Nyeri Leher
-
Upload
raphaelchristie -
Category
Documents
-
view
106 -
download
2
description
Transcript of Nyeri Leher
Nyeri Leher
Disusun oleh :
Yulius Febrianto
11-2012-165
Dokter Pembimbing :
Dr. Humisar Sibarani, Sp.An
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
KEPANITERAAN ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT IMANUEL
LAMPUNG
30 DESEMBER 2013 – 1 FEBRUARI 2014
1
Pendahuluan
Nyeri leher dan punggung yang mengganggu aktivitas seseorang, telah diketahui sejak
abad pertengahan, yang ditemukan tertulis dalam Papyrus 4600 tahun yang lalu. Tulisan ini
mengandung uraian berbagai kondisi tulang di spina servikal, antara lain dislokasi vertebra
dan sprain. Tutankhamen di zaman purba telah menjelaskan tentang laminektomi servikal
yang pertama dan pada tahun 460 SM Hippocrates mempostulasi kejadian paralisis akibat
cedera servikal, serta menjadi salah satu penemu terapi traksi servikal. Ambrose Pare (1559)
telah melakukan reduksi pada dislokasi spina servikal dengan traksi dan melakukan bedah
membuang osteofit yang menyebabkan kompresi medulla spinalis. Pada tahun 1928 Crowe
memberi istilah whiplash untuk cedera kepala-leher sebagai akibat hiperekstensi melewati
batas fisiologik gerakan kepala-leher.1
Berbagai kondisi tersebut masih ditemukan saat ini, bahkan beberapa di antaranya
diperberat oleh meningkatnya penggunaan peralatan mekanik dalam pekerjaan serta
kendaraan bermotor. Pengetahuan kedokteran telah berkembang dalam diagnosis dan terapi,
serta penilaian awal yang teliti akan memandu penegakan diagnosis yang tepat serta aplikasi
pemeriksaan yang sesuai. Kemudian dilanjutkan dengan tatalaksana yang relevan
berdasarkan pengetahuan yang lengkap tentang anatomi fungsional yang terganggu
(impaired) yang menyebabkan nyeri dan kecacatan/disa- bilitas.
Anatomi dan Biomekanik
Leher merupakan bagian spina/tulang belakang yang paling bergerak (mobile),
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:12
1. menopang dan memberi stabilitas pada kepala;
2. memungkinkan kepala bergerak di semua bidang gerak;
3. melindungi struktur yang melewati spina, terutama medula spinalis, akar saraf, dan arteri
vertebra.
Spina servikal menopang kepala, memungkinkan gerakan dan posisi yang tepat. Semua
2
pusat saraf vital berada di kepala memungkinkan pengendalian penglihatan (vision),
keseimbangan vestibular, arahan pendengaran (auditory) dan saraf penciuman; secara
esensial mengendalikan semua fungsi neuromuskular yang sadar. Untuk itu maka kepala
harus ditopang oleh spina servikal pada posisi yang tepat agar memungkinkan gerakan
spesifik untuk menyelesaikan semua fungsi tersebut.
Kolumna servikal dibentuk oleh tujuh tulang vertebra. Spina servikal, C1-C7, terlihat
dari lateral membentuk lengkung lordosis dan kepala pada tingkat oksipitoservikal
membentuk sudut yang tajam agar kepala berada di bidang horizontal. Apabila dilihat dari
anteroposterior maka spina servikal sedikit mengangkat (tilt) kepala ke satu sisi. Hal tersebut
dapat dijelaskan oleh faset pada oksiput, atlas (C1) dan aksis (C2) yang sedikit asimetrik.
Spina servikal merupakan persatuan unit fungsional yang saling tumpang-tindih
(superimposed), masing-masing terdiri atas 2 badan, yang dipisahkan oleh diskus
intervertebra mulai di bawah aksis (C2). Unit fungsional spina servikal dibagi atas dua
kolumna, yaitu kolumna anterior yang terdiri atas vertebra, ligamen longitudinal dan diskus
di antaranya, serta kolumna posterior yang meliputi kanal oseus neural, ligamen posterior,
sendi zygapophyseal, dan otot erektor spina.34 Secara anatomis, foramen intervertebralis
terletak di antara kedua kolumna tersebut. Sebenarnya, otot servikal bagian anterior yaitu
fleksor merupakan bagian dari kolumna anterior. Untuk mengevaluasi secara fungsional
maka spina servikal dibagi menjadi segmen servikal atas (diatas C3) dan segmen servikal
bawah (C3-C7). Setiap segmen itu berfungsi berbeda.
3
Vertebra C1 dan C2 berbeda dari vertebra yang lain. Atlas (C1) adalah struktur seperti
cincin tanpa badan dengan dua massa lateral yang berartikulasi dengan kondilus oksipitalis di
atas dan aksis (C2) di bawah. Aksis (C2) mempunyai badan, prosesus spinosus yang bifida,
dan prosesus odontoid yang menonjol ke atas yang secara kongenital adalah badan atlas yang
menyatu (fused). Odontoid berartikulasi dengan lengkung anterior atlas. Hubungan normal
tersebut memungkinkan pemisahan <3 mm antara lengkung anterior dan atlas. Sendi tersebut
dapat menjadi lemah oleh karena trauma atau penyakit seperti artritis rheumatoid (RA).
Pemisahan 3 mm atau lebih dalam fleksi dan ekstensi dianggap tidak stabil dan merupakan
4
bukti instabilitas.
Atlas dan aksis dalam kombinasi dengan kranial-oksiput (CO) membantu fleksi, ekstensi
dan rotasi. Artikulasi atlanto- oksipital (CO-C1) memungkinkan fleksi 10° dan ekstensi 25°.
Rotasi terbanyak di spina servikal terjadi di persendian C1- C2, dengan rotasi 45° ke arah kiri
atau kanan. Sedikit derajat fleksi-ekstensi terlihat juga di persendian C1-C2. Sendi sinovial
asli (true synovial joint) terletak di antara lengkung anterior atlas dan prosesus odontoid.
Vertebra regio servikal bawah masing-masing serupa dalam bentuk dan fungsi dan dapat
dikatakan merupakan unit fungsional yang khas (typical). Vertebra C3-C7 mempunyai badan
kecil dan dimensi terpanjang pada bidang koronal. Prosesus spinosus bifida dari C3 sampai
C6, dan C7 mempunyai prosesus spinosus terpanjang yang mudah teraba pada palpasi. Sendi
zygapophyseal di servikal lebih konkaf dibandingkan di torakal dan lumbal. Orientasi faset di
servikal adalah 45° (dibandingkan 60° di torakal dan 90° di lumbal). Prosesus spinosus,
prosesus transversa dan lamina menjadi daerah perlekatan otot.
Di perbatasan C2 dan C3 terdapat perubahan bentuk persendian yang menyebabkan
perbedaan bermakna dalam fungsi serta merupakan daerah transisi yang mengubah gerakan
dari rotasi ke fleksi dan ekstensi. Terjadi sekitar 10° fleksi pada masing-masing segmen
dengan fleksi terbesar pada C4-C5 dan C5-C6. Fleksi lateral terjadi terutama di C3- C4 dan
C4-C5. Pemindahan horizontal (horizontal displacement) vertebra >3,5 mm saat fleksi dan
ekstensi atau deformitas angular >11° menandakan instabilitas spina. Semua gerakan servikal
berpasangan sehingga rotasi dikaitkan dengan fleksi lateral dan sebaliknya. Pembatasan
5
Gambar 1. Gerakan Leher/Cervival33
lingkup gerak (ROM) dalam satu bidang memungkinkan klinisi mendeteksi segmen yang
terlibat terutama letaknya apakah di regio servikal atas atau bawah.
