Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

97
PERKUMPULAN STABIL & FORUM DAYAK MENGGUGAT Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Dayak DRAFT # 01 “Sebuah Ikhtiar Menuju Peradaban Humanistik” Aku mendengar jerit hewan yang terluka. Ada orang memanah rembulan, ada anak burung terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan agar kehidupan tetap terjaga.” •WS Rendra, 1974

description

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Transcript of Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Page 1: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

PERKUMPULAN STABIL & FORUM DAYAK MENGGUGAT

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak

Masyarakat Adat Dayak DRAFT # 01

“Sebuah Ikhtiar Menuju Peradaban Humanistik”

Aku mendengar jerit hewan yang terluka. Ada orang memanah rembulan, ada anak burung terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan agar kehidupan tetap terjaga.” •WS Rendra, 1974

Page 2: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

sangat jelas menyebutkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam kaitannya dengan masyarakat hukum

adat, Alinea IV PembukaanUUD 1945 tersebut menjadi nafas dalam perumusan Pasal

18B ayat (2) yang secara tegas menyatatakan bahwa “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang“.

Sejatinya dalam konteks ke-bangsaan, Indonesia merupakan himpunan

masyarakat yang majemuk. Semboyan Bhineka Tunggal Ika, menunjukkan pengakuan

negara pada realita kemajemukan budaya dan masyarakat. Secara horisontal, berbagai

kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai bangsa, dapat dipilah ke dalam

berbagai suku bangsa dan atau sub suku bangsa, kelompok penutur bahasa tertentu,

maupun ke dalam golongan penganut ajaran iman dan kepercayaan yang berbeda satu

dengan lainnya.

Sedangkan secara vertikal, berbagai kelompok masyarakat itu, dapat pula

dibedakan atas dasar mode of production, yang bermuara pada perbedaan daya

adaptasi. Wajah kemajemukan vertikal ini, perlu mendapat perhatian serius.

Berdasarkan tingkat perkembangan teknologi, sistem pengetahuan, pola eksploitasi

dan penguasaan sumber daya, serta jaringan hubungan dengan masyarakat secara

lebih luas, kelompok-kelompok suku bangsa atau sub suku bangsa yang ada di

wilayah kedaulatan Indonesia, setidaknya dapat dikategorikan ke dalam empat

kategori utama. Pertama, adalah tribal society. Ketegori kedua, adalah kelompok

masyarakat yang mengembangkan teknik perladangan gilir-balik. Kategori ketiga,

adalah kelompok masyarakat petani. Sedangkan keempat, adalah kelompok

masyarakat industri.

Ketiga kategori yang disebut terdahulu (tribal society, peladang dan petani),

kehidupan mereka banyak diwamai aturan-aturan yang bersumber dari sistem

kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik, sebagaimana terdapat dalam adat

dan tradisi. Ketiganya pula, dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat, yakni,

"kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di

wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,

budaya, sosial dan wilayah sendiri."

Page 3: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 3

Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk

merujuk kepada masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam

ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam

perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan

sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup

segala aspek dan tingkatan kehidupan.

Pengertian mengenai Masyarakat Adat sejatinya tidak merujuk pada defenisi

secara tertutup tetapi lebih kepada kriteria, yang dimaksudkan memberikan

kesempatan kepada komunitas untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self

identification). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Kongres I tahun

1999 menetapkan rumusan pengertian masyarakat adat, yakni "Komunitas-komunitas

yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah

adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial

budaya yang diatur oleh Hukum adat dan lembaga adat yang mengelola

keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”

Dalam beberapa literatur resmi, istilah "masyarakat adat" dan "penduduk

pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan

yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan

populasiorang-orang asli dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dengan

merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989). Dalam Deklarasi Masyarakat

Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat

Adat) menyatakan "secara praktis mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli

atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim“many of

these peoples refer to themselves as “indigenous” in order to fall under discussions

taking place at the United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and

“tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify

themselves under the indigenous agenda.”

Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri

sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial

sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam

berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Maka, dalam

Konvensi ILO No.169 tahun 1986dinyatakan pengertian dasar mengenai Masyarakat

Adat, “Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki

jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang

di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang

berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan

merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara,

mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada

Page 4: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 4

generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai

suatu suku-bangsa, sesuai pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.”

Masyarakat Adat Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan Timur yang

hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat. Istilah

Dayak, sesungguhnya mempunyai arti sebagai sebutan kolektif sub-suku masyarakat

adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur, dapat

diklasifikasikan dalam 7 kelompok besar, yakni: (1) Luangan Group terdiri dari Dayak

Benuaq, Bentian, Paser dan Tonyooi; (2) Apo Kayan Group terdiri dari Dayak Kayan,

Kenyah, Bahau, Punan, Modang dan Long Gelat; (3) Lun Bawan Group, terdiri dari

Dayak Lun Dayeh dan Lun Bawan; (4) Mahakam Group terdiri dari Dayak Seputan; (5)

Barito Kapuas Group, terdiri dari Dayak Kahayan dan Bekumpay; (6) Kapuas Group

terdiri dari Dayak Aoheng dan Bukat; (7) Melayu Group, terdiri dari Kutai dan Tidung

dengan sejumlah puak masing-masing.

Dalam perspektif etno-antropologis, masyarakat adat Dayak di Kalimantan

Timur menurut klasifikasi berdasarkan perbedaan bahasa, terdapat 7 kelompok besar

yaitu:

1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung,

Abai dan Tagel, dari kelompok Idahan.

2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok

Barito Timur; (2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3)

Kayan, Bahau, Modang, Aoheng dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4)

Lundaye, Lengilu’ dan Saben dari kelompok Apo Duat; (5) Merap, Punan Malinau

dan Basap Sajau dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978).

Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang

cukup berbeda dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu’ di

Kabupaten Berau; (2). Brusu dan Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap

seperti Punan Kereho dan Punan Murung di Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan

Basap Jonggon di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Punan Kuhi, Punan Aput dan

Punan Benalui di Kabupaten Malinau (Devung, 1997).

Berdasarkan hasil penelitian Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia,

Proyek Kayan Mentarang, ditemukan gambaran sebaran dominan etnis lokal per

Kabupaten di Kaltim, dengan identifikasi nama etnis lokal berdasarkan klasifikasi

populer di masing-masing Kabupaten, sebagai berikut:

1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun

2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser

3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan,

Tunjung, Benuaq, Bentian, Luangan, Kutai

4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah, Kayan,

Basap, Benua’, Tunjung

Page 5: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 5

5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap,

Tunjung

6. Kabupaten Berau, 7 etnis lokal: Berayu-Berau, Ga’ay, Punan, Lebu’, Basap, Kayan,

Kenyah

7. Kabupaten Bulungan, 6 etnis lokal: Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu, Basap

8. Kabupaten Malinau 12 etnis lokal: Kenyah, Punan, Kayan, Pua’, Merap, Bau, Lun

Daye, Tidung, Brusu, Tagel, Abai, Agabag

9. Kabupaten Nunukan 6 etnis lokal: Tidung, Abai, Tagel, Agabag, Brusu, Lun Daye.

Sedangkan karakteristik sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar

kawasan hutan, bisa dilihat dari dua perspektif: (1). berdasarkan sistem pemanfaatan

sumberdaya hutan; (2). berdasarkan hubungan historis dengan kawasan hutan

setempat. Dari perspektif karakteristik berdasarkan sistem pemanfaatan sumberdaya

hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan kedalam

empat kategori, yakni: (1). Masyarakat yang kehidupannya sepenuhnya tergantung

dari sumberdaya hutan; (2). Masyarakat yang kehidupannya sebagian tergantung dari

sumberdaya hutan; (3). Masyarakat yang kehidupannya tidak seberapa tergantung

dari sumberdaya hutan; (4). Masyarakat yang kehidupannya samasekali tidak

tergantung dari sumberdaya hutan

Sedangkan dari perspektif karakteristik berdasarkan hubungan historis dengan

kawasan hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan

dalam empat kategori: (1). Masyarakat etnis lokal, dengan wilayah adat dan wilayah

desa tradisional yang relatif masih sama dengan dulu; (2). Masyarakat etnis lokal,

dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau terpisah

oleh sistem administrasi pemerintahan, perpindahan penduduk, resetlemen, relokasi

desa, proyek pembangunan, industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan; (3).

Masyarakat etnis pendatang, yang sudah bermukim sebelum penetapan atau

perubahan status kawasan hutan; (4). Masyarakat etnis pendatang yang baru

bermukim setelah penetapan atau perubahan status kawasan hutan.

Hingga tahun 2013 kondisi demografi di Kalimantan Timur mengalami

ketimpangan, karena jumlah penduduk pendatang telah melebihi jumlah penduduk

asli. Kondisi ini, disebabkan derasnya arus pendatang karena adanya pertumbuhan

industri dan proyek pembangunan. Situasi kependudukan itu telah melahirkan

fenomena permasalahan sosial sekaitan dengan penguasaan, pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya secara tidak seimbang, antara komunitas masyarakat

hukum adat Dayak dengan komunitas pendatang.

Sedangkan di lain fihak, eksploitasi sumber daya alam (hutan, tambang,

perkebunan dan proyek pembangunan), tumbuh sebagai sumber konflik antara

komunitas masyarakat hukum adat Dayak dengan para pengusaha dan penguasa.

Maka tak pelak, bertahun-tahun terus berlangsung proses pemiskinan struktural,

Page 6: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 6

sehingga masyarakat hukum adat Dayak semakin tidak memiliki akses terhadap

penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.Sementara itu

peraturan perundang-undangan yang berlaku, cenderung tidak memihak kepentingan

masyarakat hukum adat Dayak, sehingga mereka kehilangan akses dalam pengambilan

keputusan, karena kuatnya hegemoni yang dibarengi dengan kooptasi terhadap tokoh-

tokoh masyarakat.

Padahal sejatinya, dalam rangka menjalankan mandat konstitusi, Pemerintah

telah menyusun berbagai peraturan perundang-undangan. Namun faktanya,

peraturan perundang-undangan (regulasi) tersebut telah dijadikan sebagai alat oleh

negara untuk mengambil alih hak masyarakat hukum adat Dayak atas wilayah

adatnya, kemudian dijadikan sebagai tanah negara, yang selanjutnya justru atas nama

negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai

skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak, serta kearifan lokal

masyarakat hukum adat Dayak. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik antara

masyarakat hukum adat Dayak dengan pengusaha/penguasa di berbagai wilayah di

Kalimantan Timur.

Praktik marjinalisasi terhadap masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan

Timur, telah berlangsung sejak Rezim Orde Baru hingga Rezim Penguasa saat ini.

Situasi ketidak-adilan ini menyebabkan terjadinya arus penolakan atas pemberlakukan

kebijakan/regulasi yang menisbikan pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi

masyarakat hukum adat Dayak.

Kebutuhan akan pengakuan dan perlindungan melalui peraturan perundang-

undangan pada tingkat lokal juga didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

35/PUU-IX/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara

melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Putusan MK

tersebut tentunya membutuhkan tindaklanjut pada tingkat daerah, khususnya terkait

dengan hutan adat, sementara pengaturan tentang hutan adat tidak dapat

dilepaskan dari keberadaan masyarakat hukum adat termasuk wilayah adanya.

Merujuk pada amanat konstitusi pada Alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 dan

Pasal 18B ayat (2), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 serta fakta

empirik ketidak-adilan yang dialami masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan

Timur, maka gagasan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap

masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan Timur menemukan jangkar

pembenarnya. Keinginan untuk mewujudkan “Peraturan Daerah (Perda) tentang

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Timur”

merupakan sebuah ikhtiar menuju peradaban yang humanistik.

Page 7: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 7

B. Identifikasi Masalah

Berpijak pada uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dikaji

dalam naskah akademik ini adalah:

1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat Dayak pada saat ini

dan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;

2. Bagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini mengatur tentang

masyarakat hukum adat dan sejauhmana peraturan perundang-undangan dapat

menyelesaikan permasalahan yag dihadapi oleh masyarakat hukum adat,

khususnya masyarakat hukum adat Dayak;

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Dayak.

4. Apa jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Dayak.

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan

penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis permasalahan apa yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat Dayak

pada saat ini dan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;

2. Mengidentifikasi dan menganalisis ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang masyarakat hukum adat;

3. menguraikan landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Dayak.

4. Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan,

dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Dayak.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai

acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak.

D. Metode

Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan

penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang

berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat

Page 8: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 8

dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode

yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif

dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang

berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak,

atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi

lainnya.

Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus

group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal

adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap

Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang

mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor

nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-

undangan yang diteliti.

Page 9: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 9

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,

perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, dari

pengaturan pengakuan dan perlindunngan masyarakat hukum adat Dayak dalam

suatu Peraturan Daerah Provinsi. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab

berikut:

A. Kajian teoretis

Pada bagian ini terdapat tiga hal yang saling berkaitan antara satu dengan

lainnya, yaitu masyarakat (hukum) adat dan hukum adat serta—dalam hubungannya

dengan topik utama dalam kajian ini—hak adat dalam pengelolaan sumber daya

alam. Dengan mengacu kepada adagium “ubi socitas ibi ius” maka pembahasan ini

akan berangkat dari konsep mengenai masyarakat hukum adat, dan kemudian hukum

adat serta konsep tentang hak adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

Bahasan dalam lingkup ini terdiri dari tiga kata, yaitu masyarakat, hukum, dan

adat. Secara leksikal, masyarakat berarti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya

dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama1. Sedang hukum

berarti; 1). Peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku

bagi semua orang di suatu masyarakat (negara); undang-undang, peraturan, dan

sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3) patokan (kaidah,

ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya), 4) keputusan (pertimbangan)

yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.2 Sedangkan adat berarti

aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu

kala, 2) kebiasaan; cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, 3)

cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan sebagainya), 4) wujud

gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-

aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem (PPPB, 1989: 5).3

Di dalam kepustakaan hukum, menurut Hadikusuma4 (1992: 72), selain

masyarakat hukum adat juga dipakai istilah persekutuan hukum adat. Masyarakat

hukum adat mempunyai pengertian yang bersifat umum dan luas, seperti masyarakat

hukum adat Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, dan sebagainya. Sedangkan istilah

persekutuan hukum adat bersifat khsusu dan sempit, misalnya persekutuan hukum

1 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, ctkn 2, 1989) hlm. 564 2 Ibid, hlm. 314 3 Ibid, hlm. 5 4 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992) hlm. 72

Page 10: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 10

adat kekerabatan, ketetanggaan atau keorganisasian, dan dilihat dari lingkungan

masyarakatnya, seperti untuk masyarakat hukum adat Minangkabau disebut

persekutuan hukum adat Bodi-Caniago, Koto–Piliang, Pesisir, atau seperti di

Lampung, persekutuan hukum adat pepadun dan pesisir.

Secara singkat, Ter Haar merumuskan persekutuan hukum adat sebagai

“gerombolan yang teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula

kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata.”5 Menurut

Hazairin,6 masyarakat hukum adat merupakan kesatuan-kesatuan kemasyarakatan

yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu kesatuan hukum,

penguasa, dan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi

semua anggotanya. Sedangkan bentuk hukum kekeluargaannya, baik yang bersifat

patrilineal, matrilineal, atau bilateral, mempengaruhi sistem pemerintahannya,

terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil

hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang lair, pertambangan

dan kerajinan tangan. Penghidupan masyarakat hukum adat bersifat komunal, di

mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan

besar.

Apabila merujuk pada pandangan Ter Haar, maka sebuah kelompok

masyarakat yang disebut sebagai persekutuan hukum/masyarakat hukum adat itu

mempunyai empat sifat, yaitu:

1. Ada pergaulan hidup di dalam golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan,

baik terhadap dunia luar, lahir, dan bathin;

2. Memiliki tata susunan yang tetap dan kekal, dan setiap anggota golongan

mengalami kehidupannya dalam masyarakat sebagaimana adanya, sesuai dengan

kodrat alam;

3. Tidak ada seorangpun anggota masyarakat yang berpikir mengenai kemungkinan

pembubaran golongan tersebut; dan

4. Mempunyai pengurus sendiri, harta benda, milik keduniaan, dan milik gaib.7

Dalam pandangan Soepomo, masyarakat hukum adat Indonesia dapat dibagi

atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian

suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (teritorial),

dan yang berdasarkan pada kedua dasar tersebut (genalogis dan teritorial).8 Dari

5 B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto,

(Jakarta: Pradnya Paramita, ctkn. X, 1991) hlm. 7 6 Sebagaimana dikutip dalam Soerjono Soekanto & Sulaeman B. Taneko, Hukum Adat

Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1986) hlm. 108-9 7 Sebagaimana dikutip dalam Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, ctk. x, (Jakarta:

Pradnya Paramita, ctkn. X, 1984) hlm. 50 8 Ibid, hlm. 51

Page 11: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 11

sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri

(masyarakat hukum adat tunggal), menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang

lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah

(masyarakat hukum adat bertingkat), serta merupakan beberapa perserikatan dari

beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat (masyarakat hukum adat

berangkai).

Secara teoretis, menurut Soekanto dan Taneko dapat terjadi beberapa

kombinasi masyarakat hukum adat sebagai berikut:

1. Masyarakat hukum adat genealogis yang;

a. tunggal

b. bertingkat

c. berangkai

2. Masyarakat hukum adat teritorial yang;

a. tunggal

b. bertingkat

c. berangkai

3. Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaliknya); hal itu tergantung

dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang;

a. tunggal

b. bertingkat

c. berangkai9

1. Masyarakat hukum adat genealogis

Masyarakat hukum adat yang didasarkan pada unsur genealogis adalah

masyarakat di mana dasar pengikat utama anggota-anggota kelompok ialah

persamaan dalam keturunan, artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karena

merasa berasal dari nenek moyang yang sama.10 Dalam masyarakat hukum adat

jenis ini terdapat tiga macam pertalian keturunan , yaitu:

a. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (patrilineal), apabila para

anggotanya (sama beranggapan) satu sama lain adalah satu kerabat, karena

berasal dari satu keturunan yang sama; sedang dalam menarik garis keturunan

itu selalu dihubungkan dengan bapak, dengan bapaknya lagi dan seterusnya

sampai dengan bapaknya yang pertama;

b. Pertalian keturunan menueut garis ibu (matrilineal), apabila para anggotanya

(sama beranggapan) satu sama lain adalah satu kerabat, karena berasal dari

garis keturunan yang selalu dihubungkan dengan ibu, dengan ibunya lagi dan

seterusnya sampai dengan ibunya yang pertama;

9 Soerjono Soekanto & Sulaeman B. Taneko, op.cit., hlm. 110-11 10 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Tarsito, 1982) hlm. 75

Page 12: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 12

c. Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, bercorak kembar, keibu-

bapaan, apabila para anggotanya satu dengan yang lain (menganggap dirinya)

berkerabat, memperhitungkan garis keturunan, orang-orang

menghubungkannya kepada bapak dan ibunya.11

Klasifikasi yang berbeda mengenai jenis masyarakat hukum adat yang

didasarkan pada unsur genealogis, seperti yang dipaparkan di atas, dikemukakan

oleh Saragih.12 Menurutnya, masyarakat hukum adat jenis ini dapat dibedakan

dalam dua macam persekutuan genealogis, yakni masyarakat unilateral dan

masyarakat bilateral/parental; ditambah satu bentuk khusus, yaitu masyarakat

alternerend (berganti-ganti).

a. Masyarakat unilateral, yaitu masyarakat di mana anggota-anggotanya menarik

garis keturunan hanya dari satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki (ayah) atau

perempuan (ibu). Masyarakat ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja;

2) Masyarakatnya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut clan

(sub-clan);

3) Sistem perkawinannya adalah exogami; dan

4) Tiap kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh dibagi.

Masyarakat hukum unilateral ini dapat dibedakan atas tiga macam bentuk,

yaitu masyarakat matrilineal, patrilineal, dan dubbel unilateral.

b. Masyarakat bilateral, yaitu susunan masyarakat di mana anggota masyarakat

menarik garis keturunan baik dari ayah maupun melalui ibu. Jadi garis

keturunan ditarik melalui orang tua (parental). Masyarakat hukum adat yang

tersusun secara parental bentuk perkawinanya bebas, artinya tidak terikat

pada keharusan exogami ataupun endogami. Masyarakat bilateral terdiri dari

masyarakat bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga (gezins)

dan masyarakat bilateral yang bersendikan pada rumpun-rumpun (trible).

c. Masyarakat alternerend merupakan masyarakat di mana garis keturunan

seseorang ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang

dilakukan oleh orang tuanya. Apabila perkawinan orang tuanya dilakukan

menurut hukum keibuan (kawin semendo), maka anak yang lahir menarik garis

keturunan melalui ibu, dan jika perkawinan orang tuanya dilakukan menurut

hukum kebapaan (kawin jujur), maka anak yang lahir menarik garis keturunan

melalui ayah, sedang apabila perkawinan orang tuanya dilakukan menurut

hukum kedua belah pihak (kawin semendorajo-rajo), maka anak yang lahir

menarik garis keturunan baik melalui ibu maupun ayah.

11 Lihat Soepomo, op. cit., hlm. 51, bandingkan dengan Samidjo, Pengantar hukum

Indonesia, (Bandung: Armico, 1985) hlm. 57-8 12 Djaren Saragih, op. cit., hlm. 75-8

Page 13: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 13

Menurut Hadikusuma,13 anggota-anggota kerabat yang terjadi karena

hubungan perkawinan dan karena hubungan atau ikatan adat (bersaudara

angkat) termasuk dalam kategori masyarakat hukum adat yang didasarkan pada

garis keturunan ini. Persekutuan kekerabatan tersebut mempunyai tata tertib

adat sendiri dan pimpinan sendiri, bahkan adakalanya mempunyai harta bersama,

milik bersama yang dikuasai bersama untuk kepentingan bersama.

