MUNĀSABAH DALAM SŪRAH AL JUMU’AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37512/2/NELFI...
Transcript of MUNĀSABAH DALAM SŪRAH AL JUMU’AHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37512/2/NELFI...
MUNĀSABAH DALAM SŪRAH AL-JUMU’AH
(Kajian Munāsabah Pada Tafsir Al- Asās Karya Saʻīd
Hawwā )
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Nelfi Westi
NIM: 1113034000033
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/ 2017 M
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ii
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏammah و
iii
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ا
Ī i dengan daris di atas ي
Ū u dengan garis di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-syamsiyyah,
al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut,
seperti السنت = al-sunnah.
6. Ta marbūṯah
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abū Hurairah.
iv
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhāri.
v
ABSTRAK
NELFI WESTI
Munāsabah Dalam Sūrah al-Jumu’ah (Kajian Munāsabah Pada Tafsir al-Asās
karya Saʻīd Hawwā )
Al-Qur‟an adalah sebuah kitab suci yang tentu memiliki keistimewaan dan
keistimewaan itu merupakan anugerah Allah Swt bagi umat Islam. Al-Qur`an
merupakan sumber ajaran yang utuh dan komprehensif. Keutuhan dan komprehensif
al-Qur`an dapat terungkap pada utuhnya pesan yang dikemukakan al-Qur`an.
Mengungkapkan korelasi antar ayat dan antar sūrah dapat membantu kita memahami
al-Qur‟an dengan utuh. Namun, pada zaman sekarang banyak umat Islam menyikapi
al-Qur`an tidak keseluruhan. Tidak melihat satu ayat itu sesudah atau sebelumnya.
Sehingga seringkali pada zaman sekarang hanya mengambil ayat-ayat tertentu yang
mendukung pendapat mereka atau pemikiran mereka, dan saat yang sama mereka
menghindari ayat-ayat yang bertentangan dengan pemikiran mereka. Penelitian ini
bertujuan untuk untuk mengetahui secara mendalam dan komprehensif konsep
munāsabah antar ayat dan antar sūrah yang digunakan Saʻīd Hawwā dalam
menafsirkan sūrah al-Jumu‟ah dalam karyanya al-Asās Fī al-Tafsīr.
Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka
Library Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan
masalah terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitis.
Setelah melakukan kajian tentang munāsabah sūrah al-Jumu‟ah dapat
disimpulkan beberapa hasil dari penelitian ini, bahwa Saʻīd Hawwā mengklasifikasi
sūrah al-Jumu‟ah ini menjadi tiga kelompok. Munāsabah yang dihasilkan adalah
munāsabah antar sūrah sebelumnya dan antar ayat. Munāsabah antar sūrah yaitu
awal sūrah al-Jumu‟ah dan akhir sūrah al-Saff diletakkan di penutup dari penafsiran
sūrah al-Jumu‟ah. Dan munāsabah antara ayat tidak per ayat tetapi
mengkelompokkan ayat dari sūrah al-Jumu‟ah seperti hal nya sūrah al-Jumu‟ah
diklafikasikan menjadi 3 kelompok. Munāsabah baru dijelaskan pada awal setiap
kelompok ayat dan mengaitkan kandungan ayat-ayat tersebut secara global.
Kata kunci: munāsabah,Saʻīd Hawwā, al-Jumu’ah
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah Swt atas segala
rahmat dan kehendak-Nya, yang menyinari hamba Nya dengan cahaya al-Qur`an, dan
menjadikan al-Qur`an sebagai obat penyakit hati, petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang mukmin, sehingga dengan taufiq-Nya penulisan skripsi yang berjudul
“Munāsabah sūrah al-Jumu‟ah (Kajian munāsabah Pada Tafsir al-Asās karya Saʻīd
Hawwā)” ini, alhamdulillah dapat diselesaikan. Demikian juga, Salawat serta Salām
semoga selalu tercurahkan untuk baginda Muẖammad Saw. Sebagai karya tulis saya
yang jauh dari kata sempurna. Tentunya di dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti
keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa objek
yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai usaha
mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “Munāsabah al-Qur`ān”
penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bimbingan, bantuan, arahan, motivasi dan kontrubusi banyak pihak. Ucapan terima
kasih yang tulus dan tak terbilang penulis haturkan kepada para dosen, keluarga, para
guru kehidupan, para sahabat dan teman-teman, sehingga penulis mampu mengatasi
segala hambatan yang menerpa. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan terima kasih seluas-luasnya kepada:
vii
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan Bapak Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi
Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an
dan Tafsir.
2. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA., selaku dosen pembimbing penulis
yang telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis,
sehingga skripsi dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya
jika selama proses bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga Ibu
selalu sehat dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Amin.
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.
4. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA dan Bapak Dr. Hasani Ahmad Said,
Ma, selaku dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan
serta kritikan yang membangun sangat penulis rasakan untuk menghasilkan
skripsi yang lebih berkualitas.
5. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu
al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan
wawasan dan pengalaman yang telah diberikan. Kepada seluruh staf dan
karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua orang tua terkasih, Bapak Afrizal dan Ibu Syafinar yang telah
merangkai doa-doa indah, memotivasi, menginspirasi, membiayai,
mendidik, mendukung, memberi semangat dan nasehat-nasehat istimewa
untuk penulis. Tak lupa juga terima kasih untuk kakak satu-satunya Uni
Arliza dan kakak ipar Uda Edwar dan keponakan Ihsan Kamil yang telah
memberikan senyuman semangat kepada penulis. Keluarga besar yang turut
memberikan semangat kepada penulis kepada: mak Edi dan keluarga, wan
Katik Des, kak Salma, Kak Dewi, Len, dan juga seluruh keluarga besar
Nenek Nurlina dan Nenek Raina yang telah memberikan dukungan dan
motivasi kehidupan untuk penulis.
8. Guru-guru penulis, Buya M. Pakiah Mangkuto (alm) dan seluruh guru di
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Pariangan yang telah menjadi bagian
terpenting dalam perjalanan keilmuan penulis. Bapak Khaidir dan Ibu
Misnawati yang telah mengajarkan membaca al-Qur`an ketika penulis
masih kecil.
9. Teman-teman seperjuangan. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Tafsir
Hadis angkatan 2013, khususnya TH A: Salman, Nasrul, Faris, Ica, Ira,
Gisda, Bekti, mba Pijoh, Dedeh, Rino, Halim, Mukhlis, dan Andrian dan
lain-lain, maafkan tidak dapat tertuliskan seluruh nama-nama kalian
seangkatan, tapi percayalah pertemanan kita akan selalu dikenang. kepada
roommate: Tiya, Nia, Yeni, Nihaya, Nova, Terima Kasih telah menemaniku
ix
selama kita satu kamar, semoga Allah memudahkan segala urusan kalian.
Amin.
10. Teman-teman sejati. Kepada Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu bersama
dari TK, SD, MTS, MA dan sampai saat ini: Ari, Iir, Saiful yang sudah
punya kesibukkan masing-masing dan jarang bertemu tapi tetap
memberikan semangatnya kepadaku. Tidak lupa juga kepada: Desi, Refni,
Nopi, Nelvia, Ilel, Tika, Aulia, Rahmi, dan lain-lain terima kasih telah
banyak memotivasi penulis semoga kita menjadi sahabat selamanya.
11. Teman-teman organisasai. Terima kasih kepada seluruh Ikhwan-Akhwat
LDK Syahid, khususnya Komda Ushuluddin dan Biro Kestari LDK Syahid
20, kepada semua teman-teman yang tergabung dalam FORMABI (Forum
Mahasiswa Bidik Misi) 2013, dan Komunitas Saung, penulis ucapkan
terima kasih atas persahabatan yang telah terbina selama berada di bangku
perkuliahan.
12. Teman-Teman KKN Omikron: Tika, Husnul, Astiti, Cipa, Ani, Robi, Iqbal,
Aziz, Santo, dan Dimas, kebersamaan dengan kalian selama kurang lebih
sebulan semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa Legok Sukamaju
dan pelajaran berharga buat kita. Good Luck buat kita.
13. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Jakarta, September 2017
Nelfi Westi
x
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat penelitian ..................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 11
E. Metode Penelitian ......................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II: TEORI MUNĀSABAH AL-QUR’ĀN
A. Pengertian Munāsabah ................................................................... 17
B. Sudut pandang ahli ilmu Qur`an ..................................................... 19
C. Sebab muncul Ilmu munāsabah ...................................................... 23
D. Macam-Macam Munāsabah ........................................................... 30
BAB III: PROFIL SA’ID HAWWA DAN KITAB TAFSIRNYA
A. Sa‟id Hawwa
1. Biografi Sa‟id Hawwa .............................................................. 39
2. Karya-karya Sa‟id Hawwa ........................................................ 43
xi
B. Profil Tafsir al-Asās Fī al-Tafsīr
1. Latar belakang penulisan .......................................................... 46
2. Metode dan corak penafsiran .................................................... 46
3. Sumber penafsiran dan referensi mufassīr ................................ 49
4. Sistematika penulisan .............................................................. 50
BAB IV : POLA PENAFSIRAN DALAM SŪRAH AL-JUMU’AH
MENURUT SAʻĪD HAWWĀ
A. Mukadimah sūrah al-Jumu‟ah.
1. Pengenalan sūrah al-Jumu‟ah ................................................. 53
2. Kandungan sūrah al-Jumu‟ah ................................................. 59
3. Ringkasan Saʻīd Hawwā Dalam menafsirkan sūrah al-Jumu‟ah
................................................................................................. 60
B. Pola penafsiran sūrah al-Jumu‟ah.
1. Pola penafsiran sūrah al-Jumu‟ah .......................................... 63
2. Munāsabah ............................................................................. 67
3. Munāsabah Saʻīd Hawwā dalam timbangan penulis ............. 69
BAB V : PENUTUP
A. KESIMPULAN ............................................................................ 72
B. SARAN ......................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah firman-firman Allah Swt yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril sesuai dengan redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad Saw,
al-Qur`an didalamnya terdapat dasar-dasar ajaran Islam. Al-Qur`an
mengkaji segala perintah atau larangan, yang halal dan haram, baik atau
buruk maupun kisah-kisah masa lampau. Al-Qur`an turun sedikit demi
sedikit selama sekitar 22 tahun lebih.1 Tujuan diturunkannya secara
berangsur-angsur adalah beberapa diantaranya meneguhkan hati
Rasulullah Saw Terhadap kebenaran dan memperkokoh azamnya untuk
tetap berdakwah, dan juga sebagai mukjizat, dan relevan dengan peristiwa,
dan tahapan dalam penetapan hukum.2
Al-Qur`an apa yang tertuliskan di dalamnya merupakan ajaran
yang harus dipegang oleh umat Islam. Untuk memahami al-Qur`an tidak
bisa hanya dibaca yang tersurat saja, namun dalam menyingkapkan makna
yang tersirat atau mengungkap isi-isi al-Qur`an ini lah yang diberikan oleh
tafsir. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui isi
kandungan al-Qur`an dan juga perhatian khusus para ulama dalam
menjelaskan kandungan al-Qur`an. Banyak pula bermunculan kitab-kitab
tafsir yang beraneka ragam metode ataupun coraknya.
Dengan banyaknya kita-kitab tafsir dan berbagai latar belakang
mufassīr menulisnya baik dari segi coraknya, metodenya dan
1 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. XX.
2 Manna al-Qaṯṯan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ān. penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Al-Kautsar, 2006), h. 134.
2
menggunakan berbagai pendekatan agar bisa memahami teks al-Qur`an
oleh para ulama kemudian dikumpulkan dalam sebuah displin ilmu yang
bernama “Ulūm al-Qur`ān.”
Dari sekian banyak tentang „Ulūm al-Qur`ān, salah satunya adalah
ilmu munāsabah. Ilmu munāsabah adalah ilmu yang membahas tentang
sisi keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar
ayat pada beberapa ayat, atau antar surat dalam al-Qur`an.3Dalam sejarah
perumusan kesatuan Al-Qur`an Orang yang pertama kali mengenalkan
ilmu munāsabah yaitu Abū Bakar Abū al-Qāsim al-Naysābūrī (w.324 H)4
seorang alim berkebangsaan Irak yang sangat ahli dalam ilmu syariah dan
kesusastraan Arab.5
Sungguhpun ilmu al-Munāsabah itu tergolong ke dalam ilmu yang
baik dan keberadaan ilmu munāsabah sangan penting bagi ahli-ahli al-
Qur`an namun tidak semua nya juga mengangap ilmu itu mutlak sebagai
salah satu syarat menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an, seperti ungkapan
Syaikh „Izz ad-dīn ibn „abd as-salām:
“Syaikh „Izz ad-dīn ibn „abd as-salām (577-660 H): mengatakan:
“Ilmu munāsabah merupakan ilmu yang bagus. Akan tetapi
keterkaitan ujaran dianggap bagus apabila keindahan terjadi karena
satu hal yang sama, yang pertama terkait dengan yang akhir.
Sehingga, apabila terjadi karena berbagai sebab yang berbeda-beda
maka keterkaitan salah satu dengan yang lainnya tidak menjadi
persyaratan. Ia mengatakan: orang yang mengaitkan itu berarti
memaksakan sesuatu yang diluar jangkauan kemampuannya.
Kalaupun itu terjadi, kaitan yang terjadi kaitan yang terjadi sangat
rapuh yang justru dihindari oleh ujaran yang bagus, apalagi oleh
ujaran yang paling bagus, apalagi. Al-Qur`an diturunkan lebih dari
3 Manna al-Qaṯṯan, Studi Ilmu Al-Qur`ān. penerjemah Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar
Nusa, 2001), h. 97. 4 Jalal al-Dīn Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyūṯī (selanjutnya disebut al-Suyūṯī), al-
Itqān Fi Ulūm al-Qur`ān (Lebanon: Das Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1971), h. 471. 5 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur`ān (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 257.
3
dua puluh tahun mengenai berbagai hukum dengan sebab yang
berbeda-beda. Fenomena yang seperti itu tidak mungkin saling
terkait satu sama lain sebab tidaklah baik kalau tindakan Tuhan
dalam penciptaan dan hukum-hukum Nya saling berkaitan
sementara sebabnya berbeda-beda, seperti tindakan para raja,
hakim, dan mufti, dan seperti tindakan manusia sendiri terhadap
hal-hal yang sama, yang sesuai dan yang bertentangan. Tak
seorang pun yang menuntut adanya kaitan antara beberapa
tindakan tersebut dengan tindakan lainnya sementara tindakan-
tindakan itu sendiri berbeda, selain waktunya berbeda pula.”6
Penelitian ulama-ulama tentang ilmu munāsabah selain didorong
oleh keinginan untuk menggali kemukjizatan al-Qur`an dari segi susunan
ayat dan sūrah nya, juga dikarenakan al-Qur`an tersusun tidak berdasarkan
turunnya al-Qur`an atau kronologis turunnya ayat, kenyataan ini juga
mengundang pertanyaan bagi berbagai kalangan, tidak hanya dari umat
Islam saja juga dari kalangan orientalis yang juga ikut berbicara tentang
susunan ayat yang terkesan tidak beraturan dan juga menanamkan
keraguan terhadap al-Qur`an, dengan menggambarkan seakan al-Qur`an
itu bercerai berai antara bagian-bagiannya. Seperti yang diungkapkan oleh
Richard Bell dalam muqaddimah bukunya menyatakan “It‟s arrangement
Unsistematic” (susunan al-Qur`an tidak sistematis).7
Munāsabah itu adalah salah satu sekian aspek dari i‟jāz al-Qur`ān.
Disanalah terdapat mukjizat al-Qur`an yang menunjukkan kesatuan yang
kokoh dalam al-Qur`an, karena kemukjiatan al-Qur`an tidak ada yang bisa
menandingi seperti Firman Allah pada sūūrah al-`Isrā‟ ayat 88:
ل عذ ئ ظ ٱجز ٱل ج ٱ ض أ ٠أرا ث زا ع مشءا ٱ ض ث ۦل ٠أر
١شا جعط ظ ثعع وب ٨٨
6 Badr al-Dīn Muhammad bin „Abd Allāh al-Zarkarsyī, al-Burhān fī „Ulum al-Qur‟ān
(Kairo: Maktabah Dār al-Turāts, t.t.), h.37. 7 Montgomery Watt dan Richard Bell, Introducing To The Qur`an (Ediburgh: Ediburgh
University Pers, 1970), h.xi
4
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa Al Qur`an ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain"
Keberadaan munāsabah dalam al-Qur`an banyak juga yang
meyakini, adanya munāsabah dalam al-Qur`an seperti ungkapan Syaikh
Waliyu al-din al-Mallawi “Sungguh merupakan ilusi kalau ada orang yang
mengatakan: jangan diharapkan dari ayat-ayat al-Qur`an adanya keserasian
dan keharmonisan, sebab ayat itu diturunkan sesuai dengan berbagai
fakta”8 dan juga al-Qurṯubī adalah salah satu banyak ulama lain yang
berpandangan bahwa munāsabah dalam al-Qur`an merupakan salah satu
aspek I‟jāz al-Qur`ān yang paling utama dan pasti keberadaanya ia
melandaskan pandangannya pada:9 Q.S. an-Nisā: 82:
أفل ٠زذثش مشءا عذ غ١ش ٱ وب ٱلل جذا ف١ فب وض١شا ٱخز “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an? Kalau
kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”
Satu alasan lagi mengapa tema tentang kesatuan al-Qur`an atau
munāsabah ini menjadi penting. Karena banyak umat Islam menyikapi al-
Qur`an tidak keseluruhan. Tidak melihat satu ayat itu sesudah atau
sebelumnya. Sehingga seringkali pada zaman sekarang hanya mengambil
ayat-ayat tertentu yang mendukung pendapat mereka atau pemikiran
mereka, dan saat yang sama mereka menghindari ayat-ayat yang
bertentangan dengan pemikiran mereka. Tujuan al-Qur`an memilih dengan
sistematika susunan ayat yang tidak sesuai dengan turunnya al-Qur`an
8 Saʻīd Hawwā, al-Asās Fī at-Tafsīr. Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press,
1999), h. 22. 9 Said Ali Setiyawan, “Munasabah Sūrah Juz Amma (kajian terhadap pemikiran Burhan
al-Din al-Biqai‟i dalam kitab Nazm al-Durār fi Tanāsub al-ayat wa al-Suwar,” (Tesis S2 Program
Studi Agama dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015), h.1.
