Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
-
Upload
erikasiluq -
Category
Law
-
view
2.862 -
download
5
description
Transcript of Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
PERKUMPULAN STABIL & FORUM DAYAK MENGGUGAT
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak
Masyarakat Adat Dayak DRAFT # 01
“Sebuah Ikhtiar Menuju Peradaban Humanistik”
Aku mendengar jerit hewan yang terluka. Ada orang memanah rembulan, ada anak burung terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan agar kehidupan tetap terjaga.” •WS Rendra, 1974
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
sangat jelas menyebutkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam kaitannya dengan masyarakat hukum
adat, Alinea IV PembukaanUUD 1945 tersebut menjadi nafas dalam perumusan Pasal
18B ayat (2) yang secara tegas menyatatakan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang“.
Sejatinya dalam konteks ke-bangsaan, Indonesia merupakan himpunan
masyarakat yang majemuk. Semboyan Bhineka Tunggal Ika, menunjukkan pengakuan
negara pada realita kemajemukan budaya dan masyarakat. Secara horisontal, berbagai
kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai bangsa, dapat dipilah ke dalam
berbagai suku bangsa dan atau sub suku bangsa, kelompok penutur bahasa tertentu,
maupun ke dalam golongan penganut ajaran iman dan kepercayaan yang berbeda satu
dengan lainnya.
Sedangkan secara vertikal, berbagai kelompok masyarakat itu, dapat pula
dibedakan atas dasar mode of production, yang bermuara pada perbedaan daya
adaptasi. Wajah kemajemukan vertikal ini, perlu mendapat perhatian serius.
Berdasarkan tingkat perkembangan teknologi, sistem pengetahuan, pola eksploitasi
dan penguasaan sumber daya, serta jaringan hubungan dengan masyarakat secara
lebih luas, kelompok-kelompok suku bangsa atau sub suku bangsa yang ada di
wilayah kedaulatan Indonesia, setidaknya dapat dikategorikan ke dalam empat
kategori utama. Pertama, adalah tribal society. Ketegori kedua, adalah kelompok
masyarakat yang mengembangkan teknik perladangan gilir-balik. Kategori ketiga,
adalah kelompok masyarakat petani. Sedangkan keempat, adalah kelompok
masyarakat industri.
Ketiga kategori yang disebut terdahulu (tribal society, peladang dan petani),
kehidupan mereka banyak diwamai aturan-aturan yang bersumber dari sistem
kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik, sebagaimana terdapat dalam adat
dan tradisi. Ketiganya pula, dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat, yakni,
"kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di
wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,
budaya, sosial dan wilayah sendiri."
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 3
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk
merujuk kepada masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam
ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam
perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan
sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup
segala aspek dan tingkatan kehidupan.
Pengertian mengenai Masyarakat Adat sejatinya tidak merujuk pada defenisi
secara tertutup tetapi lebih kepada kriteria, yang dimaksudkan memberikan
kesempatan kepada komunitas untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self
identification). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Kongres I tahun
1999 menetapkan rumusan pengertian masyarakat adat, yakni "Komunitas-komunitas
yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah
adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial
budaya yang diatur oleh Hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”
Dalam beberapa literatur resmi, istilah "masyarakat adat" dan "penduduk
pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan
yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan
populasiorang-orang asli dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dengan
merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989). Dalam Deklarasi Masyarakat
Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat
Adat) menyatakan "secara praktis mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli
atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim“many of
these peoples refer to themselves as “indigenous” in order to fall under discussions
taking place at the United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and
“tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify
themselves under the indigenous agenda.”
Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri
sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial
sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam
berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Maka, dalam
Konvensi ILO No.169 tahun 1986dinyatakan pengertian dasar mengenai Masyarakat
Adat, “Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki
jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang
di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang
berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan
merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara,
mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 4
generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai
suatu suku-bangsa, sesuai pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.”
Masyarakat Adat Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan Timur yang
hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat. Istilah
Dayak, sesungguhnya mempunyai arti sebagai sebutan kolektif sub-suku masyarakat
adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur, dapat
diklasifikasikan dalam 7 kelompok besar, yakni: (1) Luangan Group terdiri dari Dayak
Benuaq, Bentian, Paser dan Tonyooi; (2) Apo Kayan Group terdiri dari Dayak Kayan,
Kenyah, Bahau, Punan, Modang dan Long Gelat; (3) Lun Bawan Group, terdiri dari
Dayak Lun Dayeh dan Lun Bawan; (4) Mahakam Group terdiri dari Dayak Seputan; (5)
Barito Kapuas Group, terdiri dari Dayak Kahayan dan Bekumpay; (6) Kapuas Group
terdiri dari Dayak Aoheng dan Bukat; (7) Melayu Group, terdiri dari Kutai dan Tidung
dengan sejumlah puak masing-masing.
Dalam perspektif etno-antropologis, masyarakat adat Dayak di Kalimantan
Timur menurut klasifikasi berdasarkan perbedaan bahasa, terdapat 7 kelompok besar
yaitu:
1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung,
Abai dan Tagel, dari kelompok Idahan.
2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok
Barito Timur; (2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3)
Kayan, Bahau, Modang, Aoheng dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4)
Lundaye, Lengilu’ dan Saben dari kelompok Apo Duat; (5) Merap, Punan Malinau
dan Basap Sajau dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978).
Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang
cukup berbeda dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu’ di
Kabupaten Berau; (2). Brusu dan Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap
seperti Punan Kereho dan Punan Murung di Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan
Basap Jonggon di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Punan Kuhi, Punan Aput dan
Punan Benalui di Kabupaten Malinau (Devung, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia,
Proyek Kayan Mentarang, ditemukan gambaran sebaran dominan etnis lokal per
Kabupaten di Kaltim, dengan identifikasi nama etnis lokal berdasarkan klasifikasi
populer di masing-masing Kabupaten, sebagai berikut:
1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun
2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser
3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan,
Tunjung, Benuaq, Bentian, Luangan, Kutai
4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah, Kayan,
Basap, Benua’, Tunjung
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 5
5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap,
Tunjung
6. Kabupaten Berau, 7 etnis lokal: Berayu-Berau, Ga’ay, Punan, Lebu’, Basap, Kayan,
Kenyah
7. Kabupaten Bulungan, 6 etnis lokal: Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu, Basap
8. Kabupaten Malinau 12 etnis lokal: Kenyah, Punan, Kayan, Pua’, Merap, Bau, Lun
Daye, Tidung, Brusu, Tagel, Abai, Agabag
9. Kabupaten Nunukan 6 etnis lokal: Tidung, Abai, Tagel, Agabag, Brusu, Lun Daye.
Sedangkan karakteristik sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan hutan, bisa dilihat dari dua perspektif: (1). berdasarkan sistem pemanfaatan
sumberdaya hutan; (2). berdasarkan hubungan historis dengan kawasan hutan
setempat. Dari perspektif karakteristik berdasarkan sistem pemanfaatan sumberdaya
hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan kedalam
empat kategori, yakni: (1). Masyarakat yang kehidupannya sepenuhnya tergantung
dari sumberdaya hutan; (2). Masyarakat yang kehidupannya sebagian tergantung dari
sumberdaya hutan; (3). Masyarakat yang kehidupannya tidak seberapa tergantung
dari sumberdaya hutan; (4). Masyarakat yang kehidupannya samasekali tidak
tergantung dari sumberdaya hutan
Sedangkan dari perspektif karakteristik berdasarkan hubungan historis dengan
kawasan hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan
dalam empat kategori: (1). Masyarakat etnis lokal, dengan wilayah adat dan wilayah
desa tradisional yang relatif masih sama dengan dulu; (2). Masyarakat etnis lokal,
dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau terpisah
oleh sistem administrasi pemerintahan, perpindahan penduduk, resetlemen, relokasi
desa, proyek pembangunan, industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan; (3).
Masyarakat etnis pendatang, yang sudah bermukim sebelum penetapan atau
perubahan status kawasan hutan; (4). Masyarakat etnis pendatang yang baru
bermukim setelah penetapan atau perubahan status kawasan hutan.
Hingga tahun 2013 kondisi demografi di Kalimantan Timur mengalami
ketimpangan, karena jumlah penduduk pendatang telah melebihi jumlah penduduk
asli. Kondisi ini, disebabkan derasnya arus pendatang karena adanya pertumbuhan
industri dan proyek pembangunan. Situasi kependudukan itu telah melahirkan
fenomena permasalahan sosial sekaitan dengan penguasaan, pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya secara tidak seimbang, antara komunitas masyarakat
hukum adat Dayak dengan komunitas pendatang.
Sedangkan di lain fihak, eksploitasi sumber daya alam (hutan, tambang,
perkebunan dan proyek pembangunan), tumbuh sebagai sumber konflik antara
komunitas masyarakat hukum adat Dayak dengan para pengusaha dan penguasa.
Maka tak pelak, bertahun-tahun terus berlangsung proses pemiskinan struktural,
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 6
sehingga masyarakat hukum adat Dayak semakin tidak memiliki akses terhadap
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.Sementara itu
peraturan perundang-undangan yang berlaku, cenderung tidak memihak kepentingan
masyarakat hukum adat Dayak, sehingga mereka kehilangan akses dalam pengambilan
keputusan, karena kuatnya hegemoni yang dibarengi dengan kooptasi terhadap tokoh-
tokoh masyarakat.
Padahal sejatinya, dalam rangka menjalankan mandat konstitusi, Pemerintah
telah menyusun berbagai peraturan perundang-undangan. Namun faktanya,
peraturan perundang-undangan (regulasi) tersebut telah dijadikan sebagai alat oleh
negara untuk mengambil alih hak masyarakat hukum adat Dayak atas wilayah
adatnya, kemudian dijadikan sebagai tanah negara, yang selanjutnya justru atas nama
negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai
skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak, serta kearifan lokal
masyarakat hukum adat Dayak. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik antara
masyarakat hukum adat Dayak dengan pengusaha/penguasa di berbagai wilayah di
Kalimantan Timur.
Praktik marjinalisasi terhadap masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan
Timur, telah berlangsung sejak Rezim Orde Baru hingga Rezim Penguasa saat ini.
Situasi ketidak-adilan ini menyebabkan terjadinya arus penolakan atas pemberlakukan
kebijakan/regulasi yang menisbikan pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi
masyarakat hukum adat Dayak.
Kebutuhan akan pengakuan dan perlindungan melalui peraturan perundang-
undangan pada tingkat lokal juga didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-IX/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara
melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Putusan MK
tersebut tentunya membutuhkan tindaklanjut pada tingkat daerah, khususnya terkait
dengan hutan adat, sementara pengaturan tentang hutan adat tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan masyarakat hukum adat termasuk wilayah adanya.
Merujuk pada amanat konstitusi pada Alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pasal 18B ayat (2), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 serta fakta
empirik ketidak-adilan yang dialami masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan
Timur, maka gagasan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan Timur menemukan jangkar
pembenarnya. Keinginan untuk mewujudkan “Peraturan Daerah (Perda) tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Timur”
merupakan sebuah ikhtiar menuju peradaban yang humanistik.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 7
B. Identifikasi Masalah
Berpijak pada uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dikaji
dalam naskah akademik ini adalah:
1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat Dayak pada saat ini
dan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;
2. Bagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini mengatur tentang
masyarakat hukum adat dan sejauhmana peraturan perundang-undangan dapat
menyelesaikan permasalahan yag dihadapi oleh masyarakat hukum adat,
khususnya masyarakat hukum adat Dayak;
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Dayak.
4. Apa jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Dayak.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan
penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis permasalahan apa yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat Dayak
pada saat ini dan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;
2. Mengidentifikasi dan menganalisis ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang masyarakat hukum adat;
3. menguraikan landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Dayak.
4. Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan,
dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Dayak.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai
acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 8
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode
yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif
dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang
berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak,
atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi
lainnya.
Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus
group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal
adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap
Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor
nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-
undangan yang diteliti.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 9
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, dari
pengaturan pengakuan dan perlindunngan masyarakat hukum adat Dayak dalam
suatu Peraturan Daerah Provinsi. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab
berikut:
A. Kajian teoretis
Pada bagian ini terdapat tiga hal yang saling berkaitan antara satu dengan
lainnya, yaitu masyarakat (hukum) adat dan hukum adat serta—dalam hubungannya
dengan topik utama dalam kajian ini—hak adat dalam pengelolaan sumber daya
alam. Dengan mengacu kepada adagium “ubi socitas ibi ius” maka pembahasan ini
akan berangkat dari konsep mengenai masyarakat hukum adat, dan kemudian hukum
adat serta konsep tentang hak adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Bahasan dalam lingkup ini terdiri dari tiga kata, yaitu masyarakat, hukum, dan
adat. Secara leksikal, masyarakat berarti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya
dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama1. Sedang hukum
berarti; 1). Peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku
bagi semua orang di suatu masyarakat (negara); undang-undang, peraturan, dan
sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3) patokan (kaidah,
ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya), 4) keputusan (pertimbangan)
yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.2 Sedangkan adat berarti
aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala, 2) kebiasaan; cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, 3)
cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan sebagainya), 4) wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-
aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem (PPPB, 1989: 5).3
Di dalam kepustakaan hukum, menurut Hadikusuma4 (1992: 72), selain
masyarakat hukum adat juga dipakai istilah persekutuan hukum adat. Masyarakat
hukum adat mempunyai pengertian yang bersifat umum dan luas, seperti masyarakat
hukum adat Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, dan sebagainya. Sedangkan istilah
persekutuan hukum adat bersifat khsusu dan sempit, misalnya persekutuan hukum
1 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, ctkn 2, 1989) hlm. 564 2 Ibid, hlm. 314 3 Ibid, hlm. 5 4 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992) hlm. 72
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 10
adat kekerabatan, ketetanggaan atau keorganisasian, dan dilihat dari lingkungan
masyarakatnya, seperti untuk masyarakat hukum adat Minangkabau disebut
persekutuan hukum adat Bodi-Caniago, Koto–Piliang, Pesisir, atau seperti di
Lampung, persekutuan hukum adat pepadun dan pesisir.
Secara singkat, Ter Haar merumuskan persekutuan hukum adat sebagai
“gerombolan yang teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula
kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata.”5 Menurut
Hazairin,6 masyarakat hukum adat merupakan kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu kesatuan hukum,
penguasa, dan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi
semua anggotanya. Sedangkan bentuk hukum kekeluargaannya, baik yang bersifat
patrilineal, matrilineal, atau bilateral, mempengaruhi sistem pemerintahannya,
terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil
hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang lair, pertambangan
dan kerajinan tangan. Penghidupan masyarakat hukum adat bersifat komunal, di
mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan
besar.
Apabila merujuk pada pandangan Ter Haar, maka sebuah kelompok
masyarakat yang disebut sebagai persekutuan hukum/masyarakat hukum adat itu
mempunyai empat sifat, yaitu:
1. Ada pergaulan hidup di dalam golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan,
baik terhadap dunia luar, lahir, dan bathin;
2. Memiliki tata susunan yang tetap dan kekal, dan setiap anggota golongan
mengalami kehidupannya dalam masyarakat sebagaimana adanya, sesuai dengan
kodrat alam;
3. Tidak ada seorangpun anggota masyarakat yang berpikir mengenai kemungkinan
pembubaran golongan tersebut; dan
4. Mempunyai pengurus sendiri, harta benda, milik keduniaan, dan milik gaib.7
Dalam pandangan Soepomo, masyarakat hukum adat Indonesia dapat dibagi
atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian
suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (teritorial),
dan yang berdasarkan pada kedua dasar tersebut (genalogis dan teritorial).8 Dari
5 B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto,
(Jakarta: Pradnya Paramita, ctkn. X, 1991) hlm. 7 6 Sebagaimana dikutip dalam Soerjono Soekanto & Sulaeman B. Taneko, Hukum Adat
Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1986) hlm. 108-9 7 Sebagaimana dikutip dalam Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, ctk. x, (Jakarta:
Pradnya Paramita, ctkn. X, 1984) hlm. 50 8 Ibid, hlm. 51
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 11
sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri
(masyarakat hukum adat tunggal), menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang
lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah
(masyarakat hukum adat bertingkat), serta merupakan beberapa perserikatan dari
beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat (masyarakat hukum adat
berangkai).
Secara teoretis, menurut Soekanto dan Taneko dapat terjadi beberapa
kombinasi masyarakat hukum adat sebagai berikut:
1. Masyarakat hukum adat genealogis yang;
a. tunggal
b. bertingkat
c. berangkai
2. Masyarakat hukum adat teritorial yang;
a. tunggal
b. bertingkat
c. berangkai
3. Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaliknya); hal itu tergantung
dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang;
a. tunggal
b. bertingkat
c. berangkai9
1. Masyarakat hukum adat genealogis
Masyarakat hukum adat yang didasarkan pada unsur genealogis adalah
masyarakat di mana dasar pengikat utama anggota-anggota kelompok ialah
persamaan dalam keturunan, artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karena
merasa berasal dari nenek moyang yang sama.10 Dalam masyarakat hukum adat
jenis ini terdapat tiga macam pertalian keturunan , yaitu:
a. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (patrilineal), apabila para
anggotanya (sama beranggapan) satu sama lain adalah satu kerabat, karena
berasal dari satu keturunan yang sama; sedang dalam menarik garis keturunan
itu selalu dihubungkan dengan bapak, dengan bapaknya lagi dan seterusnya
sampai dengan bapaknya yang pertama;
b. Pertalian keturunan menueut garis ibu (matrilineal), apabila para anggotanya
(sama beranggapan) satu sama lain adalah satu kerabat, karena berasal dari
garis keturunan yang selalu dihubungkan dengan ibu, dengan ibunya lagi dan
seterusnya sampai dengan ibunya yang pertama;
9 Soerjono Soekanto & Sulaeman B. Taneko, op.cit., hlm. 110-11 10 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Tarsito, 1982) hlm. 75
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 12
c. Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, bercorak kembar, keibu-
bapaan, apabila para anggotanya satu dengan yang lain (menganggap dirinya)
berkerabat, memperhitungkan garis keturunan, orang-orang
menghubungkannya kepada bapak dan ibunya.11
Klasifikasi yang berbeda mengenai jenis masyarakat hukum adat yang
didasarkan pada unsur genealogis, seperti yang dipaparkan di atas, dikemukakan
oleh Saragih.12 Menurutnya, masyarakat hukum adat jenis ini dapat dibedakan
dalam dua macam persekutuan genealogis, yakni masyarakat unilateral dan
masyarakat bilateral/parental; ditambah satu bentuk khusus, yaitu masyarakat
alternerend (berganti-ganti).
a. Masyarakat unilateral, yaitu masyarakat di mana anggota-anggotanya menarik
garis keturunan hanya dari satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki (ayah) atau
perempuan (ibu). Masyarakat ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja;
2) Masyarakatnya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut clan
(sub-clan);
3) Sistem perkawinannya adalah exogami; dan
4) Tiap kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh dibagi.
Masyarakat hukum unilateral ini dapat dibedakan atas tiga macam bentuk,
yaitu masyarakat matrilineal, patrilineal, dan dubbel unilateral.
b. Masyarakat bilateral, yaitu susunan masyarakat di mana anggota masyarakat
menarik garis keturunan baik dari ayah maupun melalui ibu. Jadi garis
keturunan ditarik melalui orang tua (parental). Masyarakat hukum adat yang
tersusun secara parental bentuk perkawinanya bebas, artinya tidak terikat
pada keharusan exogami ataupun endogami. Masyarakat bilateral terdiri dari
masyarakat bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga (gezins)
dan masyarakat bilateral yang bersendikan pada rumpun-rumpun (trible).
c. Masyarakat alternerend merupakan masyarakat di mana garis keturunan
seseorang ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang
dilakukan oleh orang tuanya. Apabila perkawinan orang tuanya dilakukan
menurut hukum keibuan (kawin semendo), maka anak yang lahir menarik garis
keturunan melalui ibu, dan jika perkawinan orang tuanya dilakukan menurut
hukum kebapaan (kawin jujur), maka anak yang lahir menarik garis keturunan
melalui ayah, sedang apabila perkawinan orang tuanya dilakukan menurut
hukum kedua belah pihak (kawin semendorajo-rajo), maka anak yang lahir
menarik garis keturunan baik melalui ibu maupun ayah.
11 Lihat Soepomo, op. cit., hlm. 51, bandingkan dengan Samidjo, Pengantar hukum
Indonesia, (Bandung: Armico, 1985) hlm. 57-8 12 Djaren Saragih, op. cit., hlm. 75-8
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 13
Menurut Hadikusuma,13 anggota-anggota kerabat yang terjadi karena
hubungan perkawinan dan karena hubungan atau ikatan adat (bersaudara
angkat) termasuk dalam kategori masyarakat hukum adat yang didasarkan pada
garis keturunan ini. Persekutuan kekerabatan tersebut mempunyai tata tertib
adat sendiri dan pimpinan sendiri, bahkan adakalanya mempunyai harta bersama,
milik bersama yang dikuasai bersama untuk kepentingan bersama.
