MUHAMMADIYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN...
Transcript of MUHAMMADIYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN...
i
KONSEP MATLA’ FI WILAYAH AL-HUKMI
MUHAMMADIYAH DALAM PENENTUAN AWAL
BULAN KAMARIYAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Dalam Ilmu Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah
Oleh:
MUHAMMAD SYARIF HIDAYAT 052111140
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
iii
iv
KEMENTRIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Raya Ngaliyan Boja Km. 02 Semarang Telp/Fax. (024) 601291
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Muhammad Syarif Hidayat
NIM : 052111140
Fakultas : Syari’ah
Jurusan : AS
Judul : Konsep Matla’ Wilayah Al-Hukmi Muhammadiyah Dalam
Penentuan Awal Bulan Kamariyah
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
1 Juni 2011
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1
(S1) tahun akademik 2009/2010
v
M O T T O
���� ���� � ���� ������� ������� ���������� ����� �!���"�#�� �$%&��'�( �����)���*� �+�"�, �-%'./� �0��/�1���� ��( �2�)�3 �4)� �5��6 �%7 .2�1��%8 9 .:�;�< �=��<>�� ?@����� �A����)���<
Artinya : ”Dialah yang menjadikan matahari bersinar, bulan bersinar dan
ditetapkannya manzilah manzilah bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan diperhitungkan”
(Q.S Yunus 5)1
1 Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Karya Toha Putra, t.t hlm
306.
vi
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudera Ilahi tanpa batas, dengan
keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang
yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka
yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Syukurku kehadirat Allah SWT yang senantiasa mengabulkan doaku.
Dan hanya dialah yang mampu mengubah dan mewujudkan semua ini.
o Ayah dan Bunda ku tercinta. Yang telah mengenalkan ku pada sebuah
kehidupan dengan sebuah kasih sayang yang tak bertepi. Ridlamu
adalah semangat hidup ku, doamu adalah Penjaga langkahku.
o Serta seluruh keluarga ku tercinta, semoga kalian temukan istana
kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya selalu berada
dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.
o KH Sirodj Khudhori, KH. Ahmad Izzuddin, M.Ag serta keluarga besar
PP Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang
o Teman-temanku paket ASB 2005.
o “adek” yang selalu memberi semangat dan motivasi untuk
menyelesaikan skirpsi ini.
o Dan seluruh teman-teman saya yang tidak dapat saya sebutkan satu-
persatu yang sudah mendukung dalam menyelesaiakan skripsi saya
baik secara langsung maupun tidak langsung.
vii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
DEKLARATOR
M. Syarif Hidayat
viii
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya konsep penentuan awal bulan
dan kebijakan mengenai hasilnya di kalangan Muhammadiyah. Dalam
menentukan awal bulan, apabila terjadi perbedaan hasil pandang terhadap bulan,
maka di kalangan Muhammadiyah diberlakukan konsep pemberlakuan hasil untuk
suatu wilayah hukum yang sama atau dikenal dengan istilah matla’ fi wilayatil
hukmi. Penelitian ini ditujukan untuk mengeksplorasi tentang bagaimana
penentuan awal bulan melalui konsep matla’ fi wilayatil hukmi sekaligus juga
untuk mengetahui dasar pemikiran dalam penggunaan konsep tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Himpunan Putusan Fatwa
Muhammadiyah, khususnya tentang implementasi konsep matla’ fi wilayatil
hukmi. Sedangkan sumber sekundernya adalah referensi yang berhubungan
dengan teori-teori falak. Oleh karena sumber datanya berupa kepustakaan (literer),
maka dalam proses pengumpulan data digunakan metode dokumentasi. Analisa
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif..
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode penentuan awal bulan
Kamariyah yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah menggunakan metode hisab.
Penggunaan metode ini menitikberatkan pada penghitungan saat wujudul hilal
Sehingga apabila telah ditemukan penghitungan mengenai waktu wujudul hilal,
maka dapat dipastikan bahwa akan datang bulan Kamariah yang baru.
Pemberlakuan hasil hisab wujudul hilal dalam konsep matla’ fi wilayatil hukmi PP
Muhammadiyah kurang sesuai dengan kaidah penentuan awal bulan yang
dijadikan dasar oleh PP Muhammadiyah, khususnya manakala terjadi perbedaan
wilayah karena terbelah oleh garis wujudul hilal. Konsep matla’ fi wilayatil hukmi
Muhammadiyah dilatarbelakangi untuk menghilangkan perbedaan pendapat
mengenai masuknya bulan Kamariyah yang baru. Konsep tersebut secara tidak
langsung mengindikasikan upaya Muhammadiyah untuk tetap menjaga persatuan
umat Islam, khususnya dalam menghadapi perbedaan penghitungan awal bulan
Kamariyah. Penerapan konsep matla’ fi wilayatil hukmi Muhammadiyah memiliki
keunggulan dalam hal fleksibilitas. Meskipun memiliki keunggulan dalam hal
fleksibilitas konsep matla’ fi wilayatil hukmi, dengan adanya madlarat terkait
dengan pelaksanaan keputusan dengan konsep matla’ fi wilayatil hukmi dalam
penentuan awal bulan Syawal maka pelaksanaan konsep tersebut masih
terkandung madlarat. Hal ini tentu kurang sesuai dengan kaidah hukum Islam
yang mengharuskan menghilangkan madlarat dalam pelaksanaan hukum Islam
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia serta hidayah kepada hambanya. Shalawat serta
salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad
SAW. Beserta kerabat dan sahabatnya, semoga kita mendapatkan syafaatnya,
amin.
Berkat pertolongan dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Konsep Matla’ Wilayah Al-Hukmi
Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Bulan Kamariyah”, ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
(S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. DR. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini.
