NEJM - Intramuscular vs Intravenous Therapy for Prehospital Status Epilepticus
description
Transcript of NEJM - Intramuscular vs Intravenous Therapy for Prehospital Status Epilepticus
TERAPI INTRAMUSCULAR VS INTRAVENA UNTUK PREHOSPITAL
STATUS EPILEPTICUSRobert Silbergleit, M.D., Valerie Durkalski, Ph.D., Daniel Lowenstein, M.D., Robin Conwit, M.D.,
Arthur Pancioli, M.D., Yuko Palesch, Ph.D., and William Barsan, M.D., for the NETT Investigators*
ABSTRAK
Latar Belakang
Terminasi secepatnya untuk kejang yang berkepanjangan dengan pemberian benzodiazepine
intravena dapat meningkatkan outcome. Untuk pemberian yang lebih cepat dan baik,
paramedik mulai meningkatkan penggunaan obat dengan pemberian jalur intramuskular.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian double-blind, randomisasi, noninferiority yang
membandingkan efisiensi midazolam intramuskular dengan lorazepam intravena untuk anak
dan orang dewasa yang mengalami status epilepticus yang diobati oleh paramedis. Subjek
yang mengalami kejang menetap selama lebih dari 5 menit dan tetap kejang hingga
paramedis datag untuk memberikan obat penelitian baik pemberian autoinjeksi intramuskular
atau infus itnravena. Outcome utama adalah hilangnya kejang pada saat pasien datang ke
bagian IGD tanpa membutuhkan terapi darurat. Outcome sekunder merupakan pemakaian
intubasi endotrakea, kejang berulang, dan waktu yang dibutuhkan untuk menghentikan
kejang. Penelilitian ini menguji hipotesis terkait pemberian midazolam intramuskular yang
sama baiknya dengna pemberian lorazepam intravena dengan batas nilai 10 persen.
Hasil
Pada saat pasien datang ke bagian IGD, kejang yang berhenti tanpa membutuhkan terapi
darurat terjadi pada 329 dari 448 pasien (73.4%) pada kelompok yang diberikan midazolam
intramuskular dan 282 dari 445 (63.4%) pada kelompok yang diberikan lorazepam intravena
(perbedaan poin absolut 10 persen; 95% confidence itnerval, 4.9-16.1; p < 0.001 untuk 1
inferioritas dan superioritas). Kedua kelompok pengobatan mempunyai nilai yang sama
terkait ke butuhan penggunaan intubasi endotrakea (14.1% pada pasien yang mendapatkan
midazolam intramuskular dan 14.4% pada lorazepam intravena) dan kejang berulang (11.4%
dan 10.6%). Diantara pasien dengan kejang yang berhenti sebelum sampai ke bagian IGD,
waktu median yang dibutuhkan untuk pengobatan aktif adalah 1.2 menit pada pemberian
midazolam intramuskular dan 4.8 menit pada pemberian lorazepam intravena, dengan waktu
median untuk pengobatan aktif yang dibutuhkan agar kejang berhenti adalah 3.3 menit dan
1.6 menit diantara kedua kelompok. Kejadian efek samping serupa di antara kedua kelompok.
Kesimpulan
Untuk pasien dengan status epileptikus, pemberian midazolam intramuskular tidak terlalu
aman dan efektif dibandingkan pemberian lorazepam intravena untuk penghentian kejang
sebelum perawatan.
2
Terminasi dini untuk kejang epilepsi yang berkepanjangan dengan menggunakan
pemberian benzodiazepin intravena oleh paramedis sebelum daang ke rumah sakit
dihubungkan dengan outcome pasien yang lebih baik. Penelitian randomisasi dengan kontrol
terkait Prehospital Treatment of Status Epilepticus (PHTSE0 yang membandingkan
diazepam, lorazepam, dan placebo yang diberikan secara intravena oleh paramedis untuk
mengobati pasien dengan kejang yang berkepanjangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kedua obat benzodiazepine ini terbukti efektif untuk pengobatan prehospital untuk kejang,
dibandingkan dengan placebo. Jumlah pasien yang mengalami dan dapat dihentikan pada
waktu datang ke IGD adalah 59.1% pada kelompok yang menerima lorazepam intravena,
42.6% pada kelompok yang menerima diazepam intravena, dan 21.1% pada kelompok yang
menerima placebo ntravena.