2. Masyarakat hukum adat territorial
Masyarakat hukum adat yang didasarkan pada wilayah (territorial) menurut
Soepomo14 tergantung pada apakah ia bertempat tinggal di dalam lingkungan
darah persekutuan itu atau tidak. Seseorang dapat, untuk sementara waktu,
meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan keanggotaannya, sedangkan
orang luar yang masuk ke dalam daerah persekutuan tersebut, tidak dengan
sendirinya menjadi anggota persekutuan, tetapi ia harus diterima sebagai teman
segolongan menurut hukum adat. Masyarakat hukum adat teritorial ini dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Masyarakat hukum desa yaitu segolongan atau sekumpulan orang yang hidup
berdasarkan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang
sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama, oleh sebab itu
merupakan suatu kesatuan, suatu tata susunan. Anggota persekutuan ini tidak
selalu berkerabat satu sama lain, yang penting ialah unsur bahwa orang-orang
hidup bersama dalam lingkungan suatu daerah tertentu;
b. Masyarakat hukum wilayah yaitu kesatuan sosial wilayah yang melindungi
beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masing tetap merupakan
kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Walaupun masing-masing masyarakat
hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu mempunyai
tata susunan dan pengurus sendiri, mereka tetap merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari keseluruhan, yakni masyarakat hukum wilayah sebagai
kesatuan teritorial yang lebih tinggi;
c. Masyarakat hukum serikat desa di mana terdapat hubungan-hubungan
kerjasama antara beberapa perkampungan/desa yang beedekatan, diberbagai
bidang demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung
dalam masyarakat hukum serikat desa itu.15
3. Masyarakat hukum adat genelogis-territorial
Dalam masyarakat hukum adat yang didasarkan pada faktor keturunan dan
wilayah, keanggotaannya harus memenuhi dua syarat, yaitu ia harus termasuk
dalam suatu kesatuan genealogis dan ia harus bertempat tinggal di dalam daerah
13 Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 73 14 Soepomo, op. cit., hlm. 52 15 Samidjo, op. cit., hlm. 62
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 14
persekutuan hukum. Golongan yang berdasarkan keturunan, yang bertempat
tinggal di daerah persekutuan hukum itu terputus pertalian hukumnya dengan
teman-teman segolongan yang tinggal di tempat lain. Golongan yang berdiam di
suatu wilayah persekutuan hukum itu merupakan suatu badan hukum yang
berdiri sendiri dan mempunyai hak-hak dan kewajiban sendiri terhadap daerah
kediamannya serta terhadap tanah di dalam lingkungan daerah itu.16
Ada lima jenis susunan masyarakat hukum adat yang berdasarkan kedua
faktor tersebut, di mana setiap jenis mempunyai corak sendiri-sendiri.
a. Suatu daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh
hanya satu bagian golongan (clandeel). Tidak ada golongan lain yang tinggal
di dalam daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang berdekatan juga
digunakan sebagai tempat tinggal oleh hanya satu klan. Susunan masyarakat
seperti ini, antara lain terdapat di daerah pedalaman di pulau-pulau Enggano,
Buru, Seram, dan Flores.
b. Setiap marga mempunyai daerah sendiri, akan tetapi, di dalam daerah
tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu,
ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi
anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang pertama
mendiami daerah itu dan mendirikan huta-huta di daerah tersebut disebut
marga asal, marga raja, atau marga tanah, sedangkan marga yang datang
kemudian disebut marga rakyat. Susunan masyarakat seperti ini terdapat di
daerah Tapanuli.
c. Di suatu wilayah pada awalnya terdapat suatu clan yang mendiami
danmenguasai daerah tersebut. Akan tetapi kekuasaan itu kemudian
berpindah kepada kepada clan lain yang masuk ke darah itu dan merebut
kekuasaan pemerintah dari clan yang asli. Kedua clan tersebut lalu berdamai
dan bersama-sama merupakan kesatuan badan persekutuan daerah.
Kekuasaan pemerintah dipegang oleh clan yang datang kemudian sedang
clan yang asli tetap menguasai daerah itu sebagai wali tanah. Susunan
masyarakat seperti ini terdapat di daerah Sumba Tengah dan Sumba Timur.
d. Di suatu wilayah tidak terdapat golongan yang berkuasa atas tampuk
pemerintahan, golongan yang menumpang, ataupun golongan yang
menguasai tanah, tetapi semua golongan suku yang bertempat tinggal di
daerah nagari berkedudukan setingkat dan bersama-sama merupakan suatu
badan persekutuan territorial (nagari), sedang daerah nagari itu terbagi dalam
daerah-daerah golongan, di mana setiap golongan mempunyai daerah sendiri.
Susunan masyarakat seperti ini terdapat di beberapa nagari di Mingkabau dan
di beberapa marga di Bengkulu.
16 Soepomo, op. cit., hlm. 54-5
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 15
e. Di suatu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan, yang satu dengan
lainnya tidak mempunyai pertalian saudara. Seluruh daerah nagari atau dusun
menjadi daerah bersama (yang tidak dapat dibag-bagi) dari segala bagian clan
pada badan persekutuan nagari (dusun) itu. Susunan masyarakat seperti ini
terdapat di beberapa nagari di Minangkabau dan pada dusun di wilayah
Rejang (Bengkulen).17
Secara sosiologis, masyarakat hukum adat adalah tipe masyarakat yang
digolongkan sebagai persekutuan gemenischaft, yang berbeda dengan persekutuan
gesellschaft. Persekutuan hidup yang bersifat gemenischaft ini, menurut Soepomo
mempunyai corak sebagai berikut:
1. Keagamaan
Keagamaan, bersifat kesatuan bathin, orang segolongan merasa satu dengan
golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalam memelihara keseimbangan
lahir dan bathin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya. Kebahagiaan
sosial dalam persekutuan akan tetap terjamin apabila keseimbangan itu dipelihara
dengan semsetinya.
Perbuatan-perbuatan bersama atau perseorangan, seperti membuka tanah,
membangun rumah dan sebagainya perlu disertai dengan upacara religius yang
bermaksud menggunakan kekuatan ghaib agar perbuatan itu berhasil baik.
2. Kemasyarakatan
Hidup bersama dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak komunal.
Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat; ia
pada asasnya bebas melakukan apa saja asal tidak melanggar batas-batas hukum
yangtelah ditetapkan baginya. Seorang manusia, menurut paham tradisional
hukum adat, terutama adalah warga golongan, teman semasyarakat dan setiap
warga golongan itu mempunyai hak dan kewajiban menurut kedudukannya di
dalam golongan atau persekutuan yang bersangkutan.
Hak-hak subyektif berfungsi sosial, artinya hak itu tidak boleh digunakan secatra
bebas menurut kehendak pemilik hak, melainkan setiap penggunaan hak itu
harus dibenarkan oleh fungsinya hak itu di dlam golongan atau persekutuan yang
bersangkutan.
3. Kewibawaan
Kewibawaan kepala rakyat di dalam persekutuan adalah berdasar pertama atas
peristiwa, bahwa di dalam persekutuan yang bersifat genealogis-territorial ia
adalah anggota yang tertua atau yang berkuasa di dalam daerah persekutuan,
dan di dalam persekutuan-persekutuan yang hanya bersifat territorial, kepala
rakyat di desa-desa di mana tradisi masih besar pengaruhnya, kepala rakyat
biasanya dipilih dari keturunan pembuka desa.
17 Ibid, hlm. 55-7
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 16
Kewibawaan kepala rakyat didasarkan pula atas kepercayaan tradisional bahwa
kekuatan ghaib masyarakat terutama menjelma pada diri kepala rakyat itu.
Berdasar atas kedua faktor itu, kepala rakyat adalah pemimpin rakyat yang
sewajarnya.
4. Pengangkatan kepala rakyat
Apabila ada lowongan jabatan kepala, maka di seluruh daerah Indonesia dapat
dikatakan bahwa menurut hukum adat tradisional, pengganti kepala diangkat
(diakui atau dipilih) atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam
permusyawaratan di rapat desa. Permusyawaratan dilakukan atas dasar suara
bulat antara para warga desa yang berhak ikut serta dalam rapat desa atau antara
seluruh kepala rakyat dari persekutuan.
Yang diakui atau dipilih sebagai kepala baru ialah ahli waris pertama dari kepala
lama, asal saja tidak ada hal-hal yang menurut rapat itu menyebabkan bahwa ia
tidak akan cakap atau patut untuk menjabat kepala rakyat. Jikalau ada hal
demikian, maka ahli waris yang berikut akan dipertimbangkan oleh rapat desa
untuk diangkat sebagai kepala baru.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam masyarakat
hukum adat terdapat seperangkat aturan yang mengatur perilaku dan tatacara
berhubungan dengan sesama anggota masyarakat dan lingkungan di mana mereka
berada. Hukum adat itu sendiri mencakup dua unsur utama, yaitu unsur idiil dan riil.
Unsur idiil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, sedangkan unsur
riil mencakup aspek-aspek yang terkait pada manusia (fisik dan mentalitasnya),
lingkungan alam, dan kebudayaannya.18
Menurut Mertokusumo,19 hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif
yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasikan. Singkatnya, hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai
akibat hukum. Hukum adat termasuk dalam hukum kebiasaan, sementara suatu
kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Syarat materiel: adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang,
yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa
waktu lamanya. Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang berlangsung
lama; harus ada apa yang dinamakan longa et inveterata consuetudo.
2. Syarat intelektual; kebiasaan itu harus menimbulkan opinio necessitatis
(keyakinan umum) bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum. Keyakinan
ini tidak hanya merupakan keyakinan bahwa selalu ajeg berlaku demikian, tetapi
keyakinan bahwa memang seharusnya demikian. Keyakinan ini disebut opinio
18 Sebagaimana dikutip dalam Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 141-3 19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty,
1991) hlm. 87-8
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 17
necessitatis (pendapat bahwa demikianlah seharusnya). Kebiasaan itu harus
dilakukan karena keyakinan, bahwa hal itu patut secara obyektif dilakukan bahwa
dengan melakukan itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum.
3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
Hukum adat menurut Pudjosewojo20 merupakan keseluruhan aturan tingkah
laku yang “adat” dan sekaligus “hukum”. Atau dengan kata lain, hukum adat ialah
keseluruhan hukum yang tidak tertulis. Lebih lanjut Pudjosewojo menguraikan bahwa
pengertian hukum adat sebagaimana yang ia kemukakan tidak dapat disamakan
dengan adat recht. Dengan merujuk pada pendapat Van Vollenhoven, ia menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan adat recht ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang
berlaku bagi bumi putera dan orang timur asing, yang mempunyai upaya pemaksa,
lagi pula tidak dikodifikasikan. Oleh karena itu, yang ada dalam tata hukum Indonesia,
bagi Pudjosewojo, hanya “hukum perundang-undangan dan hukum adat sebagai
synonim daripada hukum yang tak tertulis.”21
Mengenai pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa hukum adat tidak
dapat disamakan dengan hukum tidak tertulis, sebab realitas yang ada menunjukkan
bahwa hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu yang tertulis dan tidak tertulis.
Hukum adat yang tertulis dapat ditemukan pada masyarakat hukum adat yang sudah
mengenal akasara, sehingga peraturan mengenai kehidupan mereka dituangkan
dalam bentuk tulisan. Hal ini misalnya dapat ditemukan dalam awig-awig di Bali..
Adapun hukum adat yang tidak tertulis, pada umumnya ditemukan pada masyarakat
hukum adat yang belum mengenal tulisan. Hukum adat masyarakat ini dapat
diketahui dari keputusan para pemimpin persekutuan yang tidak boleh bertentangan
dengan kesadaran hukum masyarakat.22
Untuk membedakan antara adat istiadat dengan hukum adat, Soekanto dan
Taneko mengidentifikasi beberapa gejala dan masyarakat dan kemudian
mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tingkat kekuatan
mengikatnya. Pengelompokan ini mengasilkan suatu kesimpulan bahwa perilaku yang
berkembang secara logis dengan mengikuti proses akan menjadi hukum adat23.
Sebuah konklusi yang dapat dipaparkan secara lebih jelas dalam skema sebagai
berikut:
20 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, ctkn. xi, 1990) hlm. 77-9 21 Ibid, hlm. 88 22 Samidjo, op. cit. hlm. 52-3 23 Soerjono Soekanto & Sulaeman B. Taneko, op. cit. hlm. 90
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 18
(Sumber: Soekanto & Taneko, 1986: 90)
Sumber: Kesusilaan
perseorangan
Sumber: Kesusilaan
umum
Cara (usages)
Hukum adat
Kebiasaan (folkways)
Tata kelakuan (mores)
Adat istiadat (custom)
Melalui pelembagaan,
yakni diketahui, dimengerti, ditaati dan
dihargai
Lembaga Sosial
Membudaya
Penjiwaan
(Internalization)
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 19
Skema di atas dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
PENGERTIAN KEKUATAN SANKSI
CARA Suatu bentuk
perbuatan Sangat lemah
Celaan dari
individu
KEBIASAAN
Perbuatan yang
diulang-ulang dalam
bentuk yang sama
Agak kuat Disalahkan oleh
orang banyak
TATA
KELAKUAN
Kebiasaan yang
diterima sebagai
norma atau kaidah
yang mengatur
Kuat Hukuman
ADAT ISTIADAT
Kebiasaan yang
terintegrasikan
dengan kuatnya
dalam masyarakat
Kuat sekali Dikeluarkan dari
masyarakat
HUKUM ADAT
Adat istiadat yang
mempunyai akibat
hukum
Kuat sekali
Pemulihan
keadaan dan
hukuman
(Sumber: Taneko & Soekanto, 1986: 91)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan
adat istiadat yang mempunyai akibat hukum, di mana sanksi yang diberikan berupa
pemulihan keadaan dan hukuman. Dari hukum adat kemudian lahir konsep tentang
hak adat. Pada dasarnya, hak adat dapat dikatakan sebagai hak-hak atas sumber-
sumber daya alam yang diklaim oleh anggota suatu komunitas tertentu yang dijamin
oleh sistem hukum kebiasaan di tempat itu, atau sebagaimana diatur oleh adat dan
hukum adat yang bersangkutan.24
24 R. Yando, 1994, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, (Jakarta: WALHI, 1994) hlm. 9-
10
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 20
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.
Sebagai bagian dari kewenangan pemerintah dalam pembentukan regulasi pada
tingkat daerah, maka penyusunan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Timur terikat dan tunduk pada asas-
asas yang digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
1. Asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat yaitu bahwa setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang;
3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yakni bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan;
4. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis;
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
6. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas
dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
7. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 21
Selain itu menurut Pasal 6 ayat Ayat (1) materi muatan peraturan perundang-
undangan juga harus mencerminkan asas:
1. Asas pengayoman yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat;
2. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional;
3. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan;
5. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6. Asas bhineka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
7. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara;
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum; dan
10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 22
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan
yang dihadapi masyarakat.
Secara garis besar persoalan yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat dayak di
Kalimantan Timur dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Masalah Hukum dan Kebijakan
Berbagai kenyataan pahit tentang porak-porandanya tatanan kehidupan
masyarakat hukum adat Dayak, berlangsung terus menerus secara sistematis.
Ketidakadilan dalam bidang hukum, bersumber dari kebijakan-kebijakan yang
bias semangat unifikasi, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara
kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang berlaku
dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat hukum adat Dayak.
a. Paradigma Pembangunan
Paradigma pembangunan sejak rezim Orde Baru hingga era Reformasi masih
berorientasi pada pertumbuhan, melalui investasi dalam dan luar negeri,
bercirikan konglomerasi dan monopoli. Paradigma ini berkeyakinan,
kesejahteraan masyarakat akan tercipta dengan sendirinya melalui
mekanisme efek menetes ke bawah dari arus modal yang berakumulasi. Agar
akumulasi modal dapat tercipta, diperlukan pengendalian kegiatan ekonomi
masyarakat. Maka yang terjadi kemudian adalah, pembekuan ekonomi
kerakyatan, yang dilakukan melalui pengendalian negara atas kegiatan-
kegiatan ekonomi masyarakat. Politik pembekuan ekonomi ini membuat
fungsi subsidi sektor ekonomi rakyat beralih kepada kegiatan ekonomi
kapitalis. Maka efek menetes ke bawah tidak pemah terjadi, yang terjadi
justru sebaliknya, yaitu efek muncrat ke atas. Akibatnya, nilai tukar berbagai
komoditas yang dihasilkan masyarakat cenderung terus menurun. Bahkan,
masyarakat tak lagi memiliki kedaulatan di bidang ekonomi.
Selain itu untuk menunjang pertumbuhan ekonomi bercirikan kapitalis liberal,
yang dalam proses selanjutnya menjelma menjadi 'kepentingan umum' dan
"kepentingan nasional", dibutuhkan sumber-sumber ekonomi yang tidak
sedikit. Terutama sumber-sumber agraria. Bahkan, karena pertumbuhan
ekonomi harus niscaya tercipta, maka masyarakat hukum adat sebagai
pemegang kuasa asli sumber-sumber ekonomi harus disingkirkan atas nama
"kepentingan umum" dan 'kepentingan nasional' dengan didukung legitimasi
hukum yang secara sengaja diciptakan untuk kepentingan-kepentingan
kapitalis.
Sekaitan dengan subyek hukum, terpapar fakta tidak terakomodasinya
"persekutuan masyarakat adat" yang terbangun atas prinsip-prinsip
komunalitas, sebagai subjek hukum dalam perangkat hukum Indonesia.
Dalam kebijakan bidang ekonomi, ketidakadilan yang diderita masyarakat
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 23
hukum adatjauh lebih parah. Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh rezim
Orde Baru, jelas tidak berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Hal itu
diawali oleh pilihan Mode of Production yang dikembangkan dalam program
pembangunan yang sangat kapitalistis dan liberal, jauh dari nilai dan prinsip
hidup yang ada pada masyarakat adat.
Dalam paradigma pembangunan economic growth development, ada dua
dimensi penting yang harus seimbang dilakukan, yaitu dimensi target dan
dimensi proses. Hasil pembangunan nasional lebih berorientasi pada
pembangunan fisik, namun ongkos pembangunan harus dibayar mahal dan
tidak pernah dihitung sebagai hasilpembangunan. Maka perihal konteks ini,
terdapat tiga klasifikasi. Pertama, ongkos pembangunan yang mahal dan
tidak pernah dihitung sebagai hasil pembangunan adalah ecological
degradation (kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam).
Kedua adalah economical lost, sumber-sumber kehidupan ekonomi
masyarakat semakinmenyusut dan menghilang akibat kerusakan dan
pencemaran lingkungan. Ketiga, berkaitan dengan faktor manusia, dimana
social and cultural distraction tidak pernah dihitung sebagai ongkos dan
resiko pembangunan.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sejak tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
menetapkan, bahwa sumber dari segala sumber Hukum Nasional adalah
Pancasila. Sebelum masa itu, pada tahun 1960, melalui Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, Nomor II/1960, ditetapkan bahwa dasar
Hukum Nasional adalah Hukum Adat. Namun, pada tahun 1968, dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXVIII/1968,
Ketetapan MPRS tahun 1960 itu dicabut. Selanjutnya pembentukan Hukum
Nasional berpedoman pada Ketetapan MPRS No. XXIII/1966.
Sejak saat itu, seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang ada
teraleniasi dari prinsip-prinsip rasa keadilan sebagaimana dikenal dalam
kehidupan masyarakat adat. Padahal, salah satu syarat kepatuhan warga
terhadap suatu perangkat hukum adalah, dipahaminya norma-norma yang
terkandung dalam perangkat hukum.Jika norma-norma yang terkandung
dalam perangkat hukum, jauh dari prinsip rasa keadilan sebagaimana dikenal
dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat adat, maka tuduhan
pelanggaran hukum kepada warga yang tidak tunduk pada perangkat hukum
yang tidak dipahami itumenjadi tidak relevan.
Pada dasarnya, seiring dengan semangat UUD 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, Nomor II/1960, hak-hak masyarakat
hukum adatatas sumber-sumber agrariadiakuikeberadaannya dalam Undang-
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 24
undang Pokok Agraria. Namun, karena sifatnya sebagai Undang Undang,
mengandung kelemahan tersendiri. Antara lain, undang-undang ini tersusun
atas bias "adat Melayu", bias masyarakat pertani sedenter, dan bias
peradaban modern, sehingga banyak peraturan yang bersumber dari
kebudayaan di luar itu, kehilangan legitimasi. Lebih dari itu, ketidakjelasan
pengaturan hak-hak masyarakat hukum adat telah memberi peluang
penegasian hak-hak masyarakat adat, sehingga cenderung menempatkan
masyarakat hukum adatdalam posisi marginal. Fakta-fakta tersebut akhirnya
menjelma menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya penggusuran hak-
hak masyarakat hukum adat yang berorientasi pada kegiatan ekonomi
kapitalistik dan ekstraktif, karena lemahnya pengakuan dan perlindungan hak-
hak masyarakat adat.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa (selanjutnya ditulis UUPD) merupakan puncak penegasian hak-hak
masyarakat adat. Struktur pemerintahan tingkat desa di seluruh wilayah
Indonesia diseragamkan dan menggusur struktur pemerintahan atas dasar
tradisi-kultural yang ada pada masyarakat adat. Hal itu, sekaligus menjadikan
struktur pemerintahan desa sebagai bagian integral sistem birokrasi
pemerintahan, sehingga kepala pemerintahan di tingkat desa, tidak lagi
bertanggung-jawab kepada rakyatnya, melainkan tunduk pada keharusan
birokrasi di tingkat atasnya.
Pemberlakuan UUPD dan peraturan perundang-undangan turunannya,
menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan
antara Kepala Adat dan Kepala Desa. Pun juga terjadi kooptasi kekuasaan
negara terhadap masyarakat adat, dengan dimutlakkannya Kepala Desa
sebagai penguasa tunggal. Pada komunitas masyarakat hukum adat Dayak di
Kalimantan, kooptasi pemerintah nampak jelas dengan praktik pemberian
Surat Keputusan Bupati kepada Kelembagaan Adat dan Kepala Adat.
Persoalan SK Bupati, tidak teriepas dari kebijakan pemerintah yang tertuang
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1984, tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat di Tingkat Desa/Kelurahan dan juga
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 1989, tentang Pembinaan
dan Pengembangan Lembaga Adat di Wilayah Desa/Kelurahan.
Permendagri No. 11 Tahun 1984, memungkinkan keterlibatan pemerintah
melakukan pembinaan dan pengembangan adat istiadat. Bahkan dalam
Inmendagri No. 17 Tahun 1989, diinstruksikan kepada Gubemur dan
Bupati/Walikota menetapkan Peraturan Daerah tentang pembinaan dan
pengembangan Lembaga Adat, maka terbitlah Surat Keputusan Bupati untuk
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 25
Kepala Adat. Sesungguhnya Permendagri No. 11 Tahun 1984, Inmendagri No.
17 Tahun 1989 dan Peraturan Daerah (Perda) tentang pembinaan dan
pengembangan lembaga adat, merupakan bentuk kooptasi pemerintah
terhadap eksistensi masyarakat adat. Sekaligus merupakan upaya penegasian
terhadap eksistensi Kepala Adat agar tunduk pada struktur pemerintahan.
Maka pemberlakukan Undang-undang Pemerintahan Desa, telah
mengakibatkan kedaulatan politik masyarakat hukum adatterhadap akses
sumberdayaternegasikan, karena batas-batas persekutuan hidup, tidak lagi
ditentukan atas dasar ikatan-ikatan sosial dan budaya, melainkan atas dasar
batas-batas administrasi kepemerintahan. Pemberlakukan UUPD sejatinya
merupakan manifestasi pencabutan kedaulatan hak mengelola sumber daya
alam dan hak mengatur hidup masyarakat adat.
Proses peminggiran masyarakat hukum adatjuga tampak pada kelompok
perempuan. Dalam budaya agraris, peran perempuan sangat dominan
mengelola pertanian. Merekalah yang mampu mengidentifikasi pemuliaan
benih, dan kaum perempuan jua yang menjaga dan mengelola sistem
pertanian. Kearifan itu, sudah dilakukan selama ribuan tahun. Ketika
pembangunan memangsa lahan-lahan suburn, maka dengan sendirinya kaum
perempuan kehilangan akses terhadap eksistensi dan hak kontrol atas
sumber-sumber kehidupan. Maraknya eksploitasi sumber daya alam
(tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit) kian mempercepat proses
marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pola relasi-kuasa pada
kehidupan sehari-hari.
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria
Pemberlakuan undang-undang ini sesungguhnya bertujuan untuk: (1)
Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional; (2) meletakkan
dasar mengadakan kesatuan dalam hukum pertanahan; (3) meletakkan dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat.