5
adalah untuk mengingatkan manusia khususnya kaum muslimin bahwa
ajaran-ajaran al-Qur`an adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.10
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas terkait dengan munāsabah
itu ada atau tidak ada nya dalam al-Qur`an, itu bisa kita dapatkan dengan
melihat langsung munāsabah pada kitab tafsir. Seperti Saʻīd Hawwā yang
yang menfokuskan penelitiannya tentang kesatuan al-Qur`an dalam kitab
nya yaitu al-Asās Fī at-Tafsīr, alasan kenapa Saʻīd Hawwā menguraikan
kesatuan al-Qur`an secara panjang lebar yaitu karena ia menganggap
kebutuhan zaman sekarang. Orang-orang dahulu tidak merasakan urgensi
masalah ini, sebab mereka hanya menyinggung secara pintas, namun
mereka meyakini kebenarannya.11
Saʻīd Hawwā mengatakan dengan yakin bahwa kesatuan al-Qur`an
merupakan fakta yang tidak terbantahkan, ia bahkan menjadikan hal
tersebut sebagai tujuan utama dari kitab tafsirnya.12
Ia juga menyatakan
bahwa menekuni ilmu ini, di abad sekarang termasuk perkara yang wajib
sebab banyak sekali pertanyaan yang menyoal hubungan antara ayat-ayat
dan sūrah-sūrah al-Qur`an, serta pertanyaan tentang rahasia urutan dan
susunan al-Qur`an.
Beberapa keistimewaan dari tafsir al-Asās ini adalah bahwa untuk
pertama kali diketengahkan teori baru tentang kesatuan al-Qur`an dalam
satu tafsir. Sebenarnya sudah banyak pengarang yang menelaah topik dan
10
M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur`an (Bandung: Mizan, 2014), h. 247. 11
Saʻīd Hawwā, al-Asās Fī at-Tafsīr, h. 22. 12
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas. (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 38.
6
mengungkapkan berbagai hal. Namun upaya mereka hanya berkisar
seputar keserasian berbagai ayat dalam satu surat atau keserasian
penghujung surat yang lalu dengan permulaan surat berikutnya. Namun,
Saʻīd Hawwa sejak kecil sudah mulai merenungkan berbagai rahasia
hubungan antara ayat-ayat dan sūrah-sūrah al-Qur`an. Sejak kecil pula ia
sudah mulai merenungkan berbagai rahasia hubungan antara ayat-ayat dan
sūrah-sūrah al-Qur`an dan pula sudah tertanam dalam hatinya rahasia
hubungan antara sūrah al-Baqarah dengan tujuh sūrah berikutnya.
Salah satu mufassīr yang di dalam kitabnya mengetengahkan
aspek-aspek munāsabah ialah Fakhruddin al-Razi yang kitab tafsirnya
Mafātih al-Ghaib. Al-Razi termasuk generasi awal yang menggunakan
pendekatan munāsabah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an sekalipun
tafsirnya tidak dikhususkan membahas persoalan ini. Menurut Manna al-
Qattan bahwa al-Rāzī tafsirnya mencurahkan perhatian untuk
menerangkan munāsabah antara ayat dan sūrah dalam al-Qur`an. Tidak
kurang dari tiga jenis munāsabah termuat dalam tafsirnya diantaranya
munāsabah antar nama sūrah, munāsabah antara bagian awal sūrah dengan
bagian sūrah berikutnya, munāsabah antara ayat yang berdampingan,
munāsabah anatar kelompok ayat, munāsabah antara fawātih al-Suwār
dengan kandungan isi al-Qur`an. 13
Al-Biqā‟ī sebagaimana dikenal sejarah merupakan ulama yang
khusus menfokuskan karya tafsirnya pada munāsabah. Dalam kitabnya al-
13
Endad Musadad, “Munāsabah Dalam Tafsir Mafātih al-Ghaib,” ( Tesisi S2 Program
Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005), h.23.
7
Biqā‟ī tidak sekedar menghubungkan antara ayat yang satu dengan ayat
yang lainnya, seperti yang bisa dilakukan oleh mufassir lain.14
Kesatuan al-Qur`an memunculkan banyak teori dalam al-Asās
salah satunya mihwar. Dalam pendahuluan kitab al-Asās, Saʻīd Hawwā
menganggap masing-masing sūrah tersebut memiliki mihwar (poros)
persoalan dalam sūrah al-Baqarah. Namun dalam perbedaan konsep
mihwar oleh Saʻīd Hawwā dan Sayyid Quthb dalam kitabnya Tafsir Fī
Zhilāl al-Qur`an yaitu terdapat pada bagaimana cara kerja mihwar itu
sendiri, bagai Saʻīd Hawwā mihwarr itu terletak dalam beberapa kelompok
sūrah memiliki tema utama, sedangkan Sayyid Quthb mihwar terdapat
dalam setiap sūrah al-Qur`an, bahwa satu sūrah memiliki satu atau
beberapa mihwar. 15
Jadi, perbedaan Saʻīd Hawwā dengan mufassīr lainnya yaitu
memiliki mihwar yang sama atau tema sentral yang satu, hal ini dijelaskan
oleh Saʻīd Hawwā dalam menyampaikan keterkaitan-keterkaitan dalam
qisim16
pertama al-Qur`an yaitu sūrah al-Baqarah dan tujuh sūrah
sesudahnya, ia menjelaskan keterkaitan-keterkaitan yang ada pada ayat-
ayat dalam beberapa sūrah tersebut dan kemudian mengatakan bahwa
setiap sūrah tersebut mempunyai mihwarr yang satu yang sama dengan
mihwar yang ada pada sūrah al-Baqarah.
14
Abd Basid, Munāsabah Sūrah Dalam al-Qur`an: Telaah Atas Kitab nazm al-Durar Fī
Tanasub al-Ayat wa al-Suwar Karya Burhan al-Din al-Biqā‟ī ( Tesis S2 Program Sarjana,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h.9. 15
Helrahmi Yusman, Kesatuan Tema Sūrah al-Qur`an: Analisis terhadap konsep Mihwar
dalam Tafsīr Fī Zhilāl al-Qur`an (Tanggerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2016), h. 181. 16
Qisim al-Qur`an yang dimaksud di sini adalah bahwa sūrah-sūrah al-Qur`an
dikelompokkan ke dalam empat kelompok sesuai dengan urutannya. Qisim pertama dalam al-
Qur`an adalah ath-Tiwal al-Mi‟īn, al-Matsani dan al-Mufashal. Said hawwa,
8
Untuk lebih menfokuskan penelitian ini penulis mengambil
munāsabah dari Sūrah al-Jumu‟ah. Sūrah al-Jumu‟ah adalah sūrah yang
pernah dibaca Nabi Saw ketika hari jumat seperti hadis yang terdapat
dalam kitab Imam Muslim:
جبط سظ هللا عب . أ اج ص هللا ع١ ع وب ٠مشأ عع اث
ف صلح افجش ٠ اجعخ : ) ا. رض٠...( اغجذح : ) أر ع
اج ص هللا ع١ ع وب ٠مشأ ف صلح الغب ح١ اذش(, أ
ماجعخ عسح اجعخ اف “Diriwayatakan dai Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Nabi Saw. Pada
salat shubuh di hari jumat pernah membaca “Alif laam miim,
tanziilu...” yaitu Sūrah as-Sajadah, dan hal ataa „alal insaani
hiinun minaddahri”, dan bahwasanya Nabi Saw pernah membaca
Sūrah al-Jumu‟ah dan Sūrah al-Munafiqun pada salat jumat.”17
Sūrah al-Jumu‟ah ini terdiri dari 11 ayat, termasuk golongan Sūrah
Madaniyyah dan terletak sesudah Sūrah al-Saf.18
Sūrah ini mementingkan
sisi-sisi syariat,19
dan sūrah ini juga mengingatkan tentang pentingnya salat
Jumat yang mencerminkan persatuan dan kesatuan umat agar setiap
Muslim menyadari bahwa mereka adalah kelompok yang dipilih Allah Swt
untuk memikul amanah akidah Islamiah yang merupakan nikmat yang
sangat besar dan yang harus disyukuri.20
Sūrah al-Jumu‟ah menerangkan tentang pengutusan Nabi
Muhammad Saw dan menjelaskan bahwa umatnya akan menjadi mulia
karena ajarannya, disusul dengan perumpamaan orang-orang Yahudi dan
17
Al-Hafidz „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin al-Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim. penerjemah Acmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 231. 18
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur`an. penerjemah M.Mishbah, dkk. (Jakarta:
Rabbani Pers, 2008), h. 903. 19
Muhammad Ali al-Shabuni, Safwah al-Tafāsīr. penerjemah KH. Yasin
( Jakarta: al-Kautsar, 2011), h. 341. 20
Quraish Shihab, al-Lubab: Makna Tujuan, dan Pelajaran dai surah-surah al-Qur`an, h.
262.
9
kebohongan pengakuan mereka dan kemudian diakhiri dengan kewajiban
salat21
Jumat.
Tema utama sūrah ini menurut banyak ulama antara lain Ibn „Āsyūr
dan Tabātā‟i adalah peringatan tentang pentingnya salat Jumat dan
perlunya meninggalkan semua aktivitas jika waktunya telah tiba. Karena
itu menurut Ibn Āsyūr sūrah ini memulai uraiannya dengan menyucikan
Allah Swt.22
Dilihat juga ada gejala buruk yang tersebar di masyarakat
dengan adanya sebagian orang yang bergampangan meninggalkan salat
Jumat. Dan sebagian mereka masih sibuk di toko, kantor dan tempat
kerjanya atau tempat-tempat yang lain yang tidak menyegerakan mereka
untuk segera melaksanakan salat Jumat.
Berangkat dari uraian di atas maka penulis akan membahas tentang
keterkaitan sūrah al-Jumu‟ah dengan ayat-ayatnya atau sūrah-sūrah yang
lainnya dengan menggunakan kitab al-Asās Fī al-Tafsīr karangan Saʻīd
Hawwā
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari banyak nya mufassīr yang menerbitkan tafsiran yang
menyinggung tentang munāsabah tapi dalam penelitian ini hanya
menggunakan Saʻīd Hawwā karena menurut penulis ia memfokuskan
kitab tafsirnya kepada munāsabah, dalam pendahuluannya mengatakan
bahwa sebagian mufassīr menyinggung topik ini namun tidak seorang pun
di antara mereka yang menelaah selurus isi al-Qur`an dan mengungkapkan
21 Salat ( rukun Islam kedua berupa ibadah kpd Allah swt wajib dilakukan oleh setiap
muslim mukalaf dgn syarat, rukun dan bacaan tertentu dimulai dgn takbir dan diakhiri dg salam.
departemen pendidikan Nasional, kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa, edisi keempat
(Jakarta: PT Gramaedia pustaka utama,2008), h. 1208. 22
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah. h. 39.
10
hubungan serta kaitan antara berbagai ayat dalam satu sūrah al-Qur`an
secara keseluruhan berdasarkan pandangan yang komprehensif. Maka,
Saʻīd Hawwā dalam tafsirnya mencoba untuk menutupi kekosongan ini
dengan menyadari bahwa rahasia-rahasia kesatuan al-Qur`an tidak
mungkin diungkap semuanya , tapi berbicara tentang hal ini sangat
menarik bahkan kaum orientalis pun menjadikannya celah untuk
menyebarkan kebohohongan terhadap al-Qur`an dan ulama-ulama Islam.
Maka Saʻīd Hawwā akan meliput masalah ini dengan sempurna.23
Memfokuskan pada satu sūrah yaitu sūrah al-Jumu‟ah ini terdiri
dari 11 ayat, termasuk golongan Sūrah Madaniyyah dan terletak sesudah
Sūrah al-Saf. Sūrah ini mementingkan sisi-sisi syariat dan sūrah ini juga
mengingatkan tentang pentingnya salat Jumat yang mencerminkan
persatuan dan kesatuan umat agar setiap Muslim menyadari bahwa mereka
adalah kelompok yang dipilih Allah Swt untuk memikul amanah akidah
Islamiah yang merupakan sūrah al-Jumu‟ah ini juga menerangkan tentang
pengutusan Nabi Muẖammad Saw dan menjelaskan bahwa umatnya akan
menjadi mulia karena ajarannya, disusul dengan perumpamaan orang-
orang Yahudi dan kebohongan pengakuan mereka dan kemudian diakhiri
dengan kewajiban salat Jumat. Untuk memudahkan pembahasan ini
diperlukan adanya perumusan masalah yang menjadi tema pokok
pembahasan, perumusan masalah yang ingin dibahas dalam penulisan ini
adalah, Bagaimana munāsabah dalam sūrah al-Jumu‟ah menurut Sa‟ȋd
Hawwā dalam kitab al-Asās fi al-Tafsīr ?
23
Saʻīd Hawwā, al-Asās Fī at-Tafsīr, h. 23.
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan munāsabah dalam
sūrah al-Jumu‟ah dengan menjadikan kitab al-Asās Fī al-Tafsīrsebagai
rujukan. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan Ulūm al-Qur`ān, dan sebagai sumbangan
nyata bagi umat Islam tentang mempelajari al-Qur`an, al-Qur`an itu bukan
hanya sekedar bacaan tapi juga banyak makna yang tersirat di dalamnya.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk memberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya
penelitian ini, maka penulis terlebih dahulu melihat kajian-kajian yang
pernah dilakukan oleh penulis dan cendikiawan lain. Selanjutnya hasil
penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat objek
pembahasan yang sama. Sejumlah ulama yang menyusun pembahasan
kajian munasābah ini secara khusus. Di antara kitab yang membicarakan
tentang munāsabah yaitu Fakhr al-Dīn al-Rāzī (606 H/210 M) dengan
kitabnya mafātiẖ al-Ghaib menurutnya banyak kehalusan bahasa al-
Qur`an terletak di balik hubungan susunan al-Qur`an, Burhan al-Dīn al-
Biqā‟ī (809-885 H/ 1406-1480 M) karyanya yang berjudul Nazhm ad-
Durar Fī Tanāsub al-Āyat wa as-Suwar definisi munāsabah menurut ia
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik
susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur`an baik ayat dengan ayat, atau
sūrah dengan sūrah.24
12
Dalam perkembangan selanjutnya munāsabah Badr ad-Dīn
Muẖammad Ibn Abdillah al-Zarkasyīia menempatkan munāsabah sebagai
salah satu cabang dari ilmu-ilmu al-Qur`an dan menempatkan pembahasan
munāsabah pada bab tersendiri dalam kitabnya Al-Burhan Fī Ulūm al –
Qur`an. Demikian pula al-Sayūtī membahas tema munāsabah di dalam
karyanya al-Itqān dengan Fī Munāsabah al-Āyat wa al-suwar. Namun
dalam karya Manna al-Qaṯṯan yang berjudul Mabāhits Fī „Ulūm al-Qur`an
menempatkan munāsabah pada bagaian asbāb al-nuzūl.
Kemudian, Angga Marzuki, “Analisa Aspek Munāsabah dalam
Sūrah al-Baqarah Ayat 1 Sampai Ayat 43 dalam Kitab Safwah al-Tafsir
(Studi Munāsabah Antara Ayat dalam Satu Sūrah),” 2014 M. Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penelitian ini adalah salah satu mendukung penelitian penulis tentang
munāsabah dalam rangkaian susunan ayat, dalam penerapan munāsabah
antar ayat dalam satu Sūrah yang diuraikan „Ālī al-Sabūnī ia lebih menitik
beratkan perhatiannya untuk menghasilkan munāsabah dari segi
kandungan isi ayat dengan pendekatan analisa kandungan ayat.
Endad Musadda, “Munāsabah dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib,”
2005. Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta.
Dalam penelitian ini mengungkapkan Fakhruddin al-Razi tidak terlalu
banyak menjelaskan secara panjang lebar analisis beliau dalam masalah
munāsabah, disebabkan perhatian beliau yang tertuju kepada persoalan
seperti bahasa, qira‟at dan lain-lain.
13
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munāsabah al-Qur`ān: Kajian atas
Tafsir al-Mishbah. 2011 UIN Jakarta. Disertasi ini mendukung pendapat
bahwa al-Qur`an mempunyai pertalian erat antar sūrah yang satu dengan
sūrah yang lain dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain, perlu
adanya munāsabah sebagai bentuk dari kemukjizatan al-Qur`an.
Kusnadi, “Al-Wahdah Qur‟aniyyah dalam Tafsir Al-Asās (Studi
Atas Munasabah al-Qur`an menurut Saʻīd Hawwā),” 2010, Tesis ini
membahas tentang bagaimana munāsabah dalam kitab al-Asās. Menurut
penelitian ini menghasilkan bahwa kesatuan munasabah al-Qur`an
berdasarkan poros tema yang terdapat pada setiap sūrah yang kesemuanya
terintegrasi pada satu poros tema tersebut yang terdapat pada sūrah al-
Baqarah.
Lukmanul Hakim, “Analisis Tentang Aspek Munasabah dalam
Kitab Tafsir al-Maraghī (Studi munasabah antara sūrah dan antara ayat),
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta tahun
2005 M. Dalam penelitian ini mendeskripsikan munāsabah antar sūrah
dengan sūrah dan ayat dengan ayat serta pendekatan yang digunakan
dalam mempertahankan kesatuan ayat.
Penulis, dalam penelitian ini hanya akan fokus mengkaji dan
penerapan munāsabah dalam sūrah al-Jumu‟ah, baik sūrah, ayat maupun
bagian-bagian yang lain. Penulis memiliki beberapa alasan kenapa harus
al-Jumu‟ah yang dikaji seperti yang telah penulis cantumkan di latar
belakang.
E. Metode Penelitian.
14
1. Sumber Data
Penelitian ini adalah studi Literature (Libarary Research) tentang
karya ulama al-Asās Fī al-Tafsīrkarangan Saʻīd Hawwā. Karena Kitab ini
adalah Sumber primer. Sedang sumber sekundernya adalah buku-buku
atau kitab-kitab tafsir yang ada hubungan dengan yang akan penulis bahas.
2. Metode Analisis
Metode yang ditempuh dalam tulisan ini adalah deskriptif analisis.
Dekriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu
keadaan, peristiwa, objek, ataupun segala sesuatu yang terkait variable-
variable yang bisa dijelaskan.25
Analisis adalah aktivitas yang memuat
sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk
digolongkan dan dikelompokkan menurut kriteria tertentu.Dalam hal ini,
analisa isi diletakkan sebagai cara untuk menganalisa munāsabah yang
digunakan Saʻīd Hawwā dalam menafsirkan sūrah al-Jumu‟ah.26
3. Teknik Penulisan.
Dalam teknik penulisan berpedomankan kepada: Pedoman
Penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
F. Sistematika Penulisan
Karena yang akan dibahas adalah munāsabah sūrah al-Jumu‟ah
dalam Kitab al-Asās Fī al-Tafsīr karangan Saʻīd Hawwā. Maka data yang
dikumpulkan, dibahas dan dianalisis secara rinci meliputi. Bab pertama,
25
Setyosar Punaji, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Jakarta:
PT.Kencana, 2010), h. 36. 26
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 385.
15
Pendahuluan, yang berisikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis akan membahas mengenai tinjauan teoritis yang
berisikan tentang teori umum, yang melingkupi pengertian munāsabah,
sebab muncul ilmu munāsabah, jenis-jenis munāsabah dan pandangan
ulama tentang munāsabah.
Bab ketiga, penulis akan menguraikan biografi mufassīr yakni
Saʻīd Hawwā dan Profil kitabnya al-Asās Fī at-Tafsīr. Bab ketiga akan
dimuat dengan beberapa sub bab, diantaranya ruang lingkup sosial,
riwayat hidup mufassīr, karya-karya yang pernah dihasilkan selama
hidupnya. Dan pada sub selanjutnya adalah mengenai profil kitab tafsir
yang ditulis. Yakni dalam hal ini adalah kitab al-Asās Fī al-Tafsīr serta
hal-hal yang berhubungan dengan kitab tersebut.
Bab keempat, karena yang dibahasa adalah munāsabah sūrah al-
Jumu‟ah terutama membahas pengenalan sūrah, kemudian baru
menggambarkan dan menganalisa munasabah sūrah al-Jumu‟ah menurut
Saʻīd Hawwā. Bab kelima, bab ini merupakan penutup serta kesimpulan
umum yang akan penulis simpulkan berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan serta saran dan diakhiri dengan daftar pustaka yang penulis
gunakan sebagai narasumber dalam penelitian.
16
BAB II
TEORI MUNĀSABAH AL-QUR`AN
A. Pengertian Munāsabah.
Secara bahasa munāsabah (ااب عااجخ ) adalah berasal dari kata
nasaba-yunāsibu-munāsabatan yang artinya dekat (qarīb),1 dan
menyerupai (mitsal). Munāsabah artinya sama dengan al-muqarabah yang
berarti mendekatkan dan menyesuaikan.2 Dari kata tanāsub artinya
hubungan (ازعابك) dan pertalian (األسرجابغ). 3 Dalam al-Munawir munāsabah
yaitu kecocokan, kepantasan, kesesuaian.4 Dan munāsabah juga diartikan
al-Musyākalah5 yang berarti menyerupai,
6 patut,
7 perhubungan, sesuai.
8
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering mendengar kata-kata
nasab yang artinya punya hubungan kekeluargaan. Pengertian semacam
ini semisal dapat ditemukan dalam al-Qur`an diantaranya adalah seperti
sūrah al-Furqān ayat 54, al-Sāffāt ayat 158, dan al-Mukminūn ayat 101.9
س فخ ف فئرا ٱص ل ٠زغبء ئز ٠ فل أغبة ث١
1 Ibrahim Mustafa, dkk., Kamus Mu‟jam al-Wasith (Madinah: al-Maktab al-ilmiah, t.t),
h.924. 2 Lois Ma‟luf, Kamus al-Munzid Fī al-Lughah wa al-„Alām (Beirut: Dār al-Syarqī, 1976),
h.803. 3 Ibn Manzūr, Lisān al-„Arab, jilid1-2 ( Kairo: Al-Dār al-Misriyyah. t.t.), h. 253.
4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 1412. 5 Al-Fīrūz Ābādī, al-Qāmūs al-Muhīṯ (Beirut: Al-Resalah Publisher, 1424 H/ 2003 H), h.
137. 6 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2009), h.202. 7 Firdaus al-Hisyam dan Rudi Hariyono, Kamus Lengkap 3 Bahasa Arab-Indonesia-
Inggris (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 592. 8 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h.449.
9 Muhammad Fuad al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur‟ān (Kairo: Daar al-
Kutub al-Misriyah, 1364), h.698.
17
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab
di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling
bertanya”
Menurut Badr al-Dīn al-Zarkashī secara bahasa munāsabah adalah
kedekatan (امبسثخ) dan perpadanan (اشبوخ), dia memberikan contoh Fulan
Yunāsibu Fulan, ay Yuqaribu minhu wa Yushākiluhu.10
Diamati dari
contoh yang dipaparkan, bisa disimpulkan bahwa tidak hanya ada
kedekatan tapi ada keterkaitan seperti saudara laki-laki dengan keponakan.
Sedangkan secara istilah menurut al-Zarkasyī munāsabah adalah
keterkaitan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafaz
khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, „illat
dan ma‟lul. Kemiripan ayat, pertentangan (ta‟arud) dan sebagainya. Lebih
dari al-Zarkasyī berpendapat bahwa kegunaan ilmu munāsabah
menjadikan antara ayat saling berkaitan sehingga penyusunannya menjadi
seperti bangunan yang kokoh bagian bagiannya tersusun dengan kokoh.11
Sedangkan secara istilah munāsabah dalam sudut pandang al-
Suyūṯī adalah terkait hubungan ayat dengan ayat atau pun sūrah dengan
sūrah yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya, baik
yang satu „ām dan yang lainnya khās. Hubungan itu bisa juga muncul
melalui penalaran („aqlī), penginderaan (ẖissī), atau melalui kemestian
dalam pikiran (al-talāzzum al-dzihnī) seperti hubungan sebab akibat „illat
10
Badr al-Dīn Muhammad bin „Abd Allāh al-Zarkarsyī, al-Burhān fī „Ulum al-Qur‟ān
(Kairo: Maktabah Dār al-Turāts, t.t.), h.35. 11
Badr al-Dīn Muhammad bin „Abd Allāh al-Zarkarsyī, al-Burhān fī „Ulum al-Qur‟ān,
h.35.
18
dan ma‟lūl dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.12
Sebelum
memaparkan definisi di awal pembukaan pembahasan munāsabah al-
Sayūṯī menguraikan rentetan perjalanan yang mengiringin perkembangan
dan tokoh yang mengkaji terkait ilmu munāsabah, dia menginformasikan
bahwa seorang murid Abū Ja‟far bin Zubair yaitu Abū Hayyan telah
menulis kitab secara khusus terkait munāsabah dengan judul al-Burhān Fī
Munāsabah Tartīb Suwār al-Qur`ān, terlihat dari judulnya bahwa kitab ini
menjelaskan tentang munāsabah al-Qur`an antar sūrah, lalu disusu dengan
Nazm al-Durrar Fī Tanāsub al-Āy wa al-Suwār yang ditulis ileh Burhan
al-Dīn al-Biqa‟ī setelah itu kitab yang membahas terkait displin ilmu ini
ditulis oleh al-Sayūṯī dengan judul Asrār al-Tanzīl, dalam kitab ini al-
Sayūṯī mengumpulkan persesuaian serta keserasian antar setiap sūrah dan
ayat, yang disertai oleh kandungan penjelasan tentang sisi kemukjizatan
dan keindahan bahasa (Uslūb al-Balaghah) dan dia meringkas kitabnya itu
dalalm kitab yang lebih kecil yang dia beri judul kitabnya Tanāsub al-
Durar Fī Tanāsub al-Suwār.13
B. Munāsabah dalam sudut pandang ahli ilmu Qur`an.
1. Ibn al-„Arabi berpendapat dalam kitabnya sīrāj al-murīdīn.
Keterkaitan/hubungan ayat-ayat al-Qur`an antara yang satu dengan
yang lainnya sehingga seperti satu kata yang runtut dan teratur
12
Jalāl al-Dīn Abd Rahman Abi Bakr Al-Suyūṯī, al-Itqān Fi Ulūm al-Qur‟ān. (Lebanon:
Das Al Kotob Al-Ilmiyah, 1971), h. 471. 13
Al-Suyūṯī, al-Itqān Fi Ulūm al-Qur‟ān. (Lebanon: Das Al Kotob Al-Ilmiyah, 1971), h.
470.
19
maknanya merupakan ilmu yang mulia,14
tidak ada yang
membicarakannya, kecuali hanya seseorang yang kompeten yang
mengkaji surat al-Baqarah kemudian Allah membukakan hati kami
(manusia) untuk mendalaminya (munāsabah pada al-Baqarah), maka
ketika kami tidak mendapatkan ilmu tentangnya dan kami melihat ada
kemalasan pada manusia (pengkaji munāsabah) ini, maka kamu
berhenti disitu dan kami serahkan urusannya kepada Allah Swt.15
Jadi,
kesimpulannya hanya orang yang kompeten dan hatinya terbuka yang
Allah Swt berikan kemampuan untuk menemukan munāsabah dalam
al-Qur`an.16
2. Fakhr al-Dīn al-Rāzī (606 H/1210 M) termasuk ulama tafsir yang
memperhatikan aspek koherensi dalam al-Qur`an pada tafsirnya
Mafātīh al-Ghayb, ia berpendapat bahwa “kebanyakan keindahan al-
Qur`an itu terletak pada urutan dan hubungan antara ayat-
ayatnya”Imam al-Rāzī meyakini bahwa al-Qur`an adalah suatu
kesatuan, tidak ada kekacauan dan pertentangan di dalamnya.”17
Ia
menguatkan pendapatnya dengan berbagai bukti termasuk ketika
menafsirkan Sūrah Hūd:1.
ش ت أحى ا ز وز ذ ءا٠ خج١ش ۥ حى١ ذ ذ فص ص
14
Manna Al-Qaṯṯān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān (Dār ilmu wa al-Iman, t.t.), h.92. 15
Al-Suyūṯī, al-Itqān Fi Ulum al-Qur‟ān. (Lebanon: Das Al Kotob Al-Ilmiyah, 1971), h.
972-923 16
Angga Marzuki, “Analisa Aspek Munāsabah dalam Sūrah al-Baqarah Ayat 1 Sampai
Ayat 43 dalam Kitab Safwah al-Tafsir (Studi Munāsabah Antara Ayat dalam Satu Sūrah),”.
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) 17
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h.137.
20
“ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah)
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”
Kalimat “Yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi” mengandung
pengertian bahwa redaksi dari susunan al-Qur`an tertata secara teratur
dan solid layaknya bangunan yang kuat dan kukuh.
3. Burhan al-Din al-Biqā‟ī (809-885 H) menegaskan bahwa al-Qur`an
merupakan satu kesatuan, yang ayat dan sūrah-sūrahnya saling
bertautan “Segala puji bagi Allah yang menurunkan sebuah kitab suci
yang berhubungan antara sūrah-sūrah dan ayat-ayatnya”.18
Al-Biqa‟ī
berpendapat bahwa siapa yang memahami kehalusan dan keindahan
susunan kalimat ia akan mengetahui bahwa al-Qur`an adalah mukjizat
dari segi kefasihan lafaznya dan kemuliaan makna yang terkandung
didalamnya. Kemukjizatan juga disebabkan oleh susunan kata dan
sūrahnya.
4. Imam al-Maraghi menengaskan bahwa al-Qur`an merupakan kesatuan
yang kokoh dan kuat. Setiap kalimat yang menyusun ayat-ayatnya
dipilih oleh Allah dengan bijaksana. Semuanya berada dalam puncak
keserasian dan kepaduan, diletakkan dalam posisi yang paling tepat
seperti yang diterangkan dalam ayat berikut:
ش ا ت أحى ز وز خج١ش ۥذ ءا٠ حى١ ذ ذ فص ص
“ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah)
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”
18
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an, h.169.
21
Maksud ayat di ayas bisa jadi menjelaskan keakuratan dan kerapihan
redaksi dan susunan strukturnya. Atau menunjukkan hikmah yang
dikandung ayat-ayatnya. Dari penjelasan itu nampak jelas bahwa al-
Maraghi meyakini bahwa al-Qur`an merupaka satu kesatuan yang kokoh
dan akurat.19
5. Subhi Shalih berkata ” Jika meneliti al-Qur`an, maka kita akan
menemukan bahwa al-Qur`an merupakan kitab yang sangat perhatian
terhadap masalah keserasian dan keteraturan sastranya. Para ulama yang
meneliti masalah ini dengan serius telah berusaha dengan sunguh-sungguh
untuk mengungkap rahasia terdalam dari keserasian dan keteraturan
tersebut. 20
6. Manna al-Qaṯṯan berkata “ayat-ayat al-Qur`an mempunyai hubungan yang
saling menyatukan, seperti sifat-sifat orang mukmin yang berhadapan
dengan sifat-sifat orang musyrik, pahala bagi yang pertama dan siksa bagi
yang kedua. Atau ayat-ayat yang berisi ajaran tauhid dan penyucian diri
setelah ayat-ayat yang menerangkan alam semesta dan begitu seterusnya.21
7. Muhammad Zafzaf dalam al-Ta‟rif bi al-Qur`an wa al-Hadits berkata
“Keterkaitan antara kalimat dan ayat-ayat dalam al-Qur`an cukup
dibuktikan dengan membaca satu ayat dalam satu sūrah. Kita pasti hanya
19
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas. (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 230. 20
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 338. 21
Manna Al-Qaṯṯān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān (Dār ilmu wa al-Iman, t.t.), h.93.
22
menemukan kepastian, kekokohan dan ikatan yang sempurna antara ayat
tersebut.”22
Dari pengertian dan perincian tersebut di atas dapatlah
disimpulkan bahwa munāsabah adalah pengetahuan yang menggali
hubungan ayat dengan ayat dan hubungan sūrah dengan sūrah dalam al-
Qur`an
C. Sebab muncul ilmu munāsabah.
Diakui secara umum bahwa susunan ayat dan sūrah dalam al-
Qur`an memiliki keunikan yang luar biasa. Proses pewahyuan al-Qur`an
diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan
ayat dan sūrah-sūrahnya di-tartībkan sesuai dengan yang terdapat di lauẖ
al-maẖfūz, sehingga tampak adanya persesuaian antara yang satu dengan
yang lainnya. Salah satu cabang dari „Ulūm al-Qur`an yang membahsas
persesuaian itu adalah „ilm al-Munāsabah. Namun „ilm munāsabah ini
bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan dan tartib sūrah demi sūrah
seperti yang ada dalam mushaf sekarang (Mushaf „Utsmānī) tidak
berdasarkan kronologis turunya ayat. Yang mana pada mushaf „Utsmānī
diawali dengan al-Fātīẖah bukan sūrah yang pertama turun yaitu sūrah
al‟Alaq. Sūrah yang kedua adalah sūrah al-Baqarah bukan sūrah al-
Muddatstsir. Persoalan ini lah yang kemudian memunculkan kajian
tentang munāsabah ayat dan sūrah.
22
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 338.
23
Wacana ilmu munāsabah erat kaitannya dengan latar belakang
diskursus kedudukan tartib al-Mushaf (Penyusunan sūrah-sūrah dalam
mushaf al-Qur`an).23
Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “bacaan”
terletak pada susunan penataannya.24
Namun yang menjadi pertanyaan,
apakah penyusunan ayat-ayat dalam al-Qur`an berdasarkan tauqīfi atau
ijtihādi. Jika penyusunannya berdasarkan tauqīfi yaitu berdasarkan
sebagaimana diberitakan Jibril atas perintah Tuhan dan jika berdasarkan
ijtihādi maka itu berdasarkan pendapat para sahabat. Maka ini lah yang
menjadi perdebatan bagi para ulama dalam menentukan keberadaan tartīb
al-musẖaf apakah dasar penyusunannya ijtīhādi atau tauqīfī.
Pendapat pertama yang mengatakan bahwa susunan al-Qur`an
didasarkan pada ijtīhādi. Imam al-Suyūṯī dan Imam al-Zarkasyī
menyatakan bahwa mayoritas ulama meyakini kalau susunan sūrah al-
Qur`an adalah hasil ijtīhadī. Argumentasi mereka adalah adanya
perbedaan sūrah-sūrah al-Qur`an yang terdapat dalam mushaf para
sahabat.25
Mushaf Ali bin Abi Thalib disusun berdasarkan waktu turunnya
ayat-ayat dan sūrah al-Qur`an. Mushaf Ibnu Mas‟ud dimulai dengan sūrah
al-Baqarah lalu an-Nisā‟ dan sūrah ali-„Imrān. Demikian juga susunan
Mushaf Ubay bin Ka‟ab.26
Namun pendapat lain adalah bahwa para
sahabat pernah mendengar Nabi membaca al-Qur`an berbeda dengan tertib
23
Hasani Ahmad Said, Diskrusus Munāsabah Al-Qur`ān (tinjauan kritis konsep dan
penerapan munāsabah dalam tafsir al-Mishbah), h. 65 24
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟ān, h. 195. 25
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 57. 26
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 57.
24
sūrah yang terdapat dalam al-Qur`an namun riwayat ini bukanlah
mutawātir.27
Selain itu Mushaf para sahabat merupakan tulisan dan catatan
khusus yang bersifat pribadi. Jadi, tidak bisa disamakan dengan al-Qur`an
yang dikumpulkan oleh Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Utsman bin
Affan yang dilakukan bersama-sama dan melibatkan semua sahabat,
sehingga hasilnya disepakati umum dan bisa dijadikan pijakan bersama.28
Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa susunan al-Qur`an
adalah tauqīfī kecuali sūrah al-Anfāl dan al-Taubah. Sūrah al-Anfāl adalah
sūrah yang pertama kali turun di Madinah. Sedangkan al-Taubah termasuk
sūrah yang diturunkan terakhir kali, namun keduanya mempunyai
kemiripan isi dan kisah, sehingga beliau menanguhkan penempatan
keduanya, tapi beliau tidak pernah menerangkan bahwa sūrah al-Taubah
merupakan bagian sūrah al-Anfāl. Saya menduga sūrah al-Taubah adalah
bagian dari sūrah al-Anfāl, sehingga saya menyandingkan keduanya, dan
tidak menuliskan bismillah antara keduanya.” (HR. Ahmad).29
Masalah sebenarnya adalah Nabi Muhammad Saw tidak
menjelaskan bahwa apakah sūrah al-Taubah merupakan bagian dari sūrah
al-Anfāl atau bukan. Dalam konteks ini „Usman bin Affan berijtihad
dengan cara tidak menuliskan basmalah antara kedua sūrah ini, ia
khawatir sūrah Al-Taubah merupakan bagian dari sūrah al-Anfāl. Dengan
demikian jelas kalau ijtihad Utsman bin Affan hanyalah tidak menuliskan
basmalah antara sūrah al-Taubah dan sūrah al-Anfāl, jadi bukan berijtihad
27
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 57. 28
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 57. 29
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h. 58.
