdipilih. Sebelum melakukan pemilihan, DPR terlebih dahulu akanmelakukan fit and proper test terhadap para calon. Setelah itupemilihan dilakukan melalui mekanisme voting. Presiden, selakukepala negara, hanya meresmikan anggota yang telah dipilih olehDPR. Seleksi dengan pola ini diterapkan pada Komisi Nasional HakAsasi Manusia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan KomisiPenyiaran Indonesia.

3. anggota komisi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas usuldari komisi lain.

Pola ini diterapkan pada mekanisme pemilihan anggota BadanPengawas Pemilu (Bawaslu). Proses seleksi calon anggota Bawasludilakukan Komisi Pemilihan Umum dengan membentuk sebuahpanitia seleksi. Hasil seleksi pansel diserahkan kepada KPU dankemudian KPU menyerahkan daftar calon anggota kepada DPR.Lalu DPR yang melakukan pemilihan. Namun, sebelum melakukanpemilihan DPR terlebih dahulu akan melakukan fit and proper testterhadap para calon. Setelah itu pemilihan dilakukan melalui

Page 22: otoritas jasa keuangan.pdf

339

Pembentukan Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

mekanisme voting.

4. Presiden mengangkat anggota komisi atas peresetujuan DewanPerwakilan Rakyat.

Proses seleksi calon anggota komisi dilakukan olehpemerintah dengan membentuk panitia seleksi (Pansel). Panselyang kemudian melakukan proses penjaringan dan seleksiterhadap calon anggota komisi. Hasil seleksi Pansel kemudiandiserahkan kepada Presiden untuk dipilih dan ditetapkan sebagaianggota komisi. Sebelum memilih dan menetpkan anggota komisi,Presiden terlebih dahulu meminta persetujuan dari DPR. Pola iniditerapkan pada Komisi Yudisial dan Lembaga Perlindungan Saksidan Korban.

5. Presiden mengangkat anggota komisi setelah mendapatpertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pengusulan calon anggota komisi dilakukan oleh komisiNegara tersebut melalui mekanisme seleksi yang dilakukan olehkomisi Negara yang bersangkutan. Hasil seleksi kemudiandiserahkan kepada Presiden. Sebelum menetapkan anggotakomisi, Presiden terlebih dahulu meminta pertimbangan dari DPR.Pola seleksi seperti ini diterapkan pada Komisi perlindungan Anak.

6. Khusus pola rekrutmen untuk Dewan Pers.

Untuk Dewan Pers anggotanya terdiri dari unsur wartawan,pimpinan perusahan pers, tokoh masyarakat, dan pakaorkomunikasi. Mekanisme pemilihan masing-masing unsur tersebutdiserahkan kepada 2 (dua) organisasi. Bagi anggota dari unsurwartawan dipilih oleh organisasi wartawan dan bagi anggota dariunsur pimpinan perusahaan pers dipilih oleh organisasi perusahaanpers. Sedangkan bagi anggota dari unsur masyarakat dan pakarkomunikasi dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasiperusahaan pers.

Dari beberapa model rekrutmen keanggotaan lembaga Negaraindependen diatas, terdapat kelemahan tentang mekanismeperekrutannya, yaitu mengenai sistem seleksi yang didasarkan padarekrutmen yang terbuka sehingga setiap orang bisa mendaftar. Walaupundengan sistem tersebut lebih transparan, namun dengan demikianorang yang mendaftar bisa jadi hanya jobseeker dan belum tentu memilikikemampuan untuk mengisi formasi yang didaftar. Selain itu, biaya yangakan dikeluarkan untuk proses rekrutmen semacam ini sangat besar

Page 23: otoritas jasa keuangan.pdf

340

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

mengingat banyak pendaftar yang harus diseleksi oleh Pansel.Banyaknya pendaftar ini juga akibat dari persayaratan untuk menjadiDewan Komisioner yang terlalu ringan, yaitu:

a. warga negara Indonesia,

b. memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik,

c. cakap melakukan perbuatan hukum,

d. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurusperusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit,

e. sehat jasmani,

f. berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saatditetapkan,

g. mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan,dan

h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusanpengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karenamelakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima)tahun atau lebih. 7

Dengan persyaratan seperti itu, secara otomatis akan banyakorang yang mendaftar. Bahkan pada penjelasan dari Undang-Undang OJKini juga tidak dijelaskan secara lebih rinci mengenai persyaratan anggotaDewan Komisioner.

Selain persyaratan menjadi anggota Dewan Komisioner, yang tidakkalah penting adalah persyaratan Pansel itu sendiri karena Pansel inilahyang berperan penting dalam menentukan hasil akhir siapa saja yangakan menjadi anggota Dewan Komisioner. Dalam Pasal 11 ayat (3) hanyamenyebutkan Panitia Seleksi beranggotakan 9 (Sembilan) orang yangterdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat, tidakmenjelaskan mengenai kriteria apa saja apalagi mekanisme kerja dariPanitia Seleksi tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan persyaratanuntuk menjadi anggota Dewan Komisioner yang bersifat terbuka.

Setelah permasalahan dalam model rekrutmen dan pembentukanserta mekanisme kerja Panitia Seleksi, permasalahan yang palingmendasar dari lahirnya Undang-Undang OJK ini adalah mengenaikewenangan pengawasan lembaga independen ini sendiri. Seperti telah

7 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahuin 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 24: otoritas jasa keuangan.pdf

341

Pembentukan Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

dibahas sebelumnya, dasar hukum lahirnya OJK adalah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Dalam Pasal tersebut dinyatakan tugasmengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan yangindependen. Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanyaadalah “awas”, sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasisaja, dalam arti melihat sesuatu dengan seksama. Tidak ada kegiatandi luar itu, kecuali melaporkan hasil kegiatan mengawasi tadi.8 Akantetapi, bila kita lihat dalam Pasal 9, OJK berwenang memberikan sanksiadministratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadapperaturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Seharusnyaapabila konsisten dengan tugas pengawasan yang diberikan oleh BankIndonesia, OJK hanya melakukan pengawasan dan melaporkan hasilpengawasan yang dilakukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan danDewan Perwakilan Rakyat.

Jika kita melihat tugas dan wewenang Bank Indonesia, yaitu:

a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan

c. mengatur dan mengawasi Bank.9

Dari ketiga tugas diatas, OJK mendapat amanat untuk melakukantugas pengawasan terhadap Bank. Akan tetapi dalam Pasal 1 angka 1Undang-Undang OJK menyatakan Otoritas Jasa Keuangan, yangselanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebasdari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, danwewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikansebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam rumusan Pasaltersebut muncul wewenang tambahan yaitu pengaturan. Artinya,Undang-Undang OJK ini memberikan kewenangan yang lebih darisekedar pengawasan terhadap sektor perbankan. Padahal dalam Pasal24 Undang-Undang tentang Bank Indonesia, tugas pengaturan jelasdimiliki oleh Bank Indonesia yaitu dengan menetapkan peraturan sertamemberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usahatertentu dari Bank. Jika OJK juga diberi kewenangan mengatur, maka

8 Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparaturpemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 17.9 Gozali, Djoni dan Usman Rachmadi, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 107

Page 25: otoritas jasa keuangan.pdf

342

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

akan terjadi over kewenangan dari lembaga independen baru ini.Padahal sesuai dengan Pasal yang mengamantakan pembentukannya,OJK hanya diberi kewenangan melakukan pengawasan.

C. PenutupLahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan memang membuat hukum perbankan di Indonesiamemasuki era baru, terutama dalam hal pengawasan terhadap sektorperbankan yang semula dilakukan oleh Bank Indonesia beralih kepadalembaga independen bernama Otoritas Jasa Keuangan. Pembentukanlembaga independen ini tidak hanya dilakukan di Indonesia saja, akantetapi di Negara-nagara lain, seperti Inggris, Australia, Perancis, Jepang,dan Korea Selatan, fungsi pengawasan bank dipisahkan dari banksentral. Alasan pemisahan tersebut untuk menghindari kemungkinanadanya pertentangan kepentingan antara tugas menjaga kestabilanmoneter dan tugas pengawasan bank.

Akan tetapi, kita tidak bisa memungkiri ada beberapa catatandalam Undang-Undang OJK ini. Antara lain mengenai mekanismepembentukan Pansel oleh pemerintah dan sistem kerja dari Pansel itusendiri serta mengenai kewenangan dari OJK yang melebihi dari apayang diamantkan oleh peraturan perundang-undangan yangmembentuknya. Sebaiknya catatan-catatan seperti ini diperhatikan agarterwujud good governance dan adanya kepastian hukum di negara kitaserta dapat dihindari pada pembentukan-pembentukan lembagaindependen selanjutnya, apabila memang diperlukan.

Daftar Pustaka

Gozali, Djoni dan Usman Rachmadi, 2010. Hukum Perbankan, SinarGrafika, Jakarta.

Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, 1994. Aspek Hukum PengawasanMelekat dalam Lingkungan Aparatur pemerintah, Rineka Cipta,Jakarta.

Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, 2009. Jurnal Konstitusi,Volume 6, Nomor 3, Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 26: otoritas jasa keuangan.pdf

343

KONSEPSI DAN TRANSFORMASI OTORITAS JASA KEUANGAN(CONCEPTION AND TRANSFORMATION FINANCIAL SERVICES AU-

THORITY)Zulkarnain Sitompul*

(Naskah diterima 05/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakOtoritas pengawas lembaga jasa keuangan membutuhkan independensi, baikdari pemerintah maupun dari industri yang diawasi, sehingga tujuan OtoritasJasa Keuangan untuk memastikan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasakeuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapattercapai. Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan juga diharapkan mampumewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabilserta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakatKata kunci : Otoritas Jasa Keuangan, transparan, dan akuntabel.

AbstractFinancial institutions, regulatory authorities need independence, both fromgovernment and from industry-supervised, so the purpose of the Financial ServicesAuthority to ensure that the overall activity in the financial services sector held on aregular basis, fair, transparency, and accountable can be achieved. In addition, theFinancial Services Authority is also expected to bring the financial system to grow ina sustainable and state and capable of protecting the interests of consumers andsociety.Keyword : Financial Services Authority, transparency, and accountable.

A. PendahuluanMulai tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan beroperasi

sebagai pengawas jasa keuangan di Indonesia. OJK yang didirikan denganUU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK berfungsi menyelenggarakansistem pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan yang meliputi:

* Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Nasional Jakarta.

Page 27: otoritas jasa keuangan.pdf

344

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun,lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.1

Sistem pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah sistempengawasan terintegrasi, artinya seluruh kegiatan jasa keuangan yangdilakukan oleh berbagai lembaga keuangan tunduk pada sistempengaturan dan pengawasan OJK. Sistem pengawasan jasa keuangansecara terintegrasi dimulai di Skandinavia pada pertangahan tahun1980an. Inggris dan Jepang menerapkan sistem pengawasanterintegrasi pada tahun 1998 dengan mendirikan United KingdomFinancial Services Authority dan Japan Financial Services Agency.2

Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasakeuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktoryang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaanpengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangandan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisiini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidakefektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitassistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (danlembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalahstabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yangtepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga,kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadikomponen utama good governance. Untuk meningkatkan -good governancepada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisistruktur lembaga pengawas jasa keuangannya.3

1 Lembaga jasa keuangan lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaanekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakanpengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial,pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenaipergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunderperumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lainyang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan2 Mamiko Yokoi-Arai, “The Regulatory Efficiency of a Single Regulator in Financial Services: Analysis ofthe UK and Japan”, Banking & Finance Law Review, October, 2006, hlm. 1.3 Ibid, hlm. 5.

Page 28: otoritas jasa keuangan.pdf

345

Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalampenjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasidalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologiinformasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuanganmenjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektorkeuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di sampingitu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungankepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telahmenambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasakeuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknyapermasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputitindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasakeuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.

Untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara terintegrasitersebut, langkah-langkah persiapan dan periode transisi telahditetapkan sehingga pada 1 Januari 2014 OJK telah siap melaksanakantugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas jasa keuangansecara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri jasa keuangandilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian,dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya(disingkat lembaga keuangan bukan bank /LKBB) yang dilakukan olehBapepam – LK dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua,pengawasan bank dialihkan dari Bank Indonesia kepada OJK pada akhirtahun 2013.

Sebagai langkah persiapan pendirian OJK, pada 26 Juni 2012 ketuadan anggota Dewan Komisioner (DK) OJK sudah terpilih dan satu bulansejak diangkat, DK membentuk tim transisi yang bertugas menyiapkansarana dan prasarana OJK. Dalam pembentukan tim transisi tersebut,DK OJK berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan Gubernur BankIndonesia. Calon anggota tim transisi diusulkan oleh Menteri Keuangandan Gubernur Bank Indonesia yang kemudian ditetapkan oleh DK OJKsebagai anggota tim transisi. Tim transisi membantu kelancaranpelaksanaan tugas DK untuk mengindentifikasi dan memverifikasikekayaan, infrastruktur, informasi, dokumen, dan hal lain yang terkaitdengan pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan danmempersiapkan pengalihan penggunaannya ke OJK.

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

Page 29: otoritas jasa keuangan.pdf

346

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Selanjutnya, DK OJK menetapkan struktur organisasi, tugas pokokdan fungsi, standar prosedur operasional, dan rancang banguninfrastruktur OJK. Setelah itu, tiga bulan sebelum beralihnya fungsi,tugas dan wewenang pengawasan jasa keuangan ke OJK, Ketua DKmenyampaikan permintaan secara tertulis usulan nama pejabat danpegawai kepada Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan yangakan dialihkan atau dipekerjakan di OJK. Permintan Ketua DK OJKtersebut harus dipenuhi oleh Gubernur Bank Indonesia dan MenteriKeuangan dengan mengusulkan nama pejabat dan pegawai BankIndonesia dan Kementerian Keuangan yang akan berkerja di OJK. Disamping pegawai dan pejabat yang ditugaskan oleh BI dan KementerianKeuangan, DK OJK dapat melakukan rekrutmen pejabat dan pegawaisecara terbuka.

Untuk pejabat dan/atau pegawai Badan Pengawas Pasar Modal danLembaga Keuangan dan pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia yangmelaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan danpengawasan di sektor Perbankan yang dialihkan untuk dipekerjakanpada OJK, wajib bekerja di OJK untuk jangka waktu paling singkat:

a. 1 (satu) tahun bagi pejabat dan/atau pegawai yang berasal dariBadan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan

b. 3 (tiga) tahun bagi pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari BankIndonesia.

Pejabat dan/atau pegawai dimaksud wajib menetapkan pilihanstatus sebagai pejabat dan/atau pegawai OJK atau:

a. sebagai pejabat dan/atau pegawai Kementerian Keuangan, palinglama 3 (tiga) bulan sejak beralihnya fungsi tugas, dan wewenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bagi pejabat dan/ataupegawai yang berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal danLembaga Keuangan; dan

b. sebagai pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia, paling lama 2(dua) tahun sejak beralihnya fungsi tugas, dan wewenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bagi pejabat dan/ataupegawai yang berasal dari Bank Indonesia.

Sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan kepadaOJK, kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan BankIndonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangpengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan dan kekayaan negaradan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Kementerian Keuangan

Page 30: otoritas jasa keuangan.pdf

347

dan Bapepem –LK dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, danwewenang pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal dan LKBBdapat digunakan oleh OJK.

Risiko terbesar yang dihadapi oleh OJK pada masa peralihan adalahkemungkinan hilangnya kompetensi pengawasan yang sangat penting.Oleh karena itu, pada masa transisi, penting untuk memastikan bahwamodal manusia dan pengetahuan kelembagaan yang telah dibina olehBI dan Bapepam - LK tidak hilang, tetapi dialihkan ke OJK.4 Periodeperalihan ini menjadi lebih krusial karena dilakukan pada saatperekonomian dunia sedang dilanda krisis yang dalam sehinggamenimbulkan banyak ketidakpastian.

B. Fitur Utama Otoritas Jasa KeuanganMenurut penulis, independensi dan sistem pengawasan terintegrasi

merupakan dua fitur penting yang dimiliki OJK.

1. Independensi dan Transparansi

Otoritas pengawas lembaga jasa keuangan membutuhkanindependensi, baik dari pemerintah maupun dari industri yang diawasi,sehingga tujuan OJK untuk memastikan keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,transparan, dan akuntabel dapat tercapai. Di samping itu, OJK jugadiharapkan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secaraberkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingankonsumen dan masyarakat. Itu sebabnya Pasal 2 UU OJK menetapkanbahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasdan wewenangnya serta bebas dari campur tangan pihak lain.Pelaksanaan prinsip independen ini merupakan masalah krusial bagiotoritas pengawas jasa keuangan. Menurut penelitian, di seluruh dunia,termasuk di AS, tidak ada institusi yang independen dari pengaruhpolitik jangka pendek dan independen dari ketertarikan dan pengaruhlembaga keuangan.5

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

4 PS Srinivas, Daya Tahan Sektor Keuangan, Harian Kompas, 14 Agustus 2012, hlm.7.5 James R. Barth, et.al., Guardians of Finance Making Regulators Work for Us, (Cambridge: The MITPress, 2012), hlm.10.

Page 31: otoritas jasa keuangan.pdf

348

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Pentingnya independensi bagi otoritas pengawas jasa keuanganpaling tidak karena dua hal. Pertama, hampir semua krisis keuanganyang terjadi pada tahun 1990an diakibatkan oleh pengaruh politik.Lemah dan tidak efektifnya regulasi seringkali disebabkan campurtangan politik. Kedua, dialihkannya kewenagan pengawasan dari banksentral. Bank sentral selama ini telah mendapat independen sehinggadengan dialihkannya pengwasan dari bank sentral isu indepenensimuncul kembali. Di samping itu, pendirian lembaga pengawas yangsuperpower menimbulkan kekhawatiran tentang kewenangan besaryang dimilikinya.6

Untuk menentukan independensi suatu lembaga pengawas, dapatdigunakan empat dimensi yang menjadi alat ukur independensi yaitu,regulasi, supervisi, institusi dan anggaran. Independensi regulasi dansupervisi merupakan independensi inti. Independensi institusi dananggaran dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan fungsi regulasidan supervisi tersebut. Independensi regulasi dan supervisi sulit untukdicapai tanpa pengaturan yang jelas tentang independensi institusidan anggaran.

Independensi regulasi dimaksudkan sebagai kemampuan darilembaga pengawas memperoleh suatu tingkatan otonomi dalammenetapkan peraturan teknis yang mengatur industri yang diawasinyasesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dalam kaitan ini, undang-undang yang mengatur industri keuangan sebaiknya hanya mengaturhal-hal prinsip sehinggak lembaga pengawas dapat leluasa menerbitkandan mengamendmen regulasi teknis tanpa perlu melibatkan ataumelalui proses politik (legislasi). Hanya saja, perlu diwaspadai bahayaindependen regulasi, yaitu pengawas dapat saja menjadi curiga yangberlebihan sehingga terjadi pengaturan yang berlebihan (over regulated)tanpa mempertimbangkan biaya regulasi terhadap industri yang diawasi.

6 Marc Quintyn dan Michael W. Taylor, “Regulatory and Supervisory Independence and FinancialStability”, IMF Working Paper (WP/02/46), March 2002, hlm. 4. Lihat juga Mamiko Yokoi-Arai, “TheRegulatory Efficiency of a Single Regulator in Financial Services: Analysis of the UK and Japan”, Banking& Finance Law Review, October, 2006, hlm. 1 yang membuat ukuran dalam menilai independensitujuan; tranparansi; efektifitas penegakan ketentuan; kelengkapan regulasi dan efisiensi dan efektivitasregulasi.

Page 32: otoritas jasa keuangan.pdf

349

Bahaya lainnya adalah regulator “dipengaruhi” oleh industri yang diatur.Untuk mengatasi bahaya tersebut transparansi yang tepat dalam prosespembuatan regulasi penting untuk diterapkan karena transparansiberlebihan juga memiliki kelemahannya sendiri sehingga timbulpertanyaan seterang apa tranparansi yang harus diterapkan? 7

Transparansi adalah fitur utama pemerintahan domokratis.Transparansi dapat mengurangi kekuasan kelompok penekan danmemberi kesempatan luas kepada publik memantau proses pengambilankeputusan. Transparansi meliputi: (i) pemberian informasi kepadapublik oleh pembuat kebijakan tentang rencana kebijakan yang akandiambil dan implikasi kebijakan tersebut bagi masyarakat; (ii)kemampuan masyarakat atau pihak yang akan diatur untukmengajukan tanggapan baik lisan maupun secara tertulis tentangusulan kebijakan; (iii) informasi yang diberikan oleh pembuat kebijakantentang proses penetapan kebijakan dan kebijakan yang diputuskandapat diakses oleh publik. 8 Dengan demikian esensi dari transparansiadalah pada proses pembuatan kebijakan sehingga transparansi dapatmeningkatkan rasionalitas keputusan karena transparansi memberikesempatan kepada beragam pihak untuk memberi masukan kepadapembuat kebijakan.

Namun demikian, transparansi mengandung biaya karena dapatmeningkatkan pertimbangan dan akuntabilitas yang buruk.Pertimbangan yang buruk terjadi akibat politik “pencitraan”(political posturing) dan ketidakfleksibelan dalam posisi kebijakan. Dalamkaitan ini terjadi kompromi antara pembuat kebijakan dengan politisiatau industri jasa keuangan. Kompromi bukan untuk kepentinganmasyarakat. Sedangkan buruknya akuntabilitas timbul karenatransparansi tidak hanya membolehkan masyarakat melakukanmonitoring aktivitas pengambil kebijakan, tetapi kelompok kepentinganjuga dapat melakukan pemantauan sehingga mereka dapat menilaiapakah pembuat kebijakan mengambil keputusan sesuai dengan hasilkompromi sebelumnya. Semakin transparan, semakin sulit bagipembuat kebijakan untuk tidak “mematuhi kesepakatan”.

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

7 Ibid, hlm. 148 Anita Anand dan Andrew Green, “Regulating Financial Institutions: The Value of Opacity”, McGill LawJournal, March 2012, hm.7.

Page 33: otoritas jasa keuangan.pdf

350

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Pendekatan lain untuk mengukur tingkat independensi OJKdengan melihat dua hal. Pertama, kejelasan tujuan yakni:1) tujuanyang ditetapkan secara jelas dapat membantu pengurus membuatkeputusan tentang alokasi sumber daya dan dalam menentukan responkebijakan yang tepat dalam situasi tertentu, 2) tujuan adanyapengaturan (arrangement) tentang akuntabilitas untuk keputusan danrespon kebijakan. Pasal 4 UU OJK menetapkan bahwa OJK dibentukdengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasakeuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secaraberkelanjutan dan stabil; dan

c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Kedua, independensi, akuntabilitas, integritas dan sumberdayayang memadai. Lembaga independen harus mampu memformulasikankebijakan atas dasar strategi jangka panjang dan dapat mengambilkeputusan yang kredibel. Independensi dapat diperoleh dengan adanyaketentuan yang mengatur tentang pemberhentian pengurus, otonomianggaran dan kemampuan mengalokasikan sumber daya berdasarkankebijakan internal lembaga. Pasal 34 UU OJK menetapkan bahwa:

(1) Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dananggaran OJK.

(2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatandi sektor jasa keuangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJKsebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PeraturanDewan Komisioner.

Ketentuan yang mengatur anggaran dan penggunaan anggaranuntuk membiayai kegiatan OJK ditetapkan berdasarkan standar yangwajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari: 1) standar biayaumum, 2) proses pengadaan barang dan jasa, dan 3) sistem remunerasisebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkaitdengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barangdan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi.

Page 34: otoritas jasa keuangan.pdf

351

Terkait masalah anggaran, Pasal 37 UU OJK menetapkan bahwa:

(1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukankegiatan di sektor jasa keuangan.

(2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajibmembayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksudpada ayat (1).

(3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaanOJK.

(4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutansebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.

(5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihikebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihantersebut disetorkan ke Kas Negara.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan di atas dapat melepaskan ketergantungan OJK padaketersediaan anggaran yang berasal dari APBN sehingga dapatmengurangi intervensi terhadap OJK. Namun demikian, munculpotensi intervensi yang berasal dari industri yang membiayai OJK. Untukitu, akuntabilitas merupakan hal penting bagi OJK. Akuntabilitasdiperlukan OJK untuk meletigimasi tindakannya atas dasarkewenangan yang diberikan. Intergritas direfleksikan dalam mekanismeyang mensyaratkan karyawan lembaga dalam mencapai tujuanorganisasi tanpa menjadi takut terhadap intervensi.

Sedangkan pengaturan tentang masa kerja DK OJK dapat jugadigunakan sebagai kriteria dalam mengukur independensi. Pasal 17UU OJK menetapkan bahwa Anggota Dewan Komisioner tidak dapatdiberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabilamemenuhi alasan sebagai berikut:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri;

c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;

d. berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas ataudiperkirakan secara medis tidak dapat melaksanakan tugas lebihdari 6 (enam) bulan berturut-turut;

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

Page 35: otoritas jasa keuangan.pdf

352

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

e. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisionerlebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapatdipertanggungjawabkan;

f. tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagianggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari BankIndonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h;

g. tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada KementerianKeuangan bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasaldari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal10 ayat (4) huruf i;

h. memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/atausemenda dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak adasatu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya;

i. melanggar kode etik.

Dengan pengaturan sebagaimana di atas dapat disimpulkan bahwaanggota dewan komisioner OJK tidak diberhentikan berdasarkan alasanpolitik. Ketentuan seperti ini akan memberikan keamanan bagi DKdalam mengambil kebijakan yang tidak popular secara politik,

2. Intergasi vs Satu Atap

OJK adalah lembaga yang melaksanakan tugas pengawasan sektorjasa keuangan secara terintegrasi. Hal ini dapat diketahuai dari latarbelakang pendirian OJK ataupun ketentuan yang terdapat dalam UUOJK. Untuk beroperasi sebagai lembaga pengawas yang terintegrasi, OJKperlu memastikan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinyadilakukan secara terpadu tidak terkotak-kotak. Terpadunya kebijakanyang ditetapkan dan dijalankan OJK menjadi ukuran terintegrasinyapelaksanaan tugas OJK. Apabila hal ini tidak dapat terlaksanak denganbaik maka OJK akan beroperasi sebagai ‘sistem satu atap”.

Selama masa transisi, perlu dilakukan harmonisasi berbagaiperaturan perundang-undangan untuk menciptakan kesetaraan diantara sesama lembaga keuangan yang berada di bawah pengwasan OJK.Di Amerika Serikat tugas ini dilakukan oleh Financial Service OversightCouncil (FSOC), yang bertanggung jawab melakukan identifikasi risikosistemik dan kekosongan regulasi dan memberi rekomendasi kepadaregulator bagaimana mengatasi ancaman stabilitas sistem keuangandan meningkatkan disiplin pasar dengan mengurangi kemungkinan

Page 36: otoritas jasa keuangan.pdf

353

pemerintah akan turun memberikan bantuan bilamana suatu lembagakeuangan mengalami kesulitan keuangan. Untuk melakukan tugastersebut, FSOC dibantu oleh suatu lembaga baru yaitu Office of FinancialResearch.

Di Indonesia, tugas tersebut menjadi tanggung jawab DK OJK yangmemastikan bahwa ketentuan tertentu perlu diharmonisasi danketentuan yang tetap dibiarkan berbeda untuk mengakomodir perbedaankarakteristtik industri keuangan. Hal ini dibutuhkan untuk menutupcelah atau mempersempit wilayah abu-abu yang dapat digunakan olehlembaga keuangan melakukan manuver yang dapat merugikankepentingan konsumen dan pada akhirnya merugikan industrikeuangan itu sendiri.

Mengingat terdapatnya perbedaan kareraktiristik di antaralembaga keuangan tersebut, beberapa pengaturan harus dibiarkan tetapberbeda sesuai dengan ciri kegiatan usaha lembaga keuangan tertentu.Untuk itu beberapa hal di bawah perlu dintegrasikan.

1) Regulasi

OJK memiliki kewenangan menerbitkan regulasi yang mencakupregulasi perbankan, pasar modal, perasuransian dan LKBB. Pasal 6 UUOJK menetapkan bahwa OJK berwenang menetapkan peraturan untukseluruh lembaga keuangan. Kewenangan menetapkan peraturantersebut diberikan kepada DK OJK. Dengan ketentuan seperti iniperaturan yang diterbitkan OJK dapat bersifat integratif karenaditerbitkan oleh DK yang dapat melihat permasalahan yang dihadapilembaga keuangan secara holistik. Untuk itu, DK harus didukung olehaparatur yang mampu mengintegrasikan semua peraturan OJK. Hal inimerupakan tantangan besar karena pengawasan masing-masinglembaga keuangan berada pada kepala eksekutif sehingga merekalahyang sehari-hari bergelut dengan masalah-masalah yang dihadapi olehindustri. Usulan peraturan dan perubahan peraturan tentunya berasaldari masing-masing kepala eksekutif. Hal ini dapat menyebabkanperaturan yang ditetapkan oleh DK bersifat sangat sektoral.

Tantangan lainnya adalah belum setaranya bentuk peraturan yangmengatur lembaga keuangan yang tunduk di bawah jurisdiksi OJK.Beberapa lembaga keuangan telah diatur dalam bentuk undang-undang,misalnya perbankan, pasar modal, perasuransian. Sedangkan sebagianbesar lembaga keuangan masih diatur dalam bentuk peraturan di bawah

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

Page 37: otoritas jasa keuangan.pdf

354

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

undang-undang. Idealnya, seluruh lembaga keuangan diatur dalamundang-undang karena menyangkut kepentingan masyarakat. Tugasbesar yang dihadapi OJK ke depan adalah menyusun RUU yangmencakup seluruh lembaga keuangan yang menjadi objek pengawasanOJK. Hal ini diperlukan untuk menciptakan kesetaraan prinsip dasaryang berlaku pada seluruh lembaga keuangan.

Terintegrasinya peraturan juga penting dalam kaitannyaterpisahnya antara pengawasan microprudential dengan pengawasanmacroprudential sebagaimana yang diatur Pasal 7 UU OJK. Kerangkaketerkaitan antara dua jenis pengawasan ini diperlukan sehingga tidakmenimbulkan wilayah tidak bertuan. Risiko yang ditimbulkan akibatadanya wilayah tak bertuan lebih tinggi dibandingkan biaya yangditimbulkan akibat terjadinya tumpang tindih peraturan.

UU OJK tidak memberikan definisi tentang pengawasanmicroprudential maupun definisi tentang pengawasan macroprudential.UU OJK hanya menetapkan bahwa pengawasan microprudentialdifokuskan pada kesehatan individu bank dengan melakukan analisiskesehatan neraca bank khususnya terkait dengan kecukupan modaldalam menghadapi siklus usaha. Tujuan pegawasan microprudentialadalah melindungi nasabah dan menurunkan ancaman efek menularkebangkrutan bank terhadap perekonomian. Sedangkan pengawasanperilaku bisnis terkait dengan perilaku bank terhadap nasabahnya lebihdifokuskan pada perlindungan konsumen melalui keterbukaaninformasi, kejujuran, integritas dan praktik bisnis yang adil.9

Lingkup pengawasan microprdential yang akan dialihkan ke OJKmulai 1 Januari 2014 adalah tugas pengaturan dan pengawasanperbankan yang meliputi hal-hal berikut:10

9 Christian Hawkesby, “Central Bank and Supervisors: The Question of Institutional Structure andResponsibility”, dalam Liisa Halme, et.al, Financial Stability and Central Bank Selected Issues forFinancial Safety Nets and Market Discipline, (London: Bank of England, Centre for Central BankingStudies, 2000), hal. 10010 Pasal 7 UU OJK

Page 38: otoritas jasa keuangan.pdf

355

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yangmeliputi:1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,

anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusandan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisibank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaandana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;.

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yangmeliputi:1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio

kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberiankredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadanganbank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerjabank;

3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan

5. standar akuntansi bank.

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,meliputi:1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan.

d. pemeriksaan bank.Selanjutnya Penjelasan Pasal 7 UU OJK menyatakan bahwa selain

lingkup pengawasan di atas, merupakan tugas dan wewenang BankIndonesia yang disebut sebagai pengaturan dan pengawasanmacroprudential. Dalam rangka pengaturan dan pengawasanmacroprudential tersebut peran OJK adalah membantu BI untukmelakukan himbauan moral kepada industri perbankan.

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

Page 39: otoritas jasa keuangan.pdf

356

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Keterikatan antara kebijakan macroprudential dengan kebijakanmicroprudential, disadari oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapatdilihat dari pengaturan yang terdapat pada Pasal 39 UU OJK yangmenetapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkordinasidengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankanantara lain:

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;

b. sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan danavaluta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha banklainnya, antara lain kartu kredit, kartu debet dan internetbanking;

e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemicallyimportant bank; dan

f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaaninformasi.

Selanjutnya, Pasal 40 UU OJK menetapkan bahwa dalammelaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, BI membutuhkaninformasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, maka BI dapatmelakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tertentu yang masuksystemically important bank (SIB) dan/atau bank lainnya sesuai dengankewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential.

2) Penyidikan dan perlindungan konsumen

Berdasarkan UU OJK, penyidikan seluruh kejahatan di bidangkeuangan dilakukan oleh Penyidik OJK, meskipun tidak mengurangikewenangan penyidikan yang ada di tangan kepolisian. Ketentuanseperti ini sebelumnya hanya berlaku untuk kejahatan di pasar modal,sedangkan kejahatan di sektor keuangan lainnya merupakankewenangan kepolisian. Tidak dimilikinya kewenangan penyidikan bagipengawas bank mempengaruhi efektifitas dalam menjalankan tugaspengawasan bank. Seringkali pengawas “kewalahan” menghadapipengurus bank yang tidak kooperatif dan nakal. Dengan kewenanganpenyidikan yang dimiliki oleh OJK diharapkan penanganan seluruhkejahatan di sektor keuangan dapat dilakukan oleh satu institusi yaituOJK.

Page 40: otoritas jasa keuangan.pdf

357

3) Perlindungan konsumen

Pasal 28 UU OJK menetapkan untuk perlindungan konsumen danmasyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugiankonsumen dan masyarakat, yang meliputi:

a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat ataskarakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;

b. meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikankegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikanmasyarakat; dan

c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Di samping itu, OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumenyang meliputi:

a. menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduankonsumen dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;

b. membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan olehpelaku di Lembaga Jasa Keuangan; dan

c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikanoleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturanperundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenangmelakukan pembelaan hukum, yang meliputi memerintahkan ataumelakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untukmenyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga JasaKeuangan dimaksud. OJK juga dapat mengajukan gugatan untukmemperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan daripihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawahpenguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun dibawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau untukmemperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugianpada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat daripelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasakeuangan.

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

Page 41: otoritas jasa keuangan.pdf

358

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Perlu dipertimbangankan agar keseluruhan sengketa antarakonsumen dengan lembaga keuangan tunduk pada satu lembagapenyelesiaan sengketa tertentu. Hal ini dimaksudkan agar memberikankeamanan bagi nasabah keuangan, mengingat mahal nya prosespenyelesaian sengketa dengan menggunakan badan peradilan. Saat ini,industri perbankan memiliki lembaga mediasi yang dilakukan BI untuksengketa antara nasabah dengan bank dengan nilai di bawah 500 jutasedangkan asuransi memiliki lembaga sendiri yang disebut BadanMediasi Asuransi Indonesia (BMAI), demikian pula halnya dengan pasarmodal.

3) Penyelamatan dan likuidasi bank dan lembaga keuangan lainnya

Konsep penyelamatan perbankan telah memiliki aturan sendiriyang cukup jelas sebagaimana diatur pada Pasal 37 UU Perbankan.Sedangkan konsep penyelamatan lembaga keuangan selain bank belummemiliki aturan setingkat undang-undang yang lengkap sebagaimanayang mengatur industri perbankan. Untuk LKBB tertentu bentukpengaturan industri tersebut bahkan belum diatur dalam undang-undang.

Penanganan lembaga keuangan bermasalah seolah-olah berlombadengan waktu. Apabila jangka waktu antara terjadinya economic insolvendan pencabutan izin usaha terlalu panjang maka kerugian yang akanditanggung masyarakat menjadi lebih besar. Sebab, di antara waktutersebut manajemen memiliki insentif untuk melakukan kegiatan yangberisiko tinggi dalam upaya menjaga agar perusahaan kelihatan tetapsolven. Benar, internal auditorlah yang seharusnya secara dinimendeteksi permasalahan yang timbul dan kemudianmendiskusikannya dengan manajemen agar dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiknya. Namun, pengalamanmenunjukan dalam setiap kasus kebangkrutan lembaga keuangan,justru pemilik dan penguruslah yang punya andil besar dalammenghancurkan bank tersebut.

Lambatnya keputusan pencabutan izin usaha suatu bank misalnya,tidak terlepas dari lemahnya pengaturan. Pasal 37 UU No.7 Tahun 1992tentang Perbankan mensyaratkan harus dilakukannya prosespenyelamatan yang panjang sebelum suatu bank dinyatakan gagal dandicabut izin usahanya. Panjangnya proses ini menimbulkan kesanpengawas lamban mengambil keputusan. Untuk itu, perlu disusunpengaturan yang lebih tegas dan tidak terlalu panjang.