2. Masyarakat hukum adat territorial

Masyarakat hukum adat yang didasarkan pada wilayah (territorial) menurut

Soepomo14 tergantung pada apakah ia bertempat tinggal di dalam lingkungan

darah persekutuan itu atau tidak. Seseorang dapat, untuk sementara waktu,

meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan keanggotaannya, sedangkan

orang luar yang masuk ke dalam daerah persekutuan tersebut, tidak dengan

sendirinya menjadi anggota persekutuan, tetapi ia harus diterima sebagai teman

segolongan menurut hukum adat. Masyarakat hukum adat teritorial ini dapat

digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu:

a. Masyarakat hukum desa yaitu segolongan atau sekumpulan orang yang hidup

berdasarkan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang

sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama, oleh sebab itu

merupakan suatu kesatuan, suatu tata susunan. Anggota persekutuan ini tidak

selalu berkerabat satu sama lain, yang penting ialah unsur bahwa orang-orang

hidup bersama dalam lingkungan suatu daerah tertentu;

b. Masyarakat hukum wilayah yaitu kesatuan sosial wilayah yang melindungi

beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masing tetap merupakan

kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Walaupun masing-masing masyarakat

hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu mempunyai

tata susunan dan pengurus sendiri, mereka tetap merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari keseluruhan, yakni masyarakat hukum wilayah sebagai

kesatuan teritorial yang lebih tinggi;

c. Masyarakat hukum serikat desa di mana terdapat hubungan-hubungan

kerjasama antara beberapa perkampungan/desa yang beedekatan, diberbagai

bidang demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung

dalam masyarakat hukum serikat desa itu.15

3. Masyarakat hukum adat genelogis-territorial

Dalam masyarakat hukum adat yang didasarkan pada faktor keturunan dan

wilayah, keanggotaannya harus memenuhi dua syarat, yaitu ia harus termasuk

dalam suatu kesatuan genealogis dan ia harus bertempat tinggal di dalam daerah

13 Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 73 14 Soepomo, op. cit., hlm. 52 15 Samidjo, op. cit., hlm. 62

Page 14: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 14

persekutuan hukum. Golongan yang berdasarkan keturunan, yang bertempat

tinggal di daerah persekutuan hukum itu terputus pertalian hukumnya dengan

teman-teman segolongan yang tinggal di tempat lain. Golongan yang berdiam di

suatu wilayah persekutuan hukum itu merupakan suatu badan hukum yang

berdiri sendiri dan mempunyai hak-hak dan kewajiban sendiri terhadap daerah

kediamannya serta terhadap tanah di dalam lingkungan daerah itu.16

Ada lima jenis susunan masyarakat hukum adat yang berdasarkan kedua

faktor tersebut, di mana setiap jenis mempunyai corak sendiri-sendiri.

a. Suatu daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh

hanya satu bagian golongan (clandeel). Tidak ada golongan lain yang tinggal

di dalam daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang berdekatan juga

digunakan sebagai tempat tinggal oleh hanya satu klan. Susunan masyarakat

seperti ini, antara lain terdapat di daerah pedalaman di pulau-pulau Enggano,

Buru, Seram, dan Flores.

b. Setiap marga mempunyai daerah sendiri, akan tetapi, di dalam daerah

tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu,

ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi

anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang pertama

mendiami daerah itu dan mendirikan huta-huta di daerah tersebut disebut

marga asal, marga raja, atau marga tanah, sedangkan marga yang datang

kemudian disebut marga rakyat. Susunan masyarakat seperti ini terdapat di

daerah Tapanuli.

c. Di suatu wilayah pada awalnya terdapat suatu clan yang mendiami

danmenguasai daerah tersebut. Akan tetapi kekuasaan itu kemudian

berpindah kepada kepada clan lain yang masuk ke darah itu dan merebut

kekuasaan pemerintah dari clan yang asli. Kedua clan tersebut lalu berdamai

dan bersama-sama merupakan kesatuan badan persekutuan daerah.

Kekuasaan pemerintah dipegang oleh clan yang datang kemudian sedang

clan yang asli tetap menguasai daerah itu sebagai wali tanah. Susunan

masyarakat seperti ini terdapat di daerah Sumba Tengah dan Sumba Timur.

d. Di suatu wilayah tidak terdapat golongan yang berkuasa atas tampuk

pemerintahan, golongan yang menumpang, ataupun golongan yang

menguasai tanah, tetapi semua golongan suku yang bertempat tinggal di

daerah nagari berkedudukan setingkat dan bersama-sama merupakan suatu

badan persekutuan territorial (nagari), sedang daerah nagari itu terbagi dalam

daerah-daerah golongan, di mana setiap golongan mempunyai daerah sendiri.

Susunan masyarakat seperti ini terdapat di beberapa nagari di Mingkabau dan

di beberapa marga di Bengkulu.

16 Soepomo, op. cit., hlm. 54-5

Page 15: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 15

e. Di suatu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan, yang satu dengan

lainnya tidak mempunyai pertalian saudara. Seluruh daerah nagari atau dusun

menjadi daerah bersama (yang tidak dapat dibag-bagi) dari segala bagian clan

pada badan persekutuan nagari (dusun) itu. Susunan masyarakat seperti ini

terdapat di beberapa nagari di Minangkabau dan pada dusun di wilayah

Rejang (Bengkulen).17

Secara sosiologis, masyarakat hukum adat adalah tipe masyarakat yang

digolongkan sebagai persekutuan gemenischaft, yang berbeda dengan persekutuan

gesellschaft. Persekutuan hidup yang bersifat gemenischaft ini, menurut Soepomo

mempunyai corak sebagai berikut:

1. Keagamaan

Keagamaan, bersifat kesatuan bathin, orang segolongan merasa satu dengan

golongan seluruhnya dan tugas persekutuan adalam memelihara keseimbangan

lahir dan bathin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya. Kebahagiaan

sosial dalam persekutuan akan tetap terjamin apabila keseimbangan itu dipelihara

dengan semsetinya.

Perbuatan-perbuatan bersama atau perseorangan, seperti membuka tanah,

membangun rumah dan sebagainya perlu disertai dengan upacara religius yang

bermaksud menggunakan kekuatan ghaib agar perbuatan itu berhasil baik.

2. Kemasyarakatan

Hidup bersama dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak komunal.

Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat; ia

pada asasnya bebas melakukan apa saja asal tidak melanggar batas-batas hukum

yangtelah ditetapkan baginya. Seorang manusia, menurut paham tradisional

hukum adat, terutama adalah warga golongan, teman semasyarakat dan setiap

warga golongan itu mempunyai hak dan kewajiban menurut kedudukannya di

dalam golongan atau persekutuan yang bersangkutan.

Hak-hak subyektif berfungsi sosial, artinya hak itu tidak boleh digunakan secatra

bebas menurut kehendak pemilik hak, melainkan setiap penggunaan hak itu

harus dibenarkan oleh fungsinya hak itu di dlam golongan atau persekutuan yang

bersangkutan.

3. Kewibawaan

Kewibawaan kepala rakyat di dalam persekutuan adalah berdasar pertama atas

peristiwa, bahwa di dalam persekutuan yang bersifat genealogis-territorial ia

adalah anggota yang tertua atau yang berkuasa di dalam daerah persekutuan,

dan di dalam persekutuan-persekutuan yang hanya bersifat territorial, kepala

rakyat di desa-desa di mana tradisi masih besar pengaruhnya, kepala rakyat

biasanya dipilih dari keturunan pembuka desa.

17 Ibid, hlm. 55-7

Page 16: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 16

Kewibawaan kepala rakyat didasarkan pula atas kepercayaan tradisional bahwa

kekuatan ghaib masyarakat terutama menjelma pada diri kepala rakyat itu.

Berdasar atas kedua faktor itu, kepala rakyat adalah pemimpin rakyat yang

sewajarnya.

4. Pengangkatan kepala rakyat

Apabila ada lowongan jabatan kepala, maka di seluruh daerah Indonesia dapat

dikatakan bahwa menurut hukum adat tradisional, pengganti kepala diangkat

(diakui atau dipilih) atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam

permusyawaratan di rapat desa. Permusyawaratan dilakukan atas dasar suara

bulat antara para warga desa yang berhak ikut serta dalam rapat desa atau antara

seluruh kepala rakyat dari persekutuan.

Yang diakui atau dipilih sebagai kepala baru ialah ahli waris pertama dari kepala

lama, asal saja tidak ada hal-hal yang menurut rapat itu menyebabkan bahwa ia

tidak akan cakap atau patut untuk menjabat kepala rakyat. Jikalau ada hal

demikian, maka ahli waris yang berikut akan dipertimbangkan oleh rapat desa

untuk diangkat sebagai kepala baru.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam masyarakat

hukum adat terdapat seperangkat aturan yang mengatur perilaku dan tatacara

berhubungan dengan sesama anggota masyarakat dan lingkungan di mana mereka

berada. Hukum adat itu sendiri mencakup dua unsur utama, yaitu unsur idiil dan riil.

Unsur idiil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, sedangkan unsur

riil mencakup aspek-aspek yang terkait pada manusia (fisik dan mentalitasnya),

lingkungan alam, dan kebudayaannya.18

Menurut Mertokusumo,19 hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku positif

yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak

dikodifikasikan. Singkatnya, hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai

akibat hukum. Hukum adat termasuk dalam hukum kebiasaan, sementara suatu

kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:

1. Syarat materiel: adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang,

yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa

waktu lamanya. Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang berlangsung

lama; harus ada apa yang dinamakan longa et inveterata consuetudo.

2. Syarat intelektual; kebiasaan itu harus menimbulkan opinio necessitatis

(keyakinan umum) bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum. Keyakinan

ini tidak hanya merupakan keyakinan bahwa selalu ajeg berlaku demikian, tetapi

keyakinan bahwa memang seharusnya demikian. Keyakinan ini disebut opinio

18 Sebagaimana dikutip dalam Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 141-3 19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty,

1991) hlm. 87-8

Page 17: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 17

necessitatis (pendapat bahwa demikianlah seharusnya). Kebiasaan itu harus

dilakukan karena keyakinan, bahwa hal itu patut secara obyektif dilakukan bahwa

dengan melakukan itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum.

3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.

Hukum adat menurut Pudjosewojo20 merupakan keseluruhan aturan tingkah

laku yang “adat” dan sekaligus “hukum”. Atau dengan kata lain, hukum adat ialah

keseluruhan hukum yang tidak tertulis. Lebih lanjut Pudjosewojo menguraikan bahwa

pengertian hukum adat sebagaimana yang ia kemukakan tidak dapat disamakan

dengan adat recht. Dengan merujuk pada pendapat Van Vollenhoven, ia menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan adat recht ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang

berlaku bagi bumi putera dan orang timur asing, yang mempunyai upaya pemaksa,

lagi pula tidak dikodifikasikan. Oleh karena itu, yang ada dalam tata hukum Indonesia,

bagi Pudjosewojo, hanya “hukum perundang-undangan dan hukum adat sebagai

synonim daripada hukum yang tak tertulis.”21

Mengenai pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa hukum adat tidak

dapat disamakan dengan hukum tidak tertulis, sebab realitas yang ada menunjukkan

bahwa hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu yang tertulis dan tidak tertulis.

Hukum adat yang tertulis dapat ditemukan pada masyarakat hukum adat yang sudah

mengenal akasara, sehingga peraturan mengenai kehidupan mereka dituangkan

dalam bentuk tulisan. Hal ini misalnya dapat ditemukan dalam awig-awig di Bali..

Adapun hukum adat yang tidak tertulis, pada umumnya ditemukan pada masyarakat

hukum adat yang belum mengenal tulisan. Hukum adat masyarakat ini dapat

diketahui dari keputusan para pemimpin persekutuan yang tidak boleh bertentangan

dengan kesadaran hukum masyarakat.22

Untuk membedakan antara adat istiadat dengan hukum adat, Soekanto dan

Taneko mengidentifikasi beberapa gejala dan masyarakat dan kemudian

mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tingkat kekuatan

mengikatnya. Pengelompokan ini mengasilkan suatu kesimpulan bahwa perilaku yang

berkembang secara logis dengan mengikuti proses akan menjadi hukum adat23.

Sebuah konklusi yang dapat dipaparkan secara lebih jelas dalam skema sebagai

berikut:

20 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar

Grafika, ctkn. xi, 1990) hlm. 77-9 21 Ibid, hlm. 88 22 Samidjo, op. cit. hlm. 52-3 23 Soerjono Soekanto & Sulaeman B. Taneko, op. cit. hlm. 90

Page 18: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 18

(Sumber: Soekanto & Taneko, 1986: 90)

Sumber: Kesusilaan

perseorangan

Sumber: Kesusilaan

umum

Cara (usages)

Hukum adat

Kebiasaan (folkways)

Tata kelakuan (mores)

Adat istiadat (custom)

Melalui pelembagaan,

yakni diketahui, dimengerti, ditaati dan

dihargai

Lembaga Sosial

Membudaya

Penjiwaan

(Internalization)

Page 19: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 19

Skema di atas dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

PENGERTIAN KEKUATAN SANKSI

CARA Suatu bentuk

perbuatan Sangat lemah

Celaan dari

individu

KEBIASAAN

Perbuatan yang

diulang-ulang dalam

bentuk yang sama

Agak kuat Disalahkan oleh

orang banyak

TATA

KELAKUAN

Kebiasaan yang

diterima sebagai

norma atau kaidah

yang mengatur

Kuat Hukuman

ADAT ISTIADAT

Kebiasaan yang

terintegrasikan

dengan kuatnya

dalam masyarakat

Kuat sekali Dikeluarkan dari

masyarakat

HUKUM ADAT

Adat istiadat yang

mempunyai akibat

hukum

Kuat sekali

Pemulihan

keadaan dan

hukuman

(Sumber: Taneko & Soekanto, 1986: 91)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan

adat istiadat yang mempunyai akibat hukum, di mana sanksi yang diberikan berupa

pemulihan keadaan dan hukuman. Dari hukum adat kemudian lahir konsep tentang

hak adat. Pada dasarnya, hak adat dapat dikatakan sebagai hak-hak atas sumber-

sumber daya alam yang diklaim oleh anggota suatu komunitas tertentu yang dijamin

oleh sistem hukum kebiasaan di tempat itu, atau sebagaimana diatur oleh adat dan

hukum adat yang bersangkutan.24

24 R. Yando, 1994, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, (Jakarta: WALHI, 1994) hlm. 9-

10

Page 20: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 20

B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.

Sebagai bagian dari kewenangan pemerintah dalam pembentukan regulasi pada

tingkat daerah, maka penyusunan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Timur terikat dan tunduk pada asas-

asas yang digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:

1. Asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat yaitu bahwa setiap

jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau

pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.

Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi

hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak

berwenang;

3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yakni bahwa dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan;

4. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan

perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis;

5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara;

6. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-

undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas

dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya; dan

7. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan

demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Page 21: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 21

Selain itu menurut Pasal 6 ayat Ayat (1) materi muatan peraturan perundang-

undangan juga harus mencerminkan asas:

1. Asas pengayoman yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan

ketentraman masyarakat;

2. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk

Indonesia secara proporsional;

3. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang

majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam

setiap pengambilan keputusan;

5. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia

dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah

merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6. Asas bhineka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-

undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan

golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

7. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga

negara;

8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa

setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,

suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;

9. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan kepastian hukum; dan

10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan

kepentingan bangsa dan negara.

Page 22: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 22

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan

yang dihadapi masyarakat.

Secara garis besar persoalan yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat dayak di

Kalimantan Timur dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Masalah Hukum dan Kebijakan

Berbagai kenyataan pahit tentang porak-porandanya tatanan kehidupan

masyarakat hukum adat Dayak, berlangsung terus menerus secara sistematis.

Ketidakadilan dalam bidang hukum, bersumber dari kebijakan-kebijakan yang

bias semangat unifikasi, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara

kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang berlaku

dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat hukum adat Dayak.

a. Paradigma Pembangunan

Paradigma pembangunan sejak rezim Orde Baru hingga era Reformasi masih

berorientasi pada pertumbuhan, melalui investasi dalam dan luar negeri,

bercirikan konglomerasi dan monopoli. Paradigma ini berkeyakinan,

kesejahteraan masyarakat akan tercipta dengan sendirinya melalui

mekanisme efek menetes ke bawah dari arus modal yang berakumulasi. Agar

akumulasi modal dapat tercipta, diperlukan pengendalian kegiatan ekonomi

masyarakat. Maka yang terjadi kemudian adalah, pembekuan ekonomi

kerakyatan, yang dilakukan melalui pengendalian negara atas kegiatan-

kegiatan ekonomi masyarakat. Politik pembekuan ekonomi ini membuat

fungsi subsidi sektor ekonomi rakyat beralih kepada kegiatan ekonomi

kapitalis. Maka efek menetes ke bawah tidak pemah terjadi, yang terjadi

justru sebaliknya, yaitu efek muncrat ke atas. Akibatnya, nilai tukar berbagai

komoditas yang dihasilkan masyarakat cenderung terus menurun. Bahkan,

masyarakat tak lagi memiliki kedaulatan di bidang ekonomi.

Selain itu untuk menunjang pertumbuhan ekonomi bercirikan kapitalis liberal,

yang dalam proses selanjutnya menjelma menjadi 'kepentingan umum' dan

"kepentingan nasional", dibutuhkan sumber-sumber ekonomi yang tidak

sedikit. Terutama sumber-sumber agraria. Bahkan, karena pertumbuhan

ekonomi harus niscaya tercipta, maka masyarakat hukum adat sebagai

pemegang kuasa asli sumber-sumber ekonomi harus disingkirkan atas nama

"kepentingan umum" dan 'kepentingan nasional' dengan didukung legitimasi

hukum yang secara sengaja diciptakan untuk kepentingan-kepentingan

kapitalis.

Sekaitan dengan subyek hukum, terpapar fakta tidak terakomodasinya

"persekutuan masyarakat adat" yang terbangun atas prinsip-prinsip

komunalitas, sebagai subjek hukum dalam perangkat hukum Indonesia.

Dalam kebijakan bidang ekonomi, ketidakadilan yang diderita masyarakat

Page 23: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 23

hukum adatjauh lebih parah. Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh rezim

Orde Baru, jelas tidak berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Hal itu

diawali oleh pilihan Mode of Production yang dikembangkan dalam program

pembangunan yang sangat kapitalistis dan liberal, jauh dari nilai dan prinsip

hidup yang ada pada masyarakat adat.

Dalam paradigma pembangunan economic growth development, ada dua

dimensi penting yang harus seimbang dilakukan, yaitu dimensi target dan

dimensi proses. Hasil pembangunan nasional lebih berorientasi pada

pembangunan fisik, namun ongkos pembangunan harus dibayar mahal dan

tidak pernah dihitung sebagai hasilpembangunan. Maka perihal konteks ini,

terdapat tiga klasifikasi. Pertama, ongkos pembangunan yang mahal dan

tidak pernah dihitung sebagai hasil pembangunan adalah ecological

degradation (kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam).

Kedua adalah economical lost, sumber-sumber kehidupan ekonomi

masyarakat semakinmenyusut dan menghilang akibat kerusakan dan

pencemaran lingkungan. Ketiga, berkaitan dengan faktor manusia, dimana

social and cultural distraction tidak pernah dihitung sebagai ongkos dan

resiko pembangunan.

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sejak tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)

menetapkan, bahwa sumber dari segala sumber Hukum Nasional adalah

Pancasila. Sebelum masa itu, pada tahun 1960, melalui Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara, Nomor II/1960, ditetapkan bahwa dasar

Hukum Nasional adalah Hukum Adat. Namun, pada tahun 1968, dengan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXVIII/1968,

Ketetapan MPRS tahun 1960 itu dicabut. Selanjutnya pembentukan Hukum

Nasional berpedoman pada Ketetapan MPRS No. XXIII/1966.

Sejak saat itu, seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang ada

teraleniasi dari prinsip-prinsip rasa keadilan sebagaimana dikenal dalam

kehidupan masyarakat adat. Padahal, salah satu syarat kepatuhan warga

terhadap suatu perangkat hukum adalah, dipahaminya norma-norma yang

terkandung dalam perangkat hukum.Jika norma-norma yang terkandung

dalam perangkat hukum, jauh dari prinsip rasa keadilan sebagaimana dikenal

dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat adat, maka tuduhan

pelanggaran hukum kepada warga yang tidak tunduk pada perangkat hukum

yang tidak dipahami itumenjadi tidak relevan.

Pada dasarnya, seiring dengan semangat UUD 1945 dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara, Nomor II/1960, hak-hak masyarakat

hukum adatatas sumber-sumber agrariadiakuikeberadaannya dalam Undang-

Page 24: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 24

undang Pokok Agraria. Namun, karena sifatnya sebagai Undang Undang,

mengandung kelemahan tersendiri. Antara lain, undang-undang ini tersusun

atas bias "adat Melayu", bias masyarakat pertani sedenter, dan bias

peradaban modern, sehingga banyak peraturan yang bersumber dari

kebudayaan di luar itu, kehilangan legitimasi. Lebih dari itu, ketidakjelasan

pengaturan hak-hak masyarakat hukum adat telah memberi peluang

penegasian hak-hak masyarakat adat, sehingga cenderung menempatkan

masyarakat hukum adatdalam posisi marginal. Fakta-fakta tersebut akhirnya

menjelma menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya penggusuran hak-

hak masyarakat hukum adat yang berorientasi pada kegiatan ekonomi

kapitalistik dan ekstraktif, karena lemahnya pengakuan dan perlindungan hak-

hak masyarakat adat.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Desa (selanjutnya ditulis UUPD) merupakan puncak penegasian hak-hak

masyarakat adat. Struktur pemerintahan tingkat desa di seluruh wilayah

Indonesia diseragamkan dan menggusur struktur pemerintahan atas dasar

tradisi-kultural yang ada pada masyarakat adat. Hal itu, sekaligus menjadikan

struktur pemerintahan desa sebagai bagian integral sistem birokrasi

pemerintahan, sehingga kepala pemerintahan di tingkat desa, tidak lagi

bertanggung-jawab kepada rakyatnya, melainkan tunduk pada keharusan

birokrasi di tingkat atasnya.

Pemberlakuan UUPD dan peraturan perundang-undangan turunannya,

menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan dan konflik kepentingan

antara Kepala Adat dan Kepala Desa. Pun juga terjadi kooptasi kekuasaan

negara terhadap masyarakat adat, dengan dimutlakkannya Kepala Desa

sebagai penguasa tunggal. Pada komunitas masyarakat hukum adat Dayak di

Kalimantan, kooptasi pemerintah nampak jelas dengan praktik pemberian

Surat Keputusan Bupati kepada Kelembagaan Adat dan Kepala Adat.

Persoalan SK Bupati, tidak teriepas dari kebijakan pemerintah yang tertuang

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1984, tentang

Pembinaan dan Pengembangan Adat di Tingkat Desa/Kelurahan dan juga

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 1989, tentang Pembinaan

dan Pengembangan Lembaga Adat di Wilayah Desa/Kelurahan.

Permendagri No. 11 Tahun 1984, memungkinkan keterlibatan pemerintah

melakukan pembinaan dan pengembangan adat istiadat. Bahkan dalam

Inmendagri No. 17 Tahun 1989, diinstruksikan kepada Gubemur dan

Bupati/Walikota menetapkan Peraturan Daerah tentang pembinaan dan

pengembangan Lembaga Adat, maka terbitlah Surat Keputusan Bupati untuk

Page 25: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 25

Kepala Adat. Sesungguhnya Permendagri No. 11 Tahun 1984, Inmendagri No.

17 Tahun 1989 dan Peraturan Daerah (Perda) tentang pembinaan dan

pengembangan lembaga adat, merupakan bentuk kooptasi pemerintah

terhadap eksistensi masyarakat adat. Sekaligus merupakan upaya penegasian

terhadap eksistensi Kepala Adat agar tunduk pada struktur pemerintahan.

Maka pemberlakukan Undang-undang Pemerintahan Desa, telah

mengakibatkan kedaulatan politik masyarakat hukum adatterhadap akses

sumberdayaternegasikan, karena batas-batas persekutuan hidup, tidak lagi

ditentukan atas dasar ikatan-ikatan sosial dan budaya, melainkan atas dasar

batas-batas administrasi kepemerintahan. Pemberlakukan UUPD sejatinya

merupakan manifestasi pencabutan kedaulatan hak mengelola sumber daya

alam dan hak mengatur hidup masyarakat adat.

Proses peminggiran masyarakat hukum adatjuga tampak pada kelompok

perempuan. Dalam budaya agraris, peran perempuan sangat dominan

mengelola pertanian. Merekalah yang mampu mengidentifikasi pemuliaan

benih, dan kaum perempuan jua yang menjaga dan mengelola sistem

pertanian. Kearifan itu, sudah dilakukan selama ribuan tahun. Ketika

pembangunan memangsa lahan-lahan suburn, maka dengan sendirinya kaum

perempuan kehilangan akses terhadap eksistensi dan hak kontrol atas

sumber-sumber kehidupan. Maraknya eksploitasi sumber daya alam

(tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit) kian mempercepat proses

marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pola relasi-kuasa pada

kehidupan sehari-hari.

d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria

Pemberlakuan undang-undang ini sesungguhnya bertujuan untuk: (1)

Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional; (2) meletakkan

dasar mengadakan kesatuan dalam hukum pertanahan; (3) meletakkan dasar

untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat.