Vertebra servikal yang tipikal (C3-C7) mempunyai sifat khusus, yaitu bagian anterior
lebih lebar dari posterior, yang menyebabkan lordosis servikal. Permukaan superior
berbentuk konkaf dari ujung ke ujung akibat prosesus uncinatus (uncovertebral bodies) yang
juga disebut sendi Luschka. Sendi tersebut muncul dari tepi posterolateral badan vertebra dan
terletak di anterior akar saraf yang keluar dari foramen intervertebra.6 Sendi itu tidak ada saat
lahir, tetapi berkembang pada akhir dekade pertama kehidupan. Walaupun masih
kontroversial, sendi itu tidak termasuk sendi asli (true joint) karena tidak mempunyai
sinovium.7 Artikulasi uncovertebral disangka berkembang dari celah (clefts) degeneratif atau
dari resorpsi jaringan fibrosa di tepi supraposterolateral. Artikulasi tersebut dapat
berdegenerasi mengalami hipertrofi dan kalsifikasi bersamaan dengan degenerasi diskus.
Proses itu dapat mengakibatkan penyempitan foramen intervertebra sehingga menekan akar
saraf bahkan medulla spinalis. Permukaan inferior vertebra C3-C7 berbentuk konkaf
anteroposterior dan konveks la-teral. Foramen terletak di setiap prosesus transversum di
setiap sisi badan vertebra. Arteri vertebral melalui foramen itu.
Di antara dua vertebra, mulai di bawah C2, terdapat diskus intervertebralis, yang lebih
lebar anterior dibandingkan posterior. Setiap diskus terdiri atas annulus dan nukleus, serta
mempunyai struktur dalam yang lunak disebut nukleus pulposus. Diskus intervertebralis
mempunyai suplai vaskuler sejak lahir sampai sekitar dekade kedua dalam kehidupan saat
pembuluh darah mulai terobliterasi dan mulai terjadi kalsifikasi lempeng ujung (endplates)
vertebra. Pada dekade ketiga diskus menjadi avaskuler, dan nutrisi diskus melalui difusi
dialisat melalui endplate serta imbibisi tekanan osmotik (osmotic gradient) ion yang larut di
dalam substansi diskus. Terdapat juga faktor mekanik untuk imbibisi. Pada saat diskus
mengalami penekanan ia mengeluarkan cairan dan saat relaks menyerap cairan, penekanan-
relaksasi bergantian tersebut memungkinkan diskus menyerap (imbibition) seperti busa.
Elastisitas serabut annular dan kompresibilitas nukleus memungkinkan aksi menyerap secara
6
mekanik.
Nukleus berupa gel proteoglikan sangat terhidrasi (80% air) dan mengandung serabut
kolagen yang tersebar (<5%). Gel proteoglikan mengandung banyak kelompok sulfat
bermuatan negatif yang menarik dan mengikat air serta mencegah difusi ke luar. Nukleus
secara utuh terkandung di dalam tabung annular yang mempertahankan tekanan intrinsik.
Serabut kolagen dikelilingi secara esensial terkandung di dalam, lapisan gel proteoglikan
yang terhidrasi, yang memberi lubrikasi dan nutrisi pada fibril kolagen. Caranya serabut
annular melekat di endplate dan interface dengan setiap lapisan memungkinkan gerakan
vertebra berse- berangan di unit fungsional memberi gerakan fleksi, ekstensi dan sedikit
rotasi.
Mobilitas unit fungsional vertebra servikal dibatasi oleh elastisitas terbatas serabut
annular setiap annulus intervertebral serta ligamen longitudinal anterior dan posterior (yang
terikat pada setiap vertebra dari kranium sampai sakrum).
Fleksi dibatasi oleh ligamen longitudinal posterior, ligamen intervertebra posterior,
elastisitas terbatas fascia otot ekstensor (erektor spina).
Fleksi berlebihan melewati batas fisiologis juga dibatasi oleh ligamen spinosum posterior
dan interspinosum serta elastisitas fascia otot erektor spina.
Ekstensi berlebihan dibatasi oleh kontak langsung lamina, faset dan prosesus spinosus
posterosuperior.
Gerakan unit fungsional ke arah manapun menyebabkan sedikit distorsi pada diskus
intervertebralis. Pada fleksi ke depan, ruang anterior diskus mengalami penekanan dengan
pemisahan simultan elemen posterior. Juga terjadi gerakan meluncur (gliding) vertebra
superior di atas vertebra berikut yang di bawahnya. Diskus intervertebralis tertekan di ante-
rior serta melebar di posterior, dan fleksi ini disertai sedikit gesekan (shear) anterior.
Pemanjangan berlebihan serabut annular posterior diskus dalam fleksi juga dibatasi oleh
ligamen longitudinal posterior.
Ligamen pada spina servikal adalah:
7
1. ligamen transversum; menahan prosesus odontoid ke dalam notch yang terletak posterior
di pusat lengkung anterior, memungkinkan kepala dan atlas rotasi ke kiri dan kanan.
Selain itu mempertahankan prosesus odontoid di daerah anterior kanal spina serta
memberi ruangan cukup bagi medulla spinalis. Apabila terjadi kerusakan pada ligamen,
prosesus odontoid dapat bergerak ke posterior dan menekan medulla spinalis.
Pemeriksaan radiografik dapat memperlihatkan aspek lateral spina servikal pada fleksi ke
depan, atau dengan pencitraan MRI. Derajat penekanan dapat dilihat secara klinis dengan
pemeriksaan neurologik yang menunjukkan tanda upper motor neuron,
2. ligamen alar; membatasi rotasi dan membatasi gerakan lateral prosesus odontoid,
Apabila salah satu ligamen alar rusak, dapat menyebabkan kepala dan atlas subluksasi ke
lateral,
3. ligamen accessory atlantoaksial; membatasi derajat rotasi kepala terhadap atlas dan atlas
terhadap aksis, Kerusakan salah satu ligamen tersebut dapat menyebabkan gerakan
berlebihan ke sisi berlawanan. Dapat dilihat melalui pencitraan mulut terbuka (open
mouth) dengan rotasi kepala ke dua arah. Ligamen alar dan accessory adalah ligamen
pendek yang terikat pada dua struktur tulang berdekatan sehingga mudah cedera,
misalnya karena rotasi berlebihan, tiba-tiba atau paksa (forceful).
Otot leher secara fungsional dapat dibagi atas dua kelompok besar:
1. Otot yang membuat fleksi dan ekstensi kepala terhadap spina, disebut capital movers,
yaitu capital flexor terdiri atas rektus pendek dan kapitis longus, serta capital extensor.
Otot tersebut terdiri atas 4 otot pendek yang berjalan dari basis kranium ke atlas (C1) dan
aksis (C2): posterior rectus capitis minor & major, obliquus capitis superior & inferior;
2. Otot yang membuat fleksi dan ekstensi seluruh sisa spina servikal, disebut cervical
movers;
3. Otot yang lebih panjang seperti splenius capitis dan splenius cervicis terutama untuk
rotasi kepala, akan tetapi dapat juga menjadi ekstensor apabila berkontraksi
bersamaan/bilateral.
8
4. Otot panjang dari spina torasik dan skapula yang membuat ekstensi, rotasi dan fleksi
lateral spina servikal, yaitu trapesius, levator scapulae, dll.