Page 42: otoritas jasa keuangan.pdf

359

Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 5 UU OJK menetapkan bahwa OJK berfungsimenyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasiterhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. UUPerbankan dan UU LPS secara tegas mengatur tata cara likuidasi bank.Mengingat Pasal 2 UU Kepailitan menetapkan bahwa untuk lembagakeuangan diberlakukan rezim tersendiri yang berbeda dengan rezimkepailitan yang berlaku bagi perusahaan bukan lembaga keuangan makadibutuhkan kesetaraan pengaturan untuk likuidasi lembaga keuangan.Dalam kaitan ini perlu juga dipertimbangkan perluasan kewenanganLPS untuk juga mencakup likuidasi dan penyelamatan serta penjaminannasabah bukan bank. Hal ini untuk menghindarkan terdapat rezim yangberbeda di antara lembaga keuangan.

C. PenutupSulit bagi masyarakat dan wakil yang dipilihnya untuk memastikan

bahwa regulator berkerja untuk kepentingan masyarakat. Alasannyaantara lain kompleksitas dan kekaburan sistem keuangan membuatmasyarakat atau parlemen sulit memperoleh informasi yang lengkap.Di samping itu, juga diperlukan keahlian untuk menilai secaraindependen kualitas regulasi di sektor keuangan. Tanpa asesmen yangbaik dan akurat, masyarakat tidak mengetahui dengan tepat apa yangdilakukan regulator atau sulit mengevaluasi kebijakan yang diambiloleh regulator. Kondisi ini disebabkan regulator memonopoli informasidan keahlian yang diperlukan untuk menilai kinerja mereka sendiri.

Oleh karena itu, memberikan kewenangan yang besar kepadalembaga pengawas sistem keuangan tanpa diiringi independensi danpeningkatan tata kelola, sama artinya dengan berjudi dengan masadepan perekonomian. Tanpa independensi dan tata kelola yang baik,krisis yang lebih mahal pasti terjadi. Pengalaman mengajarkan, tidakada negara yang kebal terhadap krisis perbankan. Artinya, sistempengawasan bagaimanapun yang diterapkan, krisis tetap saja terjadi.Untuk itu, mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat (marketdiscipline) dengan cara memperluas penerapan prinsip transparansi(sunshine regulation) penting dilakukan. Tujuannya untuk meningkatkankemampuan nasabah dan stakeholder mengawasi bank secara langsung.Kelompok masyarakat yang potensial sebagai pengawas adalah deposan

Page 43: otoritas jasa keuangan.pdf

360

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

besar, pemegang pinjaman subordinasi, pemegang saham minoritas(publik) dan perusahaan pemeringkat. Kelompok ini adalah kelompokyang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kompleksitas bisnis lembaga keuangan mempersulit lembagapengawas mendeteksi secara dini permasalahan yang dihadapi. Olehkarena itu, kondisi ini harus diikuti oleh peningkatan keterbukaantentang praktik manajemen risiko, bentuk risiko dan kinerjamanajemen risiko yang dibarengi dengan keterbukaan mengenaipermodalan sehingga dapat memfasilitasi bekerjanya disiplin pasar.Keterbukaan yang tepat waktu mengenai informasi tersebutmemungkinkan pengawas dan peserta pasar dapat melakukan penilaianyang lebih sempurna tentang bagaimana lembaga keuanganmemelihara kesehatannya. Penerapan prinsip keterbukaan tentunyaakan mempertajam mekanisme sistem peringatan dini (early warningsystem) sehingga dampak negatif keterlambatan lembaga pengawas yangseringkali terjadi dapat dinetralissi dengan efektifnya pengawasan olehmasyarakat.

Page 44: otoritas jasa keuangan.pdf

361

* Perancang Undang-Undang (Legislative Drafter) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia.

INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PERSPEKTIFUNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS

JASA KEUANGAN(THE INDEPENDENCE OF THE FINANCIAL SERVICES AUTHORITY

PERSPECTIVES IN LAW NUMBER 21 YEAR 2011 CONCERNING THEFINANCIAL SERVICES AUTHORITY)

Wiwin Sri Rahyani*

(Naskah diterima 29/08/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakDengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan telah melahirkan suatu lembaga yang independen yaitu OtoritasJasa Keuangan (OJK) yang merupakan hasil dari suatu proses penataan kembalistruktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsipengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. OJK merupakan lembagayang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas daricampur tangan pihak lain. Meskipun OJK lembaga yang independen tetapikeindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Independensi OJKdalam mengatur dan mengawasi kegiatan di sektor jasa keuangan dilakukanpendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturandan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.Keindependensian OJK akan sepenuhnya efektif, apabila terdapat GoodCorporate Governance dalam dunia keuangan dan perbankan.Kata kunci : independen, pengaturan, pengawasan, sektor jasa keuangan

AbstractThe approved Law Number 21 Year 2011 concerning the Financial Services Authorityhas given birth to an independent institution, namely the Financial Services Authority(OJK), which is the outcome of a restructurization process of organizational structureof the institutions that conduct the management and supervision functions in theregulation and supervision of the financial services sector. OJK is an institution thatis independent in conducting its duty and authority, free from the interference of anyother. Even though OJK is independent but its independence does not apply fully.The indepedence of OJK in managing and monitoring activity in financial servicessector is done by approach through good coordination in producing regulation anddoing close monitoring to an independent institution. The independence of OJK willbe fully effective if there is good corporate governance in finance and banking sector.Keywords : independent, regulation, supervision,the financial services sector

Page 45: otoritas jasa keuangan.pdf

362

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

A. PendahuluanDengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan telah melahirkan suatu lembaga yangindependen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan hasildari suatu proses penataan kembali struktur pengorganisasian darilembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan danpengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidangperbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank. Penataantersebut dilakukan dalam kerangka peraturan dan pengawasan sektorjasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif. Penataan tersebutsejalan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentangBank Indonesia yang mengamanatkan pembentukan lembagapengawasan sektor jasa keuangan. Dalam Undang-Undang tersebutdijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan olehlembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dandibentuk dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, telahjelas bahwa pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuanganindependen harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnyadinyatakan bahwa pembentukkan lembaga pengawasan akandilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002.1

Dan hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagipembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasakeuangan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia mengamanatkan bahwa tugas mengawasi Bank akandilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang

1 Dalam Penjelasan Pasal 34 Undang-Unang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dijelaskanbahwa Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bankdan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun,sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakanpengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dankedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada BadanPemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (super-visory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yangakan diatur dalam undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasanini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengankoordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan datamakro yang diperlukan.

Page 46: otoritas jasa keuangan.pdf

363

independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Pembentukanlembaga pengawasan, akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31Desember 2010. Akan tetapi dalam prosesnya pada tahun 2010, perintahuntuk pembentukkan OJK, masih belum terealisasi. Tetapi akhirnyapada tanggal 22 November 2011 disahkanlah Undang-Undang Nomor 21Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), lembaga yangnantinya melakukan pengawasan di sektor jasa keuanganmenggantikan fungsi pengawasan Bank Indonesia (BI) dan BadanPengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) agarmenjadi terintegrasi dan komprehensif.

Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungankonsumen jasa keuangan dan terganggunya stabilitas sistem keuanganjuga menjadi alasan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan ini.

Meski secara normatif disebutkan bahwa OJK adalah lembagaindependen, tetapi timbul keraguan akan independensi OJK tersebut.Sebagai sebuah lembaga pengawas yang mengawasi seluruh lembagajasa keuangan di Indonesia, sudah sepatutnya jika Otoritas JasaKeuangan (OJK) menjadi lembaga yang independen tanpa intervensipihak lain.

Dalam pelaksanaannya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yangterdiri dari 9 orang anggota sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1)UU OJK. Komposisi Dewan Komisioner (DK) yang akan ditempati olehmantan pegawai lembaga keuangan tertentu, menjadi dasar adanyakeraguan bahwa OJK akan benar-benar independen. Institusi OJK yangseharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasansecara independen kepada institusi keuangan seperti Bank dan LembagaKeuangan malah mayoritas diisi oleh orang-orang yang berasal BankIndonesia dan Kementrian Keuangan. Ditambah lagi dengan kendalapenyatuan antar komisioner.2

Persoalan selanjutnya yang muncul, apakah OJK ini akan menjadiindependen jika pungutan atau iuran ditetapkan kepada pihak yangmelakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang diawasinya?Persoalan ini mempengaruhi independensi OJK yaitu karena adanya

Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam ...

2 “Independensi OJK Masih Dipertanyakan?”, (26 Juli 2012), diunduh dari http://ekonomi. inilah.com/read/detail/1887030/independensi-ojk-masih-dipertanyakan diakses 9 Agustus 2012.

Page 47: otoritas jasa keuangan.pdf

364

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

pembiayaan di OJK yang bersumber dari APBN dan/atau pungutan daripihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.3

Tulisan ini bermaksud untuk menguraikan beberapa persoalanyang mempengaruhi independensi dari OJK, untuk mengetahui konseplembaga independen dalam system ketatanegaraan di Indonesia, danuntuk menguraikan aspek yuridis dari OJK sebagai suatu lembaga yangindependen.

Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaanyang dilakukan dengan meneliti data sekunder.4 Tulisan ini dilakukandengan meneliti ketentuan-ketentuan yang ada di dalam peraturanperundang-undangan dan literatur terkait. Tulisan ini dianalisis denganmenggunakan deskriptif analitis.

B. Lembaga Independen di IndonesiaPerkembangan lingkungan strategik global dan tuntutan dinamika

masyarakat menjadi momentum bagi negara untuk menyempurnakantatanan pemerintahan negara yang efektif dan efisien dalam mengatasipermasalahan dan mengantisipasi masa depan yang semakin kompleks.Luasnya cakupan tugas negara untuk mewujudkan kesejahteraanmasyarakat, terkadang tidak dapat sepenuhnya diakomodasi olehlembaga-lembaga yang secara konvensional ada dalam suatu Negara.5

Lembaga-lembaga khusus atau ‘special agencies’ merupakan gejalayang dapat dikatakan baru dalam dinamika penyelenggaraan kekuasaannegara modern. Menurut doktrin Montesquieu yang sebenarnya tidakpernah diterapkan dalam praktik yang nyata, lembaga-lembaga negaradiidealkan hanya terdiri atas tiga lembaga utama penyelenggaraankekuasaan negara, yaitu parlemen, pemerintah, dan pengadilan yangmencerminkan fungsi-fungsi legislative, executive, dan judicial. Namun,sejak akhir abad ke 19, dengan munculnya tuntutan agar negaramengambil peran lebih besar dalam dinamika kehidupan bermasyarakatdan bernegara, maka jumlah lembaga-lembaga negara menjadi

3 “Pungutan dari Industri Keuangan Ancam Independensi OJK”, (12 Juni 2012), Hukum Online,Jakarta, diunduh dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd773ad0990d/pungutan-dari-industri-keuangan-ancam-independensi-ojk diakses 10 Agustus 2012.4 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 24.5 Kajian Yuridis Lembaga Independen di Indonesia, diunduh dari http://pkhan.lanri. info/index.php?option=com_content&view=article&id=63&Itemid=72, diakses 10 Agustus 2012.

Page 48: otoritas jasa keuangan.pdf

365

bertambah banyak pula sesuai dengan tuntutan kebutuhan menurutdoktrin negara kesejahteraan (welfare state).6

Bersamaan dengan itu, bentuk-bentuk organisasi yangmenjalankan fungsi-fungsi pemerintahan negara juga berubah pesat.Fungsi-fungsi yang sebelumnya bersifat legislatif, eksekutif, ataujudikatif, mulai dirasakan tidak lagi mencukupi, sehingga doktrinpemisahan kekuasaan tidak lagi dianggap ideal. Yang dianggap lebihideal justru adalah prinsip checks and balances atau prinsip pembagiankekuasaan atau “sharing of power”.7

Salah satu trend yang berkembang saat ini adalah mendorongpemberian peran yang lebih besar kepada masyarakat dalampenyelenggaraan pemerintahan negara. Kesemuanya ini diarahkanuntuk mewujudkan checks and balances system dalam penyelenggaraanpemerintahan negara, yang diaktualisasikan secara institusional dandisesuaikan dengan bidang-bidang kekuasaan negara. Artinya, padasetiap bidang kekuasaan negara yang sudah memiliki lembaga yangdefinitif secara struktural masih diperlukan lembaga lain yang bersifatindependen dan berstatus ekstra struktural.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhanlembaga yang independen dan berstatus ekstra struktural adalah denganmemetakan kembali bidang kekuasaan negara mana yangmembutuhkan peran lembaga di luar lembaga definitif yang telah adadan kekuasaan negara mana yang tidak. Kegiatan pemetaan inidimaksudkan untuk mengidentifikasi keberadaan “kelembagaanindependen yang berstatus ekstra struktural pemerintah” dalam praktekpenyelenggaraan pemerintahan atau yang dikenal dengan istilah“lembaga independen”. Beberapa bentuk perwujudan lembaga independentersebut berupa komisi independen (state auxiliary agencies), lembaga/badan pengatur independen (independent regulatory body) atau Quangos(Quasi-autonomous non governmental organizations) yang dapatberbentuk komisi (agency/commision), badan (body) atau dewan (board).Lembaga independen umumnya bersifat membantu/menunjangpelaksanaan kekuasaan negara tertentu baik di bidang eksekutif.

Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam ...

6 Jimly Asshiddiqie, “”Beberapa Catatan Tentang Lembaga-Lembaga Khusus Dalam PenyelenggaraanPemerintahan Negara”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Strukturaloleh Kantor Menpan Republik Indonesia, 1 Maret 2011.7 Ibid.

Page 49: otoritas jasa keuangan.pdf

366

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Menurut John Alder, beberapa lembaga disebut public corporationsatau nationalised industries, beberapa disebut Quangos (quasi-autonomousnon-government bodies). Akan tetapi secara umum, menurut Alder disebutsebagai Non-departement bodies, public agencies, commissions, board danauthorities.8 Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut pada umumnyaberfungsi sebagai a quasi governmental world of appointed bodies danbersifat non departmental agencies, single purpose authorities, dan mixedpublic-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dandiberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi campuran sepertidi satu pihak sebagai pengatur, tetapi juga menghukum seperti yudikatifyang dicampur dengan legislatif.9 Oleh karena itu, lembaga-lembagatersebut selain disebut auxiliary state‘s organ juga disebut sebagaiself regulatory agencies, independent supervisory bodies atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function).10

Terhadap fungsi tersebut, sebagian ahli ada yang tetapmengelompokkan dalam lingkup kekuasaan eksekutif atau dalamkelompok kekuasaan baru, yakni kekuasaan keempat (the fourth branchof the government) seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan AndrewKnapp sebagai berikut:11 Berdasarkan pendapat Yves Meny dan AndrewKnapp, terdapat kekuasaan keempat yakni lembaga-lembagaIndependen. Lembaga ini menurut Yves Meny dan Andrew Knapp adakarena kecenderungan dalam teori administrasi untuk mengalihkantugas-tugas yang bersifat regulatif dan administrasi menjadi bagiantugas lembaga independen. Independensi, kedudukan, dan ruang lingkupkewenangan lembaga-lembaga tersebut juga bervariasi tidak ada tolokukur kesamaan secara teori untuk membentuk Independensi,kedudukan, dan ruang lingkup kewenangan lembaga-lembagatersebut.Begitu pula untuk wilayah berlakunya kebanyakan bersifatnasional, namun ada pula yang terbatas pada daerah tertentu saja.

Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkanbersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang

8 John Alder, Constitutional & Administrative Law, (London: Macmillan Professional Masters, 1989),hlm. 232.9 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 341.10 Ibid.11 Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politic in Western Europe: Britain, France, Italy,Germany, 3rd edition, (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 281.

Page 50: otoritas jasa keuangan.pdf

367

semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkansemiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badanindependen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent andself-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara.12 Akan tetapi,gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yangmembentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanismeakuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan polahubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaanmembuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman.

C. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu LembagaIndependenBerdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan(UU OJK), OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakantugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecualiuntuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Lebih jauh dalampenjelasan umum UU OJK disebutkan bahwa OJK dalam menjalankantugas dan kedudukannya berada di luar pemerintah.

Meski secara normatif disebutkan bahwa OJK adalah lembagaindependen, tetapi timbul keraguan akan independensi OJK tersebut.Dalam pelaksanaannya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yangterdiri dari 9 orang anggota sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1)UU OJK. Komposisi Dewan Komisioner (DK) yang akan ditempati olehmantan pegawai lembaga keuangan tertentu, menjadi dasar adanyakeraguan bahwa OJK akan benar-benar independen.13 Seperti diketahui,susunan anggota DK OJK terdiri atas:14

a. seorang Ketua merangkap anggota;

b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;

Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam ...

12 Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-UndangDasar 1945”, (makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan temaPenegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan PembinaanHukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hlm. 22-23.13 Rimawan Pradiptyo sebagaimana dikutip dalam artikel “Belum Dibentuk, Independensi OJKDiragukan”, diunduh dari http://beta.hukumonline.com/berita/baca/lt4eb31b39bde64/belum-dibentuk-independensi-ojk-diragukan diakses 10 Agustus 2012.14 Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 51: otoritas jasa keuangan.pdf

368

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkapanggota;

e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnyamerangkap anggota;

f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindunganKonsumen;

h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakananggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yangmerupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

Adanya unsur ex officio dalam Dewan Komisaris OJK itulah yangkemudian dikhawatirkan akan mempengaruhi pelaksanaanindependensi OJK. Secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintah,yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaanpemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsurperwakilan pemerintah. OJK merupakan otoritas di sektor jasakeuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat denganotoritas lainnya, yakni otoritas moneter dan otoritas fiskal. Oleh karenaitu, lembaga ini memberikan tempat bagi perwakilan kedua otoritastersebut secara ex-officio. Satu orang anggota dari Bank Indonesia danseorang lagi dari Kementerian Keuangan. Dua orang ini mengisisembilan anggota Dewan Komisioner OJK. Keberadaan ex-officio ini dalamrangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidangmoneter dan fiscal.

Meskipun ada unsur pemerintah dalam Dewan Komisioner OJK,OJK adalah lembaga independen. Independensi OJK juga terlihat darikepemimpinan OJK secara perorangan. Pimpinan OJK memilikikepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecualimemenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK.15

Keidependensian OJK akan sepenuhnya efektif, apabila terdapatGood Corporate Governance dalam dunia keuangan dan perbankan.

15 “Menkeu: OJK Lembaga Independen, tetapi...”, (21 Desember 2011), Harian Kompas,Jakarta, diunduh dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/21/12423080/Menkeu.OJK.Lembaga.Independen.tetapi. diakses 10 Agustus 2012.

Page 52: otoritas jasa keuangan.pdf

369

Terdapat empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GoodCorporate Governance, yaitu fairness, transparency, accountability, danresponsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapanprinsip Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapatmeningkatkan kualitas dan juga dapat menjadi penghambat aktivitasrekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidakmenggambarkan nilai fundamental perusahaan. Fungsi pengawasan itubukan terletak dari dibentuknya lembaga baru atau tidak. Tapi dari adaatau tidaknya penerapan good corporate governance.16

Persoalan lainnya yang mempengaruhi idependensi OJK adalahpembiayaan di OJK yang bersumber dari APBN dan/atau pungutan daripihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.17Penetapanbesaran pungutan itu dilakukan dengan tetap memperhatikankemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Pungutan atau iuran akan mengurangi independensi OJK sehinggaakan lebih baik jika pendanaan OJK berasal dari Anggaran PendapatanBelanja Negara (APBN). Akan tetapi demi perkembangan industri jasakeuangan di Indonesia, pungutan atau iuran dapat saja dilakukan olehOJK, namun untuk 5 tahun pertama tentu saja pembiayaan berasal daridana APBN. Selain itu, pungutan atau iuran juga dapat dilakukan jikapembiayaan terhadap OJK terlalu membebani APBN. Namun di satusisi, apabila OJK ini memiliki program yang baik untuk pengembanganjasa keuangan di Indonesia, pungutan atau iuran ini nantinya tidakakan ditolak oleh industri jasa keuangan apabila sudah merasakanmanfaat dari lembaga pengawas dan pengaturan jasa keuangan ini.

Selanjutnya terkait dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) UUOJK bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakantugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecualiuntuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Adanyapengecualian terhadap independensi OJK berlaku pula bagi ketentuanBank Indonesia. Meskipun Bank Indonesia dan OJK adalah lembaga yangindependen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut(mutlak). Begitu juga dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembagayang independen. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimanadiubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana

Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam ...

16 “Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, Namun diminati di Indonesia”, (18 April 2012), Kompasiana,Jakarta, diunduh dari http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/04/18/ironisme-ojk-gagal-di-negara-maju-namun-diminati-indonesia/diakses 10 Agustus 2012.17 Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 53: otoritas jasa keuangan.pdf

370

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang BankIndonesia (selanjutnya disingkat UU BI) menegaskan di Pasal 4 ayat (2)UU BI tidak berlaku keindependensian Bank Indonesia secara murnisebab pasal ini merupakan pasal pengecualian. Ketentuan pengecualianitu ditentukan, jika diatur secara tegas dalam UU BI. UU OJK jugamengatur ketentuan pengecualian di Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2)terdapat pengecualian jika diatur secara tegas menurut UU OJK.

Independensi bagi BI dan OJK tidak diserahkan kepada kedualembaga ini secara mutlak. Ketika misalnya sistem itu berurusan denganpenyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro sebagaimanaditentukan dalam Pasal 39 UU OJK18.

Kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK ketika misalnya bankberdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e), maka dapat dicegah danditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK),sebab kondisi ini dikategorikan tidak normal sebagaimana yangditentukan dalam Pasal 45 ayat (2) UU OJK. Sehingga independensidalam mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan dilakukanpendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkanpengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatulembaga yang independen.

D. PenutupBerdasarkan uraian di atas, dapat diuaraikan hal-hal sebagai

berikut:

1. Kesimpulan

a. OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campurtangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, danwewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, danpenyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-UndangNomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

18 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturanpengawasan di bidang Perbankan antara lain:a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;b. sistem informasi perbankan yang terpadu;c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial

luar negeri;d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; danf. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.g.

Page 54: otoritas jasa keuangan.pdf

371

b. OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Tugas pokoknya untukmelakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, danpenyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaansektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, danapensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaanpembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakanpengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifatindependen dalam menjalankan tugasnya, berartikedudukannya berada di luar institusi pemerintah danberkewajiban menyampaikan laporan kepada BadanPemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat(DPR).

c. Meskipun OJK lembaga yang independen tetapikeindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak).

2. Saran

Untuk menjaga independensi OJK dalam mengatur dan mengawasikegiatan di sektor jasa keuangan maka perlu dilakukan koordinasiyang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukanpengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.Selain itu, independensi OJK akan sepenuhnya efektif, apabilaterdapat Good Corporate Governance dalam dunia keuangan danperbankan.

Daftar Pustaka

Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: MacmillanProfessional Masters, 1989.

Asshiddiqie, Jimly.Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalamSejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta:UI-Press, 1996.

____. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan KeempatUndang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Semi-nar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema PenegakanHukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan,diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NasionalDepartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18Juli 2003.

Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam ...

Page 55: otoritas jasa keuangan.pdf

372

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

____. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MahkamahKonstitusi RI, 2006.

____. Beberapa Catatan Tentang Lembaga-Lembaga Khusus DalamPenyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Makalah disampaikandalam Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural olehKantor Menpan Republik Indonesia, 1 Maret 2011.

Meny Yves dan Andrew Knapp, Government and Politic in WesternEurope: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, (Oxford:Oxford University Press, 1998).

Rimawan Pradiptyo sebagaimana dikutip dalam artikel “Belum Dibentuk,Independensi OJK Diragukan”, diunduh dari http://beta.hukumonline. com/berita/baca/ lt4eb31b39bde64/ belum-dibentuk-independensi-ojk-diragukan diakses 10 Agustus 2012.

Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam StrikturKetatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12Tahun III, April-Juni 2006.

Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-citaNegara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatasdengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan NegaraPascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh KonsorsiumReformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta,9 September 2004.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 56: otoritas jasa keuangan.pdf

373

* Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum (MIH) Program Pascasarjana (PPS)Unversitas Jayabaya.

EFEKTIVITAS PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGANTERHADAP LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH

(EFFECTIVE CONTROL OF FINANCIAL SERVICES AUTHORITYON SHARIA BANKING INSTITUTIONS)

Hasbi Hasan*

(Naskah diterima 18/07/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakEfektifitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perbankansyariah sangat bergantung pada komunikasi dan koordinasi antara OJK denganlembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah, seperti Dewan SyariahNasioanl (DSN) dan Dewan Pengurus Syariah (DPS). Salah satu upaya untukmemudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN dan DPStersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan syariahdalam struktur organisasi OJK. Selain itu, struktur keanggotaan DK-OJK yangakan disahkan oleh Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan SDM yangmemiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankan syariah,sehingga OJK diharapkan memiliki skema dan prosedur dalam pengembanganperbankan syariah.Kata kunci : efektifitas, regulasi, supervisi, koordinasi

AbstractThe effectivity of the supervision of Financial Services Authority (OJK) to the Shariabanking will be depending much on communication and coordination between OJKand other institutions related to Shariah banking such as DSN and DPS. One of theefforts to facilitate the communication and coordination between OJK, DSN and DPSis by making unit or directorate of Sharia banking in the structure of OJKorganization. In addition to that, the structure of membership of DK-OJK which willbe authorized by the government and House of Representative needs to considerhuman resources having the commitment and good understanding about the financeof Sharia banking. So that, it is hoped that OKJ will have scheme and procedure indeveloping Sharia banking.Key words : effectivity, regulation, supervision and coordination.

A. PendahuluanLembaga keuangan di Indonesia secara umum dibagi menjadi dua,

yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Lembagakeuangan bank meliputi bank umum, bank syariah, dan BPR (umum

Page 57: otoritas jasa keuangan.pdf

374

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi perasuransian, pasarmodal, perusahaan pegadaian, dana pensiun, koperasi, dan lembagapenjaminan dan pembiayaan—perusahaan yang dapat dikategorikansebagai lembaga pembiayaan antara lain perusahaan sewa guna usaha(leasing), perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan modalventura.

Regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan bank dannonbank selama ini ditangani oleh institusi yang berbeda. Lembagakeuangan bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia (BI), sedangkanlembaga keuangan nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK-sebuah lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan.Regulasi dan supervisi sektor perbankan dilaksanakan oleh BankIndonesia berdasarkan amanat UU Nomor 6 Tahun 2009. Sektorperbankan diatur dan diawasi oleh BI karena sektor tersebut memilikipertautan erat dengan kebijakan moneter—mengawasi dan mengatursektor perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapaikestabilan nilai tukar rupiah.

Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (UU No. 21 Tahun 2011) pada 22November 2011, kebijakan politik hukum nasional mulai mengintrodusirparadigma baru dalam menerapkan model pengaturan dan pengawasanterhadap industri keuangan Indonesia. Berdasarkan UU No. 21 Tahun2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan menjadikewenangan OJK. Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011, OJKmemiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan danpengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalamsektor jasa keuangan. Melalui Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011 tersebut,Indonesia akan menerapkan model pengaturan dan pengawasan secaraterintegrasi (integration approach), yang berarti akan meninggalkan modelpengawasan secara institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21Tahun 2011 ini, seluruh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadapsektor keuangan yang kini masih tersebar di BI dan Bapepam-LK akanmenyatu ke dalam OJK.

Kendati demikian, kebijakan baru ini telah menyisakan keraguandan kekhawatiran di benak beberapa kalangan dalam kaitannya denganefektivitas OJK. Sebagaimana diketahui, salah satu alasan utamapenggabungan otoritas regulasi dan supervisi yang diintrodusir OJKtersebut adalah dalam rangka mewujudkan efisiensi dan memicuperkembangan lembaga keuangan. Namun menurut beberapa kalangan,

Page 58: otoritas jasa keuangan.pdf

375

belum terdapat suatu bukti empiris mengenai keunggulan daripenggabungan otoritas pengaturan dan pengawasan tersebut terutamabaik dari sisi mikro prudensial maupun dari sisi stabilitas sistemkeuangan. Oleh karena itu, salah satu tantangan serius yang harusdiperhatikan adalah bagaimana membangun kepercayaan masyarakatbahwa OJK akan mampu menjalankan perannya secara baik.

Dalam konteks ini, penulis akan mencoba memotret kemungkinanefektifitas pengawasan OJK terhadap lembaga perbankan syariah.Sebagaimana diketahui, masa depan pertumbuhan industri perbankansyariah sempat melahirkan tanda tanya ketika pengawasan perbankanberalih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan pada 2013.Tanda tanya tersebut paling tidak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.Pertama, UU OJK tidak secara eksplisit menjelaskan perihal cetak biru(blueprint) pengembangan industri perbankan syariah—hal ini berbedadengan Bank Indonesia yang memiliki Direktorat Perbankan Syariah.Kedua, UU OJK terkesan diam (silent) terhadap jasa keuangan berbasissyariah, karena dalam UU tersebut kata syariah hanya muncul satukali saja, yaitu pada Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 5. Ketiga,susunan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK)belum menunjukkan spirit keberpihakan terhadap industri perbankansyariah dan belum merepresentasikan keterlibatan bank syariah sebagailembaga keuangan.

B. Signifikansi Lembaga Pengawasan Sektor KeuanganPertumbuhan perekonomian yang pesat tidak dapat dilepaskan dari

perkembangan sistem keuangan yang semakin canggih. Terjadinyaproses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakansistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkaitantar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungankepemilikan di berbagai subsektor keuangan telah menambahkompleksitas transaksi dan interaksi antar-lembaga jasa keuangan didalam sistem keuangan.

Sektor keuangan memainkan peranan krusial dalam sistemperekonomian melalui pertumbuhan ekonomi, akumulasi kapital, daninovasi teknologi.1 Fungsi intermediasi memungkinkan lembaga

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

1 Lihat R. Levine, “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda,” dalam Journal ofEconomic Literature, Vol. 35, 1997, hlm. 688-726.

Page 59: otoritas jasa keuangan.pdf

376

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

keuangan menggalang dana dari pihak yang memiliki kelebihan danadan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan dana khususnyapada sektor riil. Sektor inilah yang menjaga keseimbangan antarsektorperekonomian dan memastikan roda perekonomian tetap berputar.Sistem keuangan memainkan peranan penting dalam perekonomiankarena sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihakyang mengalami surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisitfinansial. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsisecara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baiksehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Regulasi dan supervisi sektor keuangan yang kuat merupakanfaktor yang sangat krusial dalam rangka mengimbangi perkembangansektor keuangan tersebut. Sektor keuangan merupakan sentrum dalamsebuah sistem perekonomian, sehingga kegagalan dalam mengelolasektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistemperekonomian.2 Regulasi dan pengawasan sektor keuangan jugamenempati posisi penting dalam rangka mengantisipasi potensipelanggaran yang mungkin saja dilakukan oleh lembaga keuangan.Perkembangan kompetisi di sektor keuangan tak dapat dipungkiri akanmemicu institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk.Namun demikian, inovasi yang dilakukan seringkali berpotensimelanggar ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yangbegitu ketat.

Dengan demikian, sasaran pokok dari regulasi dan supervisi adalahuntuk mendorong keamanan dan kesehatan lembaga-lembaga keuanganmelalui evaluasi dan pemantauan yang berkesinambungan, termasukpenilaian terhadap manajemen risiko, kondisi keuangan dan kepatuhanterhadap undang-undang dan regulasi. Regulasi dan supervisi yangefektif merupakan jaring pengaman pertama yang bertujuan untukmenciptakan dan memelihara sistem keuangan, khususnya perbankanyang sehat. Lemahnya pengawasan kerap dituduh sebagai salah satupenyebab kelemahan sistem keuangan.3 Pada saat yang sama, informasiasimetrik seringkali mendorong timbulnya masalah adverse selection

2 Lihat Stiglitz, J., “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World Bank AnnualConference on Development Economics Supplement, 1993, hlm. 19-61.3 Lihat David G. Mayes, Halme Liisa dan Liuksila Aarno, Improving Banking Supervision, (Palgrave,2001), dalam Sukarela Batunanggar, “Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya diIndonesia”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4, Nomor 3, Desember2006, hlm. 2.

Page 60: otoritas jasa keuangan.pdf

377

dan moral hazard yang berdampak terhadap sistem keuangan dankarenanya perlu dilakukan pengawasan prudensial.4

Dalam konteks ini, fungsi pengawasan sektor keuangan secaraumum dapat diklasifikasikan menjadi tiga matriks, yaitu:5

1. Macroprudential Supervision; bertujuan membatasi krisis keuanganyang dapat menghancurkan ekonomi secara riil—berfokus padakonsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasarkeuangan—antara lain dengan cara menginformasikan kepadaotoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat potensiketidakseimbangan di sejumlah institusi keuangan sertamelakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusikeuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.

2. Microprudential Supervision; bertujuan untuk menjaga tingkatkesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulatormenetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan, yaituanalisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat(on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhanlembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku.

3. Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatankonsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yangmungkin terjadi.

Sementara fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur danpengawas meliputi: (a) prudential regulation bagi keamanan dankesehatan lembaga keuangan; (b) stabilitas dan integritas sistempembayaran; (c) prudential supervision lembaga keuangan; (d) pengelolaanregulasi bisnis—seperti peraturan mengenai bagaimana perusahaanmengelola bisnis dengan pelanggannya; (e) pengelolaan pengawasanbisnis; (f) penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjaminsimpanan dan peran lender of last resort yang dimiliki oleh bank sentral;(g) bantuan likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan likuiditas

4 Lihat Frederick Mishkin, “Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in EmergingMarket Countries”, NBER Working Paper No. 8087, January 2001, dalam Sukarela Batunanggar, “JaringPengaman Keuangan”, hlm. 2.5 Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik,23 Agustus 2010, h. 23-24, dalam http://xa. yimg.com/kq/groups/ 24063110/2095520493 /name/KajiAkademik OJK-UI-UGMversi+230810.pdf, diakses pada 10 April 2012.

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

Page 61: otoritas jasa keuangan.pdf

378

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

bagi lembaga tidak solven; (h) penanganan lembaga yang tidak solven;(i) resolusi krisis; dan (j) isu-isu terkait dengan integritas pasar.6

Menurut Nasution, lembaga yang berwenang dalam melakukanfungsi pengawasan dan pengaturan sektor keuangan, moneter, dan fiskalharus mampu memformulasikan dan menerapkan kebijakan yangkonsisten, integrated, forward looking, dan cost effective, dapatmempertahankan kompetisi yang sehat dan dapat mendukung inovasisektor keuangan.7 Sementara Llewellyn menandaskan bahwa lembagapengawasan harus memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis,memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi yang tercermin dalambiaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan fungsi sertamemiliki persepsi yang baik di mata publik.8

C. Latar Belakang dan Kerangka Konseptual Pembentukan OJKLatar belakang pembentukan OJK bermula dari munculnya

ketidakpuasan dan kekecewaan beberapa kalangan terhadap fungsipengawasan Bank Indonesia terhadap lembaga-lembaga keuangan diIndonesia. Secara umum, terdapat 3 (tiga) faktor yang melatar belakangipembentukan OJK, yaitu: perkembangan industri sektor jasa keuangandi Indonesia; permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan; danamanat UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.9

Sektor keuangan di Indonesia, baik lembaga keuangan bank dannonbank, telah mengalami perkembangan yang begitu pesat.Perkembangan tersebut telah memicu peningkatan interkoneksi dantransaksi antara satu lembaga keuangan dengan lainnya. Dalam situasidemikian, pengawasan lembaga keuangan yang longgar atau terpisahcenderung menimbulkan penyalahgunaan yang berakibat fatal terhadap

6 Lihat D. T. Llewellyn, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The BasicIssues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Coun-try Needs”, Washington DC, 6 dan 7 Juni 2006.7 Lihat A. Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda ke Depan”,Makalah dipresentasikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan PembinaanHukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar, 14-18 Juli 2003.8 Lihat D. T. Llewellyn, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The BasicIssues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Coun-try Needs” Washington DC, 6 dan 7 Juni 2006.9 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4867).

Page 62: otoritas jasa keuangan.pdf

379

kesehatan lembaga keuangan. Oleh karena itu, pembentukan sistempengawasan merupakan salah satu solusi yang niscaya dalam rangkamengantisipasi permasalahan tersebut. Dalam konteks ini, penyatuanlembaga pengawas dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang adadari dualisme pengawasan. Lebih dari itu, melalui penyatuan lembagapengawas, maka aliran informasi menjadi lebih terpusat sehinggapemantauan lembaga keuangan yang menyeluruh dapat direalisasikan.Pada saat yang sama, meluapnya permasalahan lintas sektoral di sektorjasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnyaperlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitassistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukanlembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.

