new Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia.docx
-
Upload
indah-setia -
Category
Documents
-
view
475 -
download
41
Transcript of new Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia.docx
MAKALAH
LEGALISASI DAN KODIFIKASI HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Fiqh dan Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Fatma Amalia, S.Ag.
Disusun Oleh:
1. Umi Rusiani (090800
2. Gita Rahmawati (10670018)
3. Muhammad Ainul Imdad (10670041)
4. Aprilia Ike Nurwijayanti (10670054)
PRODI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012/2013
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq, hidayah, serta inayah-Nya sehingga makalah dengan judul: LEGALISASI
DAN KODIFIKASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA dapat terselesaikan tepat
pada waktunya tanpa mengalami hambatan. Makalah ini disusun sebagai salah satu
tugas kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mendapatkan bantuan ataupun masukan
dari berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat terealisasikan. Untuk itu penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada Ibu Fatma Amilia, S.Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan kami
memohon maaf karena kami insan biasa.
Yogyakarta, 17 Desember 2012
Penulis
PENDAHULUAN
Di Indonesia berlaku hukum Adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dua. Pertama hukum Islam yang berlaku
secara yuridis formal, yang kedua hukum Islam yang berlaku secara normatif.
Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal adalah (sebagian) dari
hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat yang dirangkum dalam istilah muamalah. Bagian hukum Islam ini
menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-
undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum
wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal memerlukan bantuan
penyelenggara negara untuk menjalankan secara sempurna, misalnya mendirikan
peradilan agama yang menjadi salah satu unsur sistem peradilan di negara kita.
Hukum Islam yang berlaku normatif adalah (bagian) hukum Islam yang
mempunyai sanksi atau padahan hukum masyarakat muslim mengenai norma hukum
Islam yang bersifat normatif itu. Untuk melaksanakan hukum Islam yang beersifat
normatif yang pada umumnya tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara. Di
antaranya adalah kaidah-kaidah hukum Islam mengenai pelaksanaan ibadah shalat,
puasa, zakat, dan haji, yakni yang termasuk dalam kategori hukum Islam bidang
ibadah murni. Hampir semua bagian hukum Islam yang mengatur manusia dengan
Tuhan berlaku secara normatif di tanah air kita. Namun, karena sifatnya yang unik,
ada juga hukum Islam bidang ibadah murni ini yang memerlukan bantuan
penyelenggara negara untuk melaksanakannya secar sempurna yakni hukum Islam
mengenai ibadah ahaji dan zakat misalnya.
Di samping itu, keinsafan akan halal haramnya suatu perbuatan atau benda,
merupakan landasan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang beragama Islam untuk
tidak melakukan suatu perbuatan seperti judi, mencuri berzina, dan memakan sesuatu
benda hasil produksi bahan makanan yang diragukan kehalalannya. Dijalankan
tidaknya hukum Islam yang bersifat normatif itu tergantung pada tingkatan iman dan
takwa serta akhlak umat Islam sendiri.
PEMBAHASAN
A. Legalisasi Hukum Islam di Indonesia
Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal
dalam Negara Republik Indonesia, pada tanggal 18 Desember 1988 Presiden
Republik Indonesia menyampaikan Rancangan Undang-undang Peradilan Agama
pada DPR untuk dibicarakan dan disetujui sebagai undang-undang menggantikan
semua peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama yang tidak sesuai
lagi dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 14
Kehakiman.
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji dengan
berbagai wawasan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
kita, akhirnya pada hari kamis tanggal 4 Desember 1989 rancangan undang-undang
itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Republik Indonesia tentang
Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, Undang-undang tersebut
disahkan menjadi Undang-undang No.7 Tahun 1989 oleh presiden RI,
diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat
dalam Lembaran Negara No.49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa
penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, tetapi juga
bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah dengan disahkannya Undang-
undang itu, semakin mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan, kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan
hukum, berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, pewarisan, wasiat, hibah, wakaf
dan shadaqah yang telah menjadi hukum positif di tanah air.
B. Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, perlu dicatat bahwa
hukum Islam telah berhasil dikodifikasikan dalam bentuk aturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia atau bisa dikatakan bahwa hukum Islam telah
berhasil memasuki fase taqmin (fase pengundangan). Fase ini dimulai sejak
disahkannya UU Perkawinan No 1/ 1974, karena banyak sekali ketentuan fiqih
tentang perkawinan yang telah ditransformasikan ke dalam undang-undang
tersebut meskipun dengan beberapa modifikasi.