UUPA juga memberikan pembatasan bagi pelaksanaan hukum pada

masyarakat adat. Di bawah kendali Hak Menguasai Negara, telah dilakukan

penyederhanaan terhadap kenyataan keberagaman hukum adat. Juga bias

tafsir hukum oleh penguasa terhadap hukum adat. Hal itu tampak jelas dalam

Pasal 5 UUPA yakni, "Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,

dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang

tercantum dalam Undang Undang ini dan dengan peraturan perundang-

Page 26: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 26

undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur pada

hukum agraria."

Selain itu, terdapat pula pembatasan mengenai pelaksanaan hukum adat,

yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang

lebih tinggi. Hal itu berarti, hukum adat tidak lagi dominan dan mandiri. Jika

undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi bersikap bertentangan

dengan hukum adat, maka hukum adat dikalahkan.Prinsip nasionalitas dalam

UUPA, temyata memberi kewenangan yang amat luas pada Negara melalui

Hak Menguasai Negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, ayat 1, "Atas

dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang

dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh

Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.'

Berdasarkan hak menguasai, maka negara dapat menentukan aneka hak atas

sumber agraria yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik

secara sendiri maupun bersama orang lain serta badan hukum. Aneka hak atas

tanah pada sistem pemilikan dan penguasaan sumber agraria menurut UUPA

dibedakan dalam dua kategori: (1) semua hak yang diperoleh langsung dan

negara, disebut hak primer: (2) semua hak yang berasal dari pemegang hak

atas tanah berdasarkan perjanjian bersama, disebut hak sekunder.

Kenyataan di lapangan menunjukkan, meski telah ada UUPA yang merupakan

induk dari semua peraturan pertanahan, terbukti UUPA tidak mampu menjadi

rujukan dan faktor penentu mengatasi sengketa pertanahan. Hal itu terutama

disebabkan politik agraria cenderung bertentangan dengan makna dan isi

UUPA, sehingga merebak menjadi konflik kepentingan terhadap penguasaan

tanah. Karakter pertentangan kepentingan atas tanah, setidaknya tercermin

dalam tujuh persoalan mendasar, yakni:

1) Sengketa tanah karena penerapan fungsi tanah sebagai sumber

eksploitasi, yang melahirkan kasus sengketa tanah antara masyarakad adat

Dayak dengan investor (perkebunan skala besar dan pertambangan).

2) Sengketa pertanahan sekaitan dengan proyek revolusi hijau untuk

kepentingan swasembada pangan, yang mengakibatkan terkonsentrasinya

penguasaan tanah dan meningkatnya jumlah petani tak bertanah.

3) Perkebunan skala besar (kelapa sawit) mengambil alih tanah yang semula

dikuasai masyarakat hukum adat Dayak, melalui pola penggusuran tanah

dengan pendekatan keamanan.

4) Penggusuran tanah berdalih kepentingan industri jasa untuk

pembangunan perumahan mewah, hotel, industri wisata dan infrastruktur.

Page 27: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 27

5) Penggusuran tanah untuk kepentingan program pembangunan. Kasus

penggusuran tanah rakyat untuk pembuatan jalan Trans Kalimantan di

pedalaman, merupakan contoh konkret dari kasus yang dimaksud.

6) Pencaplokan tanah untuk sejumlah pabrik di dalam maupun di luar

kawasan industri. Dalam kasus ini, muncul calo spekulan tanah yang

menekan harga pembelian tanah rakyat dan menjual dengan harga tinggi

pada para pemodal.

7) Pencabutan hak tanah rakyat atas nama kelestarian lingkungan. Penetapan

kawasan taman nasional, hutan lindung dan kawasan suaka marga satwa

oleh pemerintah mengakibatkan tersingkirnya eksistensi masyarakat adat.

Munculnya sengketa pertanahan, tidak dapat dipisahkan dengan politik

pembangunan yang praktiknya banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-

hak masyarakat adat. Pada sisi lain, mencerminkan tidak adanya jaminan

periindungan dan kepastian hukum terhadap pemilikan dan penguasaan

tanah oleh masyarakat adat. Maka kesejahteraan dan keadilan, tetap menjadi

obsesi yang terus diperjuangkan oleh masyarakat hukum adat Dayak.

e. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Penolakan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan (selanjutnya ditulis UU Kehutanan) disuarakan terus menerus

oleh kesatuan masyarakat hukum adat. Bagi kesatuan masyarakat hukum

adat, UU Kehutanan menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah

adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat

merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang

diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak

yang lahir dari proses membangun peradaban di wilayah adatnya. Namun,

klaim negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih ketimbang

klaim masyarakat adat. Padahal hak masyarakat adat atas wilayah adat yang

diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalujauh lebih dahulu adanya

dari hak negara.

Pemerintah sering mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan hutan

tanpa terlebih dahulu melakukan pengecekan tentang klaim kesatuan

masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut. Beberapa tipologi konflik

menyangkut kawasan hutan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat

akibat pemberlakuan UU Kehutanan yang banyak terjadi di lapangan,

adalah: (1). masyarakat hukum adat dengan perusahaan; (2). masyarakat

hukum adat dengan Pemerintah. Dua bentuk konflik tersebut

menggambarkan bahwa pengaturan kawasan hutan di Indonesia tidak

memperhatikan keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat

atas wilayah adatnya. Padahal kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai

Page 28: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 28

sejarah penguasaan tanah dan sumber dayayang berimbas pada perbedaan

basis klaim dengan pihak lain termasuk Pemerintah (negara) terhadap

kawasan hutan. Dalam kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat

belum memperoleh hak‐hak yang kuat atas klaimnya tersebut sehingga

tidak jarang mereka justru dianggap sebagai pelaku kriminal ketika

mengakses kawasan hutan yang mereka akui sebagai wilayah adat.

Dimasukkannya hutan adat sebagai bagian dari hutan negara sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) UU

Kehutanan adalah pokok soal utama dalam hal ini. Ketentuan ini

menunjukkan bahwa UU Kehutanan memiliki cara pandang yang tidak tepat

terhadap keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas

kawasan hutan yang merupakan kawasan hutan adatnya, karena tidak

memperhatikan aspek historis masyarakat hukum adat atas wilayah

adatnya.

2. Deforestrasi dan Bencana Ekologi

Provinsi Kalimantan Timur memiliki kawasan hutan sangat luas, meliputi lebih

dari dua pertiga luas daratannya. Luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan

Timur ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-

II/2001, dan usulan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam Revisi RTRWP.

Apabila usulan revisi RTRWP disetujui, akan terjadi pengurangan luas Kawasan

Budidaya Kehutanan (KBK) sebanyak 2.692.806 ha dari luas KBK menurut SK

Menhut No. 79/Kpts-II/2001 sekitar 14.651.553 ha. Alih fungsi KBK akan

menambah luas KBNK/APL yang sebelumnya seluas 5.243.300 ha menjadi

7.936.106 ha. Luas area gambut, sebagai area penting terkait emisi, sangat kecil

dibandingkan luas total kawasan yaitu 405.281 ha (2,04%).

Pengurangan luasan KBK menjadi KBNK/APL, berdampak terhadap

pengurangan potensi penyerapan karbon (CO2) yang berpengaruh terhadap

rencana implementasi pengurangan emisi. Sedangkan hutan mangrove di

Kalimantan Timur memiliki luas 883.379 ha, yang mengalami rusak berat

329.579 ha, rusak ringan 328.695 ha, sedangkan yang kondisinya baik hanya

tersisa 225.105 ha (25,48%). Luas deforestasi di Kalimantan Timur akan terus

bertambah dengan adanya penggunaan sebagian kawasan hutan untuk

kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan.

Menurut data tahun 2011, terdapat 93 izin persetujuan prinsip pinjam pakai

untuk pertambangan dan non-pertambangan seluas 156.294,65 ha. Kerusakan

hutan akan mengakibatkan kepunahan berbagai jenis flora fauna endemik dan

langka, atau paling tidak membuat ruang hidup mereka terbatasi. Jumlah

pemegang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang hingga awal tahun 90-an

masih lebih dari 100 buah, tahun 2010 hanya tinggal sekitar 86 buah, dimana

Page 29: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 29

sekitar 25 buah di antaranya tidak aktif beroperasi meskipun sebagian masih

tetap memegang izin. Disamping itu juga terdapat 29 buah izin hutan tanaman,

dimana hanya lima yang aktif. Selain semakin berkurangnya potensi hutan,

maka aspek konflik dengan masyarakat setempat juga menjadi alasan tidak bisa

beroperasinya banyak perusahaan perkayuan.

Berkaitan dengan kerusakan hutan, total luas lahan kritis sekitar 7.928.749 ha

(39,95% dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur sekitar 19.844.117 ha),

sedangkan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan sekitar 5.746.485 ha

(40,09% dari total kawasan hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur sekitar

14.332.508 ha).

Berkaitan dengan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi

hutan dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: (1) Komparasi laju

kerusakan dan perbaikan hutan yang sangat timpang, maka upaya

penyimpanan dan penyerapan karbon menghadapi tantangan sangat besar; (2)

Pengendalian kerusakan hutan harus diarahkan bukan hanya dengan

mempercepat rehabilitasi, tetapi juga menekan laju kerusakan dan

menghilangkan faktor utama penyebab deforestasi dan degradasi hutan; (3)

Keberhasilan menekan emisi hanya dimungkinkan dengan dukungan partisipasi

semua pihak termasuk masyarakat hukum adat Dayak.

3. Eksploitasi Batubara

Kegiatan pertambangan batubara di Kalimantan Timur meningkat pesat sejak

pertengahan tahun 2000-an, dipacu oleh banyaknya investor yang mengejar

keuntungan besar dan cepat. Perkembangan tambang batubara seiring dengan

merosotnya industri perkayuan dan bahkan kecepatannya melebihi

pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kabupaten/Kota antusias

mengeluarkan izin-izin kuasa pertambangan karena pemasukan yang cukup

tinggi. Selain disamping PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara) yang dikeluarkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota juga berwenang menerbitkan izin skala lebih kecil yang

disebut KP (Kuasa Pertambangan). Kalimantan Timur merupakan provinsi

penghasil batubara terbesar di Indonesia dengan total produksi tahun 2011

sebesar 190 juta metrik ton.

Setelah ada rekonsiliasi perizinan dengan terbitnya UU No. 4/2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, jumlah perusahaan tambang di Kaltim

menurun dari 1.180 perusahaan (2009) menjadi 792 perusahaan, namun

cakupan kawasannya tetap besar, yaitu 3.911.208 hektar (atau bertambah

seluas 826.074 hektar dari tahun 2009). Maka jika seluruh izin Kehutanan,

Perkebunan dan Pertambangan dijumlahkan, luasnya setara dengan luas

wilayah daratan Kalimantan Timur, 210.000 km2.

Page 30: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 30

Dampak negatif pertambangan batubara diantaranya: (1) Ditinggalkannya lebih

dari 2.542 lubang bekas penambangan; (2) Banjir dan erosi akibat dari

tertutupnya saluran air dan sungai oleh sedimentasi hasil erosi; (3) Hujan debu

di pemukiman/perumahan penduduk dari kegiatan pertambangan dan

angkutan batubara; (4) Terbentuknya lahan-lahan tidak produktifakibat

pengupasan lapisan tanah atas dan belum ditemukannya pola reklamasi yang

efektif; (5) semakin terdesaknya lahan-lahan pertanian pangan dan/atau

rusaknya areal pertanian akibat aktivitas tambang di sekitarnya.

Selain itu, pertambangan batubara juga memberikan dampak sosial-budaya,

mulai dari pola hidup konsumtif yang semakin meluas (melalui jual beli/sewa

lahan) di kalangan masyarakat lokal dan runtuhnya struktur dan sistem

kelembagaan lokal tradisional sebagai hasil dari kompetisi di kalangan

penduduk sendiri.

Beberapa faktor yang dapat disimpulkan atas terjadinya degradasi lingkungan

dan ancaman kepunahan sumber daya alam akibat dari ekstensifikasi

pengusahaan kehutanan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan

batubara, sebagai berikut:

1. Kegiatan pemanfaatannya bersifat ekstensif, eksploitatif dan destruktif

serta terjadinya tumpang tindih perizinan dan perambahan kawasan hutan

2. Kerusakan hutan akibat eksploitasi dan ketiadaan pengawasan lapangan

serta penegakan hukum mengancam terulangnya kasus perkebunan dan

pertambangan.

3. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Rencana

Kelola/Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) yang menjadi andalan

pengendalian tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak dikawal dengan

oleh instansi yang berwenang

4. Partisipasi masyarakat lokal sangat rendah, bahkan beberapa kelompok

masyarakat tergoda terlibat kegiatan sebagai akibat dari kelangkaan

sumber daya yang selama ini menjadi tumpuan penghidupan.

4. Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit

Sektor pertanian yang intensif dikembangkan dihampir semua Kabupaten

adalah perkebunan dengan komoditas kelapa sawit. Pengembangan kelapa

sawit memang pada kawasan non-kehutanan atau disebut sebagai Areal

Penggunaan Lain (APL), akan tetapi sebagian dilakukan dengan mengkonversi

lahan berhutan.Setidaknya 4,6 juta hektar lahan di Kalimantan Timur

teridentifikasi potensial bagi usaha perkebunan.

Pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur mengalokasikan seluas 1 juta

hektar untuk pengembangan kelapa sawit. Namun izin yang dikeluarkan

mencapai 3,7 juta ha izin lokasi dan 2,6 juta ha izin usaha perkebunan dengan

Page 31: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 31

jumlah perusahaan 318. Akan tetapi baru sekitar 662 ribu hektar yang telah

melakukan kegiatan lapangan. Data jumlah izin beserta luas dan luas realisasi

perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur hingga 2012 (bulan April) sebagai

berikut:

Tabel 1.

Jumlah izin beserta luas dan luas realisasi perkebunan kelapa sawit

di Kalimantan Timur

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur (2012)

Berdasarkan data April 2012, jumlah perusahaan sudah meningkat menjadi 330

perusahaan, dengan luas izin 3,73 juta ha, luas HGU mencapai 964,14 ribu ha,

serta realisasi penanaman 821.490,54ribuha. Luasan perkebunan kelapa sawit

dipastikan semakin besar di masa mendatang hingga tercapai target 1 juta

hektar. Guna mendukung kegiatan pengolahan kelapa sawit dan menjadikan

Kaltim sebagai “Kawasan pengembangan agrobisnis terbesar di wilayah Timur

Indonesia,” telah dibangun 29 pabrik pengolahan minyak (CPO) dengan

kapasitas 1.335 ton/jam TBS. Selain itu, sudah ada rencana pembangunan 9

pabrik pengolahan minyak kelapa sawit dengan kapasitas 405 ton/jam TBS.

No. Kabupaten/

Kota

Jumlah Perusahaan

Luas Izin IUP HGU Realisasi Inti + Plasma+ Sawit

Rakyat (Ha) Lokasi (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1 Balikpapan - - - - - - -

2 Berau 32 191.019,16 20 130.576 14 98.134,17 51.228,43

3 Bontang - - - - - - -

4 Bulungan 20 325.500 16 289.011,73 4 47.783,60 39.639,61

5 Kutai Barat 50 658.099,34 23 563.642,84 9 99.326,80 24.194,90

6 Kutai Kertanegara

58 776.123,30 34 530.011,40 27 216.590,04 162.029,43

7 Kutai Timur 84 942.634,50 43 431.865 28 228.726,30 245.472,07

8 Malinau 8 139.750 8 139.750 - - 547

9 Nunukan 16 121.841 12 139.671,16 7 77.939,01 94.361,68

10 Paser 39 322.451,90 32 286.171,43 17 137.100,34 150.426,38

11 Penajam Paser Utara

14 138.315 12 122.603,33 6 28.542,97 52.476,04

12 Samarinda 1 3.000 1 3.000 - - 1.115

13 Tana Tidung 8 109.787,50 3 46.680,84 3 30.000 -

14 Tarakan - - - - - - -

Jumlah 330 3.728.521,70 204 2.682.983,73 115 964.143,23 821.490,54

Page 32: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 32

Perkembangan perkebunan kelapa sawit terjadi antara lain karena promosi dan

dukungan Pemerintah Daerah, di tengah kehidupan masyarakat dari hasil hutan

dan pertanian ladang yang terus menurun, berbanding terbalik dengan

kebutuhan hidup dan ongkos yang harus dibayarkan. Ketiadaan batas kawasan

hutan yang jelas di lapangan dan kurang tepatnya pemberian perizinan

perkebunan, juga mengakibatkan sekitar 200 ribu hektar lahan perkebunan

kelapa sawit tumpang tindih atau menjarah kawasan hutan. Kegiatan

pembukaan lahan terhadap tegakan hutan untuk persiapan kebun kelapa sawit

menjadi penyebab terjadinya risiko lingkungan, seperti terjadinya aliran

permukaan, erosi, sedimentasi yang berakibat pada pendangkalan badan

sungai.

5. Tata Ruang Wilayah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi Kalimantan Timur belum

sepenuhnya mencerminkan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

alam yang lestari, berkelanjutan dan dapat mendukung usaha memelihara

ekosistem yang khas yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi, serta

mengakomodir kepentingan masyarakat hukum adat Dayak.

Dalam konteks tata ruang, proses partisipatif semestinya menjadi kunci

penataan kawasan di Kalimantan Timur, tetapi proses ini mengalami stagnasi

sehingga masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan tata ruang.

Maka, konflik “land tenure” yang dilatar-belakangi penyusunan tata ruang, dan

regulasi yang tidak partisipatif, membuat kepentingan rakyat terabaikan dan

terpinggirkan oleh kepentingan elit politik dan investor.

Page 33: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 33

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Bab ini memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait

yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan rancangan peraturan daerah yang

akan dibuat dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal

dan horizontal.

Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk

mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui

posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat

sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari

Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil

dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan

yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah Provinsi yang akan dibentuk.

Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat pada

bagian ini akan dilihat dari dua sudut pandang, pertama dari hukum internasional,

dengan melihat bagaimana pengaturan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam

berbagai instrumen hukum internasional, dan kedua, dari hukum positif Indonesia,

dimana akan dicermati sejauhmana ketentuan yang terdapat dalam berbagai

peraturan perundang-undangan yang ada memberikan pengakuan, penghormatan

dan perlindungan terhadap masyarakat adat.

A. Perkembangan Pengaturan Masyarakat Adat dalam Perspektif Hukum

Internasional25

Pengaturan mengenai masyarakat adat di dunia internasional melalui proses

proses perjuangan yang cukup panjang. Diawali dengan adanya perjuangan kaum

yang tertindas yang menghadapi penghisapan terhadap rakyat negara-negara di Asia,

Amerika Latin dan Afrika (dengan pengecualian beberapa negara di kawasan-

kawasan ini) dalam bentuk neokolonialisme. Benturan antara klaim hak di negara-

negara tersebut, awalnya di Amerika Utara, Tengah dan Selatan. Antara rakyat yang

terhisap dengan pihak penghisap, menguatkan kembali klaim hak kolektif dan

indigenous peoples merupakan manisfestonya.

25 Secara terminologi, dalam perspektif hukum internasional perlu dipahami dulu istilah

Indigeneous People. Dalam bahasa Inggris ‘Indigenous People’ berarti kelompok orang/masyarakat yang hanya memiliki hak-hak individual, sedangkan ‘Indigenous Peoples’ merujuk kepada kelompok orang/masyarakat yang memiliki hak-hak kolektif.

Page 34: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 34

Perlawanan oleh si terhisap itu kemudian menimbulkan konsep identifikasi diri

sebagai sebuah kelompok dengan klaim "hak kolektif" dengan berbagai variasi

struktur politik dan hukum di atasnya berhadapan dengan klaim hak individu dengan

struktur negara dan kapital sebagai landasannya. Ada dua hal di sini: (i) klaim hak

kolektif itu mau tak mau harus dilakukan karena kalau mengikuti klaim hak individu,

maka akan makin terpuruk; (ii) klaim ini hanya mungkin hidup (eksis) jika dan hanya

jika terjadi identifikasi diri sebagai sebuah kolektifitas.

Identifikasi diri seperti itu mungkin cukup jelas bagi komunitas-komunitas di

negara-negara Amerika, Australia, New Zealand misalnya, di mana kelompok

masyarakat yang terhisap (sejak buruh-buruh penduduk asli di perkebunan mulai

abad 19 sampai awal abad 20 yang melahirkan ILO), dapat memposisikan diri secara

jelas berdasarkan dua argumen sosiologis dan historis yaitu (i) secara historis mereka

sudah jauh lebih dulu ada dan menjadi tuan atas negerinya sendiri (indigenae); dan (ii)

negara dengan struktur kapitalis dan budaya yang ada sama sekali bukan sebuah

"warisan budaya" mereka. Karena itu identifikasi diri sebagai "kita" (yang indigenous)

terhadap "mereka" (yang kapitalis dan penghisap) nampak lebih jelas. Ini sangat

berbeda dengan situasi kekinian di Indonesia.

Identifikasi terhadap masyarakat hukum adat oleh van Vollenhoven dan kawan-

kawannya itu juga dilakukan dengan prinsip baku identifikasi yang sama, yaitu: “kita”

(Belanda Kolonial) berhadapan dengan "mereka" (pribumi, Inlander tidak termasuk

Timur Asing). Tapi Belanda kemudian tidak berada di sini sebagai negara baru.

Dengan demikian ada latar politik, hukum dan sosial budaya yang sangat berbeda

dalam upaya identifikasi pada masa itu dengan situasi kekinian di Indonesia bila

dibandingkan dengan negerinya para indigenous peoples di Amerika dan sekutu-

sekutunya26.

Kemudian dalam perkembangannya, kesepakatan World Summit 2002, di Jo

Berg melalui Milenium Development Goal’s target on Health Issues - Tujuan 4, 5 and 6

menggambarkan kondisi Masyarakat Adat Di Asia, dengan pernyataan pernyataan

dibawah ini:

1. Lack of access to adequate and culturally appropriate health care services. There are

very few and ill-equipped health centers and health personnel in indigenous

territories;

2. Discriminatory behavior of health personnel towards indigenous peoples and

discrimination against traditional health and healing practices;

3. There are serious health problems caused by environmental issues such as pesticides,

chemical fertilizers, pollution from toxic mine tailings, toxic substances such as the

agent orange in Vietnam, among others;

26 Proses Diskusi Milis SHKlist, Emil Kleden tentang RPP Hutan Adat,17 Juli 2007

Page 35: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 35

4. Very few indigenous individuals become health professionals and in areas where

there are, there is a problem of brain drain such as the case of the Philippines;

5. Increasing cases of HIV/AIDS because of drug addiction and sexual traffickingas well

as increasing migration as in the case of North East India, Thailand and Burma;

6. Immunization programs are very inadequate or are used improperly;

7. There are also cultural practices which have negative impacts on health such as

practices related to sanitation and hygiene;

8. Use of indigenous peoples as guinea pigs in experimental drugs and the use of birth

control methods without the knowledge of people such as in the case of Burma,

Bangladesh and North-East India;

9. Collection of genetic materials (DNA) of indigenous peoples through the National

Geographic and IBM program and also through the Human Genome Project -SNP

(Single Nucleic Polymorphism) without the free, prior and informed consent of the

indigenous peoples, such as in the Philippines, India, Indonesia and others

Recommendations of the Asia Indigenous Peoples' Caucus to the Permanent Forum

and the Members of the Inter-Agency Support Group (pernyataan Sikap Kaukus

Masyarakat Adat Internasional dalam Forum Masyarakat PBB, Newyork_2006)

Konvensi yang paling terkenal dan menjadi acuan untuk pergerakan

Masyarakat Adat Dunia adalah Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 (Convention 169 of

the ILO concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) yang

merupakan Konvensi Multilateral yang ditujukan juga untuk Masyarakat Adat dan

merupakan pengganti dari Konvensi No. 107 tahun 1957 tentang Perlindungan dan

Integrasi Masyarakat Adat dan populasi Suku dan Semi Suku Bangsa Lainnya di

Negara Negara Merdeka. Konvensi ILO mencantumkan “Perlindungan” sebagai objek

utama Konvensi dengan dasar penghormatan terhadap kultur, tradisi dan kebiasaan

masyarakat adat dan suku bangsa asli.