Melihat dinamika dan kompleksitas lembaga keuangan tersebut,pemerintah mulai menggulirkan wacana untuk menyatukanpelaksanaan fungsi regulasi dan supervisi dalam satu lembaga untukmemperkuat sektor keuangan. Rencana pembentukan lembagapengawasan semacam itu pada dasarnya telah lama dicanangkanpemerintah melalui UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.Namun dalam UU ini, pemerintah belum mengintrodusir terminologiOJK. Dalam UU ini, istilah yang digunakan adalah “Lembaga PengawasJasa Keuangan” (LPJK). Pasal 34 UU ini menyebutkan bahwa “(1) Tugasmengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasakeuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2)Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.” Dalamperjalanannya, UU Nomor 23 Tahun 1999 diamandemen menjadi UUNomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 34 ayat (2) UU inimenyebutkan bahwa “Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31Desember 2010.” Sejak perubahan inilah terminologi OJK mulai bergulirmenjadi wacana publik.

Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang BankIndonesia pada dasarnya merupakan respon atas krisis Asia yang terjadipada tahun 1997-1998 yang berdampak besar terhadap perekonomianIndonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknyabank-bank yang mengalami kolaps sehingga banyak yangmempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank.

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

Page 63: otoritas jasa keuangan.pdf

380

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukungdiharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistemkeuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum perbankandiharapkan menjadi obat pemulih krisis dan sekaligus menjadipenangkal untuk mengantisipasi pemasalahan-permasalahan di masadepan.

Karena hal tersebut, terbentuklah ide awal pembentukan LembagaPengawas Jasa Keuangan yang sebenarnya merupakan hasil kompromiuntuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentangBank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahanPresiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undangtentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada banksentral. Rancangan Undang-Undang ini di samping memberikanindependensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankandari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentralini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank(Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)-kemudian menjadi UU No. 23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia-bertindak sebagai konsultan. Ketika RUU tersebut diajukan,muncul penolakan dari kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagaikompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikanBank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugasmengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidakterlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalahmemangkas kewenangan bank sentral. Dengan demikian, LembagaPengawas Jasa Keuangan atau OJK nantinya akan mengawasi seluruhindustri jasa keuangan yang ada di Indonesia.10

Rencana pembentukan OJK tersebut kemudian bergulir menjadidiskursus publik yang cukup ramai diperbincangkan oleh pelbagaikalangan. Salah satu perdebatan yang muncul adalah sejauh manalingkup fungsi yang diamanatkan kepada OJK. Selama ini, fungsiregulasi pengawasan sektor keuangan di Indonesia telah dilaksanakanoleh beberapa lembaga. Regulasi dan pengawasan sektor perbankandilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan regulasi dan pengawasan

10 Lihat Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan; Pandangan Fraksi-fraksi DalamRapat Pembahasan RUU tentang OJK; dan Zulkarnain Sitompul, “Menyambut Kehadiran Otoritas JasaKeuangan (OJK)”, Pilars, No. 02/Th. VII/12-18 Januari 2004.

Page 64: otoritas jasa keuangan.pdf

381

pasar modal, lembaga asuransi, dan lembaga pembiayaan dilaksanakanoleh Bapepam-LK. Sesuai dengan rencana, OJK akan mengambil alihfungsi regulasi dan pengawasan seluruh sektor keuangan di Indonesia.Argumen yang menentang pembentukan OJK melalui mekanismepenyatuan fungsi pengawasan BI dan Bapepam-LK adalah biaya transaksiyang tinggi. Biaya transaksi tersebut meliputi biaya legalitas,sumberdaya manusia dan teknologi, dan faktor eksternal. Sebagaicontoh, penyatuan lembaga memerlukan peraturan perundangan,standard operating procedure, dan rule of the game yang baru. Peralihansumberdaya manusia dan teknologi dari BI dan Bapepam-LK ke OJK jugaakan mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal yang perlu dikhawatirkandari proses penyatuan lembaga pengawas adalah kejutan eksternal. Padasaat lembaga baru belum mapan (established) dan terjadi kejutaneksternal, sektor keuangan akan mendapatkan dampak yang buruk.

Pilihan untuk menentukan model pengawasan industri keuangansejatinya memang banyak. Kendati demikian, setiap model padadasarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing danmenyisakan celah untuk terjadi suatu penyimpangan. Oleh karena itu,tidak ada model pengawasan industri keuangan di negara mana punyang sempurna. Setidaknya, terdapat 4 (empat) model pengawasan yangberlaku di berbagai negara, yaitu pendekatan institusional (institutionalapproach), pendekatan terintegrasi (integrated approach), twin peaksapproach, dan pendekatan fungsional (functional approach). Setiap negarayang menganut pendekatan tertentu, tentunya juga telah menyesuaikandengan karakteristik industri keuangan di negaranya.

Model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesiaselama ini pada dasarnya lebih condong pada pendekatan institusional(institutional approach), di mana regulator yang mengawasi suatu institusididasarkan pada status badan hukum dari institusi yang diawasitersebut—bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektorkeuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan darimodel ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokusdalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini jugamemiliki kekurangan, terutama ketika terjadi suatu aktivitas yangsaling bersinggungan. Jika koordinasi tidak terjalin dengan baik, modelini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelakuindustri untuk melakukan moral hazard.

Di lain pihak, model pengaturan dan pengawasan secaraterintegrasi (integrated approach)—sebagaimana diintrodusir OJK—

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

Page 65: otoritas jasa keuangan.pdf

382

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

memiliki kelebihan terutama dalam merespons tren industri keuanganyang semakin terintegrasi. Saat ini, misalnya, fenomena universalbanking atau bank yang bisa melayani segala jenis pelayangankeuangan sudah menjadi panorama umum. Dengan adanya OJK sebagai“super-regulatory body”, diharapakan masalah perizinan, pengaturan,pengawasan, dan exit policy akan lebih mudah, karena berada di satuatap. Di samping itu, OJK sebagai “super-regulatory body” jugamemungkinkan pemanfaatan economies of scale dan economies of scope,sehingga pengawasannya menjadi lebih mendalam. Namun demikian,OJK sebagai “super-regulatory body” juga mengidap kelemahan. Denganlingkup kerja yang begitu luas-pengaturan dan pengawasan-dan cakupanindustri yang begitu banyak, maka efektivitas OJK menjadi pertaruhanyang tak dapat diabaikan jika tidak didukung dengan sistem dan SDMyang andal.11

Secara umum, terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan OJKdalam konteks ini. Beberapa kelebihannya antara lain: (1) sistem inimempunyai koordinasi untuk antisipasi krisis global; (2) adanyaperlindungan nasabah atau konsumen yang telah diatur secara eksplisit;dan (3) adanya koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah danLPS-sebagaimana diatur dalam UU OJK. Sementara kekurangan OJKantara lain: (1) adanya pemisahan microprudential yang dipegang OJKdan macroprudential lender of the last di sektor perbankan yang dipegangoleh Bank Indonesia (BI); (2) pembiayaan OJK yang berdasarkan iuranpelaku jasa keuangan cenderung membebani konsumen atau nasabahserta menurunkan efektivitas OJK dalam pengawasan; dan (3) meskipunlingkup kerja OJK cukup luas, yakni mencakup bank, bank perkreditanrakyat (BPR), dan lembaga keuangan non-bank (LKNB), namun OJK tidakmencakup koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan, mikro danBMPT.12

Kendati demikian, terlepas dari persoalan-persoalan di atas,pemerintah dan DPR telah memilih sistem OJK sebagai modelpengaturan dan pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Oleh karena

11 Sunarsip, “Mewujudkan Otoritas Jasa Keuangan yang Efektif”, dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/470989/, diakses pada 10 April 2012.12 Lihat “Membongkar Kelebihan dan Kekurangan OJK”, dalam http://www.bankirnews. com/index.php?option=com_content&view=article&id=2384:membongkar-kelebihan-dan-kekurangan-ojk&catid=47:terbaru & Itemid=181, diakses pada 10 April 2012.

Page 66: otoritas jasa keuangan.pdf

383

itu, perdebatan konseptual seputar keberadaan OJK malah cenderungakan menciptakan suasana yang kontraproduktif. Hal yang terpentingsaat ini adalah bagaimana agar OJK bisa bekerja dan menjalankanfungsinya dengan baik dan mengupayakan agar OJK mampu membangunkepercayaan publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secarabaik. Hal ini mengandaikan bahwa OJK harus memiliki SDM dan sistemyang dapat menopang perkembangan industri sektor keuangan diIndonesia.

D. Menakar Efektivitas Pengawasan OJK terhadap PerbankanSyariahPerkembangan perekonomian global telah mendorong peningkatan

fungsi perbankan. Sebagai lembaga keuangan, perbankan memegangperanan yang sangat penting dalam suatu sistem keuangan negara.Bank merupakan badan usaha yang berfungsi untuk menghimpun danadari masyarakat, baik dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kreditkepada masyarakat. Melalui fungsi perbankan ini diharapkan dapatmeningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitasnasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Hal tersebutsesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat sebagai tujuan Negara Indonesia.

Dalam kenyataannya, struktur sektor keuangan di Indonesiadidominasi oleh sektor perbankan. Luasnya lingkup sektor perbankanmerupakan catatan khusus dalam pembentukan sistem pengawasan.Selain biaya pengawasan yang besar, waktu yang dibutuhkan relatif lamauntuk sistem pengawasan dapat mapan dalam mengawasi bank, baiksumber daya manusia maupun teknologi. Sektor perbankan harusdiawasi setiap saat karena perannya yang sentral dalam sektorkeuangan. Kegagalan yang terjadi pada satu bank dapat berdampak burukbagi sektor keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut diminimalisasidengan pemantauan secara terus menerus oleh lembaga yangberwenang.

Sistem pengawasan memerlukan akuntabilitas, responsibiltas,objektivitas, kompetensi, transparansi dan independensi serta kualitasintegritas pengawasan yang kuat dan kepercayaan masyarakat. Jikavariabel-variabel ini tidak dimiliki oleh sistem pengawasan, maka dapatdipastikan efektivitas pengawasan akan terancam. Kasus krisisperbankan pada tahun 1997/1998 yang menelan uang rakyat lebihRp. 800 trilyun, kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

Page 67: otoritas jasa keuangan.pdf

384

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Skandal Bank Bali, Bank Century, Bank Global dan beberapa contohlainnya merupakan beberapa bukti dari kegagalan Bank Indonesia (BI)dalam mengawasi sektor lembaga keuangan bank di Indonesia.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU No. 21 Tahun 2011tentang OJK, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhankegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggarasecara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampumewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan danstabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen danmasyarakat13-tujuan pembentukan OJK ini juga disebutkan secaraspesifik dalam Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2011 dengan redaksi yang sama.14

Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingansektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan dayasaing nasional.

Bentuk OJK itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Ketentuan Umumbutir Nomor 1 UU No. 21 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa “OtoritasJasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yangindependen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyaifungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”15

Sedangkan fungsi OJK disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011,“OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasanyang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasakeuangan.”16 Ruang lingkup tugas pengaturan dan pengawasan tersebutdijelaskan dalam Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakantugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangandi sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”17

13 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4867).14 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4867).15 Lihat Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentangOtoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4867).16 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4867).17 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4867).

Page 68: otoritas jasa keuangan.pdf

385

Dengan demikian, melalui pembentukan OJK, pengaturan danpengawasan bank akan dilakukan oleh suatu lembaga baru, independen,akuntabel, memiliki integritas dan bersih dari berbagai kepentingandan budaya negatif yang selama ini kerap dipamerkan oleh BankIndonesia. Industri perbankan adalah industri vital yang harus dijagakelancaran dan sistemnya agar proses transaksi ekonomi sertapembangunan nasional bisa berjalan dengan baik. Melalui pengawasanOJK, diharapkan budaya budaya feodal yang berjalan selama ini dapatdikebumikan dan dibangun suatu sistem pengawasan perbankan yangbisa melindungi industri perbankan, sistem pembayaran dan menjaminkeamanan nasabah.18

Sebagaimana telah dimaklum, industri perbankan syariah nasionalmemperlihatkan pertumbuhan yang semakin pesat beberapa waktubelakangan ini. Oleh karena itu, pengawasan terhadap perbankansyariah yang lebih komprehensif dan efektif diperlukan seiring denganbertambahnya pelaku pasar, varian produk/jasa layanan, sertakemajuan teknologi yang semakin inovatif dan kompleks. Hal ini demiterwujudnya sistem perbankan syariah yang sehat guna mendukungpencapaian stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan perekonomianasional secara umum. Dengan demikian, dalam rangka penguatan danketahanan dan kesinambungan bisnis industri perbankan syariah,penerapan metode pengawasan secara efektif diharapkan mampumendeteksi sedini mungkin risiko-risiko yang dihadapi perbankansyariah.

Namun masa depan pertumbuhan industri perbankan syariahnasional sempat diinterupsi oleh kekhawatiran dan kegelisahanbeberapa kalangan ketika pengaturan dan pengawasan perbankanberalih dari Bank Indonesia kepada OJK. Menurut Ketua BadanPelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,KH. Ma’ruf Amin, UU OJK masih tidak bunyi atau silent terhadap jasakeuangan berbasis syariah. Pasalnya, dalam UU OJK ini, kata syariahhanya terdapat satu kali saja, yaitu pada Pasal 1 Ketentuan Umum butirNomor 5.19 Pasal tersebut menyebutkan, “Perbankan adalah segalasesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan,

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

18 Sofyan Syafri Harahap, “Pengawasan Bank: Selamat Datang OJK”, dalam http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html, diakses pada 10April 2012.19 Lihat “MUI: OJK Belum Berpihak Kepada Perbankan Syariah”, http://www. infobanknews. com/2012/ 02/mui-ojk-belum-berpihak-kepada-perbankan-syariah/, diakses pada 10 April 2012.

Page 69: otoritas jasa keuangan.pdf

386

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatanusahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksuddalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undangmengenai perbankan syariah.”

Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Halim Alamsyah,UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 memang tidak menjelaskan secaraeksplisit mengenai cetak biru pengembangan industri perbankansyariah. Hal ini berbeda dengan Bank Indonesia yang telah memilikiDirektorat Perbankan Syariah. Oleh karena itu, muncul asumsi bahwapertumbuhan perbankan syariah mungkin saja dapat terhambat, karenadalam struktur organisasi OJK memang tidak secara tegas menyebutkanbentuk pengembangan, pengaturan, pengawasan dan penelitianmengenai jasa keuangan syariah.20

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia(Asbisindo), Riawan Amin, lebih mengkhawatirkan perihal susunankeanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) yangsedang menunggu pengesahan dari DPR. Amin menilai susunankeanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) tidakmemiliki spirit keberpihakan terhadap industri perbankan syariah. Halini diyakini akan mengurangi efektivitas pembentukan OJK dalammengawasi perbankan dan lembaga keuangan secara nasional.21 Dengannada yang sama, Direktur Utama PT Bank Syariah Mandiri (BSM), YuslamFauzi menyatakan bahwa susunan anggota DK-OJK belum menunjukkanspirit keberpihakan OJK terhadap industri perbankan syariah. Yuslammenilai, keanggotaan OJK belum merepresentasikan keterlibatan banksyariah sebagai lembaga keuangan.22

20 Lihat “Mendorong Potensi Perbankan Syariah”, http://www.antaranews.com/berita/302912/mendorong-potensi-perbankan-syariah, diakses pada 10 April 2012; dan “Otoritas Jasa KeuanganHarus Berikan Perhatian Pada Bank Syariah”, http://www.islamedia.web.id/2012/03/otoritas-jasa-keuangan-harus-berikan.html, diakses pada 10 April 2012.21 Lihat “Spirit Kepemimpinan OJK Tak Berpihak Pada Perbankan Syariah”, http:// www. ipotnews.com/ index.php?jdl= Spirit_Kepemimpinan_OJK_Tak_Berpihak_Pada_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1161845&urlImage=, diakses pada 10 April 2012; dan “Otoritas JasaKeuangan Harus Berikan Perhatian Pada Bank Syariah”, http://www.islamedia.web.id/2012/03/otoritas-jasa-keuangan-harus-berikan.html, diakses pada 10 April 2012.22 Lihat “Dirut BSM: OJK Mesti Miliki Direktorat Perbankan Syariah”, http://www.ipotnews. com/i n d e x . p h p ? j d l = D i r u t _ B S M _ _ O J K _ M e s t i _ M i l i k i _ D i r e k t o r a t _ P e r b a n k a n _ S y a r i a h &level2=&level3=&level4=&id=1162573&urlImage=, diakses pada 10 April 2012.

Page 70: otoritas jasa keuangan.pdf

387

Di lain pihak, Direktur Utama Bank Mega Syariah, Beny Witjaksono,menilai kehadiran OJK tidak akan menorehkan pengaruh yang terlalusignifikan terhadap perbankan syariah. Baginya, hal yang harusdiperhatikan adalah bahwa selama ini regulasi telah disusun baik, tapipelaksanaannya belum maksimal. Beny menandaskan bahwa untukmemelihara efektifitas OJK dalam pengawasan perbankan syariah, OJKdiharapkan tetap mempertahankan sistem dan mekanisme yangsekarang telah berjalan dengan baik, termasuk hubungan antaralembaga regulator dengan lembaga fatwa, yang dalam hal ini adalahDewan Syariah Nasional–MUI.23

Senada dengan Beny, Sofyan Syafri Harahap, pengamat ekonomisyariah, menandaskan bahwa lembaga keuangan syariah seperti banktampaknya tak terlalu berpengaruh oleh perubahan otoritas pengawasanbaru OJK. Pasalnya, lembaga keuangan syariah berada pada posisimanejemen risiko yang lebih baik dari lembaga konvensional yangpenuh produk derivatif dan tindakan spekulatif. Menurutnya, hal yangdapat dilakukan lembaga keuangan syariah saat ini adalah tetapmengikuti aturan perinsip keuangan sesuai syariah dan bertindakprofesional.24

Berbagai pandangan di atas bagaimanapun perlu menjadipertimbangan segenap pihak yang terlibat dalam proses perumusankebijakan dan implementasi OJK, khususnya dalam kaitannya denganperbankan syariah. Terlepas dari apapun bentuk OJK yang nantinyaakan digunakan, satu hal mendasar yang akan berperan besar dalamhal pengawasan lembaga keuangan adalah adanya koordinasiantarlembaga terkait. Koordinasi akan semakin penting ketikamenyangkut prosedur antisipasi dan penanggulangan terhadap bahayakrisis ekonomi. Meski idealnya koordinasi dan kerja sama selalumewarnai hubungan antarlembaga pemerintah, namun tidak dipungkiribahwa di dunia nyata terjadi rivalitas antar lembaga pemerintah tersebut.Rivalitas ini seringkali disebabkan oleh egosentris institusi yangbersumber pada penentuan tugas pokok fungsi (TUPOKSI) lembagapemerintah. Tupoksi sebuah institusi akan menjadi dasar bagi

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

23 Lihat “Syariah Tak Banyak Terimbas OJK”, http://www.muamalatbank. com/index.php/home/news/muamalat_news/792, diakses pada 10 April 2012.24 Lihat “Syariah Tak Banyak Terimbas OJK”, http://www.muamalatbank.com/index.php/home/news/muamalat_news/792, diakses pada 10 April 2012.

Page 71: otoritas jasa keuangan.pdf

388

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

penentuan tugas, tanggung jawab dan wewenang dari masing-masingaparat yang bekerja di institusi tersebut. Tugas, tanggung jawab danwewenang aparat ini pada akhirnya akan membentuk outcome measuresyang akan digunakan untuk mengevaluasi kinerja aparat tersebut.Permasalahan koordinasi semakin kompleks ketika TUPOKSI seringkalitidak mensyaratkan pelaksanaan koordinasi dengan lembaga lain ataudengan kata lain bahwa koordinasi dengan lembaga lain tidak dianggapsebagai kinerja sebuah lembaga maupun aparat yang bekerja didalamnya. Implikasinya para aparat hanya fokus pada tugas merekapribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar yanghanya akan bisa diraih jika terjadi koordinasi antar lembagapemerintah.

Dalam konteks ini, efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankansyariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah. Sebagaimanadiketahui, terdapat perbedaan mendasar antara bank syariah denganbank konvensional, yaitu bank syariah dalam operasional kegiatanusahanya berdasarkan prinsip syariah, sementara bank konvensionalberdasarkan prinsip bunga. Perbedaan ini mengakibatkan perbedaanyang mendasar dalam struktur corporate governance dan sistempengawasan dalam kegiatan syariah. Pengawasan perbankan syariahpada dasarnya memiliki dua sistem, yaitu: (1) pengawasan dari aspekkeuangan, kepatuhan pada perbankan secara umum dan prinsip kehati-hatian bank; dan (2) pengawasan prinsip syariah dalam kegiatanoperasional bank.25

Oleh karena itu, struktur kepengawasan dalam perbankan syariahterdiri dari dua sistem berikut: (1) sistem pengawasan internal, yangterdiri atas unsur-unsur Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), DewanKomisaris, Dewan Audit, Dewan Pengawas Syariah (DPS), DirekturKepatuhan, dan SKAI-Internal Syariah Review. Sistem pengawasaninternal ini lebih mengatur ke dalam dan dilakukan agar terdapatmekanisme dan sistem kontrol untuk kepentingan manajemen; dan(2) sistem pengawasan eksternal, yang terdiri atas unsur BankIndonesia (BI), Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI) dan Stakeholder. Sistem pengawasan eksternal ini pada

25 Maslihati Nur Hidayati, “Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi tentangPengawasan Bank Berlandaskan pada Prinsip-prinsip Islam”, dalam Lex Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember2008, hlm. 68.

Page 72: otoritas jasa keuangan.pdf

389

dasarnya diorientasikan untuk memenuhi kepentingan nasabah danpublik secara umum.

Pasca diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan, maka sistem pengawasan eksternal yang sebelumnyaditangani oleh BI secara otomatis akan digantikan oleh OJK—tentunyasetelah struktur organisasi dan keanggotaan DK-OJK terbentuk nanti.Oleh karena itu, dalam rangka menjamin pemenuhan prinsip syariahdalam operasional perbankan syariah, OJK diharapkan dapatberkoordinasi dengan DSN dan DPS. Dewan Syariah Nasional (DSN)merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diharapkandapat membantu pihak-pihak terkait seperti Departemen keuangan,Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan atauketentuan untuk lembaga keuangan syariah. Tugas dan kewenanganDSN antara lain: menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariahdalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan padakhususnya; mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; danmengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.26 Sementara DPSmerupakan lembaga di bawah DSN yang bertugas mengawasi segalaaktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPSmerupakan suatu badan yang didirikan dan ditempatkan pada bank yangmelakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah untukmemastikan bahwa operasional bank syariah tidak menyimpang dariprinsip-prinsip syariah.27

Dengan demikian, peranan DSN dan DPS begitu penting dalampengawasan perbankan syariah. DPS memastikan kegiatan operasional,produk dan jasa bank syariah senantiasa sesuai dengan prinsip syariah.Sedangkan DSN merupakan lembaga yang memberikan rekomendasianggota DPS yang memiliki keahlian dan kompetensi syariah yangmemadai dan menerbitkan fatwa produk dan jasa bank syariah yang

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

26 Lihat Himpunan Fatwa DSN, Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indone-sia, hlm. 281-284; dan Abdurrahman Raden Aji Haqqi, “Shariah Advisory Board in Islamic FinancialInstitution in the Eye of Asian Islamic Banks Law: A Must?”, Makalah Disampaikan pada ASLI Comprence,Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2007.27 Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tanggal 12Mei 1999 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999. MenurutSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia ini, Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dalam menjalankanfungsinya sebagai bagian utuh dalam managemen bank berdasarkan prinsip syariah wajib mengikutifatwa DSN.

Page 73: otoritas jasa keuangan.pdf

390

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

bersifat nasional sehingga dapat dijadikan pedoman yang seragam bagiDPS. Dengan kata lain, DSN dan DPS merupakan lembaga yangmengarahkan bank syariah untuk menerapkan prinsip-prinsip syariahdalam kegiatannya. Oleh karena itu, DSN dapat memberikan teguranjika ada lembaga ekonomi tertentu yang menyimpang dari hukum yangtelah ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkanteguran yang diberikan, maka DSN dapat mengajukan rekomendasikepada lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan sanksihukum.28 Sesuai dengan amanat UU No. 21 Tahun 2011, otoritasdimaksud adalah OJK. Oleh karena itu, komunikasi dan koordinasiantara OJK dengan DSN menjadi suatu keniscayaan yang harusdipenuhi. Demikian pula, terkait dengan keanggotaan DPS yangsebelumnya ditetapkan oleh BI berdasarkan rekomendasi dari DSN, makake depan penetapan itu akan dilakukan oleh OJK.

Salah satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasiantara OJK dengan DSN tersebut adalah dengan cara mengadakan unitatau direktorat perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK.Modelnya mungkin saja mirip dengan Direktorat Perbankan Syariahyang berada di bawah naungan Bank Indonesia. Sebab, tanpa adanyastruktur yang jelas yang menjalankan fungsi pengawasan terdapat aspeklembaga keuangan syariah sangat sulit untuk mengharapkan efektivitaspengawasan OJK terhadap lembaga perbankan syariah.

Sebagaimana disinggung di atas, problem lain yang cukup krusialdalam kaitannya dengan efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankansyariah adalah menyangkut SDM yang nantinya masuk dalamkeanggotaan DK-OJK. Idealnya, dalam susunan keanggotan DK-OJKterdapat salah satu perwakilan yang benar-benar menguasai ekonomisyariah, memahami kondisi industri keuangan dan perbankan syariah,dan memiliki pengalaman di lapangan dalam bidang perbankan syariah.Poin yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah bahwa kompleksitassistem pengawasan dalam hal SDM tidak hanya terletak pada

28 Lihat Heri Sunandar, “Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) dalamPerbankan Syariah di Indonesia”, dalam Hukum Islam, Vol. IV, No. 2, Desember 2005, hlm. 159-172;dan Umar Juoro, “Perkembangan Perbankan Islam Setelah Krisis Ekonomi di Indonesia”, dalam GregFealy dan Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam IndonesiaKontemporer, (terj.) Ahmad Muhajir, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 233. Untuk informasi lebihlanjut tentang posisi dan fungsi DSN dan DPS dalam perbankan syariah, lihat pula Syafi’i Antonio, BankSyariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005); Syaiful Watni, Suradji, dan Sutriya,Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Badan PembinaanHukum Nasional, 2003); Moh. Rifai, Konsep Perbankan Syariah, (Semarang: CV Wicaksana, 2002); danBurhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008).

Page 74: otoritas jasa keuangan.pdf

391

kebutuhannya yang besar, namun juga pengembangan tacit knowledgeyang dimiliki oleh setiap pengawas. Sehubungan dengan hal ini, adabeberapa poin yang harus diperhatikan: (1) seorang pengawas harusmengerti misi yang diemban oleh lembaga pengawas tempatnya bernaung(know the mission); (2)seorang pengawas harus mengerti perusahaan yangdiawasinya (know the entity). Seorang pengawas wajib mengerti selukbeluk pengawasan sampai ke jenjang perusahaan. Argumennya, setiapperusahaan memiliki sistem inti (core system) yang unik yaitu berbedaantara satu dengan lainnya; (3)seorang pengawas harus mengerti teknikpengawasan dan bagaimana untuk melakukannya (know supervisiontechnique and how to do it); dan (4) seorang pengawas harus membangunkarakter yang kuat (character building). Berdasarkan poin-poin tersebut—terutama poin ke 2—pembentukan keanggotaan DK-OJK sepatutnyamempertimbangkan SDM yang memiliki komitmen dan pemahamanmengenai keuangan dan perbankan syariah, sehingga diharapkan OJKmemiliki skema dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah.

E. PenutupOtoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar

keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuanganterselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, sertamampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secaraberkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingankonsumen dan masyarakat. OJK berfungsi menyelenggarakan sistempengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhankegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk lembaga keuanganperbankan. Alhasil, keberadaan OJK secara otomatis akan sangatberpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan perbankansyariah di masa-masa mendatang.

Dengan demikian, efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankansyariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah, seperti DSN-MUI danDPS. Salah satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasiantara OJK dengan DSN tersebut adalah dengan cara mengadakan unitatau direktorat perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Disamping itu, pembentukan keanggotaan DK-OJK sepatutnyamempertimbangkan SDM yang memiliki komitmen dan pemahamanmengenai keuangan dan perbankan syariah, sehingga diharapkan OJKmemiliki skema dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah.

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

Page 75: otoritas jasa keuangan.pdf

392

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Daftar Pustaka

Antonio, Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema InsaniPress, 2005.

Batunanggar, Sukarela, “Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literaturdan Praktiknya di Indonesia”, dalam Buletin Hukum Perbankandan Kebanksentralan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2006.

Haqqi, Abdurrahman Raden Aji, “Shariah Advisory Board in IslamicFinancial Institution in the Eye of Asian Islamic Banks Law:A Must?”, Makalah Disampaikan pada ASLI Comprence, Jakarta:Fakultas Hukum UI, 2007.

Harahap, Sofyan Syafri, “Pengawasan Bank: Selamat Datang OJK”, dalamhttp://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html, diakses pada 10April 2012.

Hidayati, Maslihati Nur, “Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem HukumPerbankan: Studi tentang Pengawasan Bank Berlandaskan padaPrinsip-prinsip Islam”, dalam Lex Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember2008.

Himpunan Fatwa DSN, Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasamaDSN-MUI dengan Bank Indonesia.

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1797280/dpr-ojk-harus-perhatikan-perbankan-syariah, diakses pada 10 April 2012.

http://hukumonline.com/berita/baca/lt4eb0a7465d187/berharap-pada-ojk, diakses pada 10 April 2012.

http://shariahbank.blogspot.com/2012/03/dpr-isyaratkan-orang-syariah-masuk.html, diakses pada 10 April 2012.

http://www.antaranews.com/berita/302912/mendorong-potensi-perbankan-syariah, diakses pada 10 April 2012.

h t t p : / / w w w . b a n k i r n e w s . c o m /index.php?option=com_content&view=article&id=2384:membongkar-kelebihan-dan-kekurangan-ojk&catid=47:terbaru&Itemid=181,diakses pada 10 April 2012.

http://www.infobanknews.com/2012/02/mui-ojk-belum-berpihak-kepada-perbankan-syariah/, diakses pada 10 April 2012.

http://www.infobanknews.com/2012/03/bni-syariah-berharap-ojk-akomodir-perbankan-syariah/, diakses pada 10 April 2012.

Page 76: otoritas jasa keuangan.pdf

393

h t t p : / / w w w . i p o t n e w s . c o m / i n d e x . p h p ? j d l =Dirut_BSM__OJK_Mesti_Miliki_Direktorat_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1162573&urlImage=, diakses pada10 April 2012.

h t t p : / / w w w . i p o t n e w s . c o m / i n d e x . p h p ? j d l =Spirit_Kepemimpinan_OJK_Tak_Berpihak_Pada_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1161845&urlImage=, diakses pada10 April 2012.

http://www.islamedia.web.id/2012/03/otoritas-jasa-keuangan-harus-berikan.html, diakses pada 10 April 2012.

h t tp ://www.muama la tbank . com/ index .php/home/news/muamalat_news/792, diakses pada 10 April 2012.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/470989/,diakses pada 10 April 2012.

Juoro, Umar, “Perkembangan Perbankan Islam Setelah Krisis Ekonomidi Indonesia”, dalam Greg Fealy dan Sally White, Ustadz Seleb,Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam IndonesiaKontemporer, (terj.) Ahmad Muhajir, Depok: Komunitas Bambu,2012.

Levine, R., “Financial Development and Economic Growth: Views andAgenda,” dalam Journal of Economic Literature, Vol. 35, 1997.

Llewellyn, D. T, 2006, “Institutional Structure of Financial Regulationand Supervision: The Basic Issues,” Paper dipresentasikan padaWorld Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with CountryNeeds”, Washington DC, 6 dan 7 Juni 2006.

Mayes, David G., Liisa, Halme dan Aarno, Liuksila, Improving BankingSupervision, Palgrave, 2001.

Mishkin, Frederick, “Financial Policies and the Prevention of FinancialCrises in Emerging Market Countries”, NBER Working PaperNo. 8087, January 2001.

Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.

Nasution, A., “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum,dan Agenda kedepan”, Makalah disampaikan dalam SeminarPembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan PembinaanHukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak AsasiManusia Rl, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap ...

Page 77: otoritas jasa keuangan.pdf

394

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Pandangan Fraksi-fraksi dalam Rapat Pembahasan RUU tentang OJK.

Rifai, Moh., Konsep Perbankan Syariah, Semarang: CV Wicaksana, 2002.

Sitompul, Zulkarnain, “Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan(OJK)”, Pilars, No. 02/Th. VII/12-18 Januari 2004.

Stiglitz, J., “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalamWorld Bank Annual Conference on Development EconomicsSupplement, 1993, 19-61.

Sunandar, Heri, “Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’aSupervisory Board) dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, dalamHukum Islam, Vol. IV, No. 2, Desember 2005.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tanggal 12Mei 1999.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal 12Mei 1999.

Susanto, Burhanuddin, Hukum Perbankan Syari’ah Indonesia, Yogyakarta:UII Press, 2008.

Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJKYang Optimum: Kajian Akademik, 23 Agustus 2010, dalam http://xa.yimg.com/kq/groups/24063110/2095520493/name/KajiAkademikOJK-UI-UGMversi+230810.pdf, diakses pada 10April 2012.

Watni, Syaiful, Suradji, dan Sutriya, Analisis dan Evaluasi Hukum tentangPerbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Badan PembinaanHukum Nasional, 2003.

Page 78: otoritas jasa keuangan.pdf

395

* Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas padjajaran.

MASALAH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANAJASA KEUANGAN DI INDONESIA

(INVESTIGAOR PROBLEM IN CRIMEFINANCIAL SERVICES IN INDONESIA)

Wahyu Wiriadinata*

(Naskah diterima 21/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakTulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sampai sejauh manaefektivitas penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menanggulangikejahatan jasa keuangan di Indonesia. Pertanyaan dan masalah ini munculkarena dalam Undang-Undang Otoritas jasa Keuangan ada Penyidik OJK yangmempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana OJK yang mencakupsektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembagapembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Padahal sudah ada penyidiklain yang mempunyai kewenangan untuk menyidik, yaitu Kejaksaan, Kepolisiandan KPK. Kerangka teoritis bertolak dari pemikiran Aristoteles yangmengemukakan tentang tujuan hukum untuk mencapai keadilan juga stuffentheory dari Hans Kelsen. Metode penulisan adalah yuridis normatif, denganmempelajari peraturan perundang-undangan, baik yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuanhukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan dengan Otoritas JasaKeuangan. Hasilnya berupa aspek yuridis dituangkan dalam bentuk deskriptifanalitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah: Akan terjadi tumpangtindih antara penyidik OJK dengan Penyidik Jaksa, Polisi dan KPK, baik dalampenyidikan tindak pidana umum maupun khusus/korupsi, tentang efektivitasdari penyidik OJK harus dibuktikan di masa yang akan datang.Kata Kunci : Penyidik, Jasa Keuangan, Efektivitas, Tumpang Tindih.

AbstractThis paper, aims to answer the question to what extent the effectiveness ofinvestigators Financial Services Authority (OJK) in tackling crime financial servicesin Indonesia. Questions and problems arise because the law there investigatorFinancial Services Authority OJK which has the authority to investigate criminal OJKcovering banking, capital market, insurance, pension funds, financial institutionsand others financial institutions. Whereas other investigators already has theauthority to investigate, namely attorney, the police and the KPK. Theoreticalframework departed from the Aristoteles argued about the purpose of the law toachieve justice also stuffen theory of Hans Kelsen. Normative method of writing is,by studying the legislation, either in the statute itself and is in the literature/science

Page 79: otoritas jasa keuangan.pdf

396

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

books of law, especially laws relating to the Financial Services Authority. The resultis a juridical cast in the form of descriptive analysis. The conclusions of this paperare: There will be an overlap between the OJK investigator with thr AttorneyInvestigator, Police and the KPK, both in general and criminal investigations special/corruption, about the effectiveness of the investigator OJK should be proved in thefuture.Keywords: Investigator, Financial Services, Effectiveness, Overlapping.

A. PendahuluanDalam rangka membangun perekonomian nasional yang tumbuh

dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan keseimbangan di semuasektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adilkepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonominasional harus diwujudkan dengan menyeluruh dan bisa menggerakkankegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luasdan menyentuh ke seluruh sektor nyata. Salah satu komponen pentingdalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangandan seluruh kegiatan yang menjalankan fungsi perantara bagi berbagaikegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.

Globalisasi ekonomi telah menciptakan sistem keuangan yangkompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baikdalam hal produk maupun kelembagaan. Adanya lembaga jasa keuanganyang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangantelah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembagajasa keuangan di dalam sistem keuangan.

Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan,yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungankonsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangansemakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasandi sektor jasa keuangan yang terintegrasi.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali strukturpengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugaspengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakupsektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembagapembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, agar dapat dicapaimekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menanganipermasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebihmenjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan danpengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebutharus dilakukan secara terintegrasi.