Banyak Sistem Pelayanan Kesehatan Darurat (Emergency Medical Service [EMS]),
yang memulai pemberian midazolam intramuskular dibandingkan pemberian obat intravena,
dan kebanyakan karena pemberian jalur intramuskular tergolong lebih cepat dan mudah
dilakukan. Praktik ini mulai meningkat walaupun masih mengalami keterbatasan data
penelitian klinis terkait efisiensi dan tingkat keamanan pada pemberian midazolam
intramuskular. Walaupun midazolam intravena dianjurkan untuk pengobatan pada pasien
dengan kejang di IGD (dan merupakan obat yang paling efektif di penelitian PHTSE), obat
ini jarang digunakan paramedic untuk kondisi prehospital karena tergolong sulit untuk
memberikan obat secara intravena, serta waktu kerja lorazepam yang tergolong cepat jika
tidak didinginkan. Direktur EMS medis membutuhkan alternatif praktis yang setidaknya
sama amannya dan efektif dengan pemberian obat lorazepam intravena. Karenanya, peneliti
melakukan penelitian noninferiority untuk menentukan apakah pemberian intramuskular
midazolam sama efektifnya dengan pemberian intravena lorazepam, dengan tingkat kemanan
yang serupa, untuk menghentikan kejang status epilepticus sebelum pasien datang ke rumah
sakit.
METODE
Rancangan Penelitian
Rapid Anticonvulsant Medication Prior to Arrival Trial (RAMPART) melakukan
penelitian randomisasi, doubleblind, noninferiority, fase 3. Penelitian ini dirancang dan
dilakukan oleh bagian gawat darurat neurologis (Neurological Emergencies Treatment Trial
(NETT), dimana merupakan penelitian multidisiplin infrastruktur yang dibiayai oleh National
3
Institute of Neurological Disorder and Stoke (NINDS). Peneliti bertanggung jawab untuk
semua unsur dari penelitian, termasuk rancangan, pengumpulan data, dan analisis. Penulis
akan menulis artikel dan memasukkan data serta analisis. Penelitian ini dilakukan dibawah
pemantauan Food and Drug Administration (FDA) yang baru. Autoinjector dibeli oleh bagian
kemanan dan disediakan oleh NINDS melalui kesepakatan kerjasama. Bagian Keamanan
tidak mempunyai peran terkait rancangan penelitian, pengumpulan dan analisis data, atau
persiapan penulisan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan protokol yang ada, dan tersedia
dalam tulisan lengkap di NEJM.org.
RAMPART melibatkan 4314 paramedis, 33 EMS, dan 79 rumah sakit di seluruh
Amerika Serikat. Paramedis akan mendapatkan pendidikan medis terkait penanganan kejang
dan kegawatdaruratan neurologis lainnya, serta pelatihan terkait penelitian pasien dan
perlindungan serta protokol penelitian, dengan pelatihan yang baru dan dilakukan sepanjang
penelitian.
Penelitian ini memenuhi perkiraan terkait kebutuhan persetujuan medis untuk penelitian
gawat darurat berdasarkan kode FDA 21 CFR 50.24. Papan Tinjauan insititusi untuk seluruh
perlakukan penelitian ini meninjau semua aktifitas komunitas lokal, dan berdasrakan itu
dibuat peraturan terkait kebutuhan persetujuan medis dan persetujuan lainnya. Pasien atau
wakilnya akan diberitahukan terkait perjalanan penelitian oleh kelompok penelitian sesegera
mungkin, biasanya pada saat pasien masih berada di bagian IGD, dan akan memberikan
persetujuan medis tertulis agar pengumpulan data dapat dilanjutkan hingga pemantauan
selesai.