Undang-undang Perkawinan yang diundangkan dalam lembaran negara RI
No.1 tahun 1974 ini berisi 14 bab 67 pasal. Berikut ini akan dipaparkan muatan
bab yang ada dalam UU No.1/ 1974:
Bab I : Dasar Perkawinan
II : Syarat-syarat Perkawinan
III : Pencegahan Perkawinan
IV : Batalnya Perkawinan
V : Perjanjian Perkawinan
VI ; Harta Benda dalam Perkawinan
VII : Hak dan Kewajiban Suami
VIII : Putusnya Perkawinan serta Akibatnya
IX : Kedudukan Anak
X : Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
XI : Perwalian
XII : Ketentuan-ketentuan Lain
Bagian Pertama : Pembuktian asal-usul anak
Bagian Kedua : Perkawinan di luar Indonesia
Bagian Ketiga : Perkawinan campuran
Bagian Keempat : Pengadilan
XIII : Ketentuan Peralihan
XIV : Ketentuan Penutup
Keluarnya Undang-undang Perkawinan itu diikuti oleh PP No.9/ 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1/ 1974 dan PP No.10/ 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Beberapa tahun kemudian
tepatnya pada tahun 1989 telah dikeluarkan Undang-undang yang menjadikan
perubahan mendasar bagi kehidupan umat Islam terutama dalam lingkungan
Peradilan Agama.Undang-undang itu adalah UU N0.7/ 1989 tentang Peradilan
Agama.
Adapun perubahan penting dan mendasar dengan disahkannya UU ini
antara lain:
1. Peradilan Agama telah menjadi Peradilan yang mandiri, sejajar dengan
peradilan lainnya.
2. Nama, susunan dan wewenang serta hukum acaranya telah seragam di
seluruh Indonesia. Hal ini akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan
kepastian hukum di lingkungan Peradilan Agama.
3. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum
Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan
hukum nasional melalui yurisprudensi.
Undang-undang Peradilan Agama yang diundangkan dalam lembaran negara RI
No.49 Tahun 1989 ini berisi 7 bab 108 pasal. Adapun muatan babnya adalah
sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum
II : Susunan Pengadilan
III : Kekuasaan Pengadilan
IV : Hukum Acara
Bagian Pertama : Umum
Bagian Kedua : Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Bagian Ketiga : Biaya Perkara
V : Ketentuan Lain
VI : Ketentuan Peralihan
VII : Ketentuan Penutup
Dengan disahkannya UU No.7 Tahun 1989 ini, maka dibutuhkan referensi atau
kitab materi yang sama guna memenuhi bagian dari perangkat peradilan. Berkaitan
dengan hal tersebut maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang terdiri dari:
Buku I : Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab.
II : Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab.
III : Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab.
Menindaklanjuti instruksi tersebut, Menteri Agama pada tanggal 22 Juli 1991
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Selanjutnya melalui
Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli
1991 No. 3694/ EV/ HK.003/ AZ/ 91 KHI disebarluaskan kepada semua Ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.
C. Contoh Hukum Islam yang Sudah Dilegalkan
1. Hukum Perkawinan
Berdasarkan konsepsi perkawinan menurut pasal 1 ayat (1) UU No.1 Tahun
1974 bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
a. Unsur-unsur Perkawinan menurut UU No.1/ 1974
Ada beberapa unsur di dalam perkawinan, yaitu:
1) Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang artinya bahwa secara
formal (lahiriyah) adalah merupakan suami istri dan kedua-duanya
betul-betul mempunyai niat (batin) untuk hidup bersama sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2) Merupakan ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri, ini berarti UUP menganut monogami meskipun beberapa
pengecualian.
3) Bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan
bahagia, ini berarti pada prinsipnya perkawinan hendaknya
berlangsung seumur hidup sehingga perceraian harus dihindarkan.
Namun demikian UUP juga tidak menutup kemungkinan terjadi
perceraian, hanya dipersukar.
4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa norma-
norma agama dan kepercayaan harus bercermin dan menjiwai
keseluruhan peraturan yang menyangkut perkawinan, bahkan norma/
agama kepercayaan itu menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan.
b. Asas dan Prinsip Perkawinan menurut UU No.1/ 1974
Di dalam UUP ini terdapat pula asas-asas atau prinsip-prinsip mengenai
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan
dan tuntutan zaman. Asas dan prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
untuk itu suami istri harus saling membantu dan melengkapi satu sama
lain, agar dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai
kesejahteraan spiritual dan material berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
2) Bahwasanya perkawinan adalah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan.
3) Bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan dan
perundangan yang berlaku.