Dalam pasal-pasal konvensi tersebut dinyatakan bahwa kehidupan suku dan

penduduk asli, baik secara keseluruhan ataupun sebagian diatur oleh kebiasaan,

tradisi, hukum dan peraturan khusus serta institusi yang mereka miliki (Pasal 1 ayat

[1] a, Pasal 2 ayat [2] b, Pasal 8 ayat [2], dan Pasal 9 ayat [2]); mereka mempunyai

identitas atau karateristik sosial, budaya dan ekonomi sendiri (Pasal 1 ayat [1] a, Pasal

2 ayat [2] b, dan Pasal 10 ayat [1]); mereka memiliki praktik dan nilai-nilai spiritual,

religius, sosial dan budaya (Pasal 5 a); bahwa antara nilai, praktik, dan intitusi atau

lembaga yang terdapat di tengah-tengah mereka merupakan suatu kesatuan (Pasal 5

b); dan sebagian dari nilai-nilai itu berkaitan dengan hubungan antara mereka dengan

tanah atau wilayah yang mereka diami (pasal 13 ayat [1]); dan bahwa mereka

mempunyai hak untuk menggunakan, mengelola, dan melestarikan sumber daya

alam hayati yang ada di wilayah mereka (Pasal 15 ayat [1]).

Page 36: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 36

Pengakuan serupa juga dinyatakan dalam The Rio Declaration on Environment

and Development, yang menyatakan bahwa berdasarkan pengetahuan dan praktik-

praktik tradisionalnya, penduduk asli dan komunitasnya mempunyai peran yang

penting dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan (Prinsip 22). Demikian

halnya dalam Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global

Concensus on the Management, Conservation and Sustainable Develpoment of all Types

of Forest. Pada Pasal 5a disebutkan bahwa kebijaksanaan nasional di bidang

kehutanan perlu menghargai dan mendukung identitas, budaya, dan hak penduduk

asli, masyarakatnya dan komunitas lainnya serta penghuni hutan. Sementara dalam

Pasal 12d dinyatakan bahwa kemampuan dan pengetahuan setempat yang berkaitan

dengan konservasi dan pembangunan hutan berkelanjutan perlu diakui, dihargai,

dicatat, dan dikembangkan melalui dukungan pendanaan dan kelembagaan serta

bekerjasama dengan masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati/United Nations Convention on

Biological Diversity yang untuk selanjutnya ditulis CDB, memuat sejumlah Pasal yang

mempunyai keterkaitan kuat dan penting bagi keberadaan masyarakat adat di Dunia,

khususnya diatur dalam pasal tambahan, yakni Pasal 8j, Pasal 10c, Pasal 17.2 dan Pasal

18.4.

Pasal 8j menyerukan kepada semua Negara atau Pihak yang terlibat dalam

Konvensi untuk menghormati, melestarikan dan menjaga pengetahuan, inovesi dan

praktik-praktik komunitas adat dan lokal yang terkait menjadi peraturan negara. Pasal

ini juga mengharuskan bahwa keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan

pengetahuan, inovasi dan praktek harus dibagi secara merata antara komunitas adat

yang bersangkutan. Khusus untuk realisasi Pasal 8j, dibentuk Kelompok Kerja Antar

Sesi Sidang yang Terbuka dan AdHoc dengan mandat, sebagai berikut:

1. Memberikan rekomendasi dalam penerapan hukum dan bentuk bentuk

perlindungan pengetahun tradisional yang sesuai

2. Memberikan rekomendasi kepada COP menyangkut pelaksanaan Paal 8j dan pasal

pasal tamabahn terkait, khususnya dalam pengembangan dan pelaksanaan

program kerja tingkat nasional dan internasional.

3. Mengembangkan program kerja

4. Memberikan reomendasi kepada COP untuk langkah langkah memperkuat

kerjasama pada tingkat internasional diantara komunitas adat dan lokal, dan

memberikan saran cara cara memperkuat mekanisme yang mendukung kerjasama

tersebut27.

Kemudian dalam Pasal 10c, diatur mengenai pemanfaatan yang berkelanjutan

komponen komponen keanekaragaman hayati, dimana para pihak yang terlibat

27 Lembar Informasi 10 Masyarakat Adat dan Lingkungan dalam konvensi

Keanekaragaman Hayati – CBD, hal 8,9,10, tahun 2004.

Page 37: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 37

diharuskan untuk melindungi dan mendorong penggunaan SDA yang sesuai dengan

praktek praktek budaya tradisional yang sejalan dengan kebutuhan konservasi dan

pemanfaatan berkelanjutan. Selanjutnya dalam Pasal 17.2 membahas mengenai

pertukaran informasi tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati

yang berkelanjutan. Informasi tersebut termasuk pengetahun tradisional masyarakat

adat dan jika memungkinkan pengembalian informasi pengetahun tradisional

masyarakat adat. Terakhir dari pasal-pasal yang berkenaan langsung dengan

masyarakat adat adalah Pasal 18.4 yang mendukung upaya kerjasama untuk

pengembangan dan penggunaan teknologi, termasuk teknologi tradisional dan asli,

dan mengakui bahwa pengetahuan tradisional harus dihargai sama seperti bentuk

pengetahuan lainnya, dianggap sama sama berguna termasuk pengetahun ilmiah.

Indonesia telah meratifikasi CBD ini dalam bentuk Undang Undang No 5 tahun 1994

Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai

Keanekaragaman Hayati, pada tanggal 1 Agustus 1994.

Piagam internasional lain yang juga mengakui adanya masyarakat hukum adat

adalah Charter of the Indigenous and Tribal Peoples of the Tropical Forests. Dalam

Piagam ini ditegaskan bahwa hutan dan wilayah yang dihuni oleh masyarakat asli dan

masyarakat lokal/setempat bukan sekedar dilihat sebagai sumber daya ekonomi,

tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan mempunyai nilai

spiritual bagi mereka. Hutan dan wilayah merupakan sesuatu yang mendasar bagi

kelangsungan sosial, budaya, spiritrual, ekonomi dan politik mereka (Pasal 3); bahwa

mereka mempunyai pola hidup yang sesuai dengan lingkungan dan dapat mengatur

kehidupan sesuai dengan pandangan hidup yang mereka miliki (Pasal 5, 6, dan 7);

mereka mempunyai pola-pola land tenure tersendiri (Pasal 15) dan pemanfaatan serta

pemilikan yang bersifat khusus terhadap wilayah yang mereka diami (Pasal 16);

mereka mempunyai hak untuk menentukan batas wilayah yang secara resmi diakui

dan didokumentasikan (Pasal 17) dan mereka memiliki hak-hak kolektif terhadap

kekayaan intelektual dan budaya, plasma nutfah, bioteknologi dan pengetahuan

mengenai keanekaragaman hayati (Pasal 40).

Selain itu pengakuan akan hak masyarakat adat dapat ditemukan dalam

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam Pasal 1 ayat (1)

misalnya dinyatakan bahwa semua orang mempunyai hak untuk menentukan

nasibnya sendiri dan karena hak itu pula mereka mempunyai kebebasan untuk

menentukan status politik dan mengejar perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya

mereka sendiri. Sedang mengenai kelompok minoritas, baik dari sisi etnis, agama,

atau bahasa tidak boleh ditolak haknya dalam masyarakat untk menikmati

kebudayaan mereka sendiri, menganut agama dan menjalankan ibadah, atau

menggunakan bahasa mereka sendiri (Pasal 27).

Page 38: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 38

Selanjutnya pengakuan akan hak masyarakat adat untuk menentukan nasib

sendiri dan kebebasan untuk menentukan status politik dan mengejar perkembangan

ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri juga kembali ditegaskan dalam Pasal 1

ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Selain

itu, Kovenan ini juga mengatur hak masyarakat adat akan pekerjaan (Pasal 6 dan 7),

penghidupan, perumahan, dan kesehatan yang layak (Pasal 10,11, dan 12) serta

pendidikan (Pasal 13dan 14).

Adapun instrumen internasional yang secara khusus membicarakan

masyarakat adat adalah Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak

Masyarakat Adat (United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples).28

Terkait dengan atas hak atas tanah atau wilayah adat, dalam Pasal 10 ditegaskan

bahwa masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah

mereka. Relokasi tidak boleh dilakukan tanpa persetujuandan bila ada persetujuan

maka mereka diberikan kompensasi yanga adil serta jika dimungkinkan mereka diberi

pilihan untuk kembali. Lebih lanjut dalam Pasal 25 diakui adanya hubungan spiritual

masyarakat adat dengan tanah, wilayah atau perairan yang mereka diami atau

tempati secara tradisional. Pengakuan akan hak masyarakat atas wilayah dan sumber

daya alam yang terdapat dalam wilayah itu serta pemanfaatannya ditegaskan dalam

Pasal 26 ayat (1) dan (2), bahkan pada ayat (3) ditegaskan bahwa pemerintah patut

memberikan perlindungan atas hak tersebut. Secara substansi, pengakuan dan

perlindungan terhadap tanah/wilayah dan sumber daya alam yang terdapat dalam

wilayah itu serta pemanfaatannya juga ditemukan dalam Pasal 27 sampai dengan

Pasal 30.

Sementara hak untuk mempertahankan identitas dan kebudayaan, serta

kearifan tradisi masyarakat adat dinyatakan dalam Pasal 11,12, 13, 31, dan 34. Pada

kelima pasal itu ditegaskan bahwa masyarakat adat berhak untuk mempraktikan atau

menghidupkan kembali adat dan tradisi mereka, mengajarkan dan mengembangkan

tradisi agama dan spiritual serta bahasa filsafat, sistem tulisan dan negara memiliki

kepatutan untuk menjamin hak-hak tersebut.

28 Deklarasi ini disahkan tanggal 29 Juni 2006 pada sidang perdana Dewan Hak Asasi

Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM) di Jenewa melalui suatu pemungutan suara (roll-call vote), dengan hasil 30 negara mendukung (termasuk Indonesia, India, China, Cuba) 2 menentang (Canada dan Federasi Rusia), 12 abstain (termasuk Filipina, Algeria) dan 3 absen (Djibouti, Gabon, Mali). Adapun Dewan HAM merupakan badan baru yang dibentuk pada tanggal 15 Maret 2006 oleh Majelis Umum PBB untuk menggantikan Komisi HAM PBB yang dibentuk sejak 1946, sebagai bagian upaya reformasi PBB. Lihat Adhi Santhika, “Potensi Pelanggaran Ham Dalam Berbagai Kebijakan Negara Yang Berhubungan Dengan Hak Masyarakat Adat Dalam Bidang Hak Sipol,” Makalah disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21-23 Agustus 2007.

Page 39: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 39

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas pendidikan

diatur dalam Pasal 14 dan 15. Masyarakat adat berhak mendirikan sistem pendidikan

dengan menggunakan metode yang sesuai dengan budaya mereka dalam proses

belajar mengajar, dan secara inividual, khususnya anak-anak, berhak untuk

mendapatkan pendidikan negeri di segala tingkatan, tanpa ada bentuk diskriminasi.

Selain itu juga dinyatakan bahwa masyarakat adat berhak atas martabat dan

keragaman budaya, sejarah dan aspirasi mereka untuk disampaikan secara tepat

dalam pendidikan dan informasi umum.

Berkenaan dengan hak atas penghidupan yang layak, pekerjaan dan

perumahan dalam Pasal 21 dinyatakan bahwa masyarakat adat berhak, tanpa

diskriminasi, atas peningkatan kondisi ekonomi dan sosial mereka, yang antara lain

mencakup pekaryaan, pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, perumahan, sanitasi,

kesehatan dan keamanan sosial. Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan bahwa

masyarakat adat berhak untuk secara aktif dilibatkan dalam mengembangkan

program kesehatan dan sedapat mungkin mereka menangani administrasinya melalui

lembaga di kalangan mereka sendiri. Terkait dengan hal ini, dalam Pasal 24 ditegaskan

bahwa masyarakat adat berhak menggunakan obat-obat tradisional dan memelihara

praktik-praktik kesehatan yang mereka miliki dan bahwa secara individual, anggota

masyarakat adat juga berhak untuk mengakses, tanpa diskriminasi apapun, kepada

pelayanan kesehatan dan sosial.

B. Kedudukan Masyarakat (Hukum) Adat dalam Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat 2 (dua) istilah

yang dipakai dalam menyebut masyarakat adat, yaitu masyarakat hukum adat29 dan

masyarakat adat.30 Kedua istilah ini mengacu kepada pengertian yang didasarkan

pada pemenuhan unsur dan pendekatan definisi. Dengan menggunakan pendekatan

yang berbeda dalam memahami masyarakat adat, maka tentu saja penggunaan

kedua istilah ini mengandung sejumlah problem konseptual, misalnya saja apakah

istilah masyarakat hukum adat adalah kata lain dari adatrechtsgemeenschap dan

istilah masyarakat adat adalah kata lain dari indigenous peoples? Dari sisi dinamika,

29 Lihat misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

30 Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Page 40: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 40

dengan mengacu kepada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa

bandul pengakuan terhadap masyarakat adat telah berubah, dari pengakuan yang

semula bersifat deklaratif menjadi pengakuan bersyarat.31

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

a. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.”

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional

masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara

mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.

Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan

agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat adat.

Berdasarkan rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan

bahwa terdapat 4 (empat) unsur yang harus diperhatikan sebagai “syarat”

eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia, yaitu:

1) Sepanjang masih hidup

Seperti diuraikan di atas, ada di kalangan mereka yang tidak mampu

mempertahankan kehidupannya, sebagai akibat dari keterpurukan hidup,

yang mencari kehidupan di tempat-tempat/lingkungan daerah lain, sehingga

ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian darah.

Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya selama

ini, lama kelamaan menjadi pudar, akhirnya hilang sema sekali. Sedangkan

daerah atau teritorialyang menjadi salah satu syarat adanya “hukum adat”

bagi suatu masyarakat, tidak mungkin mengikuti migrasi anggotanya setiap

kali dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik.

Kenyataan saat ini, masih banyak juga yang sanggup mempertahankan

eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam persekutuan

hukum adat dalam satu wilayah tertentu, dimana para anggotanya tetap

diikat dengan pertalian darah yang kuat.

31 Lihat Rikardo Simarmata, “Perlindungan Hak-hak Dasar Masyarakat Adat dalam

Peraturan Perundang-undangan Nasional: Catatan Kritis” Makalah disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21-23 Agustus 2007, hlm. 1-3

Page 41: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 41

2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat

Ciri/persyaratan ini, tentunya mengandung arti bahwa hal-hal yang menjadi

ketentuan-ketentuan tradisionalnya, tidak boleh bertentangan dengan

kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak dapat menghindarkan dirinya

dari pengaruh global. Di antaranya akan penghormatan terhadap hak-hak

perempuan misalnya. Ada kalanya terdapat hukum tradisional (adat) yang

sesungguhnya dilihat dari sudut martabat perempuan, sangat melecehkan.

Misalnya, kebiasaan memperistri banyak orang yang malah menjadikan

kebanggaan status sosialnya. Seharusnya dalam rangka penghormatan

martabat perempuan yang memiliki hak asasi (Deklarasi Wina Tahun 1993)

memperoleh kedudukan sedemikian rupa sesuai dengan harkat

martabatnya sebagai manusia, jangan diperlakukan sebagai kekayaan

property yang dapat untuk mendongkrak kedudukan sosialnya.

3) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

Syarat ini, sudah selayaknya dan harus dimiliki setiap masyarakat hukum

adat. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut, benar-benar

murni suatu perwujudan dari ketentuan-ketentuan/kebiasaan-kebiasaan

tradisional yang telah secara turun-temurun dilaksanakan. Jadi jangan

sampai mewujudkan ketentuan modern yang terkontaminasi kehidupan

politik modern.

Jadi singkatnya, hukum yang berlaku dalam komunitas masyarakat tersebut,

tidak bertentangan dengan hukum yang diberlakukan bagi seluruh wilayah

Indonesia.

4) Yang Diatur dalam Undang-Undang.

Selain diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 18B), yang selanjutnya sudah

dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Seperti dalam

UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan UU

tersebut, antara lain diatur bahwa masyarakat hukum adat sebagai satu

kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam

persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat

(1) huruf b UU No 24 Tahun 2003.32

Terlepas dari sejumlah kritik33 yang dialamatkan terhadap rumusan Pasal 18B

ayat (2) UUD 1945 tersebut, pengakuan tersebut harus bisa dimaknai serta

32 Lies Sugondo, “Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka Hukum Nasional,” Makalah

disajikan dalam Advanced Training on Indigenous Peoples’ Rights untuk Dosen-Dosen Pengajar Hak Asasi Manusia; diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta, 21-23 Agustus 2007, hlm. 3-6

33 Bagaimana kritik terhadap rumusan pasal tersebut bisa dilihat dalam Yance Arizona (Ed.), 2010, Antara Teks Dan Konteks: Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam Di Indonesia, Jakarta, Huma.

Page 42: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 42

dijabarkan lebih lanjut untuk pemajuan hak-hak masyarakat adat baik yang

dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun untuk

diimplementasikan di lapangan. Sehingga konstitusionalitas Pasal 18B ayat (2)

UUD 1945 tersebut dapat diukur secara sosiologis dalam keberlakuannya di

dalam masyarakat adat.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan

penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur

dalam undang-undang. Secara terminologis, frasa “diatur dalam undang-

undang” memiliki makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan

penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat tidak harus dibuat

dalam satu undang-undang tersendiri.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-IX/2012 menyatakan bahwa

Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini

belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan

perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud

terbentuk. Hal tersebut dapat dipahami dalam rangka mengisi kekosongan

hukum guna menjamin adanya kepastian hukum. Dengan demikian, pengaturan

yang ditetapkan dengan peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat

dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang

berkeadilan.

Apabila mencermati kedudukan Pasal 18B ayat (2) terletak pada Bab VI

tentang Pemerintahan Daerah maka dapat dinyatakan bahwa masyarakat

adat yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 identik dengan

pemerintahan lokal yang memiliki sistem asli yang sudah hidup di dalam

masyarakat sejak lama. Pendekatan konstiusional dari Pasal 18B ayat (2) UUD

1945 adalah pendekatan tata pemerintahan yang ingin mengkonstruksikan

masyarakat adat sebagai pemerintahan pada level lokal (Arizona, 2010: 20-1).

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah

memiliki kewenangan dalam penyusunan ketentuan yang memberikan

pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan mengacu pada

rambu yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu “sepanjang peraturan

tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.”

b. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.”

Pendekatan konstitusional terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 ini adalah

pendekatan HAM. Hal ini nampak jelas dalam sistematika UUD 1945 yang

meletakkan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi

Page 43: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 43

Manusia bersamaan dengan hak-hak asasi manusia lainnya.

c. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945

Pasal 32 ayat (1): “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah

peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara

dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Pasal 32 ayat (2): “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai

kekayaan budaya nasional.”

Kedua ketentuan ini tidak terkait langsung dengan hak masyarakat adat atas

sumber daya alam. Namun dalam kehidupan keseharian masyarakat adat,

pola-pola pengelolaan sumber daya alam tradisional sudah menjadi budaya

tersendiri yang berbeda dengan pola-pola yang dikembangkan oleh

masyarakat industri. Pola-pola pengelolaan sumber daya alam inilah yang

kemudian menjadi salah satu kearifan lokal atau kearifan tradisional

masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Ketentuan ini menjadi landasan konstitusional dalam melihat

masyarakat dari dimensi kebudayaan. Hak yang diatur dalam ketentuan ini

yaitu hak untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah. Tidak

dapat dipungkiri bahwa pendekatan kebudayaan dalam melihat adat istiadat

dari masyarakat adat menjadi pendekatan yang paling aman bagi pemerintah

karena resiko pendekatan ini tidak lebih besar dibandingkan dengan

pendekatan lainnya. (Arizona, 2010: 23-4).

2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 41 dari Piagam Hak Asasi Manusia yang merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari Ketetapan ini menyatakan “Identitas Budaya masyarakat

tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan

perkembangan zaman.

3. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Haluan Negara 1999 – 2004.

Dalam bidang Pembangunan Ekonomi ditemukan arahan “Mengembangkan

kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah

secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat

setempat termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang

wilayah yang serasi dan seimbang.

Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam. Salah satu prinsip yang menjadi landasannya adalah seperti

yang dicantumkan dalam Pasal 4 huruf j yang menyatakan “Mengakui,

menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya

bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.

Page 44: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 44

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :

IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Salah satu prinsip yang menjadi landasannya adalah seperti yang dicantumkan

dalam Pasal 4 huruf j yang menyatakan “mengakui, menghormati, dan melindungi

hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya

agraria/sumber daya alam.”

5. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

Undang-undang ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pelaksanaan lebih lanjut

dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 194534 sebagaimana yang terlihat

dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3). Sedang pada ayat

(4) dinyatakan bahwa hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya

dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat

hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pengakuan akan masyarakat adat dan hukum adatnya kembali ditemukan dalam

Pasal 3 UUPA. Ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menyebutkan bahwa:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai

dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa

serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan

lain yang lebih tinggi.”

Mengenai hak ulayat dan hak-hak lain yang serupa itu, dalam penjelasan Pasal 3

UUPA dinyatakan sebagai “apa yang dimaksud dalam perpustakaan adat disebut

‘beschikkingsrecht’”. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pakar hukum adat,

yaitu Cornelis van Vollenhoven. Beschikkingsrecht adalah suatu hak yang tidak

dapat dipecah-pecahkan, mempunyai dasar religius dan tidak ada sangkut pautnya

dengan hukum perdata Belanda yang termuat dalam Burgelijk Wetboek. Hak

beschikken atas tanah itu hanya dapat dimiliki oleh persekutuan hukum

gemeenschappen, dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan. Hak ini tidak dapat

dilepaskan untuk selama-lamanya; jika hak ini dilepaskan untuk sementara, maka

wajib dibayar kerugian-kerugian karena hilangnya penghasilan-penghasilan

sebelumnya, maupun pajak-pajak yang menurut hukum adat setempat harus

diserahkan kepada persekutuan pemilik tanah itu. Jika pemerintah kolonial

34 Penjelasan yang komprehensif mengenai hal ini bisa dilihat dalam Rikardo Simarmata,

Pengakuan Hukum ... op.cit., hlm. 55-64

Page 45: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 45

Belanda menghendaki tanah milik penduduk pribumi, hal itu akan dimohon kepada

komunitas pemegang beschikkingsrecht setempat, dengan pengertian bahwa hak

itu hanya dipindahkan sementara waktu guna menyelenggarakan keperluan-

keperluan pemerintahan dan untuk itu biasanya dibayarkan sejumlah uang atau

benda-benda lain sebagai tanda pengakuan adat (“recognitie adat”).35

Apabila ditelusuri lebih jauh, terdapat perbedaan yang prinsipil, baik dari sisi

substansi ataupun yuridis antara beschikkingsrecht, sebagaimana yang diidealkan

oleh Van Vollenhoven dengan beschikkingsrecht yang telah diterjemahkan sebagai

hak ulayat oleh pembentuk UUPA. Secara substansial, beschikkingsrecht meliputi

berbagai kewenangan, seperti mengambil hasil-hasil alami dari hutan, berburu

binatang liar, mengambil untuk memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan

membuka tanah dalam hutan dengan izin kepala persekutuan hukum adat.