Massa terbesar otot leher terletak di bagian ekstensor segmen servikal atas: daerah
atlantoaksial, yang menandakan kebutuhan akan otot kuat di regio tersebut untuk menjaga
terhadap trauma. Massa terbesar otot fleksor terletak di regio servikal tengah (C4-C5) adalah
regio segmen servikal bawah yang mempunyai derajat gerak terbesar. Oleh karena itu
merupakan daerah yang mengalami pakai-aus mekanik (mechanical wear & tear) serta
paparan trauma dan stress besar.
Saraf servikal dengan formasi pleksus servikobrakhial dan saraf ke kepala berperan
penting pada fungsi ekstremitas atas dan juga terlibat dalam produksi nyeri serta kecacatan.
Semua saraf servikal mengandung serabut sensoris dan motorik kecuali saraf C1 yang hanya
mempunyai serabut motorik.8 Akar saraf servikal atas (C1-C2 dan cabang dari C3)
mempersarafi kepala dan wajah. Akar saraf C2 juga disebut greater occipital nerve adalah
sumber utama nyeri kepala dan wajah apabila terjebak, tertekan, atau teregang, atau
encroached. Hunter dan Mayfield mempostulasikan bahwa saraf C2 terjebak di antara arkus
posterior aksis (C1 vertebra) dan lamina aksis (C2). Oleh karena itu dapat dirusak apabila
terjadi ekstensi berlebihan dari kepala dengan rotasi simultan ke sisi.9 Namun demikian,
secara anatomik tidak feasible.10 Akar saraf C2 juga disangka terjebak dalam perjalanannya
melalui membran atlantoaksial posterior; juga saat saraf ini menjadi saraf perifer ketika
melalui daerah kecil yang dibentuk oleh situs perlekatan kondilus oksipital otot trapesius atas
dan otot sternokleidomastoid. Saraf greater occipital (C2 ke C3) keluar di antara
percabangan kedua otot di atas dan ditahan di dalam sling bernama Schultze’s bundle.
Di segmen servikal bawah (C3-C8) cabang sensoris dan motorik bersatu membentuk
akar saraf yang kemudian masuk foramen intervertebra. Saat memasuki foramen, akar
ventral (motorik) saraf spinal sangat dekat dengan sendi von Luschka, sedangkan akar dorsal
(sensoris) terletak dekat prosesus artikulasi dan simpai sendi. Secara normal akar saraf spinal
menempati hanya seperlima-seperempat dari foramen, dilindungi oleh penutup dan
9
selubungnya. Setiap akar, mengandung serabut sensoris dan motorik, diberi nomor menurut
tingkat eksit dari spina servikal serta distribusi terakhir ke ekstremitas atas. Setiap akar saraf
berjalan turun anterior dan lateral ke dalam foramen intervertebra terkandung di dalam
selubung dura yang selanjutnya mengandung serabut saraf otonomik segmental, kapiler,
venules, limfatik, serabut saraf nervosum, dan cairan spinal.
Saraf servikal keluar melalui kanal akar saraf sambil membagi diri menjadi :
1. ramus anterior, yang mensuplai otot prevertebra dan paravertebra serta membentuk
pleksus brachialis untuk ekstremitas atas;
2. ramus posterior, yang membagi menjadi cabang muskular, kutan, dan artikular untuk
struktur leher posterior termasuk otot postvertebral.
Ada dua komponen sistem saraf simpatetik yang mempengaruhi daerah spina servikal.
Semuanya terlibat dalam efek sirkulasi, kelenjar keringat, dan folikel rambut, tetapi
bagaimana mereka terkait dengan nyeri dari dan dalam daerah servikal masih kontroversial.
Komponen tersebut adalah rantai simpatik (sympathetic chain) dan saraf vertebralis (ver-
tebral nerve). Semua ramus saraf servikal adalah sarafpost- ganglionic kelabu (gray) tak
bermielin (unmyelinated) yang telah muncul pada sinaps di ganglia, dengan serabut pregan-
glionic dari spina torasik. Ramus kelabu tersebut berlanjut dalam tiga arah:
1. mendampingi akar saraf ke dalam ramus primer anterior dan posterior ke tujuan (sensoris
dan motorik) di jaringan servikal posterior dan ekstremitas atas (ekstraforamina);
2. bersinaps dengan serabut postganglionic yang berlanj ut ke mata, saraf cranial, arteri
kepala dan leher, dan ke pleksus kardiak (ekstraforamina);
3. mendampingi cabang sensoris akar saraf spinal membentuk saraf sinuvertebral (saraf
Luschka atau saraf meningeal rekuren) untuk kembali melalui foramen intervertebra
kedalam kanalis spinalis. Saraf tersebut dianggap sebagai saraf sensoris ke dura, ligamen
longitudinal posterior, dan serabut diskus annular luar (intraforamina).
Nyeri atau parestesi dihantar melalui saraf simpatetik. Nyeri di wajah, distribusi saraf
kranial, dan tengkorak dikaitkan pada iritasi suplai saraf simpatetik ke jaringan tersebut.
10
Sindroma Barre’-Lieou telah dikaitkan dengan iritasi saraf vertebra, dan gejala termasuk
vertigo, nyeri fasial, nyeri kepala, tinnitus, gangguan hidung, wajah memerah facial flushing)
dan parestesia faringeal.
Postur
Postur adalah sikap mahluk hidup pada waktu berdiri atau duduk tegak, dan mempunyai
aplikasi kosmetik bagaimana penampilan kita. Postur dipengaruhi faktor familial dan
kongenital, termodifikasi oleh pelatihan dan kebiasaan, dipengaruhi peer appearance,
ditentukan oleh tuntutan okupasi dan selanjutnya dipengaruhi penyakit konsekuensi
ortopedik atau neurologik. Postur juga dapat mempengaruhi berbagai penyakit atau sindroma
nyeri dan kecacatan. Postur yang salah menambah perubahan jaringan pada struktur tulang,
ligamen, otot dan diperkirakan mempengaruhi jaringan diskogenik kolumna spinalis.
Seluruh spina pada bayi baru lahir mempertahankan postur in utero, yaitu fleksi total
(kifosis), tanpa kurva lordotik. Kurvatura spina pada bayi baru lahir membentuk kurva
kifotik yang sedikit lebih besar dari kurva kifotik fisiologik spina torasik yang menetap
seumur hidup. Kurva lordotik pertama kolumna vertebralis nampak di daerah servikal pada
usia 6-8 minggu. Pada tahap perkembangan maka anak baru lahir mengekstensikan
kepalanya dari posisi tengkurap. Ekstensi kepala-leher ini adalah aksi antigravitasi yang
terjadi akibat kontraksi otot ekstensor. Aksi tersebut terjadi akibat beberapa input
proprioseptif dan inisiasi (pengawalan) dari refleks righting dasar. Kurva lordotik servikal
yang terakhir menetap sepanjang kehidupan dengan variasi sehari-hari akibat perubahan
posisi dan berbagai aktivitas. Spina servikal fleksibel dan tunduk pada hukum gravitasi serta
kepada dampak aksi muskular.
Oleh karena spina servikal adalah kurva teratas dan menopang kepala, maka tergantung
pada kurva kolum spinal lebih bawah yaitu kurva torasik, lumbal dan sakral. Semua kurva
fleksibel dan untuk tetap tegak tergantung pada tunjangan ligamen dan kapsular serta tonus
muskular. Tonus otot sangat predominan, akan tetapi bukan satu-satunya sumber tunjangan
dan merupakan faktor utama yang menentukan derajat kurvatura spinal dalam kaitannya
11
dengan pusat gravitasi.