Page 80: otoritas jasa keuangan.pdf

397

Otoritas Jasa Keuangan diperlukan agar keseluruhan kegiatan jasakeuangan di dalam sektor keuangan terselenggara secara teratur, adil,transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuanganyang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungikepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJKdiharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangannasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selainitu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain,meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dankepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkanaspek positif globalisasi.

Otoritas Jasa Keuangan yang mandiri/independen dilandaskanasas-asas:

- Independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan danpelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuaiperaturan perundang-undangan yang berlaku;

- Kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yangmengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dankeadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas JasaKeuangan;

- Kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungikepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukankesejahteraan umum;

- Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hakmasyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dantidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas JasaKeuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hakasasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasiasebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

- Profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalampelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengantetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturanperundang-undangan;

- Integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moraldalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalampenyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 81: otoritas jasa keuangan.pdf

398

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

- Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatandan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas JasaKeuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Di Indonesia peran jasa keuangan pernah mengalami masa yangdinilai tidak melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan, malahmerugikan masyarakat dan negara, sebagaimana yang terjadi padakasus/perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kasus BLBI merupakan masalah yang cukup mengguncangkankondisi perbankan dan perekonomian Indonesia yang berimbas kemasalah politik dan hukum. Dalam kasus BLBI ini yang berawal dari1997 banyak melibatkan para pejabat tinggi dari mulai PresidenSoeharto, Menteri Perekonomian dan Perindustrian, Menteri Keuangan,Menteri Sekretaris Negara, Pejabat Tinggi Bank Indonesia termasukAnggota DPR masa jabatan 1999-2004 yang menangani Bidang Ekonomidan Keuangan. Kasus ini bermula pada Agustus 1997 ketikapemerintahan rejim Soeharto melepas sistem kurs mengambangterkendali (free floating). Masyarakat panik lalu belanja dollar dalamjumlah yang sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke BankIndonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjakdrastis karena bank-bank berebut dan menguras dana masyarakat. Pada1 September 1997 Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBIsebanyak tiga kali, kemudian muncul isu di masyarakat mengenaibeberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalamtransaksi valuta asing. Hal ini menimbulkan tingkat kepercayaanmasyarakat terhadap bank nasional goyah, sehingga terjadi rush. Atasfenomena ini, pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalamikesulitan likuiditas, sedangkan bank yang sakit dimerger ataudilikuidasi. Kebijakan yang berupa kredit ini dinamakan BantuanLikuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada 1 November 1997 ada 16 bankyang dilikuidasi, pada tanggal 31 Desember 1997 Bank Indonesia mulaimembuka dan mengucurkan aliran dana besar-besaran ke bank-bankyang saat itu mengalami masalah keuangan yang nilainya mencapaikurang lebih 600 triliun. BLBI senilai kurang lebih 600 triliun ituternyata oleh bank penerima bantuan malah diselewengkan, sehinggamenjadi masalah pidana, menjadi perkara tindak pidana korupsi yangpenanganannya dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Ada beberapa perkara BLBI ini yang melibatkan Bank besar yangperkaranya telah diputus dan dinyatakan para pimpinan bank tersebutterbukti melakukan tindak pidana korupsi. Akan tetapi perkara yang

Page 82: otoritas jasa keuangan.pdf

399

lainnya yang melibatkan konglomerat kakap ternyata perkaranya olehKejaksaan Agung dihentikan penyidikannya.

Akan tetapi terhadap penghentian penyidikan tersebut, MasyarakatAnti Korupsi Indonesia mengajukan praperadilan. Pada tanggal 6 Mei2008 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonanpraperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia terhadap surat perintahpenghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung ataskasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim.Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding. Persoalannya terusmenjadi polemik di antara para aparat penegak hukum (Kejaksaan,Kepolisian dan KPK), pemerintah dan para politisi di Dewan PerwakilanRakyat. Kondisi yang tidak menentu ini jelas merugikan masyarakatkonsumen pengguna jasa keuangan (perbankan) dan negara.

Demikian pula kasus Bank Century berawal dari kegagalan banktersebut dalam memenuhi prefund kliring (transaksi antar bank) di BankIndonesia pada 13 November 2008, seperti yang diakui oleh manajemenbank tersebut. Dalam pengakuannya, Manajemen Bank Centurymenyampaikan bahwa bank tersebut hanya terlambat 15 menit saatharus memenuhi dana prefund kliring sebesar Rp. 5 miliar yangseharusnya ditransfer pada pukul 08.00 WIB. Sehingga manajemen BankCentury mengumumkan bahwa pihaknya mengalami kalah kliringkarena tingginya intensitas transaksi dana masuk dan dana keluarnasabah sehubungan dengan ketatnya likuiditas saat ini. Pada saat yangbersamaan, Muliaman D Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia,mengaku tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Dia mengatakansemua bank, baik besar maupun kecil, saat ini dalam pengawasan BIagar persoalan likuiditas ini bisa dikendalikan secara baik. Pada21 November 2008, akhirnya Gubernur Bank Indonesia Boedionomengumumkan bahwa BI melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan(KKSK) memutuskan pengambilalihan Bank Century oleh LembagaPenjamin Simpanan (LPS).

Meskipun Bank Indonesia menyadari bahwa kondisi kesehatanBank Century dalam keadaan buruk, LPS meminta nasabah tak perlupanik karena lembaga tersebut akan menjamin seluruh kebutuhanlikuiditas Bank Century dengan alokasi dana sebesar Rp 1 triliun.Berdasarkan data LPS, suntikan dana yang telah dikucurkan olehlembaga tersebut kepada Bank Century total dana yang dikucurkanadalah Rp 6,77 triliun.

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 83: otoritas jasa keuangan.pdf

400

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Bukti ketidak-beresan manajemen Bank Century dalammenjalankan operasionalnya semakin terlihat ketika ditetapkannyastatus tersangka kepada mantan Direktur Utama Bank Century,Hermanus Hasan Muslim pada 27 November 2008. berdasarkanpemeriksaan penyidik Polisi, Hermanus telah melanggar tindak pidanaperbankan. Hermanus terbukti telah menjalankan permintaan daritersangka sebelumnya yaitu Robert Tantular.

Kasus Bank Century ternyata tidak sekedar masalah internal,ternyata dugaan atas lemahnya pengawasan dan koordinasi antara BankIndonesia dan Bapepam-LK terbukti dengan mencuatnya masalahpenggelapan dana investasi PT Antaboga Sekuritas di Bank Century.Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1989 ini diadukan para nasabahke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).Beberapa manajemen perusahaan itu diduga menggelapkan uang milikinvestor. Kerugian sementara yang diderita para investor adalah Rp 233miliar. Kerugian ini, menurut Polisi kemungkinan akan bertambah.

Kisruh di Antaboga berawal dari kasus yang terjadi di PT BankCentury Tbk, ketika operasional Bank Century diambil alih olehLembaga Penjamin Simpanan (LPS), ratusan nasabah Antabogamendatangi kantor perusahaan tersebut. Mereka ingin menarik dananyayang diinvestasikan di reksadana. Pasalnya, produk investasi yangditerbitkan Antaboga, dipasarkan oleh Bank Century. Nasabah Antabogakebanyakan adalah nasabah Bank Century, mereka dimintamenandatangani sertifikat reksadana di kantor Bank Century.

Dengan adanya kasus Bank Century yang sekarang berubah namamenjadi Bank Mutiara telah ada pimpinan Bank Century yang dipidana,akan tetapi kasus yang lain yang kerugian negaranya lebih besar danmelibatkan para petinggi dan penguasa di Indonesia, kasusnya belumterselesaikan dengan tuntas.

Adapun kasus pencucian uang yang merugikan konsumen jasakeuangan di masyarakat antara lain kasus Dhana Widyatmika dijeratdengan Pasal 55 ayat 1, Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana PencucianUang.

Dhana Widyatmika diduga memiliki berbagai usaha untukmelakukan pencucian uang, antara lain memiliki perusahaan PT MitraModern Mobilindo (jual beli mobil), PT Bangun Bumi Persada (realestate), PT Trisula Artamega (perdagangan); memiliki beberapa kapling

Page 84: otoritas jasa keuangan.pdf

401

tanah senilai Rp 4,5 miliar, minimarket dan peternakan ayam.Ditemukan dalam satu rekening terdapat aliran dana senilaiRp. 97 miliar. Dhana diduga memiliki kekayaan senilai Rp 60 miliar.

Kasus Dhana Widyatmika ini sekarang sedang ditangani olehpenyidik Kejaksaan Agung RI, akan tetapi kasus lain yang terkait yangmelibatkan para pejabat tinggi di Departemen Keuangan dan nilaipencucian uangnya lebih dari kasus Dhana, nampaknya belum disentuholeh aparat penegak hukum.

Untuk menjawab, menyelesaikan dan mencegah kasus-kasustersebut di atas tidak terulang kembali. Pemerintah dan negara telahmengambil langkah-langkah pencegahan, antara lain dengandiundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan (OJK). Sebagai pelengkap atau menyempurnakanperaturan perundang-undangan yang mempunyai fungsi dan tujuan yangsama dengan undang-undang OJK yaitu undang-undang tentang BankIndonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tersebut secarakhusus diberikan wewenang kepada penyidik OJK untuk melakukanpenyidikan terhadap kejahatan OJK. Undang-undang tentang BankIndonesia mempunyai fungsi dan tujuan antara lain melindungikepentingan konsumen jasa keuangan di masyarakat, walaupun setelahsekian lama undang-undang tentang Bank Indonesia berlaku,perlindungan terhadap konsumen tetap lemah, dengan indikasi beberapakasus seperti yang telah dibeberkan di atas.

Selain itu dengan lahirnya undang-undang tentang otoritas jasakeuangan, di mana otoritas jasa keuangan mempunyai fungsi jugatentang pengawasan terhadap perbankan, sedangkan dalam undang-undang Bank Indonesia Pasal 8 c : Untuk mencapai tujuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut: c. mengatur dan mengawasi Bank. Dengan demikian terjadi tumpangtindih dalam pengawasan terhadap OJK khususnya di sektor Perbankan.Begitu pula tentang penyidik OJK dan menemukan problem yang samadi mana yang akan datang, sebab akan terjadi over lap dengan penyidikyang ada yaitu penyidik Kejaksaan, Kepolisian dan KPK.

Dari uraian tersebut di atas, muncul pertanyaan yang perludilakukan pengkajian yaitu: Sejauh mana efektivitas dari penyidik OJKdalam menanggulangi kejahatan Jasa Keuangan di Indonesia.

Untuk mengurai pertanyaan di atas dan menjawab permasalahanyang telah dirumuskan, digunakan metode penelitian, yaitu penelitian

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 85: otoritas jasa keuangan.pdf

402

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

hukum normatif/yuridis normatif, data yang diperoleh dianalisis secaradeskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisisdata yang mengelompokkan dan menyeleksi data primer berupa undang-undang, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dankaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehinggadiperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

B. Landasan PemikiranAliran hukum alam didasari oleh pemikiran filosofis dari

Aristoteles, dijelaskan bahwa pengertian adil menurut undang-undangdan adil menurut alam. Hukum alam berlaku di semua ruang dan sifatnyatidak tertulis. Lebih lanjut ditegaskan hubungan antara hukum alamdengan hukum positif. Aristoteles mengemukakan bahwa derajat hukumalam itu lebih tinggi dibandingkan hukum positif. Hukum alam itumelengkapi kekurangan-kekurangan yang dialami oleh hukum positif.Melengkapi kekurangan-kekurangan yang dialami oleh hukum positif.Hukum alam membawa kelayakan, melunakkan satu ketentuan umumyang terdapat dalam setiap peraturan perundang-undangan denganmemperhitungkan keadaan-keadaan tertentu dari tiap-tiappermasalahan. Namun demikian tidak berarti bahwa adil menurutkepatutan adalah tidak adil menurut undang-undang, akan tetapikepatutan memberikan kesempurnaan.1

Pasca Aristoteles pemikiran tentang hukum alam atau hukumkodrat berkembang lebih jauh. Thomas Aquinas adalah salah satupemikir hukum alam pasca Aristoteles yang pemikirannya lahir padaabad pertengahan yang cukup besar pengaruhnya terutama di kalangankaum gereja Katholik bahkan sampai abad ke 21 ini, hal tersebut terlihatpada pembaharuan filsafatnya oleh pakar-pakar hukum khususnya yangberagama Katholik yang disebut aliran Neo-Thomistis. Berbeda denganpandangan M.T. Cicero, Thomas Aquinas sebenarnya membedakanantara enam macam hukum, yaitu : hukum abadi (lex aeterna), hukumkodrat (lex naturalis), hukum manusia (lex humana), hukum Ilahi(lex devina), hukum yang diberikan oleh gereja kepada kaum beriman,kristiani (lex ecclesiastica), dan hukum nafsu, dorongan nafsu-nafsudalam diri kita yang merangsang kita untuk berdoa (lex concupiscential).Pada abad pertengahan tersebut hukum alam dicirikan denganbersumberkan dari rasio Tuhan.

1 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta, Bharata,1972, hlm. 14.

Page 86: otoritas jasa keuangan.pdf

403

Selanjutnya hukum alam dalam keragaman dan manifestasinyaterlihat pada jaman Aufklarung (pencerahan), Thomas Hobbesmengartikan hukum alam sebagai susunan aturan--aturan yang harusdipakai sebagai pedoman bagi kemajuan seseorang menurut cita-citarasionalnya, jika ia dapat mengetahui dengan sempurna semua keadaanyang meliputinya dan sama sekali tidak tergoncangkan oleh perasaan-perasaan yang mendadak dan prasangka--prasangka. Karena itumenurut anggapan sebagian besar manusia benar-benar bertindakdemikian, maka aturan-aturan hukum alam secara hipotetismenetapkan syarat-syarat sebagai dasar yang memungkinkan tingkahlaku manusia yang pokok untuk mendirikan suatu pemerintah yangkokoh. Aturan-aturan tersebut bukanlah menentukan adat nilai,melainkan menetapkan secara sebab-akibat dan ajaran-ajaran hukumdan moral. Selanjutnya Thommas Hobbes berpendapat bahwa hukumalam fundamentil, yang pertama ialah mencari damai danmengikutinya, manusia diperintahkan berusaha memperoleh damai dankeadilan, sejalan dengan alam pikiran Aristoeles.

Akan halnya pemikiran dari aliran hukum positif / rechtpositivisme. Aliran positifisme ini sangat mengagungkan hukumtertulis. Aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luarhukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukumtertulis.2

Tokoh yang paling berpengaruh dari aliran ini adalah Hans Kelsen.Menurutnya teori hukum murni adalah hukum positif. lni merupakanteori tentang hukum positif umum, bukan penafsiran tentang normahukum nasional atau internasional tertentu, namun ia menyajikan teoripenafsiran. Pandangan Kelsen tentang hukum, sangat men-cerminkanciri positivisnya. Kelsen melihat hukum positif sebagai satu--satunyahukum, dan hukum harus benar--benar dipisahkan dari segala pengaruhanasir-anasir non hukum, seperti moral, politis, ekonomis, sosiologis, dansebagainya. Kelsen selain dikenal sebagai pencetus teori hukum murnitapi berjasa mengembangkan teori jenjang (stuffen theory) yang semuladikemukakan oleh Adolf Merkl. Teori ini melihat hukum sebagai suatusistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yanglebih rendah memperoleh kekuatannya dari yang lebih tinggi. Semakin

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

2 Roelan Saleh, Mengadili Sebagai Pergaulan Kemanusiaan. Jakarta, Aksara Baru, 1983, hlm. 77.

Page 87: otoritas jasa keuangan.pdf

404

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakinrendah kedudukannya sema-kin konkrit norma tersebut. Norma yangpaling tinggi di sebut oleh Kelsen dengan Grundnorm atau norma dasar.Pandangan semacam ini sudah tidak relevan lagi dalam masa modernkini. Tak mungkin kita menjadikan hukum sebagai sesuatu “bendaotonom” yang berdiri terlepas sama sekali dari pengaruh ekonomi,politik, sosial dan budaya. Hukum tidak berada dalam ruangan hampa,tapi dia selalu berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya lebih-lebihdi abad globalisasi ini. Demikianlah dalam Undang-Undang OJK yangmengatur tersendiri tentang penyidikan yaitu dengan membentuk danmemberi kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana OJK kepadapenyidik tersendiri di luar penyidik yang telah ada sebelumnya, yaituJaksa, Polisi dan KPK dilakukan dengan maksud untuk adanyakeseimbangan antara tujuan hukum untuk mencapai keadilan dantujuan hukum untuk mencapai kepastian hukum.

C. PembahasanDari landasan pemikiran di atas, maka kita dapat mengambil satu

makna, sesungguhnya hukum itu terbentuk tidak lain adalah untukmenciptakan keadilan di samping adanya kepastian hukum. Tentanghukum yang bertujuan mencapai keadilan di masyarakat itu dilukiskanoleh Muchtar Kusumaatmadja dalam definisi hukumnya:

Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulanhidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memeliharaketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta prosesyang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut sebagai kenyataandi masyarakat.3

Dari definisi di atas Muchtar Kusumaatmadja menggaris bawahibahwa sebelum tercapainya keadilan harus diciptakan dulu ketertibandi masyarakat, tidak mungkin ada keadilan kalau masyarakat tidaktertib. Artinya masyarakat harus mentaati hukum, baik hukum materilmaupun hukum formil. Yang dimaksud dengan ketertiban di sinitermasuk ketertiban dalam proses peradilan. Mulai penyidikan,pra-penuntutan, penuntutan, persidangan dan eksekusi. Termasuk di

3 P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab), Bandung, Pasundan Law Faculty, Alum-nus Press, 1998 , hlm. 94.

Page 88: otoritas jasa keuangan.pdf

405

dalamnya proses dan penyelesaian perkara tindak pidana Otoritas JasaKeuangan.

Tentang penyidikan, pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan, penyidikadalah peja-bat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawaiNegeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undanguntuk melakukan penyidikan. Pengangkatan untuk menjabat jabatansebagai penyidik Polisi adalah berdasarkan penunjukan oleh KepalaKepolisian RI (Kapolri).

Wewenang untuk menunjuk penyidik tersebut dapat di-limpahkanoleh Kapolri kepada Pejabat Kepolisian Negara RI. Se-dangkan penyidikyang dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil, pengangkatannya dilakukan olehMenteri atas usul Departe-men yang membawahi Pegawai Negeri Sipiltersebut. Mentri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulumendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Ke-polisian RI.Dan wewenang pengangkatan itu dapat dilim-pahkan oleh MenteriKepada Pejabat yang ditunjuknya. (Pasal 2 (6) PPRI No. 27/1983).

Pengangkatan seseorang menjadi penyidik pembantu, yang berasaldari kepolisian diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul darikomandan atau pimpinan kesatuannya masing-masing. Sedangkanpengangkatan Penyidik Pemban-tu yang berasal dari Pegawai NegeriSipil dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara RI.

(1) Penyidikan adalah tindakan selama pemeriksaan penda-huluanuntuk mencari bukti-bukti tentang tindak pida-na;

(2) Penyidikan dilakukan oleh:

a. Penyidik yang dijabat oleh pejabat Kepolisian Negara yangberpangkat sekurang-kurangnya Pembantu Let-nan Dua;

b. Pembantu penyidik yang dijabat oleh pejabat Kepoli-sianNegara, yang berpangkat Sersan Dua sampai de-ngan SersanMayor dan anggota-anggota kepolisian khusus yang atas usulKomandan atau Kepala Ja-watan Instansi Sipil pemerintahdiangkat oleh Kapolri.

Yang dimaksud dengan Polisi Khusus, adalah pejabat-pe-jabat dariinstansi/jawatan sipil tertentu yang diberi kewe-nangan Kepolisiankhusus oleh undang-undang.

Selain itu ada juga penyidik tindak pidana tertentu, seperti penyidiktindak pidana tertentu/khusus yaitu penyidik Jaksa dan KPK yangmelakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus korupsi.

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 89: otoritas jasa keuangan.pdf

406

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Demikianlah Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yangmengatur tentang acara sendiri khususnya perihal penyidikan. Hal iniakan menimbulkan pertanyaan akankah terjadi penyidikan oleh penyidikOJK di dalam tindak pidana yang sama, dimana hak dan kewenanganpenyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga oleh penyidik lain yangtelah ada. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras dengan integratedcriminal justice system. Integrated criminal justice system mempunyaipengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salahsatu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanyakoordinasi dari para penyidik.4

Dengan adanya penyidik Otoritas Jasa Keuangan, hal ini akanmenimbulkan rebutan perkara dalam penyidikan tindak pidana OJK danakan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berujung kepada adanyanebis in idem.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang mandiri danindependen serta bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyaifungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, danpenyidikan di sektor perbankan, pasar modal, pengasuransian, danapensiun, lembaga pembayaran dan lembaga keuangan lainnya. Dengandemikian termasuk penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,perdagangan obat bius, perdagangan senjata dan manusia,penyelundupan, kejahatan di bidang perpajakan, pasar modal dankejahatan di industri asuransi. Itu dapat disidik oleh penyidik OJKapabila terindikasi adanya kejahatan.

Dengan demikian penyidik OJK mempunyai kewenangan yangbesar selain berwenang melakukan penyidikan yang tidak dipunyai olehpenyidik lain. Dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana jasakeuangan undang-undang OJK mengaturnya dalam Pasal 49 yangberbunyi:

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, PejabatPegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan dilingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidiksebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana.

4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kesatu, Bandung, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 61.

Page 90: otoritas jasa keuangan.pdf

407

(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapatdiangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksudpada ayat (1).

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berwenang:

a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dariseseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;

b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keteranganberkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

c. melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang didugamelakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasakeuangan;

d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barangbukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagaisaksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumenlain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

f. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang didugaterdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dandokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yangdapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana disektor jasa keuangan;

g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupunelektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;

h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenanguntuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telahmelakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai denganketentuan peraturan perundang--undangan;

i. meminta bantuan aparat penegak hukum lain;

j. meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihakyang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadapperaturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain daripihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidanadi sektor jasa keuangan;

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 91: otoritas jasa keuangan.pdf

408

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

l. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugaspenyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan

m. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 menyampaikanhasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan dan Jaksawajib menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut hasil penyidikansesuai kewenangannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejakditerimanya hasil penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Tentang kewenangan penyidikan yang dipunyai oleh penyidik OJKini, seperti penyidikan terhadap semua tindak pidana yang menyangkutjasa keuangan seperti diatur dalam sektor perbankan, pasar modal,perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan. Sementara terhadaptindak pidana perbankan telah ada penyidik sebelumnya yaitu pejabatPolisi Negara, Jaksa dan KPK.

Polisi sebagai penyidik tindak pidana – perbankan – diatur dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 6 ayat (1) a.Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia, selain itu Polisisebagai penyidik diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) a:

Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakpidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan demikian Polisi sebagai penyidik termasuk penyidikmempunyai hak dan kewenangan untuk melakukan penyidikanterhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana di sektor jasakeuangan (Perbankan dan lain-lain).

Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai penyidik mempunyaikewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentuseperti tindak pidana korupsi, ini diatur dalam Undang-Undang Nomor16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (1)d. Di bidang Pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukanpenyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

Jadi apabila terindikasi adanya tindak pidana korupsi di sektorjasa keuangan (sektor perbankan dan lain-lain) maka Jaksa berwenangmelakukan penyidikan. Begitu juga penyidik KPK, selaku penyidikmempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,

Page 92: otoritas jasa keuangan.pdf

409

seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentangKomisi Pemberantasan Korupsi Pasal 6 c) :

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: Melakukanpenyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidanakorupsi.

Dengan demikian penyidik KPK mempunyai kewenangan pula disektor perbankan dan sektor-sektor otoritas jasa keuangan lainnya,apabila di sektor-sektor itu terindikasi adanya tindak pidana korupsi.

Dengan adanya kewenangan penyidikan dari penyidik OJK, makaakan terjadi diverifikasi penyidik dan akan membuat makin tumpangtindihnya penyidikan dalam tindak pidana tertentu yaitu tindak pidanayang diatur di luar KUHAP.

Kasus BLBI yang tak kunjung tuntas, juga kasus Bank Centuryyang sudah ditangani oleh penyidik KPK, Kepolisian dan Kejaksaansampai hari ini belum mengakomodir aspirasi masyarakat secara tuntas.Kasus mutakhir tentang tumpang tindihnya penyidikan, adalah dalamkasus/ perkara simulator SIM yang sama-sama ditangani oleh penyidikyaitu penyidik Kepolisian dan Penyidik KPK.

Akankah penyidik OJK efektif melaksanakan pemberantasantindak pidana di bidang OJK. Pertanyaan pada awal tulisan ini harusdibuktikan di waktu yang akan datang, sebab kewenangan penyidikannyapun baru akan dijalankan.

D. Kesimpulan1. Untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan jasa keuangan,

maka dibuatlah undang-undang tentang jasa keuangan, yaituUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Adapun tugas dankewenangan OJK adalah antara lain melakukan pengawasanterhadap kegiatan jasa keuangan, selain daripada itu OJK jugamempunyai kewenangan untuk melakukan penindakan terhadaptindak pidana jasa keuangan, yaitu dengan membentuk penyidiktersendiri yaitu penyidik OJK di luar penyidik yang telah ada sepertiPenyidik Polisi, Jaksa dan KPK.

2. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentangOtoritas Jasa Keuangan dimana di dalamnya mengatur tentangpenyidik tersendiri, maka dimungkinkan akan terjadi tumpangtindih penyidikan. Baik penyidikan tindak pidana umum maupun

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 93: otoritas jasa keuangan.pdf

410

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

tindak pidana khusus. Sebab terhadap tindak pidana yang terjadidalam Otoritas Jasa Keuangan diatur oleh ketentuan undang-undang yang ada dan telah ada penyidik lain yang berhakmelakukan penyidikannya.

Polisi sebagai penyidik tindak pidana – perbankan – diatur dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 6 ayat (1) a.Penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia, selain itu Polisisebagai penyidik diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) a:

Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakpidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan demikian Polisi sebagai penyidik termasuk penyidikmempunyai hak dan kewenangan untuk melakukan penyidikanterhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana di sektor jasakeuangan (Perbankan dan lain-lain).

Begitu juga Kejaksaan, jaksa sebagai penyidik mempunyaikewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentuseperti tindak pidana korupsi, ini diatur dalam Undang-Undang Nomor16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (1)d. Di bidang Pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukanpenyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

Jadi apabila terindikasi adanya tindak pidana korupsi di sektorjasa keuangan (sektor perbankan dan lain-lain) maka Jaksa berwenangmelakukan penyidikan. Begitu juga penyidik KPK, selaku penyidikmempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentangKomisi Pemberantasan Korupsi Pasal 6 c):

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : Melakukanpenyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidanakorupsi.

Dengan demikian, penyidik KPK mempunyai kewenangan pula disektor perbankan dan sektor-sektor otoritas jasa keuangan lainnya,apabila di sektor-sektor itu terindikasi adanya tindak pidana korupsi.

Page 94: otoritas jasa keuangan.pdf

411

3. Tentang efektivitas dari penyidik Otoritas Jasa Keuangan harusdibuktikan di masa yang akan datang. Karena kewenangan yangdipunyai oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan sampai saat inibelum dilaksanakan. Oleh karena itu hasil dan efektivitasnyabelum dapat dievaluasi dan diukur.

Daftar Pustaka

Adji, Oemar Seno, 1976, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta.Erangga.

Bonn, E. Sosrodanukusumo, tt., Tunutan Pidana. Djakarta: Penerbit“Siliwangi”.

Hamzah, Andi, 2006, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta. SinarGrafika.

Nawawi Arief, Barda, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Cetakan Kesatu. Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Pound, Roscoe, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta. Bharata.

Prodjodikoro, Wirjono, 1967, Hukum Atjara Pidana di Indo. Djakarta :Penerbit “Sumur Bandung”.

Saleh, Roelan, 1983, Mengadili Sebagai Pergaulan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru.

Sitorus, P., 1998, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, PasundanLaw Faculty. Bandung. Alumnus Press.

Soedjono D., 1982, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP. Bandung:Alumni.

Tahir, Hadari Djenawi, 1981, Pokok-Pokok Pikian dalam KUHAP. Bandung:Alumni.

Tanusuboto, S., 1983, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana.Bandung : Alumni.

Tresna, R., tt., Komentar HIR. Djakarta: Pradnya Paramita.

Masalah Penyidik Dalam Tindak Pidana ...

Page 95: otoritas jasa keuangan.pdf

412

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Undang-Undang :Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 96: otoritas jasa keuangan.pdf

413

* Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, Perancang Muda Pada Kantor WilayahKementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padangdan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

AKIBAT HUKUM DIBENTUKNYALEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN

TERHADAP PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN DI INDONESIA(DUE TO LEGAL FORMATION

INSTITUTIONS FINANCIAL SERVICES AUTHORITYSUPERVISION OF FINANCIAL INSTITUTIONS IN INDONESIA)

Rudy Hendra Pakpahan*

(naskah diterima 21/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakPemindahan fungsi pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)dilakukan karena adanya penilaian bahwa pengawasan bank yang dilakukanoleh BI selama ini kurang efektif, sehingga dengan dilakukannya harmonisasidan sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkutpengawasan lembaga keuangan diharapkan fungsi pengawasan lembagakeuangan khususnya bank yang sekarang sudah dipegang oleh OJK dapatmeningkat dan dilakukan dengan adil terhadap semua institusi yang diawasi.Jika hal tersebut tidak segera direspon, dikhawatirkan pengawasan lembagakeuangan khususnya bank sama saja dengan yang dilakukan BI sehingga tidakmenyelesaikan masalah tetapi yang terjadi adalah memindahkan masalah yangsama kepada lembaga lain yang dibentuk dengan anggaran negara yang begitubanyak.Kata kunci : fungsi pengawasan, leembaga keuangan.

AbstractThe transfer of authority supervision function to Financial Services Authority (OJK)conducted caused by assessment that supervision of bank conducted by BI duringthe time less effective, so that done of synchronization and harmonization various lawand regulation which concerning supervision of financial institution expected byfunction supervision of financial institution specially bank which now have beenholded by OJK can mount and conducted dispassionately to all institution becontrolled. If mentioned do not immediately responded, felt concerned aboutsupervision of financial institution specially bank is the same with conducted by BIso that do not finish the problem of instead that happened to remove the problem ofsame to other institute which formed with state budget which so much.Keyword : supervision function, financial institution.

Page 97: otoritas jasa keuangan.pdf

414

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

A. PendahuluanTerbentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan1 (OJK) merupakan

sebuah solusi yang terbaik bagi kebaikan sistem keuangan denganmengedepankan efektivitas dan efesiensi dalam melakukan pengawasanlembaga keuangan (bank, pasar modal dan asuransi) di Indonesia.Selama ini, pengawasan lembaga keuangan (bank, pasar modal danasuransi) dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda yaitu BankIndonesia (BI) dan Kementerian Keuangan melalui Badan PengawasPasar Modal (Bapepam) namun pada prakteknya BI dan Bapepam dalammelakukan pengawasan tersebut belum optimal. Hal ini dikarenakankewenangan yang dimiliki Bank Indonesia begitu banyak sebagaimanayang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentangBank Indonesia,2 dimana Bank Indonesia memiliki kewenanganmembuat peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaanatau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasanatas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya,Bank Indonesia dalam kewenangannya di bidang perizinan selainmemberikan dan mencabut izin usaha suatu bank, juga dapatmemberikan izin pembukuan, penutupan dan pemindahan kantor,memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan suatubank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankankegiatan-kegiatan usaha tertentu. Kemudian, Bapepam3 dalammelakukan pengawasan pasar modal dan asuransi bertugas membina,mengatur, dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta

1 Otoritas Jasa Keuangan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentangOtoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).2 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indone-sia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357) kemudiandiubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901).3 Lihat dalam Pasal 3-5, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3608).

Page 98: otoritas jasa keuangan.pdf

415

merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis dibidang lembaga keuangan. Bapepam juga menetapkan prinsip-prinsipketerbukaan perusahaan bagi emiten4 dan perusahaan publik,5

perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidanglembaga keuangan, dan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembagakeuangan.6

Pada dasarnya, beberapa negara menyatukan fungsi pengawasanperbankan dalam kewenangan bank sentralnya dan Indonesia sebelumterbentuknya OJK juga menyatukan fungsi pengawasan perbankandalam kewenangan Bank Indonesia. Namun, terdapat juga beberapanegara yang memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari banksentralnya. Singapura misalnya membentuk lembaga pengawasanperbankan yang independen yaitu Monetery Authority of Singapore (MAS)yang tugasnya adalah menetapkan perizinan dan pengawasan bank,lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi, serta perdagangan valas.Kemudian di Amerika Serikat dikenal dengan nama The Federal Reserve(The Fed) yang melakukan tugas pembinaan dan pengawasan terhadapperbankan. Di Australia dikenal dengan nama The Australian PrudentialRegulation Authority (APRA) yang dibentuk sejak tahun 1998 dengan tugasmengawasi perbankan dan beberapa lembaga keuangan lainnya.Sejatinya pengawasan perbankan adalah merupakan kewenangan banksentral tetapi kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini dalammelaksanakan tugas pengawasan perbankan dibentuk suatu lembagayang terpisah dari bank sentral yang kewenangannya juga diperluastidak hanya mengawasi perbankan saja melainkan juga lembagakeuangan lainnya seperti lembaga pembiayaan dan perusahaanasuransi.7

Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa ...

4 Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum, Lihat dalam Pasal 1 ayat (6), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).5 Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300(tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00(tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan denganPeraturan Pemerintah, Lihat dalam Pasal 1 ayat (22), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentangPasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3608).6 Lihat dalam, Andika Hendra Mustaqim, Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem EkonomiNasional, Jurnal Perspektif, Vol. VIII No. 1 Maret 2010, hlm. 70.7 Appie Yudana Antono, Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Perbankan Suatu Kajian TerhadapRancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Depok, 2004, hlm. 5.

Page 99: otoritas jasa keuangan.pdf

416

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas JasaKeuangan sebagai dasar hukum pembentukan Lembaga Otoritas JasaKeuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dantata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturandan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuanmengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-bataskegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasakeuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial sertaketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lainsebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalamundang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-undang Perbankan,Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturanperundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuanganlainnya.

Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-UndangNomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu8:

1. Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yangmenjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktifdi dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponenpenting dalam sistem perekonomian nasional.

2. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnyakemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telahmenciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis,dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produkmaupun kelembagaan.

3. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungankepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telahmenambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembagajasa keuangan di dalam sistem keuangan

4. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan,yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnyaperlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunyastabilitas sistem keuangan.

8 http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/05/03/sedikit-menilik-otoritas-jasa-keuangan-menurut-uu-no-21-tentang-otoritas-jasa-keuangan/, (diakses tanggal 12 September 2012).

Page 100: otoritas jasa keuangan.pdf

417

Pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI kepada OJKmenimbulkan perdebatan dan memicu kontroversi yang panjang, apalagiIndonesia adalah negara yang industri keuangannya di dominasi olehindustri perbankan. Hal ini terlihat dari terlambatnya pelaksanaanpembentukan OJK ini, di mana dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor3 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia, disebutkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukanoleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dandibentuk dengan undang-undang dimana pembentukan lembagapengawasan tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31Desember 2010. Pada kenyataannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sebagai amanat dari Pasal 34Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun1999 tentang Bank Indonesia baru disahkan pada tanggal 22 November2011.

Pengalihan fungsi pengawasan tersebut tentunya menimbulkanakibat hukum terhadap beberapa kewenangan BI sebagai amanat dariUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia dengan perubahan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 6Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atasUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia MenjadiUndang-Undang serta kewenangan Bapepam sebagai amanat dariUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pengalihanfungsi tersebut juga membutuhkan dilakukannya langkah-langkahsinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undanganterkait pengawasan lembaga keuangan (perbankan, pasar modal danasuransi) terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentangOtoritas Jasa Keuangan agar nantinya tidak menimbulkanpermasalahan di kemudian hari bagi Lembaga Otoritas Jasa Keuangandalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa ...

Page 101: otoritas jasa keuangan.pdf

418

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

B. Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa KeuanganTerhadap Kewenangan Pengawasan Lembaga Keuangan diIndonesiaTerdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan

lembaga keuangan secara teoritis, di satu pihak terdapat aliran yangmengatakan bahwa pengawasan industri keuangan sebaiknyadilakukan oleh beberapa institusi. Kemudian di pihak lain ada aliranyang berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabiladilakukan oleh beberapa lembaga. Di Inggris misalnya industrikeuangannya diawasai oleh Financial Supervisory Authority (FSA),sedangkan di Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapainstitusi. SEC misalnya mengawasi perusahaan sekuritas sedangkanindustri perbankan diawasi oleh bank sentral (the Fed), FDIC dan OCC.Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran ini adalah kesesuaiandengan sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga,seberapa dalam konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan. Darisudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku yaitucommercial banking system dan universal banking system. Commercialbanking, seperti yang berlaku di negara kita dan di Amerika Serikat,melarang bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank sepertiasuransi. Hal ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antaralain negara-negara Eropa dan Jepang, yang membolehkan bankmelakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti investmenbanking dan asuransi.9

Selanjutnya, selain alasan sistem perbankan yang berlaku yangjuga menjadi dasar pertimbangan adalah seberapa dalam telah terjadikonvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang dalam akanmenyebabkan munculnya masalah kewenangan regulasi. Hal ini terjadikarena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangansudah sedemikian menyatunya sehinga sulit menentukan apakahsuatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankansehingga diregulasi oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritasdan harus tunduk pada regulasi Bapepam. Dengan diserahkannyakewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalahkewenangan regulasi tersebut akan terpecahkan.10

9 Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Majalah Pilars No. 02/Th.VII/12-18 Januari 2004, hlm. 2.10 Ibid.