UUPA juga memberikan pembatasan bagi pelaksanaan hukum pada
masyarakat adat. Di bawah kendali Hak Menguasai Negara, telah dilakukan
penyederhanaan terhadap kenyataan keberagaman hukum adat. Juga bias
tafsir hukum oleh penguasa terhadap hukum adat. Hal itu tampak jelas dalam
Pasal 5 UUPA yakni, "Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang Undang ini dan dengan peraturan perundang-
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 26
undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur pada
hukum agraria."
Selain itu, terdapat pula pembatasan mengenai pelaksanaan hukum adat,
yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang
lebih tinggi. Hal itu berarti, hukum adat tidak lagi dominan dan mandiri. Jika
undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi bersikap bertentangan
dengan hukum adat, maka hukum adat dikalahkan.Prinsip nasionalitas dalam
UUPA, temyata memberi kewenangan yang amat luas pada Negara melalui
Hak Menguasai Negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, ayat 1, "Atas
dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.'
Berdasarkan hak menguasai, maka negara dapat menentukan aneka hak atas
sumber agraria yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik
secara sendiri maupun bersama orang lain serta badan hukum. Aneka hak atas
tanah pada sistem pemilikan dan penguasaan sumber agraria menurut UUPA
dibedakan dalam dua kategori: (1) semua hak yang diperoleh langsung dan
negara, disebut hak primer: (2) semua hak yang berasal dari pemegang hak
atas tanah berdasarkan perjanjian bersama, disebut hak sekunder.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, meski telah ada UUPA yang merupakan
induk dari semua peraturan pertanahan, terbukti UUPA tidak mampu menjadi
rujukan dan faktor penentu mengatasi sengketa pertanahan. Hal itu terutama
disebabkan politik agraria cenderung bertentangan dengan makna dan isi
UUPA, sehingga merebak menjadi konflik kepentingan terhadap penguasaan
tanah. Karakter pertentangan kepentingan atas tanah, setidaknya tercermin
dalam tujuh persoalan mendasar, yakni:
1) Sengketa tanah karena penerapan fungsi tanah sebagai sumber
eksploitasi, yang melahirkan kasus sengketa tanah antara masyarakad adat
Dayak dengan investor (perkebunan skala besar dan pertambangan).
2) Sengketa pertanahan sekaitan dengan proyek revolusi hijau untuk
kepentingan swasembada pangan, yang mengakibatkan terkonsentrasinya
penguasaan tanah dan meningkatnya jumlah petani tak bertanah.
3) Perkebunan skala besar (kelapa sawit) mengambil alih tanah yang semula
dikuasai masyarakat hukum adat Dayak, melalui pola penggusuran tanah
dengan pendekatan keamanan.
4) Penggusuran tanah berdalih kepentingan industri jasa untuk
pembangunan perumahan mewah, hotel, industri wisata dan infrastruktur.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 27
5) Penggusuran tanah untuk kepentingan program pembangunan. Kasus
penggusuran tanah rakyat untuk pembuatan jalan Trans Kalimantan di
pedalaman, merupakan contoh konkret dari kasus yang dimaksud.
6) Pencaplokan tanah untuk sejumlah pabrik di dalam maupun di luar
kawasan industri. Dalam kasus ini, muncul calo spekulan tanah yang
menekan harga pembelian tanah rakyat dan menjual dengan harga tinggi
pada para pemodal.
7) Pencabutan hak tanah rakyat atas nama kelestarian lingkungan. Penetapan
kawasan taman nasional, hutan lindung dan kawasan suaka marga satwa
oleh pemerintah mengakibatkan tersingkirnya eksistensi masyarakat adat.
Munculnya sengketa pertanahan, tidak dapat dipisahkan dengan politik
pembangunan yang praktiknya banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-
hak masyarakat adat. Pada sisi lain, mencerminkan tidak adanya jaminan
periindungan dan kepastian hukum terhadap pemilikan dan penguasaan
tanah oleh masyarakat adat. Maka kesejahteraan dan keadilan, tetap menjadi
obsesi yang terus diperjuangkan oleh masyarakat hukum adat Dayak.
e. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Penolakan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (selanjutnya ditulis UU Kehutanan) disuarakan terus menerus
oleh kesatuan masyarakat hukum adat. Bagi kesatuan masyarakat hukum
adat, UU Kehutanan menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah
adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat
merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang
diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak
yang lahir dari proses membangun peradaban di wilayah adatnya. Namun,
klaim negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih ketimbang
klaim masyarakat adat. Padahal hak masyarakat adat atas wilayah adat yang
diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalujauh lebih dahulu adanya
dari hak negara.
Pemerintah sering mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan hutan
tanpa terlebih dahulu melakukan pengecekan tentang klaim kesatuan
masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut. Beberapa tipologi konflik
menyangkut kawasan hutan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
akibat pemberlakuan UU Kehutanan yang banyak terjadi di lapangan,
adalah: (1). masyarakat hukum adat dengan perusahaan; (2). masyarakat
hukum adat dengan Pemerintah. Dua bentuk konflik tersebut
menggambarkan bahwa pengaturan kawasan hutan di Indonesia tidak
memperhatikan keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat
atas wilayah adatnya. Padahal kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 28
sejarah penguasaan tanah dan sumber dayayang berimbas pada perbedaan
basis klaim dengan pihak lain termasuk Pemerintah (negara) terhadap
kawasan hutan. Dalam kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat
belum memperoleh hak‐hak yang kuat atas klaimnya tersebut sehingga
tidak jarang mereka justru dianggap sebagai pelaku kriminal ketika
mengakses kawasan hutan yang mereka akui sebagai wilayah adat.
Dimasukkannya hutan adat sebagai bagian dari hutan negara sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) UU
Kehutanan adalah pokok soal utama dalam hal ini. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat
terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas
kawasan hutan yang merupakan kawasan hutan adatnya, karena tidak
memperhatikan aspek historis masyarakat hukum adat atas wilayah
adatnya.
2. Deforestrasi dan Bencana Ekologi
Provinsi Kalimantan Timur memiliki kawasan hutan sangat luas, meliputi lebih
dari dua pertiga luas daratannya. Luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan
Timur ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-
II/2001, dan usulan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam Revisi RTRWP.
Apabila usulan revisi RTRWP disetujui, akan terjadi pengurangan luas Kawasan
Budidaya Kehutanan (KBK) sebanyak 2.692.806 ha dari luas KBK menurut SK
Menhut No. 79/Kpts-II/2001 sekitar 14.651.553 ha. Alih fungsi KBK akan
menambah luas KBNK/APL yang sebelumnya seluas 5.243.300 ha menjadi
7.936.106 ha. Luas area gambut, sebagai area penting terkait emisi, sangat kecil
dibandingkan luas total kawasan yaitu 405.281 ha (2,04%).
Pengurangan luasan KBK menjadi KBNK/APL, berdampak terhadap
pengurangan potensi penyerapan karbon (CO2) yang berpengaruh terhadap
rencana implementasi pengurangan emisi. Sedangkan hutan mangrove di
Kalimantan Timur memiliki luas 883.379 ha, yang mengalami rusak berat
329.579 ha, rusak ringan 328.695 ha, sedangkan yang kondisinya baik hanya
tersisa 225.105 ha (25,48%). Luas deforestasi di Kalimantan Timur akan terus
bertambah dengan adanya penggunaan sebagian kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan.
Menurut data tahun 2011, terdapat 93 izin persetujuan prinsip pinjam pakai
untuk pertambangan dan non-pertambangan seluas 156.294,65 ha. Kerusakan
hutan akan mengakibatkan kepunahan berbagai jenis flora fauna endemik dan
langka, atau paling tidak membuat ruang hidup mereka terbatasi. Jumlah
pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang hingga awal tahun 90-an
masih lebih dari 100 buah, tahun 2010 hanya tinggal sekitar 86 buah, dimana
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 29
sekitar 25 buah di antaranya tidak aktif beroperasi meskipun sebagian masih
tetap memegang izin. Disamping itu juga terdapat 29 buah izin hutan tanaman,
dimana hanya lima yang aktif. Selain semakin berkurangnya potensi hutan,
maka aspek konflik dengan masyarakat setempat juga menjadi alasan tidak bisa
beroperasinya banyak perusahaan perkayuan.
Berkaitan dengan kerusakan hutan, total luas lahan kritis sekitar 7.928.749 ha
(39,95% dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur sekitar 19.844.117 ha),
sedangkan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan sekitar 5.746.485 ha
(40,09% dari total kawasan hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur sekitar
14.332.508 ha).
Berkaitan dengan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: (1) Komparasi laju
kerusakan dan perbaikan hutan yang sangat timpang, maka upaya
penyimpanan dan penyerapan karbon menghadapi tantangan sangat besar; (2)
Pengendalian kerusakan hutan harus diarahkan bukan hanya dengan
mempercepat rehabilitasi, tetapi juga menekan laju kerusakan dan
menghilangkan faktor utama penyebab deforestasi dan degradasi hutan; (3)
Keberhasilan menekan emisi hanya dimungkinkan dengan dukungan partisipasi
semua pihak termasuk masyarakat hukum adat Dayak.
3. Eksploitasi Batubara
Kegiatan pertambangan batubara di Kalimantan Timur meningkat pesat sejak
pertengahan tahun 2000-an, dipacu oleh banyaknya investor yang mengejar
keuntungan besar dan cepat. Perkembangan tambang batubara seiring dengan
merosotnya industri perkayuan dan bahkan kecepatannya melebihi
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kabupaten/Kota antusias
mengeluarkan izin-izin kuasa pertambangan karena pemasukan yang cukup
tinggi. Selain disamping PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara) yang dikeluarkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota juga berwenang menerbitkan izin skala lebih kecil yang
disebut KP (Kuasa Pertambangan). Kalimantan Timur merupakan provinsi
penghasil batubara terbesar di Indonesia dengan total produksi tahun 2011
sebesar 190 juta metrik ton.
Setelah ada rekonsiliasi perizinan dengan terbitnya UU No. 4/2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, jumlah perusahaan tambang di Kaltim
menurun dari 1.180 perusahaan (2009) menjadi 792 perusahaan, namun
cakupan kawasannya tetap besar, yaitu 3.911.208 hektar (atau bertambah
seluas 826.074 hektar dari tahun 2009). Maka jika seluruh izin Kehutanan,
Perkebunan dan Pertambangan dijumlahkan, luasnya setara dengan luas
wilayah daratan Kalimantan Timur, 210.000 km2.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 30
Dampak negatif pertambangan batubara diantaranya: (1) Ditinggalkannya lebih
dari 2.542 lubang bekas penambangan; (2) Banjir dan erosi akibat dari
tertutupnya saluran air dan sungai oleh sedimentasi hasil erosi; (3) Hujan debu
di pemukiman/perumahan penduduk dari kegiatan pertambangan dan
angkutan batubara; (4) Terbentuknya lahan-lahan tidak produktifakibat
pengupasan lapisan tanah atas dan belum ditemukannya pola reklamasi yang
efektif; (5) semakin terdesaknya lahan-lahan pertanian pangan dan/atau
rusaknya areal pertanian akibat aktivitas tambang di sekitarnya.
Selain itu, pertambangan batubara juga memberikan dampak sosial-budaya,
mulai dari pola hidup konsumtif yang semakin meluas (melalui jual beli/sewa
lahan) di kalangan masyarakat lokal dan runtuhnya struktur dan sistem
kelembagaan lokal tradisional sebagai hasil dari kompetisi di kalangan
penduduk sendiri.
Beberapa faktor yang dapat disimpulkan atas terjadinya degradasi lingkungan
dan ancaman kepunahan sumber daya alam akibat dari ekstensifikasi
pengusahaan kehutanan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan
batubara, sebagai berikut:
1. Kegiatan pemanfaatannya bersifat ekstensif, eksploitatif dan destruktif
serta terjadinya tumpang tindih perizinan dan perambahan kawasan hutan
2. Kerusakan hutan akibat eksploitasi dan ketiadaan pengawasan lapangan
serta penegakan hukum mengancam terulangnya kasus perkebunan dan
pertambangan.
3. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Rencana
Kelola/Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) yang menjadi andalan
pengendalian tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak dikawal dengan
oleh instansi yang berwenang
4. Partisipasi masyarakat lokal sangat rendah, bahkan beberapa kelompok
masyarakat tergoda terlibat kegiatan sebagai akibat dari kelangkaan
sumber daya yang selama ini menjadi tumpuan penghidupan.
4. Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit
Sektor pertanian yang intensif dikembangkan dihampir semua Kabupaten
adalah perkebunan dengan komoditas kelapa sawit. Pengembangan kelapa
sawit memang pada kawasan non-kehutanan atau disebut sebagai Areal
Penggunaan Lain (APL), akan tetapi sebagian dilakukan dengan mengkonversi
lahan berhutan.Setidaknya 4,6 juta hektar lahan di Kalimantan Timur
teridentifikasi potensial bagi usaha perkebunan.
Pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur mengalokasikan seluas 1 juta
hektar untuk pengembangan kelapa sawit. Namun izin yang dikeluarkan
mencapai 3,7 juta ha izin lokasi dan 2,6 juta ha izin usaha perkebunan dengan
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 31
jumlah perusahaan 318. Akan tetapi baru sekitar 662 ribu hektar yang telah
melakukan kegiatan lapangan. Data jumlah izin beserta luas dan luas realisasi
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur hingga 2012 (bulan April) sebagai
berikut:
Tabel 1.
Jumlah izin beserta luas dan luas realisasi perkebunan kelapa sawit
di Kalimantan Timur
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur (2012)
Berdasarkan data April 2012, jumlah perusahaan sudah meningkat menjadi 330
perusahaan, dengan luas izin 3,73 juta ha, luas HGU mencapai 964,14 ribu ha,
serta realisasi penanaman 821.490,54ribuha. Luasan perkebunan kelapa sawit
dipastikan semakin besar di masa mendatang hingga tercapai target 1 juta
hektar. Guna mendukung kegiatan pengolahan kelapa sawit dan menjadikan
Kaltim sebagai “Kawasan pengembangan agrobisnis terbesar di wilayah Timur
Indonesia,” telah dibangun 29 pabrik pengolahan minyak (CPO) dengan
kapasitas 1.335 ton/jam TBS. Selain itu, sudah ada rencana pembangunan 9
pabrik pengolahan minyak kelapa sawit dengan kapasitas 405 ton/jam TBS.
No. Kabupaten/
Kota
Jumlah Perusahaan
Luas Izin IUP HGU Realisasi Inti + Plasma+ Sawit
Rakyat (Ha) Lokasi (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1 Balikpapan - - - - - - -
2 Berau 32 191.019,16 20 130.576 14 98.134,17 51.228,43
3 Bontang - - - - - - -
4 Bulungan 20 325.500 16 289.011,73 4 47.783,60 39.639,61
5 Kutai Barat 50 658.099,34 23 563.642,84 9 99.326,80 24.194,90
6 Kutai Kertanegara
58 776.123,30 34 530.011,40 27 216.590,04 162.029,43
7 Kutai Timur 84 942.634,50 43 431.865 28 228.726,30 245.472,07
8 Malinau 8 139.750 8 139.750 - - 547
9 Nunukan 16 121.841 12 139.671,16 7 77.939,01 94.361,68
10 Paser 39 322.451,90 32 286.171,43 17 137.100,34 150.426,38
11 Penajam Paser Utara
14 138.315 12 122.603,33 6 28.542,97 52.476,04
12 Samarinda 1 3.000 1 3.000 - - 1.115
13 Tana Tidung 8 109.787,50 3 46.680,84 3 30.000 -
14 Tarakan - - - - - - -
Jumlah 330 3.728.521,70 204 2.682.983,73 115 964.143,23 821.490,54
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 32
Perkembangan perkebunan kelapa sawit terjadi antara lain karena promosi dan
dukungan Pemerintah Daerah, di tengah kehidupan masyarakat dari hasil hutan
dan pertanian ladang yang terus menurun, berbanding terbalik dengan
kebutuhan hidup dan ongkos yang harus dibayarkan. Ketiadaan batas kawasan
hutan yang jelas di lapangan dan kurang tepatnya pemberian perizinan
perkebunan, juga mengakibatkan sekitar 200 ribu hektar lahan perkebunan
kelapa sawit tumpang tindih atau menjarah kawasan hutan. Kegiatan
pembukaan lahan terhadap tegakan hutan untuk persiapan kebun kelapa sawit
menjadi penyebab terjadinya risiko lingkungan, seperti terjadinya aliran
permukaan, erosi, sedimentasi yang berakibat pada pendangkalan badan
sungai.
5. Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi Kalimantan Timur belum
sepenuhnya mencerminkan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam yang lestari, berkelanjutan dan dapat mendukung usaha memelihara
ekosistem yang khas yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi, serta
mengakomodir kepentingan masyarakat hukum adat Dayak.
Dalam konteks tata ruang, proses partisipatif semestinya menjadi kunci
penataan kawasan di Kalimantan Timur, tetapi proses ini mengalami stagnasi
sehingga masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan tata ruang.
Maka, konflik “land tenure” yang dilatar-belakangi penyusunan tata ruang, dan
regulasi yang tidak partisipatif, membuat kepentingan rakyat terabaikan dan
terpinggirkan oleh kepentingan elit politik dan investor.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 33
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Bab ini memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait
yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan rancangan peraturan daerah yang
akan dibuat dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal
dan horizontal.
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk
mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui
posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat
sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari
Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil
dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan
yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah Provinsi yang akan dibentuk.
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat pada
bagian ini akan dilihat dari dua sudut pandang, pertama dari hukum internasional,
dengan melihat bagaimana pengaturan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam
berbagai instrumen hukum internasional, dan kedua, dari hukum positif Indonesia,
dimana akan dicermati sejauhmana ketentuan yang terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada memberikan pengakuan, penghormatan
dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
A. Perkembangan Pengaturan Masyarakat Adat dalam Perspektif Hukum
Internasional25
Pengaturan mengenai masyarakat adat di dunia internasional melalui proses
proses perjuangan yang cukup panjang. Diawali dengan adanya perjuangan kaum
yang tertindas yang menghadapi penghisapan terhadap rakyat negara-negara di Asia,
Amerika Latin dan Afrika (dengan pengecualian beberapa negara di kawasan-
kawasan ini) dalam bentuk neokolonialisme. Benturan antara klaim hak di negara-
negara tersebut, awalnya di Amerika Utara, Tengah dan Selatan. Antara rakyat yang
terhisap dengan pihak penghisap, menguatkan kembali klaim hak kolektif dan
indigenous peoples merupakan manisfestonya.
25 Secara terminologi, dalam perspektif hukum internasional perlu dipahami dulu istilah
Indigeneous People. Dalam bahasa Inggris ‘Indigenous People’ berarti kelompok orang/masyarakat yang hanya memiliki hak-hak individual, sedangkan ‘Indigenous Peoples’ merujuk kepada kelompok orang/masyarakat yang memiliki hak-hak kolektif.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 34
Perlawanan oleh si terhisap itu kemudian menimbulkan konsep identifikasi diri
sebagai sebuah kelompok dengan klaim "hak kolektif" dengan berbagai variasi
struktur politik dan hukum di atasnya berhadapan dengan klaim hak individu dengan
struktur negara dan kapital sebagai landasannya. Ada dua hal di sini: (i) klaim hak
kolektif itu mau tak mau harus dilakukan karena kalau mengikuti klaim hak individu,
maka akan makin terpuruk; (ii) klaim ini hanya mungkin hidup (eksis) jika dan hanya
jika terjadi identifikasi diri sebagai sebuah kolektifitas.
Identifikasi diri seperti itu mungkin cukup jelas bagi komunitas-komunitas di
negara-negara Amerika, Australia, New Zealand misalnya, di mana kelompok
masyarakat yang terhisap (sejak buruh-buruh penduduk asli di perkebunan mulai
abad 19 sampai awal abad 20 yang melahirkan ILO), dapat memposisikan diri secara
jelas berdasarkan dua argumen sosiologis dan historis yaitu (i) secara historis mereka
sudah jauh lebih dulu ada dan menjadi tuan atas negerinya sendiri (indigenae); dan (ii)
negara dengan struktur kapitalis dan budaya yang ada sama sekali bukan sebuah
"warisan budaya" mereka. Karena itu identifikasi diri sebagai "kita" (yang indigenous)
terhadap "mereka" (yang kapitalis dan penghisap) nampak lebih jelas. Ini sangat
berbeda dengan situasi kekinian di Indonesia.
Identifikasi terhadap masyarakat hukum adat oleh van Vollenhoven dan kawan-
kawannya itu juga dilakukan dengan prinsip baku identifikasi yang sama, yaitu: “kita”
(Belanda Kolonial) berhadapan dengan "mereka" (pribumi, Inlander tidak termasuk
Timur Asing). Tapi Belanda kemudian tidak berada di sini sebagai negara baru.
Dengan demikian ada latar politik, hukum dan sosial budaya yang sangat berbeda
dalam upaya identifikasi pada masa itu dengan situasi kekinian di Indonesia bila
dibandingkan dengan negerinya para indigenous peoples di Amerika dan sekutu-
sekutunya26.
Kemudian dalam perkembangannya, kesepakatan World Summit 2002, di Jo
Berg melalui Milenium Development Goal’s target on Health Issues - Tujuan 4, 5 and 6
menggambarkan kondisi Masyarakat Adat Di Asia, dengan pernyataan pernyataan
dibawah ini:
1. Lack of access to adequate and culturally appropriate health care services. There are
very few and ill-equipped health centers and health personnel in indigenous
territories;
2. Discriminatory behavior of health personnel towards indigenous peoples and
discrimination against traditional health and healing practices;
3. There are serious health problems caused by environmental issues such as pesticides,
chemical fertilizers, pollution from toxic mine tailings, toxic substances such as the
agent orange in Vietnam, among others;
26 Proses Diskusi Milis SHKlist, Emil Kleden tentang RPP Hutan Adat,17 Juli 2007
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 35
4. Very few indigenous individuals become health professionals and in areas where
there are, there is a problem of brain drain such as the case of the Philippines;
5. Increasing cases of HIV/AIDS because of drug addiction and sexual traffickingas well
as increasing migration as in the case of North East India, Thailand and Burma;
6. Immunization programs are very inadequate or are used improperly;
7. There are also cultural practices which have negative impacts on health such as
practices related to sanitation and hygiene;
8. Use of indigenous peoples as guinea pigs in experimental drugs and the use of birth
control methods without the knowledge of people such as in the case of Burma,
Bangladesh and North-East India;
9. Collection of genetic materials (DNA) of indigenous peoples through the National
Geographic and IBM program and also through the Human Genome Project -SNP
(Single Nucleic Polymorphism) without the free, prior and informed consent of the
indigenous peoples, such as in the Philippines, India, Indonesia and others
Recommendations of the Asia Indigenous Peoples' Caucus to the Permanent Forum
and the Members of the Inter-Agency Support Group (pernyataan Sikap Kaukus
Masyarakat Adat Internasional dalam Forum Masyarakat PBB, Newyork_2006)
Konvensi yang paling terkenal dan menjadi acuan untuk pergerakan
Masyarakat Adat Dunia adalah Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 (Convention 169 of
the ILO concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) yang
merupakan Konvensi Multilateral yang ditujukan juga untuk Masyarakat Adat dan
merupakan pengganti dari Konvensi No. 107 tahun 1957 tentang Perlindungan dan
Integrasi Masyarakat Adat dan populasi Suku dan Semi Suku Bangsa Lainnya di
Negara Negara Merdeka. Konvensi ILO mencantumkan “Perlindungan” sebagai objek
utama Konvensi dengan dasar penghormatan terhadap kultur, tradisi dan kebiasaan
masyarakat adat dan suku bangsa asli.