Nyeri Leher dan Punggung Atas
Penelitian mutakhir telah menjelaskan jaringan mana di dalam spina servikal yang
apabila teriritasi atau terkena radang dapat menimbulkan nyeri. Produksi zat nosiseptif akibat
reaksi jaringan harus mempengaruhi saraf sensoris organ akhir (end organs) yang terletak di
jaringan khusus yang mampu mentransmisi sensasi nyeri.
Beberapa situs nosiseptif adalah:
1. ligamen longitudinal anterior,
2. annulus terluar (outer),
3. dura,
4. ligamen longitudinal posterior,
5. kapsul (simpai) faset,
6. otot,
7. ligamen.
Dua penyebab utama nyeri adalah: trauma dan artritis
Trauma mengimplikasikan suatu gaya eksternal yang harus menimbulkan perubahan di
dalam spina servikal melebihi gerakan/posisi normal segmen untuk menimbulkan kerusakan
atau gejala. Elastisitas atau plastisitas jaringan terlibat harus dilampaui dan/atau dirusak
untuk melepaskan zat kimia nosiseptor.
Pemeriksaan lingkup gerak sendi (ROM = range of motion) sangat penting untuk
mendeteksi keterbatasan gerak di setiap segmen. Nyeri biasanya menyebabkan refleks
kontraksi isometrik otot untuk membidai sendi yang mengalami trauma. Kontraksi otot itu
disebut spasme protektif, suatu refleks neuromuskular yang ditandai oleh muscle guarding
dan selanjutnya keterbatasan gerak. Pada spasme, rasa nyeri (tenderness) lebih menyeluruh
dan keterbatasan gerak lebih umum dibanding segmental pada keterbatasan artikular
ligamen.
Kontraksi otot yang berlanjut (sustained) pada leher dan punggung atas, seperti di bagian lain
12
sistem musku- loskeletal, disebut sindroma tension myositis (TMS).11 Hal itu diperkirakan
sebagai sisa ketegangan emosional (emotional tension) dan juga suatu sindroma okupasi
akibat postur yang berlangsung lama (sustained postural occupational syndrome) yang
menyebabkan iskemia otot.1213 Latihan otot berlebihan juga dapat menyebabkan nyeri otot
yang dapat menetap beberapa jam setelah berhenti latihan. Secara EMG telah ditunjukkan
penurunan amplitudo dari kontraksi volunter maksimum dan ketidakmampuan serabut otot
untuk relaksasi. Ketidakmampuan relaksasi disebabkan disrupsi pada gelendong otot (muscle
spindle) oleh kontraksi berkepanjangan, elongasi dan perubahan iskemik. Metabolit (sampah
metabolik) yang disekresi oleh otot yang berkontraksi berkepanjangan, yang menjadi iritan
lokal serta juga nosiseptor adalah faktor/substance P, asam laktat dan potassium shift. Terapi
panas lokal, diatermi ultrasound (terapi panas dalam), massage, dan peregangan mengurangi
TMS. Obat yang menyebabkan relaksasi juga mengurangi nyeri ketegangan otot.
Biofeedback dapat efektif mengurangi ketegangan otot.
Kontraksi isometrik yang terlalu kuat dapat menyebabkan robekan serabut otot serta
edem. Radang periosteum tempat otot melekat pada tulang serta jaringan subperiosteal juga
menimbulkan nyeri dan sakit lokal. Kontraksi otot berkepanjangan juga menyebabkan
penekanan berkepanjangan pada diskus intervertebra, yang selanjutnya mengurangi
kemampuan mukopolisakarida untuk menyerap zat makanan dan akhirnya menyebabkan
degenerasi diskus. Kontraksi isometrik berkepanjangan otot spina servikal menekan diskus
serta menyebabkan protrusi nukleus dan selanjutnya penonjolan (bulging) annulus, yang
dapat menyebabkan nyeri. Hal tersebut dapat dilihat pada pencitraan dengan magnetic
resonance imaging (MRI). Pencitraan (X-ray) yang menunjukkan pengurangan/ melurusnya
lordosis servikal menandakan spasme otot.
Postur yang salah dapat menyebabkan trauma pada berbagai aspek sistem muskuloskeletal,
terutama kolumna vertebra:
1. Postur kepala ke depan (forward head posture) terjadi akibat bertambahnya kifosis dorsal
spina yang meletakkan kepala di depan pusat gravitasi sehingga beban kepala menjadi
13
bertambah. Karena lordosis servikal bertambah, setiap unit fungsional juga menambah
sudut lordosisnya. Penambahan tersebut mendekatkan serta menekan aspek posterior
diskus.
2. Bahu yang menggantung (droping shoulder) mempengaruhi spina servikal. Skapula
berotasi ke bawah, dada menggantung, rongga toraks berkurang sehingga kapasitas vital
menurun dan orang bertambah pendek. Karena otot trapesius berorigo pada spina servikal
maka skapula yang tertekan memberi tegangan otot (strain) leher. Foramen intervertebra
lebih menutup pada postur lordotik servikal yang meningkat dan akar saraf tertekan.
3. Subluksasi akibat gaya eksternal. Cedera hiperfleksi dan hiperekstensi spina servikal
dinamakan cedera whiplash. Istilah itu diperkenalkan oleh Dr. Harold Crowe pada tahun
1928, sebagai efek akselerasi-deselerasi yang tiba- tiba di leher dan tubuh bagian atas
sebagian dampak eksternal paksa. Saternus mempostulasi suatu gaya akselerasi
(deselerasi) hebat yang mendislokasi skeleton aksial yang stasioner menyebabkan efek
khas pada kepala dan leher yang tidak dibatasi (unrestrained). Hasilnya adalah
peregangan hebat jaringan lunak, sendi intervertebra, akar saraf, dan saraf perifer di
bagian posterior spina servikal.
Common Cervical Syndrome
Cervical Sprain & Strain
Cedera sprain dan strain pada struktur spina servikal merupakan kondisi yang paling
sering dijumpai. Sprain adalah peregangan berlebihan atau robekan pada ligament atau
tendon atau keduanya, akibat trauma sendi. Strain adalah cedera pada otot. Cedera whiplash
adalah penyebab terbanyak dan mekanisme khas adalah cedera hiperekstensi pada spina
servikal akibat tabrakan. Impak tabrakan menyebabkan ekstensi servikal diikuti fleksi akibat
peningkatan gaya G (G force), menyebabkan cedera akselerasi dan deselerasi pada ligament,
sendi faset, dan otot.20 Dapat juga terjadi cedera akar saraf dengan gejala radikuler,
kemungkinan akibat cedera regang atau dari perdarahan fokal. Ganglia akar dorsal C2 rentan
cedera antara aksis dan atlas arkus vertebra saat hiperekstensi, yang dapat menyebabkan
14
neuralgia oksipital. 21 Riwayat penyakit biasanya termasuk nyeri leher dan sakit kepala.
Gejala dapat juga dirujuk ke ekstremitas atas. Pasien mengeluh fatique dan kekakuan leher.
Nyeri berhubungan dengan gerakan. Gejala lain adalah pusing, kepala ringan, sulit
konsentrasi dan memori, perasaan aneh pada kulit wajah, penglihatan kabur, sulit mendengar,
tinnitus dan masalah saraf kranial lain.2 Pemeriksaan fisik menunjukkan keterbatasan ROM
leher dengan kualitas gerak yang buruk. Tanda Spurling dan Lhermitte negatif. Nyeri palpasi
sering ditemukan pada struktur anterior maupun posterior leher. Apabila ada cedera pada
sendi faset, ligamen atau kapsul terdapat nyeri tekan pada sendi faset. Pemeriksaan
neurologis biasanya normal. Abnormalitas sensasi lebih banyak sklerotomal dan tanda
radikuler kadang-kadang muncul dini setelah cedera, akan tetapi hilang dalam 2 minggu.