Page 102: otoritas jasa keuangan.pdf

419

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa Otoritas JasaKeuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tanganpihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksuddalam Undang-Undang OJK ini. Dari Pasal 1 ayat (1) tersebut diketahuibahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalamsektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil,transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yangtumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungikepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melaluiadanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadapkeseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJKmelaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatanjasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, danapensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya,antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga JasaKeuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangansebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektorjasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada Lembaga JasaKeuangan.

Selanjutnya, dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait koordinasi dan kerjasama dalammenjalankan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalammembuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi:kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasiperbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri,penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri,produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya danpenentuan institusi bank yang masuk kategori systemically importantbank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaaninformasi. Kemudian, dalam Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa BIdapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank denganmenyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepadaOJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikanpenilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaanbank yang dilakukan oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK,

Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa ...

Page 103: otoritas jasa keuangan.pdf

420

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatanoleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, OJK segeramenginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuaidengan kewenangan BI sebagai bank sentral.

Akibat hukum setelah dibentuknya Lembaga OJK mengakibatkanperanan BI dalam menjalankan tugasnya hanya sebatas fungsiindependen sebagai Bank Sentral selaku otoritas moneter dan sistempembayaran. BI tetap berwenang mengatur dan mengawasi seluruh aspekperbankan dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakanmoneter dan sistem pembayaran.11 Dalam pelaksanaannya, BImelakukan kebijakan moneter melalui penetapan uang beredar atausuku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yangditetapkan oleh pemerintah menggunakan instrumen-instrumen,antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupunvaluta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajibminimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.12 Selain itu, BI jugamenciptakan efisiensi sistem pembayaran, kesetaraan akses danperlindungan konsumen.13 OJK dan BI akan bekerjasama dalampengawasan bank terkait penentuan institusi bank yang masuk kategorisystemically important bank, dibantu oleh Lembaga Penjamin Simpanan(LPS).

11 Prof. Dr. Anwar Nasution, Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Impllkasi Hukum, dan Agenda Kedepan,Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan danPerbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak AsasiManusia Rl, Denpasar, 2003. http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/ Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20 perbankan%20-%20anwar% 20nasution. pdf. (diakses tanggal 28 Juli2012)12 Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Tujuan Kebijakan Moneter (http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter/, (diakses tanggal 28 Juli 2012)13 Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Sistem Pembayaran di Indonesia (http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/Sistem+Pembayaran+di+ Indonesia/Sekilas (diakses tanggal28 Juli 2012)

Page 104: otoritas jasa keuangan.pdf

421

C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Berbagai Peraturan Perundang-undangan Terkait Pengawasan Lembaga Keuangan TerhadapUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas JasaKeuanganLahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan tentunya membutuhkan dilakukannya upayasinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undanganterkait pengawasan lembaga keuangan. Hal ini sejalan dengan pendapatAnn Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeyesekere yangmengatakan bahwa dalam proses pembangunan, undang-undangmerupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan padalembaga-lembaga. Hal tersebut memperjelas tugas pembuat undang-undang yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampumembawa perubahan, suatu undang-undang yang efektif pada keadaankhusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku yangdituju atau yang diaturnya.14

Bismar Nasution berpendapat bahwa, amanat pengawasan bankyang diberikan kepada OJK sebagai amanat dari Pasal 34 Undang-UndangNomor 3 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia harus dikritisi secara mendalam apakah amanat itu dapatmembawa pengawasan bank lebih baik dan dapat membawa perubahanlebih baik dalam sistem ekonomi terutama dalam pengaturan danpengawasan pengelolaan kegiatan sektor keuangan yangdiselenggarakan oleh OJK.15

BI yang diberikan tanggungjawab untuk menciptakan stabilitasnilai rupiah tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhitanggungjawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan mengawasibank seperti tercermin dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.Kemudian dalam Pasal 8 juga disebutkan bahwa BI menetapkan 3 (tiga)

Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa ...

14 Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abiyeskere, Legislative Drafting for Democratic SocialChange A Manual of Dratfters, (London: Kluwer Law International, 2001), hlm. xxi.15 Bismar Nasution, Kajian Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, Buletin Hukum Perbankan danKebanksentralan, Volume 8 Nomor 2, Mei 2010, hlm. 5.

Page 105: otoritas jasa keuangan.pdf

422

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

tugas BI yaitu : Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakanmoneter; Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;serta Ketiga, mengatur dan mengawasi Bank. Oleh karena itupelaksanaan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia denganmembentuk OJK berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan yangdiamanatkan oleh undang-undang tersebut karena undang-undangtersebut telah mengamputasi salah satu instrumen penting yang dimilikioleh BI dalam mencapai tujuannya.16

Terbentuknya OJK yang kewenangannya tidak hanya mengawasibidang perbankan saja tetapi juga mengawasi perusahaan-perusahaansektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun,sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakattentunya sangat membutuhkan dilakukannya sinkronisasi danharmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkutmengenai pengawasan lembaga keuangan agar tidak menimbulkanterjadinya persinggungan kewenangan khususnya dengan BI dalammelakukan pengawasan bank serta untuk menjaga independensi OJKdalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pemindahan fungsi pengawasankepada OJK dilakukan karena adanya penilaian bahwa pengawasan bankyang dilakukan oleh BI selama ini kurang efektif, sehingga dengandilakukannya harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturanperundang-undangan yang menyangkut pengawasan lembaga keuangandiharapkan fungsi pengawasan lembaga keuangan khususnya bank yangsekarang sudah dipegang oleh OJK dapat meningkat dan dilakukandengan adil terhadap semua institusi yang diawasi. Jika hal tersebuttidak segera direspon, dikhawatirkan pengawasan lembaga keuangankhususnya bank sama saja dengan yang dilakukan BI sehingga tidakmenyelesaikan masalah malahan yang terjadi adalah memindahkanmasalah yang sama kepada lembaga lain yang dibentuk dengananggaran negara yang begitu banyak.

16 Ibid.

Page 106: otoritas jasa keuangan.pdf

423

D. PenutupDampak yang ditimbulkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengakibatkanperubahan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang pengawasan yangsebelumnya diemban BI untuk sektor perbankan dan Bapepam untuksektor jasa keuangan lainnya selain sektor perbankan, sehinggadibutuhkan untuk segera melakukan sinkronisasi dan harmonisasidengan melakukan perubahan berbagai peraturan perundang-undanganyang terkait dengan sektor jasa keuangan seperti Undang-Undang Nomor3 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

Daftar Pustaka

Antono, Appie Yudana. Pembinaan dan Pengawasan Lembaga PerbankanSuatu Kajian Terhadap Rancangan Undang-Undang Otoritas JasaKeuangan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Depok, 2004.

Mustaqim, Andika Hendra. Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi SistemEkonomi Nasional, Jurnal Perspektif, Vol. VIII No. 1 Maret 2010.

Nasution, Bismar. Kajian Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, BuletinHukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8 Nomor 2, Mei2010.

Sitompul, Zulkarnain. Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK),Majalah Pilars No. 02/Th.VII/12-18 Januari 2004.

Seidman, Ann., Robert B. Seidman dan Nalin Abiyeskere, LegislativeDrafting for Democratic Social Change A Manual of Dratfters,(London: Kluwer Law International, 2001.

Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa ...

Page 107: otoritas jasa keuangan.pdf

424

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4357).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun2004 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/05/03/sedikit-menilik-otoritas-jasa -keuangan-menurut-uu-no-21-tentang-otoritas-jasa-keuangan/, diakses Pada Tanggal 12 September2012, Pada Pukul 13.50 WIB.

http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Masalah%20sistem%20k e u a n g a n % 2 0 d a n % 2 0 p e r b a n k a n % 2 0 -%20anwar%20nasution.pdf.

http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter/.

h t t p : / / w w w . b i . g o . i d / w e b / i d / S i s t e m + P e m b a y a r a n /Sistem+Pembayaran+di+ Indo-nesia/Sekilas/.

Page 108: otoritas jasa keuangan.pdf

425

* Tenaga Perancang Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTAR PENGAWAS SEKTORPERBANKAN: PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TENTANG OTORITAS

JASA KEUANGAN(INSTITUTIONAL RELATIONS OF THE BANKING SECTORSUPERVISORY: PERSPECTIF OF LAW ON THE FINANCIAL

SERVICES AUTHORITY)Khopiatuziadah*

(Naskah diterima 13/08/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakLahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangansecara nyata mengubah konstalasi kewenangan pengawasan di sektor jasakeuangan termasuk perbankan. Peralihan kewenangan pengawasan di sektorperbankan yang semula berada di satu tangan yakni di Bank Indonesia baikpengawasan bidang macroprudential maupun microprudential, berdasarkan UUini diserahkan kepada OJK. Namun demikian UU ini memberi ruang kepadaBank Indonesia untuk melaksanakan kewenangan pengawasan yang bersifatmacroprudential dengan tetap berkoordinasi dengan OJK. Pengaturan hubungankelembagaan yang belum secara rinci dan jelas memungkinkan timbulnya multipenafsiran dan berpengaruh pada arah kebijakan peraturan perundang-undangan terkait di sektor perbankan. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan-peraturan terkait tersebut harus dilakukan dengan juga menghindari konflikkepentingan jangka pendek.Kata Kunci : Hubungan kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank

Indonesia, pengawasan, jasa keuangan, sektor perbankan.

AbstractLaw No 12/2011 on Financial Services Authority has significantly changed andtransformed the supervisory authority constellation of financial services sectorincluding banking. It was the single supervisory of central bank both macroprudentialdan microprudential supervisions, under the Law No.12/2011, the authority tosupervise banking sector that was originally in the hand of Bank Indonesiasubmitted to The Financial Services Authority (OJK). However, the law gives spaceto the central bank to implement macroprudential supervisory authority that is fixedin coordination with the OJK. The unclear stipulation of Institutional relations allowsthe multi-interpretation which will influence the direction of policyof relatedlegislations in the banking sector. Harmonization and synchronization of relatedregulations should be emphasized, moreover avoiding short-term conflicts ofinterest.Keywords : institutional relations, Financial Services Authority, Bank of Indonesia,

supervisory, Financial services, banking sector.

Page 109: otoritas jasa keuangan.pdf

426

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

A. PendahuluanSecara yuridis, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK)

sebagai Lembaga Pengawas Jasa Keuangan lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang UndangNomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UUtentang BI), yang dalam Pasal 34 diamanatkan bahwa wewenangpengawasan terhadap bank dari Bank Indonesia sebagai pengawas sektorperbankan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuanganyang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dalampenjelasan Pasal 34 disebutkan pula selain pengawasan terhadap sektorperbankan, lembaga pengawas ini akan pula mengawasi sektor jasakeuangan lainya seperti asuransi, dana pensiun, sekuritas, modalventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yangmenyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Dengan demikian,pengawasan sektor jasa keuangan selain bank yang semula dilakukanantara lain oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan(Bapepam LK) juga beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Pembentukan OJK sendiri kemudian dikukuhkan dengandisahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OtoritasJasa Keuangan (selanjutnya disebut UU tentang OJK). UU tentang OJKmengatur secara lengkap mengenai pembentukan dan statuskelembagaan, tugas dan wewenang, struktur organisasi lembaga, kodeetik dan akuntabilitas, perlindungan konsumen dan masyarakat sertahubungan kelembagaan. Sebagai suatu undang-undang yang lahir dalamrangka pengalihan fungsi dan wewenang yang sudah berjalan, UU tentangOJK rentan terhadap irisan kewenangan dari lembaga lain yangsebelumnya memiliki tugas dan wewenang yang diamanatkan kepadaOJK. Sebagaimana disebutkan sebelumnya kelahirannya mencakupkewenangan beberapa lembaga pengawas sektor keuangan bank dannon bank yang saat ini dijalankan oleh beberapa institusi. Terkait dengankondisi ini, pengaturan pengalihan dan hubungan fungsionalantar-beberapa lembaga yang ada merupakan materi yang sangatsignifikan. Untuk itu, pengaturan mengenai hal tersebut seharusnyadibuat dengan hati-hati dan sekaligus jelas, sehingga tidak lagi terjaditumpang tindih kewenangan atau bahkan kekosongan kewenangan.

Tulisan ini hendak membahas bagaimana konsep pengaturanhubungan kelembagaan yang diatur dalam UU tentang OJK terhadappengawasan sektor perbankan. Pembahasan menggunakan metodependekatan yuridis normatif dengan mengkaji dan menelaah berbagai

Page 110: otoritas jasa keuangan.pdf

427

sumber pustaka terkait dengan materi tersebut baik dari peraturanperundang-undangan maupun hasil karya ilmiah lainnya. Analisis akanberangkat dari latar belakang ide lahirnya OJK, kemudian mencobamenganalisis keterkaitan beberapa pengaturan dan pengawasan disektor perbankan terutama peralihan kewenangan pengawasan sektorperbankan dan bagaimana pengaturan tentang hubungan kelembagaantersebut dalam UU tentang OJK. Dengan alur tersebut diharapkantergambar kritisi dan catatan penting tentang apakah UU tentang OJKyang telah mengatur secara lengkap hubungan kelembagaan dan mampumenjawab permasalahan yang melatarbelakangi lahirnya OJK sendiri.

B. Latar Belakang Yuridis Pembentukan OJKSebagaimana telah di hantarkan dalam pendahuluan, secara

yuridis lahirnya UU tentang OJK merupakan amanat dari Pasal 34 UUtentang BI. Dalam Pasal I angka 6 disebutkan bahwa “Penjelasan Pasal34 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, danketentuan Pasal 34 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 34berbunyi sebagai berikut : (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukanoleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dandibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasansebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”

Dalam penjelasan angka 6, Pasal 34 Ayat (1) dijelaskan bahwa“Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukanpengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasakeuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas,modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yangmenyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifatindependen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada BadanPemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukantugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diaturdalam undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitandengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank yang berkoordinasi denganBank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia mengenaiketerangan dan data makro yang diperlukan”.

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

Page 111: otoritas jasa keuangan.pdf

428

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Adapun pada ayat (2) dijelaskan bahwa “pengalihan fungsipengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasansektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinyasyarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, strukturorganisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagaiperaturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepadaDewan Perwakilan Rakyat”.

Dalam penjelasan umum UU tentang BI tersebut secara jelasdigambarkan bahwa tugas Bank Indonesia untuk mengawasi bankmenurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 bersifat sementara.Namun demikian, mengingat amanat pembentukan lembagapengawasan sektor jasa keuangan yaitu selambat-lambatnya tanggal31 Desember 2002 telah terlampaui, maka dengan Undang-Undangtersebut ditegaskan kembali bahwa pengawasan terhadap bank akandilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yangindependen yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31Desember 2010. Pengunduran batas waktu pembentukan lembagatersebut, ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan sumber dayamanusia dan infra struktur lembaga tersebut dalam menerimapengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia.

Dengan demikian, jelas bahwa amanat kelahiran lembagapengawas sektor perbankan bukan semata-mata lahir dari UU tentangBI tahun 2004 tersebut, namun amanat ini sudah dinyatakan pula dalamUndang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yangdiubah dengan UU tentang BI tahun 2004 tersebut. Dalam Pasal 34 ayat(1) dinyatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan olehlembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dandibentuk dengan undang-undang. Sedangkan pembentukan lembagapengawasan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 {ayat (2)}. Pasal 35 menegaskan bahwaberdasarkan Undang-Undang ini tugas pengawasan yang dilakukan BankIndonesia pada hakikatnya bersifat sementara. Pasal 35 secara jelasmenyebutkan: “Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan danpengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.”

Penjelasan dari Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-Undang ini samapersis seperti penjelasan Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-UndangPerubahannya (UU tentang BI No. 3 Tahun 2004), namun jika dicermatidan dikaji lebih dalam, terdapat kalimat dalam penjelasan Pasal 34 yang

Page 112: otoritas jasa keuangan.pdf

429

kemudian tidak diatur ulang (diakomodir) dalam perubahan UU tentangBI tersebut, yakni kalimat terakhir dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1)UU No. 23 Tahun 1999 yakni kalimat “Adapun tugas mengatur akantetap dilakukan oleh Bank Indonesia”. Yang kemudian perlu untukdikritisi adalah apakah hal ini merupakan kesengajaan, mengingathilangnya kalimat ini berdampak pada konstalasi kewenanganpengaturan di sektor perbankan yang akan diterjemahkan dalam undang-undang mengenai lembaga pengawas sektor jasa keuangan tersebut yangkemudian melahirkan OJK. Catatan ini selengkapnya akan dikaji padabagian pembahasan selanjutnya.

Yang kemudian menarik untuk menjadi catatan dan kritisi darilatar belakang lahirnya OJK adalah latar belakang sosiologis danekonomis pada saat ide pembentukkan OJK mengemuka, yakni padasaat dibentuknya UU No.23 Tahun 1999. Ide pembentukan otoritaspengawas sektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter sejakawal telah menuai perdebatan dan kontroversi. Bismar Nasutionmenyebutkan bahwa amanat pembentukan OJK harus dikritisi secaramendalam, apakah amanat demikian itu dapat membuat pengawasanbank lebih baik dan dapat membawa perubahan lebih baik dalam sistemekonomi, terutama dalam pengaturan dan dan pengawasan pengelolaankegiatan sektor keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga jasakeuangan. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank sentral dinegara yang industri keuangannya didominasi oleh industri perbankantentunya menimbulkan perdebatan dan memicu kontroversi.1 Bismarmenyebutkan bahwa dalam penyusunan RUU tentang OJK ada beberapahal yang perlu diperhatikan terkait konsep hukum dan pembangunan,yang di dalamnya terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkandalam proses pembentukan hukum sebagai alat rekayasa sosial supayatidak menghambat ekonomi, yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi”(predicability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan“pengembangan khusus dari sarjana hukum” (the special developmentabilities of the lawyer).2 Unsur stabilitas dan prediksi merupakanpersyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Unsur “stabilitas”

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

1 Bismar Nasution, Kajian Terhadap RUU Tentang OtoritasJasa Keuangan, Buletin Hukum Perbankandan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 2, Mei 2010 hlm. 5.2 Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, (Vol. 9,1980) : 232, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Ibid.

Page 113: otoritas jasa keuangan.pdf

430

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, sedangkan unsur “prediksi”merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuanyang berhubungan dengan ekonomi suatu negara.

Selanjutnya, Anggito Abimanyu3 dalam makalah yang disampaikankepada Panitia Seleksi OJK menyitir pendapat Joseph Stiglitz yangmenyebutkan bahwa sektor keuangan merupakan “pusat” dari sistemdalam sebuah perekonomian sehingga kegagalan sektor keuangan dapatmelemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian, sehinggassalah satu kunci utama pendalaman keuangan adalah akselerasipertumbuhan ekonomi melalui ekspansi akses untuk pihak-pihak yangtidak memiliki kecukupan finansial. Yang tak kalah pentingnya adalahkekuatan struktur permodalan, infrastruktur dan inovasi produk jasakeuangan. Struktur aset jasa keuangan di Indonesia masihterkonsentrasi di bank (80%), sementara yang lain seperti asuransi,10%, Dana Pensiun 2,5%, pembiayaan 5,5% masih belum memadaiuntuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata. Sektorperbankan Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar.Hal iniyang kemudian menjadi catatan atas pemilihan bentuk dan modelkelembagaan pengawasan jasa keuangan.

Sebagaimana tergambar dalam konsideran menimbang danpenjelasan umum UU tentang BI tahun 1999, bahwa pembentukan suatuotoritas moneter yang independen dengan reorientasi sasaran BankIndonesia merupakan salah satu bentuk kebijakan pemulihan danreformasi perekonomian untuk keluar dari krisis ekonomi yang tengahmelanda Indonesia pada saat itu. Hal itu sekaligus meletakkan landasanyang kukuh bagi pelaksanaan dan pengembangan perekonomian Indo-nesia di tengah-tengah perekonomian dunia yang semakin kompetitifdan terintegrasi. Reorientasi sasaran tersebut diarahkan untukmencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dalammewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia perlu ditopang dengantiga pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian,sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta sistem perbankan dankeuangan yang sehat.

3 Anggito Abimanyu, Tantangan OJK, (Ringkasan Makalah yang disampaikan kepada Pansel OJK),ditulis 08 April 2012, updated 24 April 2012

Page 114: otoritas jasa keuangan.pdf

431

Selain catatan yuridis dan sosiologis yang dapat kita pahamiberdasarkan ruh dan norma dari Undang-Undang sendiri, timbul beberapapenafsiran dan kritisi terhadap hal ini, misalnya ditundanyapembentukan OJK dari 31 Desember 2002 sampai 31 Desember 2010atau sekitar 8 tahun, menjadi pertanyaan tersendiri, benarkah faktorkesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang menjadi alasanmendasar perubahan ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasanumum? Sebagaimana diketahui selain berbagai pekerjaan rumah bagisektor perbankan akibat krisis ekonomi dan moneter 1998 dan maraknyakasus kejahatan perbankan sekaligus kinerja pengawasan sektorperbankan oleh Bank Indonesia, pembentukan lembaga pengawasansektor keuangan ini sebenarnya masuk dalam salah satu poin Letter ofIntend (LOI) antara pemerintah dan IMF sebagai salah satu persyaratanbagi pemerintah mendapatkan pinjaman pada saat krisis ekonomipertengahan 1997-1998. Walaupun banyak keberatan dari berbagaipihak, siapa pun baik DPR, Pemerintah apalagi Bank Indoenesia hampir-hampir tidak mempunyai kekuatan untuk menolak ketentuan IMF,termasuk pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan ini.4

Jika mengacu pada LOI dimaksud, lembaga pengawas sektorperbankan seharusnya dibentuk pada tahun 1999 seiring denganperubahan Undang-Undang tentang Bank Sentral yang hendakmembentuk otoritas moneter yang Independen (BI) lepas dari pengaruhpemerintah. Namun meskipun tercantum dalam LOI dengan IMF, BankIndoenesia keberatan dengan pembentukan lembaga pengawas sektorkeuangan, sehingga pembentukan lembaga pengawasan iniditangguhkan sampai pada tahun 2002, bukan pada tahun yang samadengan perubahan UU tentang BI, dengan alasan memberi kesempatankepada seluruh komponen pembuat kebijakan terutama pemerintahyang mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan akandibentuknya lembaga pengawasan perbankan yang baru.5

Dalam perjalanannya, memang terdapat sikap yang berbeda daripihak Bank Indonesia terkait amanat pembentukan lembagapengawasan ini, bahkan dalam amandemen UU Nomor 23 tahun 1999,

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

4 Rijanta Triwahjana R, Otoritas Jasa Keuangan, (5 Februari 2008) diunduh pada tanggal 17 Juli2012 dari http://klikeku.blogspot.com/2008/02/otoritas-jasa-keuangan.html.5 Ibid.

Page 115: otoritas jasa keuangan.pdf

432

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

pembentukan lembaga ini kemudian diundur sampai 2010 denganalasan kesiapan infrastruktur, pendanaan dan sumber daya manusia.Kesiapan bidang infrastruktur dan pendanaan menjadi alasan utamaBank Indoenesia yang menganggap pemerintah belum siap membentukatau mengoperasionalkan sebuah lembaga super di bidang pengawasansektor keuangan di Indonesia. Tarik ulur pembentukan badan pengawasmenjadi lebih kencang karena pada tahun yang sama LOI antarapemerintah dan IMF akan segera berakhir.6

Di lain pihak, pemerintah menyikapi amanat undang-undanguntuk membentuk lembaga pengawas ini dengan menyiapkan beberapapayung hukum. Pada saat pengajuan RUU bidang keuangan (tahun 2003),pemerintah telah menyertakan pula RUU tentang Otoritas JasaKeuangan di samping RUU untuk mengamandemen undang-undangbidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun.Meskipun yang lolos menjadi UU ternyata hanya amandemen UU tentangBI, yaitu UU No 3 Tahun 2004. Dari segi infrastruktur, pemerintah telahmenyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal(Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadiBapepam LK.7 Dari sisi pendanaan sendiri, kerugian negara dari bebantanggungan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang jumlahnyamencapai ratusan triliun akibat lemahnya pengawasan BankIndonesia, secara tidak langsung menjawab keraguan pentingnyalembaga pengawasan sektor keuangan, guna mencegah kejadian dankerugian yang sama. Munculnya kasus perbankan yang baru sepertikasus bank century dan beberapa perusahaan sekuritas, makinmendorong kebutuhan percepatan pembentukan lembaga pengawasansektor keuangan, termasuk perbankan.

Pada tataran global, pro dan kontra pembentukan otoritas pengawassektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter juga tidakterelakkan. Berbagai negara menggunakan konsep dan praktik yangjuga beragam, bahkan ada kecenderungan terjadinya perubahan konsepseiring dengan perubahan di sektor keuangan dunia yang makindinamis. Di Inggris, konsep pemisahan dikembangkan dengan

6 Ibid.7 Sebelumnya keduanya merupakan organisasi di bawah wewenang menteri keuangan dan denganPeraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja KementerianNegara Republik Indonesia, Bapepam, dan DJLK resmi bergabung menjadi Bapepam LK.

Page 116: otoritas jasa keuangan.pdf

433

membentuk Financial Services Authority (FSA). Jepang pun melakukanhal serupa dengan membentuk Japan FSA. Sementara Australiamembentuk Australian Prudential Regulatory Authority (APRA). Masihbanyak negara maju ataupun berkembang yang mengembangkan konsepserupa. Keberadaan badan ini dimaksudkan untuk dapat mengikutiperkembangan yang cepat pada sektor jasa keuangan, terutama denganmunculnya konglomerasi di sektor tersebut. Walaupun terdapat berbagaibentuk lembaga pengawasan, struktur OJK di Indonesia menggunakanpendekatan intergrated approach, di mana OJK mengawasi seluruhlembaga keuangan seperti halnya FSA di Inggris, di Australia dan diKorea Selatan. Sejarah menunjukkan gagalnya koordinasi dengan Bankof England (BoE) dalam penanganan Northern Rock. Di Korsel, FSA saatini sedang dalam tekanan politik yang hebat agar pengawasandikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi.Tantangan ke depan OJK adalah bahwa masalah yang terjadi di Inggrsidan Korea Selatan agar tidak berulang di Indonesia.

Namun demikian, terdapat argumen yang mendukung pengawasanbank tetap di tangan Bank Sentral adalah fungsi pengawasan bankmembantu bank sentral menjalankan fungsinya dengan baik, karenaBank Sentral dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan secara cepatdan menyeluruh. Pengetahuan tentang keadaan dan kesehatan sistemperbankan dapat meningkatkan kualitas analisis dan prediksi kondisikeuangan yang dibuat oleh Bank Sentral. Alasan lainnya, yakni bisamengantisipasi konflik kepentingan antarlembaga dan juga lebihekonomis.8 Mengingat otoritas moneter perlu melakukan transmisikebijakan moneter melalui perbankan, maka kewenangan Bank Sentraluntuk mengawasi bank akan memberi pemahaman yang mendalambagi Bank Sentral tentang bagaimana perbankan akan bereaksi terhadapkebijakan moneter yang dibuatnya. Bahkan, jika terjadi krisiskeuangan, peran Bank Sentral bertambah penting karena kebijakan dibidang moneter dan sistem pembayaran selalu menjadi solusi terbaik.9

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

8 Konsep ini didukung oleh hasil penelitian Haubrich,Joseph G and Thomson, James B (2005) “Um-brella Supervision and the Role of the Central Bank”. Dengan menambahkan indikator tingkat kesehatanperbankan (yang bersifat rahasia) ke dalam suatu model, secara signifikan meningkatkan akurasiprediksi kondisi ekonomi yang dilakukan oleh bank sentral.9 Menimbang (Kembali) Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, Senin, 22 Juni 2009 , diunduh padatanggal 17 Juli 2012 dari http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/06/22/279/231503/menimbang-kembali-keberadaan-otoritas-jasa-keuangan

Page 117: otoritas jasa keuangan.pdf

434

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Pro dan kontra terhadap pembentukan OJK, pada akhirnya berujungpada pengesahan UU tentang OJK pada tahun 2011 sebagai pelaksanaanamanat Pasal 34 UU tentang BI Tahun 2004. Dalam Naskah AkademikPembentukan OJK dinyatakan bahwa salah satu dasar pertimbanganpembentukan OJK adalah best practices di beberapa negara danmemperhatikan model pengawasan industri jasa keuangan di berbagainegara di dunia.10 Meskipun sangat beragam, namum modelpengawasannya dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok besaryaitu11:

1. Multi Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektorjasa keuangan yang dilakukan oleh lebih dari dua otoritas. Masing-masing industri jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal,asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasioleh masing-masing regulator yang berbeda. Model ini diterapkanoleh beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Republik RakyatChina.

2. Twin Peak Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasansektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yangpembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek marketconduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bankdan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturandan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek danlembaga keuangan lainnya serta seluruh produk-produk jasakeuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasantersendiri pula. Model ini diterapkan oleh negara-negara sepertiAustralia dan Canada.

3. Unified Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasansektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi di bawah satulembaga atau badan yang memiliki otoritas pengaturan dan

10 Zulkarnaen Sitompul dalam Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004 menyebutkan ide pembentukanOJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan UU tentang BI olehDPR. Fungsi pengawasan perbankan yang tadinya dipegang oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral,kini dipisahkan mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Idenya datang darikonsultan asal Jerman. Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yangpada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999) bertindaksebagai konsultan.11 Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, NaskahAkademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010 hlm. 10-12.

Page 118: otoritas jasa keuangan.pdf

435

pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencakupperbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya.Model ini mulai cenderung diterapkan di beberapa negara sejaktahun 1997. Yang pertama kali menerapkan model ini adalahNorwegia di tahun 1986. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negaramenerapkan model ini. Model ini diterapkan oleh negara-negarayang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti Inggris,Jepang, Korea Selatan dan Jerman.

Berdasarkan berbagai pertimbangan pokok yang telah diuraikandi atas dan pengalaman krisis perbankan yang pernah terjadi diIndonesia serta struktur dan sistem keuangan yang saat ini berlaku,maka model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yangsangat sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisory Model, yaitusuatu sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalamsuatu lembaga tunggal yang disebut Otoritas Jasa Keuangan.

C. Peralihan Peran dan Fungsi Pengawasan Sektor PerbankanKepada OJKKewenangan pengawasan sektor perbankan sebagai salah satu

sektor bidang jasa keuangan secara otomatis beralih dari BankIndonesia kepada OJK. Beberapa kewenangan pengawasan sektorperbankan yang semula berada di Bank Indonesia diatur dalam UUtentang BI dialihkan kepada OJK . Dalam Pasal 8 UU tentang BIditentukan bahwa pengaturan dan pengawasan Bank merupakan salahsatu tugas Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, BankIndonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin ataskelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakanpengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank (Pasal 24).Selain itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian (Pasal 25).Terkait dengan perizinan, dalam Pasal 26 ditegaskan bahwa BankIndonesia: a) memberikan dan mencabut izin usaha bank; b)memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank;c) memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;dan d) memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputipengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27). Bank Indonesiaberwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan,

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

Page 119: otoritas jasa keuangan.pdf

436

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkanoleh Bank Indonesia, yang dalam hal ini dapat dilakukan terhadapperusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasidari bank apabila diperlukan (Pasal 28). Pemeriksaan terhadap bankdilakukan baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukandan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak,pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan(Pasal 29).

Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas namaBank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank (Psl. 30).Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikansementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabilamenurut penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut didugamerupakan tindak pidana di bidang perbankan (Psl. 31). Dalam halkeadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakankelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakansistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yangmembahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapatmelakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentangPerbankan yang berlaku (Psl. 33).

Pengalihan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia kepadaOJK, dalam penjelasan Pasal 34 UU tentang BI Tahun 1999 tidaktermasuk tugas pengaturan bank serta tugas yang berkaitan denganperizinan. Namun demikian dalam penjelasan Pasal 34 pada UU No. 3Tahun 2004 tentang BI, pengecualian (pembatasan) ini tidak diatur ataudinyatakan dalam pasal perubahannya, sehingga dalam UU tentang OJK,aspek pengaturan termasuk di dalamnya perizinan menjadi wewenangOJK. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Perbankan12, makafungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16,Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52,dan Pasal 53 Undang-Undang ini, beralih menjadi fungsi, tugas, danwewenang OJK sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) UU tentang OJK.

12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentangPerbankan.

Page 120: otoritas jasa keuangan.pdf

437

Pasal 7 UU tentang OJK memberikan kewenangan kepada OJKdalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektorperbankan, yaitu:

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yangmeliputi:

1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusandan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisibank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaandana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yangmeliputi:

1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasiokecukupan modal minimum, batas maksimum pemberiankredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadanganbank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerjabank;

3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan

5. standar akuntansi bank.

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,meliputi:

1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;dan

d. pemeriksaan bank.

Selain itu, kewenangan mengenai pemberian perintah tertulisberalih dari Bank Indonesia kepada OJK sebagaimana disebutkan dalamPasal 9 huruf d UU tentang OJK serta penetapan sanksi administratifkepada bank dan pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannyaberalih dari Bank Indonesia kepada OJK sebagaimana disebutkan dalamPasal 9 huruf g. Demikian pula ketentuan Pasal 12 Undang-Undang

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

Page 121: otoritas jasa keuangan.pdf

438

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

tentang Perbankan, untuk menunjang pelaksanaan programpeningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi,usaha kecil dan menengah, kerja sama yang sebelumnya dilakukanoleh Bank Indonesia dengan pemerintah melalui Bank Umum jugaberalih kepada OJK.

Selain peralihan kewenangan yang secara jelas diatur dalam UUtentang OJK, diatur pula hubungan kelembagaan dan kerja samaantarlembaga mengingat terdapat beberapa masalah yang sangatsignifikan terkait proses peralihan ini. Sebagaimana dianut oleh BankIndonesia, OJK juga merupakan lembaga yang independen dalammelaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihaklain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU tentangOJK.13 Pengecualian ini sekalipun, seharusnya tidak mengurangiindependensi OJK.

Pengawasan terhadap bank pada dasarnya dibangun atas tigapilar: regulasi, monitoring dan sanksi. Jika dianalogikan sebagaimanusia: regulasi itu adalah badan, monitoring itu sebagai kepala (akal,mata dan telinga), dan penegakan hukum (sanksi) menjadi hatinuraninya. Agar efektif, kondisi ketiga elemen yang terintegrasi tersebutharus senantiasa dipelihara agar sehat (sound) dan difungsikan secaratepat (proper). Sistem perbankan itu sendiri dapat diibaratkan sebagaisuatu bangunan yang bersendikan tiga pilar itu. Jika salah satu pilarnyalemah atau kurang kukuh, maka dia akan mudah roboh dan mudahdimasuki atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.14 Keberhasilan sebagai lembaga pengawas bank tidak akanberjalan dengan sendirinya hanya dengan reorganisasi atau pemisahanfungsi pengawasan dari bank sentral. Keberhasilan itu merupakanproduk yang dikembangkan dari suatu filosofi orientasi-pasar yangfleksibel. Hanya dengan menjadi suatu lembaga yang berintegritas tinggi,dinamis, policy-driven, berkemampuan riset yang kuat, forward looking,dan market friendly serta senantiasa belajar (learning organization) padaakhirnya akan berhasil melaksanakan tugas yang diamanatkan olehrakyat dan menjadi lembaga yang kompeten dan independen. 15

13 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang OJK.14 S. Batunanggar, Strategi Pengawasan Bank Strategi Pengawasan Bank Yang Efektif, dimuat dengan(sedikit revisi) dalam Pengembangan Perbankan, Insitut Bankir Indonesia, Edisi No.78 Juli-Agustus1999 dengan judul ‘Strategi Pengawasan Bank yang Efektif di Indonesia’.15 Ibid

Page 122: otoritas jasa keuangan.pdf

439

Istilah otoritas dalam penamaan lembaga pengawas sektorkeuangan ini pun untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebutmenjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan(supervisi). Jika dibandingkan dengan konsep serupa di negara lainmaka konsepsi struktur pengorganisasian OJK memiliki kesamaandengan struktur pengorganisasian pengaturan dan pengawasan sektorjasa keuangan di Korea Selatan yang memisahkan fungsi pengaturan(regulator) yang dilakukan oleh Financial Services Commision dari fungsipengawasan (supervisor) yang dilakukan oleh Financial SupervisoryService. Namun, OJK di Indonesia nantinya memisahkan fungsipengaturan dan fungsi pengawasan di dalam satu organisasi yang padafungsi pengaturan akan dilaksanakan oleh Dewan Komisioner,sedangkan fungsi pengawasan dilaksanakan oleh 3 (tiga) Pengawas yangberdiri sendiri yaitu Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal, danPengawas Industri Keuangan Non Bank. Kesemuanya itu terintegrasidalam satu organisasi OJK. Dewan Komisioner sebagai organ tertinggiOJK melakukan pula fungsi pengawasan terhadap ketiga lembagapengawas dimaksud. 16

Khusus untuk pengawasan Perbankan, konsepsi model OJK diIndonesia memiliki kemiripan dengan model pengawasan perbankanyang diterapkan di Jerman di mana Bundesbank masih dapat melakukanpengawasan terhadap Perbankan bersama dengan Bundesanstalt fürFinanzdienstleistungsaufsicht (BAFIN). Demikian pula di Jepang di manaBank of Japan juga masih dapat melakukan pengawasan terhadapPerbankan bersama dengan Japan Financial Services Agency (JFSA).Dengan demikian, di Indonesia nantinya, Bank Indonesia sebagaiotoritas moneter dapat bersama-sama dengan OJK melaksanakanpengawasan terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuantertulis kepada OJK, bahkan Bank Indonesia juga diperkenankan untukbersama dengan OJK melakukan pemeriksaan lapangan di suatu bank(on site inspection). Selain itu, Bank Indonesia juga mendapatkan semuaakses informasi tentang data perbankan di Indonesia.17

Hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia (danlembaga terkait lainnya), diatur dalam satu bab tersendiri dalam UUtentang OJK, hal ini sesuai dengan perintah Pasal 34 UU tentang BI.