Dalam pasal-pasal konvensi tersebut dinyatakan bahwa kehidupan suku dan
penduduk asli, baik secara keseluruhan ataupun sebagian diatur oleh kebiasaan,
tradisi, hukum dan peraturan khusus serta institusi yang mereka miliki (Pasal 1 ayat
[1] a, Pasal 2 ayat [2] b, Pasal 8 ayat [2], dan Pasal 9 ayat [2]); mereka mempunyai
identitas atau karateristik sosial, budaya dan ekonomi sendiri (Pasal 1 ayat [1] a, Pasal
2 ayat [2] b, dan Pasal 10 ayat [1]); mereka memiliki praktik dan nilai-nilai spiritual,
religius, sosial dan budaya (Pasal 5 a); bahwa antara nilai, praktik, dan intitusi atau
lembaga yang terdapat di tengah-tengah mereka merupakan suatu kesatuan (Pasal 5
b); dan sebagian dari nilai-nilai itu berkaitan dengan hubungan antara mereka dengan
tanah atau wilayah yang mereka diami (pasal 13 ayat [1]); dan bahwa mereka
mempunyai hak untuk menggunakan, mengelola, dan melestarikan sumber daya
alam hayati yang ada di wilayah mereka (Pasal 15 ayat [1]).
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 36
Pengakuan serupa juga dinyatakan dalam The Rio Declaration on Environment
and Development, yang menyatakan bahwa berdasarkan pengetahuan dan praktik-
praktik tradisionalnya, penduduk asli dan komunitasnya mempunyai peran yang
penting dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan (Prinsip 22). Demikian
halnya dalam Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global
Concensus on the Management, Conservation and Sustainable Develpoment of all Types
of Forest. Pada Pasal 5a disebutkan bahwa kebijaksanaan nasional di bidang
kehutanan perlu menghargai dan mendukung identitas, budaya, dan hak penduduk
asli, masyarakatnya dan komunitas lainnya serta penghuni hutan. Sementara dalam
Pasal 12d dinyatakan bahwa kemampuan dan pengetahuan setempat yang berkaitan
dengan konservasi dan pembangunan hutan berkelanjutan perlu diakui, dihargai,
dicatat, dan dikembangkan melalui dukungan pendanaan dan kelembagaan serta
bekerjasama dengan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati/United Nations Convention on
Biological Diversity yang untuk selanjutnya ditulis CDB, memuat sejumlah Pasal yang
mempunyai keterkaitan kuat dan penting bagi keberadaan masyarakat adat di Dunia,
khususnya diatur dalam pasal tambahan, yakni Pasal 8j, Pasal 10c, Pasal 17.2 dan Pasal
18.4.
Pasal 8j menyerukan kepada semua Negara atau Pihak yang terlibat dalam
Konvensi untuk menghormati, melestarikan dan menjaga pengetahuan, inovesi dan
praktik-praktik komunitas adat dan lokal yang terkait menjadi peraturan negara. Pasal
ini juga mengharuskan bahwa keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan
pengetahuan, inovasi dan praktek harus dibagi secara merata antara komunitas adat
yang bersangkutan. Khusus untuk realisasi Pasal 8j, dibentuk Kelompok Kerja Antar
Sesi Sidang yang Terbuka dan AdHoc dengan mandat, sebagai berikut:
1. Memberikan rekomendasi dalam penerapan hukum dan bentuk bentuk
perlindungan pengetahun tradisional yang sesuai
2. Memberikan rekomendasi kepada COP menyangkut pelaksanaan Paal 8j dan pasal
pasal tamabahn terkait, khususnya dalam pengembangan dan pelaksanaan
program kerja tingkat nasional dan internasional.
3. Mengembangkan program kerja
4. Memberikan reomendasi kepada COP untuk langkah langkah memperkuat
kerjasama pada tingkat internasional diantara komunitas adat dan lokal, dan
memberikan saran cara cara memperkuat mekanisme yang mendukung kerjasama
tersebut27.
Kemudian dalam Pasal 10c, diatur mengenai pemanfaatan yang berkelanjutan
komponen komponen keanekaragaman hayati, dimana para pihak yang terlibat
27 Lembar Informasi 10 Masyarakat Adat dan Lingkungan dalam konvensi
Keanekaragaman Hayati – CBD, hal 8,9,10, tahun 2004.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 37
diharuskan untuk melindungi dan mendorong penggunaan SDA yang sesuai dengan
praktek praktek budaya tradisional yang sejalan dengan kebutuhan konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan. Selanjutnya dalam Pasal 17.2 membahas mengenai
pertukaran informasi tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
yang berkelanjutan. Informasi tersebut termasuk pengetahun tradisional masyarakat
adat dan jika memungkinkan pengembalian informasi pengetahun tradisional
masyarakat adat. Terakhir dari pasal-pasal yang berkenaan langsung dengan
masyarakat adat adalah Pasal 18.4 yang mendukung upaya kerjasama untuk
pengembangan dan penggunaan teknologi, termasuk teknologi tradisional dan asli,
dan mengakui bahwa pengetahuan tradisional harus dihargai sama seperti bentuk
pengetahuan lainnya, dianggap sama sama berguna termasuk pengetahun ilmiah.
Indonesia telah meratifikasi CBD ini dalam bentuk Undang Undang No 5 tahun 1994
Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai
Keanekaragaman Hayati, pada tanggal 1 Agustus 1994.
Piagam internasional lain yang juga mengakui adanya masyarakat hukum adat
adalah Charter of the Indigenous and Tribal Peoples of the Tropical Forests. Dalam
Piagam ini ditegaskan bahwa hutan dan wilayah yang dihuni oleh masyarakat asli dan
masyarakat lokal/setempat bukan sekedar dilihat sebagai sumber daya ekonomi,
tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan mempunyai nilai
spiritual bagi mereka. Hutan dan wilayah merupakan sesuatu yang mendasar bagi
kelangsungan sosial, budaya, spiritrual, ekonomi dan politik mereka (Pasal 3); bahwa
mereka mempunyai pola hidup yang sesuai dengan lingkungan dan dapat mengatur
kehidupan sesuai dengan pandangan hidup yang mereka miliki (Pasal 5, 6, dan 7);
mereka mempunyai pola-pola land tenure tersendiri (Pasal 15) dan pemanfaatan serta
pemilikan yang bersifat khusus terhadap wilayah yang mereka diami (Pasal 16);
mereka mempunyai hak untuk menentukan batas wilayah yang secara resmi diakui
dan didokumentasikan (Pasal 17) dan mereka memiliki hak-hak kolektif terhadap
kekayaan intelektual dan budaya, plasma nutfah, bioteknologi dan pengetahuan
mengenai keanekaragaman hayati (Pasal 40).
Selain itu pengakuan akan hak masyarakat adat dapat ditemukan dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam Pasal 1 ayat (1)
misalnya dinyatakan bahwa semua orang mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya sendiri dan karena hak itu pula mereka mempunyai kebebasan untuk
menentukan status politik dan mengejar perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya
mereka sendiri. Sedang mengenai kelompok minoritas, baik dari sisi etnis, agama,
atau bahasa tidak boleh ditolak haknya dalam masyarakat untk menikmati
kebudayaan mereka sendiri, menganut agama dan menjalankan ibadah, atau
menggunakan bahasa mereka sendiri (Pasal 27).
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 38
Selanjutnya pengakuan akan hak masyarakat adat untuk menentukan nasib
sendiri dan kebebasan untuk menentukan status politik dan mengejar perkembangan
ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri juga kembali ditegaskan dalam Pasal 1
ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Selain
itu, Kovenan ini juga mengatur hak masyarakat adat akan pekerjaan (Pasal 6 dan 7),
penghidupan, perumahan, dan kesehatan yang layak (Pasal 10,11, dan 12) serta
pendidikan (Pasal 13dan 14).
Adapun instrumen internasional yang secara khusus membicarakan
masyarakat adat adalah Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak
Masyarakat Adat (United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples).28
Terkait dengan atas hak atas tanah atau wilayah adat, dalam Pasal 10 ditegaskan
bahwa masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah
mereka. Relokasi tidak boleh dilakukan tanpa persetujuandan bila ada persetujuan
maka mereka diberikan kompensasi yanga adil serta jika dimungkinkan mereka diberi
pilihan untuk kembali. Lebih lanjut dalam Pasal 25 diakui adanya hubungan spiritual
masyarakat adat dengan tanah, wilayah atau perairan yang mereka diami atau
tempati secara tradisional. Pengakuan akan hak masyarakat atas wilayah dan sumber
daya alam yang terdapat dalam wilayah itu serta pemanfaatannya ditegaskan dalam
Pasal 26 ayat (1) dan (2), bahkan pada ayat (3) ditegaskan bahwa pemerintah patut
memberikan perlindungan atas hak tersebut. Secara substansi, pengakuan dan
perlindungan terhadap tanah/wilayah dan sumber daya alam yang terdapat dalam
wilayah itu serta pemanfaatannya juga ditemukan dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 30.
Sementara hak untuk mempertahankan identitas dan kebudayaan, serta
kearifan tradisi masyarakat adat dinyatakan dalam Pasal 11,12, 13, 31, dan 34. Pada
kelima pasal itu ditegaskan bahwa masyarakat adat berhak untuk mempraktikan atau
menghidupkan kembali adat dan tradisi mereka, mengajarkan dan mengembangkan
tradisi agama dan spiritual serta bahasa filsafat, sistem tulisan dan negara memiliki
kepatutan untuk menjamin hak-hak tersebut.
28 Deklarasi ini disahkan tanggal 29 Juni 2006 pada sidang perdana Dewan Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM) di Jenewa melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote), dengan hasil 30 negara mendukung (termasuk Indonesia, India, China, Cuba) 2 menentang (Canada dan Federasi Rusia), 12 abstain (termasuk Filipina, Algeria) dan 3 absen (Djibouti, Gabon, Mali). Adapun Dewan HAM merupakan badan baru yang dibentuk pada tanggal 15 Maret 2006 oleh Majelis Umum PBB untuk menggantikan Komisi HAM PBB yang dibentuk sejak 1946, sebagai bagian upaya reformasi PBB. Lihat Adhi Santhika, “Potensi Pelanggaran Ham Dalam Berbagai Kebijakan Negara Yang Berhubungan Dengan Hak Masyarakat Adat Dalam Bidang Hak Sipol,” Makalah disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21-23 Agustus 2007.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 39
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas pendidikan
diatur dalam Pasal 14 dan 15. Masyarakat adat berhak mendirikan sistem pendidikan
dengan menggunakan metode yang sesuai dengan budaya mereka dalam proses
belajar mengajar, dan secara inividual, khususnya anak-anak, berhak untuk
mendapatkan pendidikan negeri di segala tingkatan, tanpa ada bentuk diskriminasi.
Selain itu juga dinyatakan bahwa masyarakat adat berhak atas martabat dan
keragaman budaya, sejarah dan aspirasi mereka untuk disampaikan secara tepat
dalam pendidikan dan informasi umum.
Berkenaan dengan hak atas penghidupan yang layak, pekerjaan dan
perumahan dalam Pasal 21 dinyatakan bahwa masyarakat adat berhak, tanpa
diskriminasi, atas peningkatan kondisi ekonomi dan sosial mereka, yang antara lain
mencakup pekaryaan, pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, perumahan, sanitasi,
kesehatan dan keamanan sosial. Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan bahwa
masyarakat adat berhak untuk secara aktif dilibatkan dalam mengembangkan
program kesehatan dan sedapat mungkin mereka menangani administrasinya melalui
lembaga di kalangan mereka sendiri. Terkait dengan hal ini, dalam Pasal 24 ditegaskan
bahwa masyarakat adat berhak menggunakan obat-obat tradisional dan memelihara
praktik-praktik kesehatan yang mereka miliki dan bahwa secara individual, anggota
masyarakat adat juga berhak untuk mengakses, tanpa diskriminasi apapun, kepada
pelayanan kesehatan dan sosial.
B. Kedudukan Masyarakat (Hukum) Adat dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat 2 (dua) istilah
yang dipakai dalam menyebut masyarakat adat, yaitu masyarakat hukum adat29 dan
masyarakat adat.30 Kedua istilah ini mengacu kepada pengertian yang didasarkan
pada pemenuhan unsur dan pendekatan definisi. Dengan menggunakan pendekatan
yang berbeda dalam memahami masyarakat adat, maka tentu saja penggunaan
kedua istilah ini mengandung sejumlah problem konseptual, misalnya saja apakah
istilah masyarakat hukum adat adalah kata lain dari adatrechtsgemeenschap dan
istilah masyarakat adat adalah kata lain dari indigenous peoples? Dari sisi dinamika,
29 Lihat misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
30 Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 40
dengan mengacu kepada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa
bandul pengakuan terhadap masyarakat adat telah berubah, dari pengakuan yang
semula bersifat deklaratif menjadi pengakuan bersyarat.31
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
a. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional
masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara
mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan
agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat adat.
Berdasarkan rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan
bahwa terdapat 4 (empat) unsur yang harus diperhatikan sebagai “syarat”
eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia, yaitu:
1) Sepanjang masih hidup
Seperti diuraikan di atas, ada di kalangan mereka yang tidak mampu
mempertahankan kehidupannya, sebagai akibat dari keterpurukan hidup,
yang mencari kehidupan di tempat-tempat/lingkungan daerah lain, sehingga
ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian darah.
Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya selama
ini, lama kelamaan menjadi pudar, akhirnya hilang sema sekali. Sedangkan
daerah atau teritorialyang menjadi salah satu syarat adanya “hukum adat”
bagi suatu masyarakat, tidak mungkin mengikuti migrasi anggotanya setiap
kali dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik.
Kenyataan saat ini, masih banyak juga yang sanggup mempertahankan
eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam persekutuan
hukum adat dalam satu wilayah tertentu, dimana para anggotanya tetap
diikat dengan pertalian darah yang kuat.
31 Lihat Rikardo Simarmata, “Perlindungan Hak-hak Dasar Masyarakat Adat dalam
Peraturan Perundang-undangan Nasional: Catatan Kritis” Makalah disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21-23 Agustus 2007, hlm. 1-3
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 41
2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Ciri/persyaratan ini, tentunya mengandung arti bahwa hal-hal yang menjadi
ketentuan-ketentuan tradisionalnya, tidak boleh bertentangan dengan
kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak dapat menghindarkan dirinya
dari pengaruh global. Di antaranya akan penghormatan terhadap hak-hak
perempuan misalnya. Ada kalanya terdapat hukum tradisional (adat) yang
sesungguhnya dilihat dari sudut martabat perempuan, sangat melecehkan.
Misalnya, kebiasaan memperistri banyak orang yang malah menjadikan
kebanggaan status sosialnya. Seharusnya dalam rangka penghormatan
martabat perempuan yang memiliki hak asasi (Deklarasi Wina Tahun 1993)
memperoleh kedudukan sedemikian rupa sesuai dengan harkat
martabatnya sebagai manusia, jangan diperlakukan sebagai kekayaan
property yang dapat untuk mendongkrak kedudukan sosialnya.
3) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Syarat ini, sudah selayaknya dan harus dimiliki setiap masyarakat hukum
adat. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut, benar-benar
murni suatu perwujudan dari ketentuan-ketentuan/kebiasaan-kebiasaan
tradisional yang telah secara turun-temurun dilaksanakan. Jadi jangan
sampai mewujudkan ketentuan modern yang terkontaminasi kehidupan
politik modern.
Jadi singkatnya, hukum yang berlaku dalam komunitas masyarakat tersebut,
tidak bertentangan dengan hukum yang diberlakukan bagi seluruh wilayah
Indonesia.
4) Yang Diatur dalam Undang-Undang.
Selain diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 18B), yang selanjutnya sudah
dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Seperti dalam
UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan UU
tersebut, antara lain diatur bahwa masyarakat hukum adat sebagai satu
kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat
(1) huruf b UU No 24 Tahun 2003.32
Terlepas dari sejumlah kritik33 yang dialamatkan terhadap rumusan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 tersebut, pengakuan tersebut harus bisa dimaknai serta
32 Lies Sugondo, “Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka Hukum Nasional,” Makalah
disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21-23 Agustus 2007, hlm. 3-6
33 Bagaimana kritik terhadap rumusan pasal tersebut bisa dilihat dalam Yance Arizona (Ed.), 2010, Antara Teks Dan Konteks: Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam Di Indonesia, Jakarta, Huma.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 42
dijabarkan lebih lanjut untuk pemajuan hak-hak masyarakat adat baik yang
dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun untuk
diimplementasikan di lapangan. Sehingga konstitusionalitas Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 tersebut dapat diukur secara sosiologis dalam keberlakuannya di
dalam masyarakat adat.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan
penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur
dalam undang-undang. Secara terminologis, frasa “diatur dalam undang-
undang” memiliki makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan
penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat tidak harus dibuat
dalam satu undang-undang tersendiri.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-IX/2012 menyatakan bahwa
Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini
belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan
perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud
terbentuk. Hal tersebut dapat dipahami dalam rangka mengisi kekosongan
hukum guna menjamin adanya kepastian hukum. Dengan demikian, pengaturan
yang ditetapkan dengan peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat
dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang
berkeadilan.
Apabila mencermati kedudukan Pasal 18B ayat (2) terletak pada Bab VI
tentang Pemerintahan Daerah maka dapat dinyatakan bahwa masyarakat
adat yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 identik dengan
pemerintahan lokal yang memiliki sistem asli yang sudah hidup di dalam
masyarakat sejak lama. Pendekatan konstiusional dari Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 adalah pendekatan tata pemerintahan yang ingin mengkonstruksikan
masyarakat adat sebagai pemerintahan pada level lokal (Arizona, 2010: 20-1).
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah
memiliki kewenangan dalam penyusunan ketentuan yang memberikan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan mengacu pada
rambu yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu “sepanjang peraturan
tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.”
b. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.”
Pendekatan konstitusional terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 ini adalah
pendekatan HAM. Hal ini nampak jelas dalam sistematika UUD 1945 yang
meletakkan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 43
Manusia bersamaan dengan hak-hak asasi manusia lainnya.
c. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
Pasal 32 ayat (1): “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Pasal 32 ayat (2): “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.”
Kedua ketentuan ini tidak terkait langsung dengan hak masyarakat adat atas
sumber daya alam. Namun dalam kehidupan keseharian masyarakat adat,
pola-pola pengelolaan sumber daya alam tradisional sudah menjadi budaya
tersendiri yang berbeda dengan pola-pola yang dikembangkan oleh
masyarakat industri. Pola-pola pengelolaan sumber daya alam inilah yang
kemudian menjadi salah satu kearifan lokal atau kearifan tradisional
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Ketentuan ini menjadi landasan konstitusional dalam melihat
masyarakat dari dimensi kebudayaan. Hak yang diatur dalam ketentuan ini
yaitu hak untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pendekatan kebudayaan dalam melihat adat istiadat
dari masyarakat adat menjadi pendekatan yang paling aman bagi pemerintah
karena resiko pendekatan ini tidak lebih besar dibandingkan dengan
pendekatan lainnya. (Arizona, 2010: 23-4).
2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 41 dari Piagam Hak Asasi Manusia yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Ketetapan ini menyatakan “Identitas Budaya masyarakat
tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan
perkembangan zaman.
3. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Haluan Negara 1999 – 2004.
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi ditemukan arahan “Mengembangkan
kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah
secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat
setempat termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang
wilayah yang serasi dan seimbang.
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Salah satu prinsip yang menjadi landasannya adalah seperti
yang dicantumkan dalam Pasal 4 huruf j yang menyatakan “Mengakui,
menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 44
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Salah satu prinsip yang menjadi landasannya adalah seperti yang dicantumkan
dalam Pasal 4 huruf j yang menyatakan “mengakui, menghormati, dan melindungi
hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya
agraria/sumber daya alam.”
5. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-undang ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pelaksanaan lebih lanjut
dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 194534 sebagaimana yang terlihat
dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3). Sedang pada ayat
(4) dinyatakan bahwa hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan akan masyarakat adat dan hukum adatnya kembali ditemukan dalam
Pasal 3 UUPA. Ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.”
Mengenai hak ulayat dan hak-hak lain yang serupa itu, dalam penjelasan Pasal 3
UUPA dinyatakan sebagai “apa yang dimaksud dalam perpustakaan adat disebut
‘beschikkingsrecht’”. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pakar hukum adat,
yaitu Cornelis van Vollenhoven. Beschikkingsrecht adalah suatu hak yang tidak
dapat dipecah-pecahkan, mempunyai dasar religius dan tidak ada sangkut pautnya
dengan hukum perdata Belanda yang termuat dalam Burgelijk Wetboek. Hak
beschikken atas tanah itu hanya dapat dimiliki oleh persekutuan hukum
gemeenschappen, dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan. Hak ini tidak dapat
dilepaskan untuk selama-lamanya; jika hak ini dilepaskan untuk sementara, maka
wajib dibayar kerugian-kerugian karena hilangnya penghasilan-penghasilan
sebelumnya, maupun pajak-pajak yang menurut hukum adat setempat harus
diserahkan kepada persekutuan pemilik tanah itu. Jika pemerintah kolonial
34 Penjelasan yang komprehensif mengenai hal ini bisa dilihat dalam Rikardo Simarmata,
Pengakuan Hukum ... op.cit., hlm. 55-64
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 45
Belanda menghendaki tanah milik penduduk pribumi, hal itu akan dimohon kepada
komunitas pemegang beschikkingsrecht setempat, dengan pengertian bahwa hak
itu hanya dipindahkan sementara waktu guna menyelenggarakan keperluan-
keperluan pemerintahan dan untuk itu biasanya dibayarkan sejumlah uang atau
benda-benda lain sebagai tanda pengakuan adat (“recognitie adat”).35
Apabila ditelusuri lebih jauh, terdapat perbedaan yang prinsipil, baik dari sisi
substansi ataupun yuridis antara beschikkingsrecht, sebagaimana yang diidealkan
oleh Van Vollenhoven dengan beschikkingsrecht yang telah diterjemahkan sebagai
hak ulayat oleh pembentuk UUPA. Secara substansial, beschikkingsrecht meliputi
berbagai kewenangan, seperti mengambil hasil-hasil alami dari hutan, berburu
binatang liar, mengambil untuk memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan
membuka tanah dalam hutan dengan izin kepala persekutuan hukum adat.