Pencitraan foto polos menunjukkan hilangnya kurvatura normal lordosis servikal. MRI dan
CT scan normal, akan tetapi dapat juga menunjukkan herniasi diskus, cedera ligamen dan
perdarahan.22 EMG dapat menyingkirkan adanya radikulopati pada pasien dengan nyeri
kontinu dan rujukan sensasi yang tidak biasa pada lengan. 2
Tatalaksana awal melibatkan penggunaan NSAID dan analgesik untuk mengendalikan
nyeri. Modalitas terapi fisik seperti panas dan TENS dapat membantu mengurangi nyeri dan
spasme. Massage yang tepat akan meningkatkan sirkulasi, mengurangi nyeri, dan
memfasilitasi latihan. Re- edukasi postural juga penting.
Cervical Disc Disorders
Disrupsi diskus interna (IDD), hernia nucleus pulposus (HNP) dan penyakit degeneratif
diskus (DDD) merupakan ketiga jenis gangguan diskus servikal yang sering dijumpai. Hernia
diskus ditemukan dengan MRI pada 10% orang yang tanpa gejala di bawah usia 40 tahun dan
5% pada yang di atas 40 tahun.23 MRI menunjukkan diskus degeneratif pada 25% orang
tanpa gejala di bawah usia 40 tahun dan hampir 60% pada mereka di atas 40 tahun.
Radikulopati servikal relatif sering merupakan konsekuensi HNP atau dapat disebabkan oleh
pembentukan spur berkaitan dengan penyakit diskus degeneratif. Walaupun tidak ada data
tentang kejadian dan kekerapan radikulopati servikal, 51% populasi dewasa pada suatu waktu
15
mengalami nyeri leher dan lengan. Aktivitas kerja dan merokok merupakan faktor tambahan
pada anatomi abnormal yang mempredisposisi perkembangan radikulopati.2
Disrupsi diskus internal (internal disc disruption) adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan perubahan patologik struktur interna diskus. IDD ditandai sebagai
abnormalitas nukleus pulposus atau annulus fibrosus tanpa deformasi diskus eksterna.
Gangguan tersebut disangka akibat degradasi nuklear terkait trauma, atau cedera annular
terisolasi dari kombinasi gerakan fleksi servikal dan rotasi. Cedera whiplash juga dapat
merupakan penyebab IDD servikal. Annulus terluar dari diskus servikal dipersarafi dan
merupakan sumber nyeri serta rujukan nyeri.
Diskus mulai berdegenerasi pada dekade ke-2 kehidupan, dimulai dengan robekan
sirkumferensial di annulus, terutama di aspek posterolateral setelah regangan (strain)
berulang. Beberapa robekan menyatu menjadi robekan radial yang kemudian berlanjut
menjadi fisura radial yang meluas sampai ke nukleus. Diskus menjadi rusak lengkap dengan
robekan sepanjang diskus. Terjadi juga pengurangan tinggi diskus dengan penonjolan annular
di perifer. Proteoglikan dan air dari degradasi nukleus hilang melalui fisura. Akhirnya sela
diskus menjadi tipis dan dikaitkan dengan perubahan sklerotik vertebra
serta pembentukan osteofit.2
Nyeri diskogenik tidak jelas dan difus dalam distribusi aksial. Nyeri dirujuk dari diskus
ke lengan biasanya dalam pola nondermatomal. Gejala dapat bervariasi menurut perubahan
pada tekanan intradiskal. Aktivitas seperti mengangkat dan maneuver vasalva yang
cenderung meningkatkan tekanan diskus, dapat memperberat gejala, sedangkan berbaring
terlentang dapat mengurangi gejala. Vibrasi juga cenderung menambah nyeri diskogenik.
ROM aktif berkurang, pemeriksaan neurologik biasanya normal. Nyeri bertambah dengan
kompresi (penekanan) aksial dan berkurang dengan distraksi. Titik nyeri atau titik picu
miofasial sering dapat dipalpasi. Nyeri radikuler dalam, dull dan achy, atau tajam, membakar
dan berkualitas nyengat seperti listrik, tergantung apakah keterlibatan primer adalah motor
16
atau akar dorsal.2 Nyeri terkait radikulopati umumnya mengikuti pola dermatomal atau
miotomal di bahu, lengan dan tangan.24 Situs yang paling sering dari nyeri radikuler servikal
adalah di daerah interskapula, walaupun nyeri dapat menjalar ke oksiput, bahu atau lengan.
Nyeri leher tidak selalu dikaitkan dengan radikulopati dan sering tidak ada. Pasien dengan
radikulopati dapat juga mengalami kesemutan dan kelemahan lengan atas bersamaan dengan
nyeri.
Secara khas pasien dengan radikulopati menunjukkan penurunan lingkup gerak sendi
(ROM). Nyeri bertambah dengan ekstensi dan rotasi leher, serta membaik dengan fleksi.
Dapat terjadi penurunan sensasi terhadap nyeri, raba halus, atau vibrasi. Kelemahan anggota
gerak atas terjadi apabila akar saraf cukup tertekan, akan tetapi harus dibedakan dari
kelemahan terkait nyeri. Peningkatan refleks ekstremitas bawah atau tanda upper motor
neuron (UMN) lain menandakan kemungkinan mielopati dan memerlukan penanganan lebih
agresif.
Pencitraan polos membantu mengevaluasi sela diskus dan tinggi badan vertebra, serta
dapat menggambarkan perubahan degeneratif tulang dan diskus. Pemeriksaan EMG
membantu menilai radikulopati atau neuropati perifer atau fokal. MRI dapat memberikan
evaluasi anatomik lebih mendalam dari diskus intervertebralis. Korelasi klinis harus selalu
digunakan untuk menginterpretasi hasil tes diagnostik dan khususnya studi anatomik seperti
pencitraan.
Tatalaksana konservatif umumnya sama untuk nyeri diskogenik dengan atau tanpa
radikulopati. Awalnya dengan NSAID untuk pengendalian nyeri, dapat diberikan steroid oral
pada radikulopati yang tidak berespons baik dengan NSAID. Karena kebanyakan pasien
dengan DDD adalah lanjut usia maka NSAID harus diberikan dengan hati-hati,
memperhatikan efek NSAID menurut teori COX. Relaksan otot dapat diberikan sebagai
penunjang analgetik.
Modalitas fisik awalnya digunakan untuk nyeri akut dan kemudian hanya apabila
diperlukan. Traksi servikal bermanfaat untuk nyeri diskogenik dan gejala radikuler. Latihan
17
ROM secara aktif dan pasif diberikan untuk membantu mengembalikan fungsi normal.
Setelah masa akut lewat, pasien dilanjutkan ke peregangan aktif dan fleksibilitas rutin untuk
spina servikal. Selanjutnya adalah program penguatan dan stabilisasi. Pasien yang gagal
dengan pengobatan konservatif maupun prosedur suntikan spinal mungkin memerlukan
tindakan bedah. Hasil terbaik tindakan bedah diskus servikal adalah pada mereka dengan
nyeri radikuler yang jelas.25
Spondilosis Servikal (Osteoartritis)
Istilah spondilosis dan osteoartritis digunakan saling tertukar dan sebagian memberikan
definisi terpisah. Spondilosis adalah perubahan degeneratif yang terjadi pada diskus
intervertebra dan badan vertebra. Osteoartritis (OA) digambarkan terjadi secara eksklusif di
sendi zygapophyseal dan uncovertebral (yang lebih mirip dengan OA di sendi lain). Faktor
yang berkontribusi adalah proses menua, trauma, aktivitas kerja, dan genetik. Pada orang di
bawah usia 40 tahun, tanpa gejala, didapatkan dengan MRI, 40,25% dengan DDD dan 4%
mengalami stenosis foramen.23 Pada di atas 40 tahun, hampir 60% mengalami DDD dan 20%
mempunyai stenosis foramen. Perubahan spondilotik dapat menyebabkan stenosis kanalis
spinalis yang dapat mengakibatkan mielopati dan stenosis lateral recess serta foramen yang
dapat menyebabkan radikulopati.