Subjek Penelitian
Populasi pasien yang diharapkan termasuk anak-anak dengan perkiraan berat badan 13
kg atau lebih dan orang dewasa yang membutuhkan pengobatan dengan benzodiazepin untuk
status epileptikus untuk perawatan prehospital. Pasien akan dimasukkan jika mereka
mengalami kejang pada waktu pengobatan sudah dilakukan oleh paramedis dan dilaporkan
oleh saksi dimana pasien megnalami kejang lebih dari 5 menit atau jika pasien masih
mengalami kejang pada saat pengobatan dengan oabt anti kejang dimulai tanpa adanya
pemulihan kesadaran dalam jangka waktu 5 menit lebih.
Pasien diekslusikan karena beberapa alasan yaitu: kejang akut disertai dengan trauma,
hipoglikemia, cardiac arrest, atau dengan denyut nadi kurang dari 40x/menit (karena kondisi
ini membutuhkan pengobatan alternatif lainnya); mempunyai riwayat alergi terhadap
4
midazolam atau lotrazepam, diketahui hamil atau merupakan seorang tahanan, sedang diobati
atau dimasukkan dalam penelitian lainnya, dimana mereka akan dikelaurkan dari penelitian
setelah dipasangkan gelang bertuliskan “RAMPART declined”.
Intervensi Penelitian
Ketika paramedis datang ke lokasi, mereka akan langsung melakukan penilaian awal
secara cepat dan melakukans tabilisasi pada pasien yang mengalami status epilepticus,
berdasarkan protokol EMS lokal. Untuk pasien yang memenuhi kriteria penelitian, paramedis
akan memulai prosedur penelitian dengna membuka kotak instrumental yang berisi obat
penelitian. Setiap kotak akan berisikan 2 kantong yang berisi obat penelitian dalam 2 warna,
satu dosis untuk satu pemberian, dimana setiap kantong berisikikan satu autoinejctor
intramuskular (Midazolam Autoinjector ;Meridian Medical Technologies) dan satu lagi
dengan sytringe intravena yang sudah diisi oleh obat penelitian (Carpuject System
[Hospiral]). Semua orang dewasa dan anak-anak dengan perkriaan berat badan lebih dari 40
kg akan mendapatkan 10 mg midazolam intramuskular diikuti dengan pemberian placebo
intravena atau pemberian intramuskular placebo diikuti pemberian 4 mg dosis intravena
lorazpeam. Pada anak dengan perkiraan berat badan 13-40 kg, pengobatan aktifnya adalah
pemberian 5 mg intramuskular midazolam atau 2 mg intravena lorazepam. Blinding dan
randomisasi sederhana dengan jumlah sampel yang sama dilakukan untuk kedua kelompok
penelitian yang didapatkan dengan penggunaan strategi double dummy, dimana setiap kotak
pengobatan diberikan secara acak oleh bagian farmasi pusat yang berisikikan obat
intramuskular yang aktif dengan placebo intravena, atau intramuskular placebo dengna obat
intravena yang aktif. Semua pasien akan dioabti dengna pemberian autoinjector
intramuskular, setelah mendapatkan jalur infus vena dan sesegera mungkin diberikan juga
pemberian obat dari syringe intravena. Pasien dipertimbangkan untuk masuk ke penelitian
ketika autoinjector intramuskular sudah diberikan, walaupun belim dipastikan apakah dosis
intramuskular sudah berhasil dimasukkan.
Rekaman suara diaktifkan pada saat kotak penelitian dibuka. Paramedis akan
diinstruksikan untuk merekam pernyataan oral ketika pemberian pengobatan intramuskular
diberikan, ketika jalur intravena didapatkan, ketika pemberian obat penelitian intravena
diasukkan, ketika perawatan darurat dilakukan, dan ketika kejang yang diobservasi akhirnya
berhenti. Setiap pernyataan akan diberikan catatan waktu berdasarkan jam yang ada di dalam
5
kotak penelitian. Paramedis juga harus menyatakan apakah pasien mengalami kejang pada
saat pasien datang ke bagian IGD.