Dalam rangka beschikkingsrecht dapat terjadi hak-hak perorangan atas tanah-
tanah yang sudah dibuka dan diusahakan terus menerus, tetapi ketika tanah itu
diterlantarkan, maka hak-hak perorangan itu akan lenyap dan tanahnya kembali
menjadi beschikkingsrecht persekutuan.36 Sedangkan dari aspek yuridis, menurut
Ruwiastuti (Bachriadi, Faryadi, & Setiawan, 1997: 59-60), beschikkingsrecht masih
memuat unsur-unsur “penghormatan dan pengakuan” di dalamnya—seperti yang
diandarkan di muka—sementara pada hak ulayat, unsur-unsur tersebut telah
hilang, sebab penyerahan recognitie menurut undang-undang justru bertujuan
melepaskan seterusnya hak-hak penduduk pribumi itu dari para pemegangnya
kepada negara.37
Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu unsur hukum perdata dan hukum publik.
Unsur pertama menegaskan hak ulayat sebagai hak kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang
dipercayai berasal dari peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan
karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan
penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu.
Sementara unsur kedua (hukum publik), menyatakan hak ulayat sebagai
kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan
penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para
warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang
luar.”
35 Maria R. Ruwiastuti, “Hak-hak Masyarakat Adat dalam politik Hukum Agraria”, dalam
Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, & Bonnie Setiawan (ed), Reformasi Agraria:Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaharuan Agraria di Indonesia, (Jakarta: LPFE-UI, 1997) hlm. 60-1
36 Maria R. Ruwiastuti, “Menuju Pluralisme Hukum Agraria” (Kertas Posisi KPA No. 006, 1998) hlm. 5
37 Maria R. Ruwiastuti, “Hak-hak Masyarakat Adat dalam politik Hukum Agraria”, dalam Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, & Bonnie Setiawan (ed), op.cit. hlm. 59-60
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 46
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang didasarkan pada
faktor genelogis ataupun territorial. Apabila ada orang yang seakan-akan
merupakan subyak hak ulayat, maka orang itu adalah ketua atau tetua adat yang
memperoleh kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan
petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang
bersangkutan dengan hak ulayat.
Selain menyebut hak ulayat, pembuat UUPA juga mengakui adanya suatu hak milik
adat sebagai hak-hak perdata biasa yang dapat dimiliki oleh penduduk asli
setempat. Meski tidak dinyatakan secara tersurat, rumusan Pasal II Ketentuan-
ketentuan Konversi UUPA mengisyaratkan hal itu. Istilah hak milik adat digunakan
untuk menyebut berbagai hak milik atas tanah baik yang timbul dari tindakan
membuka hutan yang diakui dan dijamin dalam hukum-hukum adat setempat,
yang diberikan oleh penguasa-penguasa pribumi setempat, maupun yang
diciptakan oleh penguasa Hindia Belanda bagi penduduk asli dan orang-orang
Timur Asing.
Perkataan hak milik adat sendiri merupakan terjemahan dari istilah “inlands
bezitsrecht” yang semula diperjuangkan oleh Van Vollenhoven dalam rangka
menghargai adanya konsep hak milik yang dikenal di kalangan kelompok-
kelompok penduduk asli di tanah jajahan. Pada masa penjajahan, hak milik adat itu
diakui sebagai hak yang paling kuat yang dijamin oleh hukum adat setempat.
Pengakuan tak langsung akan adanya hak milik yang timbul dari pembukaan hutan
primer yang dijamin oleh hukum adat setempat dapat diketahui dari rumusan
Pasal 22 UUPA.38
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Undang-undang ini mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian
sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya melalui kegiatan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya tersebut.
Materi pengaturan undang-undang ini menjadi salah satu pedoman utama dalam
menyusun kebijakan pengaturan Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya
Genetik.
38 Maria R. Ruwiastuti, “Menuju Pluralisme...” op.cit. hlm. 7
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 47
7. Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga
Sejahtera.
Penegasan terhadap hak masyarakat adat untuk hidup dengan identitas budaya
yang khas tersebut juga ditegaskan dalam undang-undang ini. Hak penduduk
sebagai anggota masyarakat, seperti yang ditentukan dalam Pasal 6 huruf b
UUPKPKS, mencakup hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk
mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan
wilayah warisan adat, dan hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku
kehidupan budayanya.
Menurut penjelasan Pasal ini, hak untuk melestarikan dan mengembangkan
perilaku kehidupan budaya meliputi aspek fisik (hubungan dengan tanah), maupun
aspek nonfisik, termasuk sosial budaya seperti kekhasan cara hidup. Dengan
demikian, dalam Pasal 6 huruf b beserta penjelasannya, dari sudut perundang-
undangan diberikan kedudukan kuat kepada penduduk asli/suku atau kelompok
dengan kehidupan yang khas untuk mempertahankan cara hidupnya, termasuk
kegiatan pelestarian lingkungan yang meliputi perlindungan keragaman hayati.39
8. Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional
mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological
Diversity).
Dalam pertimbangannya (huruf d) dinyatakan bahwa:
“Diakui adanya peranan masyarakat yang berciri tradisional seperti tercermin dalam
gaya hidupnya, diakui pula adanya peranan penting wanita, untuk memanfaatkan
kekayaan keanekaragaman hayati dan adanya keinginan untuk membagi manfaat
yang adil dalam penggunaan pengetahuan tradisional tersebut melalui inovas-
inovasi, dan praktik-praktik yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman
hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.”
Sementara pada Pasal 8 mengenai konservasi dalam huruf j dikatakan
“menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi
dan praktik-praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal yang
mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan koservasi dan
pemanfaatan seara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan
penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik
pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong
pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan
pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semcam itu. Selanjutnya dalam
39 Sebagaimana dikutip dalam Hira Jhamtani, Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman
Hayati (Jakarta: KONPHALINDO, 1993) hlm. 20-1
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 48
Pasal 15 butir 4 dikatakan, bahwa akses atas sumber daya hayati bila diberikan,
harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya).
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation)
World Trade Organisation (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional
yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Persetujuan
pembentukan WTO memiliki lampiran (annexes) yang sangat terkait dengan
Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya Genetik yaitu Annex 1C yang juga
lebih dikenal dengan Persetujuan TRIPS (TRIPS Agreement) merupakan bagian dari
persetujuan WTO yang juga memiliki relevansi dengan pengaturan tentang
Keanekaragaman Hayati, termasuk Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan
Tradisional terkait Sumber Daya Genetik.
10. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang dilahirkan oleh
pemerintah untuk mengatur hak asasi manusia dalam cakupan yang lebih luas. UU
ini lahir atas tuntutan penguatan kewajiban negara dalam menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM warga negara. Pembuatan UU HAM semakin
dipercepat karena ada keinginan untuk menegaskan komitmen negara dalam
perlindungan HAM yang selama Orde Baru sempat terabaikan. Substansi dari UU
ini diambil dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sejumlah
ketentun yang dapat dikaitkan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat
terlihat dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU HAM yang berbunyi:
a. Pasal 5 ayat (3): Setiap orang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh pengakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
b. Pasal 6 ayat (1): Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah
c. Pasal 6 ayat (2): Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 5 ayat (3) UU HAM mengatur lebih luas bagi kelompok yang memiliki
kekhususan. Masyarakat adat hanya salah satu kelompok yang memiliki
kekhususan karena berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Perbedaan itu
antara lain soal hubungan sosial, politik dan ekologis dengan alam. Selain
masyarakat adat, kelompok masyarakat rentan yang memiliki kekhususan
misalkan perempuan, anak-anak, kelompok tunarungu dan lain-lainnya. Kemudian
Pasal 6 ayat (1) UU HAM mulai masuk mengidentifikasi masyarakat adat.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 49
Ketentuan ini menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan yang berbeda dari
masyarakat adat yang harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat
dan pemerintah. Terakhir Pasal 6 ayat (2) UU HAM lebih spesfik menyebutkan jenis
hak-hak masyarakat adat yang harus dilindungi oleh negera antara lain identitas
budaya dan hak atas tanah ulayat.
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pada Pasal 4 ayat (3) ditegaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2)
disebutkan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat. Sedang dalam ayat (3)
dinyatakan bahwa Pemerintah menetapka hutan adat sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya. Dan apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat
yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali
kepada Pemerintah (ayat [4]).
Pengertian hutan adat sendiri dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menyatakan
bahwa “Hutan Adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat” yang pada bagian penjelasan Pasal 5 ayat (1) tersebut bahwa hutan
negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan
pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat
tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau
sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan dalam
pengertian hutan negara sebagai konsekwensi adanya hak menguasai oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkat tertinggi dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam
pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya untuk melakukan
kegiatan pengelolaan hutan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 Pasal 1 angka 6
dan penjelasan Pasal 5 ayat (1) dibatalkan sehingga hutan adat bukan lagi hutan
negara melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Masih dalam Undang-undang yang sama, mengenai masyarakat hukum adat
khusus diatur dalam Bab IX yang berjudul “Masyarakat Hukum Adat”. Pada Pasal
67 dinyatakan bahwa:
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak :
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat adat yang bersangkutan.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 50
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam bagian penjelasan Pasal 67 ayat (1) disebutkan bahwa masyarakat hukum
adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi syarat berikut:
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) ;
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya ;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas ;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati,
dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Keempat syarat-syarat yuridis di atas, menurut Sekretaris Jenderal Mahkamah
Konstitusi,40 sampai saat ini belum ada penjelasan resmi dan lengkap tentang arti
keempat persyaratan tersebut. Akibatnya, belum dapat diadakan inventarisasi
resmi terhadap masyarakat hukum adat yang memenuhi empat persyaratan
tersebut, berupa nama masyarakat hukum adat, peraturan daerah yang menjadi
dasar hukum eksistensi masyarakat hukum adat, lokasi, dan batas-batas
wilayahnya, lembaga kepemimpinan, serta alamat pucuk pimpinan masyarakat
hukum adat.
12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-undang ini mencantumkan pengakuan terhadap masyarakat adat atas hak
ulayat. Pasal 6 ayat (2) pada intinya mengatur bahwa penguasaan sumber daya air
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya
diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya
sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam
peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di
Bali; totabuan diBolaang-Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di Sulawesi
Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak.
40 Ibid, hlm. 6
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 51
Sedangkan Pasal Pasal 6 ayat (3) menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat
hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada
dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Penjelasan ketentuan
ini menyebutkan bahwa Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat
termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud
dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat
yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak
ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur,
yaitu :
a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih
merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-
ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan
penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Pengaturan masyarakat adat dalam UU Sumber Daya Air menjabarkan pola
pengakuan bersyarat dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. UU ini dapat dikatakan
sebagai undang-undang pertama setelah amandemen UUD 1945 yang memuat
rumusan pengaturan sebagai penjabaran dari norma konstitusi berkaitan dengan
masyarakat adat. Sehingga mudah dipahami bahwa rumusan pengaturannya
sudah mulai mengikuti trend norma konstitusi berkaitan dengan keberadaan dan
hak-hak masyarakat adat.
13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-undang ini mewajibkan kepada pengusaha yang mengajukan
permohonan hak atas satu wilayah tertentu untuk terlebih dahulu melakukan
musyawarah dengan masyarakat hukum adat yang memegang hak ulayat atas
suatu wilayah. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) yang berbunyi
sebagai berikut:
“Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hokum
adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah
dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 52
tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan
tanah, dan imbalannya.”
Ketentuan ini memposisikan kepentingan masyarakat adat atas suatu wilayah
bukan sebagai hak yang harus diperkuat, melainkan sebagai hak yang harus
dilepaskan dengan kompensasi ganti rugi. Dengan demikian hak masyarakat adat
atas wilayah kehidupannya tidak menjadi hal yang utama, sebab yang lebih
diutamakan adalah kepentingan perkebunan. Namun demikian terhadap hak
masyarakat adat tersebut diberikan sejumlah ganti kerugian bila wilayahnya
dijadikan wilayah konsesi perkebunan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dicantumkan persyaratan keberadaan
masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih
ada bila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgememschaft);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih
ditaati; dan
e. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
Musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para
warga pemegang hak alas tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak
atas tanah. Dalam penjelasan umum UU Perkebunan juga memberikan perhatian
terhadap hak ulayat masyarakat adat. Disana dikatakan bahwa pemberian hak atas
tanah untuk usaha perkebunan harus tetap memperhatikan hak ulayat masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi serta kepentingan nasional.
14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 2 ayat (9) disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.” Undang-undang ini juga mengatur soal pemilihan
kepala desa atau nama lainnya untuk masyarakat desa. Pasal 202 ayat (3)
menyebutkan: “Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya
berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”
Mengembalikan sistem pemerintahan lokal dibuka dengan memberikan
kewenangan kepada pemerintahan desa untuk dapat mengurusi persoalan yang
berkaitan dengan hak asal usul desa sebagaimana diatur dalam Pasal 206 UU No.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 53
32 Tahun 2004. Empat kewenangan pemerintah desa yang diatur dalam Pasal 206
UU No. 32 Tahun 2004 tersebut meliputi (a) urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c)
tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundangan-undangan diserahkan kepada desa.
15. Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya)
Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 undang-undang ini berisikan pengakuan mengakui
hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas
pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan
menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8),
hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan
dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal
10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati
standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12),
hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan
budaya (PasaI15).
16. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik)
Dalam undang-undang ini terdapat, paling tidak, 2 (dua) pasal yang berkaitan erat
dengan masyarakat adat, yakni Pasal 1 yang berisi kenetuan tentang hak untuk
menentukan nasib sendiri dan Pasal 27 yang mengatur tentang tindakan untuk
melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di
negara pihak.
17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Menurut penjelasan undang-undang ini bahwa dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan penataan ruang tersebut, Undang-Undang ini, memuat
ketentuan pokok sebagai berikut, antara lain: hak, kewajiban, dan peran
masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan
masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan
penataan ruang.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 54
Selain itu, pengajuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat juga
dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 5 ayat 5 yang memasukan kawasan adat
tertentu sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya. Hal
yang sama juga disebutkan dalam Pasal 7 ayat (3) dimana dipaparkan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang dilakukan dengan tetapmenghormati hak yang
dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan ayat tersebut menyatakan bahwa hak yang dimiliki orang mencakup
pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
18. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
Dalam Pasal 1 angka 33 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial,dan hukum.
Sehubungan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), dalam
pemberiannya, menurut Pasal 17 (2) wajib mempertimbangkan antara lain
keberadaan masyarakat adat. Selain itu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21
ayat (4) disebutkan bahwa salah satu persyaratan operasional HP-3 adalah
mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal.
Undang-undang ini sendiri juga menyatakan bahwa HP-3 dapat diberikan kepada
masyarakat adat (Pasal 18). Lebih lanjut dalam Pasal 61 ayat (1) ditegaskan bahwa
Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat,
masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang telah dimanfaatkan secara turuntemurun. Pengakuan akan hak-hak
masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal tersebut menurut ayat
(2) dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
berkelanjutan.
19. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-undang ini merupakan pengganti UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini mengikuti arus legalisasi
masyarakat adat di dalam undang-undang terkait dengan sumber daya alam dan
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 55
lingkungan yang banyak terjadi setelah 1998. Undnag-undang ini memakai istilah
masyarakat hukum adat tetapi meniru definisi yang sebagaimana definisi
masyarakat adat dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang
tidak memberikan sejumlah kriteria atau persyaratan terhadap keberadaan
masyarakat adat berserta dengan hak-hak tradisionalnya.
Lalu di dalam menjelaskan pembagian kewenangan pemerintah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur tugas pemerintah dan
pemerintah daerah terkait dengan keberadaan, hak-hak dan kearifan lokal
masyarakat adat. Dalam Pasal 63 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Pembagian tugas
dan wewenang tersebut sebagai berikut:
a. Pemerintah, menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Pemerintah Provinsi, menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada
tingkat provinsi.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota, melaksanakan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
20. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Pasal 6 undang-undang ini menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapa n dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan
Hukum Adat dan Kearifan Lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hak
ulayat Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada
dan telah dikukuhkan dalam Peraturan Daerah (Perda) setempat sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (3).
21. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Meskipun secara keseluruhan Permen ini mengakomodir hak-hak masyarakat
hukum adat, akan tetapi Permen ini belum menjabarkan secara jelas bentuk
pemulihan hak-hak masyarakat hukum adat yang telah direbut oleh pihak luar pada
masa lalu. Dalam praktiknya, Permen ini tidak mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang menuntut pengembalian tanah
ulayat mereka yang dikuasai oleh pihak luar, terutama oleh perusahaan-
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 56
perusahaan.
Akhirnya Permen ini belum mampu menjadi penyelesai masalah. Salah satu
penyebab Permen ini tidak implementatif adalah karena Permen ini
mengecualikan tanah ulayat pada tanah-tanah yang sudah dikuasai dengan alas
hak-hak yang diatur di dalam UUPA. Padahal persoalan tanah ulayat selama ini
muncul karena adanya klaim-klaim yang didasarkan pada hak-hak di dalam UUPA
di atas hak ulayat yang sudah ada pada masa lalu. Selain itu, penyelesaian
masalah tanah ulayat masyarakat adat yang diatur oleh Permen ini hanya bisa
dilakukan dengan terlebih dahulu bila Pemerintah Daerah menerbitkan Perda
pengakuan terhadap masyarakat adat. Namun dengan segala kekurangan yang
ada di dalam Permen, peraturan ini juga pernah dipakai oleh masyarakat dalam
mendorong pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat di daerah seperti
yang terlihat dalam proses pengakuan hukum terhadap hak ulayat Masyarakat
Baduy di Banten
Setelah Permen ini, belum nampak lagi inisiatif pemerintah pada sektor
pertahanan untuk mendorong pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat
adat atas tanah. Inisiatif untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat
adat lebih banyak berkembang di daerah.
2 2 . Peraturan Menteri Kehutanan No. 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan
Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat Pada Areal Hutan Produksi
Secara teknis hak masyarakat hukum adat diatur melalui Peraturan Menteri
Kehutanan No. 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat
Hukum Adat Pada Areal Hutan Produksi, khususnya dalam Pasal 4. Ketentuan
pasal tersebut menyatakan bahwa masyarakat hukum ada dapat memungut hasil
hutan dalam areal hutan yang dibebani HPH, dengan syarat:
a. Untuk memenuhi keperluan hidup sehari hari bagi seluruh masyarakat hukum
adat pada wilayah tertentu beserta anggotanya sesuai dengan azas
kebersamaan.
b. Hasil Hutan tersebut diatas tidak untuk diperdagangkan dan jika hasilnya
digunakan untuk kepentingan bersama bagi masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
c. Hasil hutan yang dapat dipungut meliputi hasil hutan kayu dan non kayu.
d. Peruntukan areal pemungutan hasil hutan bagi masyarakat hukum adat
ditentukan oleh Kepala Dinas Kehutanan Tingkat II atas saran perusahaan
pemegang HPH, dan ditetapkan di luar blok tebangan tahunan yang
bersangkutan.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 57
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Kesadaran akan tantangan terhadap cita-cita untuk membangun sebuah
bangsa Indonesia telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri Negara
Indonesia. Pemikiran itu membawa kepada perumusan filasat dasar. Keberagaman
dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita
untuk menjadi satu bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Ke’bhineka’-an adalah sebuah realitas sosial, sedangkan ke’tunggal-ika’-an adalah
sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas untuk menjadi ’jembatan emas’ –
mengutip Soekarno – menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul
keberagaman dalam sebuah bangsa adalah Negara Indonesia yang merdeka dan
berdaulat.
Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan memerlukan dasar
yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat Indonesia. Pancasila
adalah rumusan saripati seluruh filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan
Negara, sedangkan UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi yang menjadi pedoman
dan rujukan semua peraturan perundangan.
Unsur penghormatan bisa juga ditasfirkan sebagai sudah terangkum dalam Sila
Kedua Pancasila yang menyatakan bahwa Negara Indonesia dibangun di atas prinsip
‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Jelaslah bahwa di Indonesia terdapat
masyarakat dengan susunan asli yang sudah memiliki tingkat peradaban tertentu
sebagai sekelompok masyarakat dari manusia Indonesia dan oleh karena harus
dihormati dalam sebuah Indonesia yang bersatu sebagaimana bunyi Sila Ketiga. Sila
kedua adalah landasan filosofis pengakuan keberadaan berbagai kelompok
masyarakat dengan susunan asli yang memiliki peradabannya masing-masing. Oleh
karena itu adalah tidak pada tempatnya bilamana berbagai kelompok masyarakat
tersebut diberi label sebagai masyarakat tertinggal, tradisionil, atau lebih buruk lagi
primitif. Pelabelan itu sendiri jelas sudah melanggar prinsip dalam Sila Kedua
Pancasila.
Konsep persatuan atau kerukunan dikenal dalam pancasila pada sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Sila persatuan Indonesia mengandung muatan konstruktif dari para pendireri Negara terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyrakat yaitu hukum kebiasaan dan hukum adat secara praktis (dalam praktik). Hal ini didasarkan pada adanya pluralitas praktek hukum dat pada masing-masing daerah dan masyarakat Indonesia serta pembagian ketentuan-ketentuan hukum adat dalam beberapa bidang yang diaturnya seperti hukum keluarga hukum perkawinan serta hukum waris.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 58
Pada dasarnya didalam Pancasila yang sebagai dasar pandangan hidup berbangsa dan bernegara di dalamnya terkandung nilai-nilai hukum adat. Asas yang mendomonasi antar Pancasila dan hukum adat adalah gotong royong yang sangat kental ada di dalamnya. Sehingga dpat dikatakan bahwa secara tidak langsung Negara sangat mengakui pentingnya hukum adat yang mendominasi hukum-hukum yang ada dalam Indonesia.
Dalam Undang-undang dan Pancasila sebenarnya telah terkandung di dalamnya tentang hukum adat, hanya saja tidak dijelaskan dan di ungkapkan secara eksplisit. Kedudukan hukum adat sangat mendominasi hukum nasional karna hukum nasional juga diambil dari hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.