Diskus intervertebralis kehilangan hidrasi dan elastisitas saat menua, menyebabkan retak
dan fisura. Selanjutnya diskus kolaps karena inkompetensi biomekanik, menyebabkan
annulus menonjol ke luar. Ligamen sekitar juga kehilangan sifat elastis dan membentuk spur
akibat tarikan. Pembentukan spur uncovertebral terjadi akibat proses degeneratif di mana
sendi faset kehilangan tulang rawan menjadi sklerotik dan membentuk osteofit. Stenosis
servikal didapat (acquired) lebih sering akibat perubahan degeneratif seperti pembentukan
osteofit, protrusion diskus, hipertrofi ligamen atau hipertrofi sendi faset.2 Sekuele neurologik
akibat stenosis kanalis sentralis terjadi apabila diameter kanal kurang dari 12 mm pada
bidang sagital dan stenosis absolut dinyatakan apabila diameter kanal kurang dari 10 mm. 27
Stenosis spinal dengan gejala mielopati dapat mencakup disfungsi kandung kemih dan bowel
18
neurogenik, gangguan pola jalan (gait), impotensi, dan perubahan fungsi seksual. Kelemahan
tungkai dan spastisitas juga dapat terjadi. Kelemahan dan kesemutan pada tingkat tertentu
bertepatan dengan lokasi stenosis yang terberat.28
Spondilosis servikal dapat menyebabkan nyeri radikuler akibat penjepitan akar saraf,
akan tetapi dapat juga menyebabkan nyeri sendi zygapophyseal.28 Nyeri sendi faset hanya
terbatas di leher dan bahu. Nyeri bertambah hebat dengan posisi berbeda dan dapat
mengganggu tidur. Tidak ada kesemutan atau kelemahan pada anggota gerak atas.
Pemeriksaan fisik secara khas menunjukkan penurunan ROM spina servikal, terutama
ekstensi leher. Pemeriksaan neurologik ditekankan pada deteksi tanda traktus panjang (long
tract signs) yang konsisten dengan mielopati, seperti Babinski dan kelemahan pada & di
bawah tingkat lesi, serta tanda/gejala radikulopati, seperti penurunan sensasi dan refleks,
kelemahan dalam distribusi segmental.2
Tes diagnostik termasuk pencitraan polos untuk melihat sendi uncovertebral, sendi faset,
foramen dan sela diskus intervertebra. MRI mengevaluasi kanalis spinalis dan foramen
dalam hubungannya dengan medulla spinalis, thecal sac, dan akar saraf. Respons sensory
evokedpotential (SEP) terlambat atau beramplitudo rendah dengan adanya mielopati, dan
dapat dilakukan berkala untuk mengevaluasi status perkembangan mielopati. EMG jarum
dapat mengkonfirmasi keterlibatan akar saraf pada gejala radikuler. CT scan dan mielografi
merupakan pencitraan pilihan untuk mendokumentasi stenosis spinal dan foramen. MRI
sendiri tidak cukup sensitif dan dapat memberi hasil false-positive dan false-negative.28
Tatalaksana nyeri spondilosis servikal dengan atau tanpa gejala radikuler dimulai dengan
pemberian NSAID. Modalitas terapi fisik dapat dicoba pemberian traksi dengan hati-hati.
Terapi panas yang dalam seperti ultrasound diathermy dapat menurunkan nyeri dan
selanjutnya gerak sendi dapat ditingkatkan.29 TENS dan massage bermanfaat mengurangi
nyeri dan spasme otot daerah servikal. Mobilisasi seperti teknik energi otot juga bermanfaat,
akan tetapi harus diawasi dengan ketat karena mobilisasi berlebihan dapat menyebabkan
mielopati. Program latihan termasuk fleksibilitas, penguatan, stabilisasi dan kondisi aerobik.
19
Rujukan bedah dilakukan segera apabila evaluasi klinis dan tes neurodiagnostik positif untuk
mielopati.
Nyeri Miofasial
Sindrom nyeri miofasial sering menyerupai sindrom radikulopati servikal dan sindrom
faset servikal. Sindrom itu juga dikenal dengan fibrositis dan fibromiositis.
Pada tahun 1983 Travell dan Simons30 mendefinisikan komponen klinis utama
karakteristik nyeri miofasial, yang terpenting adalah titik picu (trigger points), taut band
(pita kencang) dan local “twitch” response (respon kedutan lokal) Nyeri miofasial harus
dievaluasi lebih lanjut apabila pencitraan normal pada orang dengan nyeri leher serta nyeri
rujukan ke bahu dan lengan. Di daerah leher secara khas melibatkan otot paraspina servikal
dan otot trapesius atas. Tanda utama adalah muscle tenderness di otot yang teraba keras,
digambarkan sebagai nodul keras. Daerah itu disebut titik picu (trigger points). Titik picu
biasanya berlokasi di bagian tengah otot atau perut otot yang terlibat. Palpasi otot yang relaks
di bawah regangan pasif melokalisir titik nyeri tersebut berdiameter kurang dari 1 cm, dan
penekanan lama sekitar 10 detik atau tusukan jarum menyebabkan nyeri rujukan zona
rujukan (zone of reference) khusus untuk otot tersebut. Mungkin ada atau tidak ada nodul
yang teraba dan titik picu sering terletak di dalam taut band (pita tegang) di otot dengan
ROM terbatas. Pita tegang adalah kelompok serabut otot yang memendek yang dapat
dipalpasi dengan menggeser kulit dan subkutan tegak lurus sepanjang serabut otot. Setelah
menemukan pita tegang maka palpasi sepanjang pita itu akan membawa ke titik yang paling
nyeri yaitu titik picu. Snapping palpation dari pita merupakan tanda yang lain yaitu local
twitch response.31
Simons membuat kriteria klinis untuk diagnosis MPS, yaitu 5 kriteria mayor termasuk
nyeri regional, nyeri rujukan atau gangguan sensasi di lokasi yang diprediksi, taut band, titik
nyeri sepanjang taut band, dan ROM terbatas. Satu dari 3 kriteria minor harus ada: (1)
keluhan nyeri ditimbulkan oleh tekanan pada titik sakit/nyeri, (2) respons kedut lokal, atau
(3) nyeri hilang setelah peregangan atau suntikan.32
20
21
Gambar 2A. Cara memeriksa taut band & trigger point. Gambar 2B. Trigger point di daerah
leher dan punggung atas dan Teknik spray & stretch30
Tatalaksana Sindrom Nyeri Otot30
1. Menghilangkan faktor yang mengkontribusi, seperti defisiensi vitamin sikap dan mekanik
tubuh yang salah/ buruk, variasi anatomik seperti perbedaan panjang tungkai, pemakaian
berlebihan pada otot selama kerja/ vokasional, serta stres psikologis.
2. Pengobatan disfungsi motorik, yang tujuannya adalah mengurangi nyeri, mengembalikan
lingkup gerak sendi (ROM) normal, mengembalikan fungsi neuromuskuler normal, dan
memperbaiki kebugaran.