25
dalam susunan dan urutan sūrah-sūrah al-Qur`an. Jika persoalan tersebut
memang menjadi ikhtilaf di antara para sahabat pasti banyak ditemukan
riwayat yang menerangkan berbagai ijtihad para sahabat namun tidak
adanya riwayat yang menerangkan ikhtilaf dan ijtihad para sahabat dalam
masalah di atas. Menjadi bukti bahwa susunan dan urutan al-Qur`an
memang tidak pernah menjadi persoalan di antara para sahabat.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang menyatakan bahwa semua
susunan al-Qur`an adalah tauqīfī. Ulama kontemporer cendrung
menjadikan urutan sūrah dalam mushaf sebagai tauqīfi karena pemahaman
seperti itu sejalan dengan konsep tentang eksistensi teks azali yang ada di
lauh Mahfūzh.30
Berarti, al-Qur`an pada masa Nabi Saw telah tersusun
sūrah-sūrahnya secara tertib sebagaimana tertibnya ayat-ayatnya. Seperti
mushaf al-Qur`an yang ada pada saat ini yaitu mushaf „Utsmani. Yang
menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma‟) atas tertib sūrah.
Keterangan itu disandarkan kepada riwayat Abī Syaibah yang
menerangkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa Sūrah mufassal
(sūrah-sūrah pendek) dalam satu rakaat. Demikian al-Bukhāri yang
meriwaytkan dari Ibnu Mas‟ūd, bahwa ia mengatakan tentang Sūrah Banī
Isrā‟īl, Kahfi, Maryam, Tāhā dan Anbiyā‟, Sūrah-Sūrah itu termasuk yang
diturunkan di Mekkah dan yang pertama-tama aku pelajari.31
Kemudian ia
30
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟ān, h. 195.
31
أث إعحبق صب شعجخ ع حذ صب آد غعد ٠مي حذ عذ اث ل١ظ ع ٠ض٠ذ ث ث ح عذ عجذ اش ف ث لبي ع
رلد ي عزبق األ ا ج١بء إ األ غ ش٠ ف ى ا إعشائ١
26
menyebutkan sūrah-sūrah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan
di Mushaf al-Qur`an sekarang ini. 32
Beberapa dalil yang mendukung tentang kedudukan kedudukan
penyusunan al-Qur`an yang bersifat tauqifī seperti pada hadis yang
diriwayatkan oleh Huzaifah al-Tsaqifa sebagai berikut:
ع ط جذ أ اذ حز٠فخ ث فاذ فا لابي و ا ا ااز٠ سعاي أرا هللا ص هللا ع١ ع ا أع صم١ف به ث ض ا لجاخ فا ابأ فىاب
إ١ب ٠خزف ث١ ث١ر ث١ غجذ عشبء ص فئرا ا صشف ا٢خشح ا إ١اب ا
صب ٠جاش فل ٠شازى ٠حاذ ٠شازى لش٠شاب ا اخ أ ى اء ل ٠ماي صا واب عا
ىخ ث غزز١ أ غزععف١ ب ذ٠اخ إ خشجب ف حاشة عاجبي وباذ ا ا
ب ع١ب ىش ١خ عب ف عشبء ثعذ ع١ب ره غبي حز ٠أرب ب لبي ا ب ل
ىضااه سعااي ٠ااب عااب أ حااضة عاا غااشأ لاابي هللا اا مااشآ فااأسدد ا ل أ
ب ألعا١ حزا أخاشط سعاي أصااحبة فغاأ صا هللا هللا ع١ا عا حاا١
ب لبي أصجحب و١ف ل ث رحض مشآ س عذ ث حض لبا ا اظ ع خ س عا
عجع س رغع ع س إحذ ع صالس عسح عششح حاضة عاسح عشاشح
فص ا حز ق رخز
“Dari kakeknya yakni Aus bin Hudzaifah, ia berkata; Saya
berada dalam suatu utusan yang menemui Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam dan menyatakan masuk Islam. Mereka adalah
Bani Tsaqif dari Bani Malik. Kami singgah di sebuah kemah milik
beliau. Beliau seringkali mendatangi kami yang berada antara
rumah beliau dan masjid. Jika beliau selesai salat Isya (yaitu salat
fardhu terakhir), beliau sering menemui kami, mengajak kami
berbincang-bincang dan mengeluhkan Quraisy dan juga penduduk
Makkah. Kemudian beliau bersabda "Terus terang tidak sama nasib
kita, kita di Makkah dalam keadaan terintimidasi, atau tertindas,
ada pun setelah kita mengungsi ke Madinah, keadaan peperangan
silih berganti. Terkadang kita yang kalah, dan tak jarang terkadang
kita yang menang. Suatu malam beliau tidak menemui sekian lama
sehabis isyak. Kata Aus, kami mencoba bertanya "Wahai
Rasulullah, apa yang menghalangimu tidak menemui kami? Beliau
menjawab " Maaf pengelompokan al-Qur`an harus kukerjakan,
sehingga aku tak bisa pergi hingga aku menyelesaikannya. Pagi
harinya kami bertanya sahabat-sahabat Rasulullah, bagaimana
kalian mengelompokkan al-Qur`an? Mereka jawab "Kami
32
Kusnadi, al-Wahdah al-Qur`aniyyah Dalam Tafsir al-Asās (studi atas Munāsabah al-
Qur`an menurut Saʻīd Hawwā) Disertasi sekolah Pascasarjana Universita Islam Negeri Jakarta,
2010, h.52.
27
mengelompokkannya enam Sūrah, lima Sūrah, tujuh Sūrah,
Sembilan Sūrah, sebelas Sūrah, tiga belas Sūrah, dan satu hizib
(kelompok) yang berisi sūrah-sūrah pendek, semenjak Sūrah Qaf
hingga khatam.”
Berdasarkan keterangan hadis di atas menunjukkan bahwa susunan
sūrah seperti seperti yang terdapat pada mushaf sekarang ini telah ada pada
masa Rasulullah Saw bukti yang menerangkan penyusunannya tauqifī
adalah susunan sūrah yang diawali dengan ẖā-mīm dan ṯā-sīn yang
sifatnya berurutan dan berbeda dengan sabbaẖa yang peletakkannya tidak
berurutan. Tā-sīn-mīn ada Sūrah al-Qasas dan ṯā-sīn-mīm pada sūrah al-
Shu`ara‟ dipisah oleh ṯā-sīn pada Sūrah al-Naml yang jumah ayatnya
pendek. Jika ini disusun berdasarkan ijtihad para sahabat maka tentu
sūrah-sūrah yang diawali dengan sabbaẖa diletakkan berurutan, ṯā-sīn
pada Sūrah al-Naml diakhirkan daripada ṯā-sīn-mīm pada sūrah al-Qasas.33
Sekalipun demikian ilmu munāsabah bukan lah berdasarkan
tauqīfi melainkan berdasarkan ijtihādi. Oleh karena itu, kita hendak
mencari hikmah yang terkandung terhadap penempatan susunan ayat atau
sūrah atau urutan kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur`an dengan
menggunakan ilmu munāsabah. Untuk itu diperlukan kemampuan dan
ketajaman berfikir seorang mufassīr dalam menemukan hubungan-
hubungan antara ayat-ayat atau sūrah-sūrah. Hubungan-hubungan itu
33
Kusnadi, al-Wahdah al-Qur`aniyyah Dalam Tafsir al-Asās (studi atas Munāsabah al-
Qur`an menurut Saʻīd Hawwā) Disertasi sekolah Pascasarjana Universita Islam Negeri Jakarta,
2010, h.53.
28
adalah kemungkinan-kemungkinan yang harus diungkapkan oleh
mufassīr.34
Dari keterangan di atas, dapatlah dipahami bahwa hubungan-
hubungan antara ayat-ayat itu dapat diterima apabila telah sesuai dengan
asas-asas kebahasaan. Karena dalam persoalan munāsabah kekuatan
pemikirlah yang menemukan keterkaitan suatu pembicaraan. Kerena
munāsabah merupakan persoalan yang menyangkut tafsir, maka bila
sesuatu muncul dan disampaikan berdasarkan rasionalisasi akal, tentu ia
akan diterima tetapi sebaliknya tentu ia akan ditolak. Hal ini sejalan
dengan kaidah yang dikemukan oleh mufassīr:
قول تلقته با القبول عا عرض على الذقول إعالمناسبة امر م
“Munāsabah ialah soal akal, jika ia masuk akal akan diterima”35
Dalam perkembangan kajian munāsabah yang dikutip dari al-
Sayūtī, orang yang pertama menyusun kajian munāsabah yakni Syaikh
Abū Bakr an-Naisābūrī (w. 324 H).36
Ia adalah seorang ulama yang ahli di
bidang ilmu syari‟at dan adab ( kesusatraan Arab), ia besar perhatiannya
terhadap kajian ini tampak jelas dari ungkapan al-Sayūtī bahwa setiap kali
ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan al-Qur`an kepadanya, beliau
berkata ”mengapa ayat ini diletakkan di samping sūrah ini? Beliau
34
Endad Musadad, “Munāsabah Dalam Tafsir Mafātih al-Ghaib,” ( Tesisi S2 Program
Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005), h.23. 35
Endad Musadad, “Munāsabah Dalam Tafsir Mafātih al-Ghaib,” h. 24. 36
al-Suyūṯī, al-Itqān Fi Ulum al-Qur`ān, h. 471
29
mengkritik para ulama Baghdad sebab mereka tidak mengetahui persoalan
ini.”37
Kajian tentang ilmu munāsabah terus berlanjut hingga sekarang,
ilmu munāsabah al-Qur`an mengalami perkembangan yang cukup
signifikan, susunan al-Qur`an sebagai sebuah kemukjizatan al-Qur`an
memberikan ruangan seluas-luasnya bagi penggiat kajian al-Qur`an untuk
menyelami dan menyingkap rahasia-rahasia di balik susunan ayat-ayat al-
Qur`an.
D. Macam-Macam Munāsabah.
Bertitik tolak dari pengertian ilmu munāsabah di atas yang berkisar
antara dua yaitu hubungan antara ayat dengan ayat dan hubungan antara
sūrah dengan sūrah. Maka macam-macam munāsabah disini tidak lepas
dari dari dua komponen itu, para ahli ilmu-ilmu al-Qur`an sering
membagi-bagikan munāsabah ke dalam beberapa model, yaitu:
1. Munāsabah ditinjau dari sisi letak.
a. Munāsabah antarkata dalam satu ayat.
Bukti keberadaan hubungan antarkata dan kalimat dalam satu ayat
sangat banyak dalam al-Qur`an contohnya adalah:
إ٠بن إ٠بن غزع١ عجذ “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan
Ketika menerangkan rahasia peletakkan kalimat iyyaka Na‟budu di
depan kalimat iyyaka Nasta‟īn mengatakan bahwa pendahuluan Ibādah dai
37
al-Suyūṯī, al-Itqān Fi Ulum al-Qur`ān, h. 471
30
kata isti‟anah.38
dalam surat al-Fātihah sama dengan mendahulukan tujuan
dari sarana. Ibadah merupakan tujuan puncak penciptaan semua makhluk,
sedangkan minta pertolongan merupakan sarana untuk mencapai ibadah.
b. Munāsabah satu ayat dengan ayat sesudahnya.
Susunan ayat al-Qur`an sendiri didasarkan pada petunjuk Nabi
Muẖammad Saw sehingga membentuk susunan dan urutan yang kokoh.
Hal ini tentu menandakan adanya hubungan yang erat antara satu ayat
dengan ayat yang lain. Seperti hubungan antara ayat-ayat pada bagian
pertama Sūrah al-Baqarah. Seperti berikut:
ث ٱز٠ لجه ب أضي ب أضي إ١ه ث ٱألخشح ٠ؤ ٠ل
ئه أ ئه
أ ث س ذ ع فح ٱ“ (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan salat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka (3). dan mereka yang beriman kepada
Kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab
yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat (4).Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung (5).”
Ayat 3 sampai dengan 5 dari Sūrah al-Baqarah ini menyebutkan
sebagian sifat-sifat mereka yang bertaqwa diantaranya yaitu dimulai
dengan orang yang percaya pada yang gaib, mendirikan salat,
menafkahkan sebagian rezki, yang beriman pada kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah, dan orang-orang yang meyakini adanya hari
akhir.39
38
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur‟an. Penerjemah Nasiruddin Abbas, h.79.
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.89.
31
Semua sifat di atas mempunyai manfaat dan pengaruh besar yang
terhadap manusia. Maka itu, Allah menegaskan keadaan dan nasib orang-
orang yang bertaqwa melalui ayat berikutnya yaitu ayat 5. Yang
mengisyarakatkan orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang
beruntung.40
Pada ayat 6-7 sūrah al-Baqarah Allah berfirman:
إ ٱز٠ ل ٠ؤ رزس أ ءأزسر اء ع١ وفشا ع خز ٱلل
عزاة ح غش ش أثص ع ع ع ع لث ع ٧عظ١
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu
beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga
akan beriman (6)Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa
yang amat berat(7)”
Ayat ini bukan berbicara tentang semua orang kafir, tetapi orang
kafir yang kekufurannya telah mendarah daging di jiwa mereka, sehingga
tidak lagi mungkin berubah. Ayat ini menunjukkan kepada mereka yang
keadaannya telah diketahui Allah sebelumnya, pada saat dan sesudah
datangnya ajakan beriman kepada mereka.41
Pada ayat 3-5 sūrah al-Baqarah menjelaskan tentang sifat orang-
orang yang bertaqwa dan pada ayat 6-7 menjelaskan tentang peringatan
orang kafir yang tidak mau beriman kepada Allah. Quraish Shihab
mengungkapkan dalam kitabnya “Al-Qur`an seringkali menggabungkan
dalam uraian-uraianya sesuatu dengan lawannya. Biasanya setelah
menyebut surga dilanjutkan dengan uraian tentang nereka, setelah
menjelaskan siapa yang hidup, dan berbicara tentang yang mati, setelah
40
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an, h.84. 41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 94.
32
menguraikan zakat, dibicarakannya riba demikian silih berganti. Salah satu
tujuannya adalah untuk menghidangkan perbandingan antara keduanya,
sehingga yang mendengarnya tertarik mengarah kepada hal-hal yang
bersifat positif. Kebiasaan memadukan dua hal yang bertentangan itu
ditempuh pula dalam ayat ini, yakni setelah menyebut sifat-sifat orang
bertakwa dijelaskannya sifat orang-orang kafir. Setelah menjelaskan
betapa petunjuk al-Qur`an bermanfaat untuk orang-orang kafir sehingga
baik diberi peringatan maupun tidak, tetap saja mereka dalam
kekufurannya.”42
c. Awal sūrah dengan akhir sūrah yang sama.
Kesatuan al-Qur`an bisa juga dilihat antar pembuka sūrah dengan
akhir sūrah. Dalam kitab al-Itqān karangan al-Sayūṯī banyak memberikan
contoh munāsabah model ini contohnya Seperti dalam sūrah al-Qasas
bagian awal dalam rangkaian sūrah al-Qasas mulai dari ayat 1 sampai ayat
ke 21, dan bagian pertama Sūrah al-Qasas yang artinya “Maka keluarlah
dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang
menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, "Ya Tuhanku, selamatkanlah
aku dari orang-orang yang zalim itu.". Bagian awal itu berisi kisah Nabi
Musa dan cerita Fir‟aun yang telah berbuat sewenang-wenang di muka
bumi. 43
Yang diawali juga menceritakan pertolongan yang diperoleh
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 93. 43
al-Suyūṯī, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur‟ān, h. 475.
33
Nabi Musa, kemudian menceritakan tentang tindakannya ketika ia
mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi.44
Pada bagian pertama juga mengabarkan kabar gembira kepada
Nabi Musa yang terdapat pada ayat 7 “Dan Kami ilhamkan kepada ibunya
Musa, "Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya
maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan
jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul."
Sūrah al-Qasas ini kemudian ditutup dengan ayat-ayat yang senada
isinya dengan beberapa ayat yang menjadi pembuka sūrah. Bagian penutup
ayat 86-88 ayat itu berisi perintah kepada Nabi Muhammad agar tidak
menjadi penolong orang-orang kafir. Sekaligus memberi kabar gembira
bahwa beliau dan pengikutnya yang dikeluarkan dari Mekkah akan
menaklukan kota tersebut dan menguasainya kembali.45
Munāsabah
terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi, dan sama-sama mendapat
jaminan dari Allah.
d. Antara awal ayat dengan akhir sūrah sebelumnya.
Hubungan antara pembuka sūrah dengan akhir sūrah yang
sebelumnya, misalnya akhir sūrah al-Fīl dan awal sūrah Quraisy
sebagaimana firman Allah Swt :
أوي وعصف فجع
44
Manna al-Qaṯṯān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān, h.122. 45
Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur`an, h.88.
34
“lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan
(ulat)”
ف ٠ لش٠ش ل
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy”
Penghujung sūrah al-Fīl ini berkaitan erat dengan awal sūrah
selanjutnya yaitu sūrah Quraisy, pada penghujung sūrah al-Fīl dijelaskan
bahwa Allah menjadikan orang-orang yang menentang Allah seperti daun-
daun yang dimakan ulat, dalam konteks ayat ini orang-orang yang
menetang Allah adalah pasukan bergajah yang akan menghancurkan
Ka‟bah. Di awal sūrah selanjutnya yaitu sūrah Quraisy Allah menyebutkan
bahwa “karena kebiasaan orang-orang Quraisy”, Allah menimpakan azab
kepada orang-orang yang kebiasaan mereka menentang Allah.46
Imam al-
Sayūṯī memberikan komentar perihal hubungan antar pembuka sūrah
dengan penutup sūrah sebelumnya, bahwa adakalanya hubungan yang
terjalin di antara kedua sūrah tersebut terlihat jelas dan adakalanya
hubungan antara keduanya samar. 47
e. Hubungan antara satu sūrah dengan sūrah sebelummnya.