4) Asas perkawinan adalah monogami, kecuali bagi suami yang
agamanya memperbolehkan dapat kawin lebih dari satu dengan seijin
peradilan.
5) Perkawinan harus atas persetujuan kedua belah pihak tanpa ada
paksaan.
6) Calon istri haruslah masak jiwa dan raganya.
7) Hal dan kedudukan antara suami dan istri adalah seimbang.
c. Sahnya Perkawinan menurut Hukum Islam
Syarat Umum: perkawinan tidak dilakukan yang bertentangan dengan
larangan perkawinan yang berbeda agama.
Syarat Khusus:
1) Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.
2) Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil baligh dan sehat jasmani
rohani.
3) Harus ada wali nikah.
4) Harus membayar mahar/ mas kawin.
5) Harus ada dua orang saksi yang Islam, dewasa dan adil.
6) Adanya ijab dan qabul.
d. Sahnya Perkawinan menurut UU No.1/ 1974
Mengenai hal ini secara tegas pasal 2 ayat 1 UU No.1/ 1974 menyatakan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan pasal 2 ayat
2 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku. Terhadap pasal 2 UUP tersebut, terdapat dua
macam penafsiran, yaitu:
Pertama: terdapat yang memisahkan pasal 2 ayat 1 dengan ayat 2,
sehingga sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan, sedangkan pendaftaran hanyalah merupakan
syarat administrasi. Ini berarti bahwa perkawinan antara orang-orang yang
beragama Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya.
Kedua: pendapat yang menyatakan antara pasal 2 ayat 1 dan 2 merupakan
satu kesatuan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. Pendapat ini
didasarkan pada penafsiran sosiolog dan dikaitkan dengan akibat hukum
dari perkawinan.
2. Hukum Kewarisan
Persoalan yang berkembang dalam hal kewarisan ini, jika diperhatikan
berkisar antara dua sistem hukum yang saling berkompetisi yaitu antara
hukum adat yang sering disebut sebagai hukum asli masyarakat Indonesia
yang lebih mencerminkan rasa keadilan, dan di lain pihak hukum Islam
dengan hukum yang lebih adil karena buatan Tuhan Yang Maha Kuasa. Di
Indonesia dijumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu:
a. Sistem kewarisan individual, yang cirinya bahwa harta peninggalan dapat
dibagi-bagikan kepada pemiliknya di antara para ahli waris, seperti pada
masyarakat bilateral di Jawa dan masyarakat patrilial di Tanah Batak.
b. Sistem kewarisan kolektif yang cirinya bahwa harta peninggalan itu
diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan
hukum yang disebut harta pusaka yang tidak boleh dibagi-bagikan
pemiliknya di antara ahli waris, dan hanya boleh dibagi-bagikan
pemakaiannya kepada mereka, seperti pada masyarakat patrilinial di
Minangkabau.
c. Sistem kewarisan mayorat, di mana anak tertua pada saat matinya si
pewaris tunggal berhak untuk mewarisi sejumlah harta pokok dari satu
keluarga, seperti dalam masyarakat patrilinial di Bali.
Ayat-ayat di dalam Al-Quran mengandung prinsip-prinsip bagi
kewarisan dengan system individual, yaitu para ahli waris yang masing-
masing berhak atas suatu bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib
dibagikan kepada mereka. Menurut hasil ijtihad, Prof.Dr. Hazairin membagi
ahli waris menurut Al-Quran menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Dzawul faro’id
Ahli waris langsung mendapat bagian tetap tetentu yang tidak berubah-
ubah, yang terdiri dari:
1) Anak perempuan yang tidak didampingi oleh anak laki-laki atau
mewakili mendiang anak laki-laki faro’idnya ½ jika hanya seorang,
dan 2/3 jika lebih.
2) Ayah faro’idnya 1/6 jika si pewaris berketurunan.
3) Ibu faro’idnya 1/3 jika si pewaris tidak berketurunan dan 1/6 jika si
pewaris berketurunan.
4) Saudara laki-laki atau perempuan jika seorang faro’idnya 1/6, jika
lebih bersama-sama 1/3.
5) Saudara perempuan jika seorang faro’idnya ½, jika lebih dari seorang
2/3 yaitu jika si pewaris mati punah dan tidak ada ayah saudara laki-
laki atau keturunannya.
b. Dzawul Qoroat
Yaitu ahli waris langsung, dengan bagian terbuka dan terdiri:
1) Anak laki-laki dan perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki
atau keturunannya.
2) Ayah jika si pewaris mati punah.