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

16 Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Loc Cit.17 Ibid.

Page 123: otoritas jasa keuangan.pdf

440

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

D. Hubungan Kelembagaan Pengawas Sektor Perbankan dalamPerspektif UU tentang OJKOJK sebagai lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua

lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BIdan Bapepam LK kementerian keuangan akan menghadapi beberapapersoalan teknis dalam pelaksanaan tugas dan wewenanganya sebagaiakibat dari peralihan kewenangan dari lemabaga yang lama. Selainkendala kelambanan waktu, efektifitas lembaga dan cakupan wilayahkerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasiyang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderungberbeda yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembagakeuangan serta disclosure pada pasar modal.

Dalam penjelasan umum UU tentang OJK telah tampak adanyakesadaran preventif dari pembentuk UU ini terhadap masalahketerkaitan kewenangan OJK dengan beberapa otoritas lain sepertiotoritas moneter dan otoritas fiskal. Hal ini tergambar antara lain daristruktur dan unsur kelembagaan yang secara kelembagaan, OJK beradadi luar pemerintah dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah.Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilanPemerintah. Pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasakeuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat denganotoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu,lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritastersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalamrangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidangfiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio jugadiperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasionaldalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional,kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjagadan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkankoordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, OtoritasJasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraanurusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya. 18

Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akanmenambah jumlah anggota dalam forum pengambil kebijakan,

18 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Page 124: otoritas jasa keuangan.pdf

441

khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)dan Komite Koordinasi (KK) yang merupakan forum pengambilankeputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari BankIndonesia, Kementrian Keuangan, dan LPS akan bertambah denganmasuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas SistemKeuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini memilikikonsekuensi alotnya koordinasi di saat-saat genting atau saat krisis.Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembagakeuangan dalam OJK diharapkan dapat memberikan perlakuan yangsama (the same level playing field) bagi seluruh sektor jasa keuangan.Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi danmemudahkan koordinasi antarlembaga.19

Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia saat ini berperan sebagaipengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di bidang moneter.Dengan struktur yang ada saat ini, Bank Indonesia berperan aktif dalamdua hal sekaligus, yaitu macro-prudential supervision dan micro-pruden-tial supervision. Macroprudential supervision merupakan kewajiban untukmelakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan,khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistemkeuangan atau perekonomian. Di sisi lain, microprudential supervisionmerupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap lembagakeuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkatkesehatan lembaga keuangan secara individu. Jika peran pengawasansistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementararegulator moneter diemban oleh Bank Indonesia, maka akan munculbeberapa permasalahan, antara lain:20

a. kemampuan OJk sebagai lembaga baru dengan kewenangan yangsuper power di sektor jasa keuangan membutuhkan penyesuaianyang tidak sebentar;

b. koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia cenderung akansuboptimal, karena masing masing lembaga cenderung untuk fokuskepada tugas pokok fungsi masing-masing sementara seringkalitugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderungbertentangan;

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

19 Anggito Abimanyu, Loc Cit.20 Tim Kerja Sama Penelitian FEB UGM & FE UI, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: KajianAkademik”, (Draft III) 23 Agustus 2010, hlm. 4.

Page 125: otoritas jasa keuangan.pdf

442

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

c. lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara OJK danBank Indonesia akan meningkatkan kerentanan ekonomiIndonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan olehkrisis moneter maupun krisis sistem keuangan;

d. fungsi lender of the last resort dari Bank Indonesia tidak akanoptimal selama Bank Indonesia tidak memiliki informasi yangmemadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembagakeuangan individual.

Hubungan kelembagaan antara OJK dengan Bank Indonesia, danLembaga Penjamin Simpanan dalam konteks pengawasan terhadapsektor perbankan diatur dalam bab tersendiri yakni Bab X tentanghubungan Kelembagaan, terdapat pula beberapa pasal lain dalam UUtentang OJK yang pada akhirnya menghatur konsep hubungankelembagaan terutama antara OJK dengan Bank Indonesia.

Terkait dengan permasalahan yang telah didiskusikan pada bagiansebelumnya terdapat beberapa catatan kritis atas pengaturan hubungankelembagaan antarkedua institusi tersebut, yakni kekhawatirankehadiran OJK yang mengambil fungsi pengawasan Bank Indonesia atasBank-bank Umum, yang bertabrakan dengan fungsi pengaturan BankIndonesia yang secara tidak langsung akan bersinggungan dengan fungsipengawasan (macroprudential). Kekhawatiran kehadiran OJK apakahsudah benar-benar merupakan kebutuhan atau justru hanyamerupakan efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari krisisperbankan yang berkepanjangan yang satu diantaranya karena tidakoptimalnya fungsi pengawasan Bank Indonesia.21

Tampaknya kekhawatiran ini dicoba dijawab melalui penjelasanPasal 7 UU tentang OJK yang menyebutkan bahwa “Pengaturan danpengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian,dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasanmicroprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkuppengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan danpengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugasdan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan danpengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untukmelakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan”.

21 Nindyo Pramono, Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem KetatanegaraanBagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI, BuletinHukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010.

Page 126: otoritas jasa keuangan.pdf

443

Dari sisi teknik perancangan peraturan perundang-undangan,ketentuan ini kurang tepat jika dimasukkan sebagai penjelasan Pasal7, mengingat ketentuan penjelasan tersebut mengandung norma, yakninorma kewenangan. Ketentuan penjelasan tersebut sangat jelasmerupakan norma pembagian kewenangan antara OJK dan BankIndonesia. Pun masih tersisa persoalan karena tidak ada pembagiankategori yang jelas dari lingkup microprudential dan macroprudential.Seharusnya UU tersebut memberikan ketentuan yang jelas mengingatjika dirujuk pada teori dan praktik, terdapat pula cakupan yang lintaskategori atau bahkan beririsan antara yang microprudential danmacroprudential. Belum ada pengaturan yang jelas mengenai hal tersebutapakah dikerjasamakan atau dikoordinasikan? Atau seperti apa? Pundalam pasal kerjasama dan koordinasi masih tidak ada kejelasan sepertiapa kewenangan macroprudential Bank Indonesia. Ketiadaan kejelasanini dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan berakibat padaarah perubahan UU tentang perbankan dan UU perubahan tentang BankIndonesia, dan justru akan menimbulkan tumpang tindih sepertikekhawatiran banyak pihak. Bahkan konstalasi politik pada saatperubahan kedua UU tersebut bisa jadi lebih menentukan daripadakonsistensi dan hamonisasi dengan UU tentang OJK.

Masalah penafsiran ini dapat dipicu dengan pemaknaan yangberbeda dari penjelasan Pasal 7 yang berbunyi “Adapun lingkuppengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan danpengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugasdan wewenang Bank Indonesia”. Frasa “selain hal yang diatur dalampasal ini”, memberikan kewenangan yang sangat luas dan tidak terbataskepada Bank Indonesia terkait dengan kewenangan pengawasanterhadap sektor perbankan. Selama bentuk pengawasan ini dapatdikategorikan sebagai pengawasan macroprudential, yang sekali lagisecara praktik dan teori tidak terdapat kesamaan persepsi tentang haltersebut, membuat ketentuan penjelasan Pasal 7 ini menjadi satumasalah tersendiri. Terlebih, ada bentuk kegiatan perbankan yangdinyatakan merupakan bagian pengawasan macroprudential danmicroprudential secara bersamaan atau beririsan.

Terkait koordinasi kelembagaan, Pasal 39 UU tentang OJKmenyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasidengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidangPerbankan antara lain:

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

Page 127: otoritas jasa keuangan.pdf

444

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;

b. sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan danavaluta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha banklainnya;

e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemicallyimportant bank; dan

f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaaninformasi.

UU tentang OJK mengamanatkan tata cara koordinasi antara OJKdan BI diatur bersama oleh kedua institusi dimaksud. Lebih lanjut,Pasal 40 dan Pasal 41 menyebutkan bahwa penilaian terhadap tingkatkesehatan bank merupakan kewenangan OJK sehingga dalam hal BankIndoenesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya dalamlingkup macroprudential memerlukan pemeriksaan khusus terhadapbank tertentu. Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsungterhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secaratertulis terlebih dahulu kepada OJK.

Demikian pula dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentumengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakinmemburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untukmelakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BankIndonesia.22 Ketentuan ini diperjelas dengan penjelasan pasal dimaksudyang menyatakan bahwa pada dasarnya wewenang pemeriksaanterhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal BankIndonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya

22 Selengkapnya bunyi Pasal 40 dan 41 sebagai berikut: Pasal 40 (1) Dalam hal Bank Indonesia untukmelaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu,Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikanpemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaansebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadaptingkat kesehatan bank. (3)Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan.Pasal 41: (1) OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalahyang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/ataukondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untukmelakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.

Page 128: otoritas jasa keuangan.pdf

445

membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, BankIndonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadapbank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau banklainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidangmacroprudential. Untuk kelancaran kegiatan pemeriksaan oleh BankIndonesia, pemberitahuan secara tertulis dimaksud paling sedikitmemuat tujuan, ruang lingkup, jangka waktu, dan mekanismepemeriksaan.

Penjelasan Pasal 40 tersebut pada hakikatnya mengandung normapengaturan yang menguatkan norma pada Pasal 40, kembali masalah“kegalauan” pembentuk undang-undang terhadap fakta bahwa akanterjadi benturan, irisan dan tumpang tindih kewenangan pengawasansektor perbankan antara OJK dengan otoritas moneter (BankIndonesia) sehingga setelah membuka peran Bank Indonesia dalam halpemeriksaan langsung terhadap bank terkait dengan systemicallyimportant banking dan/atau bank lain dalam lingkup macroprudential ,ditegaskan pada bagian awal penjelasan bahwa “ Pada dasarnyawewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK”.

Sebagaimana Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait denganfungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahuludengan OJK (Pasal 43). Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadapbank adalah wewenang OJK. Lingkup pemeriksaan meliputipemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macetdan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektorperbankan. Berbeda dengan irisan dengan otortitas moneter, terkaitsinggungan kewenangan OJK dan LPS, UU ini memberikan cakupankewenangan pemeriksaan yang dilakukan LPS dengan cakupan yangjelas dan limitatif.

Secara sederhana dapat dilihat bahwa konsep dalam UU tentangOJK ini mencoba memotret pengawasan sektor keuangan yangdilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan regulasi terkait sektortersebut yang secara umum, fungsi pengawasan sektor keuangan dibagimenjadi tiga yaitu: Macroprudential Supervision; Microprudential Supervi-sion; dan Conduct of Business Supervision23 dengan memetakan masing-masing kewenangan dari institusi pengawasan terkait.

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

23 Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI, Op Cit, hlm. 24.

Page 129: otoritas jasa keuangan.pdf

446

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Amanat yang juga sangat penting dari UU tentang OJK adalahkewajiban membangun dan memelihara sarana pertukaran informasisecara terintegrasi oleh ketiga institusi pengawas sektor perbankantersebut (OJK, Bank Indonesia, dan LPS),24 meskipun pada prinsipnyaOJK yang seharusnya membangun, memelihara dan mengembangkansistem informasi sesuai dengan tugas dan kewenangnya. Yang dimaksuddengan sarana pertukaran informasi secara terintegrasi adalah bahwasistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan LPS salingterhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukarinformasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiapsaat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dankhusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasilpemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, LPS atau olehOJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkankerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, ketigalembaga pengawas ini juga membentuk suatu Forum KoordinasiStabilitas Sistem Keuangan yang protokol koordinasinya telah diaturdalam UU tentang OJK. Namun demikian ketentuan mengenai protokolkoordinasi hanya berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai jaring pengaman sistem keuangan (Pasal 69).

E. PenutupMeskipun secara jelas dinyatakan bahwa pengawasan dan

pengaturan sektor perbankan telah dialihkan kepada OJK, namun UUtentang OJK mencoba mendesain sedemikian hubungan kelembagaanantarpengawas di sektor perbankan baik dari sisi microprudentialsupervision, macroprudential supervision, maupun conduct of businesssupervision. Namun demikian, beberapa pengaturan yang masih sumirdalam ketentuan UU tentang OJK dapat mengakibatkan munculnyapenafsiran yang beragam terkait kewenangan pengawasan di sektorperbankan yang akan berakibat pada arah kebijakan dari berberapaRancangan Undang-Undang di sektor perbankan seperi RUU Perubahantentang Perbankan dan RUU Perubahan tentang Bank Indonesia, selainjuga pada peraturan pelaksanaan dari UU tentang OJK sendiri, danbeberapa peraturan bersama yang dimungkinkan untuk dilahirkanberdasarkan UU dimaksud. Dengan demikian harmonisasi semuaperangkat hukum tersebut kemudian menjadi sangat penting.

24 Pasal 43 UU tentang OJK.

Page 130: otoritas jasa keuangan.pdf

447

Hubungan Kelembagaan Antar Pengawas Sektor ...

Dalam hal ini ada empat hal yang perlu diperhatikan, yakni1) menjauhkan konflik kepentingan ekonomi politik jangka pendekdalam menyusun ketentuan peraturan perundang-undangan; 2)mewaspadai keteledoran dalam perumusan detail dalam rangkamengantisipasi dampak negatif kebijakan yang dipilih; 3) melakukansinkronisasi dengan peraturan terkait; dan 4) menghindarkan diri dariketergesa-gesaan hanya karena harus memenuhi target waktu, karenahal itu hanya akan berakibat pada pembahasan substansi secara dangkaldan tidak matang.

Daftar Pustaka

Abimanyu, Anggito, Tantangan OJK, (Ringkasan Makalah yangdisampaikan kepada Pansel OJK), ditulis 08 April 2012, updated24 April 2012

Batunanggar, S., Strategi Pengawasan Bank Strategi Pengawasan Bank YangEfektif,

dimuat dengan (sedikit revisi) dalam Pengembangan Perbankan, InsitutBankir Indonesia, Edisi No.78 Juli-Agustus 1999 dengan judul‘Strategi Pengawasan Bank yang Efektif di Indonesia’

Menimbang (Kembali) Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, Senin, 22 Juni2009 , diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 dari http:// economy.okezone. com/index. php/ ReadStory/ 2009/06/22/279/231503/menimbang-kembali-keberadaan-otoritas-jasa-keuangan

Nasution, Bismar, Kajian Terhadap RUU Tentang OtoritasJasa Keuangan,Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8,Nomor 2, Mei 2010

Pramono, Nindyo, Implikasi Landasan Hukum Independensi dan PosisiDalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan danPelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI,Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8,Nomor 3, September 2010

Sitompul, Zulkarnaen, Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004

Theberge, Leonard J., Law and Economic Development, Journal ofInternational Law and Policy, (Vol. 9, 1980)

Page 131: otoritas jasa keuangan.pdf

448

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI, “Alternatif Struktur OJKyang Optimum: Kajian Akademik”, (Draft III) 23 Agustus 2010

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentangOtoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan OtoritasJasa Keuangan (OJK), 2010

Triwahjana R, Rijanta, Otoritas Jasa Keuangan, (5 Februari 2008) diunduhpada tanggal 17 Juli 2012 dari http://klikeku.blogspot.com/2008/02/otoritas-jasa-keuangan.html

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesiasebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Page 132: otoritas jasa keuangan.pdf

449

* Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukumdan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

CATATAN SINGKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIKINDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA

KEUANGAN(A BRIEF NOTE ON THE LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

NUMBER 21 YEAR 2011 CONCERNING THE FINANCIAL SERVICESAUTHORITY)

Nova Asmirawati*

(Naskah diterima 21/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakLahirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan sebuahterobosan dibidang hukum perbankan, sebab pengaturan dan pengawasan sektorperbankan di Indonesia tidak lagi berada pada Bank Indonesia namun dialihkankepada otoritas jasa keuangan, yaitu sebuah lembaga independen yangmempunyai fungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan pengaturan,pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap industri jasa keuangan diIndonesia. Terlepas pro-kontra terhadap subtansi materi yang termuat dalamUndang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, tentu terdapat beberapa titikkelemahan dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang terkaitdengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan misalnya yangterkait dengan teknik penormaan yang berakibat timbulnya perbedaan tafsirdikalangan penggunanya.Kata kunci : Otoritas Jasa Keuangan, Teknik Penormaan

AbstractBirth of law on the Financial Services Authority is a breakthrough in the field ofbanking law, for regulation and supervision of the banking sector in Indonesia are nolonger in Bank Indonesia, but were transferred to the financial services authority,which is an independent agency that has the functions, duties and powers to makearrangements, supervision, inspection and investigation of the financial servicesindustry in Indonesia. Despite the pros and cons of the substance of the materialcontained in the Act on the Financial Services Authority, of course, there are someweak points in the law on the Financial Services Authority related to preparationtechniques such as legislation relating to techniques that cause a difference normsinterpratation among users.Keywords : Financial Services Authority, Engineering Norms

Page 133: otoritas jasa keuangan.pdf

450

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

A. PendahuluanHukum Perbankan Indonesia telah memasuki babak baru yakni,

dengan diundangkannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)pada tanggal 22 November 2011. Undang-Undang ini menyebutkan bahwapengaturan dan pengawasan sektor perbankan tidak lagi berada padaBank Indonesia namun dialihkan kepada otoritas jasa keuangan, yaitusebuah lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas danwewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaandan penyidikan terhadap industri jasa keuangan di Indonesia.1 Dengandemikian seluruh kegiatan jasa keuangan sektor perbankan, pasarmodal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasakeuangan lainnya ada dalam kewenangan OJK.

Dalam diskusi pembentukan OJK, baik yang terjadi di media cetak,elektronik maupun pada acara-acara pertemuan ilmiah, sektorperbankan mendapat perhatian yang lebih dibanding sektor jasakeuangan lainnya. Hal ini wajar, karena dominasi sektor perbankandalam industri jasa keuangan di Indonesia masih besar. Selain haltersebut, keinginan dipisahkannya fungsi pengawasan perbankan daribank sentral juga mempengaruhi dalam proses panjang terbentuknyaUndang-Undang OJK.

Dalam naskah akademik pembentukan otoritas jasa keuangan,disebutkan salah satu alasan harus dipisahkannya pengawasanperbankan dari bank Indonesia adalah untuk menghindari konflikkepentingan, di mana dinilai bahwa 2 fungsi yang berbeda dalam bankIndonesia yaitu fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yangsekaligus juga fungsi otoritas moneter yang dipunyainya akanmenyebabkan Bank Indonesia cenderung lebih memilih menggunakaninstrument kebijakan moneter berupa bantuan likuiditas untukmenyehatkan kondisi keuangan dari bank-bank yang diawasinya,daripada lebih memperkuat fungsi pengaturan dan pengawasannyadengan jalan mengedepankan pendekatan prudensial (peraturankehati-hatian).2

Sebagai contoh adalah kasus dana talangan Bank Century,pembobolan dana nasabah Citibank, kasus Bank Mega, dan lain-lainmembuktikan bagaimana masih lemahnya fungsi pengawasan bank oleh

1 Penjelasan Umum UU OJK.2 Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, NaskahAkademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2010. hlm. 10.

Page 134: otoritas jasa keuangan.pdf

451

BI sehingga banyak terjadi masalah di bank yang menimbulkankerugian, tidak hanya bagi bank tersebut, tetapi juga negara sepertidalam kasus Century.

Di dunia saat ini sebenarnya ada empat sistem pengawasanlembaga keuangan yang dapat ditemui. Pertama, sistem pengawasaninstitutisional yaitu sistem pengawasan di mana lembaga pengawasdidasarkan pada status badan hukum lembaga tersebut. Secara umumini sistem yang mayoritas, dengan bank sentral sebagai pengawasmendominasi di atas 70%. Kedua, sistem pengawaan fungsional, di manapengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh berbagai lembaga yangberbeda sesuai fungsi bisnis lembaga itu. Ketiga, sistem pengawasanterintegrasi yaitu semua lembaga keuangan diawasi oleh lembagapengawasan yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas baikuntuk aspek mikroprudensial, makroprudensial dan praktek bisnisnya.Konsep ini diterapkan di Inggris, Australia dan Belanda.3 Modelpengawasan demikian inilah yang di gagas melalui UU OJK. Terakhir,twin peak yaitu sistem pengawasan berbasis pada tujuan dimana adapemisahan antara fungsi supervisi safety dan soundness di satu sisidengan fungsi pada praktek bisnis.4

Di Indonesia pilihan untuk menempatkan fungsi pengawasanperbankan tidak lagi pada Bank Indonesia namun dipindahkan dalamsebuah lembaga independen mengambil dasar yuridis pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.5 Sayangnya, upaya untukmembentuk lembaga tersebut tepat waktu sesuai dengan amanatUndang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia gagaldan tidak dapat memenuhi target waktunya, paling lambat 31 Desember2002.

Sampai akhir tahun 2002, Lembaga6 belum dapat terbentuksehingga perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun1999 yaituUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 mengundurkan target waktu

3 Borio Claudio: “Towards a macroprudential framework for financial supervision and regulation?”,Monetary and Economic Department, February 2003.4 Ibid.5 Pasal 34 UU BI menyebutkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga yangdisebut sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan (LPJSK) yang sifatnya independen. OlehUndang-Undang BI, di amanatkan paling lambat pada 30 Desember 2010 sudah terbentuk undang-undang (tersendiri) untuk LPJSK.6 Dalam Pasal 34 ayat (1) UU No.23 tahun 1999 tentang BI disebutkan bahwa Lembaga yang (akan)dibentuk bernama: Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan (LPSJK).

Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia ...

Page 135: otoritas jasa keuangan.pdf

452

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

menjadi paling lambat 31 Desember 2010. Dalam perjalanannya LPJSKyang dalam Rancangan Undang-Undang di beri nama Otoritas JasaKeuangan (OJK) memasuki tahap pembahasan di DPR baru pada tahun2010.

Terlepas pro-kontra terhadap subtansi materi yang termuat dalamUU OJK, hal yang juga penting untuk dicermati dari UU ini adalah tatacara atau teknis penyusunannya. Sudah umum diketahui bahwa sebuahproduk yang baik lahir dari sebuah proses yang baik pula. TeknikPenyusunan peraturan perundang-undangan manurut Undang-undangnomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangnan meliputi beberapa elemen, namun dari sekian elementersebut, tulisan ini hanya bermaksud untuk mencermati secarasingkat teknis perumusan norma (penormaan) yang terdapat padabeberapa Pasal yang terdapat di dalam UU OJK.

B. Pokok-Pokok Materi yang diatur di dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas JasaKeuanganUU OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di

dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil,transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yangtumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungikepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melaluiadanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadapkeseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.7 Sektor jasakeuangan yang dimaksud di dalam Undang-undang ini meliputi: sektorperbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana asuransi, LembagaPembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.8

Tujuan berdirinya OJK ini menggambarkan betapa luasnyawewenang dan tanggung jawab OJK, karena berisi tidak hanyapengawasan perbankan tetapi juga keseluruhan sektor jasa keuanganberada pada pengawasan OJK. Wilayah tanggung jawab yang luas inijugalah yang membuat OJK menjadi elemen penting dalam arahperekonomian nasional. Sebab, efektif atau tidaknya kinerja OJKmenentukan perkembangan perekonomian nasional ke depannya.

7 Lihat Pasal 4 UU OJK.8 Lihat Pasal 6 UU OJK.

Page 136: otoritas jasa keuangan.pdf

453

Cakupan wewenang OJK diatur di dalam Pasal 7, 8 dan 9 UU tentangOJK. Pasal 7 mengatur tentang regulasi dan pengawasan sektorperbankan meliputi (i) kelembagaan bank yang meliputi perizinan dankegiatan usaha bank, (ii) kesehatan bank meliputi rasio-rasio(penghitungan) modal, likuiditas, laporan-laporan, dan standar akuntansibank, (iii) aspek kehati-hatian bank meliputi manajemen risiko, tatakelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang danpencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan dan (iv)pemeriksaan bank. Kewenangan sebagaimana tersebut diatas, sesuaidengan kententuan yang tertulis pada Pasal 69 ayat (1) UU tentang OJK,akan beralih dari Bank Indonesia kepada OJK.

Pasal 8 dan 9 menjelaskan apa yang dapat dilaksanakan oleh OJKterkait kewenangannya dalam pengaturan dan pengawasan, sepertimenetapkan peraturan pelaksana Undang-undang OJK, peraturan-peraturan terkait sektor jasa keuangan juga menerapkan sanksi. Selainitu dapat pula melaksanakan pengawasan terpadu, menerbitkan/mencabut perizinan.

Menurut ketentuan yang terdapat pada Pasal 10 ayat(1), OJKdipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri atas 9 anggota yangdiusulkan oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Pasal 13).7 anggota lainnya diusulkan oleh Presiden, di mana calonnya berasaldari rekomendasi Panitia seleksi, setelah itu diseleksi oleh DPR (Pasal11). Dalam melaksanakan kewenangan pengaturan, Dewan Komisionerberwenang menetapkan peraturan-peraturan OJK, Peraturan-peraturanDewan Komisioner dan/atau Keputusan Dewan Komisioner (Pasal 21).Peraturan-peraturan OJK akan mengikat secara umum, sementaraPeraturan-peraturan Dewan Komisioner mengikat hanya pada internalOJK.

OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen sebagaimanatermuat dalam Pasal 29. Terhadap Konsumen dan masyarakat, OJKberwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi: (i)memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada LembagaJasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yangdirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud dan mengajukan gugatanuntuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikandari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawahpenguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun dibawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau untukmemperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian

Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia ...

Page 137: otoritas jasa keuangan.pdf

454

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat daripelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasakeuangan. (Pasal 30)

Sesuai ketentuan yang termuat pada Pasal 34 ayat (2), AnggaranOJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ataupungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.Hanya saja terkait besaran pungutan tidak dijelaskan secara rinci padaUndang-undang ini, pun pada delegasi (perintah) pengaturannyasebagaimana yang terbaca pada Pasal 37 ayat (6).

Berkenaan dengan hal yang terkait dengan sektor perbankan, OJKakan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam hal penetapanperaturan terkait pengawasan terhadap sektor perbankan.Permasalahan-permasalahan yang akan diatur antara lain kewajibanpemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yangterpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan danavaluta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan,transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, penentuan institusibank yang masuk kategori systemically important bank dan data lain yangdikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. (Pasal 39).Untuk tujuan penentuan kriteria bank-bank sehat, OJK dapatbekerjasama dengan Lembaga Penjamin Simpanan/LPS.

Monitoring dan evaluasi terhadap stabilitas sistem keuangan akanmenjadi bidang kerja dari Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.Forum ini akan memformulasikan serta mengimplementasikankebijakan-kebijakan untuk mencegah serta menyelesaikan krisis/masalah sistem keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut,forum ini mengkomunikasikan temuannya kepada institusi lainnya(Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS (Pasal 45). Terkaitbunyi pasal 69 ayat (3), Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuanganakan mengambil alih kewenangan, tugas dan fungsi Komite Koordinasisebagaimana termuat di dalam UU Nomor 24 tahun 2004 tentang LPS.

Ketentuan mengenai sanksi terhadap pelanggaran Pasal-pasal yangterdapat pada UU OJK ini diatur dalam Bab 12 UU. Jenis hukuman yangdiancamkan dapat berupa denda hingga Rp.45 miliar dan/atau kurunganyang lamanya variatif antara 2 sampai 6 tahun. Terkait denganPeraturan Perundang-undangan di bidang perbankan dan/atau sektorjasa keuangan lainnya, Pasal 70 mengatur bahwa sepanjang peraturan-peraturan tersebut tidak bertentangan dan belum diganti berdasar UUOJK, maka Peraturan-peraturan tersebut masih berlaku.

Page 138: otoritas jasa keuangan.pdf

455

C. Catatan Singkat Terhadap Teknis Penormaan Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas JasaKeuanganMenilik kembali Pasal 34 UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia yang intinya memuat pokok materi sebagai berikut:

1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan denganUndang-undang.

2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam menjalankantugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah danberkewajiban menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR.

3. Dalam melaksanakan tugasnya lembaga tersebut melakukankoordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia. Koordinasi dankerjasama tersebut diatur dalam Undang-undang pembentukanlembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan tersebutdapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaantugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan BankIndonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia, sertaketerangan dan data makro yang diperlukan.

4. Pengalihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia kepada lembagapengawas sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelahdipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang.

Secara umum akan diberikan catatan terhadap teknis penormaandalam Undang-undang ini apakah penormaan-penormaan tersebutberakibat mempersempit atau memperluas mandat yang didelegasikanoleh Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia.

1. Mengenai nama Undang-undang

Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia tidak secara jelasmenentukan nama undang-undang, tetapi mengisyaratkan namaLembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK). Pencantuman NamaOtoritas Jasa Keuangan jika dilihat secara etimologis bermaknaotoritas tersebut diberi kewenangan yang luas. Padahal titik berattugas serta kewenangan dari lembaga ini adalah pada pada fungsipengawasan.

2. Sifat lembaga yang independen

Dalam Pasal 2 ayat (2) UU tentang OJK, ditentukan “Otoritas JasaKeuangan adalah lembaga independen dalam melaksanakan tugasdan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali

Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia ...

Page 139: otoritas jasa keuangan.pdf

456

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”.Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum antara lain dikemukakanbahwa independensi Otoritas Jasa Keuangan diwujudkan dalam 2hal, yaitu: secara kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan tidak beradadi bawah otoritas lain di dalam sistem pemerintahan RI danPimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian atasjabatannya.

Untuk hal ini, penulis berpendapat bahwa IndependensiOtoritas Jasa Keuangan tampaknya sulit diwujudkan karena (i)proses pengisian anggota Dewan Komisioner sebagaimana diaturdalam Pasal 10 UU OJK menentukan bahwa 2 diantara 9 anggotadiisi secara ex officio, yaitu 1 dari Bank Indonesia, 1 dariKementerian Keuangan. Karena ex officio maka masa jabatanDewan Komisioner tersebut tergantung kepada masa jabatan padainstansi asalnya; (ii) pada instansi asalnya tidak ada kesetaraandalam proses rekrutmen, karena ada yang perlu mendapatkonfirmasi DPR, ada yang diusulkan melalui Menteri Keuangankepada Presiden dan ada yang langsung kepada Presiden (Pasal 11dan Pasal 13). Pengaturan mengenai pengisian formasi DewanKomisioner ini tampaknya perlu dipertimbangkan ulang, agarmakna independen dari lembaga ini tidak terkesan menjadi sempit.

3. Pelaksanaan kewenangan dan tugas secara koordinatif antara OJKdan BI.

BAB X UU OJK mengatur tentang hubungan kelembagaan. Pasal39 berbunyi:” Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasidengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan dibidang Perbankan antara lain: (i) kewajiban pemenuhan modalminimum bank; dan (ii) sistem informasi perbankan yang terpadu,kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan danavaluta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produkperbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya,penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically impor-tant bank, dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentangkerahasiaan informasi. Selanjutnya Pasal 40 mengatur bahwa (1)Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, danwewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap banktertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsungterhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuansecara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. (2) Dalam melakukan

Page 140: otoritas jasa keuangan.pdf

457

kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BankIndonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkatkesehatan bank. (3) Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimanadimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu)bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Terakhirpada Pasal 41 menentukan bahwa (1) OJK menginformasikankepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalahyang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimanadimaksud dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal OJKmengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditasdan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segeramenginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.

Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa apa yangdidelegasikan oleh Pasal 34 UU tentang BI telah dinormakan didalam UU OJK, karena dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UUtentang BI antara lain dikemukakan bahwa Lembaga pengawasanini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan denganpelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi denganBank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesiaketerangan dan data makro yang diperlukan.

Terlepas dari ketentuan yang terkait dengan isu koordinasi,ada Pasal yang perlu mendapat perhatian yaitu Pasal 37 UU tentangOtoritas Jasa Keuangan yang memberi kewenangan kepadaOtoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan dan memungut biayayang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan sesuai denganketentuan peraturan perundang undangan. Ada beberapa hal yangperlu diperhatikan terhadap pasal ini, yaitu: Apakah ada ketentuanperaturan perundang-undangan yang mewajibkan industri jasakeuangan untuk membayar biaya tertentu kepada Otoritas JasaKeuangan? Biaya disini apa yang dimaksud? Lalu, jenis biaya initermasuk apa? apakah biaya tersebut termasuk PNBP atau lainnya?

4. Pengalihan fungsi pengawasan dari BI dan/atau sektor jasakeuangan lainnya kepada lembaga pengawas.

Ketentuan peralihan pada Pasal 55 menyatakan bahwa: (1) Sejaktanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturandan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan LembagaJasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan

Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia ...

Page 141: otoritas jasa keuangan.pdf

458

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.(2) Sejaktanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturandan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankanberalih dari Bank Indonesia ke OJK.

Pertanyaan dari pasal tersebut kemudian adalah apakahwaktu yang ditetapkan untuk terjadinya pengalihan tersebutmemungkinkan untuk dapat dilaksanakan? bagaimana agendanyasecara rinci?

Sebagai catatan akhir dapat dikemukakan satu pertanyaanyang perlu dijawab pembentuk Undang-undang, yaitu siapakahyang mengawasi Otoritas Jasa Keuangan yang memilikikewenangan cukup besar dalam mengawasi industri jasakeuangan?

D. PenutupUU tentang OJK merupakan sebuah terobosan di bidang hukum

perbankan dan diharapkan sebagai pegangan bagi para pemangkukebijakan serta stakeholder lainnya di sektor jasa keuangan. Tentuterdapat beberapa titik kelemahan dalam UU tentang OJK yang mungkinakan menimbulkan perbedaan tafsir dikalangan penggunanya. Beberapakelemahan tersebut tentu saja bukan merupakan alasan untuk tidakmenaati dan melaksanakan ketentuan yang telah diatur didalamnya.Justru kelemahan-kelemahan tersebut dapat menjadi bahan bagi paraanalis ilmu hukum, ekonomi, keuangan maupun cabang ilmu lainnyauntuk melahirkan berbagai karya akademis guna penyempurnaan UUini di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Claudio Borio (2003) : “Towards a macroprudential framework for financialsupervision and regulation?”, Monetary and Economic Department.

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang TentangOtoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik PembentukanOtoritas Jasa Keuangan (OJK). 2010.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Page 142: otoritas jasa keuangan.pdf

459

* Perancang Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta

PERAN KOMISI INFORMASIDALAM PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK

SESUAI DENGAN KETENTUANUNDANG-UNDANG TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

(THE ROLE OF THE INFORMATION COMMISSIONIN PUBLIK INFORMATION DISPUTE RESOLUTION BASED ON : THE

PROVISIONS OF PUBLIC INFORMATION ACT)Serafina Shinta Dewi*

(Naskah diterima 03/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakHak setiap orang untuk mengembangkan diri yang salah satunya denganpemenuhan atas hak untuk memperoleh informasi masih belum dapat dipenuhisecara menyeluruh oleh pemerintah. Dengan disusunnya Undang-Undangtentang Keterbukaan Informasi Publik serta dibentuknya Komisi Informasisebagai lembaga mandiri yang mengawal pelaksanaan Undang-Undang tersebut,maka dimungkinkan akan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaranketerbukaan informasi yang dilakukan oleh badan publik.Kata kunci : informasi publik, Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi

Publik, Sengketa informasi publik, Komisi Informasi.