Hubungan antara satu sūrah dengan sūrah sebelumnya, satu sūrah
berfungsi menjelaskan sūrah sebelumnya misalnya sūrah al-Fātihah ayat 6:
اذب غ ٱ اش غازم ٱص ٱ ١ “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” lalu dijelaskan di
dalam sūrah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah menjalankan
kehidupan sesuai dengan al-Qur`an sebagaimana disebutkan:
46
Helrahmi Yusman, Kesatuan Tema Sūrah al-Qur`an: Analisis terhadap konsep Mihwar
dalam Tafsīr Fī Zhilāl al-Qur`an (Tanggerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2016), h. 57. 47
Al-Suyūṯī, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur`an, hal.110.
35
ه ت ر ىز ٱ زم١ ذ ل س٠ت ف١“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa”
Selain munāsabah antara ayat yang terdapat dalam dua sūrah yang
berdekatan terdapat juga munāsabah antara satu sūrah dengan sūrah
berikutnya karena kesamaan tema yang dikandung masing-masing Sūrah.
Al-Fātihah, al-Baqarah dan Ali „Imrān misalnya memiliki tema yang
saling mendukung.
2. Munāsabah ditinjau dari sisi Isinya.
a. Munāsabah berlainan yaitu yang mengkaji hubungan antara
kalimat dengan satu kalimat namun memperbincangkan dua hal yang
bertolak belakang. Sebagai contoh ialah seperti hubungan dalam ayat-ayat
yang mengemukakan rahmat (kasih-sayang) setelah ayat-ayat adzab
(siksaan), ayat-ayat yang menyenangkan setelah ayat-ayat yang menakut-
nakuti, dan ayat-ayat yang bercerita tentang iman dan orang-orang
mukmin kemudian diiringin dengan perbincangan mengenai orang-orang
kafir. Contoh tersebut misalnya terdapat pada surat al-„Arāf ayat 156:
ٱوزت ز ١بب ف ف ٱذ أص١ت ٱألخشح حغخ إب ذب إ١ه لبي عزاث
ۦث ٠ؤر م ٠ز ء فغأوزجب ز٠ ش ععذ و ز سح أشبء
ح و زب ث ٱز٠ ٱض ب٠ ٠ؤ“ Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat;
sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah
berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku
kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku
tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang
menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat
Kami"
36
Ayat di atas adalah salah satu contoh ayat yang mengemukakan
tentang hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat yang dihubungkan
dengan huruf „aṯaf namun antar kalimat terdapat yang bertolak belakang
mengemukakan tentang rahmat setelah perkataan tentang adzab, namun
dalam al-Qur‟an masih banyak mengemukakan ayat-ayat yang seperti ini.
b. Al-Tamkīn.
Tamkin bermakna Taukid, memperkokoh atau mempertegas
pertanyaan, Fāsilah (penutup ayat) dalam suatu ayat memperkokoh
kandungan pokok dalam suatu ayat, yang dimaksud dengan fāsilah di sini
adalah yang berkaitan langsung dengan apa yang dimaksud dengan
kandungan suatu ayat. Contohnya adalah berikut ini:
أ رش أ ٱلل بء أضي بء فزصجح ٱغ ٱألسض إح خعش ط١ف خج١ش ٱلل
ۥ ب ف د ب ف ٱغ ٱألسض إ ٱلل غ ١ذ ٱ ح ٱ أ رش أ ش ٱلل عخ
ب ف ه ٱألسض ى ف جحش رجش ف ٱ ش ٱ غه ۦثأ ٠ بء ٱألسض أ رمع ع ٱغ
ۦ إل ثئر إ ٱبط ث ٱلل ح١ شءف س“Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air
dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui (63). Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di
langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kaya lagi Maha Terpuji (64).. Apakah kamu tiada melihat
bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan
bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan
(benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya?
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada Manusia (65).”
Ayat 63 diatas ditutup dengan خ١اش ط١اف menunjukkan bahwa Allah
Swt sebelum menurunkan hujan terlebih dahulu mengetahui manfaat dari
air hujan yang diturunkan dari langit sebagai sumber kehidupan manusia,
37
hujan yang menyuburkan tanah itu merupakan rahmat bagi kehidupan
makhluk hidup di dunia.
Ayat selanjutnya, ayat 64 ditutup dengan اغا اح١اذ, sifat Allah
Swt yang maha kaya dan maha terpuji ini menegaskan pernyataan
sebelumnya bahwa Allah-lah pemilik segala sesuatu apa yang dilangit dan
di bumi, serta Allah Swt tidak membutuhkan sesuatu pun. Ia maha kaya
jadi tidak membutuhkan apa pun baik itu dari langit maupun dari bumi,
baik itu makanan ataupun ibadah seorang hamba, oleh karena itu sangat
layaklah dan memperoleh puja-puji, sebab ia telah bermurah memberikan
sebegitu banyaknya nikmat kepada makhluknya.
Ayat ketiga yaitu ayat 65 kita bisa liat bahwa ayat ini diakhiri
dengan اشءف ااشح١ sifat ini yang digunakan Allah Swt untuk menegaskan
isi kandungan pada ayat ini, dengan maha santun dan penyayang
menunjukkan kepada hamba-hambanya bahwa Allah Swt telah
menganugerahkan nikmat kehidupan dunia ini berupa tempat ber-ikhtiar
baik di darat maupun di laut dengan bentangan langit yang
memayunginya. Itu semua tidak akan bisa terhitung jumlahnya. Itulah
bukti kesantunan Allah Swt dan kerahimannya.
38
BAB III
BIOGRAFI SAʻĪD HAWWĀ
DAN PROFIL AL-ASĀS FĪ AT- TAFSĪR
A. Saʻīd Hawwā
1. Biografi Saʻīd Hawwā.
Nama lengkap Saʻīd Hawwā yaitu Saʻīd bin Muẖammad bin Dib
Hawwā. Beliau dilahirkan di kota Hammāh,1 Syria pada tanggal 27
September 1935.2 Dari pasangan Muẖammad Dib dan Arabiyyah
Althaisy.3 Tempat Saʻīd Hawwā tinggal adalah tempat yang terbesar di
Hammāh, namun keliatannya juga tempat termiskin. Sebagian besar
penduduknya mencari nafkah dengan memperkerjakan diri mereka sebagai
buruh tani di lapangan atau dengan menjual apa yang mereka hasilkan.
Pertanian juga merupakan sumber kehidupan oleh keluarga Saʻīd Hawwā,4
diantara hasil kebunnya adaah zaitun, kurma, tembakau, kapas dan lain-
lain.
Sejak kecil Saʻīd Hawwā telah yatim, Ibunya wafat pada saat di
berumur 2 tahun yang kemudian masa kecilnya dididik dan dibimbing oleh
1Hammāh adalah sebuah kota yang dilewati oleh aliran sungai Āsi dan berlokasi di jalan
utama antara Halab (dahulu Aleppo) dan Damaskus, berada di garis perbatasan perkebunan di
pinggiran gurun Sahara. Kusnadi, al-Wahdah al-Qur`aniyyyah Dalam Tafsir al-Asās (studi atas
Munāsabah al-Qur`an menurut Saʻīd Hawwā) Disertasi sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2010, h.25. 2 Itzchak Weismen, “ Saʻīd Hawwā: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria” Middle Eastern Studies, 3 Mei 2007, h. 603. 3 Herry Mohammad, DKK. Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani, 2006), h.283. 4 Itzchak Weismen, “ Saʻīd Hawwā: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria”, h. 604.
39
sang Ayahnya Muẖammad Dib,5 namun setelahnya ayahnya terlibat
perseteruan yang mengakibat ayahnya di penjara selama empat tahun,
yang kemudian Saʻīd tinggal dan diasuh oleh neneknya. Ayah Saʻīd
Hawwā adalah seorang yang pemberani dan pejuang dalam melawan
penjajah Perancis.6 Muẖammad Dib Hawwa adalah aktifis politik sejak
tahun 1930 H.7
Saʻīd Hawwā lahir dalam situasi politik Syria dibawah kekuasaan
Perancis. Syria jatuh ketangan Perancis pada tahun 1920. Saat Syria di
pimpin oleh Amir Faisal.8 Dibawah pemerintahan Perancis banyak terjadi
ketidak adilan yang merugikan warga muslim. Kehidupan warga muslim
sangat tidak kondusif di bawah kekuasaan Perancis, penguasaan asing
yang sangat dominan semakin membangkitkan rasa nasionalisme Arab
rakyat Syria. Saʻīd Hawwā hidup dalam kondisi dibawah penjajahan
membuat beliau tumbuh menjadi pemuda yang tegar selain itu darah
pejuang juga mengalir dari sang ayah nya yang juga pejuang melawang
penjajah.
Pada masa muda Saʻīd Hawwā banyak berkembang beberapa
pemikiran seperti pemikiran sosialis, Nasionalis, Ba‟ats, dan Ikhwanul
Muslimin. Pada tahun 1952 saat dia masih berada sekolah menengah
5 Ayah Saʻīd Hawwā adalah seorang pejuang militan melawan klonial Perancis dan juga
dikena sebagai seorang politis yang banyak melakukan propoganda kepada para petani di
daerahnya untuk melawan tuan rumah. Kusnadi, al-Wahdah al-Qur`aniyyyah Dalam Tafsir al-
Asās (studi atas Munāsabah al-Qur`an menurut Saʻīd Hawwā) Disertasi sekolah Pascasarjana
Universita Islam Negeri Jakarta, 2010, h.26. 6 Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh Pembangunan,
penerjemah: Khozin Abu Faqih dan Fachruddin (Jakarta: I‟tishom, 2003), h.401 7 Itzchak Weismen, “ Saʻīd Hawwā: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria”, h. 606. 8 Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr, h.40.
40
umum ia bergabung dalam Jam‟iyyah al-Ikhwān al-Muslimīn.9 Beberapa
tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di Universitas Syria dan lulus pada
tahun 1961.10
Kemudian mengikuti wajib militer dan lulus sebagai
perwira tahun 1963. Setahun kemudian ia melaksanakan pernikahan dan
dikaruniai empat orang anak.11
Perjalanan intelektual Saʻīd Hawwā bermula dengan beguru pada
beberapa Syaikh di Suriah. Diantara gurunya yang terkenal di Hammāh
yaitu Syaikh Muẖammad al-Hamid, Syaikh Muẖammad Al-Hasyimi,
Syaikh Abdul Wahab Dabas Wazit, Syaikh Abdul Karim ar-Rifa‟i, Syaikh
Ahmad Al-Murad, dan Syaikh Muẖammad Ali al-Murad.12
Selain itu,
Saʻīd Hawwā juga belajar kepada ustadz seperti: As-Siba‟i, Musthafa az-
Zarqa, Fauzi Faidhullah dan kepada beberapa orang guru lainnya.
Menurut penuturan al-Mustasyar Abdullah al-Aqil13
yang pernah
bertemu dengan Saʻīd Hawwā di Yordania, Kuwait, Eropa dan Pakistan.
Mengungkapkan bahwa Saʻīd Hawwā adalah orang berakhlak mulia,
tawadhu`, zuhud dan kehidupannya sangat sederhana, tidak ditemukan
apa-apa di rumahnya selain tempat tidur sederhana dan pakaian yang tidak
9 Ikhwān al-Muslimīn telah menjadi gerakan oposisi yang tidak pernah memegang
kekuasaan politik, Ikhwāb al-Muslimīn di Suriah berawal pada 1930 ketiak orang-orang Suriah
berjuang untuk mendapatkan kemerdekaanya dari penguasan Perancis. John L. Esposito , Dunia
Islam Modern Enksiklopedia Oxford , jilid, 2. Cet.1, h.276. Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd
Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr , h. 47. 10
Itzchak Weismen, “ Saʻīd Hawwā: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria”, h. 615 11
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan, h.401 12
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan, h.401 13
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan, h.401
41
pantas dipakai oleh ulama di negara tersebut. sikap ini lah yang
membuatnya bersikap baik kepada orang-orang yang memperbanyak
bukunya baik seizinnya ataupun tidak.
Kiprahnya nya di dunia pendidikannya dimanifestasikan dalam
lembaga-lembaga pendidikan seperti pada al-Ma‟had al-„ilmī di kota
Hufuf wilayah Ihsa selama 2 tahun. Selain itu Saʻīd Hawwā juga mengajar
di Madinah selama 5 tahun, dan juga pengabdian nya kepada masyarakat
memberikan pengetahuannya kepada sejumlah besar masyarakat.14
Aktifitas dakwahnya itu tidak hanya di Syria tapi juga meliputi negara-
negara Arab. Dalam dakwah nya itu berkaitan dengan hal kepemimpinan
karena beliau adalah bagian dari Ikhwān al-Muslimīn yang kegiatan nya
juga mengurusi masalah politik.
Pada tahun 1973 Saʻīd Hawwā memimpin demontrasi yang
menentang undang-undang di Suriah. Oleh karena itu, Ia dijebloskan ke
penjera selama lima tahun sejak 5 Maret 1973 sampai 29 Januari 1978. 15
selesai menjalani masa tahanan Saʻīd Hawwā mengadakan perjalanan ke
Pakistan dan Iran.
Pada tahun 1980 atas prakarsa Saʻīd Hawwā, dibentuklah Front
Islam Syria (FIS) untuk menghadapi oposisi kekerasaan pada rezim al-
Asad. Dibentuk FIS ini sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi
perjuangan Ikhwān al-Muslimīn yang gagal dalam menentang rezim al-
14
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan, h.402. 15
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan, h.402.
42
Asad, karena pada waktu itu pemeritah Suriah mengeluarkan dekrit bahwa
setiap orang yang berhubungan dengan Ikhwān al-Muslimīn dapat dijatuhi
hukum mati.16
Namun, pada sekeitar tahun 1980-an aktifitas Saʻīd Hawwā dan
Ikhwān al-Muslimīn tidak terdengar lagi, karena pada tahun itu puncak
teror dan balasan teror selama lima tahun pecah dalam bentu pertikaian
antara ikhwān al-Muslimīn dari rezim Suriah di dalam kubu sunni yang
konservatif secara sosial di Hammāh.
Pada tahun 1978 Saʻīd Hawwā terkena stroke dan juga mengalami
komplikasi penyakit: tekanan darah, gula, ginjal dan sakit mata. Setelah
beliau bergulat dengan penyakitnya selama lima tahun, namun pada
tanggan 9 Maret 1989 seorang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman,
Yordania. Yang meninggalkan seorang istri dan empat orang anak dan
juga karya tulis yang banyak.17
2. Karya-karya Saʻīd Hawwā.
Menurut penuturan al-Mustasyar Abdullah al-Aqil18
Saʻīd Hawwā
punya potensi besar, dinamisme bergelora, tidak lesu atau jenuh. Hanya
dalam beberapa waktu ia dapat menyelesaikan penulisan buku, ia memiliki
kemampuan menulis luar biasa.
16
John L. Esposito, Dunia Islam Modern Enksiklopedia Oxford, jil. 2. Cet.1, h.277. 17
Herry Mohammad, DKK. Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, h.290. 18
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh Pembangunan,
h.403.
43
Saʻīd Hawwā adalah seorang penulis yang produktif, hasil karya
nya meliputi berbagai macam keilmuan. Diantara buku-buku karya Saʻīd
Hawwā yaitu:
1. Al-Islam.19
Dalam buku ini mengupas tentang seluk beluk Islam yang
berdasarkan Hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah yang menerangkan
tentang hukum Islam, rukun Iman dan Ihsan.20
Pokok-pokok pembahasan
tersebut diuraikan dengan kajian yang mendalam yang disusun dalam
empat juz, al-Islam merupakan salah satu karya Saʻīd Hawwā yang
membahas seputar prinsip kehidupan seorang muslim.
2. Al-Mustakhlas Fī Tazkiyah al-Anfūs.21
Pembahasan buku ini berkaitan dengan inti penyucian jiwa dan
sebagai salah satu dari rangkaian buku lainnya.
3. Al-Rasul.22
Pembahasan dalam buku ini dibagi dalam dua juz yang berbicara
tentang kepribadian Nabi Muẖammad dan misi kenabiannya.23
4. Al-Asās fī al-Sunnah.
Sistematika penulisan dalam kitab ini adalah: pertama, as-Sirah
yaitu tentang sejarah kehidupan Nabi Muẖammad sejak berita kelahiran
19
Saʻīd Hawwā, al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), cet. Ke-2. Edisi terjemahan:
Saʻīd Hawwā, Al-Islam, penerjemah Abu Ridho dan inur Rofiq Shaleh Tamhid ( Jakarta: al-
I‟tishom, 2011), cet. Ke-1 20
Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr, h.61. 21
Saʻīd Hawwā, Kajian Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya‟ Ulumuddin
(Jakarta: Pena pundi Aksara, 2010), cet, Ke-1. 22
Saʻīd Hawwā, Ar-Rasul (Jakarta: Al-I‟tishom, 2002) 23
Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr, h.62
44
sampai tahun ke 39 H. Kedua, Al-Aqa‟id24
yaitu tentang persoalan akidah
yaitu hal-hal yang berkaitan persoalan akidah seperti hal-hal yang
berkaitan dengan keimanan sebagai misi utama Nabi menegakkan akidah
Islamiyah. Ketiga, Al-Ibadah pokok yang tercakup dalam rukun Islam dan
yang terkait dengannya. Keempat, tentang akhlak persoalan sosial. Kelima,
tetang hukum keperdataan dan persoalan muamalah.25
5. Jundullah Tsaqafatan wa Akhlāqun ( Sekitar tahun 1971)
Di dalam kitab tafsir al-Asās al-Tafsīr Saʻīd Hawwā menjelaskan
sekilas tentang kitab Jundullah Tsaqafatan wa Akhlāqun yang mana salah
satu tujuan penulisan kitab itu adalah tentang al-walā (saling tolong
menolong antara umat Islam).