Apabila jalur intravena sulit untuk didapatkan, paramedis diinstruksikan untuk
meneruskan percobaan setidaknya hingga 10 menit, namun mereka juga diizinjak untuk
melalukan pemasangan infus secara itnraosseus setiap saat apabila sulit mendapatkan jalur
intravena Untuk tujuan dari penelitian ini, jalur intraosseus untuk ruang vaskular juga
dipertimbangkan sama atau serupa dengan jalur itnravena. Terapi darurat, seperti yang
dijelaskan oleh protokol EMS, disarankan penggunaannya pada pasien yang tetap kejang
hingga 10 menit setelah obat penelitian terkahir dimasukkan. Jika terdapat penundaan akibat
kesulitan pencarian jalur intravena, dan pasien berhenti kejang sebelum pemberian obat
penelitian intravena, obat penelitian intravena tidak jadi digunakan. Jika kejang berlanjut
kemudian pada saat dipindahkan, terapi darurat (berdasarkan protokol lokal) akan dilakukan.
Outcome Penelitian
Outcome utama dari penelitian adalah terminasi kejang sebelum pasien sampai ke
bagian IGD tanpa membutuhkan paramedis atau terapi darurat. Pasien tidak memenuhi hal ini
jika mereka tetap megnalami kejang pada saat datang ke IGD atau jika mereka menerima
terapi darurat sebelum sampai ke IGD. Terminasi kejang pada saat kedatangan ditentukan
ebrdasarkan penilaian klinis dari dokter IGD dan berdasarkan pemeriksaan dari pasien,
perjalanan klinis, serta hasil dari pemeriksaan diagnostik rutin (Bagian 6.1 protokol).
Pengukuran hasil ini sebelumnya juga digunakan oleh PHTSE.
Kunci dari pengukuran outcome sekunder memasukkan waktu dari pembukaan kotak
penelitian untuk terminasi kejang dan waktu dari pemberian obat aktif untuk menghentikan
kejang (diantara pasien yang menglami peulihan kejang sebelum sampai ke bagia IGD),
frekuensi dan durasi dari perawatan, dan kebutuhan untuk dimasukkan ke bagian Intensive
Care Unit, frekuensi dibutuhkannya intubasi endotraeal dan kejadian kejang berulang.
Pemasangan intubasi endotracheal akut dijelaskan sebagai intubasi yang dilakukan atau
diberikan oleh personal EMS atau dilakukan dalam waktu 30 menit setelah pasien datang ke
bagian IGD. Kejang akut yang berulang dijelaskan sebagai setiap kejang lebih lanjut atau
kejang elektrografis yang membutuhkan pemberian obat antiepilepsi tambahan dalam waktu
12 jam pertawa perawatan apda pasien yang tidak mengalami kejang pada saat tiba di bagian
IGD. Efek samping serius akan dicatat dan ditinjau pada akhir penelitian untuk setiap pasien
(Lihat Tabel A2 di Supplementary Appendix, tersedia dalam NEJM.org).
6
Analisis Statistik
Tujuan utama dari penelitian ini adalah melihat jumlah pasien yang dapat dihentikan
kejangnya sebelum tiba di bagian IGD (tanpa penggunaan terapi darurat) dimana kelompok
midazolam intramuskular tidak menunjukkan efek yang lebih buruk dibandingkan kelompok
lorazepam intravena dengan jumlah yang lebih dipastikan (batas noninferioritas). Hipotesis
kosong terkait inferioritas diuji dengan menggunakan one-sided z statistic. Analisis primer
akan dilanjutkan dengan uji one-sided (secara kondisi untuk menyatakan noninferioritas)
untuk nilai kemaknaan superioritas pada tingkat 0.025, walaupun hal ini tidak dijelaskan
secara lengkap di protokol. Berdasarkan penelitian yang pernah dipublikasikan pada populasi
pasien yang sama, dan menghitung perbedaan dosis lorazempan terkait efisiensinya, peneliti
memperkirakan bahwa setelah pemberian dosis awal lorazepam intravena, kejang hanya bisa
dihentikan hanya pada 70% pasien sebelum tiba di IGD. Jumlah sampel diperkirakan
7
berdasarkan perbandingan dari nilai independent, dengan dua rancangan analisis interim
untuk menilai kebutuhan outcome primer; 90% kekuatan untuk menunjukkan tingkat
noninferioritas dari midazolam intramuskualrl dimana noninferioritas margin dengan 10 poin
persentasil dan uji one-sided dengan kemungkinan error tipe 1 adalah 0,025.