Dalam rangka beschikkingsrecht dapat terjadi hak-hak perorangan atas tanah-

tanah yang sudah dibuka dan diusahakan terus menerus, tetapi ketika tanah itu

diterlantarkan, maka hak-hak perorangan itu akan lenyap dan tanahnya kembali

menjadi beschikkingsrecht persekutuan.36 Sedangkan dari aspek yuridis, menurut

Ruwiastuti (Bachriadi, Faryadi, & Setiawan, 1997: 59-60), beschikkingsrecht masih

memuat unsur-unsur “penghormatan dan pengakuan” di dalamnya—seperti yang

diandarkan di muka—sementara pada hak ulayat, unsur-unsur tersebut telah

hilang, sebab penyerahan recognitie menurut undang-undang justru bertujuan

melepaskan seterusnya hak-hak penduduk pribumi itu dari para pemegangnya

kepada negara.37

Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu unsur hukum perdata dan hukum publik.

Unsur pertama menegaskan hak ulayat sebagai hak kepunyaan bersama para

warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang

dipercayai berasal dari peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan

karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan

penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu.

Sementara unsur kedua (hukum publik), menyatakan hak ulayat sebagai

kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan

penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para

warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang

luar.”

35 Maria R. Ruwiastuti, “Hak-hak Masyarakat Adat dalam politik Hukum Agraria”, dalam

Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, & Bonnie Setiawan (ed), Reformasi Agraria:Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaharuan Agraria di Indonesia, (Jakarta: LPFE-UI, 1997) hlm. 60-1

36 Maria R. Ruwiastuti, “Menuju Pluralisme Hukum Agraria” (Kertas Posisi KPA No. 006, 1998) hlm. 5

37 Maria R. Ruwiastuti, “Hak-hak Masyarakat Adat dalam politik Hukum Agraria”, dalam Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, & Bonnie Setiawan (ed), op.cit. hlm. 59-60

Page 46: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 46

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang didasarkan pada

faktor genelogis ataupun territorial. Apabila ada orang yang seakan-akan

merupakan subyak hak ulayat, maka orang itu adalah ketua atau tetua adat yang

memperoleh kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan

menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan

petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang

bersangkutan dengan hak ulayat.

Selain menyebut hak ulayat, pembuat UUPA juga mengakui adanya suatu hak milik

adat sebagai hak-hak perdata biasa yang dapat dimiliki oleh penduduk asli

setempat. Meski tidak dinyatakan secara tersurat, rumusan Pasal II Ketentuan-

ketentuan Konversi UUPA mengisyaratkan hal itu. Istilah hak milik adat digunakan

untuk menyebut berbagai hak milik atas tanah baik yang timbul dari tindakan

membuka hutan yang diakui dan dijamin dalam hukum-hukum adat setempat,

yang diberikan oleh penguasa-penguasa pribumi setempat, maupun yang

diciptakan oleh penguasa Hindia Belanda bagi penduduk asli dan orang-orang

Timur Asing.

Perkataan hak milik adat sendiri merupakan terjemahan dari istilah “inlands

bezitsrecht” yang semula diperjuangkan oleh Van Vollenhoven dalam rangka

menghargai adanya konsep hak milik yang dikenal di kalangan kelompok-

kelompok penduduk asli di tanah jajahan. Pada masa penjajahan, hak milik adat itu

diakui sebagai hak yang paling kuat yang dijamin oleh hukum adat setempat.

Pengakuan tak langsung akan adanya hak milik yang timbul dari pembukaan hutan

primer yang dijamin oleh hukum adat setempat dapat diketahui dari rumusan

Pasal 22 UUPA.38

6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

Undang-undang ini mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya yang bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian

sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya melalui kegiatan

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari

sumber daya tersebut.

Materi pengaturan undang-undang ini menjadi salah satu pedoman utama dalam

menyusun kebijakan pengaturan Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya

Genetik.

38 Maria R. Ruwiastuti, “Menuju Pluralisme...” op.cit. hlm. 7

Page 47: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 47

7. Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga

Sejahtera.

Penegasan terhadap hak masyarakat adat untuk hidup dengan identitas budaya

yang khas tersebut juga ditegaskan dalam undang-undang ini. Hak penduduk

sebagai anggota masyarakat, seperti yang ditentukan dalam Pasal 6 huruf b

UUPKPKS, mencakup hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk

mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan

wilayah warisan adat, dan hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku

kehidupan budayanya.

Menurut penjelasan Pasal ini, hak untuk melestarikan dan mengembangkan

perilaku kehidupan budaya meliputi aspek fisik (hubungan dengan tanah), maupun

aspek nonfisik, termasuk sosial budaya seperti kekhasan cara hidup. Dengan

demikian, dalam Pasal 6 huruf b beserta penjelasannya, dari sudut perundang-

undangan diberikan kedudukan kuat kepada penduduk asli/suku atau kelompok

dengan kehidupan yang khas untuk mempertahankan cara hidupnya, termasuk

kegiatan pelestarian lingkungan yang meliputi perlindungan keragaman hayati.39

8. Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional

mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological

Diversity).

Dalam pertimbangannya (huruf d) dinyatakan bahwa:

“Diakui adanya peranan masyarakat yang berciri tradisional seperti tercermin dalam

gaya hidupnya, diakui pula adanya peranan penting wanita, untuk memanfaatkan

kekayaan keanekaragaman hayati dan adanya keinginan untuk membagi manfaat

yang adil dalam penggunaan pengetahuan tradisional tersebut melalui inovas-

inovasi, dan praktik-praktik yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman

hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.”

Sementara pada Pasal 8 mengenai konservasi dalam huruf j dikatakan

“menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi

dan praktik-praktik masyarakat asli (masyarakat adat) dan lokal yang

mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan koservasi dan

pemanfaatan seara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan

penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik

pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong

pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan

pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semcam itu. Selanjutnya dalam

39 Sebagaimana dikutip dalam Hira Jhamtani, Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman

Hayati (Jakarta: KONPHALINDO, 1993) hlm. 20-1

Page 48: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 48

Pasal 15 butir 4 dikatakan, bahwa akses atas sumber daya hayati bila diberikan,

harus atas dasar persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya).

9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation)

World Trade Organisation (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional

yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Persetujuan

pembentukan WTO memiliki lampiran (annexes) yang sangat terkait dengan

Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya Genetik yaitu Annex 1C yang juga

lebih dikenal dengan Persetujuan TRIPS (TRIPS Agreement) merupakan bagian dari

persetujuan WTO yang juga memiliki relevansi dengan pengaturan tentang

Keanekaragaman Hayati, termasuk Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan

Tradisional terkait Sumber Daya Genetik.

10. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang dilahirkan oleh

pemerintah untuk mengatur hak asasi manusia dalam cakupan yang lebih luas. UU

ini lahir atas tuntutan penguatan kewajiban negara dalam menghormati,

melindungi dan memenuhi HAM warga negara. Pembuatan UU HAM semakin

dipercepat karena ada keinginan untuk menegaskan komitmen negara dalam

perlindungan HAM yang selama Orde Baru sempat terabaikan. Substansi dari UU

ini diambil dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sejumlah

ketentun yang dapat dikaitkan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat

terlihat dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU HAM yang berbunyi:

a. Pasal 5 ayat (3): Setiap orang termasuk kelompok masyarakat yang rentan

berhak memperoleh pengakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan

kekhususannya.

b. Pasal 6 ayat (1): Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan

kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh

hukum, masyarakat dan pemerintah

c. Pasal 6 ayat (2): Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas

tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Pasal 5 ayat (3) UU HAM mengatur lebih luas bagi kelompok yang memiliki

kekhususan. Masyarakat adat hanya salah satu kelompok yang memiliki

kekhususan karena berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Perbedaan itu

antara lain soal hubungan sosial, politik dan ekologis dengan alam. Selain

masyarakat adat, kelompok masyarakat rentan yang memiliki kekhususan

misalkan perempuan, anak-anak, kelompok tunarungu dan lain-lainnya. Kemudian

Pasal 6 ayat (1) UU HAM mulai masuk mengidentifikasi masyarakat adat.

Page 49: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 49

Ketentuan ini menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan yang berbeda dari

masyarakat adat yang harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat

dan pemerintah. Terakhir Pasal 6 ayat (2) UU HAM lebih spesfik menyebutkan jenis

hak-hak masyarakat adat yang harus dilindungi oleh negera antara lain identitas

budaya dan hak atas tanah ulayat.

11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pada Pasal 4 ayat (3) ditegaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap

memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2)

disebutkan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat. Sedang dalam ayat (3)

dinyatakan bahwa Pemerintah menetapka hutan adat sepanjang menurut

kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui

keberadaannya. Dan apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat

yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali

kepada Pemerintah (ayat [4]).

Pengertian hutan adat sendiri dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menyatakan

bahwa “Hutan Adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat

hukum adat” yang pada bagian penjelasan Pasal 5 ayat (1) tersebut bahwa hutan

negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan

pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat

tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau

sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan dalam

pengertian hutan negara sebagai konsekwensi adanya hak menguasai oleh negara

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkat tertinggi dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam

pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat

sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya untuk melakukan

kegiatan pengelolaan hutan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 Pasal 1 angka 6

dan penjelasan Pasal 5 ayat (1) dibatalkan sehingga hutan adat bukan lagi hutan

negara melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Masih dalam Undang-undang yang sama, mengenai masyarakat hukum adat

khusus diatur dalam Bab IX yang berjudul “Masyarakat Hukum Adat”. Pada Pasal

67 dinyatakan bahwa:

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya berhak :

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-

hari masyarakat adat yang bersangkutan.

Page 50: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 50

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam bagian penjelasan Pasal 67 ayat (1) disebutkan bahwa masyarakat hukum

adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi syarat berikut:

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) ;

b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya ;

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas ;

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati,

dan

e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Keempat syarat-syarat yuridis di atas, menurut Sekretaris Jenderal Mahkamah

Konstitusi,40 sampai saat ini belum ada penjelasan resmi dan lengkap tentang arti

keempat persyaratan tersebut. Akibatnya, belum dapat diadakan inventarisasi

resmi terhadap masyarakat hukum adat yang memenuhi empat persyaratan

tersebut, berupa nama masyarakat hukum adat, peraturan daerah yang menjadi

dasar hukum eksistensi masyarakat hukum adat, lokasi, dan batas-batas

wilayahnya, lembaga kepemimpinan, serta alamat pucuk pimpinan masyarakat

hukum adat.

12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Undang-undang ini mencantumkan pengakuan terhadap masyarakat adat atas hak

ulayat. Pasal 6 ayat (2) pada intinya mengatur bahwa penguasaan sumber daya air

diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap

mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa

dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

peraturan perundang-undangan. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya

diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya

sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam

peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di

Bali; totabuan diBolaang-Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di Sulawesi

Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak.

40 Ibid, hlm. 6

Page 51: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 51

Sedangkan Pasal Pasal 6 ayat (3) menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat

hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada

dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Penjelasan ketentuan

ini menyebutkan bahwa Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat

termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud

dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh

tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat

yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak

ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur,

yaitu :

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih

merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu

persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-

ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi

lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya

mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu

terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan

penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga

persekutuan hukum tersebut.

Pengaturan masyarakat adat dalam UU Sumber Daya Air menjabarkan pola

pengakuan bersyarat dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. UU ini dapat dikatakan

sebagai undang-undang pertama setelah amandemen UUD 1945 yang memuat

rumusan pengaturan sebagai penjabaran dari norma konstitusi berkaitan dengan

masyarakat adat. Sehingga mudah dipahami bahwa rumusan pengaturannya

sudah mulai mengikuti trend norma konstitusi berkaitan dengan keberadaan dan

hak-hak masyarakat adat.

13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Undang-undang ini mewajibkan kepada pengusaha yang mengajukan

permohonan hak atas satu wilayah tertentu untuk terlebih dahulu melakukan

musyawarah dengan masyarakat hukum adat yang memegang hak ulayat atas

suatu wilayah. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) yang berbunyi

sebagai berikut:

“Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hokum

adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah

dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas

Page 52: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 52

tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan

tanah, dan imbalannya.”

Ketentuan ini memposisikan kepentingan masyarakat adat atas suatu wilayah

bukan sebagai hak yang harus diperkuat, melainkan sebagai hak yang harus

dilepaskan dengan kompensasi ganti rugi. Dengan demikian hak masyarakat adat

atas wilayah kehidupannya tidak menjadi hal yang utama, sebab yang lebih

diutamakan adalah kepentingan perkebunan. Namun demikian terhadap hak

masyarakat adat tersebut diberikan sejumlah ganti kerugian bila wilayahnya

dijadikan wilayah konsesi perkebunan.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dicantumkan persyaratan keberadaan

masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih

ada bila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgememschaft);

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih

ditaati; dan

e. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.

Musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para

warga pemegang hak alas tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak

atas tanah. Dalam penjelasan umum UU Perkebunan juga memberikan perhatian

terhadap hak ulayat masyarakat adat. Disana dikatakan bahwa pemberian hak atas

tanah untuk usaha perkebunan harus tetap memperhatikan hak ulayat masyarakat

hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan

dengan hukum yang lebih tinggi serta kepentingan nasional.

14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam Pasal 2 ayat (9) disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.” Undang-undang ini juga mengatur soal pemilihan

kepala desa atau nama lainnya untuk masyarakat desa. Pasal 202 ayat (3)

menyebutkan: “Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya

berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan

berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”

Mengembalikan sistem pemerintahan lokal dibuka dengan memberikan

kewenangan kepada pemerintahan desa untuk dapat mengurusi persoalan yang

berkaitan dengan hak asal usul desa sebagaimana diatur dalam Pasal 206 UU No.

Page 53: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 53

32 Tahun 2004. Empat kewenangan pemerintah desa yang diatur dalam Pasal 206

UU No. 32 Tahun 2004 tersebut meliputi (a) urusan pemerintahan yang sudah ada

berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c)

tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah

kabupaten/kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan

perundangan-undangan diserahkan kepada desa.

15. Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya)

Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 undang-undang ini berisikan pengakuan mengakui

hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas

pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan

menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8),

hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan

dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal

10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati

standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12),

hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan

budaya (PasaI15).

16. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan

Politik)

Dalam undang-undang ini terdapat, paling tidak, 2 (dua) pasal yang berkaitan erat

dengan masyarakat adat, yakni Pasal 1 yang berisi kenetuan tentang hak untuk

menentukan nasib sendiri dan Pasal 27 yang mengatur tentang tindakan untuk

melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di

negara pihak.

17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Menurut penjelasan undang-undang ini bahwa dalam rangka mencapai tujuan

penyelenggaraan penataan ruang tersebut, Undang-Undang ini, memuat

ketentuan pokok sebagai berikut, antara lain: hak, kewajiban, dan peran

masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan

masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan

penataan ruang.

Page 54: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 54

Selain itu, pengajuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat juga

dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 5 ayat 5 yang memasukan kawasan adat

tertentu sebagai kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya. Hal

yang sama juga disebutkan dalam Pasal 7 ayat (3) dimana dipaparkan bahwa

penyelenggaraan penataan ruang dilakukan dengan tetapmenghormati hak yang

dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan ayat tersebut menyatakan bahwa hak yang dimiliki orang mencakup

pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

18. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil.

Dalam Pasal 1 angka 33 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah

Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul

leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau

kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,

sosial,dan hukum.

Sehubungan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), dalam

pemberiannya, menurut Pasal 17 (2) wajib mempertimbangkan antara lain

keberadaan masyarakat adat. Selain itu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21

ayat (4) disebutkan bahwa salah satu persyaratan operasional HP-3 adalah

mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk mengakui, menghormati, dan

melindungi hak-hak masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal.

Undang-undang ini sendiri juga menyatakan bahwa HP-3 dapat diberikan kepada

masyarakat adat (Pasal 18). Lebih lanjut dalam Pasal 61 ayat (1) ditegaskan bahwa

Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat,

masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil yang telah dimanfaatkan secara turuntemurun. Pengakuan akan hak-hak

masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal tersebut menurut ayat

(2) dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang

berkelanjutan.

19. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini merupakan pengganti UU No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini mengikuti arus legalisasi

masyarakat adat di dalam undang-undang terkait dengan sumber daya alam dan

Page 55: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 55

lingkungan yang banyak terjadi setelah 1998. Undnag-undang ini memakai istilah

masyarakat hukum adat tetapi meniru definisi yang sebagaimana definisi

masyarakat adat dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang

tidak memberikan sejumlah kriteria atau persyaratan terhadap keberadaan

masyarakat adat berserta dengan hak-hak tradisionalnya.

Lalu di dalam menjelaskan pembagian kewenangan pemerintah dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur tugas pemerintah dan

pemerintah daerah terkait dengan keberadaan, hak-hak dan kearifan lokal

masyarakat adat. Dalam Pasal 63 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Pembagian tugas

dan wewenang tersebut sebagai berikut:

a. Pemerintah, menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang

terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

b. Pemerintah Provinsi, menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan

keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum

adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada

tingkat provinsi.

c. Pemerintah Kabupaten/Kota, melaksanakan kebijakan mengenai tata cara

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak

masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

20. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Pasal 6 undang-undang ini menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk

kepentingan penangkapa n dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan

Hukum Adat dan Kearifan Lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hak

ulayat Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam sebagaimana yang

dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada

dan telah dikukuhkan dalam Peraturan Daerah (Perda) setempat sebagaimana

diatur dalam Pasal 6 ayat (3).

21. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Meskipun secara keseluruhan Permen ini mengakomodir hak-hak masyarakat

hukum adat, akan tetapi Permen ini belum menjabarkan secara jelas bentuk

pemulihan hak-hak masyarakat hukum adat yang telah direbut oleh pihak luar pada

masa lalu. Dalam praktiknya, Permen ini tidak mampu menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang menuntut pengembalian tanah

ulayat mereka yang dikuasai oleh pihak luar, terutama oleh perusahaan-

Page 56: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 56

perusahaan.

Akhirnya Permen ini belum mampu menjadi penyelesai masalah. Salah satu

penyebab Permen ini tidak implementatif adalah karena Permen ini

mengecualikan tanah ulayat pada tanah-tanah yang sudah dikuasai dengan alas

hak-hak yang diatur di dalam UUPA. Padahal persoalan tanah ulayat selama ini

muncul karena adanya klaim-klaim yang didasarkan pada hak-hak di dalam UUPA

di atas hak ulayat yang sudah ada pada masa lalu. Selain itu, penyelesaian

masalah tanah ulayat masyarakat adat yang diatur oleh Permen ini hanya bisa

dilakukan dengan terlebih dahulu bila Pemerintah Daerah menerbitkan Perda

pengakuan terhadap masyarakat adat. Namun dengan segala kekurangan yang

ada di dalam Permen, peraturan ini juga pernah dipakai oleh masyarakat dalam

mendorong pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat di daerah seperti

yang terlihat dalam proses pengakuan hukum terhadap hak ulayat Masyarakat

Baduy di Banten

Setelah Permen ini, belum nampak lagi inisiatif pemerintah pada sektor

pertahanan untuk mendorong pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat

adat atas tanah. Inisiatif untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat

adat lebih banyak berkembang di daerah.

2 2 . Peraturan Menteri Kehutanan No. 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan

Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat Pada Areal Hutan Produksi

Secara teknis hak masyarakat hukum adat diatur melalui Peraturan Menteri

Kehutanan No. 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat

Hukum Adat Pada Areal Hutan Produksi, khususnya dalam Pasal 4. Ketentuan

pasal tersebut menyatakan bahwa masyarakat hukum ada dapat memungut hasil

hutan dalam areal hutan yang dibebani HPH, dengan syarat:

a. Untuk memenuhi keperluan hidup sehari hari bagi seluruh masyarakat hukum

adat pada wilayah tertentu beserta anggotanya sesuai dengan azas

kebersamaan.

b. Hasil Hutan tersebut diatas tidak untuk diperdagangkan dan jika hasilnya

digunakan untuk kepentingan bersama bagi masyarakat hukum adat yang

bersangkutan.

c. Hasil hutan yang dapat dipungut meliputi hasil hutan kayu dan non kayu.

d. Peruntukan areal pemungutan hasil hutan bagi masyarakat hukum adat

ditentukan oleh Kepala Dinas Kehutanan Tingkat II atas saran perusahaan

pemegang HPH, dan ditetapkan di luar blok tebangan tahunan yang

bersangkutan.

Page 57: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 57

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Kesadaran akan tantangan terhadap cita-cita untuk membangun sebuah

bangsa Indonesia telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri Negara

Indonesia. Pemikiran itu membawa kepada perumusan filasat dasar. Keberagaman

dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita

untuk menjadi satu bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Ke’bhineka’-an adalah sebuah realitas sosial, sedangkan ke’tunggal-ika’-an adalah

sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas untuk menjadi ’jembatan emas’ –

mengutip Soekarno – menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul

keberagaman dalam sebuah bangsa adalah Negara Indonesia yang merdeka dan

berdaulat.

Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan memerlukan dasar

yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat Indonesia. Pancasila

adalah rumusan saripati seluruh filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan

Negara, sedangkan UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi yang menjadi pedoman

dan rujukan semua peraturan perundangan.

Unsur penghormatan bisa juga ditasfirkan sebagai sudah terangkum dalam Sila

Kedua Pancasila yang menyatakan bahwa Negara Indonesia dibangun di atas prinsip

‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Jelaslah bahwa di Indonesia terdapat

masyarakat dengan susunan asli yang sudah memiliki tingkat peradaban tertentu

sebagai sekelompok masyarakat dari manusia Indonesia dan oleh karena harus

dihormati dalam sebuah Indonesia yang bersatu sebagaimana bunyi Sila Ketiga. Sila

kedua adalah landasan filosofis pengakuan keberadaan berbagai kelompok

masyarakat dengan susunan asli yang memiliki peradabannya masing-masing. Oleh

karena itu adalah tidak pada tempatnya bilamana berbagai kelompok masyarakat

tersebut diberi label sebagai masyarakat tertinggal, tradisionil, atau lebih buruk lagi

primitif. Pelabelan itu sendiri jelas sudah melanggar prinsip dalam Sila Kedua

Pancasila.

Konsep persatuan atau kerukunan dikenal dalam pancasila pada sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Sila persatuan Indonesia mengandung muatan konstruktif dari para pendireri Negara terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyrakat yaitu hukum kebiasaan dan hukum adat secara praktis (dalam praktik). Hal ini didasarkan pada adanya pluralitas praktek hukum dat pada masing-masing daerah dan masyarakat Indonesia serta pembagian ketentuan-ketentuan hukum adat dalam beberapa bidang yang diaturnya seperti hukum keluarga hukum perkawinan serta hukum waris.

Page 58: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 58

Pada dasarnya didalam Pancasila yang sebagai dasar pandangan hidup berbangsa dan bernegara di dalamnya terkandung nilai-nilai hukum adat. Asas yang mendomonasi antar Pancasila dan hukum adat adalah gotong royong yang sangat kental ada di dalamnya. Sehingga dpat dikatakan bahwa secara tidak langsung Negara sangat mengakui pentingnya hukum adat yang mendominasi hukum-hukum yang ada dalam Indonesia.