3. Terapi lokal, seperti spray & stretch menggunakan vapocoolant spray. Semprotan dingin
menimbulkan relaksasi otot yang memudahkan peregangan cukup. Terapi lain adalah
suntikan ke daerah dengan nyeri terhebat atau pada titik picu. Dapat juga dengan suntikan
kering disebut dry needling.31 Cara lain adalah penekanan iskemik (ischemic
compression) untuk mengobati titik picu, dengan teori bahwa penekanan terus-menerus di
daerah patologis menginduksi peningkatan aliran darah ke daerah tersebut saat penekanan
dilepas sehingga mengatasi iskemia pada otot dibawahnya. Tekanan bertahap
ditingkatkan sampai sekitar 10 kg (30 lbs) pada jari yang menekan selama 1 menit.31
Tatalaksana Nyeri Leher dan Punggung Atas
Tatalaksana nyeri leher dan punggung atas terdiri atas tatalaksana farmakologik dan non
farmakologik. Tatalaksana non-farmakologik antara lain:
Modalitas
Modalitas fisik digunakan pada fase akut untuk membantu mengatasi nyeri.
Panas
Panas superfisial dapat memberi relaksasi dan mengurangi nyeri. Pemanasan dalam (deep
heating) seperti ultrasound sebaiknya dihindari pada fase akut karena dapat menambah
radang saraf yang bengkak sehingga menambah nyeri.14
TENS
TENS atau Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation, adalah bentuk elektroanalgesia
22
menggunakan stimulasi listrik frekuensi-tinggi intensitas-rendah dengan rentang 50100 Hz.
Menurut teori kendali gerbang Melzack dan Wall, TENS secara khusus di tingkat tanduk
dorsal mengaktifkan serabut A-beta perifer sehingga memodulasi serabut A-delta dan C yang
mengangkut nyeri. Di samping itu TENS diperkirakan melepas opioid endogen di situs
susunan saraf pusat (CNS). TENS frekuensi rendah meningkatkan pelepasan metencephalin
dan beta-endorphin. TENS frekuensi-tinggi menyebabkan peningkatan dynorphin A.15
Traksi
Traksi servikal dapat membantu mengurangi gejala yang berkaitan dengan penekanan
akar saraf. Hot packs, massage, atau stimulasi listrik, atau kombinasi modalitas tersebut
harus diberikan sebelum traksi untuk membantu mengurangi nyeri dan memberi relaksasi
otot.16 Traksi servikal dapat dilakukan dengan menggunakan beban berat secara intermiten
atau beban ringan secara kontinu. Posisi leher dalam fleksi. Traksi servikal juga dapat
diberikan melalui tarikan manual. Pemisahan vertebra posterior dimungkinkan berkaitan
dengan sudut tarikan dan pemisahan maksimum terjadi pada fleksi 24°.16 Beban sekurangnya
10 lb (4 kg) diperlukan untuk melawan efek gravitasi pada kepala, dan tarikan sebesar 25 lb
(10 kg) diperlukan untuk meluruskan kurva lordotik servikal serta pemisahan awal segmen
vertebra posterior. Setelah dipastikan bahwa pasien mendapat manfaat traksi maka
penggunaan traksi rumah dengan beban ringan secara kontinu dapat disarankan.2
Kontraindikasi absolut untuk traksi adalah keganasan; penyakit infeksi seperti TBC,
osteomielitis atau discitis; osteoporosis; rheumatoid arthritis; penekanan medulla spinalis;
hamil; dan hipertensi atau penyakit kardiovaskuler. Herniasi diskus tengah (midline) daerah
servikal juga merupakan kontraindikasi karena traksi dapat menarik medulla sampai kontak
dengan diskus. Traksi harus dihentikan apabila terjadi mual, pusing, eksaserbasi disfungsi
sendi temporomandibuler, atau peningkatan nyeri di jaringan lunak leher.
Ortosis
Soft collar disarankan pada cedera akut jaringan lunak leher dan untuk jangka pendek.
Terdapat risiko keterbatasan ROM atau kehilangan kekuatan otot leher apabila lama
23
digunakan.17 Philadelphia collar yang lebih keras dapat diberikan pada malam hari waktu
tidur untuk memberikan posisi yang lebih rigid dan membantu mencegah penyempitan
foramina dengan menghindari ekstensi servikal. Soft collar masih memungkinkan gerakan
servikal fleksi/ekstensi 74,2°, fleksi lateral 92,3° dan rotasi 82,6°; sedangkan Philadelphia
collar memungkinkan fleksi/ekstensi 28,9°, fleksi lateral 66,4° dan rotasi 43,7°. 18
Massage dan Manipulasi
Manipulasi dan mobilisasi spinal digunakan untuk mengembalikan ROM normal dan
mengurangi nyeri. Walaupun belum ada penjelasan yang tepat tentang kerja manipulasi,
beberapa percaya bahwa penyesuaian sendi zygapophyseal memperbaiki signal aferen dari
mekano- reseptor ke sistem saraf perifer dan sentral.19 Normalisasi impuls aferen
memperbaiki tonus otot, mengurangi muscle guarding, dan metabolisme jaringan lokal lebih
efektif. Modifikasi fisiologis tersebut memperbaiki ROM dan mengurangi nyeri. Massage
mempunyai efek mekanik, refleks, neurologik dan psikologik. Tujuan terapi adalah memberi
sedasi dan relaksasi otot.
Stabilisasi
Stabilisasi servikotorasik merupakan program rehabilitasi yang dirancang untuk
membatasi nyeri, memaksimalkan fungsi, dan mencegah cedera lebih lanjut.2 Stabilisasi
termasuk fleksibilitas spina servikal, re-edukasi postur dan penguatan.
Program tersebut menekankan partisipasi aktif pasien. Mengembalikan ROM normal dan
postur yang baik diperlukan untuk menghindari mikrotrauma berulang pada struktur servikal
akibat pola gerak yang buruk. ROM penuh dibutuhkan untuk melatih spina servikotorasik
dalam stabilisasi selama bermacam aktivitas. ROM bebas nyeri ditentukan dengan
meletakkan spina servikal pada posisi yang mengurangi gejala. Awalnya, stabilisasi dimulai
dengan menentukan ROM bebas nyeri kemudian diaplikasikan di luar ROM sewaktu kondisi
pasien membaik. Pembatasan apapun pada jaringan lunak atau sendi harus diterapi untuk
membantu mencapai ROM spina servikal yang normal. Hal tersebut dicapai melalui latihan
ROM pasif, mobilisasi spina, teknik mobilisasi jaringan lunak, peregangan-sendiri, dan
24
mengatur postur yang benar. Pelatihan postur dilakukan dengan pasien duduk atau berdiri di
depan cermin. Kemudian melakukan berbagai fungsi pindah tempat (transfer) dengan mem-
pertahankan neutral spine (postur yang benar) menggunakan umpan balik dari cermin.
Tujuannya adalah mengajarkan cara mempertahankan posisi neutral spine dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Keterampilan proprioseptif tersebut diterapkan saat latihan penguatan
yang akan membuat pasien mampu mempertahankan spina servikal dalam posisi stabil,
bebas-nyeri dan aman saat melakukan aktivitas berat. Latihan penguatan otot harus
memperhatikan kondisi umum dan nyeri. pemberian analgesik/NSAID disinkronkan dengan
waktu latihan sehingga latihan dapat maksimal.
Kegagalan dalam Tatalaksana Nyeri Servikal2
1. Tempat tidur terlalu keras; akan menambah banyak rasa sakit dan nyeri, demikian juga
bantal yang terlalu keras; gunakan bantal yang dapat dibentuk.