Jumlah sampel maksimal yang dibutuhkan untuk randomisasi adalah 890 pasien (445
untuk tiap kelompok pengobatan). Karena beberapa pasien mengalami episode berulang dari
status epileptikus, jumlah ukuran sampel total dinaikkan hingga 15% (1024 pasien) untuk
menghitung pemasukkan pasien ulangan yang sama (pasien sama yang masuk lagi ke dalam
penelitian tidak akan dimasukkan dalam analisis lagi). Outcome sekunder akan
membandingkan rangka superioritas dengan menggunakan penelitian two-sieded dengan
kemungkinan error tipe I kurang dari 0.05. Semua analisis dilakukan dengan intention-totreat
populasion yang dijelaskan dimana semua subjek secara acak akan menerima obat penelitian.
Analisis sensitifitas dilakukan dengan per-protoco population, yang mengekslusikan pasien
berdasarkan deviasi protokol awal” adanya kekerasan, dosis yang tidak sesuai dengan
penelitian, atau pemberian obat yang tidak benar.
8
HASIL
Subjek dan Penelitian
Antara Juni 15,2009 dan Januari 14, 2011, total 893 pasien dimasukkan (dan total 1023
pasien yang dimasukkan dengan tingkat pasien yang masuk berulang 13%) (Gambar 1).
Kedua kelompok pengobatan terbilang seimpang terkait karakteristik demografis dan klinis,
kebutuhan dosis, ada atau tidaknya riwayat epielspi, diagnosis akurat untuk status epilepticus
(vs diagnosis lainnya untuk kasus nonepileptic), dan diagnosis dair penyakit yang mendasari
status epilepticus (Tabel 1) Jumlah pasien keseluruhan yang tidak memenuhi sarat atau
tergolong hitam dari sampel populasi akan digambarkan.
Outcome Primer
Kejang yang terhenti tanpa terapi darurat pada saat kedatangan pasien ke bagian IGD
terjadi pada 329 dari 448 pasien yang dimasukkan ke dalam kelompok pengobatan aktif
midazolam intramuskular (73.4%) dan pada 282 dari 445 pasien yang masuk ke dalam
kelompok pengobatan aktif intravena lorazepam (63.4%) (perbedaan 10 pesen; 95%
confidence interval. 4.0-16.1;P< 0.01 untuk noninferioritas dan P < 0.001 untuk superioritas
(Gambar 2). Hasil utama serupa pada analisis per-protocol. Tabel 2 menunjukkan jumlah
pasien yang mengalami kejang pada saat tiba di bagian IGD dan jumlah terapi darurat yang
dibutuhkan. Pasien yang secara acak dimasukkan ke dalam kelompok intramuskar setidaknya
mengalami kejang yang lebih sedikit pada saat tiba di bagian IGD (tanpa mempertimbangkan
penggunaan terapi darurat atau tidak) dibandingkan pasien yang secara acak dimasukkan ke
dalam kelompok intravena (jumlah pasien tanpa kejang, 83.9% vs 76.2%; perbedaan, 7.7
persen; 95% CI, 2.5-12.9). Kesulitan untuk memulai infus intravena diperkirakan sebagai
alasan utama untuk kegagalan terapi intravea. Diantara pasien dalam kelompok intravena
yang tidak memenuhi outcome primer, 31 tidak pernah menerima obat intravena karena
kegagalan untuk mendapatkan jalur vaskular, dimana 5 dari semua kelompok intramuskular
tidak mendapatkan obat intramuskular karena kegagalan fungsi atau penyalahgunaan
autoinjector.