B. Landasan Sosiologis
Kesatuan masyarakat hukum adat telah ada jauh sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia. Kenyataan ini bahkan disadari secara sungguh-sungguh oleh para pendiri bangsa yang tercermin dari perdebatan-perdebatan yang serius tentang keberadaan masyarakat adat dalam sidang-sidang Badan Perjuangan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Bahwa perdebatan-perdebatan tentang masyarakat adat dalam konteks negarayang sedang dibangun pada masa-masa awal kemerdekaan telah mendapatkan porsi yang besar dalam sidang-sidang BPUPKI, yang kemudian terkristalisasi dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam Penjelasan II Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dikemukakan bahwa: ―dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”Selanjutnya disebutkan bahwa ―Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Dengan penjelasan itu, para pendiri bangsa hendak mengatakan bahwa di Indonesia terdapat banyak kelompok masyarakat yang mempunyai susunan asli. Istilah ’susunan asli’ tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri sendiri atau Zelfbesturende landschappen atau kesatuan masyarakat hukum adat. Bahwa pengurusan diri sendiri itu terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan (landscape) yang dihasilkan oleh perkembangan masyarakat, yang dapat dilihat dari frasa yang menggabungkan istilah Zelfbesturende dan landschappen. Artinya, pengurusan diri sendiri tersebut berkaitan dengan sebuah wilayah. Hendak pula dikatakan bahwa penyelenggaraan Negara
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 59
melalui pembangunan nasional tidak boleh mengabaikan apalagi sengaja dihapuskan oleh Pemerintah.
Masyarakat Adat Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan Timur yang
hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat. Istilah
Dayak, sesungguhnya mempunyai arti sebagai sebutan kolektif sub-suku masyarakat
adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur, dapat
diklasifikasikan dalam 7 kelompok besar, yakni: (1) Luangan Group terdiri dari Dayak
Benuaq, Bentian, Paser dan Tonyooi; (2) Apo Kayan Group terdiri dari Dayak Kayan,
Kenyah, Bahau, Punan, Modang dan Long Gelat; (3) Lun Bawan Group, terdiri dari
Dayak Lun Dayeh dan Lun Bawan; (4) Mahakam Group terdiri dari Dayak Seputan; (5)
Barito Kapuas Group, terdiri dari Dayak Kahayan dan Bekumpay; (6) Kapuas Group
terdiri dari Dayak Aoheng dan Bukat; (7) Melayu Group, terdiri dari Kutai dan Tidung
dengan sejumlah puak masing-masing.
Dalam perspektif etno-antropologis, masyarakat adat Dayak di Kalimantan
Timur menurut klasifikasi berdasarkan perbedaan bahasa, terdapat 7 kelompok besar
yaitu:
1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung,
Abai dan Tagel, dari kelompok Idahan.
2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok
Barito Timur; (2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3)
Kayan, Bahau, Modang, Aoheng dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4)
Lundaye, Lengilu’ dan Saben dari kelompok Apo Duat; (5) Merap, Punan Malinau
dan Basap Sajau dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978).
Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang
cukup berbeda dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu’ di
Kabupaten Berau; (2). Brusu dan Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap
seperti Punan Kereho dan Punan Murung di Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan
Basap Jonggon di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Punan Kuhi, Punan Aput dan
Punan Benalui di Kabupaten Malinau (Devung, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia,
Proyek Kayan Mentarang, ditemukan gambaran sebaran dominan etnis lokal per
Kabupaten di Kaltim, dengan identifikasi nama etnis lokal berdasarkan klasifikasi
populer di masing-masing Kabupaten, sebagai berikut:
1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun
2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser
3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan,
Tunjung, Benuaq, Bentian, Luangan, Kutai
4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah,
Kayan, Basap, Benua’, Tunjung
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 60
5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap,
Tunjung
6. Kabupaten Berau, 7 etnis lokal: Berayu-Berau, Ga’ay, Punan, Lebu’, Basap, Kayan,
Kenyah
7. Kabupaten Bulungan, 6 etnis lokal: Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu,
Basap
8. Kabupaten Malinau 12 etnis lokal: Kenyah, Punan, Kayan, Pua’, Merap, Bau, Lun
Daye, Tidung, Brusu, Tagel, Abai, Agabag
9. Kabupaten Nunukan 6 etnis lokal: Tidung, Abai, Tagel, Agabag, Brusu, Lun Daye.
Sedangkan karakteristik sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan hutan, bisa dilihat dari dua perspektif: (1). berdasarkan sistem pemanfaatan
sumberdaya hutan; (2). berdasarkan hubungan historis dengan kawasan hutan
setempat. Dari perspektif karakteristik berdasarkan sistem pemanfaatan sumberdaya
hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan kedalam
empat kategori, yakni: (1). Masyarakat yang kehidupannya sepenuhnya tergantung
dari sumberdaya hutan; (2). Masyarakat yang kehidupannya sebagian tergantung dari
sumberdaya hutan; (3). Masyarakat yang kehidupannya tidak seberapa tergantung
dari sumberdaya hutan; (4). Masyarakat yang kehidupannya samasekali tidak
tergantung dari sumberdaya hutan
Sedangkan dari perspektif karakteristik berdasarkan hubungan historis dengan
kawasan hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan
dalam empat kategori: (1). Masyarakat etnis lokal, dengan wilayah adat dan wilayah
desa tradisional yang relatif masih sama dengan dulu; (2). Masyarakat etnis lokal,
dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau terpisah
oleh sistem administrasi pemerintahan, perpindahan penduduk, resetlemen, relokasi
desa, proyek pembangunan, industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan; (3).
Masyarakat etnis pendatang, yang sudah bermukim sebelum penetapan atau
perubahan status kawasan hutan; (4). Masyarakat etnis pendatang yang baru
bermukim setelah penetapan atau perubahan status kawasan hutan.
Hingga tahun 2013 kondisi demografi di Kalimantan Timur mengalami
ketimpangan, karena jumlah penduduk pendatang telah melebihi jumlah penduduk
asli. Kondisi ini, disebabkan derasnya arus pendatang karena adanya pertumbuhan
industri dan proyek pembangunan. Situasi kependudukan itu telah melahirkan
fenomena permasalahan sosial sekaitan dengan penguasaan, pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya secara tidak seimbang, antara komunitas masyarakat
hukum adat Dayak dengan komunitas pendatang.
Sedangkan di lain fihak, eksploitasi sumber daya alam (hutan, tambang,
perkebunan dan proyek pembangunan), tumbuh sebagai sumber konflik antara
komunitas masyarakat hukum adat Dayak dengan para pengusaha dan penguasa.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 61
Maka tak pelak, bertahun-tahun terus berlangsung proses pemiskinan struktural,
sehingga masyarakat hukum adat Dayak semakin tidak memiliki akses terhadap
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.Sementara itu
peraturan perundang-undangan yang berlaku, cenderung tidak memihak kepentingan
masyarakat hukum adat Dayak, sehingga mereka kehilangan akses dalam pengambilan
keputusan, karena kuatnya hegemoni yang dibarengi dengan kooptasi terhadap tokoh-
tokoh masyarakat.
C. Landasan Yuridis
Baik landasan filosofis maupun realitas sosiologis yang dipaparkan di atas membawa kepada pertanyaan tentang landasan juridis bagi persoalan masyarakat adat di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat adat. Pengakuan atas eksistensi ini perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak dan kebebasan dasar.
Manusia hanya mungkin menjadi manusia jika hak dan kebebasan dasarnya terpenuhi. Pengakuan atas keberadaan dan hak masyarakat adat diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan perundangan, baik Undang-Undang maupun aturan turunannya sampai ke Peraturan Daerah.
Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah masyarakat hukum adat) sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di tengah berbagai istilah yang digunakan, substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Hukum adat hanyalah salah satu aspek dari kelengkapan sosial politik yang dimiliki masyarakat ini, sehingga tidak tepat bilamana kelompok ini direduksi sekedar sebagai masyarakat hukum adat saja.
Dengan cara yang sama kita tidak mungkin mengenakan istilah ‘masyarakat hukum Indonesia’ kepada masyarakat Indonesia umumnya, karena hukum Negara hanyalah salah satu aspek dari kehidupan masyarakat Indonesia. Meksipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari frasa “sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang-undang.
Di sisi lain, Indonesia juga sudah meratifikasi sejumlah instrument HAM internasional, menjadi penandatangan untuk beberapa yang lain, dan juga menjadi pendukung bagi yang lainnya. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 62
Diskriminasi Rasial; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat adalah sejumlah instrument HAM internasional yang dimaksud. Empat yang pertama telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi tersebut jelas ditegaskan kewajiban Negara untuk memenuhi hak-hak warga Negara.
Di samping ‘pengakuan bersyarat’ persoalan lain yang perlu disorot lebih jauh adalah sifat dari hak-hak yang diakui dalam peraturan perundangan Indonesia. Baik undang-undang yang bersumber dari instrumen internasional HAM maupun peraturan perundangan lainnya, tidak ada penjelasan mengenai hak kolektif yang menjadi salah satu pilar dalam klaim masyarakat adat. Hak kolektif bukanlah hak tradisional sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 maupun peraturan perundangan lainnya. Tidak jelas pula apa yang dimaksud dengan hak tradisional dalam peraturan perundangan Indonesia, sementara hak kolektif yang diklaim masyarakat adat lebih tepat dipadankan dengan hak asal-usul yang dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), di mana sistem pengurusan diri sendiri memiliki keistimewaan antara lain dalam sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam. Dari perspektif hukum, ‘syarat-syarat’ yang dicantumkan dalam anak kalimat Pasal 18 B khususnya ‘sepanjang masih ada’ adalah ketentuan yang melemahkan unsur pengakuan dalam kalimat utamanya.
Baik UUD 1945 maupun berbagai UU yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap masyarakat adat adalah dasar hukum yang dapat digunakan untuk mendorong pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, bilamana kondisi yang memperlemah pengakuan, penghormatan dan perlindungan dapat dihilangkan. Di sisi lain, keistimewaan masyarakat adat dalam sistem pengurusan diri sendiri, yang mencakup sistem pemerintahan dalam komuniti maupun sistem peradilan dan ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan tanah dan sumberdaya alam dapat didayagunakan oleh Negara untuk memperkuat upaya mencapai cita-cita kebangsaan. Ini berarti ada pembagian ruang pengurusan antara Negara dan masyarakat adat di mana Negara memberikan semacam otonomi untuk menjalankan sistem pengurusan diri sendiri itu di dalam masing-masing komuniti, namun tetap di dalam kerangka sistem Negara Indonesia. Belakangan ini dapat disaksikan bagaimana sistem peradilan adat mulai dijalankan kembali dalam sejumlah kasus.
Di samping Pasal 18 B, Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 Amandemen Kedua dan Pasal 32 UUD 1945 Amandemen IV juga merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Kebutuhan akan pengakuan dan perlindungan melalui peraturan perundang-undangan pada tingkat lokal juga didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 63
melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Putusan MK tersebut tentunya membutuhkan tindaklanjut pada tingkat daerah, khususnya terkait dengan hutan adat, sementara pengaturan tentang hutan adat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat hukum adat termasuk wilayah adanya.
Berikut ini adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang secara langsung ataupu tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan menjadi dasar bagi penyusunan peraturan daerah, antara lain: 1. Pasal 18 B ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang Dasar 1945. 2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
3. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Haluan Negara 1999 – 2004.
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
5. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
7. Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga
Sejahtera.
8. Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional
mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological
Diversity).
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation)
10. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
15. Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya)
16. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
18. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
19. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
20. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 64
21. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
22. Peraturan Menteri Kehutanan No. 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil
Hutan Masyarakat Hukum Adat Pada Areal Hutan Produksi
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 65
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,
DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang akan dibentuk. Dalam Bab ini,
sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan
diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang
telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.
A. Ketentuan Umum
Dalam Rancangan peraturan daerah ini terdapat beberapa istilah penting yang
dicantumkan di dalamnya, antara lain:
1. Masyarakat hukum adat Dayak adalah kelompok masyarakat yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di provinsi Kalimantan Timur
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang
berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
2. Pengakuan masyarakat hukum adat Dayak adalah pernyataan tertulis maupun
tidak tertulis atas keberadaan masyarakat hukum adat Dayak beserta hak-
haknya yang diberikan oleh Negara dan/atau pihak-pihak lain di luar negara.
3. Perlindungan masyarakat hukum adat Dayak adalah suatu bentuk pelayanan
yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat Dayak dalam
rangka menjamin terpenuhi hak-haknya, agar dapat hidup tumbuh dan
berkembang sebagai satu kelompok masyarakat, berpartisipasi sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan
diskriminasi.
4. Hak-Hak masyarakat hukum adat Dayak adalah hak yang bersifat asal usul yang
melekat pada masyarakat hukum adat Dayak, yang bersumber dari tatanan
politik, ekonomi, struktur social dan budaya mereka, khususnya hak-hak atas
tanah, wilayah dan sumber daya alam.
5. Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan bersama
masyarakat hukum adat Dayak.
6. Lembaga adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan sejarah suatu masyarakat hukum adat Dayak untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan-permasalahan
kehidupan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 66
7. Wilayah adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun
temurun dihuni dan dikelola oleh masyarakat hukum adat Dayak sebagai
penyangga sumber-sumber penghidupan yang diwarisi dari leluhurnya atau
melalui kesepakatan dengan masyarakat hukum adat Dayak lainnya.
8. Pemetaan wilayah adat adalah proses penerjemahan suatu bentang alam ke
dalam bentuk kartografi atas sejarah asal usul, tata pengaturan dan
pengurusan suatu wilayah sesuai dengan sistem pengetahuan dan praktek-
praktek yang berlaku di masyarakat hukum adat Dayak.
9. Identifikasi diri sendiri adalah suatu proses penentuan keberadaan masyarakat
hukum adat Dayak beserta hak-haknya yang dilakukan sendiri oleh masyarakat
hukum adat Dayak yang bersangkutan.
10. Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-padangan yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang hidup dan berkembang
dalam satu komunitas masyarakat hukum adat Dayak dan diikuti oleh anggota
masyarakat hukum adat Dayak yang bersangkutan.
11. Konflik adalah tumpang tindih klaim antara satu pihak atau lebih mengenai hak-
hak masyarakat hukum adat Dayak, termasuk didalamnya penguasaan,
pengelolaan tanah, wilayah dan sumber daya alam didalamnya.
12. Sengketa adalah pertentangan hak antar masyarakat hukum adat Dayak
dan/atau dengan pihak pihak lainnya.
13. Peradilan adat adalah mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum
adat
atas pelanggaran terhadap hak-hak adat dan hukum adat.
B. Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup
1. Asas
Pengaturan masyarakat hukum adat Dayak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan sosial
Keadilan tidak boleh direduksi menjadi benefit sharing, karena makna
keadilan itu sendiri sangatlah luas dan menyentuh seluruh aspek kehidupan
manusia. Sementara benefit sharing dalam konteks proyek pembangunan
bisa menjadi sangat bias manfaat material atau ekonomi semata. Prinsip
keadilah seyogyanya mencakup pula kesetaraan dalam posisi sosial politik
dan dihadapan hukum. Keadilan yang dimaksud mestilah selaras dengan sila
kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini
berarti sebuah keadilan di mana Negara memainkan peran penting dalam
program pemerataan pembangunan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hal ini tidak bisa dibiarkan kepada proses yang disebut sebagai
‘trickle down effect’ yang berasumsi bahwa begitu tercapai kesejahteraan di
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 67
lapisan elit dalam masyarakat dengan sendirinya aka nada ‘tetesan’
kesejahteraan bagi lapisan akar rumput di bawahnya. Hal itu sudah terbukti
gagal dengan adanya pemusatan atau konsentrasi hak atas tanah dan
berbagai bentuk di tangan segenlintir orang di Indonesia.
Dalam konteks masyarakat hukum adat Dayak, keadilan sosial seperti ini
menghendaki berfungsinya mekanisme kontrol oleh rakyat terhadap seluruh
penyelenggara Negara. Dan hal itu berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur
hukum dan jalur politik. Yang pertama melalui proses peradilan yang jujur
dan tegas yang memperlakukan seluruh warga Negara Indonesia sama di
hadapan hukum, sementara yang kedua melalui mekanisme pemilihan umum
yang jujur, bebas dan rahasia
b. kesetaraan dan non-diskriminasi
Prinsip kesetaraan belakangan ini banyak menegaskan kesetaraan antara
kaum perempuan dan laki-laki. Namun dalam naskah ini kesetaraan dimaknai
sebagai kesetaraan antar semua individu dan kelompok manusia. Kesetaraan
yang dimaksud mengandaikan bahwa ada kebebasan yang setara, adanya
posisi yang setara, adanya perlakukan yang setara. Kesetaraan seperti ini
pun menghendaki campur tangan Negara. Ini perlu mengingat bahwa ada
jurang pendidikan yang menganga di antara individu maupun antar
kelompok. Situasi riil di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat hukum adat Dayak yang berdiam di kawasan perdesaan adalah
masyarakat tanpa pendidikan formal yang memadai, kemampuan bahasa
yang terbatas, keterampilan yang minim dalam applikasi teknologi modern.
Sementara itu masyarakat perkotaan, kelompok bisnis dalam dan luar
negeri, para pejabat pemerintahan adalah kelompok-kelompok masyarakat
atau pihak yang berpendidikan tinggi, keterampilan yang cukup dalam
teknologi modern, kemampuan bahasa yang lebih baik dari masyarakat di
perdesaan. Jurang ini hanya bisa dijembatani oleh Negara untuk mencegah
terjadinya dominasi, manipulasi dan objektivasi masyarakat hukum adat
Dayak oleh pihak lain.
c. keberlanjutan Lingkungan
Prinsip ini adalah hasil permenungan manusia atas akibat dari perilaku
manusia itu sendiri sepanjang sejarah peradabannya, khususnya dalam
beberapa ratus tahun belakangan, terhitung sejak dimulainya Revolusi
Industri di Inggris. Sudah lebih dari cukup bukti ilmiah maupun pengalaman
empirik manusia yang menunjukkan bahwa pembangunan yang melulu
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial menimbulkan
krisis lingkungan dan krisis sosial di berbagai belahan bumi. Oleh karena itu
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 68
prinsip ini telah menjadi sebuah keniscayaan bagi segala bentuk
pembangunan dewasa ini.
d. transparansi.
Transparansi berpijak pada asumsi bahwa bias dalam informasi akan
berdampak pada tujuan yang hendak dicapai, oleh karenanya, dalam konteks
demokratisasi, informasi harus disampaikan sejelas-jelasnya untuk dipahami
oleh si penerima informasi, bukan si pemberi informasi. Informasi ini
mengalir di antara para pihak, yang merupakan implikasi dari pandangan civil
society yang memetakan masyarakat dalam kelompok-kelompok yang
disebut pihak (stakeholders atau party). Informasi, misalnya, dapat
mengalami distorsi secara signifikan bila ditempatkan dalam komunikasi
antara para pihak. Persoalannya adalah pada sistem representasi para pihak.
Pertama menyangkut tingkat kebolehjadian dari sistem perwakilan ini untuk
meneruskan informasi tanpa distorsi. Kedua adalah sistem perwakilan itu
sendiri akan sangat bias kuasa dalam sebuah pihak. Perwakilan perempuan,
indigenous peoples, kelompok minoritas lainnya, akan memiliki kemungkinan
besar untuk direpresentasi oleh struktur kuasa dalam kelompok tersebut.
Hal ini kemudian berdampak pada kelompok paling rentan dalam sebuah
pihak. Indigenous peoples atau masyarakat hukum adat Dayak misalnya, dari
pengalaman di Indonesia, cenderung diwakili oleh struktur kekuasaan lama
di dalam sebuah komunitas. Kalaupun tidak, maka struktur kekuasaan baru
yang mewakili.
e. partisipasi.
Prinsip partisipasi dalam pendekatan hak mengandaikan keterlibatan yang
luas dan dalam dari masyarakat sebagai salah satu pihak terhadap
pembangunan. Kebanyakan partisipasi ini dipahami sebagai keterlibatan
masyarakat warga (civic) dan berbagai kelompok sosial secara langsung
dalam menentukan sebuah kebijakan sekaligus bagaimana kebijakan
tersebut harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme monitoring dan
evaluasi. Pendekatan hak juga sangat dicirikan oleh outcome-driven. Praktek-
praktek yang dapat dilihat dalam berbagai proyek pembangunan
menunjukkan bahwa partisipasi mengandaikan keharusan adanya sistem
representasi.
Dalam lingkup isu masyarakat hukum adat Dayak, partisipasi selalu
dirumuskan sebagai ‘partisipasi penuh dan efektif’ dalam pembangunan. Ini
menghendaki bahwa sejak dini, masyarakat harus sudah terlibat dalam
pembuatan keputusan tentang sebuah proyek pembangunan dalam wilayah
adat mereka. Salah satu argumen utama adalah bahwa merekalah penerima
dampak langsung dari proyek tersebut. Oleh karena itu partisipasi dalam
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 69
konteks masyarakat hukum adat Dayak adalah selaras dengan apa yang
ditegaskan dalam prinsip FPIC. Partisipasi yang demikian dapat dikembalikan
kepada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Ada sejumlah unsur yang perlu dipertegas.
Bahwa dalam konteks Negara Republik Indonesia, masyarakat hukum adat
Dayak yang dimaksud adalah warga Negara Indonesia dan oleh karena itu
berimplikasi pada hak dan kewajiban sebagai rakyat Indonesia dan sekaligus
subjek kepada siapa tanggungjawab Negara cq. Pemerintah harus diberikan.
2. Tujuan
Pengaturan masyarakat hukum adat Dayak bertujuan untuk:
a. mewujudkan masyarakat hukum adat Dayak yang sejahtera, aman, tumbuh
dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi;
b. mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat Dayak sebagai
dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan program
pembangunan; dan
c. memfasilitasi masyarakat hukum adat Dayak agar dapat berpartisipasi dalam
pembangunan.
3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah ini meliputi:
a. kedudukan masyarakat hukum adat Dayak;
b. hak-hak masyarakat hukum adat Dayak;
c. kelembagaan masyarakat hukum adat Dayak;
d. penyelesaian Sengketa.
B. Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dayak
Masyarakat hukum adat Dayak berkedudukan sebagai subjek hukum.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No. 35/PUU-IX/2012 secara tegas
menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum sehingga
mereka dinilai memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi. Hal ini perlu dipertegas kembali dalam Raperda sehingga dengan
menempatkan masyarakat hukum adat Dayak sebagai subyek hukum, maka
Masyarakat hukum adat Dayak merupakan pengemban hak dan kewajiban.
Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, masyarakat hukum adat Dayak
berhak untuk:
1. menikmati secara penuh, untuk secara bersama-sama atau secara sendiri-
sendiri, semua hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar yang melekat
pada dirinya sebagai manusia;
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 70
2. melakukan perbuatan-perbuatan hukum berkaitan dengan hak-hak mereka,
termasuk hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di dalam
wilayah adatnya.
C. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak
Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak meliputi:
1. Hak atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber
daya alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan juga tanah,
wilayah dan sumber daya alam yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah
menurut hukum adat setempat. Sumber daya alam tersebut mencakup segala
sesuatu baik di permukaan maupun di dalam tanah. Hak atas tanah, wilayah dan
sumber daya alam mencakup hak untuk memiliki, menggunakan,
mengembangkan dan mengendalikan.
Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk menentukan dan
mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan atau penggunaan
tanah, wilayah dan sumber daya alam dengan menggunakan cara-cara yang
sesuai dengan kearifan lokal dan inovasi-inovasi yang berkembang dalam
masyarakat hukum adat Dayak yang bersangkutan.
Masyarakat hukum adat Dayak berhak untuk mendapatkan restitusi dan
kompensasi yang layak dan adil atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang
dimiliki secara turun temurun yang diambil alih, dikuasai, digunakan atau
dirusak tanpa persetujuan bebas tanpa paksaan dari masyarakat hukum adat
Dayak yang bersangkutan.
Hak atas tanah dapat bersifat komunal/kolektif dan bersifat perseorangan
sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Hak atas tanah yang bersifat
komunal/kolektif tidak dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.
Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal/kolektif dan perseorangan didalam
wilayah adat oleh pihak lain hanya dapat dilakukan melalui mekanisme
pengambilan keputusan bersama masyarakat hukum adat Dayak yang
bersangkutan berdasarkan hukum adat.
2. Hak Atas Pembangunan
Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk mengakses semua layanan
pendidikan, kesehatan, ekonomi dan layanan publik lainnya. Disamping hak
untuk mengakses semua layanan publik tersebut, masyarakat hukum adat
Dayak berhak menentukan dan mengembangkan sendiri bentuk-bentuk
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan mereka.
Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk terlibat secara penuh dalam
programprgram pembangunan negara mulai dari tahap perencanaan,
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 71
pelaksanaan dan pengawasan. Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak
untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai program
pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain di luar
pemerintah yang akan berdampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,
budaya dan sistem pemerintahan adat. Masyarakat hukum adat Dayak berhak
untuk menolak bentuk-bentuk pembangunan yang dinilai tidak sesuai dengan
kebutuhan dan kebudayaannya. Masyarakat hukum adat Dayak berhak untuk
mengusulkan bentuk-bentuk pembangunan yang lain yang sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhan mereka.
3. Hak atas Spiritualitas dan Kebudayaan
Masyarakat hukum adat Dayak berhak menganut dan mempraktekkan sistem
kepercayaan dan ritual yang diwarisi dari leluhurnya. Masyarakat hukum adat
Dayak berhak untuk mengembangkan tradisi, adat istiadat yang meliputi hak
untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud
kebudayaannya di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti situs-situs
arkeologi, sejarah, artefak dan upacara-upacara adat. Masyarakat hukum adat
Dayak memiliki hak untuk menjaga, mengendalikan, melindungi dan
mengembangkan pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual serta
praktik-praktiknya seperti teknologi, budidaya, benih, obat-obatan, desain,
permainan tradisional, seni pertunjukan, seni visual dan kesusasteraan.
Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk membentuk media mereka
sendiri dalam bahasa-bahasa mereka sendiri, dan memiliki akses terhadap
semua bentuk media umum tanpa diskriminasi. Masyarakat hukum adat Dayak
berhak atas program siaran, penerbitan, penelitian dan pemberitaan yang
menghormati sistem nilai dan cara hidup mereka.
4. Hak atas Lingkungan Hidup
Masyarakat hukum adat Dayak mempunyai hak atas perlindungan lingkungan
hidup. Dalam rangka pemenuhan hak tersebut, masyarakat hukum adat Dayak
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses atas
informasi, dan partisipasi yang luas terhadap pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup sesuai dengan kearifan lokal mereka. Masyarakat hukum adat
Dayak berhak untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpanan atau
pembuangan bahan-bahan berbahaya di atas tanah-tanah dan wilayah-wilayah
masyarakat hukum adat Dayak tanpa persetujuan bebas, diutamakan,
diinformasikan dan tanpa paksaan dari mereka. Masyarakat hukum adat Dayak
mempunyai hak atas pemulihan lingkungan hidup di wilayah adat yang
mengalami kerusakan.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 72
5. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat
Masyarakat hukum adat Dayak berhak untuk menyelenggarakan sistem
peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan
pelanggaran atas hukum adat;
D. Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Dayak
Pengaturan Kelembagaan Adat Dayak adalah untuk mendorong upaya
pemberdayaan Lembaga Adat Dayak agar mampu membangun karakter
masyarakat hukum adat Dayak melalui upaya pelestarian, pengembangan dan
pemberdayaan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan menegakkan hukum
adat dalam masyarakat demi mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat, menunjang kelancaran
penyelenggaraan Pemerintahan dan kelangsungan pembangunan serta
meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Adapun yang menjadi tujuannya adalah agar upaya pemberdayaan masyarakat
hukum adat Dayak mampu mendorong, menunjang dan meningkatkan
partisipasi masyarakat hukum adat Dayak guna kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan
pembinaan masyarakat di daerah, sehingga masyarakat hukum adat
Dayak setempat merasa dihargai secara utuh sehingga terpanggil untuk
turut serta bertanggung jawab atas rasa keadilan, kesejahteraan dan
kedamaian hidup masyarakat dan lingkungannya.
Kelembagaan adat yang diakui, dihormati dan dilindungi berdasarkan Perda ini
meliputi:
1. Bentuk kelembagaan;
2. Ketua dan perangkat adat, termasuk mekanisme dan prosedur
pengangkatannya;
3. Hukum adat;
4. Peradilan adat yang meliputi, antara lain, tata cara pelaksanaan peradilan dan
mekanisme penjatuhan sanksi.
E. Penyelesaian Sengketa
Cara menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan. Pada pokoknya, penyelesaian sengketa/konflik
dalam tanah dan sumber daya alam lainnya dapat ditempuh melalui dua cara.
Pertama, melalui pengadilan; dan kedua, melalui cara-cara di luar pengadilan.
Paling tidak penyelesaian sengketa dengan dua cara ini secara hukum diatur dalam
Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 73
88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Namun
berdasarkan uraian pada bagian di atas di mana konflik tanah dan sumber daya
alam lainnya pada masyarakat hukum adat Dayak juga terjadi – bahkan paling
banyak terjadi - karena ada kebijakan Negara, maka Negara harus melakukan
upaya-upaya hukum dalam rangka penyelesaian konflik tersebut. Tindakan politik
Negara dalam rangka penyelesaian konflik bisa berupa program harmonisasi
semua peraturan perundang-undangan terkait tanah dan sumber daya alam. Di
samping itu, juga ada peradilan adat. Namun penggunaan peradilan adat dalam
menyelesaiakan konflik tanah dan sumber daya alam lainnya tidak dibahas dalam
naskah ini. Asumsinya, peradilan adat sampai saat ini dipercaya dapat
dipergunakan dalam situasi di mana konflik terjadi di internal masyarakat hukum
adat Dayak.
1. Melalui pengadilan
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
penyelesaian konflik kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk
memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi,
dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam
sengketa. Selain itu, pengadilan juga diperbolehkan untuk menetapkan
pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu.
Dalam hal sejak awal para pihak telah menyepakati untuk menyelesaian
sengketa di luar pengadilan, penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat
dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan (tidak berhasil) antara para pihak
yang bersengketa (Pasal 74 ayat [2] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan), Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup. Masih menurut UU
Kehutanan, gugatan ke pengadilan hanya dapat dilakukan oleh kelompok
masyarakat, organisasi yang berbentuk badan hukum dan penuntut.
Sedangkan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup memperbolehkan masyarakat
sebagai penggugat, dan juga organisasi lingkungan hidup dan negara.
Dalam rangka menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam pada
masyarakat hukum adat Dayak, maka pengadilan harus secara serius
memperhatikan dua hal berikut:
a. Hukum adat.
Hukum adat penting untuk diperhatikan oleh hakim ketika ia memeriksa
konflik tanah dan sumber daya alam pada masyarakat hukum adat Dayak.
Hukum adat, selain bercerita tentang mekanisme distribusi tanah dalam
komunitas, hubungan hukum antara tanah dengan masyarakat hukum adat
Dayak, juga bercerita tentang sejarah penguasaan tanah. Berdasarkan
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 74
sejarah itulah, pada umumnya masyarakat hukum adat Dayak mendasarkan
klaim mereka atas tanah dan sumber daya alam.
b. Perwakilan masyarakat hukum adat Dayak
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kepemimpinan tradisional dalam
masyarakat hukum adat Dayak tidak menjamin representasi masyarakat
hukum adat Dayak. Hal ini disebabkan karena dalam menghadapi konflik di
lapangan, orang cenderung tidak dapat membedakan mana kepentingan
individu dan mana kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Oleh sebab
itulah maka seringkali kepemimpinan tradisional pada masyarakat hukum
adat Dayak ini mengambil keputusan pragmatis yang menguntungkan
dirinya. Oleh sebab itu, maka hakim yang memeriksa perkara tanah dan
sumber daya alam pada masyarakat hukum adat Dayak harus dapat
mendorong agar saksi dari masyarakat hukum adat Dayak harus merupakan
representasi seluruh kelompok dalam masyarakat hukum adat Dayak.
2. Di luar pengadilan
Sejak awal para pihak yang bersengketa telah diperbolehkan untuk
menggunakan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaian
sengketa jenis ini difungsikan untuk mencapai kesepakatan mengenai
pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang
harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan atau guna menjamin tidak
akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Penjelasan terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan dilakukan
dengan cara menerangkan 3 aspek, yakni:
a. Jenis sengketa yang diperiksa dan diselesaikan.
Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya bisa memeriksa
dan mengadili perkara perdata dan administratif, tidak untuk perkara pidana
(UU Kehutanan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perlindungan
Konsumen serta UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Jadi,
perkara-perkara pidana masih merupakan kompetensi pengadilan. Dengan
kata lain, sengketa/konflik yang mengandung unsur publik masih merupakan
tanggung jawab negara.
b. Kedudukan para pihak.
Putusan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah bersifat
final. Bila para pihak tidak puas, maka mereka diperbolehkan untuk
meneruskan kasus bersangkutan ke pengadilan dengan mengajukan
gugatan. Ketentuan seperti ini terdapat di dalam UU Kehutanan, UU
Perlindungan Konsumen dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal yang
berbeda dirumuskan oleh UU HAM dan UU Arbitrase dan Penyelesaian
Sengketa Alternatif. Menurut UU HAM kesepakatan yang dicapai dalam
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 75
proses mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang
sah. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan mediasi dalam jangka
waktu yang ditetapkan maka pihak lainnya dapat memintakan kepada
Pengadilan Negeri setempat agar putusan tersebut dapat dilaksanakan
(Pasal 96 ayat [3] dan[4]). Pernyataan yang tegas dirumuskan oleh UU
Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dengan mengatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3). Jadi, selain
penyelesaian lewat arbitrase, putusan penyelesaian di luar pengadilan untuk
kasus pelanggaran HAM, kehutanan, perkara konsumen dan lingkungan
hidup, tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
c. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa/konflik.
Pengaturan mengenai pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa di
luar pengadilan cenderung agak kabur. Satu-satunya yang agak jelas adalah
penyebutan istilah ‘pihak ketiga’. UU HAM menempatkan Komnas HAM
sebagai mediator bagi para pihak. UU Kehutanan dan UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup menyebut pihak ketiga dan organisasi non-pemerintah
(Ornop). Sedangkan pihak-pihak yang bersengketa tidak dijelaskan
identitasnya. Apakah antar perorangan, perorangan dengan badan hukum,
perorangan dengan kelompok masyarakat, perorangan dengan badan
hukum atau antar badan hukum/kelompok masyarakat? Sebagai
perbandingan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memperkenalkan
sebuah lembaga bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
rangka menyelesaikan konflik antara konsumen dengan pelaku usaha.
Badan ini hanya menyelesaikan sengketa perdata dan administrasi untuk
mencapai kesepakatan mengenai ganti rugi atau tindakan tertentu yang
harus dilakukan untuk menjamin tidak terulangnya kerugian konsumen
(Pasal 47). Pihak-pihak yang diperbolehkan mengajukan sengketa ke badan
ini adalah individu, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen (LSM)
yang berbentuk badan hukum.
Apabila UU Perlindungan Konsumen menghasilkan sebuah badan, maka UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup melahirkan lembaga yang sifatnya tidak
terpusat. Dalam rangka penyelesaian sengketa di luar pengadilan UU ini
menyarankan terbentuknya lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian
sengketa lingkungan yang bersifat bebas dan tidak mengikat. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia
Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar
Pengadilan, lembaga ini bisa dibentuk oleh masyarakat maupun pemerintah.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 76
Bila lembaga tersebut dibentuk oleh masyarakat maka harus disahkan
dengan akte notaris.
F. Kewajiban Pemerintah Daerah
1. Kewajiban untuk memberikan pengakuan
Konstitusi memandatkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak diatur dalam undang-
undang. Ketentuan inilah yang mendasari lahirnya berbagai substansi
pengaturan tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak
dalam berbagai undang-undang sektoral sekaligus juga menjadi landasan
perlunya membentuk undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat
Dayak. Hampir semua peraturan perundang-undangan yang ada tentang
pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak
menyebutkan bahwa bentuk hukum pengakuan terhadap masyarakat hukum
adat Dayak adalah Peraturan Daerah.
Dalam rangka mencapai masyarakat hukum adat Dayak yang mandiri, berdaulat
dan bermartabat maka diperlukan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat Dayak. Pengakuan hukum terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat Dayak dan hak-haknya dilaksanakan
melalui proses identifikasi diri sendiri yang dilakukan oleh masyarakat hukum
adat Dayak. Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi diri sendiri oleh
masyarakat hukum adat Dayak, Pemerintah Daerah bertanggung jawab
memfasilitasi masyarakat hukum adat Dayak melakukan pemetaan wilayah-
wilayah adat. Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan
bahwa peta-peta wilayah adat tersebut dijadikan sebagai rujukan dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
2. Kewajiban untuk memberikan perlindungan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab memastikan semua pihak yang terlibat
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan untuk menghormati
dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat Dayak beserta hak-
haknya. Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan adanya
proses konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat hukum adat Dayak secara
langsung dan/atau melalui perwakilan yang mereka sepakati agar bisa secara
bebas menentukan persetujuan sebelum menerima dan melaksanakan suatu
peraturan atau tindakan administratif yang mempengaruhi mereka. Pemerintah
Daerah bertanggung jawab untuk menyediakan mekanisme yang efektif untuk
mencegah:
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 77
a. setiap tindakan yang bertujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan
mereka sebagai masyarakat hukum adat Dayak yang berbeda, atau
berakibat pada hilangnya nilai-nilai dan identitas budayanya,
b. setiap bentuk pemindahan masyarakat hukum adat Dayak yang mempunyai
tujuan atau akan berakibat pada dilanggar atau dikuranginya hak-hak
masyarakat hukum adat Dayak.
Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk bersama-sama dengan
masyarakat hukum adat Dayak, mengambil langkah-langkah untuk memastikan
bahwa perempuan dan anak anak dalam masyarakat hukum adat Dayak
menikmati perlindungan dan jaminan penuh sehingga bebas dari segala bentuk
pelanggaran dan diskriminasi.
Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan partisipasi penuh
dan efektif masyarakat hukum adat Dayak dalam pembuatan kebijakan dan
perencanaan program pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah-
wilayah adat dan berdampak terhadap mereka. Pemerintah Daerah
bertanggung jawab untuk mencegah setiap tindakan yang bertujuan atau akan
berakibat pada tercerabutnya masyarakat hukum adat Dayak dari tanah,
wilayah atau sumber daya alam mereka. Pemerintah Daerah bertanggung
jawab untuk menyelenggarakan pendidikan, akses informasi, dan partisipasi
masyarakat hukum adat Dayak serta mempromosikan kearifan local dalam
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 78
BAB VI
PENUTUP
Dari uraian-uraian pada bab I – bab V, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak di
Kalimantan Timur sangat penting untuk diatur dalam peraturan daerah. Hal ini
tidak saja didasarkan pada fakta sosial di mana kehidupan masyarakat adat
semakin terdiskriminasi dan termarjinalkan, tetapi juga berkesesuaian dengan
hukum nasional, dan juga hukum internasional dan Hak Asasi Manusia.
2. Pengusulan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat Dayak, selain berkesesuaian dengan semangat otonomi daerah dan juga
mendorong masyarakat adat yang selama ini termarjinalkan, dapat mengangkat
kualitas hidup mereka sehingga masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan
Timur dapat berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat
secara budaya.
3. Materi muatan yang ada di dalam naskah akademik ini tidak saja berisikan tentang
hak-hak apa saja pada masyarakat hukum adat Dayak yang harus diakui dan
dilindungi, naskah akademik ini juga berisi tentang prinsip-prinsip yang harus ada
dalam sebuahperaturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat Dayak di Kalimantan Timur, juga berisikan tentang kewajiban
kewajiban negara dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum
adat Dayak , serta penyelesaian konflik yang berkaitan dengan masyarakat hukum
adat Dayak beserta wilayahnya.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 79
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alqadrie, Syarif Ibrahim Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat: (Keterkaitan Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi) dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, LP3S-IDRD dengan PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994
Andasputra, Nico; Vincentius Julipin
Orang Kanayatnatau Orang Bukit? dalam Mencermati Dayak Kanayatn.Pontianak, Institute Dayakology Research and Development, 1997
Anh, To Thi
Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?. Jakarta, Gramedia, 1984 Anyang,Thambun
Dayak Taman Kalimantan: Studi Etnografis Organisasi Sosial danKekerabatan: Pendekatan Antropologi Hukum. Nijmegen, Nijmegen University Press, 1996
Appell, George
Preface and Introduction, dalam The Societies of Borneo: Explorations in the Theory of Cognatic Social Structure (George Appell, ed.), Washington, American Anthropological Association, 1976
Ave, Jan B.; Victor T. King
Borneo, the People of the Weeping Forests: Tradition and Change in Borneo. Leiden: National Museum of Ethnology, 1986
Ave, Jan B.; Victor T. King; Joke de Wit
West Kalimantan: A Bibliography. Leiden, Foris/KITLV, 1983 Awang, San Afri
Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta, Center for Critical Social Studies dan Kreasi Wacana, 2002
B. ter Haar Bzn
Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan Berpikir Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat. Jakarta, Bhratara, 1973
B. ter Haar Bzn Beginselen and Stelsel van het Adatrecht. Jakarta, Groningen, 1950
Bakker, Anton
Antropologi Metafisika. Kanisius, Yogyakarta, 2000
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 80
Barker, Chris
Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005 Bertens K
Relativisme Budaya dan Relativisme Moral. Yogyakarta, Basis, 1990 Boelaars, Y
Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta, PT Gramedia, 1984
Bonoh, Yohanes
Lungun dan Upacara Adat. Samarinda, Proyek Pengembangan Permuseuman Provinsi Kalimantan Timur, 1985
Bordieu, Pierre
The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Cambridge, 1993. Brosius, J. Peter
Borneoan Forest Trade in Historical and Regional Perspective: The Case of Penan HunterGatherers of Sarawak, dalam Society and Non-timber Forest Products in Tropical Asia (J. Fox, ed.). Honolulu: East-West Center, 1995
Bushar, Muhammad
Asas-asas Hukum Adat. Suatu Pengantar. Jakarta, Pradnya Paramita, 1978 Coomans, Mikail
Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Jakarta, Gramedia, 1987 Crowfoot, James E.; Julia M. Wondoleck
Environmental Disputes: Community Involvement in Conflict Resolution. Washington DC, Island Press, 1990
Damanik, Erond L
Membangkitkan Budaya Lokal Sebagai Identitas Budaya Daerah. Makalah Lokakarya Budpar Sumut di Namurambe, 2009
Danandjaja, James
Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta, PT. Grafiti Pers, 1984 Danandjaja, James
Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Koentjaraningrat, ed.). Jakarta, Djambatan, 1979
Dove, Michael R
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 81
Mitos Rumah Panjang Komunal dalam Pembangunan Pedesaan: Kasus Suku Kantu’ di Kalimantan, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Pembangunan (Michael R. Dove, ed.). Jakarta, Yayasan Obor, 1985
Dove, Michael R
Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 1985
Dove, Michael R
Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1988
Featherstone, Mike
Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Jakarta, Pustaka Pelajar, 2001. Freeman, Derek J
Report on the Iban. London School of Economic Study, Monograph on Social Anthropology, no. 41. New York: Anthlone Press, 1970
Freeman, Derek J
The Iban of Western Borneo, dalam Social Structure in Southeast Asia (GeorgeP. Murdock, ed.). Chicago, Quadrangle Press, 1960
Giddens, Anthony
A Contemporary Critique of Historical Materialism. London, Mac Millan Press Ltd, 1995.