2. Penggunaan berlebihan relaksan otot; yang hanya bermanfaat pada pasien yang tegang
dan konsisten tidak dapat merelaksasikan otot secukupnya untuk mencapai
penyembuhan, karena obat tersebut bekerja sentral untuk merelaksasi pasien daripada
memberi efek langsung pada otot.
3. Penggunaan berlebihan obat nyeri; terutama analgesik narkotik, sebaiknya digunakan
hanya untuk jangka pendek.
4. Latihan dimulai terlalu dini; cedera akut muskuloskeletal dan kondisi pada leher
membutuhkan waktu penyembuhan sekitar 6 minggu sehingga latihan yang terlalu berat
dapat menambah cedera.
5. Istirahat atau inaktivitas terlalu lama/berkepanjangan; dapat menyebabkan atrofi otot dan
keterbatasan gerak sendi yang berakibat sindroma dekompensasi.
6. Penggunaan berlebihan ortosis servikal; sebaiknya ortosis hanya digunakan untuk waktu
singkat.
7. Kegagalan mendeteksi sindrom nyeri kronik; yang tidak berespons terhadap pola
pengobatan medis.
25
8. Kegagalan mendeteksi depresi; depresi dapat menambah nyeri.
9. Ketergantungan berlebihan pada pencitraan; diperlukan korelasi anatomik dari pencitraan
dengan pemeriksaan fungsi fisiologik atau simptomatik.
10. Kegagalan mendeteksi gangguan tidur; dapat menambah gejala nyeri.
Penutup
Spina servikal adalah struktur kompleks yang dapat mengalami perubahan patologik
menyebabkan nyeri dan kecacatan. Keberhasilan pengobatan sangat tergantung pada
pembuatan diagnosis yang tepat, memberikan pengobatan yang tepat, serta melakukan
pencegahan. Klinisi harus menentukan diagnosis, mengidentifikasi pembangkit nyeri dan
melakukan tatalaksana yang tepat. Segera setelah nyeri teratasi pengobatan dilanjutkan
secara non-medikamentosa berupa latihan fleksibilitas, penguatan dan ketahanan.
Pencegahan untuk nyeri selanjutnya ditekankan saat proses pemulihan melalui mekanisme
tubuh yang benar, postur dan latihan. Tidak kalah pentingnya adalah modifikasi ergonomik
di tempat kerja atau di rumah untuk mencegah cedera selanjutnya.
26
Daftar Pustaka
1. Caillet R. Neck and Arm Pain, 3rd ed., Philadelphia: F.A.Davis, 1991.
2. Lagattuta FP, Falco FJE. Assessment and Treatment of Cervical Spine Disorders. In:
Braddom RL. Physical Medicine & Rehabilitation. Philadelphia; W.B.Saunders Co.,
1996.p.728-55.
3. Holdsworth F. Fractures dislocations, and fracture-dislocations of the spine. Current
Concepts Rehab Med. 4: fall-winter, 1988.
4. White AA, Panjabi MM. Clinical Biomechanics of the Spine, JB Philadelphia. Lippincott,
1978.
5. Lind B, Schlbom H, Nordwall A, et al: Normal range of motion in cervical spine. Arch
Phys Med Rehabil 1989;70:692-695.
6. Dory M: Arthrography of the cervical facet joint. Radiology 1983;148:379-382.
7. Hayashi K, Yabuki T: Origin of the uncus and of Luschka’s joint in the cervical spine. J
Bone Joint Surg Am 1985;67:788-791.
8. Hollinshead WH, Jenkins DB. Functional Anatomy of the Limbs and Back, ed 5. WB
Saunders, Philadelphia, 1981 .p.218.
9. Hunter CR, Mayfield FH. Role of the upper cervical roots in the production of pain in the
head. Am J Surg 1949;78:743.
10. Bogduk N. The clinical anatomy of the cervical dorsal root. Spine 1982;7:4.
11. Sarno J. Mind over Back Pain. New York, William Morrow Co., 1984.
12. Anrep GJ, Saalfield EV. The blood flow-through skeletal muscle in relation to its
contraction. J Physiol; 1935 ;85:375.
13. Barcroft H, Millen JLE: The blood flow-through muscle during contraction. J Physiol
1948; 107:518.
14. Lehmann J, deLateur BJ: Diathermy and superficial heat and cold therapy. In Kottke EJ,
Stillwell GK, Lehmann JF (eds): Krusen’s Handbook of Physical Medicine and
Rehabilitation. Philadelphia: WB Saunders; 1982.p.275-350.
27
15. Mysiw JW, Jackson RD. Electrical Stimulation. In Braddom RL. Physical Medicine &
Rehabilitation, Philadelphia, W.B.Saunders Co., 1996.p.464-491.
16. Colachis S, Strohm B. Cervical traction: Relationship of traction time to varied tractive
force with constant angle of pull. Arch Phys Med Rehabil 1965;46:815.
17. McKinney LA. Early mobilization of acute sprain of the neck. Br Med J 1989;299:1006-
1008.
18. Johnson RM, Hart DL, Simmons EF, et al: Cervical orthoses: a study comparing their
effectiveness in restricting cervical motion in normal subjects. J Bone Joint Surg (Am)
1977;59:332.
19. Roeske R: The new vertebral subluxation. J Chiropractic 1993; 30:19-24.
20. Barnsley L, Lord S, Bogduk N: Pathophysiology of whiplash. State Art Rev Spine
1993;7:330.
21. Bogduk N, Marsland A: On the concept of third occipital headache. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 1986;49:775-780.
22. Davis SJ, Teresi LM, Bradley WG, et al: Cervical spine hyperextension injuries: MR
findings. Radiology 1991;180:245-251.
23. Boden SD, McCowin PR, Davis DO, et al: Abnormal magnetic resonance scans of the
cervical spine in asymptomatic subjects. J Bone Joint Surg Am 1990;72:1178-1184.
24. Rydevik B, Brown M, Lundborg G. Pathoanatomy and pathophysiology of nerve root
compression. Spine 1984;9:7-15.
25. Gore D, Sepic S. Anterior cervical fusion for degenerated or protruded discs. Spine
1984;9:667.
26. Bohlman HH, Emery SE. The pathophysiology of cervical spondylosis and myelopathy.
Spine 1988;13:844.
27. Russell E. Cervical disc disease. Radiology 1990;177:313-325.
28. Penning L. Differences in anatomy, motion development and aging in the upper and
lower cervical disc segments. Clin Biomech 1991;3:37-47.
28
29. Juliantoro : Uji Klinik Buta Ganda Teracak untuk membandingkan Emul Gel Diklofenak
Dietilamonium dengan Gel Reguler sebagai media kontak Terapi Ultrasound Diatermi
pada Gangguan Nyeri Penderita Osteoartrosis Servikal di Unit Rehabilitasi Medik
RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Penelitian Akhir, Program Studi Ilmu Rehabilitasi
Medik FKUI, 1995.
30. Travell JG, Simons DG. Myofascial pain and dysfunction: The trigger point manual.
Baltimore, William & Wilkins; 1983.
31. Thompson JM. The Diagnosis and Treatment of Muscle Pain Syndromes. In Braddom
RL. Physical Medicine & Rehabilitation. Philadelphia; W.B.Saunders Co., 1996.p.893-
914.
32. Simons DG. Muscular pain syndromes. In: Fricton JR, Awad EA. Advances in Pain
Research and Therapy, vol 17: Myofascial Pain and Fibromyalgia. New York: Raven
Press; 1990.p.1-41.
29