Outcome Sekunder dan Tingkat Keamanan
11
Outcome dan tingkat keamanan sekunder serupa dengan outcome primer dan
memperkuat temuan bahwa pemberian midazolam intramuskular sama baiknya dengan
pemberian intravena lorazepam. Frekuensi penggunaan intubasi endotrakea, kejang berulang,
dan ouctome tingkat kemanan lainnya juga seripa pada kedua kelompok penelitian (Tabel 2).
Diantara pasien yang masuk ke rumah sakit, wakt yang dibutuhkan untuk perawatan di
intensive care unit dan rumah sakit tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna diantara
kedua kelompok, namun jumlah pasienyang masuk biasanya lebih sedikit (jumlah pasien
yang keluar dari IGD biasanya lebih tinggi) pada kelompok intramuskular dibandingkan
intravena (P = 0.01). Gambar 3 menunjukkan data sementara (waktu dari pemberian obat
aktif untuk menghentikan nyeri, pembukaan kotak untuk menghentikan nyeri, dan dari
pembukaan kotak hingga pemberian obat aktif) untuk 317 pasien dalam intention-to-treat
analysis yang memenuhi outcome primer dan waktu yang dibutuhkan untuk pengobatan aktif
dan penghentian kejang juga dicatat. Waktu rata-rata untuk pemberian obat aktif lebih pendek
pada jalur itnramuskular dibandingkan jalur intravena (1.2 vs 4.8 menit), namun onset aksi
obat (terminasi dari kejang) terjadi sesegera mungkin setelah pemberian obat intravena
dibandingkan onset yang lebih lambat dibandingkan pemberian obat intramuskular (1.6 vs
3.3 menit). Interval keseluruhan hingga terminasi kejang serupa pada kedua kelompok
pengobatan.
12
PEMBAHASAN
Penelitian double blind dengan randomisasi ini menunjukkan bahwa pengobatan
prehospital dengan midazolam intramuskular sama efektifnya dengan pemberian lorazepam
intravena pada pasien dengan status epielptics (P < 0.01 untuk nilai noninferioritas dan
superioritas). Menetapkan jalur intravena pada pasien yang mengalami kejang di lingkungan
kejadian terbukti sulit dan memakan waktu. Karena pemberian obat intramuskular dapat
diberikan lebih cepat dan efektif dibandingkan pengoabtan intravena dan tidak menunjukkan
efisiensi yang kurang, data penelitian ini dapat mendukung pemberian obat yang dilakukan
oleh EMS sebelumya.
Penggunaan sistem EMS untuk pemberian midazolam intramuskular terhadap status
epilepticus semakin meningkat karena banyak penelitian skala kecil yang membuktikan
efisiensinya dan karena obat ini dapat diabsorbsi dengan cepat secara intramuskular.
Berdasarkan meta-analisis dari penelitian skala kecil, penggunaan midazolam nonintravena di
rumah sakit dibandingkan dengna pemberian diazepam intravena di IGD untuk status
epilepticus. Selain itu, tidak seperti lorazepam, midazolam tidak mempunyai masalah terkait
stabilitasnya yang kurang apabila tidak didinginkan. Midazolam dapat diberikan pada jalur
13
nonintravena, namun jalur intramuskular lebih terbukti efektif dibandingkan intranasal atau
buccal karena obat ini tidak bisa disemprotkan atau diteteskan pasien kejang.
Pada penelitian non-inferioritas, peneliti menggunakan lroazepam sebagai kontrol aktif.
Adanya kelompok kontrol dengan placebo jelas tidak etis, karena PHTSE menunjukkan
bahwa pemberian benzodiazepine terbukti paling superior dibandingkan pengobatan lainnya
untuk status epilepticus di perawata prehospital. Pertanyaan klinis yang penting adalah terkait
kerja midazolam intramuskular yang cukup baik untuk pasien epileptics hingga jalur
intravena dapat diamankan, hal ini bertujuan untuk pengobatan yang lebih mudah dan cepat
dan diberikan oleh anggota EMS. Obat kontrol aktif, batas noninferioritas, setting penelitian,
dan rancangan analisis dipilih seara hati-hati untuk menghindari adanya kerancuan dan
kterbatasan dari peelitian non-inferioritas ini.