Dalam buku ini Saʻīd Hawwā menyebutkan bahwa tsaqafah
seorang muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da‟i yang ulung
seharusnya punya bekal yang cukup dari materi-materi ini.26
6. Karya Saʻīd Hawwā yang lain.
Seperti: Allāh Jallā wa Jalāluhu, Tarbiyatunā al-Ruẖiyā,
Mudhakkirat fī manāzil al-Saddiqīn wa al-Rabbānyīn, Mīn Ajlī Khuṯwah
ilā al-Amām „Alā Tāriq al-Jihād al-mubarak, Durūs fī al-Amāl al-īslāmī
al-mubarak, Jaulāt fī al-Fiqhain al-Kabīr wa al-saghīr wa usūluhā, Fī
afāq al-Ta‟lim, Fusul fī al-Imrah wa al-Amīr, Risālah Munṯālaq Islāmīyāh
24
Al-Mustasyar Abdullah Aal-Aqil, Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan, h.405. 25
Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr, h.63. 26
Herry Mohammad, DKK. Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, h. 288.
45
li-Hadarah, „Alāmīyah Jadīdah, Ijāzah Takhassus al-Du‟a, Al-Asās Fī
Tafsīr. Dan lain-lain.
B. Profil Tafsir al-Asās Fī at-Tafsīr.
1. Latar belakang penulisan Tafsir.
Seperti umumnya para mufassīr, Saʻīd Hawwā dalam penulisan
tafsirnya mempunyai latar belakang atau tujuan menjadikan al-Qur`an
sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan. Menjadikan al-
Qur`an sebagai ajaran pokok yang dijadikan pilar kehidupan, baik
kehidupan ilmiah, atau berbagai aktifitas ke-Islaman. Membentuk pribadi
muslim yang memahami makna-makna al-Qur`an dan mengaplikasikannya
dengan amal nyata. Ia memposisikan al-Qur`an sebagai tuntunan di dalam
berhukum dan berkehidupan, serta menjadikannya solusi untuk menjawab
berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, karena ia diturunkan untuk
menyelamatkan manusia dari kesesatan kepada petunjuk kebenaran.
2. Metode tafsir dan corak penafsiran.
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa
Arab menterjemahkannya tharīqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia
kata itu mengandung arti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai maksud tertentu27
Namun dalam metodologi tafsir diartikan
sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah,
membahas merefleksikan kandungan al-Qur`an secara apreasif. Dalam
27
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke 1 (Jakarta: Balai pustaka,
1988), h.580-581.
46
penulisan kita tafsir terdapat beberapa metode yang sering kali digunakan
yaitu: metode ijmāli28
,Taẖlīli29
, Muqāran 30
, dan metode maudhū‟i.31
Metode yang digunakan oleh Saʻīd Hawwā dalam penafsirannya
ialah metode tahlīli, hal tersebut dibuktikan karena tafsirannya berurutan
sesuai mushaf „Utsmani yang dimulai dari Sūrah al-Fātiẖah dan diakhiri
dengan Sūrah al-Nās.
Penggunaan taẖlīli sebagai metode yang digunakan dalam
penulisan kitab al-Asās fī al-Tafsīrmisalnya penafsiran Sūrah al-Baqarah,
pertama membagi Sūrah al-Baqarah dalam tiga kelompok yaitu
mukadimah dari ayat 1 sampai ayat 20, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat
284, dan ayat 2 terakhir sebagai penutup Sūrah. Dalam mukadimah nya itu
terdapat tiga faqrah yaitu: pertama, ayat 1 sampai 5, kedua, ayat 11
sampai 16, ketiga, terdapat tiga majmū‟ah yaitu majmū‟ah pertama ayat 8
sampai 10, majmū‟ah kedua ayat 11 sampai 16, majmū‟ah ketiga 17
sampai 20. Bagian tengah al-Baqarah terdiri dari tiga Qism yang
28
Metode Ijmāli adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an secara ringkas tapi
mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. 29
Maksud dari Tahlīli ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Nashruddin Baidan , Metodologi Penafsiran al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka
pelajar Offset, 1998), h.31. 30
Muqārin adalah metode komparatif maksudnya adalah membandingkan teks ayat-ayat
al-Qur`an yang memeliki persamaan atau kemiripan redaksi, membandingkan dengan hadis,
membandinkan berbagai pendapat para ulama. 31
Maudhū‟i ialah membahas ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan tema tau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang berkaitan dengannya.
47
mengandung beberapa maqṯa‟ dan faqrah. Ayat yang ditafsirkan disusun
dalam kelompok-kelompok ayat yang memudahkan uraiannya.32
Untuk mengetahui corak dari kitab al-Asās fī al-Tafsīr
dikategorikan bercorak adabī ijtimā‟i (sastra dan kemasyarakatan). Seperti
ketika Saʻīd Hawwā menjelaskan tentang pentingnya jihad di jalan Allah.
Bahwa kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan harus disertai dengan jihad.
Meninggalkan jihad berarti keluar dari petunjuk al-Qur`an yang dan
banyak ayatnya mengungkap tentang perintah jihad. Dalam konteks ini
pula pentingnya berjihad dalam persoalan iman, karena petujuk Allah akan
datang kepada yang mengikuti al-Qur`an dengan mengimaninya terlebih
dahulu.33
Menurut al-Farmāwī corak dalam kitab al-Asās Fī al-Tafsīrini
adalah menitik beratkan pada aspek ketelitian redaksi al-Qur`an dengan
menyusun makna yang dimuat dengan gaya bahasa yang indah dan
menarik, menerapkan teks al-Qur`an pada persoalan kemasyarakatan, tidak
menggunakan istilah-istilah teknis ilmiah dan membicarakan hal-hal yang
memang dibutuhkan dan penting.34
3. Sumber penafsiran dan Referensi mufassīr.
32
Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr, h.69. 33
Kusnadi, al-Wahdah al-Qur`aniyyah Dalam Tafsir al-Asās (studi atas Munāsabah al-
Qur`an menurut Saʻīd Hawwā), h.42. 34
Kusnadi, al-Wahdah al-Qur`aniyyah Dalam Tafsir al-Asās (studi atas Munāsabah al-
Qur`an menurut Saʻīd Hawwā), h. 42.
48
Sumber penafsiran yang digunakan oleh Saʻīd Hawwā adalah
perpaduan antara bil ma‟tsūr35
dan bil Ra‟yi36
, artinya Ia menggunakan
riwayat baik yang berasal dari Nabi, Sahabat, Tabi‟in dan hasil ijtihad
sebagai sumber penafsirannya.
Dalam kitab al-Asās fī at Tafsīr karya Saʻīd Hawwā dalam
penafsirannya beliau merujuk ke beberapa kitab pada tahap pertama
karena pada saat penulisan kitab ini Saʻīd Hawwā di dalam penjara dan
beliau hanya mengandalkan dua tafsir saja yaitu tafsir Ibnu Katsīr dan
Tafsir an-Nasafi.37
Namun dalam pendahuluannya Saʻīd Hawwā
mengatakan Ia bertekad akan melengkapi dan menyempurnakan tafsirnya
setelah kondisi nya berubah atau setelah keluar penjara.
Namun, dapat dilihat pada kitab al-Asās al-Tafsīritu masalah
referensi mufassīr terdapat juga kitab tafsir tafsir Rūẖ al-ma‟āni, dan tafsir
Fī Zilāl al-Qur`an. Dengna begitu referensi yang digunakan Saʻīd Hawwā
dapat dicirikan dengan dua spefikasi yaitu dua kitab yang tafsir pertama
sebagai model tafsir klasik sedangankan dua kita tafsir terakhir merupakan
golongan tafsir modern. Saʻīd Hawwā memadukan pemahamannya
melalui empat jenis kitab tafsir tersebut.
35
Tafsir bil Ma`tsūr adalah tafsir yang menjelaskan makna-makna ayat al-Qur`an dan
menguraikannya dengan apa yang ada dalam al-Qur`an, sunnah Nabawiyyah yang shahih atau
pendapat para sahabat, dengan demikian sumber tafsir bil ma`tsūr ada tiga yaittu al-Qur`an al-
Karim, sunnah Nabawiyyah yang shahih, dan pendapat para sahabat . Yunus Hasan Abidu, Tafsir
al-Qur`an (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.4. 36
Tafsir bil Ra`yi berarti menafsirkan al-Qur`an dengan ijtihad setelah mufassīr
memahami bahasa Arab, menguasai makna-maknanya, pola-pola bahasa Arab metode-metode
bangsa Arab dalam mengungkapkan kalimat dan menguasai berbagai sarana dan ilmu yang
diperlukan. Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur`an, h.8. 37
Saʻīd Hawwā, Tafsir al-Asās penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999),
h.9.
49
4. Sistematika penulisan.
Untuk memudahkan penyajiannya Saʻīd Hawwā menggunakan
sistematika dengan membagi kelompok Sūrah dalam al-Qur`an. Sa‟īḏ
Hawwā memberikan kategorisasi dalam empat macam atau qism; pertama,
at-Tiwāl38
yaitu al-Baqarah sampai al-Bara‟ah. Kedua, Mi‟in yaitu Sūrah
Yūnus sampai al-Qasas. Ketiga mathani yaitu al-ankabūt sampai Sūrah
Qāf, keempat Mufassal yaitu ad-Dzāriyāt sampai Sūrah an-Nās.
Kitab Tafsir al-Asās fī al-Tafsīrmerupakan kitab tafsir yang terdiri
dari 11 (sebelas) jilid besar. Yaitu seperti urutan sūrah-sūrah seperti yang
terdapat dalam mushaf yaitu:
Jilid I yaitu dimulai dengan penafsiran Sūrah al-Fātihāh dan kemudian
dilanjutkan oleh Sūrah al-Baqarah sampai ayat 286
Jilid II yaitu dari Sūrah ali Imrān sampai al-Nisā` ayat 176
Jilid III yaitu al-Māidah sampai al-An‟ām ayat 165
Jilid IV yaitu al-„Arāf sampai al-Taubah.
Jilid V yaitu Yūnus sampai Ibrahīm
Jilid VI yaitu al-Hijr sampai Maryam.
Jilid VII yaitu Tāhā sampai al-Qasas.
Jilid VIII yaitu al-„Ankabūt sampai Sād.
Jilid XI yaitu az-Zumar sampai Qāf.
38
Menurut Saʻīd Hawwā yang termasuk kategori ini adalah tujuh Sūrah panjang di awal al-
Qur`an. Ketika menentukan qism at-Tiwāla‟īd Hawwa menjadikan Sūrah al-anfal dan Sūrah at
taubah sebagai yang ketujuhnya. Sūrah ini dianggap satu karena tidak dibatasi dengan lafaz
Bismillahir rahmanir rahim. Ini sebatas digunakan untuk menggelompokkan bagian al-Qur`an. Ia
mendasarkan pandangannya pada sebuah hadis dari Aisyah dan Abu Hurairah yang menyebutkan
tujuh Sūrah pertama seperti demikian. Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-
Tafsīr, h.67.
50
Jilid X yaitu al-Dzāriyāt sampai al-Qalam.
Jilid IX yaitu al-Hāqqah sampai al-Nās
Namun dalam Rangkaian sistematika penafsiran Saʻīd Hawwā
dapat dirumuskan sebagai berikut:39
1. Menampilkan sekilas tentang Sūrah yang akan dibahas.
Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqṯa` dengan
beberapa faqrah40
nya. Pada setiap Sūrah terlebih dahulu dijelaskan
keberadaan Sūrah baik menyangkut identifikasi Sūrah, tema Sūrah,
hubungan dengan Sūrah lain atau kandungan Sūrah secara global.
2. Membagi ayat per kelompok lalu Menafsirkan ayat.
Sebelum Saʻīd Hawwā menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam
satu Sūrah, terlebih dahulu Saʻīd Hawwā membagi ayat-ayat tersebut ke
dalam beberapa kelompok. Kemudian baru ditafsirkan sesuai dengan
susunan kelompok ayat tersebut. Dalam penafsirannya Saʻīd Hawwā
Memberikan makna umum atau global kemudian menerangkan pengertian
teks ayat dan tinjauan bahasanya. Dalam hal ini ia sering menggunakan
rujukan dari kitab karya tafsir an-Nasāfī, kitab karya Ibnu Katsīr, kitab
karya tafsir Sayyid Quṯb dan kitab karya al-Alusi.
39
Septiawadi, Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī at-Tafsīr, h.69. 40
Istilah yang digunakan Saʻīd Hawwā pada tafsir al-Asās yaitu: qisim (bagian), maqtha‟
(penggalan),Faqrah (paragraf) dan majmu‟ah (kelompok). Kata Qisim lebh luas pengertiannya
dari kata-kata yang lain dan istilah ini hanya digunakan dalam sūrah-sūrah panjang saja yang
terdiri dari beberapa penggalan dan disatukan oleh satu ikatan. Kata maqtha‟ pengertiannya lebih
luas dari faqrah dan kta gunakan bila terdapat banyak ayat mempunyai topik yang sama. Kata
faqrah lebih luas pengertiannya dari kata majmu‟ah dan kita gunakan bila terdapat satu maqtha‟
yang mempunyai satu topik, namun terdiri dari sekelompok makna utama, dalam hal ini bagi
masing-masing makna utama yang ada dalam maqhta‟ dipakai istilah faqrah. kata majmu‟ah lebih
sempit pengertiannya dari kata faqrah. Saʻīd Hawwā, Tafsir al-Asās, h.30.
51
3. Menjelaskan hubungan susunan ayat.
Dalam kitab al-Asās fī al-Tafsīrmengkaji struktur ayat dalam Sūrah
misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat dengan kelompok ayat
sesudahnya atau sebelumnya, hubungan kesamaan tema satu maqṯa` atau
satu faqrah, bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada Sūrah
yang berbeda. Uraiannya tentang ini dikemukakan dengan istilah kalimah
fī as-Siyāq.
4. Menjelaskan hikmah ayat.
Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid.
Dalam bagian ini ada juga dibahas tentang munāsabah ayat khususnya
hubungan suatu ayat dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis nabi.
52
BAB IV
POLA PENAFSIRAN
DALAM SŪRAH AL-JUMU`AH MENURUT SAʻĪD HAWWĀ
A. Mukadimah sūrah al-Jumu’ah
1. Pengenalan Sūrah al-Jumu‟ah.
a. Penamaan Sūrah al-Jumu‟ah
Sūrah al-Jumu‟ah (bahasa Arab:اجعاخ) adalah susunan Sūrah ke 62
dengan menggunakan mushaf „utsmani Secara bahasa kata al-Jumu‟ah
berasal dari kata جاع ٠جاع جعاب yaitu mengumpulkn atau menghimpun,1
menurut Ibn Faris kata yang berakar jīm – mīm – „ain menunjukkan arti
„berkumpulnya sesuatu‟, sedangkan ar-Raghib al-Ashfahani menambahkan
„berkumpulnya sesuatu sehingga berdekatan satu sama lain‟.2
Nama tersebut terambil dari kata al-Jumu‟ah yang disebut ayat
kesembilan pada sūrah ini. Kata tersebut juga menunjukkan hari keenam
dari tujuh hari yang dikenal dalam seminggu yaitu hari Jumat, Menurut
Saīd Hawwā penaman hari Jum‟at itu dengan jumu‟ah karena ia
terambilkan dari lafadz “Jam‟a” yang bermakna berkumpul, karena umat
Islam berkumpul di hari itu setiap minggunya di mesjid-mesjid yang besar,
dan pada hari itu juga penciptaan seluruh makhluk selesai.3
Al-Biqā‟ī mengatakan pada kitabnya “... Ia menjelaskan apa yang
dinamai al-Saff (kesatuan barisan) karena ia adalah syariat agama yang
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 208. 2 M.Quraish Shihab, Dkk. Ensiklopedi al-Qur`an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lenter Hati,
2007), h. 379. 3 Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr (Kairo:Darussalam, 1419 H/1999 M), jilid 11, h.
5912.
53
paling jelas dan tali Islam yang paling kukuh4 dan dan itulah Jumat yang
nama sūrah ini menjelaskan tentang maksudnya dengan adanya kewajiban
berkumpul serta keharusan tampil bersegera ke sana meninggalkan segala
sesuatu selainnya karena adanya perceraiberaian saat Nabi Muẖammad
Saw berkhutbah, padahal beliau diutus untuk menyucikan mereka dan
mereka diperintahkan untuk menyatu dengan beliau dalam berjuang serta
dalam segala suka dan duka...”5
b. Asbab al-Nuzul6dan tujuannya.
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan
bahwa sūrah al-Jumu‟ah merupakan sūrah yang ke-105 dari segi perurutan
turunnya. Ia turun sesudah sūrah al-Taẖrīm dan sebelum sūrah al-
Taghābun. Jumlah ayatnya sebanyak 11 ayat menurut cara perhitungan
semua ulama.7 Menurut para ulama menilai sūrah ini turun pada VI Hijrah
setelah perang Khaibar dan bahwa ia turun sekaligus.8 Untuk memperjelas
sūrah al-Jumu‟ah penulis mengemukakan pendapat ulama lain seputar
asbāb al-Nuzūl sūrah al-Jumu‟ah yaitu:
a) Imam al-Bukhārī
4 Burhan al-Dīn al-Hasan Ibrāhīm bin Umar Al-Biqā`ī, Nazm ad-Durar fī tanāsub al-Āyāt
wa as-Suwar, (Kairo: Dār Kitāb al-Islāmi,1992 M/1413 H), h. 25 5 Quraish Shihab, al-Lubab: Makna Tujuan, dan Pelajaran dai surah-surah al-Qur`an, h.
26. 6 Asbab al-Nuzul didefiniskan sebagai sesuatu yang karenanya al-Qur`an diturunkan
sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa atau pertanyaa tetapi hal ini tidak
berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turunnya setiap ayat, karena tidak semua ayat al-
Qur`an diturunkan karena timbul suatu peristiwa atau kejadian, atau karena suatu pertanyaan.
Manna al-Qaṯṯan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, penerjemah, Aunur Rafiq el-Mazni (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 95. 7 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h.40.
8 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h.39.