3) Saudara laki-laki dan saudara perempuan yang didampingi oleh
saudara laki-laki atau keturunannya jika si pewaris mati punah.
4) Datuk dan nenek.
c. Mawali
Yaitu waris pengganti, dengan bagian terbuka dan terdiri dari:
1) Mawali untuk mendiang dzawul faro’id.
2) Mawali untuk mendiang dzawul karabat.
Meskipun hukum waris di Indonesia masih menjadi persoalan yang
berkepanjangan antara hukum Islam dan hukum adat, namun secara diam-
diam hukum waris Islam telah banyak diterapkan bagi yang beragama Islam,
meskipun dengan berbagai variasi dari adatnya masing-masing. Berdasarkan
hasil penelitan yang dilakukan oleh beberapa instansi maupun perorangan,
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama
Islam cenderung untuk menerapkan hukum waris Islam. Beberapa hasil
penelitian itu antara lain:
a. Penelitian yang dilakukan oleh BPHN, bekerja sam dengan FH UI pada
tahun 1977/1978 di Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jakarta dan Jabar.
b. Penelitian oleh instansi yang sama pada tahun 1978/1989 di Jakarta Barat,
kota Cirebon, kota Serang, kota Pekalongan, kota Semarang, kota
Surabaya, kota Malang, kota Mataram dan sekitarnya, NTB dan
Banjarmasin.
c. Laporan pewarisan di KalSel IAIN Antasari Banjarmasin (1980)
Dari ketiga penelitian tersebut terdapat kesimpulan:
a. Masyarakat Islam pada lokasi tersebut sebagian besar keinginan
menerapkan hukum kewarisan Islam.
b. Jika terjadi perkara pewarisan mereka cenderung ke Pengadilan Agama.
c. Sebagian besar masyarakatnya menginginkan pengangkatan anak tetapi
dalam pengertian anak pemeliharaan yang tidak berhak mendapatkan
warisan, hanya sekedar pemberian.
3. Hukum Perwakafan
Perwakafan tanah merupakan salah satu masalah yang penting dalam
rangka hubungan antara Islam dengan hukum nasional (agraria). Dikatakan
penting, karena wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan di bdan agrarian
yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupan
keagamaan, khususnya umat Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan
masyarakarat, baik spiritual maupun materil menuju masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Mengingat betapa pentingnya masalah perwakafan tanah milik
tersebut, UUPA dengan UU No.5/ 1960 mengatur masalah khusus. Masalah
ini dalam pasal 49 ayat (3) yang berbunyi bahwa perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Pemerintah-pemerintah
yang dimaksud baru keluar dalam waktu yang lama yaitu pada tahun 1977
dengan PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah. Dengan
dikeluarkannya PP No.28/ 1977, bahwa yang dimaksud dengan perwakafan
tanah dalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebgaian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya demi kepentingan dan keperluan
umum.
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab wakf yang menurut bahasa
berarti menahan. Menurut istilah wakaf berarti menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang
mubah, serta dimaksudkan untuk ridho Allah SWT. Dengan demikian, yang
dinamakan wakaf adalah menyediakan suatu harta benda yang hasilnya
dipergunakan untuk keselamatan umum.
Menurut hukum Islam, untuk adanya wakaf harus dipenuhi empat
unsur, yakni sebagai berikut:
a. Ada yang berwakaf (wakif).
b. Ada harta yang diwakafkan.
c. Ada tempat di mana diwakafkan harta itu atau tujuan dari wakaf itu.
d. Adanya saksi sebagai pernyataan wakaf (sighot) dan dapat merupakan
timbang terima harta wakaf dari tangan si wakaf kepada orang atau tempat
berwakaf (simauqul alaihi).
KESIMPULAN
Pada tanggal 29 Desember 1989 Undang-undang No.7 Tahun 1989
disahkan oleh presiden RI, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri
Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara No.49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa penting
bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, tetapi juga bagi umat
Islam di Indonesia.
Dengan disahkannya UU No.7 Tahun 1989 ini, maka dibutuhkan
referensi atau kitab materi yang sama guna memenuhi bagian dari perangkat
peradilan. Berkaitan dengan hal tersebut maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden
No.1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari:
Buku I : Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab.
II : Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab.
III : Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab
Adapun contoh hukum Islam yang telah dilegalkan adalah hukum perkawinan,
hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 1998. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.
Bandung: Logos.
Sumitro, Warkum, K.N Sofyan Hasan. 1994. Dasar-dasar Memahami Hukum Islam
di Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.
Yusuf, Muhammad. 2005. Fiqih dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
SUKA.