Dosis dari midazolam dan lorazepam yang digunakan dalam penelitian ini terbukti
sama dengan dosis yang paling efektif untuk pengobatan status epileptikus yang dilaporkan
berdasarkan ltieratur. Walaupun dosis awal ini tergolong lebih tinggi daripada yang
digunakan oleh sistem EMS dan dokter IGD, dosis ini juga sudah disetujui untuk indikasi dan
merupakan batas dosis yang digunakan oleh spesialis epipelsi. Pneggunaan autoinjector dapat
memaksimalkan kecepatan dan kemudahan pemberian obat intramuskular (dengan kecepatan
rata-rata sekitar 20 detik untuk membuka autoinfector dan memasukkan obat) dan dapat
memberikan waktu hingga jalur intravena dapat diamankan.
Hubungan antara dosis benzodiazepin, depresi pernafasan, dan kebutuhan intubasi
endotracheal masih belum bisa dijelaskan, namun dosis benzodiazepine yang lebih tinggi
biasanya dapat mengurangi kebutuhan intervensi airway. Data ini tergolong konsisten dengan
temuan lain bahwa intubasi endotrakeal lebih sering terjadi akibat sequel dari kejang yang
berkelanjutan dibandingkan efek samping sedasi akibat pemberian benzodiazepine.
Terkait mekanisme aksi obat, data sementara penelitian ini menunjukkan hasil yang
sesuai dimana: pemberian obat jalur itnramuskular lebih cepat dilakukan setelah kedatangan
paramedis di lingkungan kejadian dibandingkan jalur intravena, namun onset aksi pemberian
obat intravena terlihat lebih cepat dibandingkan pemberian intramuskular. Waktu yang dapat
dihemat dengan pemberian jalur intramusular tampaknya lebih bermakna dibandingkan
waktu onset obatnya sendiri. Sangat menarik untuk memperkirakaan perbedaan beberapa
menit dari pemberian obat di kelompok intramuskular yang mungkin cukup menunjukkkan
superioritas jalur intramuskular terkait outcome yang ada. Namun, perbedaan ini juga
memungkinkan outcome antara kedua kelompok yang tergambar dari efisiensi obat yang
14
digunakan dibandingkan jalur pemberiannya. Karena penelitian ini merupakan penelitian
klinis pragmatic yang dirancang untuk memberitahukan praktik klinis EMS dibandingkan
untuk memastikan mekanisme kerja obat, efek dari obat dan jalur pemberiannya tidak dapat
dinilai secara terpisah pada analisis data ini. Serupa dengan hal ini, autoinjector yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mengoptimalkan kecepatan dan efisiensi dari
pemberian obat intramuskular, tidak memungkinkan untuk menentukan pentingnya
penggunaan alat ini untuk pemberian injeksi intramuskular, dibandingkan pemberian injeksi
intramuskular yang konvensional. Data ini sesuai dengan temuan statistik yang menilai
superioritas intramuskular midazolam. Terkait apakah obat ini noninferior atau superior,
penelitian ini mendukung keputusan klinis untuk menggunakan pendekatan pragmatic
intramuskular untuk pengobatan prehospital untuk status epilepticus.
Sebagai kesimpulan, pemberian intramuskular midazolam terbukti tidak lebih buruk
dibandingkan pemberian lorazepam intravena untuk menghentikan kejang sebelum sampai ke
IGD untuk pasien dengan status epilepticus yang diobati oleh paramedis. Midazolam
intramuskular juga terbukti sama amannya dengan lorazepan intravena. Kelompok penelitian
yang diobati dengan midazolam intramuskular mempunyai tingkat discharge (keluar dari
rumah sakit) dari IGD yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang diobati dengan lorazepam
intravena dan mempunyai tingkat yang serupa atau lebih rendah terkait kejadian kejang
berulang dan penggunaan intubasi endotracehal. Jalur intramuskular untuk Midazolam yang
digunakan EMS terbukti praktis, aman, dan merupakan alternatif efektif dibandingkan jalur
intravena untuk mengobati kejang berkepanjangan untuk setting prehospital.
15