54
Penelitian penulis mendapatkan penjelasan di kitab ringkasan
Shahih al-Bukhārī bahwa riwayat ini mengisyaratkan peristiwa tentang
turunnya sūrah al-Jumu‟ah ayat 3:
ءاخش٠ حما ث ب ٠ عض٠ض ٱ حى١ ٱ
“Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum
berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”
Imam al-Bukhārī meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata:
ketika kami sedang duduk bersama Nabi Saw sūrah al-Jumu‟ah diturunkan
kepada beliau. Setelah Rasulullah Saw membacakan ayat berikut “dan
(juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan
dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Saya bertanya, “Ya Rasulullah siapa mereka itu?” Rasulullah Saw tidak
menjawab pertanyaan tersebut sehingga saya mengulanginya tiga kali yang
ketika itu Salman al-Farisy berada di tengah kami, kemudian Rasulullah
Saw bersabda “seandainya iman itu berada di bintang Tsuraya, niscaya
akan diraih oleh orang-orang dari bangsa Salman a-Farisy (bangsa
Persia).9
Ibn Hajar al-Asqalānī dalam kitabnya Fatẖul al-Bārī menjelaskan
bahwa “dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum
berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” yakni belum mengadakan hubungan dengan mereka. Kata
„kaum yang lain‟ mungkin dikaitkan dengan kata „mengajari mereka‟ dan
9 Imam az-Zabidi, Ringkasan Hadis Shahih al-Bukhārī (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h.
886.
55
mungkin juga dikaitkan kepada „orang-orang ummi‟.10
Seakan-akan
maksudnya diturunkannya ayat ini dari sūrah al-Jumu‟ah, sebab perintah
untuk bersegera mengingat Allah dan ayat ini diturunkan sebelum Abu
Hurairah masuk Islam.11
Penelitian penulis mendapatkan juga penjelasan di kitab ringkasan
Shahih al-Bukhārī bahwa riwayat ini mengisyaratkan peristiwa tentang
turunnya sūrah al-Jumu‟ah ayat 11:
إرا ا شح أ ا رج ا سأ ب عذ ٱفع لب رشون لبئ إ١ب ٱلل خ١ش
ٱ شح ٱزج خ١ش ٱلل صل١ ٱش “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka
bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah
lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-
baik Pemberi rezeki “
Imam al-Bukhārī meriwayatkan dari Jābir bin „Abdullāh yang
berkata, “pada suatu hari ketika kami salat bersama-sama Rasulullah Saw.
tiba-tiba datang rombongan yang berkenderaan unta membawa makanan.
Maka orang-orang berpaling menuju rombongan yang datang itu, sehingga
yang tinggal bersama Rasulullah hanya dua belas orang.12
Karena
peristiwa itu maka turunlah ayat, “Dan apabila mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka
tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah)”13
Dari Ibnu Jarīr
10
Ibnu Hajar al-Asqalānī, Fatẖul al-Bārī, penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), h. 283. 11
Ibnu Hajar al-Asqalānī, Fatẖul al-Bārī, h. 283. 12
Dua belas orang yang masih tetap tinggal bersama Nabi Saw diantaranya adalah Abu
Bakar dan „Umar yang tetap mendengarkan khutbah Nabi. Sayyid Quthb, Tafsir Fī Zilāl al-
Qur`an, , h. 905. 13
Imām al-Hāfidz abī „Abdullāh Muẖammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah al-
Ju‟fī al-Al-Bukhārī,Shahih al-Bukhārī ( Kairo: al-Rusyd, 1427 H). kitab al-Jumu‟ah, h. 128.
56
meriwayatkan dari Jābir bin „Abdullāh yang berkata, “ wanita-wanita saat
itu jika mengadakan pesta pernikahan maka mereka membuat iring-iringan
yang gemerlap dengan diiringi alunan suara musik. Para sahabat lantas
meninggalkan Rasulullah yang tengah berkhutbah di atas mimbar dan
pergi menghampiri iring-iringan tersebut lalu Allah menurunkan ayat ini.
14
b) Al-Suyūṯī.
Al-Suyūṯī dalam kitab Lubāb al Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl
menyetujui sebab diturunkan ayat ini berkenaan dengan kedua hal di
atas.15
Dalam kitab Lubāb al Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl karangan al-Suyūṯī
ini juga penulis temukan riwayat Ibnul Mundzir dari Jabīr dari satu jalur
saja yang mengemukakan kisah pernikahan dan kedatangan kafilah dagang
ini sekaligus. Artinya yaat ini turun berkenaan dengan kedua hal ini.16
Saʻīd Hawwā menjelaskan tujuan sūrah ini adalah menanamkan
dalam benak jama‟ah muslim di Madinah bahwa mereka lah jama‟ah
pilihan terakhir untuk memikul amanah akidah iman, bahwa ini adalah
karunia dari Allah kepada mereka bahwa diutusnya Rasul ditengah kaum
yang ummī yaitu bangsa Arab merupakan anugerah terbesar yang patut
diperhatikan dan disyukuri, di samping menuntut berbagai beban yang
harus dipikul oleh sekelompok orang yang merespon dakwah Rasulullah
dan mengemban amanah. Dan bahwa mereka itu sambung menyambung
14
Jalāl al-Din as-Sayūṯī, Lubābun Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, penerjemah Tim Abdul
Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2008), h.573. 15
Jalāl al-Din as-Sayūṯī, Lubābun Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, h.574. 16
Jalāl al-Din as-Sayūṯī, Lubābun Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, h.574
57
sepanjang zaman tanpa terputus. Allah menakdirkan benih ini tumbuh
berkembang setelah Bani Israil enggan memikul amanah ini dan hubungan
mereka dengan amanah langit telah terputus. Mereka membawa taurat
seperti keledai membawa kitab-kitab yang tebal tidak punya tugas dalam
memahaminya dan tidak punya keterlibatan dalam misinya. 17
Lebih lanjut Sayyid Quthb menjelaskan, Yang hendak ditanamkan
Sūrah ini di hati kaum muslimin, baik yang ada di Madinah pada waktu itu
secara khusus yaitu orang-orang yang ditugasi Allah untuk merealisasikan
manhaj Islam ini secara riil,18
sementara Saʻīd Hawwā menambahkan,
orang-orang yang datang sesudah mereka yang diisyaratkan oleh sūrah
tersebut dan dihimpun ke dalam rangkaian yang terbentang sepanjang
zaman.19
Saʻīd Hawwā mengatakan bahwa sūrah ini memaparkan kondisi
yang terjadi saat itu ketika mereka membangun peradaban yang sangat
rumit dan lama sekali diantaranya ialah ingin cepat mendapat keuntungan
dengan bersikap tamak20
sūrah ini membebaskan jiwa dari faktor-faktor
penghalang berupa ketamakkan dan ambisi terhadap keuntungan jangka
pendek, di samping warisan-warisan lingkungan tradisi. Khususnya cinta
harta dan sarana-sarananya yang dapat melalaikan hati dari amanah
terbesar dan kesiapan mental untuk mengemban amanah tersebut.21
17
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr (Kairo:Darussalam, 1419 H/1999 M), jilid 11, h.
5898. 18
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilālil Qur`ān, h. 904. 19
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5898. 20
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5898. 21
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilālil Qur`ān, h. 903
58
Lebih jelas Sayyid Quthb menyebutkan dalam kitabnya “peristiwa
ini mengungkapkan sejauh mana usaha yang dikerahkan untuk membina
jama‟ah pertama hingga batas akhir yang dapat dicapainya dan hingga
menjadi teladan yang unik dalam sejarah Islam dan sejarah umat manusia
seluruhnya. Peristiwa ini juga mengilhami kita untuk bersabar menghadapi
beratnya pembangunan mental dalam suatu generasi untuk membentuk
jama`ah muslim yang dapat memikul amanah akidah ini dan berusaha
merealisasikannya di dunia nyata sebagaimana yang direalisasikan oleh
jama‟ah pertama.22
2. Kandungan Sūrah al-Jumu‟ah.
Menurut Saʻīd Hawwā sūrah al-Jumu‟ah termasuk sūrah
Madaniyah, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbās, Ibn Zubair, al-
Hasan, Mujāhid, „Ikrimah, Qatādah, dan jumhur ulama.23
Dan Ibn Yasār
mengatakan bahwa sūrah al-Jumu‟ah ini turun di Makkah, hal itu
disampaikan oleh Ibn Abbās dan Mujāhid. Menurut Saʻīd Hawwā
pendapat awal lah yang paling shahih yaitu bahwa Sūrah al-Jumu‟ah ini
diturunkan di Madinah. Berdasarkan riwayat yang Shahih yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
عليه وسلم فأنزلت عليه سورة الجمعة بي صلى للا ا جلوسا عند الن كن
22
Sayyid Quthb, Tafsir Fī Zilāl al-Qur`an, h. 905, 23
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr (Kairo:Darussalam, 1419 H/1999 M), jilid 11, h.
5897.
59
“Suatu hari, kami duduk-duduk di sisi Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, lalu diturunkanlah pada beliau Sūrah Al Jumu'ah “
kemudian masuk Islam nya Abu Hurairah sesudah Hijrah.
Saʻīd Hawwā lalu menjelaskan ayat ke-6 dari Sūrah al-Jumu‟ah
ب ل أ٠ ٱ٠ ز٠ د ١بء لل أ أى ز ا إ صع ا بط ٱ بد د ٱفز
ذل١ ص إ وز“Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika
kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih
Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah
kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”
Mengaitkan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya, ayat yang
menjelaskan keadaan dari umat Nabi Musa AS yang menyakitinya dan
kemudian mengaitkan dengan keadaan Rasulullah Saw, dimana Allah
memberi kehormatan yang melebihi dengan nabi-nabi lain. Beliau juga
menjelaskan bahwa kedatangan Nabi Muẖammad disebut diperkataan
Nabi Isa AS yaitu pada firman Allah Sūrah as-Saff ayat 6: ا ثشعي ش جش
ذ ۥ أح ثعذ ٱع dan Firman Allah yang menunjukkan bahwa ٠أر
kepada orang- orang yang ummi Rasulullah Saw diturunkan kepada
mereka. Penafsiran ini di akhiri dengan penjelasan adanya perintah Allah
untuk berjihad dan perintah untuk solat jumat.
3. Ringkasan Saʻīd Hawwā Dalam menafsirkan Sūrah al-Jumu‟ah
Saʻīd Hawwā membagi dan mengklasifikasi Sūrah tersebut dalam
4 kelompok yang menjelaskan poros pembahasan Sūrah tersebut:
60
1. Saʻīd Hawwā megatakan Sūrah al-Jumu‟ah dimulai dengan dengan
kalimat al-musabbaẖat24
dengan perbedaan bahwa kata kerja tasbih dalam
Sūrah al-Jumu‟ah dengan fi‟il muḏori‟ atau kata kerja yang menunjukkan
waktu dimana kalimat itu diucapkan. Sedangkan 2 sifat zat Allah lainnya
disebutkan pada ayat ini yaitu al-Malik dan al-Qudūs dengan demikian 3
sifat Allah Swt telah disebutkan dalam ayat ini. 25
2. Kelompok kedua dimulai dengan menyebutkan ayat kedua dari
Sūrah al-Jumu‟ah ayat ke 2 ( ١ ثعش ف ٱز ٱأل ز ءا٠ ٠زا ع١ ۦسعل
٠ع ١ ٠ضو ت ىز خ ٱ حى ٱ لج إ وبا ج١
ف ظ ) dalam pembahasan
ini Saʻīd Hawwā mengaitkan dengan ayat ke 5 dari Sūrah al-Jumu‟ah ( ض
ا ٱز٠ خ ح سى ٱز ض ب و ٠ح بس ص ح ٱ ض ا ثئظ أعفبس ٠ح م ٱ ثا ث و ٱز٠ ذ ز ب٠ ٱلل
ذ ٱلل ل ٠ م ٱ ١ yang kemudian dalam penafsirannya ayat ini berada ( ٱظ
pada kelompok kedua dari klasifikasi Sūrah al-Jumu‟ah. Kemudian
mengaitkannya dengan ayat ke 9 yaitu ( ب أ٠ ٠ ء ٱز٠ ٠ ح ص ا إرا د ا
عخ ج ا ف ٱ روش ٱعع إ رسا ٱلل ج١ع ٱ رع إ وز خ١ش ى ى٩ر ) ketiga kelompok
ayat ini kemudian dikatakan dengan pembukaan Sūrah al-Baqarah ayat 1-3
yaitu:
ه ا ت ر ىز ٱ زم١ ذ ل س٠ت ف١ ث ٱز٠ غ١ت ٠ؤ ٱ ٠م١ ح ٱص ٠فم ب سصل
3. Sūrah al-Jumu‟ah menurut Saʻīd Hawwā membahas tentang risalah
Nabi Muẖammad Saw ayat ke dua yaitu ( ١ ثعش ف ٱز ٠زا ٱأل سعل
24
Al-Musabbaẖat adalah ayat-ayat yang menunjukkan tasbih atau pensucian diri dari zat
dan sifat yang tidak layak bagi Nya. 25
61
ز ءا٠ ۦع١ ٠ع ١ ٠ضو ت ىز خ ٱ حى ٱ ) kemudian ia mengaitkan dengan
firman Allah dalam Sūrah al-Baqarah ayat 151 ( ب ٠زا أس و ى سعل ب ف١ى ع
ى ٠ع ١ى ٠ضو زب ءا٠ ت ع١ى ىز خ ٱ حى ٱ ) Sūrah al-Jumu‟ah dalam penafsiran
Saʻīd Hawwā juga membahas tentang kebencian orang-orang Yahudi
terhadap kematian yaitu pada ayat 5-6:
ض ا ٱز٠ خ ح سى ٱز ض ب و ٠ح بس ص ح ٱ ض ا ثئظ أعفبس ٠ح م ٱ
ثا ث ٱز٠ ذ وز ب٠ ٱلل ذ ٱلل ل ٠ م ٱ ١ ٱظ ب ل أ٠ ٠ ا إ ٱز٠ بد
د ١بء لل أ أى ز ا ٱبط صع د فز ٱ ذل١ ص إ وز
Dengan demikian ayat ini memiliki relasi dengan Sūrah al-Baqarah yang
membicarakan tentang orang-orang Yahudi yaitu ayat 95-96:
ذ أ٠ذ٠ ب لذ ا ث أثذ ٠ز ث ٱلل ع١ ١ ٩ ٱظ زجذ ٱبط أحشص
ح ح١ ع ٱز٠ ضحضح ث ب ف عخ ش أ ٠ع د أحذ ٠
ۦأششوا
عزاة ٱ ش أ ٠ع ٱلل ب ٠ع ث ٩ثص١ش
Dengan demikian penjelasan dari makna-makna ayat yang ada di awal
pertama dari Sūrah al-Baqarah ada dalam Sūrah al-Jumu‟ah. Maka Sūrah al-
Jumu‟ah menjadi rincian dari awal Sūrah al-Baqarah.
4. Sūrah al-Jumu‟ah dalam penafsiran Saʻīd Hawwā dibagi: yang
pertama mukadimahh, kemudian tiga kelompok ayat yang memiliki
perbedaan jelas dan memiliki korelasi atau munāsabah. Adapun
mukadimahhnya terdiri dari satu ayat, sedangkan kelompok pertama terdiri
dari 3 ayat dan kelompok kedua terdiri dari 4 ayat dan kelompok ke 3
terdiri dari 3 ayat. 26
B. Pola penafsiran dan munāsabah dalam Sūrah al-Jumu’ah.
1. Pola penafsiran Sūrah al-Jumu‟ah.
26
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5899.
62
Saʻīd Hawwā dalam menafsirkan sūrah al-Jumu‟ah membagi ayat-
ayat dari sūrah tersebut menjadi 3 kelompok, ketika membahas setiap
kelompok beliau menyebutkan munāsabah antara kelompok ayat tersebut.
contohnya Saʻīd Hawwā menjelaskan munāsabah 4 ayat pertama dengan 4
ayat berikutnya yaitu ayat 5-8:
Kelompok pertama ayat 1-4.
ب ف ح ٠غج د لل ب ف ٱغ ه ٱألسض مذ ط ٱ عض٠ض ٱ ٱ حى١ ٱ
١ ثعش ف ٱز ٱأل ز ءا٠ ٠زا ع١ ۦسعل ٠ع ١ ٠ضو ت ىز ٱ
خ حى إ و ٱ ج١
ف ظ لج با ءاخش٠ حما ث ب ٠
عض٠ض ٱ حى١ ه ٱ ر فع ٱلل ٠شبء ٠ؤر١ ر ٱلل فع ٱ عظ١ ٱ“1. Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. 2. Dialah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-
ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. 3. dan (juga)
kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan
dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. 4. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang
besar”
Munāsabah Kelompok pertama ayat 1-4 dengan Kelompok kedua
Sūrah al-Jumu‟ah yaitu ayat 5-8:
ض ا ٱز٠ خ ح سى ص ٱز ض ب و ٠ح بس ح ٱ ض ا ثئظ أعفبس ٠ح
م ٱ ذ وزثا ث ٱز٠ ب٠ ٱلل ذ ٱلل ل ٠ م ٱ ١ ٱظ ب ل أ٠ ٠ ٱز٠
١بء لل أ أى ز ا إ صع بد د ا ٱبط د فز ٱ ذل١ ص إ وز
ل ۥ ٠ز ذ أ٠ذ٠ ب لذ ا ث أثذ ث ٱلل ع١ ١ ٧ ٱظ ل د إ
ٱز ٱ
فئ رشد ۥرفش ص م١ى ع إ غ١ت ذح ٱ ٱش ب وز ف١جئى ث
٨رع
“5. Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat,
kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan
63
kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. 6. Katakanlah: "Hai
orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu
mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah
bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu,
jika kamu adalah orang-orang yang benar. 7. Mereka tiada akan
mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan
yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan
Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim. 8.
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian
kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan".
Munāsabah kelompok kedua ayat 5-8 dengan Kelompok ketiga
Sūrah al-Jumu‟ah yaitu ayat 9-11:
ب أ٠ ٠ ٱز٠ ٠ ح ص ا إرا د عخ ءا ج ا ف ٱ روش ٱعع إ ٱلل
ر ج١ع سا ٱ رع إ وز خ١ش ى ىح لع١ذ فئرا ٩ر ٱزششا ف ٱص
ٱثزغا ٱألسض ف فع ٱروشا ٱلل ٱلل رفح إرا وض١شا عى
ا شح أ ا رج ا سأ ب عذ ٱفع لب رشون لبئ إ١ب ٱلل خ١ش ٱ
شح ٱزج خ١ش ٱلل صل١ ٱش
“9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
salat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. 10. Apabila telah ditunaikan salat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. 11. Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang
berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik
Pemberi rezeki”
Munāsabah awal sūrah al-Jumu‟sah dengan akhir sūrah as-saff
berdasarkan penelitian penulis tidak diletakkan di awal ayat yang akan
ditafsirkan tetapi diletakkan di akhir ayat yang telah dikelompokkan dan
telah ditafsirkan.