AbstractOne of the individual right which has to be fulfilled by the government is the right toobtain information, however this right has not yet been completely fulfilled by thegovernment due to several constrains exist. With the promulgation of disclosure ofpublic information act, followed by the establishment of the commission of informationas an independent body, it’s possible will be able to minimize the probability ofdisclosure information violations by the public agencies.Key words : public information, the law on public information disclosure, public

information Disputes, the information commission.

A. PendahuluanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada

amandemen kedua menambahkan pengaturan mengenai kebebasanmemperoleh informasi. Pasal 28F menyatakan sebagai berikut:

Page 143: otoritas jasa keuangan.pdf

460

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolehinformasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnyaserta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segalajenis saluran yang tersedia.

Kebebasan untuk mendapatkan informasi bagi setiap orang dinegara Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28F tersebutjuga mendapatkan perhatian dalam pembentukan Undang-Undangtentang Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bab III Undang-Undang Nomor39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat mengenaiHak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia terbagi dalam 10(sepuluh) bagian di mana materi muatan yang mengatur mengenai hakuntuk memperoleh informasi diatur pada Bagian Ketiga dengan judul“Hak Mengembangkan Diri”.

Pada Bagian Ketiga dari Bab III Undang-Undang tentang Hak AsasiManusia terdapat 6 (enam) ketentuan norma yang mengatur mengenaihak untuk mengembangkan diri. Salah satu hak untuk mengembangkandiri tersebut adalah hak untuk memperoleh informasi yang diatur dalamketentuan Pasal 14, yang berbunyi :

Pasal 14

(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolehinformasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi danlingkungan sosialnya.

(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denganmenggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Tanggal 30 April 2008, bangsa Indonesia telah mengundangkanUndang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan InformasiPublik. Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik tersebutdibentuk dengan pemahaman awal bahwa informasi merupakankebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi danlingkungan sosial serta merupakan bagian penting bagi ketahanannasional. Selain hal itu, dibentuknya Undang-Undang tentangKeterbukaan Informasi Publik juga berdasarkan kesadaran bangsaIndonesia terhadap hak memperoleh informasi yang merupakan salahsatu Hak Asasi Manusia serta keterbukaan informasi publik merupakansalah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggikedaulatan rakyat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara

Page 144: otoritas jasa keuangan.pdf

461

yang baik sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbangUndang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Dalam proses pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur olehUndang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, dibentuk KomisiInformasi yang merupakan suatu lembaga mandiri yang bertugasmengawal pelaksanaan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undangtersebut dimana pengaturannya juga terdapat di dalam Undang-UndangNomor 14 Tahun 2008.

B. Informasi PublikMenurut Ketentuan Umum yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008, yang dimaksud dengan Informasi Publikadalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atauditerima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaradan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara danpenyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentinganpublik.

Informasi Publik merujuk pada segala informasi yang berkaitandengan hajat hidup publik (masyarakat) dan berada di bawah pengelolaanbadan-badan publik.1 Apabila mengacu pada Ketentuan Umum Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang dimaksud denganBadan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badanlain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraannegara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari AnggaranPendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atauseluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbanganmasyarakat dan/atau luar negeri.

Badan-badan publik baik yang terdapat di pusat ataupun di daerahmempunyai kewajiban untuk memberikan informasi publik yangdibutuhkan oleh masyarakat. Kewajiban badan publik dalam halpemberian informasi telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang tentangKeterbukaan Informasi Publik yang meliputi:

1 Agus Sudibyo. 2002. Informasi Publik dan Ketertutupan Pemerintah, diunduh dari http: //www.infoperpus.8m.com/news/2001/01102001-1.htm pada tanggal 21 Juli 2011.

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 145: otoritas jasa keuangan.pdf

462

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

1. kewajiban menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkaninformasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepadapemohon informasi publik (selain informasi yang dikecualikan olehperaturan perundang-undangan);

2. kewajiban menyediakan informasi publik yang akurat, benar dantidak menyesatkan;

3. keharusan membangun dan mengembangkan sistem informasi dandokumentasi untuk mengelolan informasi publik secara baik danefisien sehingga dapat diakses dengan mudah; dan

4. kewajiban membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakanyang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasipublik yang meliputi pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budayadan/atau pertahanan dan keamanan negara.

Dalam tulisan yang berjudul “Tentang Informasi Publik danPenyediaannya”, dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasitentang kebijakan pemerintah yang berdampak luas terhadap kehidupanmasyarakat yang harus diketahui dan dipahami secara akurat olehmasyarakat serta merupakan informasi yang bersifat kontingensi ataumendesak atas konteks dan skala tertentu sebagai bentuk penjelasanatas isu yang berkembang di masyarakat.2

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KeterbukaanInformasi Publik menyebutkan bahwa terdapat 2 (dua) jenis informasipublik, yaitu informasi yang wajib disediakan dan diumumkan (diaturdalam Bab IV) serta informasi yang dikecualikan (diatur dalam Bab V).

Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan sebagaimanadiatur dalam Bab IV Undang-Undang tentang Keterbukaan InformasiPublik dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu :

1. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala;

2. informasi yang wajib diumumkan secara sertamerta; dan

3. informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Dari kelompok-kelompok besar informasi yang wajib disediakandan diumumkan tersebut, masing-masing mempunyai penjelasansebagai berikut:

2 Komunikasi Publik. 2007. Tentang Informasi Publik dan Penyediaannya, diunduh dari http: //myhafaz.wordpress.com/2007/10/02/tentang-informasi-publik-dan-penyediaannya/ pada tanggal 21Juli 2011.

Page 146: otoritas jasa keuangan.pdf

463

1. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala:

a. informasi publik ini meliputi:

- informasi yang berkaitan dengan badan publik;

- informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publikterkait;

- informasi mengenai laporan keuangan; dan

- informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

b. badan publik wajib memberikan dan menyampaikan informasipublik tersebut di atas yang dilakukan paling singkat 6 (enam)bulan sekali.

c. badan publik wajib menyebarluaskan informasi publik tersebutdengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dandalam bahasa yang mudah dipahami.

2. informasi yang wajib diumumkan secara sertamerta:

a. informasi publik ini meliputi :

- informasi yang dapat mengancam hajat hidup orangbanyak; dan

- informasi mengenai ketertiban umum.

b. badan publik wajib menyebarluaskan informasi publik tersebutdi atas dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakatdan dalam bahasa yang mudah dipahami.

3. informasi yang wajib tersedia setiap saat:

a. informasi publik ini meliputi:

- daftar seluruh informasi publik yang berada di bawahpenguasaannya (tidak termasuk informasi yangdikecualikan);

- hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya;

- seluruh kebijakan yang ada lengkap dengan dokumenpendukungnya;

- rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraanpengeluaran tahunan badan publik;

- perjanjian badan publik dengan pihak ketiga;

- informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publikdalam pertemuan yang terbuka untuk umum;

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 147: otoritas jasa keuangan.pdf

464

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

- prosedur kerja pegawai badan publik yang berkaitandengan pelayanan masyarakat; dan

- laporan mengenai pelayanan akses informasi publik.

b. informasi publik yang telah dinyatakan terbuka bagimasyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/ataupenyelesaian sengketa sesuai dengan putusan PengadilanTata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri yang membatalkanatau menguatkan putusan Komisi Informasi dengan perintahuntuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yangdiminta oleh pemohon informasi publik.

c. layanan informasi yang wajib diumumkan setiap tahun olehbadan publik:

- jumlah permintaan informasi yang diterima;

- waktu yang diperlukan badan publik dalam memenuhisetiap permintaan informasi;

- jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi;dan

- alasan penolakan permintaan informasi.

d. informasi publik yang wajib disediakan oleh Badan Usaha MilikNegara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan/ataubadan usaha lain yang meliputi:

- nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan sertajenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian danpermodalan sebagaimana tercantum dalam anggarandasar;

- nama lengkap pemegang saham, anggota direksi dananggota dewan komisaris perseroan;

- laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan labarugi dan laporan tanggung jawab sosial perusahaan yangtelah diaudit;

- hasil penilaian oleh auditor eksternal, lembagapemeringkat kredit dan lembaga pemeringkat lainnya;

- sistem dan alokasi dana remunerasi anggota komisaris/dewan pengawas dan direksi;

- mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewanpengawas;

Page 148: otoritas jasa keuangan.pdf

465

- kasus hukum yang berdasarkan Undang-Undang terbukasebagai informasi publik;

- pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baikberdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,pertanggungjawaban, kemandirian dan kewajaran;

- pengumuman penerbitan efek yang bersifat utang;

- penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan;

- perubahan tahun fiskal perusahaan;

- kegiatan penugasan pemerintah dan/atau kewajibanpelayanan umum atau subsidi;

- mekanisme pengadaan barang dan jasa; dan

- informasi lain yang ditentukan oleh Undang-Undang yangberkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara dan/atauBadan Usaha Milik Daerah.

e. informasi publik yang wajib disediakan oleh partai politik yangmeliputi:

- asas dan tujuan;

- program umum dan kegiatan partai politik;

- nama, alamat dan susunan kepengurusan sertaperubahannya;

- pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atauAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

- mekanisme pengambilan keputusan partai;

- keputusan partai yang berasal dari hasil muktamar/kongres/munas dan/ataau keputusan lainnya yangmenurut anggaran dasar dan anggaran rumah tanggapartai terbuka untuk umum; dan

- informasi lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang yangberkaitan dengan partai politik.

f. informasi publik yang wajib disediakan oleh organisasinonpemerintah yang meliputi:

- asas dan tujuan;

- program dan kegiatan organisasi;

- nama, alamat, susunan kepengurusan dan perubahannya;

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 149: otoritas jasa keuangan.pdf

466

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

- pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atauAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbanganmasyarakat dan/atau luar negeri;

- mekanisme pengambilan keputusan organisasi;

- keputusan-keputusan organisasi; dan

- informasi lain yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam Bab V Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, diaturmengenai informasi yang dikecualikan bagi setiap pemohon informasipublik untuk membuka akses yang wajib diberikan oleh badan publik,yang meliputi:

1. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakanhukum, yaitu meliputi:

a. informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan danpenyidikan suatu tindak pidana;

b. informasi yang dapat mengungkapkan identitas informan,pelapor, saksi dan/atau korban yang mengetahui adanyatindak pidana;

c. informasi yang dapat mengungkapkan data intelijen kriminaldan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahandan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;

d. informasi yang dapat membahayakan keselamatan dankehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau

e. informasi yang dapat membahayakan keamanan peralatan,sarana dan/atau prasarana penegak hukum.

2. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi publik dapat mengganggu kepentinganperlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan daripersaingan usaha tidak sehat.

3. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi publik dapat membahayakan pertahanan dankeamanan negara, yang meliputi:

a. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik danteknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistempertahanan dan keamanan negara (meliputi tahap

Page 150: otoritas jasa keuangan.pdf

467

perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasidalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri);

b. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi,teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraansistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputitahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atauevaluasi;

c. jumlah, komposisi, disposisi atau dislokasi kekuatan dankemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dankeamanan negara serta rencana pengembangannya;

d. gambar dan data tentang situai dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;

e. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negaraalain, terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negaratersebut yang dapat membahayakan kedaulatan NegaraKesatuan Republik Indonesia dan/atau kerjasama militerdengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebutsebagaai rahasia atau sangat rahasia;

f. sistem persandian negara; dan

g. sistem intelijen negara.

4. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi publik dapat mengungkapkan kekayaan alamIndonesia.

5. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi publik dapat merugikan ketahanan ekonominasional, yang meliputi:

a. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasionalatau asing, saham dan aset vital milik negara;

b. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bungan dan modeloperasi institusi keuangan;

c. rencana awal perubahan suku bungan bank, pinjamanpemerintah, perubahan pajak, tarif atau pendapatan negara/daerah lainnya;

d. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;

e. rencana aawal investasi asing;

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 151: otoritas jasa keuangan.pdf

468

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

f. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi ataulembaga keuangan lainnya; dan

g. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.

6. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi dapat merugikan kepentingan hubungan luarnegeri, yang meliputi:

a. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambiloleh negara dalam hubungannya dengan negosiasiinternasional;

b. korespondensi diplomatik antarnegara;

c. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalammenjalankan hubungan internasional; dan

d. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategisIndonesia di luar negeri.

7. informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkanisi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhirataupun wasiat seseorang.

8. informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepadapemohon informasi publik dapat mengungkap rahasia pribadi,yang meliputi:

a. riwayat dan kondisi anggota keluarga;

b. riwayat, kondisi dan perawatan, serta pengobatan kesehatanfisik dan psikis seseorang;

c. kondisi keuangan, aset, pendapatan dan rekening bankseseorang;

d. hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas,intelektualitas dan rekomendasi kemampuan seseorang;dan/atau

e. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitandengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuanpendidikan nonformal.

9. memorandum atau surat-surat antar badan publik atau intra badanpublik yang menurut sifatnya dirahasiakan (kecuali atas putusanKomisi Informasi atau Pengadilan), dan

10. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Page 152: otoritas jasa keuangan.pdf

469

C. Penyelesaian SengketaSengketa Informasi Publik dalam Ketentuan Umum Undang-Undang

tentang Keterbukaan Informasi Publik didefinisikan sebagai suatusengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publikyang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasiberdasarkan perundang-undangan.

Berdasarkan permintaan dari pemohon informasi publik, apabilapermohonan tersebut ditolak oleh badan publik, maka selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya permintaaninformasi, badan publik wajib mengeluarkan surat pemberitahuanpenolakan permintaan disertai pertimbangan tentang penolakan.3

Apabila jawaban yang diberitahukan oleh badan publik tidakmemuaskan pemohon, maka pemohon dapat mengajukan keberatandengan disertai alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 35ayat (1) uandang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Alasan atau penyebabterjadinya suatu sengketa informasi publik, antara lain karena4:

1. adanya penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasanpengecualian;

2. tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana diatur dalamUndang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik;

3. tidak ditanggapi permintaan informasi;

4. permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana diminta;

5. tidak dipenuhinya permintaan informasi;

6. pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau

7. penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalamUndang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Pemohon informasi publik dapat mengajukan keberatan secaratertulis kepada atasan pejabat pengelola informasi dan dokumentasiberdasarkan alasan-alasan yang tersebut di atas. Apabilamemungkinkan, keberatan yang diajukan dapat diselesaikan secaramusyawarah oleh kedua belah pihak sebagaimana yang diatur dalamketentuan Pasal 35 ayat (2) undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

3 Buku Saku Community Center Panduan Implementasi Keterbukaan Informasi Publik, diunduh darihttp: //rembugwarga.net/wp-content/uploads/2011/01/Buku-Panduan-Bagi-Pegiat-Community-Center.pdf, diunduh pada tanggal 21 Juli 2011.4 Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 TentangKeterbukaan Informasi Publik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009, hlm. 35.

Page 153: otoritas jasa keuangan.pdf

470

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Keberatan dapat diajukan oleh pemohon informasi publik kepadaatasan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi dalam jangka waktupaling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukan alasan yangmendasari adanya keberatan. Atas keberatan yang diajukan, atasanpejabat pengelola memberikan tanggapan dalam jangka waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secaratertulis. Apabila atasan pejabat pengelola menguatkan putusan yangditetapkan oleh bawahannya, maka alasan tertulis pengajuan keberatanoleh pemohon harus disertakan bersama dengan tanggapan ataskeberatan yang diajukan.

Terdapat beberapa pilihan lembaga sebagai sarana untukmenyelesaikan sengketa informasi publik. Penyelesaian sengketatersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui PeradilanUmum atau Peradilan Tata Usaha Negara apabila salah satu atau parapihak yang bersengketa secara tertulis tidak dapat menerima putusandari Komisi Informasi.

D. Komisi InformasiKomisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi

menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksananya,menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik danmenyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atauajudikasi non litigasi, sebagaimana yang tercantum dalam KetentuanUmum angka 4 (empat) serta pada Pasal 23 Undang-Undang tentangKeterbukaan Informasi Publik.

Salah satu lembaga mandiri yang terdapat di Indonesia ini terdiridari Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi dan jikadibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/kota. Komisi Informasi Pusatberkedudukan di ibu kota negara, sedangkan Komisi Informasi Provinsiberkedudukan di ibu kota provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.

Dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun2008 menjelaskan mengenai tugas Komisi Informasi, yang meliputi :

1. menerima, memeriksa dan memutus permohonan penyelesaiansengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publikberdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undangtentang Keterbukaan Informasi Publik;

Page 154: otoritas jasa keuangan.pdf

471

2. menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi publik; dan

3. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

Sedangkan pada ayat (2) dan ayat (3) dalam Pasal 26 Undang-Undangtentang Keterbukaan Informasi Publik, diperinci mengenai tugas KomisiInformasi Pusat serta Komisi Informasi Provinsi dan/atau KomisiInformasi Kabupaten/Kota, yaitu :

1. Ayat (2):

Komisi Informasi Pusat bertugas:

a. menetapkan prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketamelalui mediasi dan/atau ajudikasi non litigasi;

b. menerima, memeriksa dan memutus sengketa informasipublik di daerah selama Komisi Informasi provinsi dan/atauKomisi Informasi kabupaten/kota belum terbentuk; dan

c. memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnyaberdasarkan Undang-Undang ini kepada Presiden dan DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia setahun sekali atausewaktu-waktu jika diminta.

2. Ayat (3):

Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota bertugas menerima, memeriksa dan memutuskan sengketainformasi publik di daerah melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 mengaturmengenai wewenang Komisi Informasi, yang meliputi:

Pasal 27

(1) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi memilikiwewenang:

a. memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yangbersengketa;

b. meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki olehbadan publik terkait untuk mengambil keputusan dalamupaya menyelesaikan sengketa informasi publik;

c. meminta keterangan atau menghadirkan pejabat badan publikataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaiansengketa informasi publik;

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 155: otoritas jasa keuangan.pdf

472

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

d. mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannyadalam ajudikasi non litigasi penyelesaian sengketa informasipublik; dan

e. membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehinggamasyarakat dapat menilai kinerja Komisi Informasi.

(2) Kewenangan Komisi Informasi pusat meliputi kewenanganpenyelesaian sengketa informasi publik yang menyangkut badanpublik pusat dan badan publik tingkat provinsi dan/atau badanpublik tingkat kabupaten/kota selama Komisi Informasi di provinsiatau Komisi Informasi kabupaten/kota tersebut belum terbentuk.

(3) Kewenangan Komisi Informasi provinsi meliputi kewenanganpenyelesaian sengketa yang menyangkut badan publik tingkatprovinsi yang bersangkutan.

(4) Kewenangan Komisi Informasi kabupaten/kota meliputikewenangan penyelesaian sengketa yang menyangkut badanpublik tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pertanggungjawaban Komisi Informasi dibagi sesuai dengankewenangan yang dimiliki oleh masing-masing kedudukan Komisi, yaitu:

1. Komisi Informasi Pusat:

Bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporantentang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya kepadaDewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

2. Komisi Informasi Provinsi:

Bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporantentang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya kepadaDewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan.

3. Komisi Informasi Kabupaten/Kota:

Bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota dan menyampaikanlaporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnyakepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yangbersangkutan.

Page 156: otoritas jasa keuangan.pdf

473

E. Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Melalui KomisiInformasiSengketa informasi publik dapat diajukan kepada Komisi Informasi

apabila pemohon informasi tidak puas terhadap tanggapan yang diberikanoleh atasan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi.

Dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, Komisi Informasidapat melakukan mediasi dan/atau ajudikasi non litigasi, sebagaimanatercantum dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mediasi menurutKetentuan Umum Undang-Undang tersebut adalah penyelesaiansengketa informasi publik antara para pihak melalui bantuan mediatorKomisi Informasi, sedangkan ajudikasi adalah proses penyelesaiansengketa informasi publik antara para pihak yang diputus oleh KomisiInformasi.

Tahap-tahap penyelesaian sengketa informasi publik melaluiKomisi Informasi adalah sebagai berikut :

1. Pemohon informasi publik yang tidak puas terhadap tanggapan yangdiberikan atasan pejabat pengelola mengajukan permohonanpenyelesaian sengketea kepada Komisi Informasi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya tanggapantertulis dari pejabat pengelola.

2. Komisi Informasi melakukan proses penyelesaian sengketa dalamwaktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonanpenyelesaian sengketa.

3. Proses penyelesaian sengketa oleh Komisi Informasi dapat melaluimediasi dan/atau ajudikasi yang diselesaikan paling lambat 100(seratus) hari kerja.

4. Penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah suatu pilihan daripara pihak secara sukarela, dimana pokok perkara yang menjadisengketa adalah berupa:

a. tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana yangtercantum dalam Pasal 9 Undang-Undang tentangKeterbukaan Informasi Publik;

b. tidak ditanggapinya permintaan informasi;

c. permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yangdiminta;

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 157: otoritas jasa keuangan.pdf

474

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

d. tidak dipenuhinya permintaan informasi;

e. pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau

f. penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diaturdalam Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.

5. Apabila pada tahap mediasi telah terjadi kesepakatan antaraa parapihak, maka hasil kesepakatan tersebut ditetapkan oleh putusanKomisi Informasi yang bersifat final dan mengikat.

6. Apabila pada tahap mediasi tidak menghasilkan kesepakatanantara para pihak, maka Komisi Informasi melanjutkan prosespenyelesaian sengketa melalui ajudikasi non litigasi.

7. Penyelesaian sengketa melalu ajudikasi non litigasi hanya dapatditempuh apabila upaya mediasi dinyatakan tidak berhasilsecaratertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atausalah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dariperundingan.

8. Apabila putusan Komisi Informasi melalui ajudikasi masih tidakditerima oleh pihak pemohon, maka dapat diajukan gugatan dengandisertai pernyataan tertulis mengenai alasan tidak menerima hasilputusan tersebut ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata UsahaNegara paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanyaputusan ajudikasi.

9. Pengajuan gugatan atas hasil putusan ajudikasi Komisi Informasidilakukan melalui Pengadilan Negeri apabila yang digugat adalahbadan publik selain badan publik negara.

10. Pengajuan gugatan atas hasil putusan ajudikasi Komisi Informasidilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara apabila yangdigugat adalah badan publik negara.

F. PenutupKeberadaan Komisi Informasi sebagai pengawal pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan InformasiPublik sangat mendukung perwujudan pemerintahan yang demokratisserta merupakan upaya pemenuhan salah satu hak asasi manusia yaituhak untuk mengembangkan diri yang di dalamnya terdapat adanya hakuntuk memperoleh informasi. Komisi Informasi sebagai lembagapengawas akan memproses pelanggaran yang menyebabkan terjadinyaketidakterbukaan informasi mengenai praktek penyelenggaraan negarayang diajukan oleh pemohon informasi dengan melalui mediasi dan/

Page 158: otoritas jasa keuangan.pdf

475

atau ajudikasi non-litigasi. Peranan Komisi Informasi merupakan salahsatu jaminan hak publik untuk dapat memperoleh informasi sesuaidengan peraturan perundang-undangan dimana semakin terbukapelaksanaan penyelenggaraan negara yang diawasi oleh publik sertaadanya peningkatan kualitas keterlibatan masyarakat dalam prosespengambilan keputusan publik.

Peran Komisi Informasi dalam Penyelesaian ...

Page 159: otoritas jasa keuangan.pdf

476

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Daftar Pustaka

Partodihardjo, Soemarno, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 14Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Sudibyo, Agus, Informasi Publik dan Ketertutupan Pemerintah, http: //www.infoperpus. 8m.com/news/2001/01102001-1.htm, 2007.(diunduh pada tanggal 21 Juli 2011).

Publik, Komunikasi, Tentang Informasi Publik dan Penyediaannya, http: //myhafaz. wordpress.com/2007/10/02/tentang-informasi-publik-dan-penyediaannya/,2007.

(diunduh pada tanggal 21 Juli 2011).

Abdullah, Maryati, Buku Saku Community Center Panduan ImplemetasiKeterbukaan Informasi Publik, http : //rembugwarga.net/wp-con-tent/uploads/2011/01/Buku-Panduan-Bagi-Pegiat-Community-Center.pdf, 2010. (diunduh pada tanggal 21 Juli 2011).

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan InformasiPublik.

Page 160: otoritas jasa keuangan.pdf

477

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARADALAM MENGADILI PERKARA PEMBERIAN GRASI

(COMPETENCE OF THE COURT OF OPERATING PROCEDURESPASSING IN CASE GRANTING CLEMENCY)

R. Tony Prayogo*

(Naskah diterima 18/09/2012, disetujui 28/09/2012)

AbstrakPemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana Schapelle Leigh Corby warganegara Australia dan Peter Achim Franz Grobmann warga negara Jerman yangmerupakan terpidana dalam kasus peredaran narkotika, telah menimbulkankontroversi dalam masyarakat. Pemberian grasi tersebut menurut sebagianmasyarakat dianggap sebagai bentuk ketidak konsistenan pemerintah terhadapsegala upaya-upaya pemberantasan tindak pidana Narkotika yangdicanangkannya selama ini. Selain itu pemberian grasi oleh Presiden dianggaptelah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta melukai rasa keadilan masyarakat.Ketidak adanya ketentuan dalam UU Grasi yang memberi batasan bagi pemohongrasi dengan latar belakang kasus narkotika (yang tergolong sebagai extraordinary crime), turut mendukung adanya sikap skeptis masyarakat terhadapsegala upaya pembarantasan tindak pidana norkotika yang dilakukan olehPemerintah. Sebagian masyarakat menganggap dengan tidak adanyapembatasan tersebut, memungkinkan pemohon grasi dengan latar belakangkasus dengan kategori extra ordinary crime berpeluang untuk mengajukanpermohonan Grasi kepada Presiden dan berpeluang pula untuk dapat dikabulkanGrasinya oleh Presiden. Oleh sebab itu, guna mencegah “sah”nya KeputusanPresiden tentang pemberian grasi ditempuh melalui mekanisme Peradilan TataUsaha Negara. Mekanisme yang dilakukan melalui “pengujian” melalui lembagaperadilan ini pula tidak tepat ditinjau secara yuridis karena grasi merupakansuatu bentuk kewenangan konstitusional Presiden yang diatur dalam UUD1945. Grasi merupakan hak prerogative Presiden. Dengan demikian secarayuridis Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tidak memiliki kewenangan untukmengadili objek sengketa aquo yang berupa Keputusan Presiden tentang grasitersebut. Namun agar pemberian grasi tidak sewenang-wenang diberikan olehPresiden, instrumen kontrol dari masyarakat berupa (social control), baik melaluicontrol media serta instrumen politik yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat diDewan Perwakilan Rakyat dapat digunakan untuk mencegah abuse of poweroleh Presiden dalam memberikan grasi.Kata kunci : pemberian grasi, tindak pidana narkotika.

* Tenaga Funsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat jenderal PeraturanPerundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Page 161: otoritas jasa keuangan.pdf

478

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

AbstractClemency granting was given from president to Schapelle Leigh Corby, a Australian,and Peter Achim Franz Grobmann, a Germany, convicted person in circulationnarcotics case raises the controversy in community. A portion of communityconsidered the clemency granted as government inconsistency to the eradication ofNarcotic crime proclaimed. Besides that, the clemency granted given by presidentconsidered as violation to the provisions of statutory regulations and violate the goodgeneral principles of government and hurt a sense of community justice. The absenceof provision of clemency which gives boundaries for claimant with narcoticsbackground (as an extra ordinary crime), also contributing sceptical public attitudesagainst narcotics crime eradication efforts conducted by government. A portion ofcommunity considered the absence of those boundaries enable the clemencyapplicant with background extra ordinary crimes category had a chance to lodgeclemency to president and had a chance to grant the clemency. Therefore to preventpresidential decree legitimation concerning the granting of clemency taken thoughstate administrative courts. Mechanism conducted by “testing” in judicial institutionsis inappropriate reviewed in a juridical manner due to the clemency is constitutionalauthority of President regulated in UUD 1945. Clemency is a prerogative right ofpresident. Thus, a state administrative court does not have the authority toprosecute the object of dispute juridically concerning President Decree of clemency.However to avoid clemency arbitrary by the president; social control, media controland political instrument conducted by representative from house of representativecould be used to prevent abuse of power by a president in giving granting clemency.Keywords: granting clemency, narcotics criminal acts.

A. PendahuluanGrasi, pada dasarnya adalah pemberian dari Presiden dalam bentuk

pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, ataupenghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana yang telahmendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembagaperadilan. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakanpersoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaianterhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campurtangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatifPresiden sebagai kepala negara untuk memberikan ampunan kepadaterpidana.

Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan,mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yangdijatuhkan pengadilan kepada terpidana, tidak berarti menghilangkankesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.kesalahan (schuld) dimaksud adalah tindak pidana yang dilakukan olehterpidana yang telah diputus oleh hakim dengan putusan yangberkekuatan hukum tetap.

Page 162: otoritas jasa keuangan.pdf

479

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun2002 tentang Grasi disebutkan bahwa yang dapat mengajukanpermohonan Grasi adalah terpidana yang telah diputus pemidanaandengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjarapaling rendah 2 (dua) tahun. Sedangkan mengenai kesalahan (schuld)yang diperbuat oleh terpidana, tidak tercantum dalam Undang-UndangGrasi. Dengan demikian batasan permohonan grasi hanya dapatdimohonkan oleh terpidana yang mengacu pada beratnya pemidanaanyang telah ditentukan tersebut dan tidak mengacu pada kesalahan yangtelah dilakukan oleh terpidana, apakah itu karena tindak pidana biasaataupun tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak khusus (extraordinary crime).

Hal ini menjadikan segala upaya-upaya terhadap pemberantasantindak pidana khusus (seperti terorisme, korupsi, maupun narkotika)tersebut seakan-akan menjadi hal yang bertolak belakang. Di satu sisisegala upaya pencanangan pemberantasan tindak pidana khusustersebut dilakukan oleh Presiden, sedangkan disisi lain adanya peluanguntuk dikabulkannya permohonan Grasi dari para terpidana tindakpidana khusus tersebut oleh Presiden dimungkinkan.

Oleh karena itu, terkait adanya kemungkinan terpidana dengankategori tindak pidana khusus tersebut mendapatkan grasi dari presiden,apakah dimungkinkan bahwa setiap Keputusan Presiden tentangpemberian grasi kepada terpidana dengan kategori tindak pidana khususdapat diajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara.Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa menjadipenting untuk diketahui apakah Pengadilan Tata Usaha Negaramemiliki kompetensi atau wewenang dalam mengadili perkara terkaitobjek gugatan tentang pemberian grasi. Hal ini menjadi pentingdikarenakan perkara terkait pemberian grasi merupakan perkara barusepanjang berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara sehingga terhadapputusan atas perkara tersebut dapat dijadikan sebagai yurispudensiPeradilan Tata Usaha Negara.

B. Ruang Lingkup Grasi1. Pengertian Grasi

Grasi pada masa monarki absolut merupakan suatu bentukpengampunan atau anugerah yang diberikan oleh raja (vorstelijk gunst),kepada orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan hati

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 163: otoritas jasa keuangan.pdf

480

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

raja yang berkuasa yang telah sudi mengampuni yang terhukum. Dalamperkembangan selanjutnya pada zaman sekarang, seiring dengan adanyaperubahan sistem ketatanegaraan yang ditandai dengan adanyapembagian kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif, grasi berubahsifatnya menjadi suatu upaya koreksi terhadap putusan pengadilan(yudikatif) yang dilakukan oleh eksekutif, khususnya dalam halmengenai pelaksanaannya.

Upaya koreksi dimaksud tidak diartikan bahwa pemberian grasidapat menghilangkan unsur kesalahan (schuld) yang melekat padaputusan hakim. Unsur kesalahan dalam putusan hakim yang diberikankepada terpidana itu tetap ada, namun pelaksanaan putusan hakimtersebutlah yang kemudian menjadi koreksi oleh eksekutif denganmemberikan ampunan kepada terhukum yang didasarkan pada alasan-alasan yang diketahui sesudah hakim memutus perkara yangbersangkutan. Dari pengertian grasi yang berkembang tersebut, menjadipertanyaan apakah sebenarnya yang dimaksud dengan grasi.

Kata “grasi” ditinjau dari segi bahasa, berasal dari bahasa latin,yaitu dari kata gratia yang berarti pengampunan. Di Belgia grasi dikenaldengan istilah genade1, atau semacam anugerah atau dengan kata lainpengampunan dari kepala negara dalam rangka meringankan ataumembebaskan terpidana. Dalam arti sempit, grasi merupakan tindakanmeniadakan hukuman yang telah diputuskan hakim. Dengan kata lain,Presiden berhak meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan olehhakim kepada seseorang2.

Secara etimologis, grasi berarti anugerah, dan dalam terminologihukum, grasi diartikan sebagai keringanan hukuman yang diberikankepala negara kepada terhukum setelah mendapat keputusan hakimatau pengampunan secara individual3. Pada hakikatnya grasi merupakanpemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana oleh kepalanegara. Jika pengampunan diberikan kepada seseorang secara individu,maka disebut grasi; jika diberikan kepada sekelompok orang terpidanaatau kepada keseluruhan mereka, maka disebut amnesti; dan jika

1 J.E. Sahetapy, “Mekanisme Pengawasan Atas Hak-Hak Presiden”, <http: //www.komisi hukum.go.id/atice_Opinion_Php?mode=detil&id>, diakses tgl. 24 Juni 20122 Diunduh dari: http://arfanhy.blogspot.com/search?q=grasi, diakses tanggal 24-6-2012.3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),Edisi Ketiga, hlm. 371

Page 164: otoritas jasa keuangan.pdf

481

diberikan dengan cara menghapuskan tuntutan atau menghentikanpenyidikan kasus oleh aparat penegak hukum, maka disebut abolisi4.

Beberapa ahli hukum telah mengemukakan pendapat mengenaigrasi, salah satunya R. Soesilo, yang menyatakan bahwa pemberian grasimerupakan salah satu dari kewenangan prerogatif kepala negara untukmembatalkan seluruhnya atau sebagian pidana yang telah dijatuhkanatau untuk mengubah pidana itu menjadi suatu pidana yang lebih ringansifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan)5. Sedangkan menurutHasbullah F. Sjawie, grasi yang sering juga disebut pengampunan adalahhak khusus atau hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dalamkedudukannya atau fungsinya sebagai kepala negara. Grasi adalahtindakan Presiden yang meniadakan atau mengurangi atau mengubahhukuman yang telah dijatuhkan oleh keputusan pengadilan yang telahmempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian grasi adalah salahsatu alasan yang dapat mengakibatkan batalnya keharusan untukmelaksanakan hukuman yang diatur di luar Kitab Undang-UndangHukum Pidana6.

Selain beberapa pendapat mengenai grasi yang telah disampaikantersebut diatas, rumusan pengertian tentang grasi telah pula ditentukandalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang grasi yang berbunyi“grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidanayang diberikan oleh presiden”.

Pemberian grasi oleh Presiden hanya diberikan kepada seorangterpidana yang telah diputus berdasarkan putusan pengadilan yang yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetap7. Dengan demikian,pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilandan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

4 Diunduh dari http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/grasi-di-indeonsia/ ,tgl. 26 Juni 20125 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bagi Penegak Hukum, Cet. 1, Bandung, PT. Karya Nusantara, 1982, hlm.137.6 Hasbullah F. Sjawie, Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Varia Peradilan Tahun IXNo. 102 (Maret 1994) : 147.7 Pasal 1 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang grasi

Page 165: otoritas jasa keuangan.pdf

482

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif,melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi,atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkanpengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukanmerupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Selain itu Pemberian grasibukan pula termasuk ke dalam bentuk upaya hukum, baik itu upayahukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.

2. Kewenangan Pemberian Grasi

Terkait dengan kewenangan pemberian grasi, kewenangantersebut dimiliki oleh seorang presiden. Kewenangan pemberian grasioleh seorang presiden dapat ditinjau dari 3 (tiga) hal yaitu menyangkut:

1. Kewenangan Konstitusional Presiden.

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “NegaraIndonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.Banyak dijumpai pada negara-negara yang berbentuk Republikkedudukan seorang Presiden di nagera-negara terebut adalahsebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepalanegara. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resminegara di dunia, sedangkan sebagai kepala pemerintahan,Presiden dibantu oleh wakil Presiden dan menteri-menteridalam kabinet memegang kekuasaan untuk melaksanakantugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Dua kewenangansebagai seorang kepala negara dan sekaligus kepalapemerintahan inilah yang saat ini disandang seorang PresidenRepublik Indonesia.

Sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentukRepublik, Indonesia menganut sistem pemerintahanpresidensil. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifatpresidensil apabila8:

a) Kedudukan Kepala Negara tidak terpisah dari jabatankepala pemerintahan;

b) Kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen,melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyatyang memilihnya;

8 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, cet.Ke-3, 2011, hal. 323.

Page 166: otoritas jasa keuangan.pdf

483

c) Presiden sebaliknya juga tidak berwenang membubarkanparlemen; dan

d) Kabinet sepenuhnya bertanggung jawab kepada Presidensebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atausebagai administrator yang tertinggi.

Dalam sistem presidensil, tidak dibedakan apakahPresiden adalah sebagai kepala negara atau kepalapemerintahan. Akan tetapi, yang ada hanya Presiden danWakil Presiden saja dengan segala hak dan kewajibannya atautugas dan kewenangannya masing-masing.