Dalam Undang-undang dan Pancasila sebenarnya telah terkandung di dalamnya tentang hukum adat, hanya saja tidak dijelaskan dan di ungkapkan secara eksplisit. Kedudukan hukum adat sangat mendominasi hukum nasional karna hukum nasional juga diambil dari hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.

B. Landasan Sosiologis

Kesatuan masyarakat hukum adat telah ada jauh sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia. Kenyataan ini bahkan disadari secara sungguh-sungguh oleh para pendiri bangsa yang tercermin dari perdebatan-perdebatan yang serius tentang keberadaan masyarakat adat dalam sidang-sidang Badan Perjuangan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Bahwa perdebatan-perdebatan tentang masyarakat adat dalam konteks negarayang sedang dibangun pada masa-masa awal kemerdekaan telah mendapatkan porsi yang besar dalam sidang-sidang BPUPKI, yang kemudian terkristalisasi dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam Penjelasan II Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dikemukakan bahwa: ―dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”Selanjutnya disebutkan bahwa ―Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Dengan penjelasan itu, para pendiri bangsa hendak mengatakan bahwa di Indonesia terdapat banyak kelompok masyarakat yang mempunyai susunan asli. Istilah ’susunan asli’ tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri sendiri atau Zelfbesturende landschappen atau kesatuan masyarakat hukum adat. Bahwa pengurusan diri sendiri itu terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan (landscape) yang dihasilkan oleh perkembangan masyarakat, yang dapat dilihat dari frasa yang menggabungkan istilah Zelfbesturende dan landschappen. Artinya, pengurusan diri sendiri tersebut berkaitan dengan sebuah wilayah. Hendak pula dikatakan bahwa penyelenggaraan Negara

Page 59: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 59

melalui pembangunan nasional tidak boleh mengabaikan apalagi sengaja dihapuskan oleh Pemerintah.

Masyarakat Adat Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan Timur yang

hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat. Istilah

Dayak, sesungguhnya mempunyai arti sebagai sebutan kolektif sub-suku masyarakat

adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur, dapat

diklasifikasikan dalam 7 kelompok besar, yakni: (1) Luangan Group terdiri dari Dayak

Benuaq, Bentian, Paser dan Tonyooi; (2) Apo Kayan Group terdiri dari Dayak Kayan,

Kenyah, Bahau, Punan, Modang dan Long Gelat; (3) Lun Bawan Group, terdiri dari

Dayak Lun Dayeh dan Lun Bawan; (4) Mahakam Group terdiri dari Dayak Seputan; (5)

Barito Kapuas Group, terdiri dari Dayak Kahayan dan Bekumpay; (6) Kapuas Group

terdiri dari Dayak Aoheng dan Bukat; (7) Melayu Group, terdiri dari Kutai dan Tidung

dengan sejumlah puak masing-masing.

Dalam perspektif etno-antropologis, masyarakat adat Dayak di Kalimantan

Timur menurut klasifikasi berdasarkan perbedaan bahasa, terdapat 7 kelompok besar

yaitu:

1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung,

Abai dan Tagel, dari kelompok Idahan.

2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok

Barito Timur; (2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3)

Kayan, Bahau, Modang, Aoheng dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4)

Lundaye, Lengilu’ dan Saben dari kelompok Apo Duat; (5) Merap, Punan Malinau

dan Basap Sajau dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978).

Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang

cukup berbeda dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu’ di

Kabupaten Berau; (2). Brusu dan Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap

seperti Punan Kereho dan Punan Murung di Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan

Basap Jonggon di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Punan Kuhi, Punan Aput dan

Punan Benalui di Kabupaten Malinau (Devung, 1997).

Berdasarkan hasil penelitian Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia,

Proyek Kayan Mentarang, ditemukan gambaran sebaran dominan etnis lokal per

Kabupaten di Kaltim, dengan identifikasi nama etnis lokal berdasarkan klasifikasi

populer di masing-masing Kabupaten, sebagai berikut:

1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun

2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser

3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan,

Tunjung, Benuaq, Bentian, Luangan, Kutai

4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah,

Kayan, Basap, Benua’, Tunjung

Page 60: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 60

5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap,

Tunjung

6. Kabupaten Berau, 7 etnis lokal: Berayu-Berau, Ga’ay, Punan, Lebu’, Basap, Kayan,

Kenyah

7. Kabupaten Bulungan, 6 etnis lokal: Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu,

Basap

8. Kabupaten Malinau 12 etnis lokal: Kenyah, Punan, Kayan, Pua’, Merap, Bau, Lun

Daye, Tidung, Brusu, Tagel, Abai, Agabag

9. Kabupaten Nunukan 6 etnis lokal: Tidung, Abai, Tagel, Agabag, Brusu, Lun Daye.

Sedangkan karakteristik sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar

kawasan hutan, bisa dilihat dari dua perspektif: (1). berdasarkan sistem pemanfaatan

sumberdaya hutan; (2). berdasarkan hubungan historis dengan kawasan hutan

setempat. Dari perspektif karakteristik berdasarkan sistem pemanfaatan sumberdaya

hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan kedalam

empat kategori, yakni: (1). Masyarakat yang kehidupannya sepenuhnya tergantung

dari sumberdaya hutan; (2). Masyarakat yang kehidupannya sebagian tergantung dari

sumberdaya hutan; (3). Masyarakat yang kehidupannya tidak seberapa tergantung

dari sumberdaya hutan; (4). Masyarakat yang kehidupannya samasekali tidak

tergantung dari sumberdaya hutan

Sedangkan dari perspektif karakteristik berdasarkan hubungan historis dengan

kawasan hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan

dalam empat kategori: (1). Masyarakat etnis lokal, dengan wilayah adat dan wilayah

desa tradisional yang relatif masih sama dengan dulu; (2). Masyarakat etnis lokal,

dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau terpisah

oleh sistem administrasi pemerintahan, perpindahan penduduk, resetlemen, relokasi

desa, proyek pembangunan, industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan; (3).

Masyarakat etnis pendatang, yang sudah bermukim sebelum penetapan atau

perubahan status kawasan hutan; (4). Masyarakat etnis pendatang yang baru

bermukim setelah penetapan atau perubahan status kawasan hutan.

Hingga tahun 2013 kondisi demografi di Kalimantan Timur mengalami

ketimpangan, karena jumlah penduduk pendatang telah melebihi jumlah penduduk

asli. Kondisi ini, disebabkan derasnya arus pendatang karena adanya pertumbuhan

industri dan proyek pembangunan. Situasi kependudukan itu telah melahirkan

fenomena permasalahan sosial sekaitan dengan penguasaan, pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya secara tidak seimbang, antara komunitas masyarakat

hukum adat Dayak dengan komunitas pendatang.

Sedangkan di lain fihak, eksploitasi sumber daya alam (hutan, tambang,

perkebunan dan proyek pembangunan), tumbuh sebagai sumber konflik antara

komunitas masyarakat hukum adat Dayak dengan para pengusaha dan penguasa.

Page 61: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 61

Maka tak pelak, bertahun-tahun terus berlangsung proses pemiskinan struktural,

sehingga masyarakat hukum adat Dayak semakin tidak memiliki akses terhadap

penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.Sementara itu

peraturan perundang-undangan yang berlaku, cenderung tidak memihak kepentingan

masyarakat hukum adat Dayak, sehingga mereka kehilangan akses dalam pengambilan

keputusan, karena kuatnya hegemoni yang dibarengi dengan kooptasi terhadap tokoh-

tokoh masyarakat.

C. Landasan Yuridis

Baik landasan filosofis maupun realitas sosiologis yang dipaparkan di atas membawa kepada pertanyaan tentang landasan juridis bagi persoalan masyarakat adat di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat adat. Pengakuan atas eksistensi ini perlu dilengkapi dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak dan kebebasan dasar.

Manusia hanya mungkin menjadi manusia jika hak dan kebebasan dasarnya terpenuhi. Pengakuan atas keberadaan dan hak masyarakat adat diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan perundangan, baik Undang-Undang maupun aturan turunannya sampai ke Peraturan Daerah.

Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah masyarakat hukum adat) sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di tengah berbagai istilah yang digunakan, substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Hukum adat hanyalah salah satu aspek dari kelengkapan sosial politik yang dimiliki masyarakat ini, sehingga tidak tepat bilamana kelompok ini direduksi sekedar sebagai masyarakat hukum adat saja.

Dengan cara yang sama kita tidak mungkin mengenakan istilah ‘masyarakat hukum Indonesia’ kepada masyarakat Indonesia umumnya, karena hukum Negara hanyalah salah satu aspek dari kehidupan masyarakat Indonesia. Meksipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari frasa “sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang-undang.

Di sisi lain, Indonesia juga sudah meratifikasi sejumlah instrument HAM internasional, menjadi penandatangan untuk beberapa yang lain, dan juga menjadi pendukung bagi yang lainnya. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Page 62: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 62

Diskriminasi Rasial; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat adalah sejumlah instrument HAM internasional yang dimaksud. Empat yang pertama telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi tersebut jelas ditegaskan kewajiban Negara untuk memenuhi hak-hak warga Negara.

Di samping ‘pengakuan bersyarat’ persoalan lain yang perlu disorot lebih jauh adalah sifat dari hak-hak yang diakui dalam peraturan perundangan Indonesia. Baik undang-undang yang bersumber dari instrumen internasional HAM maupun peraturan perundangan lainnya, tidak ada penjelasan mengenai hak kolektif yang menjadi salah satu pilar dalam klaim masyarakat adat. Hak kolektif bukanlah hak tradisional sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 maupun peraturan perundangan lainnya. Tidak jelas pula apa yang dimaksud dengan hak tradisional dalam peraturan perundangan Indonesia, sementara hak kolektif yang diklaim masyarakat adat lebih tepat dipadankan dengan hak asal-usul yang dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), di mana sistem pengurusan diri sendiri memiliki keistimewaan antara lain dalam sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam. Dari perspektif hukum, ‘syarat-syarat’ yang dicantumkan dalam anak kalimat Pasal 18 B khususnya ‘sepanjang masih ada’ adalah ketentuan yang melemahkan unsur pengakuan dalam kalimat utamanya.

Baik UUD 1945 maupun berbagai UU yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap masyarakat adat adalah dasar hukum yang dapat digunakan untuk mendorong pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, bilamana kondisi yang memperlemah pengakuan, penghormatan dan perlindungan dapat dihilangkan. Di sisi lain, keistimewaan masyarakat adat dalam sistem pengurusan diri sendiri, yang mencakup sistem pemerintahan dalam komuniti maupun sistem peradilan dan ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan tanah dan sumberdaya alam dapat didayagunakan oleh Negara untuk memperkuat upaya mencapai cita-cita kebangsaan. Ini berarti ada pembagian ruang pengurusan antara Negara dan masyarakat adat di mana Negara memberikan semacam otonomi untuk menjalankan sistem pengurusan diri sendiri itu di dalam masing-masing komuniti, namun tetap di dalam kerangka sistem Negara Indonesia. Belakangan ini dapat disaksikan bagaimana sistem peradilan adat mulai dijalankan kembali dalam sejumlah kasus.

Di samping Pasal 18 B, Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 Amandemen Kedua dan Pasal 32 UUD 1945 Amandemen IV juga merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.

Kebutuhan akan pengakuan dan perlindungan melalui peraturan perundang-undangan pada tingkat lokal juga didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara

Page 63: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 63

melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Putusan MK tersebut tentunya membutuhkan tindaklanjut pada tingkat daerah, khususnya terkait dengan hutan adat, sementara pengaturan tentang hutan adat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat hukum adat termasuk wilayah adanya.

Berikut ini adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang secara langsung ataupu tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan menjadi dasar bagi penyusunan peraturan daerah, antara lain: 1. Pasal 18 B ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-

Undang Dasar 1945. 2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Haluan Negara 1999 – 2004.

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :

IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

5. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

7. Undang Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga

Sejahtera.

8. Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional

mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological

Diversity).

9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation)

10. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

15. Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya)

16. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on

Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)

17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

18. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil.

19. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

20. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Page 64: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 64

21. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

22. Peraturan Menteri Kehutanan No. 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil

Hutan Masyarakat Hukum Adat Pada Areal Hutan Produksi

Page 65: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 65

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,

DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi

muatan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang akan dibentuk. Dalam Bab ini,

sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan

diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang

telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.

A. Ketentuan Umum

Dalam Rancangan peraturan daerah ini terdapat beberapa istilah penting yang

dicantumkan di dalamnya, antara lain:

1. Masyarakat hukum adat Dayak adalah kelompok masyarakat yang secara turun

temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di provinsi Kalimantan Timur

karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat

dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya

sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang

berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.

2. Pengakuan masyarakat hukum adat Dayak adalah pernyataan tertulis maupun

tidak tertulis atas keberadaan masyarakat hukum adat Dayak beserta hak-

haknya yang diberikan oleh Negara dan/atau pihak-pihak lain di luar negara.

3. Perlindungan masyarakat hukum adat Dayak adalah suatu bentuk pelayanan

yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat Dayak dalam

rangka menjamin terpenuhi hak-haknya, agar dapat hidup tumbuh dan

berkembang sebagai satu kelompok masyarakat, berpartisipasi sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan

diskriminasi.

4. Hak-Hak masyarakat hukum adat Dayak adalah hak yang bersifat asal usul yang

melekat pada masyarakat hukum adat Dayak, yang bersumber dari tatanan

politik, ekonomi, struktur social dan budaya mereka, khususnya hak-hak atas

tanah, wilayah dan sumber daya alam.

5. Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun

tidak tertulis yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan bersama

masyarakat hukum adat Dayak.

6. Lembaga adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang

bersamaan dengan sejarah suatu masyarakat hukum adat Dayak untuk

mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan-permasalahan

kehidupan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

Page 66: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 66

7. Wilayah adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun

temurun dihuni dan dikelola oleh masyarakat hukum adat Dayak sebagai

penyangga sumber-sumber penghidupan yang diwarisi dari leluhurnya atau

melalui kesepakatan dengan masyarakat hukum adat Dayak lainnya.

8. Pemetaan wilayah adat adalah proses penerjemahan suatu bentang alam ke

dalam bentuk kartografi atas sejarah asal usul, tata pengaturan dan

pengurusan suatu wilayah sesuai dengan sistem pengetahuan dan praktek-

praktek yang berlaku di masyarakat hukum adat Dayak.

9. Identifikasi diri sendiri adalah suatu proses penentuan keberadaan masyarakat

hukum adat Dayak beserta hak-haknya yang dilakukan sendiri oleh masyarakat

hukum adat Dayak yang bersangkutan.

10. Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-padangan yang

bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang hidup dan berkembang

dalam satu komunitas masyarakat hukum adat Dayak dan diikuti oleh anggota

masyarakat hukum adat Dayak yang bersangkutan.

11. Konflik adalah tumpang tindih klaim antara satu pihak atau lebih mengenai hak-

hak masyarakat hukum adat Dayak, termasuk didalamnya penguasaan,

pengelolaan tanah, wilayah dan sumber daya alam didalamnya.

12. Sengketa adalah pertentangan hak antar masyarakat hukum adat Dayak

dan/atau dengan pihak pihak lainnya.

13. Peradilan adat adalah mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum

adat

atas pelanggaran terhadap hak-hak adat dan hukum adat.

B. Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup

1. Asas

Pengaturan masyarakat hukum adat Dayak dilaksanakan berdasarkan asas:

a. keadilan sosial

Keadilan tidak boleh direduksi menjadi benefit sharing, karena makna

keadilan itu sendiri sangatlah luas dan menyentuh seluruh aspek kehidupan

manusia. Sementara benefit sharing dalam konteks proyek pembangunan

bisa menjadi sangat bias manfaat material atau ekonomi semata. Prinsip

keadilah seyogyanya mencakup pula kesetaraan dalam posisi sosial politik

dan dihadapan hukum. Keadilan yang dimaksud mestilah selaras dengan sila

kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini

berarti sebuah keadilan di mana Negara memainkan peran penting dalam

program pemerataan pembangunan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia. Hal ini tidak bisa dibiarkan kepada proses yang disebut sebagai

‘trickle down effect’ yang berasumsi bahwa begitu tercapai kesejahteraan di

Page 67: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 67

lapisan elit dalam masyarakat dengan sendirinya aka nada ‘tetesan’

kesejahteraan bagi lapisan akar rumput di bawahnya. Hal itu sudah terbukti

gagal dengan adanya pemusatan atau konsentrasi hak atas tanah dan

berbagai bentuk di tangan segenlintir orang di Indonesia.

Dalam konteks masyarakat hukum adat Dayak, keadilan sosial seperti ini

menghendaki berfungsinya mekanisme kontrol oleh rakyat terhadap seluruh

penyelenggara Negara. Dan hal itu berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur

hukum dan jalur politik. Yang pertama melalui proses peradilan yang jujur

dan tegas yang memperlakukan seluruh warga Negara Indonesia sama di

hadapan hukum, sementara yang kedua melalui mekanisme pemilihan umum

yang jujur, bebas dan rahasia

b. kesetaraan dan non-diskriminasi

Prinsip kesetaraan belakangan ini banyak menegaskan kesetaraan antara

kaum perempuan dan laki-laki. Namun dalam naskah ini kesetaraan dimaknai

sebagai kesetaraan antar semua individu dan kelompok manusia. Kesetaraan

yang dimaksud mengandaikan bahwa ada kebebasan yang setara, adanya

posisi yang setara, adanya perlakukan yang setara. Kesetaraan seperti ini

pun menghendaki campur tangan Negara. Ini perlu mengingat bahwa ada

jurang pendidikan yang menganga di antara individu maupun antar

kelompok. Situasi riil di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat hukum adat Dayak yang berdiam di kawasan perdesaan adalah

masyarakat tanpa pendidikan formal yang memadai, kemampuan bahasa

yang terbatas, keterampilan yang minim dalam applikasi teknologi modern.

Sementara itu masyarakat perkotaan, kelompok bisnis dalam dan luar

negeri, para pejabat pemerintahan adalah kelompok-kelompok masyarakat

atau pihak yang berpendidikan tinggi, keterampilan yang cukup dalam

teknologi modern, kemampuan bahasa yang lebih baik dari masyarakat di

perdesaan. Jurang ini hanya bisa dijembatani oleh Negara untuk mencegah

terjadinya dominasi, manipulasi dan objektivasi masyarakat hukum adat

Dayak oleh pihak lain.

c. keberlanjutan Lingkungan

Prinsip ini adalah hasil permenungan manusia atas akibat dari perilaku

manusia itu sendiri sepanjang sejarah peradabannya, khususnya dalam

beberapa ratus tahun belakangan, terhitung sejak dimulainya Revolusi

Industri di Inggris. Sudah lebih dari cukup bukti ilmiah maupun pengalaman

empirik manusia yang menunjukkan bahwa pembangunan yang melulu

berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial menimbulkan

krisis lingkungan dan krisis sosial di berbagai belahan bumi. Oleh karena itu

Page 68: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 68

prinsip ini telah menjadi sebuah keniscayaan bagi segala bentuk

pembangunan dewasa ini.

d. transparansi.

Transparansi berpijak pada asumsi bahwa bias dalam informasi akan

berdampak pada tujuan yang hendak dicapai, oleh karenanya, dalam konteks

demokratisasi, informasi harus disampaikan sejelas-jelasnya untuk dipahami

oleh si penerima informasi, bukan si pemberi informasi. Informasi ini

mengalir di antara para pihak, yang merupakan implikasi dari pandangan civil

society yang memetakan masyarakat dalam kelompok-kelompok yang

disebut pihak (stakeholders atau party). Informasi, misalnya, dapat

mengalami distorsi secara signifikan bila ditempatkan dalam komunikasi

antara para pihak. Persoalannya adalah pada sistem representasi para pihak.

Pertama menyangkut tingkat kebolehjadian dari sistem perwakilan ini untuk

meneruskan informasi tanpa distorsi. Kedua adalah sistem perwakilan itu

sendiri akan sangat bias kuasa dalam sebuah pihak. Perwakilan perempuan,

indigenous peoples, kelompok minoritas lainnya, akan memiliki kemungkinan

besar untuk direpresentasi oleh struktur kuasa dalam kelompok tersebut.

Hal ini kemudian berdampak pada kelompok paling rentan dalam sebuah

pihak. Indigenous peoples atau masyarakat hukum adat Dayak misalnya, dari

pengalaman di Indonesia, cenderung diwakili oleh struktur kekuasaan lama

di dalam sebuah komunitas. Kalaupun tidak, maka struktur kekuasaan baru

yang mewakili.

e. partisipasi.

Prinsip partisipasi dalam pendekatan hak mengandaikan keterlibatan yang

luas dan dalam dari masyarakat sebagai salah satu pihak terhadap

pembangunan. Kebanyakan partisipasi ini dipahami sebagai keterlibatan

masyarakat warga (civic) dan berbagai kelompok sosial secara langsung

dalam menentukan sebuah kebijakan sekaligus bagaimana kebijakan

tersebut harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme monitoring dan

evaluasi. Pendekatan hak juga sangat dicirikan oleh outcome-driven. Praktek-

praktek yang dapat dilihat dalam berbagai proyek pembangunan

menunjukkan bahwa partisipasi mengandaikan keharusan adanya sistem

representasi.

Dalam lingkup isu masyarakat hukum adat Dayak, partisipasi selalu

dirumuskan sebagai ‘partisipasi penuh dan efektif’ dalam pembangunan. Ini

menghendaki bahwa sejak dini, masyarakat harus sudah terlibat dalam

pembuatan keputusan tentang sebuah proyek pembangunan dalam wilayah

adat mereka. Salah satu argumen utama adalah bahwa merekalah penerima

dampak langsung dari proyek tersebut. Oleh karena itu partisipasi dalam

Page 69: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 69

konteks masyarakat hukum adat Dayak adalah selaras dengan apa yang

ditegaskan dalam prinsip FPIC. Partisipasi yang demikian dapat dikembalikan

kepada prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Ada sejumlah unsur yang perlu dipertegas.

Bahwa dalam konteks Negara Republik Indonesia, masyarakat hukum adat

Dayak yang dimaksud adalah warga Negara Indonesia dan oleh karena itu

berimplikasi pada hak dan kewajiban sebagai rakyat Indonesia dan sekaligus

subjek kepada siapa tanggungjawab Negara cq. Pemerintah harus diberikan.

2. Tujuan

Pengaturan masyarakat hukum adat Dayak bertujuan untuk:

a. mewujudkan masyarakat hukum adat Dayak yang sejahtera, aman, tumbuh

dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi;

b. mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat Dayak sebagai

dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan program

pembangunan; dan

c. memfasilitasi masyarakat hukum adat Dayak agar dapat berpartisipasi dalam

pembangunan.

3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah ini meliputi:

a. kedudukan masyarakat hukum adat Dayak;

b. hak-hak masyarakat hukum adat Dayak;

c. kelembagaan masyarakat hukum adat Dayak;

d. penyelesaian Sengketa.

B. Kedudukan Masyarakat Hukum Adat Dayak

Masyarakat hukum adat Dayak berkedudukan sebagai subjek hukum.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No. 35/PUU-IX/2012 secara tegas

menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum sehingga

mereka dinilai memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan ke Mahkamah

Konstitusi. Hal ini perlu dipertegas kembali dalam Raperda sehingga dengan

menempatkan masyarakat hukum adat Dayak sebagai subyek hukum, maka

Masyarakat hukum adat Dayak merupakan pengemban hak dan kewajiban.

Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, masyarakat hukum adat Dayak

berhak untuk:

1. menikmati secara penuh, untuk secara bersama-sama atau secara sendiri-

sendiri, semua hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar yang melekat

pada dirinya sebagai manusia;

Page 70: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 70

2. melakukan perbuatan-perbuatan hukum berkaitan dengan hak-hak mereka,

termasuk hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di dalam

wilayah adatnya.

C. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak

Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak meliputi:

1. Hak atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam

Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber

daya alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan juga tanah,

wilayah dan sumber daya alam yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah

menurut hukum adat setempat. Sumber daya alam tersebut mencakup segala

sesuatu baik di permukaan maupun di dalam tanah. Hak atas tanah, wilayah dan

sumber daya alam mencakup hak untuk memiliki, menggunakan,

mengembangkan dan mengendalikan.

Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk menentukan dan

mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan atau penggunaan

tanah, wilayah dan sumber daya alam dengan menggunakan cara-cara yang

sesuai dengan kearifan lokal dan inovasi-inovasi yang berkembang dalam

masyarakat hukum adat Dayak yang bersangkutan.

Masyarakat hukum adat Dayak berhak untuk mendapatkan restitusi dan

kompensasi yang layak dan adil atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang

dimiliki secara turun temurun yang diambil alih, dikuasai, digunakan atau

dirusak tanpa persetujuan bebas tanpa paksaan dari masyarakat hukum adat

Dayak yang bersangkutan.

Hak atas tanah dapat bersifat komunal/kolektif dan bersifat perseorangan

sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Hak atas tanah yang bersifat

komunal/kolektif tidak dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.

Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal/kolektif dan perseorangan didalam

wilayah adat oleh pihak lain hanya dapat dilakukan melalui mekanisme

pengambilan keputusan bersama masyarakat hukum adat Dayak yang

bersangkutan berdasarkan hukum adat.

2. Hak Atas Pembangunan

Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk mengakses semua layanan

pendidikan, kesehatan, ekonomi dan layanan publik lainnya. Disamping hak

untuk mengakses semua layanan publik tersebut, masyarakat hukum adat

Dayak berhak menentukan dan mengembangkan sendiri bentuk-bentuk

pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan mereka.

Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk terlibat secara penuh dalam

programprgram pembangunan negara mulai dari tahap perencanaan,

Page 71: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 71

pelaksanaan dan pengawasan. Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak

untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai program

pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain di luar

pemerintah yang akan berdampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,

budaya dan sistem pemerintahan adat. Masyarakat hukum adat Dayak berhak

untuk menolak bentuk-bentuk pembangunan yang dinilai tidak sesuai dengan

kebutuhan dan kebudayaannya. Masyarakat hukum adat Dayak berhak untuk

mengusulkan bentuk-bentuk pembangunan yang lain yang sesuai dengan

aspirasi dan kebutuhan mereka.

3. Hak atas Spiritualitas dan Kebudayaan

Masyarakat hukum adat Dayak berhak menganut dan mempraktekkan sistem

kepercayaan dan ritual yang diwarisi dari leluhurnya. Masyarakat hukum adat

Dayak berhak untuk mengembangkan tradisi, adat istiadat yang meliputi hak

untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud

kebudayaannya di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti situs-situs

arkeologi, sejarah, artefak dan upacara-upacara adat. Masyarakat hukum adat

Dayak memiliki hak untuk menjaga, mengendalikan, melindungi dan

mengembangkan pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual serta

praktik-praktiknya seperti teknologi, budidaya, benih, obat-obatan, desain,

permainan tradisional, seni pertunjukan, seni visual dan kesusasteraan.

Masyarakat hukum adat Dayak memiliki hak untuk membentuk media mereka

sendiri dalam bahasa-bahasa mereka sendiri, dan memiliki akses terhadap

semua bentuk media umum tanpa diskriminasi. Masyarakat hukum adat Dayak

berhak atas program siaran, penerbitan, penelitian dan pemberitaan yang

menghormati sistem nilai dan cara hidup mereka.

4. Hak atas Lingkungan Hidup

Masyarakat hukum adat Dayak mempunyai hak atas perlindungan lingkungan

hidup. Dalam rangka pemenuhan hak tersebut, masyarakat hukum adat Dayak

mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses atas

informasi, dan partisipasi yang luas terhadap pengelolaan dan perlindungan

lingkungan hidup sesuai dengan kearifan lokal mereka. Masyarakat hukum adat

Dayak berhak untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpanan atau

pembuangan bahan-bahan berbahaya di atas tanah-tanah dan wilayah-wilayah

masyarakat hukum adat Dayak tanpa persetujuan bebas, diutamakan,

diinformasikan dan tanpa paksaan dari mereka. Masyarakat hukum adat Dayak

mempunyai hak atas pemulihan lingkungan hidup di wilayah adat yang

mengalami kerusakan.

Page 72: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 72

5. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat

Masyarakat hukum adat Dayak berhak untuk menyelenggarakan sistem

peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan

pelanggaran atas hukum adat;

D. Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Dayak

Pengaturan Kelembagaan Adat Dayak adalah untuk mendorong upaya

pemberdayaan Lembaga Adat Dayak agar mampu membangun karakter

masyarakat hukum adat Dayak melalui upaya pelestarian, pengembangan dan

pemberdayaan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan menegakkan hukum

adat dalam masyarakat demi mendukung upaya peningkatan

kesejahteraan masyarakat setempat, menunjang kelancaran

penyelenggaraan Pemerintahan dan kelangsungan pembangunan serta

meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Adapun yang menjadi tujuannya adalah agar upaya pemberdayaan masyarakat

hukum adat Dayak mampu mendorong, menunjang dan meningkatkan

partisipasi masyarakat hukum adat Dayak guna kelancaran

penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan

pembinaan masyarakat di daerah, sehingga masyarakat hukum adat

Dayak setempat merasa dihargai secara utuh sehingga terpanggil untuk

turut serta bertanggung jawab atas rasa keadilan, kesejahteraan dan

kedamaian hidup masyarakat dan lingkungannya.

Kelembagaan adat yang diakui, dihormati dan dilindungi berdasarkan Perda ini

meliputi:

1. Bentuk kelembagaan;

2. Ketua dan perangkat adat, termasuk mekanisme dan prosedur

pengangkatannya;

3. Hukum adat;

4. Peradilan adat yang meliputi, antara lain, tata cara pelaksanaan peradilan dan

mekanisme penjatuhan sanksi.

E. Penyelesaian Sengketa

Cara menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam diatur dalam beberapa

peraturan perundang-undangan. Pada pokoknya, penyelesaian sengketa/konflik

dalam tanah dan sumber daya alam lainnya dapat ditempuh melalui dua cara.

Pertama, melalui pengadilan; dan kedua, melalui cara-cara di luar pengadilan.

Paling tidak penyelesaian sengketa dengan dua cara ini secara hukum diatur dalam

Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal

Page 73: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 73

88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Namun

berdasarkan uraian pada bagian di atas di mana konflik tanah dan sumber daya

alam lainnya pada masyarakat hukum adat Dayak juga terjadi – bahkan paling

banyak terjadi - karena ada kebijakan Negara, maka Negara harus melakukan

upaya-upaya hukum dalam rangka penyelesaian konflik tersebut. Tindakan politik

Negara dalam rangka penyelesaian konflik bisa berupa program harmonisasi

semua peraturan perundang-undangan terkait tanah dan sumber daya alam. Di

samping itu, juga ada peradilan adat. Namun penggunaan peradilan adat dalam

menyelesaiakan konflik tanah dan sumber daya alam lainnya tidak dibahas dalam

naskah ini. Asumsinya, peradilan adat sampai saat ini dipercaya dapat

dipergunakan dalam situasi di mana konflik terjadi di internal masyarakat hukum

adat Dayak.

1. Melalui pengadilan

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

penyelesaian konflik kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk

memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi,

dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam

sengketa. Selain itu, pengadilan juga diperbolehkan untuk menetapkan

pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu.

Dalam hal sejak awal para pihak telah menyepakati untuk menyelesaian

sengketa di luar pengadilan, penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat

dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan (tidak berhasil) antara para pihak

yang bersengketa (Pasal 74 ayat [2] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan), Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup. Masih menurut UU

Kehutanan, gugatan ke pengadilan hanya dapat dilakukan oleh kelompok

masyarakat, organisasi yang berbentuk badan hukum dan penuntut.

Sedangkan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup memperbolehkan masyarakat

sebagai penggugat, dan juga organisasi lingkungan hidup dan negara.

Dalam rangka menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam pada

masyarakat hukum adat Dayak, maka pengadilan harus secara serius

memperhatikan dua hal berikut:

a. Hukum adat.

Hukum adat penting untuk diperhatikan oleh hakim ketika ia memeriksa

konflik tanah dan sumber daya alam pada masyarakat hukum adat Dayak.

Hukum adat, selain bercerita tentang mekanisme distribusi tanah dalam

komunitas, hubungan hukum antara tanah dengan masyarakat hukum adat

Dayak, juga bercerita tentang sejarah penguasaan tanah. Berdasarkan

Page 74: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 74

sejarah itulah, pada umumnya masyarakat hukum adat Dayak mendasarkan

klaim mereka atas tanah dan sumber daya alam.

b. Perwakilan masyarakat hukum adat Dayak

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kepemimpinan tradisional dalam

masyarakat hukum adat Dayak tidak menjamin representasi masyarakat

hukum adat Dayak. Hal ini disebabkan karena dalam menghadapi konflik di

lapangan, orang cenderung tidak dapat membedakan mana kepentingan

individu dan mana kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Oleh sebab

itulah maka seringkali kepemimpinan tradisional pada masyarakat hukum

adat Dayak ini mengambil keputusan pragmatis yang menguntungkan

dirinya. Oleh sebab itu, maka hakim yang memeriksa perkara tanah dan

sumber daya alam pada masyarakat hukum adat Dayak harus dapat

mendorong agar saksi dari masyarakat hukum adat Dayak harus merupakan

representasi seluruh kelompok dalam masyarakat hukum adat Dayak.

2. Di luar pengadilan

Sejak awal para pihak yang bersengketa telah diperbolehkan untuk

menggunakan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaian

sengketa jenis ini difungsikan untuk mencapai kesepakatan mengenai

pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang

harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan atau guna menjamin tidak

akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Penjelasan terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan dilakukan

dengan cara menerangkan 3 aspek, yakni:

a. Jenis sengketa yang diperiksa dan diselesaikan.

Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya bisa memeriksa

dan mengadili perkara perdata dan administratif, tidak untuk perkara pidana

(UU Kehutanan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perlindungan

Konsumen serta UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Jadi,

perkara-perkara pidana masih merupakan kompetensi pengadilan. Dengan

kata lain, sengketa/konflik yang mengandung unsur publik masih merupakan

tanggung jawab negara.

b. Kedudukan para pihak.

Putusan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah bersifat

final. Bila para pihak tidak puas, maka mereka diperbolehkan untuk

meneruskan kasus bersangkutan ke pengadilan dengan mengajukan

gugatan. Ketentuan seperti ini terdapat di dalam UU Kehutanan, UU

Perlindungan Konsumen dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal yang

berbeda dirumuskan oleh UU HAM dan UU Arbitrase dan Penyelesaian

Sengketa Alternatif. Menurut UU HAM kesepakatan yang dicapai dalam

Page 75: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 75

proses mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang

sah. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan mediasi dalam jangka

waktu yang ditetapkan maka pihak lainnya dapat memintakan kepada

Pengadilan Negeri setempat agar putusan tersebut dapat dilaksanakan

(Pasal 96 ayat [3] dan[4]). Pernyataan yang tegas dirumuskan oleh UU

Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dengan mengatakan bahwa

pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3). Jadi, selain

penyelesaian lewat arbitrase, putusan penyelesaian di luar pengadilan untuk

kasus pelanggaran HAM, kehutanan, perkara konsumen dan lingkungan

hidup, tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

c. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa/konflik.

Pengaturan mengenai pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa di

luar pengadilan cenderung agak kabur. Satu-satunya yang agak jelas adalah

penyebutan istilah ‘pihak ketiga’. UU HAM menempatkan Komnas HAM

sebagai mediator bagi para pihak. UU Kehutanan dan UU Pengelolaan

Lingkungan Hidup menyebut pihak ketiga dan organisasi non-pemerintah

(Ornop). Sedangkan pihak-pihak yang bersengketa tidak dijelaskan

identitasnya. Apakah antar perorangan, perorangan dengan badan hukum,

perorangan dengan kelompok masyarakat, perorangan dengan badan

hukum atau antar badan hukum/kelompok masyarakat? Sebagai

perbandingan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memperkenalkan

sebuah lembaga bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam

rangka menyelesaikan konflik antara konsumen dengan pelaku usaha.

Badan ini hanya menyelesaikan sengketa perdata dan administrasi untuk

mencapai kesepakatan mengenai ganti rugi atau tindakan tertentu yang

harus dilakukan untuk menjamin tidak terulangnya kerugian konsumen

(Pasal 47). Pihak-pihak yang diperbolehkan mengajukan sengketa ke badan

ini adalah individu, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen (LSM)

yang berbentuk badan hukum.

Apabila UU Perlindungan Konsumen menghasilkan sebuah badan, maka UU

Pengelolaan Lingkungan Hidup melahirkan lembaga yang sifatnya tidak

terpusat. Dalam rangka penyelesaian sengketa di luar pengadilan UU ini

menyarankan terbentuknya lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian

sengketa lingkungan yang bersifat bebas dan tidak mengikat. Menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia

Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar

Pengadilan, lembaga ini bisa dibentuk oleh masyarakat maupun pemerintah.

Page 76: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 76

Bila lembaga tersebut dibentuk oleh masyarakat maka harus disahkan

dengan akte notaris.

F. Kewajiban Pemerintah Daerah

1. Kewajiban untuk memberikan pengakuan

Konstitusi memandatkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap

keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak diatur dalam undang-

undang. Ketentuan inilah yang mendasari lahirnya berbagai substansi

pengaturan tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak

dalam berbagai undang-undang sektoral sekaligus juga menjadi landasan

perlunya membentuk undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat

Dayak. Hampir semua peraturan perundang-undangan yang ada tentang

pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak

menyebutkan bahwa bentuk hukum pengakuan terhadap masyarakat hukum

adat Dayak adalah Peraturan Daerah.

Dalam rangka mencapai masyarakat hukum adat Dayak yang mandiri, berdaulat

dan bermartabat maka diperlukan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat Dayak. Pengakuan hukum terhadap

keberadaan masyarakat hukum adat Dayak dan hak-haknya dilaksanakan

melalui proses identifikasi diri sendiri yang dilakukan oleh masyarakat hukum

adat Dayak. Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi diri sendiri oleh

masyarakat hukum adat Dayak, Pemerintah Daerah bertanggung jawab

memfasilitasi masyarakat hukum adat Dayak melakukan pemetaan wilayah-

wilayah adat. Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan

bahwa peta-peta wilayah adat tersebut dijadikan sebagai rujukan dalam

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

2. Kewajiban untuk memberikan perlindungan

Pemerintah Daerah bertanggung jawab memastikan semua pihak yang terlibat

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan untuk menghormati

dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat Dayak beserta hak-

haknya. Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan adanya

proses konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat hukum adat Dayak secara

langsung dan/atau melalui perwakilan yang mereka sepakati agar bisa secara

bebas menentukan persetujuan sebelum menerima dan melaksanakan suatu

peraturan atau tindakan administratif yang mempengaruhi mereka. Pemerintah

Daerah bertanggung jawab untuk menyediakan mekanisme yang efektif untuk

mencegah:

Page 77: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 77

a. setiap tindakan yang bertujuan atau berakibat pada hilangnya keutuhan

mereka sebagai masyarakat hukum adat Dayak yang berbeda, atau

berakibat pada hilangnya nilai-nilai dan identitas budayanya,

b. setiap bentuk pemindahan masyarakat hukum adat Dayak yang mempunyai

tujuan atau akan berakibat pada dilanggar atau dikuranginya hak-hak

masyarakat hukum adat Dayak.

Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk bersama-sama dengan

masyarakat hukum adat Dayak, mengambil langkah-langkah untuk memastikan

bahwa perempuan dan anak anak dalam masyarakat hukum adat Dayak

menikmati perlindungan dan jaminan penuh sehingga bebas dari segala bentuk

pelanggaran dan diskriminasi.

Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan partisipasi penuh

dan efektif masyarakat hukum adat Dayak dalam pembuatan kebijakan dan

perencanaan program pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah-

wilayah adat dan berdampak terhadap mereka. Pemerintah Daerah

bertanggung jawab untuk mencegah setiap tindakan yang bertujuan atau akan

berakibat pada tercerabutnya masyarakat hukum adat Dayak dari tanah,

wilayah atau sumber daya alam mereka. Pemerintah Daerah bertanggung

jawab untuk menyelenggarakan pendidikan, akses informasi, dan partisipasi

masyarakat hukum adat Dayak serta mempromosikan kearifan local dalam

pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup

Page 78: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 78

BAB VI

PENUTUP

Dari uraian-uraian pada bab I – bab V, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak di

Kalimantan Timur sangat penting untuk diatur dalam peraturan daerah. Hal ini

tidak saja didasarkan pada fakta sosial di mana kehidupan masyarakat adat

semakin terdiskriminasi dan termarjinalkan, tetapi juga berkesesuaian dengan

hukum nasional, dan juga hukum internasional dan Hak Asasi Manusia.

2. Pengusulan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum

Adat Dayak, selain berkesesuaian dengan semangat otonomi daerah dan juga

mendorong masyarakat adat yang selama ini termarjinalkan, dapat mengangkat

kualitas hidup mereka sehingga masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan

Timur dapat berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat

secara budaya.

3. Materi muatan yang ada di dalam naskah akademik ini tidak saja berisikan tentang

hak-hak apa saja pada masyarakat hukum adat Dayak yang harus diakui dan

dilindungi, naskah akademik ini juga berisi tentang prinsip-prinsip yang harus ada

dalam sebuahperaturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat

hukum adat Dayak di Kalimantan Timur, juga berisikan tentang kewajiban

kewajiban negara dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum

adat Dayak , serta penyelesaian konflik yang berkaitan dengan masyarakat hukum

adat Dayak beserta wilayahnya.

Page 79: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 79

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Alqadrie, Syarif Ibrahim Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat: (Keterkaitan Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi) dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, LP3S-IDRD dengan PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994

Andasputra, Nico; Vincentius Julipin

Orang Kanayatnatau Orang Bukit? dalam Mencermati Dayak Kanayatn.Pontianak, Institute Dayakology Research and Development, 1997

Anh, To Thi

Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?. Jakarta, Gramedia, 1984 Anyang,Thambun

Dayak Taman Kalimantan: Studi Etnografis Organisasi Sosial danKekerabatan: Pendekatan Antropologi Hukum. Nijmegen, Nijmegen University Press, 1996

Appell, George

Preface and Introduction, dalam The Societies of Borneo: Explorations in the Theory of Cognatic Social Structure (George Appell, ed.), Washington, American Anthropological Association, 1976

Ave, Jan B.; Victor T. King

Borneo, the People of the Weeping Forests: Tradition and Change in Borneo. Leiden: National Museum of Ethnology, 1986

Ave, Jan B.; Victor T. King; Joke de Wit

West Kalimantan: A Bibliography. Leiden, Foris/KITLV, 1983 Awang, San Afri

Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta, Center for Critical Social Studies dan Kreasi Wacana, 2002

B. ter Haar Bzn

Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan Berpikir Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat. Jakarta, Bhratara, 1973

B. ter Haar Bzn Beginselen and Stelsel van het Adatrecht. Jakarta, Groningen, 1950

Bakker, Anton

Antropologi Metafisika. Kanisius, Yogyakarta, 2000

Page 80: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 80

Barker, Chris

Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005 Bertens K

Relativisme Budaya dan Relativisme Moral. Yogyakarta, Basis, 1990 Boelaars, Y

Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta, PT Gramedia, 1984

Bonoh, Yohanes

Lungun dan Upacara Adat. Samarinda, Proyek Pengembangan Permuseuman Provinsi Kalimantan Timur, 1985

Bordieu, Pierre

The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Cambridge, 1993. Brosius, J. Peter

Borneoan Forest Trade in Historical and Regional Perspective: The Case of Penan HunterGatherers of Sarawak, dalam Society and Non-timber Forest Products in Tropical Asia (J. Fox, ed.). Honolulu: East-West Center, 1995

Bushar, Muhammad

Asas-asas Hukum Adat. Suatu Pengantar. Jakarta, Pradnya Paramita, 1978 Coomans, Mikail

Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Jakarta, Gramedia, 1987 Crowfoot, James E.; Julia M. Wondoleck

Environmental Disputes: Community Involvement in Conflict Resolution. Washington DC, Island Press, 1990

Damanik, Erond L

Membangkitkan Budaya Lokal Sebagai Identitas Budaya Daerah. Makalah Lokakarya Budpar Sumut di Namurambe, 2009

Danandjaja, James

Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta, PT. Grafiti Pers, 1984 Danandjaja, James

Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Koentjaraningrat, ed.). Jakarta, Djambatan, 1979

Dove, Michael R

Page 81: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 81

Mitos Rumah Panjang Komunal dalam Pembangunan Pedesaan: Kasus Suku Kantu’ di Kalimantan, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Pembangunan (Michael R. Dove, ed.). Jakarta, Yayasan Obor, 1985

Dove, Michael R

Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 1985

Dove, Michael R

Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1988

Featherstone, Mike

Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Jakarta, Pustaka Pelajar, 2001. Freeman, Derek J

Report on the Iban. London School of Economic Study, Monograph on Social Anthropology, no. 41. New York: Anthlone Press, 1970

Freeman, Derek J

The Iban of Western Borneo, dalam Social Structure in Southeast Asia (GeorgeP. Murdock, ed.). Chicago, Quadrangle Press, 1960

Giddens, Anthony

A Contemporary Critique of Historical Materialism. London, Mac Millan Press Ltd, 1995.