Giddens, Anthony
Runaway World. London, Profile Book, 1999 Gramsci, Antonio
Selections from the Prison Notebooks, London, Lawrence and Wishart, 1971 H.A. Hoebel
The Law of Primitive Man. Cambridge, Mass, Harvard University Press, 1964 Harsono, Boedi
Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Djambatan, 2003
Harsono, Boedi
Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001. Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2002
Hartoko, Dick
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 82
Relativisme Sebagai Metode dan Bahan Dasar dalam Antropologi Budaya. Yogyakarta, Basis, 1990
Herskovits, Melville J
The Reality of Culture, dalam “Setangkai Bunga Sosiologi”, himpunan Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964
Hirst, Paul
Globalisasi adalah Mitos. Jakarta. Obor Indonesia, 2001 Hoffman, Carl L
Punan Liar di Kalimantan: Alasan Ekonomis, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (M. R. Dove, ed.). Jakarta, Yayasan Obor, 1985
Iskandar, Untung dan Agung Nugraha
Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan: Issue dan Agenda Mendesak. Yogyakarta, Debut Press, 2004
Jawan, Jayum Anak
Iban Politics and Economic Development: Their Patterns and Change. Bangi,Selangor, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1994
Karober, A.L dan Clyde Kluckhohn
Culture, A Critical review of Concepts and Definitions. New York, Vintage Books, 1963
Kartawinata, Ade M
Masyarakat Punan di Kalimantan Barat, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia (Koentjaraningrat, ed.). Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993
Kedit, Peter M
Iban Bejalai. Kuala Lumpur, Goldana Corp. Sdn. Bhd, 1993 Kertodipoero, Sarwoto
Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghuluan Kalimantan. Bandung, Penerbit Sumur, 1963
King, Victor T
The Maloh of West Kalimantan: Ethnographic Study of Social Inequality and Social Change among an Indonesian Borneo People. Dordrecht, Foris, 1985
King, Victor T
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 83
The Maloh, dalam Essays on Borneo Societies (Victor T. King, ed.), Hull Monographs on Southeast Asia. Hull, Oxford Univ, Press. 1978
King, Victor T
Some Aspects of Iban-Maloh Contact in West Kalimantan. New York, Cornell University Press, 1976
Kleden, Ignas
Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta, LP3ES, 1986 Koentjaraningrat
Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992
Lakon, Frans; Paulus Unjing; Vitalis Andi; Elias Ngiuk, Sujarni Alloy
Local Wisdom to Ensure Effective Roles Of Indigenous People In The Proccess Of Redd. Case Study On Dahas Of Dayak Jalai Indigenous People And Tonah Colap Dayak Simpakng In Ketapang Regency, West Kalimantan Province, Indonesia. ID-AMAN Kalbar- Tebtebba, 2010
Langub, Jay L Penan Response to Change and Development, dalam Borneo in Transition: People, Forests, Conservation and Development (Christine Padoch dan Nancy Peluso). Kuala Lumpur, Oxford University Press, 1996
Lembaga Bina Benua Puti Jaji dan Japan NGO Network on Indonesia
Membedah Sejarah Masyarakat Adat Dayak. Samarinda, Puti Jaji, 1998 Lembaga Bina Benua Puti Jaji dan Jaringan Pembelaan Hak Masyarakat Adat
Agenda Reformasi: Menata Kembali Hubungan Negara dan Masyarakat Adat, Jakarta, Japhama, 1998
Lembaga Bina Benua Puti Jaji, Telapak, Madanika
Planting Disaster Menanam Bencana: Keanekaragaman Hayati, Sosial Ekonomi dan Pelanggaran HAM dalam Perkebunan Besar Sawit di Indonesia. Jakarta, Sawit Watch, 2000
Magnis Suseno, Franz
Kebudayaan Sebuah Komoditas, dalam buku Filsafat Kebudayaan Politik: Butir Butir Pemikiran Kristis. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992
Marzali, Amri
Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (EKM. Masinambow, ed.). Jakarta, Asosiasi Antropologi Indonesiadan Yayasan Obor, 1997
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 84
Mertokusumo, Sudikno
Mengenal Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1996 Mertokusumo, Sudikno
Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1983
Mochammad, Tauchid
Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Jakarta, Tjakrawala, 1952
Mubyarto
Desa-desa Kalimantan Studi Bina Desa Pedalaman Kalimantan Tengah. Yogyakarta, Aditya Media, 1993
Ngo, Mering Nested Disputes: Promoting A Structural Mediation Process for the Punan in Bentuang Karimun National Park, West Kalimantan, dalam Conflict andCollaboration in Community Management of Forest Lands (J. Fox, L. Fischer, dan C. Cook, ed.). Honolulu, Hawai, East-West Center, 1997
Ngo, Mering
A New Perspective on Property Rights: Examples from the Kayan of Kalimantan, dalam Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development (C. Padoch dan N. Peluso, ed.). Kuala Lumpur, Oxford Univ. Press, 1996
Ngo, Mering
Orang Bukat: Penghuni Hutan Lebat Kalimantan Barat.Jakarta, PT. Sinar Harapan, 1986
Ngo, Mering
Ketika Menjadi Praktisi dan Pialang Kultural: Pengalaman dalam Tiga Proyek Kehutanan, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (E.K.M. Masinambow, ed.). Jakarta, Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor, 1997
Nieuwenhuis, Anton W
Di Pedalaman Kalimantan Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994
Nieuwenhuis, Anton W
In Central Kalimantan. Leiden, E.J. Brill, 1900 Noer Fauzi (ed.)
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 85
Tanah dan Pembangunan. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997 Noer Fauzi
Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Indonesia Pasca Kolonial. Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2001
Onghokham
Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta, PT. Gramedia, 1984
Padoch, Chistine
Migration and Its Alternatives among the Iban of Sarawak. The Hague: Martius Nijhoff dan KITLV, 1982
Parlindungan. A.P
Komentar Atas Undang-undang Penataan Ruang, UU No. 24 Tahun 1992. Bandung, Mandar Maju, 1993
Parlindungan. A.P
Konversi Hak-hak Atas Tanah. Bandung, Mandar Maju, 1990 Pendzich, C.; G. Thomas dan T. Wohigenant
The Role of Alternative Conflict Management in Community Forestry, dalam Forests, Trees, and People. Rome, FAO, 1994
Quack, Anton
Inkulturasi Sebuah Perspektif Antropologis, dalam Iman dan Transformasi Budaya, Editor Georg Kirchberger SVD dan John Mansford Prior SVD. Ende, Penerbit Nusa Indah, 1996
R. van Dijk
Pengantar Hukum Adat Indonesia. Jakarta, Penerbit Sumur Bandung, 1979 Rahardjo, Dawam
Ekonomi dan Ekologi dalam Perspektif Islam, pada buku “Iman Ekonomi dan Ekologi Refleksi Lintas Ilmu dan Lintas Agama”, editor J.B. Banawiratma SJ. Yogyakarta, Kanisius, Yogjakarta, 1996
Riwut, Tjilik
Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaannya. Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1993
Rousseau, Jerome
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 86
The Kayan, dalam Essays on Borneo Societies (Victor T. King, ed.), Hull Monographs on Southeast Asia. Hull, Oxford University Press, 1978
Scharer, Hans
Ngaju Religion The Conception of God among a South Borneo People, , The Hague, Martinus Nijhoff, 1963
Schumacher E.F
Kecil Itu Indah Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil. Jakarta, LP3ES, 1980
Sellato, Bernard
Naga dan Burung Enggang: Hornbill and Dragon Kalimantan - Sarawak - Sabah – Brunei. ELF Aquitaine Indonesie - ELF Aquitaine Malaysia, 1989
Sellato, Bernard
Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down. Honolulu, University of Hawai Press, 1994
Sembiring, Sulaiman N Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta, ICEL, 1999
Soekanto, Soerjono
Kamus Sosiologi. Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1983 Soekanto.Soerjono
Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Mempelajari Hukum Adat. Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1983
Soemardjan, Selo dan Soeleman Soemardi
The Reality of Culture, dalam “Setangkai Bunga Sosiologi”, Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964
Soepomo
Bab-bab Tentang Hukum Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita, 1979 Sumardjono, Maria S.W
Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001
Sutlive, Vinson H
The Iban of Sarawak: Chronicle of a Vanishing World. Kuala Lumpur, S. Abdul Majeed & Co. and Waveland Press, 1992
Teluki. A
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 87
Perbandingan Hak Milik Atas Tanah dan Recht van Eigendom. Bandung, PT Eresco, 1966
Ukur, Fridolin
Makna Religi dari Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, LP3S-IDRD - PT Gramedia Widiasarana, 1994
Uljee, G.L
Handboek voor de Residentie Westerafdeling van Borneo [Buku Pegangan bagi Keresidenan Kalimantan Bagian Barat]. Weltervreden, Visser, 1925
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Timur
Catatan Tutup Tahun 2008 “Menebar Bencana Ekologis Di Kalimantan Timur”. Samarinda, Walhi Kaltim, 2009
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Penghancuran Secara Sistematis Sistem-Sistem Adat oleh Kelompok Dominan (Arimbi Heroe Poetri, ed). Jakarta, WALHI, 1998
Weinstock, Joseph Aaron
Kaharingan and the Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central East Borneo, Cornell University, 1983
Weintré, Johan
Beberapa Penggal Kehidupan Dayak Kanayatan. Kekayaan Ritual dan Keaneka-ragaman Pertanian di Hutan Kalimantan Barat. Pusat Studi Kebudayaan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 2004
Widen, Nimer
Orang Maanyan: Dipersatukan oleh Darah, dalam “Kurban yang Berbau Harum”. Palangkaraya, BPP PGI dan Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, 1995
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Desa Budaya Lung Anai: Dilema Invensi Budaya yang Sirna dan Siasat Penguasaan Sumber Daya Alam. Dalam “Bersatu Membangun Kuasa Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral”. Perkumpulan Praxis, Jakarta, 2010
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Festival Erau dan Politisasi Etnik. Dalam buku Bergerak untuk Daulat Keragaman Perlawanan Menuju Daulat Rakyat. Perkumpulan Praxis, Jakarta, 2011
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Huruf Dayak Hampir Punah. Samarinda, Yayasan Plasma, 1991 Widjono AMZ, Roedy Haryo
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 88
Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta, PT. Grasindo, 1998 Widjono AMZ, Roedy Haryo
Pemanfaatan Tumbuhan Obat Hutan Warisan Kearifan Leluhur Komunitas Adat Dayak. Samarinda, Mapflofa Fahutan Unmul dengan Yayasan Kehati, 1998
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Prahara Budaya dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam. Refleksi Peradaban Komunitas Adat di Kalimantan, dalam “Menguak Tabir Kelola Alam, Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur dalam Kacamata Desentralisasi”. Samarinda, APKSA, 2001
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Revitalisasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam “Menjadi Tuan di Tanah Sendiri: Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur”, Sulaiman N. Sembiring dkk. Samarinda, APKSA, 2000
Wignjodipuro, Surojo
Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Bandung, Penerbit Alumni, 1979
B. Peraturan Perundang-undangan
Convention ILO Nomor. C 169, Tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal People in Independent Countries 140
Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 17/1989 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat di Wilayah Desa/Kelurahan
Keputusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Adat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor. 31/Kpts-II/2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor. 11/Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa dan Kelurahan
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 89
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah
Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 1970 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
Peraturan Pemerintah
Nomor. 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 B ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan (4)
Undang-undang
Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Undang-undang
Nomor. 5 Tahun 1970 tentang Pemerintahan Desa Undang-undang
Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Undang-undang
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 90
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
Undang-Undang
Nomor. 11 Tahun 2005 Ratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Undang-Undang
Nomor. 12 tahun 2005 Ratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
Undang-undang
Nomor.29 Tahun 1999 Ratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 91
C. Makalah/Jurnal/Kertas Posisi Amy, Douglas J
The Politics of Environmental Mediation, dalam Ecology Law Quarterly, vol. 11, no. 1, hlm. 1-20, 1983
Atok, Kristianus
Pemetaan Partisipatif Kawasan Sumber Daya Alam Masyarakat Dayak Punan di sekitar Taman Nasional Bentuang Karimun. Makalah disampaikan pada Lokakarya Taman Nasional Bentuang Karimun di Perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Ditjen PHPA, Dephutbun., ITTO, Yayasan WWF Indonesia, dan Pemda Kalimantan Barat. Pontianak, 13-14 November, 1996
Bamba, John
Jalan Buntu Menuju Sebayan, Basis, Nomor. 09-10, Tahun 49, September-Oktober 2000
Bamba, John
Multikulturalisme Dayak dan Prospek Rekonsiliasi di Kalimantan, Media Indonesia, 10 Desember 2001
Bernstein, Jay H
The Gender of Plants and Inanimate Objects: Ethnobotany and Symbolic Representation in Borneo.Makalah disampaikan pada Fourth Biennial International Conference of the Borneo Research Council, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 10-15 Juni1996
Colchester, Marcus dan Maurizio Farhan Ferrari
Menjadikan FPIC (Prinsip Persetujuan Tanpa Paksaan atas dasar Informasi Awal) Berjalan: Tantangan dan Peluang bagi Masyarakat Adat. Forest Peoples Programme, Moreton-in-Marsh, Juni 2007
Devung, Simon
Deskripsi Lengkap Adat Penanaman Padi Lalii’ Ugaal, makalah pada Seminar Adat Dayak se Kabupaten Kutai, diselenggarakan LP2SM Daya Sejahtera, Tenggarong, November 1990
Dingit, Loir Botor
Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat: Kepastian Hukum Kawasan Tanah Adat, dalam: Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara. Jakarta, 15-16 Maret, 1999
Dove, Michael R
Studi Kasus tentang Sistem Perladangan Suku Kantu’ di Kalimantan, dalam Prisma, no. 4, hlm. 63-77. Jakarta, LP3ES, 1981
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 92
Faizal, Elly Burhaini
Ekonomi Versus Ekologi. Eksploitasi Hutan Lindung, Suara Pembaruan, 22 April 2003
Frans L.S, Jacobus E. dkk
Hak Milik Tradisional Atas Tanah Berdasarkan Hukum Adat pada Masyarakat Dayak Kenyah di Kecamatan Long Pujungan. Samarinda: WWF, 1995
Harrison, Tom
The Malohs of Kalimantan: Ethnological Notes, dalam Sarawak Museum Journal, No. 13, hlm. 236-350. Kuching: Sarawak Museum, 1965
Hoffman, Carl L
Some Notes on the Origins of the Punan of Borneo,” dalam Borneo Research Bulletin, Vol. 13, No. 2, hlm. 71-75. Williamsburg, Borneo Research Council, 1981
J. Sudarminta
Filsafat Organisme Whitehead dan Etika Lingkungan Hidup, Majalah Filsafat Driyarkara, Thn. XIX No. 1, 1992/1993
Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi BidKomLing dan Pemberdayaan Masyarakat
Kertas Posisi Pengetahuan Tradisional Sebagai Bagian Kearifan Lokal Dari Masyarakat Hukum Adat Yang Terkait Dengan Sumber Daya Genetik Dalam Protokol Nagoya, Jakarta, 2011
King, Victor T
Notes on Punan and Bukat in West Kalimantan,Borneo Research Bulletin, no. 6, hlm. 31-38. Williamsburg, Virginia: Borneo Research Council, 1974
Layang, S. Jacobus E.F
The Death Rituals of the Banuaka’ Dayak of Kapuas Regency, West Kalimantan. Makalah disampaikan pada Second Biennial International Conference of the Borneo Research Council. Kota Kinabalu, Sabah 5-10 Juli1992
Majalah Filsafat Driyarkara
Manusia Dibalik Akar-Akar Problematika Lingkungan Hidup, Tahun. XIX, No. 1, 1992/1993
Mar’iyah, Chusnul
Demokrasi, Prasyarat Tumbuhnya Masyarakat Multikultur, tentang Feminisme, Multikulturalisme dan Kesetaraan Gender, Media Indonesia, 10 Desember 2001
Mardigjo
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 93
Tinjauan Tentang Hak Ulayat di Kalimantan. Kodam VI, Tanjungpura. Balikpapan, 1991
Mills, John A
Legal Constructions of Cultural Identity in Latin America. An Argument Against Defining Indigenous People. Texas Hispanic Journal of Law & Policy, vol. 8 no. 49
Muller Karl, David Pickell
Kalimantan Indonesian Borneo. Singapore Journal: Eric Oey, 1996 Nababan, Abdon
Kearifan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat: Awal bagi Pengabadian pada Keberlanjutan Kehidupan. AMAN, Juli, 2002
Nababan, Abdon
Mengembalikan Kedaulatan Masyarakat Adat atas Wilayah Adat: Prakarsa Masyarakat Adat. Makalah pada Perspektif Tanah Adat/Ulayat dan Pendekatan Komprehensif Penyelesaian Konflik Tanah. Departemen Dalam Negeri 19-20 Juni 2002
Nasution, Muslimin
Hutan dan Persoalan Tanah Ulayat, makalah yang disampaikan dalam acara "Roundtable Discussion" menuju kepada Pemilikan Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, Komnas HAM Indonesia di Hotel Indonesia, 24 Maret 1999
Ngo, Mering
Etnografi Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Dayak di dalam dan sekitar Taman Nasional Bentuang Karimun, Kalimantan Barat: Beberapa Implikasi terhadap Pengelolaan Kawasan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Taman Nasional Bentuang Karimun. Pontianak, 13-14 November1996
Ngo, Mering
Hak Ulayat Masyarakat Setempat: Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai, dalam Prisma, no. 6, hlm. 51-58. Jakarta, LP3ES, 1992
Ngo, Mering
Les Ancestres, les Chefs et leurs Descendants [Para Leluhur, Pemimpin, dan Keturunannya], dalam Borneo: Des Chasseurs de Tetes aux Ecologistes (A.Guerreiro dan P. Couderc, ed.), Autrement No. 52, hlm. 118-124. Paris, 1991
. Ngo, Mering
Antara Pemilik dan Pemanfaat: Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di Kalimantan Barat, dalam Prisma, no. 4, hlm. 73-86. Jakarta, LP3ES, 1989
Ngo, Mering
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 94
Dekat dengan Hutan, Jauh dari Kekuasaan: Marjinalitas Struktural Orang Bukat dan Punan, Prisma, vol. 27, no. 1, hlm. 61-74. Jakarta: LP3ES, 1998
Ngo, Mering
Redefinisi Pembangunan Sumber Daya Alam: Sebuah Komentar atas Studi JICA”, dalam Harian Suaka, no. 27, 17-20 Desember1998
Raden, Bestari dan Abdon Nababan
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat: Antara Konsep dan Realitas, Makalah dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Senayan-Jakarta, 25-28 Oktober 2001
Rahmina
Peluang dan Tantangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Hutan Desa).Pusat Kajian dan Layanan Hukum FH Uniba,Samarinda, 13-14 April 2011
Ruwiastuti, Maria R
Menuju Pluralisme Hukum Agraria. Analisa dan kritik terhadap marginalisasi posisi hukum-hukum dan hak-hak adat penduduk asli atas tanah dan sumber-sumber agraria oleh pembuat undang-undang Pokok Agraria (UUP 1960). Kertas Posisi (Position Paper). Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria. No. 06, 1998
Singarimbun, Masri
Beberapa Aspek Kehidupan Masyarakat Dayak, Buletin Humaniora, Fakultas Sastra UGM, Nomor 3, Yogyakarta, 1991
Soesangbeng, Herman
Keberpihakan Pada Masyarakat Lokal Dalam Kebijakan Pertanahan Merupakan Prasyarat Bentuk-bentuk Kemitraan Lokal. Makalah dalam: Seminar Hasil Studi Hak-Hak Tradisional Atas Tanah di Indonesia. Jakarta, Universitas Katolik Atma Jaya dan Puslitbang BPN, 1 Desember 1998
Suarnatha, I Komang
Dampak Globalisasi Terhadap Budaya Lokal dan Perilaku Masyarakat, Majalah Sinar Agung, Edisi IV, 2008
Suparlan, Parsudi
Indonesia Baru dalam Perspektif Multikulturalisme, Media Indonesia, 10 Desember 2001
Surbakti. Ramlan
Pluralisme Daerah Otonom dan Pluralisme Otonomi Daerah, Media Indonesia, 10 Desember 2002
Ukur, Fridolin
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 95
Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak, makalah Seminar Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak, 1992
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Belian Ritual yang Tersisa dari Peradaban Silam. Majalah Srinthil, Jakarta, 2010 Widjono AMZ,Roedy Haryo
Episentrum Payung Hukum Kawasan Kelola Bersama Berbasis Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik. Kertas Posisi Perkumpulan Menapak Indonesia, Februari 2013
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Kubur di Awang-awang: Perjumpaan Makna Tradisi dan Agama. Majalah Gong, Yogjakarta, 2010
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Merebut Kedaulatan Masyarakat Adat: Suplemen Informasi pada Pertemuan Konsolidasi Masyarakat Adat Dayak. Nomaden Institute for Cross Cultural Studies, Long Hubung, Kutai Barat, 24-26 Mei 2012
Widjono AMZ,Roedy Haryo
Otonomi Kampung: Ikhtiar Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat Dayak, Kertas Posisi Nomaden Institute for Cross Cultural Studies, November, 2010
Widjono AMZ, Roedy Haryo
Sejarah adalah Guru Kehidupan dan Pesan dari Masa Silam: Aktualisasi Spirit Budaya Dayak - Dialektika Kearifan Tradisi dan Globalisasi. Makalah Seminar Pesta Seni Budaya Dayak Se-Kalimantan, Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gajah Mada, Jogyakarta, 20 Oktober 2012
Yudana, I Gede Agung dan Roedy Haryo Widjono AMZ
Tato: Kriminal dan Tradisi, Majalah Intisari, No. 362, September 1993 D. Studi/Penelitian Arman, Syamsuni
Socio-economic Study of Bentuang Karimun National Park, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan Province. Pontianak, Penelitian Yayasan WWF Indonesia, 1997
Azis, Abdul (Ed.)
Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Daerah Kalimantan Timur, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Dit. Sejarah Nilai Tradisional, Dep. P & K, Jakarta 1985
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 96
Departemen Kehakiman-BPHN Hukum Adat dan Lembaga Adat di Kalimantan Timur, Kerjasama BPHN Departemen Kehakiman dengan Universitas Mulawarman. Penelitian tentang “Hukum Adat dan Lembaga Adat di Kalimantan Timur. Samarinda, 1987
Chaniago, Izefri
Pengkajian terhadap Kesinambungan Dua Sumberdaya Alam, Gaharu dan Sarang Burung Walet, dan Prospek Pengembangannya di Kawasan Taman Nasional Bentuang Karimun, Kalimantan Barat. Pontianak: Laporan PenelitianYayasanWWF Indonesia, 1997
Direktorat Jenderal Agraria
Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanahan: MasalahTanah Suku, Tanah Pertambangan, Tanah Kehutanan, Tanah untuk Keperluan Pembangunan/Umum di Kalimantan Timur. Direktorat Jenderal Agraria. Jakarta, 1972/1973
Komnas HAM
Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat. Penelitian berdasarkan Keputusan Penanggung Jawab Tim Pengendalian dan Pengawasan Program Penelitian pada Komisi Hukum Nasional, Nomor, 33 Tahun 2004, 5 Agustus 2004, Tentang Penugasan Pelaksanaan Program Penelitian Discriminative Legislation and Gender Issues
Ngo, Mering
Incorporating Socio-cultural Assessment and Structural Participation into Betung Kerihun National Park: An Expedition Report on the Iban and Tamambaloh in Embaloh Region, West Kalimantan. Laporan ekspedisi ITTO-WWF Indonesia, 1997
Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Departemen Dalam Negeri
Penelitian Tentang Integrasi Hak Ulayat di 20 Propinsi di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1992
Tjondronegoro, Sediono MP
Property Rights dalam Pengelolaan Hutan, dalam Didik Suharjito (ed.), Hak-hak Penguasan atas Hutan di Indonesia, Bogor: Program Penelitian dan pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM), 1999
Wariso, RAM
Suku Dayak Punan: Sebuah Laporan Survey Sosial di Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Laporan penelitian untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura dan Departemen Sosial. Pontianak, 1971.
Draft 1 Naskah Akademik
Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 97
E. Tesis/Disertasi Diposiswoyo, Mudiyono
Tradition et Changement Sociale: Etude Ethnographique des Taman de Kalimantan Quest [Tradisi dan Perubahan Sosial: Studi Etnografi Orang Taman di Kalimantan Barat]. Disertasi Doktor Antropologi pada Ecole de Hautes Etudes en Sciences (EHESS), Paris, 1985
Elmiyah, Nurul
Negara dan Masysarakat Adat: Studi Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun, Kalimantan Timur. Disertasi Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2003
Jatiman, Sardjono
Dari Kampung Menjadi Desa: Studi Sosiologi Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Disertasi Doktor Sosiologi pada Universitas Indonesia, Jakarta, 1995
Ngo, Mering
Luma’ Umaa’: Kajian Perladangan Ulang Alik Orang Kayan di Desa Padua, Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tesis Sarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1988
Rousseau, Jerome
The Social Organization of Baluy Kayan. Disertasi Doktor Antropologi pada University of Cambridge, 1974