Dalam hal kewenangan Presiden secara konstitusionalbaik sebagai kepala pemerintahan (chief of executive) dansebagai kepala negara (head of state) diatur dalam UUD 1945.Sebagai Kepala Pemerintahan (chief of executive) terumusdalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan sebagai kepalanegara (head of state) yang bertindak untuk dan atas namanegara ditentukan dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal13, Pasal 14, dan Pasal 15 UUD 1945 9. Dua kewenangantersebut ada pada satu tangan dan tunggal (single executive)yaitu di tangan Presiden Republik Indonesia.

Dalam Ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945,menyatakan bahwa “Presiden memberi Grasi dan rehabilitasidengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Apabiladianalisis secara seksama rumusan pasal tersebut, makaketentuan pasal tersebut memberikan suatu kewenangankonstitusional kepada Presiden yaitu memberikan grasi.Kedudukan Presiden dalam memberikan grasi bertindakuntuk dan atas nama negara.

2. Kewenangan Pemberian Grasi Berdasarkan Undang-UndangGrasi.

Dalam rangka pengaturan lebih lanjut hal-hal yangterkait dengan Grasi sebagaimana telah ditentukan dalamPasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945, Pemerintah dan DPR telahmengeluarkan UU No. 22 Tahun 2002 Jo UU No. 5 Tahun 2010

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

9 Abdy Yuhana, SH, MH, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokusmedia,2009, hlm. 5.

Page 167: otoritas jasa keuangan.pdf

484

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.Bahwa dalam Undang-Undang Grasi ini hanya diaturmengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata carapengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.

Terkait dengan prinsip umum tentang grasi ini tertuangdalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 yangmenyebutkan “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaanpidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”, danketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010, yangberbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonangrasi kepada Presiden”. Prinsip umum dalam UU Grasi tersebut,yang merupakan ketentuan lebih lanjut Pasal 14 ayat (1) UUD1945, telah menegaskan kembali kewenangan untukmemberikan grasi yang merupakan kewenangan Presiden.Dengan demikian ditinjau dari prinsip umum UU Grasi telahmenegaskan kembali kewenangan konstitusional Presidendalam memberikan grasi.

3. Kewenangan Untuk Mengabulkan atau Menolak PermohonanGrasi.

Ketentuan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkanbahwa “Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonangrasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung”.Hak presiden untuk mengabulkan atau menolak permohonangrasi disebut dengan hak prerogatif Presiden. Hak prerogatifartinya hak utama atau hak khusus, atau dengan kata lainmerupakan hak istimewa atau eksklusif yang diberikan olehkonstitusi (UUD 1945) kepada Presiden. Dalam Black’s LawDictionary (p.1182), prerogatif diatikan: an exclusive orpeculiar right or privilege. The special power, previlege, immunity,right or advantage in an official person either generally, or inrespect to the things of his office or in an official body as a courtor legislature.

Presiden dalam menghadapi permohonan grasi yangdiajukan oleh terpidana akan mengambil tindakan denganpertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatifuntuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi

Page 168: otoritas jasa keuangan.pdf

485

tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut atau mutlak,artinya tindakan presiden dalam kaitannya dengan pemberianatau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai olehpengadilan.

Presiden dapat mengambil keputusan berdasarkanpertimbangan dan kebijaksanaan apapun, termasuk alasanyang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasankemanusiaan, keadilan, moral, ataupun alasan politik.Walaupun dalam rumusan pasal tersebut disebutkan “setelahmendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung”, namunpertimbangan Mahkamah Agung tidak serta merta mengikatdan tidak mutlak harus dilaksanakan oleh presiden. karenapertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harusdilaksanakan dan Presiden tidak mempunyai kewajibansecara “conditio sine qua non” untuk mengikuti pertimbanganMahkamah Agung tersebut. Oleh karena itu, hak Presidenbersifat fakultatif, yaitu Presiden berhak untuk mengabulkanatau menolak permohonan grasi yang diberikan kepadanya.

Selain itu pula diketahui bahwa tidak ada standar yangbaku permohonan grasi dapat dikabulkan atau ditolak olehpresiden dan tidak ada keterangan secara tegas ataupuntersirat dalam UUD 1945 maupun dalam UU Grasi. dengandemikian untuk dapat dikabulkannya atau ditolaknyapermohonan grasi adalah mutlak pertimbangan presiden.

C. Undang-Undang Grasi tidak Membatasi Permohonan Grasi karenaLatar Belakang Kesalahan TerpidanaBahwa dalam UU No. 22 Tahun 2002 Jo UU No. 5 Tahun 2010 tentang

Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pada pokoknyahanya mengatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi sertatata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Dalam Undang-Undang Grasi ini tidak terdapat rumusan pasal atau ayat maupunpenjelasan yang membatasi permohonan grasi karena latar belakangkesalahan yang telah dilakukan terpidana, baik itu karena tindak pidanabiasa ataukah karena tindak pidana khusus (ektra ordinary crime) sepertitindak pidana teroris, tindak pidana narkotika, ataupun tindak pidanakorupsi. Dalam Undang-Undang Grasi ini, tidak pula membatasi siapaterpidana yang yang dapat mengajukan permohonan grasi apakah ituwarga negara Indonesia atau warga negara asing.

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 169: otoritas jasa keuangan.pdf

486

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Pembatasan terhadap permohonan grasi tertuang dalam ketentuanPasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa “Putusanpemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud padaayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, ataupidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun”. Apabila dianalisisterhadap jenis hukuman pidana yang disyaratkan dalam ketentuantersebut, dapat dikategorikan sebagai hukuman berat.

Hal ini menunjukan bahwa kesempatan yang diberikan oleh UUGrasi kepada terpidana untuk mengajukan grasi hanya dibatasi karenapidana yang dijatuhkan yaitu pidana mati, penjara seumur hidup, ataupidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun saja. Pembatasan tersebutmenurut penulis, telah cukup menjadi bahan pertimbangan bagipresiden untuk dapat memberikan grasi, karena Hukuman pidanapenjara seumur hidup, hukuman pidana penjara paling rendah 2 (dua)tahun serta pidana mati merupakan kategori hukuman berat. Jadi hanyakepada terpidana dengan kategori hukuman berat saja grasi dapatdiberikan, terlepas dari kesalahan (schuld) apa yang telah dilakukanterpidana apakah itu karena perbuatan pidana biasa ataukah karenaperbuatan pidana khusus (extra ordinary crime).

Menurut penulis, penilaian terhadap kesalahan (schuld) yangdilakukan oleh terpidana merupakan kewenangan hakim. Hakimlahyang menentukan kesalahan terpidana dan menghukum terpidana atasdasar kesalahan yang telah diperbuatnya. Dengan adanya vonis (inkrachvan gewijsde) pengadilan, vonis tersebut merupakan akhir penentuankesalahan dan hukuman yang harus dipertanggungjawabkan olehseorang terpidana, setelah tidak adanya upaya hukum lagi yangdilakukan terpidana.

D. Pemberian Grasi bukan merupakan Persoalan Teknis YuridisPeradilan dan tidak Terkait dengan Penilaian terhadap PutusanHakimDalam penjelasan umum UU No. 22 Tahun 2002 menyebutkan

bahwa Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridisperadilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim,hal ini menandakan bahwa kendati pemberian grasi tersebut dapatmengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajibanmenjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berartimenghilangkan kesalahan. Kesalahan (schuld) terpidana yang ditentukandalam putusan hakim itu tetap ada, namun terhadap pelaksanaan

Page 170: otoritas jasa keuangan.pdf

487

putusan hakim tersebutlah yang kemudian dapat di berikan Grasi olehPresiden.

Dalam perspektif psikologi hukum, terpidana yang mengajukanpermohonan grasi berada dalam posisi sebagai pemohon yang telahmenyadari dan mengakui sebagai orang yang bersalah dan telahditetapkan sebagai terpidana, oleh karena itu, Grasi tidak mensyaratkanperangkat tehnis yuridis serta keterlibatan peradilan seperti adanyabukti baru atau novum untuk melakukan pembelaan dan perlawananhukum.

Permohonan grasi tidak sama halnya dengan proses peradilanseperti adanya proses banding di pengadilan tinggi, maupun proses kasasidan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Permohonan grasi hanyadapat dimohonkan oleh terpidana yang telah diputus dengan putusanpengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimanaditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010 Jo. UU No. 22Tahun 2002 dan putusan pemidanaan tersebut adalah pidana mati,pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua)tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun2010 jo. UU No. 22 Tahun 2002.

E. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam MengadiliPerkara Pemberian Grasi

1. Ruang Lingkup Peradilan Tata Usaha Neraga

Peradilan Tata Usaha Negara sebagai badan peradilan yang beradadi bawah Mahkamah Agung mempunyai tugas dan kewenangan yangdidasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PeradilanTata Usaha Negara.

Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986menegaskan bahwa “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”.Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 47 tersebut, bahwa yang menjadikewenangan dari pengadilan tata usaha adalah dalam hal melasanakanpemeriksa, memutus, dan menyelesaikan terhadap sengketa tata usahanegara.

Kewenangan pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutusdan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya dikenal dengan

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 171: otoritas jasa keuangan.pdf

488

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

kompetensi atau kewenangan mengadili. Kewenangan mengadilisengketa tata usaha negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata UsahaNegara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). PTUNmempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara ditingkat pertama, sedangkan PTTUN untuk tingkat banding. Akan tetapiuntuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikanterlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UUNo. 5 tahun1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 maka PTTUN merupakan badanperadilan tingkat pertama. Terhadap putusan PTTUN tersebut tidak adaupaya hukum banding melainkan kasasi.

Mengenai kompetensi atau kewenangan mengadili dari badanperadilan tata usaha negara, dapat dibedakan menjadi 2 (dua)kewenangan yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.

a. Kewenangan relatif (kompetensi relatif)

Kompetensi relatif yaitu berhubungan dengankewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkarasesuai dengan wilayah hukumnya. Suatu badan pengadilandinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketaapabila salah satu pihak sedang bersengketa (penggugat/tergugat) berkediaman disalah satu daerah hukum yangmenjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Pengaturan mengenai kompetensi relatif PTUNditentukan dalam ketentuan Pasal 54 UU No. 5 tahun1986 JoPasal 6 UU No. 9 tahun 2004. Ketentuan Pasal 54 UU No. 5tahun1986 mengatur kompetensi yang berkaitan dengantempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yaitupihak penggugat dan pihak tergugat. Sedangkan ketentuanPasal 6 UU No. 9 Tahun 2004 mengatur tempat ataukedudukan dari PTUN.

b. Kewenangan absolut (kompetensi absolut).

Kompetensi absolut pengadilan adalah kewenanganperadilan tertentu (peradilan umum, peradilan militer,peradilan tata usaha negara atau peradilan agama) untukmemeriksa dan memutus suatu perkara menurut jenisperkara yang akan diperiksa dan diputus. Jenis perkaratersebut meliputi objek, materi, atau pokok perkara yangmenjadi sengketa. Kompetensi absolut PTUN, adalah terkaitdengan kewenangan PTUN untuk mengadili suatu perkara

Page 172: otoritas jasa keuangan.pdf

489

menurut objek, materi, atau pokok sengketa yang termasukdalam ranah peradilan tata usaha negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 UU Nomor 51Tahun 2009, kompetensi absolut PTUN adalah dalam halmenerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikanperkara sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negaraantara orang atau badan hukum perdata dengan badan ataupejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Adapun objek yang menjadisengketa tata usaha negara adalah keputusan tata usahanegara menurut ketentuan Pasal 1 butir 9 UU No. 51 Tahun2009.

Terkait dengan proses pemeriksaan sengketa tata usahanegara di PTUN, dilakukan melalui tahap pemeriksaanpendahuluan dan pemeriksaan di tingkat pertama. Dalamtahapan pemeriksaan pendahuluan ini diatur dalamketentuan Pasal 62 dan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986, yangterdiri dari:

a. Rapat Permusyawaratan (Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986);

Dalam rapat perusyawaratan ini ketua pengadilanmemeriksa gugatan yang masuk, apakah gugatan tersebuttelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalamketentuan Pasal 53 UU No. 9 Th. 2004, dan Pasal 54, Pasal55, Pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986, dan apakah memangtermasuk wewenang pengadilan tata usaha Negara untukmengadilinya.

Pasal 62 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi:

(1) Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilanberwenang memutus dengan suatu penetapan yangdilengkapai dengan pertimbangan-pertimbanganbahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atautidak berdasar apabila:

a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidaktermasuk dalam wewenang pengadilan;

b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 173: otoritas jasa keuangan.pdf

490

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;

c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;

d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnyasudah terpenuhi oleh keputusan tata usahanegara yang digugat;

e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telahlewat waktunya.

Terhadap penetapan tersebut dapat diajukan perlawanankepada PTUN yang bersangkutan dalam tenggang waktu14 hari seudah diucapkan10. Apabila perlawanan tersebutditerima atau dibenarkan PTUN, maka penetapan ketuaPTUN dalam rapat permusyawaratan dinyatakan gugurdemi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputusdan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusanpengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakanupaya hukum baik banding atau kasasi karena putusantersebut adalah sebagai putusan tingkat pertama danterakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986).

Mengenai pemeriksaan persiapan ini diatur dalam Pasal63 UU No. 5 Tahun 1986, yang pada pokoknya dalam tahappemeriksaan persiapan ini hakim berperan aktif dalammemeriksa sengketa yaitu dengan meminta penggugatmelengkapi gugatan yang yang kurang jelas, alat-alat buktisebelum persidangan dan meminta badan atau pejabatTUN untuk memberikan informasi dan data yangdiperlukan oleh pengadilan.

Pemeriksaan di tingkat pertama umumnya dilakukan diPTUN, kecuali untuk sengketa yang terlebih dahuludiselesaikan melalui upaya administratif makapemeriksaan ditingkat pertama dilakukan oleh PTUN.Pemeriksaan di tingkat pertama ini dapat dilakukanmelalui 2 cara yaitu:

10 Pasal 62 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986.

Page 174: otoritas jasa keuangan.pdf

491

1) Pemeriksaan dengan acara biasa, yang diatur dalamPasal 68 sampai dengan Pasal 97 UU No. 5 Tahun1986; dan

2) Pemeriksaan dengan acara cepat, yang diatur dalamPasal 98 dan Pasal 99 UU No. 5 Tahun 1986.

2. Kasus Gugatan tentang Pemberian Grasi di Pengadilan Tata UsahaNegara

Menjadi suatu yang fenomenal pada saat ini bahwasanya mengenaikeputusan Presiden tentang grasi yang selama ini menjadi suatu hakprerogatif yang dimiliki oleh Presiden, untuk pertama kalinya diangkatatau diajukan “kemeja hijau” Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

PTUN Jakarta sebagai badan peradilan yang berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, pada tanggal7 Juni 2012 telah meregister Perkara Nomor: 92/G/2012/PTUN-JKTyang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional AntiNarkotika (DPP GRANAT) yang diwakili oleh H. KRH. Henry Yosodiningrat,SH selaku Ketua DPP GRANAT dan Drs. Ashar Soerjobroto, Msi selakuSekretaris Jenderal DPP GRANAT, yang kemudian memberi kuasakepada: 1. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, Msc. 2. Dr. Maqdir Ismail,SH, LLM. 3. Dr. Luhut MP Pangaribuan, SH, LLM. 4. Hj. KartikaYosodiningrat, SH, LLM. 5. H. Hermansyah Dulaimi, SH, MH. 6. AkhmadFahmi Budiman, SH, MH. 7. H. Radhitya Yosodiningrat, SH.

Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) adalah sebuah lembagaswadaya masyarakat (LSM) yang concern dalam bidang anti terhadapperedaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di Indone-sia.

Penggugat dalam gugatannya, mengajukan gugatan terhadapPresiden Republik Indonesia, karena telah mengeluarkan:

1. Keputusan Presiden RI Nomor 22/G/Tahun 2012 tanggal15 Mei 2012 yang berisi Pemberian Grasi kepada SCHAPELLELEIGH CORBY; dan

2. Keputusan Presiden RI Nomor 23/G/Tahun 2012 tanggal15 Mei 2012 yang berisi Pemberian Grasi kepada PETER ACHIMFRANZ GROBMANN;

Menurut Penggugat, dikeluarkannya objek sengeta tersebut telahmelanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan melanggarasas-asas umum pemerintahan yang baik, serta melukai rasa keadilanmasyarakat.

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 175: otoritas jasa keuangan.pdf

492

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Objek sengketa yang dikeluarkan oleh Presiden RI tersebutmerupakan pemberian grasi yang diberikan kepada terpidana warganegara asing (WNA) dalam kasus tindak pidana narkotika, yang saat inimerupakan jenis tindak pidana khusus atau ekstra ordinary crime.Schapelle Leigh Corby warga negara Australia telah diputus bersalahberdasarkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 29/Pid.B/2005/PN.Dps tanggal 27 Mei 2005 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.48/PID.B/2005/PT.Dps tanggal 11 Oktober 2005 jo. Putusan KasasiMahkamah Agung No. 2221 K/Pid/2005 tanggal 12 Januari 2006 jo.Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 112 PK/Pid/2006tanggal 28 Maret 2008, dan dijatuhi pidana penjara selama 20 tahundan denda sebesar Rp. 100.000.000,- subsudair pidana kurungan selama6 bulan karena dipersalahkan melakukan tindak pidana “Tanpa hakdan melawan hukum mengimpor narkotika golongan I”. sedangkanPeter Achim Franz Grobmann warga negara Jerman telah diputusbersalah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 0548/Pid.Sus/2010/PN.DPS tanggal 1 September 2010 jo. Putusan PengadilanTinggi Denpasar No. 100/PID.SUS/2010/PT.DPS tanggal 16 November2010 jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 288 K/Pid.SUS/2011tanggal 25 Februari 2011 dan dijatuhi pidana penjara selama 5 tahundan denda sebesar Rp. 800.000.000,- subsidair pidana kurungan selama6 bulan karena dipersalahkan melakukan tindak pidana “Tanpa hakatau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai ataumenyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman berupa bijiganja”.

3. Analisis Kewenangan PTUN dalam Mengadili Perkara PemberianGrasi

Terkait dengan gugatan yang diajukan oleh DPP GRANAT sesuaidengan register perkara No. 92/G/2012/PTUN-JKT di PTUN Jakarta,maka ada hal-hal yang perlu diuraikan terlebih dahulu yaitu:

a. Apakah Keputusan Presiden tentang Grasi merupakanKeputusan Tata Usaha Negara?

1) bahwa Pasal 1 butir 9 UU Nomor 51 Tahun 2009 berbunyi:“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapantertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usahanegara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yangberdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkanakibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Page 176: otoritas jasa keuangan.pdf

493

2) Bahwa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TataUsaha Negara, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun1986 Jo. Pasal 1 angka 8 UU No. 51 Tahun 2009 berbunyi:Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan ataupejabat yang melaksanakan urusan pemerintahanberdasarkan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

3) Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1986menjelaskan yang dimaksud dengan “urusanpemerintahan” ialah kegiatan yang bersifat eksekutif.

4) Bahwa penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986tentang Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi: yangdimaksud dengan “peraturan perundang-undangan ini ialahsemua peraturan yang bersifat mengikat secara umumyang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyatbersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua keputusan Badan atau PejabatTata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkatdaerah, yang juga bersifat mengikat secara umum”.Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikatsecara umum yang dikeluarkan oleh Badan PerwakilanRakyat bersama Pemerintah di tingkat pusat adalahUndang-Undang dan segala peraturan yang menjadi“turunannya”, sedangkan peraturan perundang-undanganyang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersamaPemerintah ditingkat daerah adalah Peraturan Daerahdan segala peraturan yang menjadi “turunannya”,sebagaimana ketentuan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2012tentang Pembentukan Peraturan Perundangan yangmengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan;

5) Bahwa Ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, menyatakanbahwa “Presiden memberi Grasi dan rehabilitasi denganmemperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”;

6) Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002,menyatakan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupaperubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusanpelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan olehPresiden”.

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 177: otoritas jasa keuangan.pdf

494

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

7) Bahwa dilihat dari segi kewenangan bardasarkanketentuan yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945dan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 Jo.UU No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan Atas UU No. 22Tahun 2002 tentang Grasi, serta penjelasan umum UUNo. 22 Tahun 2002 yang menyebutkan: Grasi, padadasarnya pemberian dari Presiden dalam bentukpengampungan yang berupa perubahan peringanan,pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusankepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasibukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dantidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim.Pemberian grasi bukan merupakan campur tanganPresiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatifPresiden untuk memberikan ampunan. Kendatipemberian grasi dapat mengubah, meringankan,mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalanipidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berartimenghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakanrehabilitasi terhadap terpidana.

8) Bahwa dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 22 Tahun 2002Jo. UU No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan Atas UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyebutkan bahwa“permohonan grasi tidak menunda pelaksaan putusanpemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusanpidana mati”.

9) Bahwa berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkansebagai berikut:

a) Keputusan Presiden tentang Grasi tersebutdikeluarkan berdasarkan kewenangan yang diaturdalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945;

b) bahwa kewenangan Presiden yang didasarkan Pasal14 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan kewenangandalam rangka melaksanakan urusan pemerintahansebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 5Tahun 1986, melainkan sebagai kewenangankonstitusional Presiden yaitu dalam memberikangrasi. Dengan demikian Presiden bukanlah Badanatau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana

Page 178: otoritas jasa keuangan.pdf

495

ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun1986 Jo. Pasal 1 angka 8 UU No. 51 Tahun 2009;

c) bahwa apabila dikaitkan antara kewenangan Presidenyang didasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 denganrumusan Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun1986, maka keputusan Presiden tentang Grasibukanlah keputusan yang didasarkan pada peraturanperundang-undangan yang dikeluarkan oleh BadanPerwakilan Rakyat bersama Pemerintah ditingkatpusat, yang dalam hal ini berupa Undang-Undang atausegala peraturan yang menjadi “turunannya”,melainkan didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) UUD1945, yang merupakan kewenangan MajelisPermusyawaratan Rakyat untuk mengubah danmenetapkannya sesuai Pasal 3 ayat (1) UUD 1945;

d) Maka tidak terpenuhinya unsur Keputusan TataUsaha Negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal1 butir 9 UU Nomor 51 Tahun 2009, maka KeputusanPresiden tentang Grasi bukan merupakan keputusantata usaha negara.

b. Apakah PTUN berwenang mengadili Keputusan Presidententang Grasi?

Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan tersebutbahwa Keputusan Presiden tentang Grasi bukan merupakankeputusan tata usaha Negara, maka terkait objek sengketayang berupa Keputusan Presiden RI Nomor 22/G/Tahun 2012tanggal 15 Mei 2012 yang berisi Pemberian Grasi kepadaSCHAPELLE LEIGH CORBY; dan Keputusan Presiden RI Nomor23/G/Tahun 2012 tanggal 15 Mei 2012 yang berisi PemberianGrasi kepada PETER ACHIM FRANZ GROBMANN, tidaktermasuk dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negarauntuk mengadili sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 ayat(1) huruf a UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentangPeradilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian, terkait dengan kompetensi PTUNterhadap perkara tentang pemberian grasi (perkara No. 92/G/2012/PTUN-JKT di PTUN Jakarta), secara yuridisberdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf a UU No. 5

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 179: otoritas jasa keuangan.pdf

496

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 yang berbunyi “pokokgugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenangPengadilan”, maka PTUN Jakarta tidak memiliki kewenanganuntuk mengadili objek sengketa aquo yang berupa KeputusanPresiden tentang grasi tersebut.

F. Penutup1. Kesimpulan

a. Kewenangan presiden dalam memberikan grasi diatur dalamPasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 dan UU No. 22 Tahun 2002 Jo. UU No.5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002tentang Grasi.

b. Keputusan Presiden RI Nomor 22/G/Tahun 2012 tanggal 15Mei 2012 yang berisi Pemberian Grasi kepada SCHAPELLELEIGH CORBY; dan Keputusan Presiden RI Nomor 23/G/Tahun2012 tanggal 15 Mei 2012 yang berisi Pemberian Grasi kepadaPETER ACHIM FRANZ GROBMANN, dikeluarkan berdasarkankewenangan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945;

c. kewenangan Presiden yang didasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD1945 bukan merupakan kewenangan dalam rangkamelaksanakan urusan pemerintahan sebagaimanaketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1986, melainkansebagai kewenangan konstitusional Presiden yaitu dalammemberikan grasi. Dengan demikian Presiden bukanlahBadan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimanaditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 Jo.Pasal 1 angka 8 UU No. 51 Tahun 2009;

d. keputusan Presiden tentang Grasi bukanlah keputusan yangdidasarkan pada peraturan perundang-undangan yangdikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersamaPemerintah di tingkat pusat, yang dalam hal ini berupa undang-undang atau segala peraturan yang menjadi “turunannya”sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2UU No. 5 Tahun 1986, melainkan didasarkan pada Pasal 14ayat (1) UUD 1945, yang merupakan kewenangan MajelisPermusyawaratan Rakyat untuk mengubah danmenetapkannya sesuai Pasal 3 ayat (1) UUD 1945

Page 180: otoritas jasa keuangan.pdf

497

e. Walaupun dalam memberikan grasi ditentukan adanyapertimbangan dari Mahkamah Agung, tidak serta mertamengikat Presiden untuk harus sesuai dengan pertimbangantersebut dalam memberikan grasi, karena pertimbanganhukum sifatnya tidak mutlak harus dilaksanakan danPresiden tidak mempunyai kewajiban secara “conditio sine quanon” untuk mengikuti pertimbangan Mahkamah Agungtersebut. Presiden dapat mengambil keputusan berdasarkanpertimbangan dan kebijaksanaan apapun, termasuk alasanyang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasankemanusiaan, keadilan, moral, ataupun alasan politik. Olehkarena itu, Presiden berhak untuk mengabulkan ataumenolak permohonan grasi yang diberikan kepadanya.

f. Dalam Undang-Undang Grasi tidak mengatur tentangketentuan standar baku untuk dikabulkannya sebuahpermohonan grasi, pembatasan terhadap syaratkewarganegaraan pemohon grasi dan pembatasan terhadapunsur-unsur kesalahan (schuld) yang telah dilakukanterpidana karena pidana biasa ataukah karena perbuatanpidana khusus (ektra ordinary crime). Namun pembatasanyang ada hanyalah terhadap pidana mati, penjara seumurhidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun saja.

g. Penilaian terhadap kesalahan (schuld) yang dilakukan olehterpidana merupakan kewenangan hakim. Hakimlah yangmenentukan kesalahan terpidana dan menghukum terpidanaatas dasar kesalahan yang telah diperbuatnya. Sehinggadengan adanya vonis (inkrach van gewijsde) pengadilan, vonistersebut merupakan akhir penentuan kesalahan danhukuman yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorangterpidana, setelah tidak adanya upaya hukum lagi yangdilakukan terpidana.

h. Tidak terpenuhinya unsur Keputusan Tata Usaha Negarasebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 9 UU Nomor 51Tahun 2009, maka Keputusan Presiden tentang Grasi bukanmerupakan keputusan tata usaha negara.

i. Terkait dengan kompetensi PTUN terhadap perkara tentangpemberian grasi (perkara no. 92/G/2012/PTUN-JKT diPengadilan Tata Usaha Negara Jakarta), secara yuridisberdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf a UU No. 5

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 181: otoritas jasa keuangan.pdf

498

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Tahun 1986 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 yang berbunyi “pokokgugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenangPengadilan”, maka Pengadilan Tata Usaha Negara Jakartatidak memiliki kewenangan untuk mengadili objek sengketaaquo yang berupa Keputusan Presiden tentang grasi tersebut.

2. Saran

Keputusan Presiden tentang pemberian grasi merupakankeputusan yang bertolak belakang dengan putusan yang dijatuhkanoleh hakim kepada seorang terpidana. Adanya keputusan Presidententang pemberian grasi merupakan wujud dari hak prerogatifpresiden yang ditentukan dalam UUD 1945 dan Undang-Undangtentang Grasi, sehingga terkait dengan dikabulkan atau ditolaknyasebuah permohonan grasi seluruhnya menjadi kewenangan mutlakseorang Presiden, walaupun ada pertimbangan dari MahkamahAgung, termasuk terhadap unsur-unsur kesalahan (schuld) yangtelah dilakukan terpidana baik warga negara Indonesia maupunwarga negara asing.

Ditinjau secara yuridis, tidak terdapat ketentuan yangmengatur kewenangan menguji pemberian Grasi melalui lembagayudikatif, maka agar pemberian grasi tidak sewenang-wenangdiberikan oleh Presiden, instrumen kontrol dari masyarakat berupa(social control), baik melalui control media serta instrumen politikyang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di Dewan PerwakilanRakyat dapat digunakan untuk mencegah abuse of power olehPresiden dalam memberikan grasi.

Page 182: otoritas jasa keuangan.pdf

499

Daftar Pustaka

Buku:

Abdy Yuhana, SH, MH, Sistem Ketatanegaraan Indonesia PascaPerubahan UUD 1945, Fokusmedia, 2009.

J.E. Sahetapy, “Mekanisme Pengawasan Atas Hak-Hak Presiden”, <http://www.komisi hukum.go.id/atice_Opinion_Php?mode=detil&id>,diakses tgl. 24 Juni 2012;

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga;

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian Perkara PidanaMenurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bagi PenegakHukum, Cet. 1, Bandung, PT. Karya Nusantara, 1982, hal 137;

Hasbullah F. Sjawie, Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif DiIndonesia, Varia Peradilan Tahun IX No. 102 (Maret 1994);

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,PT. RajaGrafindo Persada, cet. Ke-3, 2011.

Website:

http://arfanhy.blogspot.com/search?q=grasi, diakses tanggal 24-6-2012;

http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/grasi-di-indeonsia/ ,tgl. 26 Juni 2012

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2010 tentang Grasi;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2010 tentang Grasi;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata UsahaNegara;

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata UsahaNegara;

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TataUsaha Negara;

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara ...

Page 183: otoritas jasa keuangan.pdf

500

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MahkamahAgung.

Page 184: otoritas jasa keuangan.pdf

BIO DATA PENULIS

Wisnu Indaryanto, Tempat/Tanggal Lahir di Klaten, 21 Januari 1985.Pendidikan: Sarjana Hukum. Pekerjaan Tenaga Fungsional PerancangPeraturan Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukumdan HAM Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Zulkarnain Sitompul, Tempat/Tanggal Lahir di Medan, 21 Mei 1959.Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,S-2 Magister Hukum Southers Methodist University Dallas Texas USA,dan S-3 Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Pekerjaan: DosenPascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan UniversitasNasional Jakarta.

Wiwin Sri Rahyani, Tempat/Tanggal Lahir di Bandung, 19 Januari 1979.Pendidikan: S-2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta.Pekerjaan: Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undanganSekretariat Jenderal DPR RI.

Hasbi Hasan, Pekerjaan: Dosen Tetap dan Ketua Program StudiMagister Ilmu Hukum (MIH) Program Pascasarjana (PPS) UnversitasJayabaya.

Wahyu Wiriadinata, Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 21 Oktober 1950.Pekerjaan: Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan DosenFakultas Hukum Universitas Pasundan.

Rudy Hendra Pakpahan, Tempat/Tanggal Lahir di Sibolga, 27 Januari1980. Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Tahun2004, S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara Medan Tahun 2009. Pekerjaan PNS KantorWilayah Kementerian Hukum dan Ham Propinsi Sumatera Utara.

Khopiatuziadah, Tempat/Tanggal Lahir: Cirebon, 14 April 1977.Pendidikan S-1: Syariah/Hukum Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(2000), S-2: Ekonomi Syariah , UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2004),Master of Laws (LL.M) University Of Melbourne Australia (2007).Pekerjaan: Tenaga Perancang Undang-Undang (Legislative Drafter)Sekretariat Jenderal DPR RI sejak 2003–sekarang. Terlibat dalambeberapa tim asistensi penyusunan Draft RUU di DPR RI, penyusunan

Page 185: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

Naskah Akademik, Kajian pembentukan RUU dan Konsep KeteranganTertulis bagi Tim Kuasa Hukum DPR RI ke Mahkamah Konstitusi, sertaterlibat dalam pendampingan proses pembahasan RUU di DPR.

Nova Asmirawati, Tempat/Tanggal Lahir di Yogjakarta, 07 Juni 1975.Pendidikan S-1 Ilmu Hukum S-1 Universitas Islam Indonesia, Yogjakarta,lulus 1999, S-2/Master of Laws (LLM) dari Graduate School forInternational Cooperation Studies, Kobe University, Japan, lulus 2008.Pekerjaan Perancang Peraturan Perundang-undangan pada KantorWilayah Kementerian Hukum dan HAM Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta.

Serafina Shinta Dewi, Tempat/Tanggal Lahir di Wonosari, 9 September1980. Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakartadan sedang menepuh pendidikan S2 Fakultas Hukum UniversitasAtmajaya Yogyakarta. Pekerjaan: Tenaga Fungsional PerancanganPeraturan Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukumdan HAM Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

R. Tony Prayogo, Tempat/Tanggal Lahir di Lampung, 12 Desember 1978,Pendidikan S1 Fakultas Universitas Muhammadiyah Jakarta 2002.Pekerjaan: Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undanganKementerian Hukum dan HAM.

Page 186: otoritas jasa keuangan.pdf

PANDUAN PENULISAN NASKAH

1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasilpenelitian lapangan, survey, hipotesis, kajian teori, studikepustakaan, review buku, dan gagasan kritis konseptual yangbersifat objektif, sistematis, analisis, dan deskriptif.

2. Naskah yang dikirim karya tulis asli yang belum pernah dimuatatau dipublikasikan di media lain.

3. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4dengan font Bodoni ukuran 12, panjang naskah antara 15-20halaman.

4. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku,lugas, sederhana, dan mudah dipahami, serta tidak mengandungmakna ganda.

5. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yangsingkat dan jelas, dengan kata atau frasa kunci yangmencerminkan isi tulisan.

6. Sistematika penulisan disesuaikan dengan aturan penulisanilmiah, ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, yang secaragaris besar sebagai berikut: Judul dalam bahasa Indonesia danbahasa Inggris, nama penulis, abstrak ditulis dalam bahasaIndonesia dan bahasa Inggris (ditulis dalam 1 paragraf, dengan 2spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kuncidicantumkan di bawah abstrak, nama instansi penulis,pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup,dan metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data,dan analisis), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka.

7. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote).

8. Isi, materi, dan substansi tulisan merupakan tanggung jawabpenulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional)tanpa mengubah arti.

9. Daftar pustaka, disusun menurut sistem pengarang dan tahunterbit, penerbit, kota/negara, hal.

Contoh:

1. Buku

- Luar negeri

Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State,Russel & Russel, New York. hlm. 45.

Page 187: otoritas jasa keuangan.pdf

Vol. 9 No. 3 - Oktober 2012

- Dalam negeri

Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21.

2. Makalah dalam jurnal

- Luar negeri

Suzuki, S.,M. Sugiyama, Y. Mihara, K. Hashiguchi andK. Yokezeki. 2002. Novel enzymatic method for theproduction by oxydans. Japan Biochem.

- Dalam negeri

Kurniawan, Y. dan S. Yuliatun. 2006. Perspektif gasoholsebagai energi hijau bagi transportasi. MajalahPenelitian Gula.

3. Makalah dalam buku

- Luar negeri

Zyzak, D.V., k.J. Wells-Knecht, M.X. Fu, S.R. Thorpe, M.S.Feather and J.W. Baynes. 1994. Pathways of themaillard reaction in vitro and in vivo. Proc. of the5th International Symposium of the MaillardReaction, University of Minnesota.

- Dalam negeri

Sukarso, G., S. Sastrowijono, Mirzawan PDN.,S. Lamadji,Soeprijanto,E.Sugiyarta dan H. Budhisantoso. 1990.Varietas tebu unggul lokal untuk tegalan denganpola keprasan. Pros.Seminar PengembanganAgroindustri Berbasis Tebu dan Sumber Pemanislain. P3GI, Pasuruan.

4. Pustaka dari Internet

- Jurnal

Almeida, A.C.S., L.C. Araujo, A.M. Costa, C.A.M. Abreu,M.A.G.A. Lima and M.L.A.P.F. Palha. 2005. Sucrosehydrolysis catalyzed by auto-immobilized invertaseinto intact cells of cladosporium cladosporoides. Elec-trical Journal of Biotechnology 8(1): 15-18 (online)http://www.ejbiotechnology.info/content/vol8/issue1/full/11. pdf (diakses tanggal 8 Juni 2006).

Page 188: otoritas jasa keuangan.pdf

- Informasi lain

Fadli. 2002. Pabrik sirup gula tebu pertama di Malang(online), http://kompas.com/kompas-cetak/034/15/ilpeng/256044.htm (diakses tanggal 2 Mei 2006).

10. Pengiriman naskah berupa hard copy dan soft copy sertamelampirkan curriculum vitae ditujukan kepada :

Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal PeraturanPerundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. HR.Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021)5264517/Fax (021) 52921242, e-mail : [email protected].