Giddens, Anthony

Runaway World. London, Profile Book, 1999 Gramsci, Antonio

Selections from the Prison Notebooks, London, Lawrence and Wishart, 1971 H.A. Hoebel

The Law of Primitive Man. Cambridge, Mass, Harvard University Press, 1964 Harsono, Boedi

Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Djambatan, 2003

Harsono, Boedi

Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001. Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2002

Hartoko, Dick

Page 82: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 82

Relativisme Sebagai Metode dan Bahan Dasar dalam Antropologi Budaya. Yogyakarta, Basis, 1990

Herskovits, Melville J

The Reality of Culture, dalam “Setangkai Bunga Sosiologi”, himpunan Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964

Hirst, Paul

Globalisasi adalah Mitos. Jakarta. Obor Indonesia, 2001 Hoffman, Carl L

Punan Liar di Kalimantan: Alasan Ekonomis, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi (M. R. Dove, ed.). Jakarta, Yayasan Obor, 1985

Iskandar, Untung dan Agung Nugraha

Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan: Issue dan Agenda Mendesak. Yogyakarta, Debut Press, 2004

Jawan, Jayum Anak

Iban Politics and Economic Development: Their Patterns and Change. Bangi,Selangor, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1994

Karober, A.L dan Clyde Kluckhohn

Culture, A Critical review of Concepts and Definitions. New York, Vintage Books, 1963

Kartawinata, Ade M

Masyarakat Punan di Kalimantan Barat, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia (Koentjaraningrat, ed.). Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993

Kedit, Peter M

Iban Bejalai. Kuala Lumpur, Goldana Corp. Sdn. Bhd, 1993 Kertodipoero, Sarwoto

Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghuluan Kalimantan. Bandung, Penerbit Sumur, 1963

King, Victor T

The Maloh of West Kalimantan: Ethnographic Study of Social Inequality and Social Change among an Indonesian Borneo People. Dordrecht, Foris, 1985

King, Victor T

Page 83: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 83

The Maloh, dalam Essays on Borneo Societies (Victor T. King, ed.), Hull Monographs on Southeast Asia. Hull, Oxford Univ, Press. 1978

King, Victor T

Some Aspects of Iban-Maloh Contact in West Kalimantan. New York, Cornell University Press, 1976

Kleden, Ignas

Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta, LP3ES, 1986 Koentjaraningrat

Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992

Lakon, Frans; Paulus Unjing; Vitalis Andi; Elias Ngiuk, Sujarni Alloy

Local Wisdom to Ensure Effective Roles Of Indigenous People In The Proccess Of Redd. Case Study On Dahas Of Dayak Jalai Indigenous People And Tonah Colap Dayak Simpakng In Ketapang Regency, West Kalimantan Province, Indonesia. ID-AMAN Kalbar- Tebtebba, 2010

Langub, Jay L Penan Response to Change and Development, dalam Borneo in Transition: People, Forests, Conservation and Development (Christine Padoch dan Nancy Peluso). Kuala Lumpur, Oxford University Press, 1996

Lembaga Bina Benua Puti Jaji dan Japan NGO Network on Indonesia

Membedah Sejarah Masyarakat Adat Dayak. Samarinda, Puti Jaji, 1998 Lembaga Bina Benua Puti Jaji dan Jaringan Pembelaan Hak Masyarakat Adat

Agenda Reformasi: Menata Kembali Hubungan Negara dan Masyarakat Adat, Jakarta, Japhama, 1998

Lembaga Bina Benua Puti Jaji, Telapak, Madanika

Planting Disaster Menanam Bencana: Keanekaragaman Hayati, Sosial Ekonomi dan Pelanggaran HAM dalam Perkebunan Besar Sawit di Indonesia. Jakarta, Sawit Watch, 2000

Magnis Suseno, Franz

Kebudayaan Sebuah Komoditas, dalam buku Filsafat Kebudayaan Politik: Butir Butir Pemikiran Kristis. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992

Marzali, Amri

Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (EKM. Masinambow, ed.). Jakarta, Asosiasi Antropologi Indonesiadan Yayasan Obor, 1997

Page 84: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 84

Mertokusumo, Sudikno

Mengenal Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1996 Mertokusumo, Sudikno

Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1983

Mochammad, Tauchid

Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Jakarta, Tjakrawala, 1952

Mubyarto

Desa-desa Kalimantan Studi Bina Desa Pedalaman Kalimantan Tengah. Yogyakarta, Aditya Media, 1993

Ngo, Mering Nested Disputes: Promoting A Structural Mediation Process for the Punan in Bentuang Karimun National Park, West Kalimantan, dalam Conflict andCollaboration in Community Management of Forest Lands (J. Fox, L. Fischer, dan C. Cook, ed.). Honolulu, Hawai, East-West Center, 1997

Ngo, Mering

A New Perspective on Property Rights: Examples from the Kayan of Kalimantan, dalam Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development (C. Padoch dan N. Peluso, ed.). Kuala Lumpur, Oxford Univ. Press, 1996

Ngo, Mering

Orang Bukat: Penghuni Hutan Lebat Kalimantan Barat.Jakarta, PT. Sinar Harapan, 1986

Ngo, Mering

Ketika Menjadi Praktisi dan Pialang Kultural: Pengalaman dalam Tiga Proyek Kehutanan, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (E.K.M. Masinambow, ed.). Jakarta, Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor, 1997

Nieuwenhuis, Anton W

Di Pedalaman Kalimantan Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994

Nieuwenhuis, Anton W

In Central Kalimantan. Leiden, E.J. Brill, 1900 Noer Fauzi (ed.)

Page 85: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 85

Tanah dan Pembangunan. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997 Noer Fauzi

Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Indonesia Pasca Kolonial. Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2001

Onghokham

Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta, PT. Gramedia, 1984

Padoch, Chistine

Migration and Its Alternatives among the Iban of Sarawak. The Hague: Martius Nijhoff dan KITLV, 1982

Parlindungan. A.P

Komentar Atas Undang-undang Penataan Ruang, UU No. 24 Tahun 1992. Bandung, Mandar Maju, 1993

Parlindungan. A.P

Konversi Hak-hak Atas Tanah. Bandung, Mandar Maju, 1990 Pendzich, C.; G. Thomas dan T. Wohigenant

The Role of Alternative Conflict Management in Community Forestry, dalam Forests, Trees, and People. Rome, FAO, 1994

Quack, Anton

Inkulturasi Sebuah Perspektif Antropologis, dalam Iman dan Transformasi Budaya, Editor Georg Kirchberger SVD dan John Mansford Prior SVD. Ende, Penerbit Nusa Indah, 1996

R. van Dijk

Pengantar Hukum Adat Indonesia. Jakarta, Penerbit Sumur Bandung, 1979 Rahardjo, Dawam

Ekonomi dan Ekologi dalam Perspektif Islam, pada buku “Iman Ekonomi dan Ekologi Refleksi Lintas Ilmu dan Lintas Agama”, editor J.B. Banawiratma SJ. Yogyakarta, Kanisius, Yogjakarta, 1996

Riwut, Tjilik

Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaannya. Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1993

Rousseau, Jerome

Page 86: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 86

The Kayan, dalam Essays on Borneo Societies (Victor T. King, ed.), Hull Monographs on Southeast Asia. Hull, Oxford University Press, 1978

Scharer, Hans

Ngaju Religion The Conception of God among a South Borneo People, , The Hague, Martinus Nijhoff, 1963

Schumacher E.F

Kecil Itu Indah Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil. Jakarta, LP3ES, 1980

Sellato, Bernard

Naga dan Burung Enggang: Hornbill and Dragon Kalimantan - Sarawak - Sabah – Brunei. ELF Aquitaine Indonesie - ELF Aquitaine Malaysia, 1989

Sellato, Bernard

Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down. Honolulu, University of Hawai Press, 1994

Sembiring, Sulaiman N Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta, ICEL, 1999

Soekanto, Soerjono

Kamus Sosiologi. Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1983 Soekanto.Soerjono

Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Mempelajari Hukum Adat. Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1983

Soemardjan, Selo dan Soeleman Soemardi

The Reality of Culture, dalam “Setangkai Bunga Sosiologi”, Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964

Soepomo

Bab-bab Tentang Hukum Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita, 1979 Sumardjono, Maria S.W

Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001

Sutlive, Vinson H

The Iban of Sarawak: Chronicle of a Vanishing World. Kuala Lumpur, S. Abdul Majeed & Co. and Waveland Press, 1992

Teluki. A

Page 87: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 87

Perbandingan Hak Milik Atas Tanah dan Recht van Eigendom. Bandung, PT Eresco, 1966

Ukur, Fridolin

Makna Religi dari Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, LP3S-IDRD - PT Gramedia Widiasarana, 1994

Uljee, G.L

Handboek voor de Residentie Westerafdeling van Borneo [Buku Pegangan bagi Keresidenan Kalimantan Bagian Barat]. Weltervreden, Visser, 1925

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Timur

Catatan Tutup Tahun 2008 “Menebar Bencana Ekologis Di Kalimantan Timur”. Samarinda, Walhi Kaltim, 2009

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Penghancuran Secara Sistematis Sistem-Sistem Adat oleh Kelompok Dominan (Arimbi Heroe Poetri, ed). Jakarta, WALHI, 1998

Weinstock, Joseph Aaron

Kaharingan and the Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central East Borneo, Cornell University, 1983

Weintré, Johan

Beberapa Penggal Kehidupan Dayak Kanayatan. Kekayaan Ritual dan Keaneka-ragaman Pertanian di Hutan Kalimantan Barat. Pusat Studi Kebudayaan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 2004

Widen, Nimer

Orang Maanyan: Dipersatukan oleh Darah, dalam “Kurban yang Berbau Harum”. Palangkaraya, BPP PGI dan Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, 1995

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Desa Budaya Lung Anai: Dilema Invensi Budaya yang Sirna dan Siasat Penguasaan Sumber Daya Alam. Dalam “Bersatu Membangun Kuasa Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral”. Perkumpulan Praxis, Jakarta, 2010

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Festival Erau dan Politisasi Etnik. Dalam buku Bergerak untuk Daulat Keragaman Perlawanan Menuju Daulat Rakyat. Perkumpulan Praxis, Jakarta, 2011

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Huruf Dayak Hampir Punah. Samarinda, Yayasan Plasma, 1991 Widjono AMZ, Roedy Haryo

Page 88: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 88

Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta, PT. Grasindo, 1998 Widjono AMZ, Roedy Haryo

Pemanfaatan Tumbuhan Obat Hutan Warisan Kearifan Leluhur Komunitas Adat Dayak. Samarinda, Mapflofa Fahutan Unmul dengan Yayasan Kehati, 1998

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Prahara Budaya dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam. Refleksi Peradaban Komunitas Adat di Kalimantan, dalam “Menguak Tabir Kelola Alam, Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur dalam Kacamata Desentralisasi”. Samarinda, APKSA, 2001

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Revitalisasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam “Menjadi Tuan di Tanah Sendiri: Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur”, Sulaiman N. Sembiring dkk. Samarinda, APKSA, 2000

Wignjodipuro, Surojo

Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Bandung, Penerbit Alumni, 1979

B. Peraturan Perundang-undangan

Convention ILO Nomor. C 169, Tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal People in Independent Countries 140

Instruksi Menteri Dalam Negeri

Nomor 17/1989 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat di Wilayah Desa/Kelurahan

Keputusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Adat Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor. 31/Kpts-II/2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Nomor. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor. 11/Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa dan Kelurahan

Page 89: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 89

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah

Peraturan Pemerintah

Nomor 21 Tahun 1970 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan

Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi

Peraturan Pemerintah

Nomor. 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 B ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan (4)

Undang-undang

Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Undang-undang

Nomor. 5 Tahun 1970 tentang Pemerintahan Desa Undang-undang

Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Undang-undang

Page 90: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 90

Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

Undang-Undang

Nomor. 11 Tahun 2005 Ratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Undang-Undang

Nomor. 12 tahun 2005 Ratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Undang-undang

Nomor.29 Tahun 1999 Ratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial

Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan

Page 91: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 91

C. Makalah/Jurnal/Kertas Posisi Amy, Douglas J

The Politics of Environmental Mediation, dalam Ecology Law Quarterly, vol. 11, no. 1, hlm. 1-20, 1983

Atok, Kristianus

Pemetaan Partisipatif Kawasan Sumber Daya Alam Masyarakat Dayak Punan di sekitar Taman Nasional Bentuang Karimun. Makalah disampaikan pada Lokakarya Taman Nasional Bentuang Karimun di Perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Ditjen PHPA, Dephutbun., ITTO, Yayasan WWF Indonesia, dan Pemda Kalimantan Barat. Pontianak, 13-14 November, 1996

Bamba, John

Jalan Buntu Menuju Sebayan, Basis, Nomor. 09-10, Tahun 49, September-Oktober 2000

Bamba, John

Multikulturalisme Dayak dan Prospek Rekonsiliasi di Kalimantan, Media Indonesia, 10 Desember 2001

Bernstein, Jay H

The Gender of Plants and Inanimate Objects: Ethnobotany and Symbolic Representation in Borneo.Makalah disampaikan pada Fourth Biennial International Conference of the Borneo Research Council, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 10-15 Juni1996

Colchester, Marcus dan Maurizio Farhan Ferrari

Menjadikan FPIC (Prinsip Persetujuan Tanpa Paksaan atas dasar Informasi Awal) Berjalan: Tantangan dan Peluang bagi Masyarakat Adat. Forest Peoples Programme, Moreton-in-Marsh, Juni 2007

Devung, Simon

Deskripsi Lengkap Adat Penanaman Padi Lalii’ Ugaal, makalah pada Seminar Adat Dayak se Kabupaten Kutai, diselenggarakan LP2SM Daya Sejahtera, Tenggarong, November 1990

Dingit, Loir Botor

Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat: Kepastian Hukum Kawasan Tanah Adat, dalam: Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara. Jakarta, 15-16 Maret, 1999

Dove, Michael R

Studi Kasus tentang Sistem Perladangan Suku Kantu’ di Kalimantan, dalam Prisma, no. 4, hlm. 63-77. Jakarta, LP3ES, 1981

Page 92: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 92

Faizal, Elly Burhaini

Ekonomi Versus Ekologi. Eksploitasi Hutan Lindung, Suara Pembaruan, 22 April 2003

Frans L.S, Jacobus E. dkk

Hak Milik Tradisional Atas Tanah Berdasarkan Hukum Adat pada Masyarakat Dayak Kenyah di Kecamatan Long Pujungan. Samarinda: WWF, 1995

Harrison, Tom

The Malohs of Kalimantan: Ethnological Notes, dalam Sarawak Museum Journal, No. 13, hlm. 236-350. Kuching: Sarawak Museum, 1965

Hoffman, Carl L

Some Notes on the Origins of the Punan of Borneo,” dalam Borneo Research Bulletin, Vol. 13, No. 2, hlm. 71-75. Williamsburg, Borneo Research Council, 1981

J. Sudarminta

Filsafat Organisme Whitehead dan Etika Lingkungan Hidup, Majalah Filsafat Driyarkara, Thn. XIX No. 1, 1992/1993

Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi BidKomLing dan Pemberdayaan Masyarakat

Kertas Posisi Pengetahuan Tradisional Sebagai Bagian Kearifan Lokal Dari Masyarakat Hukum Adat Yang Terkait Dengan Sumber Daya Genetik Dalam Protokol Nagoya, Jakarta, 2011

King, Victor T

Notes on Punan and Bukat in West Kalimantan,Borneo Research Bulletin, no. 6, hlm. 31-38. Williamsburg, Virginia: Borneo Research Council, 1974

Layang, S. Jacobus E.F

The Death Rituals of the Banuaka’ Dayak of Kapuas Regency, West Kalimantan. Makalah disampaikan pada Second Biennial International Conference of the Borneo Research Council. Kota Kinabalu, Sabah 5-10 Juli1992

Majalah Filsafat Driyarkara

Manusia Dibalik Akar-Akar Problematika Lingkungan Hidup, Tahun. XIX, No. 1, 1992/1993

Mar’iyah, Chusnul

Demokrasi, Prasyarat Tumbuhnya Masyarakat Multikultur, tentang Feminisme, Multikulturalisme dan Kesetaraan Gender, Media Indonesia, 10 Desember 2001

Mardigjo

Page 93: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 93

Tinjauan Tentang Hak Ulayat di Kalimantan. Kodam VI, Tanjungpura. Balikpapan, 1991

Mills, John A

Legal Constructions of Cultural Identity in Latin America. An Argument Against Defining Indigenous People. Texas Hispanic Journal of Law & Policy, vol. 8 no. 49

Muller Karl, David Pickell

Kalimantan Indonesian Borneo. Singapore Journal: Eric Oey, 1996 Nababan, Abdon

Kearifan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat: Awal bagi Pengabadian pada Keberlanjutan Kehidupan. AMAN, Juli, 2002

Nababan, Abdon

Mengembalikan Kedaulatan Masyarakat Adat atas Wilayah Adat: Prakarsa Masyarakat Adat. Makalah pada Perspektif Tanah Adat/Ulayat dan Pendekatan Komprehensif Penyelesaian Konflik Tanah. Departemen Dalam Negeri 19-20 Juni 2002

Nasution, Muslimin

Hutan dan Persoalan Tanah Ulayat, makalah yang disampaikan dalam acara "Roundtable Discussion" menuju kepada Pemilikan Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, Komnas HAM Indonesia di Hotel Indonesia, 24 Maret 1999

Ngo, Mering

Etnografi Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Dayak di dalam dan sekitar Taman Nasional Bentuang Karimun, Kalimantan Barat: Beberapa Implikasi terhadap Pengelolaan Kawasan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Taman Nasional Bentuang Karimun. Pontianak, 13-14 November1996

Ngo, Mering

Hak Ulayat Masyarakat Setempat: Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai, dalam Prisma, no. 6, hlm. 51-58. Jakarta, LP3ES, 1992

Ngo, Mering

Les Ancestres, les Chefs et leurs Descendants [Para Leluhur, Pemimpin, dan Keturunannya], dalam Borneo: Des Chasseurs de Tetes aux Ecologistes (A.Guerreiro dan P. Couderc, ed.), Autrement No. 52, hlm. 118-124. Paris, 1991

. Ngo, Mering

Antara Pemilik dan Pemanfaat: Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di Kalimantan Barat, dalam Prisma, no. 4, hlm. 73-86. Jakarta, LP3ES, 1989

Ngo, Mering

Page 94: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 94

Dekat dengan Hutan, Jauh dari Kekuasaan: Marjinalitas Struktural Orang Bukat dan Punan, Prisma, vol. 27, no. 1, hlm. 61-74. Jakarta: LP3ES, 1998

Ngo, Mering

Redefinisi Pembangunan Sumber Daya Alam: Sebuah Komentar atas Studi JICA”, dalam Harian Suaka, no. 27, 17-20 Desember1998

Raden, Bestari dan Abdon Nababan

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat: Antara Konsep dan Realitas, Makalah dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Senayan-Jakarta, 25-28 Oktober 2001

Rahmina

Peluang dan Tantangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Hutan Desa).Pusat Kajian dan Layanan Hukum FH Uniba,Samarinda, 13-14 April 2011

Ruwiastuti, Maria R

Menuju Pluralisme Hukum Agraria. Analisa dan kritik terhadap marginalisasi posisi hukum-hukum dan hak-hak adat penduduk asli atas tanah dan sumber-sumber agraria oleh pembuat undang-undang Pokok Agraria (UUP 1960). Kertas Posisi (Position Paper). Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria. No. 06, 1998

Singarimbun, Masri

Beberapa Aspek Kehidupan Masyarakat Dayak, Buletin Humaniora, Fakultas Sastra UGM, Nomor 3, Yogyakarta, 1991

Soesangbeng, Herman

Keberpihakan Pada Masyarakat Lokal Dalam Kebijakan Pertanahan Merupakan Prasyarat Bentuk-bentuk Kemitraan Lokal. Makalah dalam: Seminar Hasil Studi Hak-Hak Tradisional Atas Tanah di Indonesia. Jakarta, Universitas Katolik Atma Jaya dan Puslitbang BPN, 1 Desember 1998

Suarnatha, I Komang

Dampak Globalisasi Terhadap Budaya Lokal dan Perilaku Masyarakat, Majalah Sinar Agung, Edisi IV, 2008

Suparlan, Parsudi

Indonesia Baru dalam Perspektif Multikulturalisme, Media Indonesia, 10 Desember 2001

Surbakti. Ramlan

Pluralisme Daerah Otonom dan Pluralisme Otonomi Daerah, Media Indonesia, 10 Desember 2002

Ukur, Fridolin

Page 95: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 95

Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak, makalah Seminar Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak, 1992

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Belian Ritual yang Tersisa dari Peradaban Silam. Majalah Srinthil, Jakarta, 2010 Widjono AMZ,Roedy Haryo

Episentrum Payung Hukum Kawasan Kelola Bersama Berbasis Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik. Kertas Posisi Perkumpulan Menapak Indonesia, Februari 2013

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Kubur di Awang-awang: Perjumpaan Makna Tradisi dan Agama. Majalah Gong, Yogjakarta, 2010

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Merebut Kedaulatan Masyarakat Adat: Suplemen Informasi pada Pertemuan Konsolidasi Masyarakat Adat Dayak. Nomaden Institute for Cross Cultural Studies, Long Hubung, Kutai Barat, 24-26 Mei 2012

Widjono AMZ,Roedy Haryo

Otonomi Kampung: Ikhtiar Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat Dayak, Kertas Posisi Nomaden Institute for Cross Cultural Studies, November, 2010

Widjono AMZ, Roedy Haryo

Sejarah adalah Guru Kehidupan dan Pesan dari Masa Silam: Aktualisasi Spirit Budaya Dayak - Dialektika Kearifan Tradisi dan Globalisasi. Makalah Seminar Pesta Seni Budaya Dayak Se-Kalimantan, Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gajah Mada, Jogyakarta, 20 Oktober 2012

Yudana, I Gede Agung dan Roedy Haryo Widjono AMZ

Tato: Kriminal dan Tradisi, Majalah Intisari, No. 362, September 1993 D. Studi/Penelitian Arman, Syamsuni

Socio-economic Study of Bentuang Karimun National Park, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan Province. Pontianak, Penelitian Yayasan WWF Indonesia, 1997

Azis, Abdul (Ed.)

Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Daerah Kalimantan Timur, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Dit. Sejarah Nilai Tradisional, Dep. P & K, Jakarta 1985

Page 96: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 96

Departemen Kehakiman-BPHN Hukum Adat dan Lembaga Adat di Kalimantan Timur, Kerjasama BPHN Departemen Kehakiman dengan Universitas Mulawarman. Penelitian tentang “Hukum Adat dan Lembaga Adat di Kalimantan Timur. Samarinda, 1987

Chaniago, Izefri

Pengkajian terhadap Kesinambungan Dua Sumberdaya Alam, Gaharu dan Sarang Burung Walet, dan Prospek Pengembangannya di Kawasan Taman Nasional Bentuang Karimun, Kalimantan Barat. Pontianak: Laporan PenelitianYayasanWWF Indonesia, 1997

Direktorat Jenderal Agraria

Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanahan: MasalahTanah Suku, Tanah Pertambangan, Tanah Kehutanan, Tanah untuk Keperluan Pembangunan/Umum di Kalimantan Timur. Direktorat Jenderal Agraria. Jakarta, 1972/1973

Komnas HAM

Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat. Penelitian berdasarkan Keputusan Penanggung Jawab Tim Pengendalian dan Pengawasan Program Penelitian pada Komisi Hukum Nasional, Nomor, 33 Tahun 2004, 5 Agustus 2004, Tentang Penugasan Pelaksanaan Program Penelitian Discriminative Legislation and Gender Issues

Ngo, Mering

Incorporating Socio-cultural Assessment and Structural Participation into Betung Kerihun National Park: An Expedition Report on the Iban and Tamambaloh in Embaloh Region, West Kalimantan. Laporan ekspedisi ITTO-WWF Indonesia, 1997

Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Departemen Dalam Negeri

Penelitian Tentang Integrasi Hak Ulayat di 20 Propinsi di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1992

Tjondronegoro, Sediono MP

Property Rights dalam Pengelolaan Hutan, dalam Didik Suharjito (ed.), Hak-hak Penguasan atas Hutan di Indonesia, Bogor: Program Penelitian dan pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM), 1999

Wariso, RAM

Suku Dayak Punan: Sebuah Laporan Survey Sosial di Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Laporan penelitian untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura dan Departemen Sosial. Pontianak, 1971.

Page 97: Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Draft 1 Naskah Akademik

Raperda PP Masyarakat Adat Dayak 97

E. Tesis/Disertasi Diposiswoyo, Mudiyono

Tradition et Changement Sociale: Etude Ethnographique des Taman de Kalimantan Quest [Tradisi dan Perubahan Sosial: Studi Etnografi Orang Taman di Kalimantan Barat]. Disertasi Doktor Antropologi pada Ecole de Hautes Etudes en Sciences (EHESS), Paris, 1985

Elmiyah, Nurul

Negara dan Masysarakat Adat: Studi Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun, Kalimantan Timur. Disertasi Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2003

Jatiman, Sardjono

Dari Kampung Menjadi Desa: Studi Sosiologi Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Disertasi Doktor Sosiologi pada Universitas Indonesia, Jakarta, 1995

Ngo, Mering

Luma’ Umaa’: Kajian Perladangan Ulang Alik Orang Kayan di Desa Padua, Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tesis Sarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1988

Rousseau, Jerome

The Social Organization of Baluy Kayan. Disertasi Doktor Antropologi pada University of Cambridge, 1974