64
Di bawah penafsiran penulis dapatkan sub judul dengan tema
kalimah fī as-siyāq (pembahasan terkait ayat-ayat yang ingin ditafsirkan),
tema ini memiliki 4 point:
1. Di bawah tema ini Saʻīd Hawwa kembali membahas 4 ayat
tersebut dengan cara mengaitkannya dengan hadis Nabi dengan
kebahasaan kosa kata al-Qur`an.27
2. Mengaitkan 4 ayat awal Sūrah al-Jumu‟ah dengan Sūrah al-
Baqarah ayat 129 dan ayat 151:28
ب ٱثعش سث ٠ع زه ءا٠ ٠زا ع١ سعل ت ف١ ىز خ ٱ حى ٱ
١ ٠ضو إه أذ عض٠ض ٱ حى١ ٩ ٱ“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari
kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-
ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran)
dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”
(Q.S. al-Baqarah:129)
ب و ى ٠ع ١ى ٠ضو زب ءا٠ ٠زا ع١ى ى سعل ب ف١ى ت أسع ىز ٱ
خ حى ب ٱ ى ٠ع رىا رع
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S.
Al-Baqarah 151)
Ketika mengaitkan 4 ayat di awal Sūrah al-Jumu‟ah dengan 2 ayat
ini Saʻīd Hawwā juga menjelaskan hubungan nya dengan 4 ayat di awal
Sūrah al-Baqarah.
3. Apa yang disebutkan dalam poin kedua adalah merupakan contoh
dari apa yang disebutkan sebelumnya itu mengaitkan 4 ayat Sūrah al-
27
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5901. 28
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5902.
65
Jumu‟ah dengan 2 ayat di Sūrah al-Baqarah dan mengaitkannya secara
rinci dan 4 Sūrah al-Baqarah untuk memberi isyarat adanya keterkaitan
antara 4 Sūrah al-Jumu‟ah dengan awal Sūrah al-Baqarah. 29
2. Munāsabah.
a. Munāsabah antara kelompok ayat 1-4 dengan kelompok ayat 5-8.
Poin ke empat atau poin terakhir dari komentar Saʻīd Hawwā
barulah penulis dapatkan munāsabah. Saʻīd Hawwā menjelaskan
munāsabah antara 4 ayat pertama dari sūrah al-Jumu‟ah dengan 4 ayat (5-
8) dari sūrah al-Jumu‟ah. Munāsabah antara kelompok ayat ini dijelaskan
oleh Saʻīd Hawwā bahwa setelah Allah menjelaskan pada 4 ayat pertama
tentang pengutusan Nabi Muẖammad Saw kepada ummatnya yang buta
aksara untuk mengajarkan kepada mereka al-Qur`an dan as-Sunnah dan
juga mensucikan hati mereka. Maka pada 4 ayat-ayat berikutnya (5-8)
dijelaskan bagaimana orang-orang Bani Israil melalaikan kitab suci yang
diturunkan kepada mereka. Hal ini, dijelaskan agar orang-orang muslim
tidak meniru perilaku mereka. Saʻīd Hawwā juga menjelaskan bagaimana
sikap Bani Israil terhadap Allah dan al-Qur`an yang jauh dari tuntunannya
dimana beliau mengaitkan keadaan ini dengan perintah kepada orang
muslim untuk berpegang teguh kepada al-Qur`an dan yakin kepada al-
Qur`an.30
b. Munāsabah antara kelompok ayat 5-8 dengan kelompok ayat 9-11.
29
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5902. 30
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5903.
66
Pada kelompok kedua penulis mendapatkan munāsabah juga di
kalimah fī as-Siyāq pada poin ke-6 dalam faqrah kedua.Dalam bab ini
penulis akan menjelaskan munāsabah antara kelompok ayat 5-8 dengan
kelompok ayat 9-11 tanpa menjelaskan penafsiran yang dilakukan Saʻīd
Hawwā dengan pola penafsiran seperti kelompok pertama karena penulis
merasa cukup mengungkapkan munāsabah yang terkait dengan penelitian
penulis.
Munāsabah antara ayat-ayat 5-8 dengan antara ayat 9-11 yaitu
sesudah Allah memberikan pelajaran kepada orang-orang mukmin dari
sikap dan prilaku orang-orang Yahudi yang menyimpang dari tuntunan
Allah. Maka, kelompok ketiga dari Sūrah al-Jumu‟ah ini khitab nya
ditujukan kepada orang-orang mukmin. Untuk meminta perhatian mereka
agar memperhatikan hal yang sangat penting dan sensitif dalam kehidupan
umat Islam yaitu Solat Jum‟at sesudah Allah Swt meminta perhatian
orang-orang mukmin untuk tidak berprilaku menyimpang seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi.31
c. Munasabah awal Sūrah al-Jumu‟ah dan akhir Sūrah al-Saff.
Munāsabah awal Sūrah al-Jumu‟ah dengan akhir Sūrah al-Saff
sebagaimana penulis katakan sebelumnya bahwa munāsabah antara awal
Sūrah al-Jumu‟ah dengan akhir Sūrah al-Saff tidak disebutkan di awal
Sūrah al-Jumu‟ah tetapi di akhir, penulis dapatkan tidak lagi pada kalimah
31
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5905.
67
fī as-Siyāq tetapi di dapatkan pada kesimpulan akhir dari Sūrah al-
Jumu‟ah.
Saʻīd Hawwā menuliskan munāsabah antara awal Sūrah al-
Jumu‟ah dengan akhir Sūrah al-Saff sebagai berikut: bahwa Sūrah al-
Jumu‟ah adalah Sūrah yang memiliki redaksi yang khusus. Sūrah ini
merinci 4 ayat di awal Sūrah al-Baqarah (1-4) dan juga mengaitkannya
dengan 2 ayat lainnya (129 dan 151) dari Sūrah al-Baqarah yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Munasabah awal Sūrah al-Jumu‟ah dengan akhir Sūrah al-Saff bisa
dengan jelas diuraikan sebagai berikut: Sūrah al-Saff diakhiri dengan
dakwah atau ajakan untuk menolong Allah ( ها ٱلذين ءامن أي ا أنصار ٱلل ي وا كونو )
sedangkan Sūrah al-Jumu‟ah dimulai dengan pembicaraan tentang
pengutusan Rasulullah Saw dan tugas-tugas yang diembannya, untuk
mengajarkan al-Qur`an, Sunnah dan mensucikan hati mereka, semua ini
merupakan faktor penting yang harus dimenangkan oleh pengikut Nabi
Muẖammad yaitu orang-orang mukmin ketika membahasa Saʻīd Hawwā
menjelaskan bahwa poros dari Sūrah al-Munafiqun dijelaskan pula secara
rinci apa yang dibahas oleh Sūrah al-Jumu‟ah dan al-Saff 32
3. Munāsabah Saʻīd Hawwā dalam timbangan penulis.
Penulis dapat mengklasifikasikan munāsabah yang di jelaskan
Saʻīd Hawwā sebagai berikut:
a. Munāsabah antara kelompok ayat 1-4 dengan kelompok ayat 5-8.
32
Saʻīd Hawwā, al-Asās fī at-Tafsīr, h. 5918.
68
Pada kelompok ayat 1-4 menjelaskan tentang pengangkatan
Rasulullah Saw kepada orang-orang Ummiyyīn yang tujuannya
mengajarkan mereka al-Qur`an dan sunnah dan mensucikan mereka.
Kemudian datang faqrah selanjutnya yaitu ayat 5-8 yang menceritakan
celaan terhadap orang-orang yang mengabaikan kitab suci mereka
pengabaian Bani Israil terhadap kitab yang telah diturunkan kepada
mereka.
Ketersambungannya yaitu Allah yang mengirimkan kitab suci
kepada umat yang dimana kitab suci itu diturunkan. Nabi Muẖammad oleh
kaumnya tidak diterima sepenuhnya begitu juga dicontohkan dengan Nabi
Musa yang juga tidak diterima sepenuhnya oleh umatnya bahkan kitab
sucinya diremehkan artinya mereka tidak mengambil dan memafaatkan isi
kitab suci mereka. Jadi, bahwa Nabi jangan pernah kecewa karena
diingkari ajarannya atau ditolak al-Qur‟an karena Nabi Musa juga telah di
tolak ajarannya diingkari juga kenabiannya bahkan diremehkan kitabnya.
Dan juga walaupun faqrah kedua turun dalam konteks kecaman kepada
orang-orang Yahudi, ia dapat mencakup juga umat Islam yang diamanati
al-Qur`an, bila mereka tidak meraih petunjuknya dan mengamalkan
kandungannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ayat tersebut turun sebagai
peringatan terhadap umat al-Qur`an. Ini lah kesimpulan munāsabah antara
kelompok ayat 1-4 dengan 5-8 yang penulis dapatkan dari kitab tafsir
karangan Saʻīd Hawwā.
b. Munāsabah antara kelompok ayat 5-8 dengan kelompok ayat 9-11.
69
Pada munāsabah kedua dari kelompok ayat ini penulis
mendapatkan bukti-bukti dari penerimaan yang tidak total dari orang-
orang mukmin terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw kalau orang-orang
Bani Israil melalaikan kitab suci mereka yang diperumpamakan dengan
keledai yang membawa buku tetapi tidak mendapatkan faedah nya sama
sekali, begitu juga ayat selanjutnya yaitu orang-orang mukmin ketika
diperintah untuk solat Jum‟at dan bahwa ketika mereka sedang solat dan
datang rombongan perdagang lalu mereka pergi meninggalkan khutbah
yang sedang disampaikan Rasul, inilah watak manusia.33
c. Munāsabah awal Sūrah al-Jumu‟ah dan akhir Sūrah al-Saff.
Sūrah as-Saff diakhiri dengan dakwah atau ajakan untuk menolong
Allah sedangkan Sūrah al-Jumu‟ah dimulai dengan pembicaraan tentang
pengutusan Rasulullah Saw dan tugas-tugas yang diembannya, untuk
mengajarkan al-Qur`an, Sunnah dan mensucikan hati mereka, semua ini
merupakan faktor penting yang harus dimenangkan oleh pengikut Nabi
Muẖammad yaitu orang-orang mukmin.
Kesan penulis setelah meneliti munāsabah ini, terlihat bagaimana
Saʻīd Hawwā sangat memperhatikan munāsabah antara kelompok ayat
dengan kelompok ayat lain. Sehingga penulis melihat sūrah al-Jumu‟ah itu
adalah satu kesatuan yang kokoh.
33
Lihat halaman 50.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengadakan penelitian tentang munāsabah pada tafsir al-
Asās karya Saʻīd Hawwā khususnya yang terkait dengan munāsabah sūrah
al-Jumu‟ah. Penulis bisa menyimpulkan hasil penelitian ini sebagai
berikut: Munāsabah antara awal sūrah al-Jumu‟ah dengan akhir Sūrah al-
Saff tidak kebiasaan mufassir lainnya yang meletakkan penjelasan
munāsabah di awal penjelasan sebuah Sūrah. Sedangkan Saʻīd Hawwā
meletakkan munāsabah antara kedua sūrah ini di akhir penafsiran sūrah al-
Jumu‟ah, bisa dikatakan penjelasan munāsabah antara sūrah al-Jumu‟ah
dan sūrah al-Saff ini penutup dari penafsiran sūrah al-Jumu‟ah.
Munāsabah antara ayat tidak memberikan munāsabah per ayat
tetapi mengkelompokkan ayat dari sūrah al-Jumu‟ah seperti hal nya sūrah
al-Jumu‟ah diklafikasikan menjadi 3 kelompok. Munāsabah baru
dijelaskan pada awal setiap kelompok ayat dan mengaitkan kandungan
ayat-ayat tersebut secara global.
Kesan penulis setelah meneliti munāsabah antara Sūrah al-Jumu‟ah
dan Sūrah al-Saff dan munāsabah antar ayat dalam satu sūrah, penulis bisa
mengatakan bahwa Saʻīd Hawwā sangat memperhatikan munāsabah
dalam pembahasan penafsirannya bahkan ia menentukan fokus (mihwar)
dari sebuah sūrah melalui penerapan munāsabah antara ayat dalam sūrah
tersebut maupun antara ayat dan sūrah sebelumnya.
71
B. Saran.
Bahwasanya munāsabah merupakan cabang ilmu al-Qur`an yang
membantu untuk memahami kitab suci al-Qur`an secara komprehensif dan
dengan menelusuri hubungan antar ayat membantu kita menghindari
pemahaman yang parsial, maka penulis menyarankan sebagai kelanjutan
dari studi munāsabah antar ayat dalam satu Sūrah. Untuk meneliti aspek
munāsabah antara ayat dalam satu Sūrah yang lain, karena penulis hanya
baru peneliti satu Sūrah, masih ada 113 Sūrah yang harus dikaji
munāsabah nya. Kajian yang penulis lakukan ni masih berupa tinjauan
awal untuk mengembangkan khazanah ilmu tafsir, dan menghidupkan
kembali nilai-nilai al-Qur`an secara utuh.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abidu, Yunus Hasan. Tafsir al-Qur`an. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Aqil, Al-Mustasyar Abdullah. Mereka Yang Telah Pergi; Tokoh tokoh
Pembangunan. penerjemah: Khozin Abu Faqih dan Fachruddin. Jakarta:
I‟tishom, 2003.
Asshiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur`an. jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka
pelajar Offset, 1998.
Al-Biqa, Muhammad Fuad. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur‟ān . Kairo:
Daae al-Kutub al-Misriyah, 1364.
Al-Biqā‟ī, Burhanuddin. Nazm ad-Durar fī Tanāsub al-Aya wa As-Suwar. Beirut:
Dar al-Kutub Al-ilmiyah, 1415.
Al-Bukhārī, Imām al-Hāfidz abī „Abdullāh Muẖammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm bin
al-Mughīrah al-Ju‟fī. Shahih al-Bukhārī. Kairo: al-Rusyd, 1427.
Chirzin,Muhammad. al-Qur`an dan Ulumul Qur‟an. Jakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998.
Depertemen Pendidikan Nasonal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedian Pustaka Utama, 2008.
Esposito, John L. Dunia Islam Modern Enksiklopedia Oxford. penerjemah Eva
Y.N, dkk Bandung: Mizan, 2001.
Fath, Amir Faishol. The Unity of al-Qur`an. Penerjemah Nasiruddin Abbas.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.
Hawwā, Sa‟īd. al-Asās Fī at-Tafsīr. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani
Press, 1999.
--------. al-Asās fī at-Tafsīr. Kairo:Darussalam, 1999.
--------. al-Islam penerjemah Abu Ridho dan inur Rofiq Shaleh Tamhid. Jakarta:
al-I‟tishom, 2011.
--------. Kajian Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya‟ Ulumuddin.
Jakarta: Pena pundi Aksara, 2010.
73
Khalifah, Haji. Kashfu al-ẓunun „an Asas al-Kutub wa al-Funun. Bayrūt: Dār al-
Fikr, 1990.
Mohammad, Herry. dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani, 2006.
Montgomery Watt & Richard Bell. Introducing To The Qur‟an. Ediburgh:
Ediburgh University Pers, 1970.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Al-Mundziri, Al-Hafidz „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin.
Ringkasan Shahih Muslim. penerjemah Acmad Zaidun. Jakarta: Pustaka
Amani, 2003.
Musadad, Endad.“Munāsabah Dalam Tafsir Mafātih al-Ghaib,” Tesisi S2
Program Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hdayatullah Jakarta,
2005.
Mustafa,Ibrahim. dkk. Kamus Mu‟jam al-Wasith. Madinah: al-Maktab al-ilmiah,
t.t.
Punaji, Setyosar. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta:
PT.Kencana, 2010.
Al-Qaṯṯān, Manna. Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān. Dār ilmu wa al-Iman, t.t.
--------. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ān. Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,
Jakarta: Al-Kautsar, 2006.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur‟an. penerjemah M.Mishbah dkk. Jakarta:
Rabbani Pers, 2008.
Said, Hasani Ahmad. Diskrusus Munāsabah Al-Qur‟ān (tinjauan kritis konsep
dan penerapan munāsabah dalam tafsir al-Mishbah. Ciputat: Puspita Press,
2011.
Al-Sayūṯi, Jalāl al-Dīn Abd Rahman Abi Bakr. al-Itqān Fi Ulūm al-Qur‟ān.
Lebanon: Das Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1971.
--------. Lubāb al Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl. penerjemah Tim Abdul Hayyie.
Jakarta: Gema Insani, 2008.
Setiyawan, Said Ali. “Munasabah sūrah Juz Amma (kajian terhadap pemikiran
Burhan al-Din al-Biqai‟i dalam kitab Nazm al-Durār fi Tanāsub al-ayat wa
all-Suwar.” Tesis S2 Program Studi Agama dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Yogyakarta, 2015.
74
Septiawadi. Tafsir Sufistik Saʻīd Hawwā dalam Al-Asās Fī al-Tafsīr.
Jakarta:Lecture Press, 2014.
Al-Shabuni, Syaikh Muhammad Ali. Safwah al-Tafāsīr. penerjemah K.H. Yasin.
Jakarta: al-Kautsar, 2011.
Shihab, M. Quraish. al-Lubab: Makna Tujuan, dan Pelajaran dai surah-surah al-
Qur`an. Jakarta: Lentera Hati, 2012.
--------. Mukjizat al-Qur`an. Bandung: Mizan, 2014.
--------. Ensiklopedi al-Qur`an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lenter Hati, 2007.
--------. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟ān. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Syaikh Ahmad. Mukhtasar Tafsīr Ibnu Katsīr. Jakarta: Darus Sunnah, 2014.
Weismen,Itzchak. “ Saʻīd Hawwā: The Making of a Radical Muslim Thinker in
Modern Syria,” Middle Eastern Studies, 3 Mei 2007.
Yusuf, Kadar M. Studi al-Qur`an. Jakarta: Amzah, 2009.
Zaid,Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur‟ān. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin.
Yogyakarta: IRCisoD,t.t.
Al-Zarkasyī, Badr al-Dīn Muhammad bin „Abdullāh. al-Burhān fī „Ulum al-
Qur‟ān. Mesir: Dār Ihyā‟ al-Kutub al-„Arabiyah.