2. Bapak Drs.H. Slamet Hambali dan Bapak Rupi’i Amri, M.Ag selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Para Dosen Pengajar dilingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, yang
telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi.
4. Pimpinan Perpustakaan Institut dan Pimpinan Perpustakaan Fakultas yang
telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu yang telah mengenalkan dan mengantarkan pada dunia
keilmuan.
6. Teman-teman yang tanpa bosan terus memberikan dukungan penuh kasih
sayang
7. Pihak-pihak yang telah membantu pelaksanaan penulisan skripsi yang tidak
mungkin disebutkan secara satu persatu.
x
Tiada kata lain yang dapat penulis haturkan selain ungkapan terima kasih
dan doa semoga Allah Yang Maha Mengetahui membalas setiap kebaikan yang
telah diperbuat kepada penulis.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
Semarang, 27 April 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi
DEKLARASI ............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... .. 1
B. Permasalahan…. ..................................................................... .. 10
C. Tujuan Penulisan .................................................................... .. 10
D. Telaah Pustaka ……………………………………………….. 10
E. Metode Penulisan Skripsi ....................................................... .. 13
F. Sistematika Penulisan Skripsi ............................................... .. 15
BAB II : FIQH HISAB RUKYAH
A. Tinjauan umum tentang hisab rukyah ................................. 17
B. Dasar hukum hisab rukyah .................................................. 22
C. Sejarah hisab rukyah ........................................................... 24
D. Metode Hisab rukyah Indonesia ......................................... 30
E. Konsep Matla’ dalam hisab dan rukyah.............................. 33
BAB III : METODE HISAB RUKYAH MUHAMMADIYAH
A. Sekilas tentang Muhammadiyah dan Majlis Tarjih ............ 37
B. Metode Hisab Rukyah Muhammadiyah dalam Penentuan
Awal Bulan Kamariyah dalam konsep Matla’ Fi Wilayah
Al-Hukmi ............................................................................. 43
xii
C. Latar belakang Pemikiran Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Bulan Kamariyah tentang konsep Matla’
fi Wilayah Al-Hukmi ............................................................ 50
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN
KAMARIYAH DALAM KONSEP MATLA’ FI WILAYAH AL-
HUKMI
A. Analisis Metode Hisab Muhammadiyah dalam
penentuan awal bulan kamariyah tentang konsep
Matla’ Fi Wilayah Al-Hukmi ........................................ 54
B. Analisis latar belakang pemikiran Muhammadiyah
dalam Penentuan Awal Bulan Kamariyah tentang
Konsep Matla’ Fi Wilayah Al-Hukmi ........................... 60
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 68
B. Saran-saran .................................................................... 69
C. Penutup .......................................................................... 70
DAFATAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu falak atau biasa disebut ilmu hisab merupakan salah satu ilmu
keislaman yang terlupakan, padahal ilmu ini telah dikembangkan oleh
ilmuwan-ilmuwan muslim sejak abad pertama Hijriah bukan hanya untuk
pengembangan ilmu itu sendiri tetapi juga lebih penting untuk kepentingan
praktis menjalankan perintah-perintah agama yang sangat berkaitan dengan
waktu seperti sholat, puasa, dan haji. Dengan ilmu falak setiap muslim dapat
memastikan ke mana arah qiblat bagi suatu tempat di permukaaan bumi yang
jauh dari Mekkah, dengannya pula setiap muslim dapat mengetahui waktu
shalat sudah tiba atau matahari sudah terbenam (ghurub) untuk berbuka puasa,
dengannya juga orang yang melakukan rukyah dapat mengarahkan
pandangannya ke posisi hilal yang lebih mendekati ketetapan. Dengan
demikian ilmu falak atau ilmu hisab dapat mendatangkan keyakinan bagi
setiap muslim dalam melakukan ibadah sehingga ibadahnya akan lebih
khusu’.2
Berawal dari hal ini maka disusunlah sebuah kalender yang merupakan
manifestasi dari satuan waktu yang satuan-satuan tersebut dinotasikan dalam
ukuran hari, bulan, tahun dan sebagainya. Satuan-satuan inilah yang memberi
peran penting bagi kepentingan ibadah umat manusia.
2 Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta:Suara Muhammadiyah, cet
I 2004, hlm.1
2
Dalam satu tahun kita mengenal tahun Syamsiyah (Masehi)3, tahun
Kamariyah (Hijriah)4 dan tahun jawa (saka)
5. Satu tahun Syamsiyah lamanya
365 hari untuk tahun pendek dan 366 hari untuk tahun panjang6. Sedangkan
untuk tahun Kamariyah lamanya 354 hari untuk tahun pendek dan 355 hari
untuk tahun panjang7. Dengan demikian perhitungan tahun Kamariyah akan
lebih cepat 10 sampai 11 hari setiap tahun jika di bandingkan dengan tahun
Syamsiyah. Sedangkan untuk tahun Jawa penetapan hari dan bulannya adalah
sebagaimana tahun Kamariyah secara Urfi8.
Begitu juga dengan tahun Jawa, tahun Kabisatnya terdiri atas 355 hari
dengan menambahnya 1 hari pada bulan ke 12 (Besar) yang di adakan 3 kali
dalam 8 tahun (Sewindu)9. Untuk bulan pada tahun Syamsiyah, jumlah
harinya sudah dapat diketahui secara pasti yaitu 30 atau 31 hari setiap
bulannya kecuali untuk bulan Februari jumlah harinya adalah 28 hari untuk
tahun Basitoh dan 29 hari untuk tahun Kabisat. Sedangkan untuk tahun
3 Dinamakan tahun Syamsiyah karena perhitungannya berdasarkan peredaran Matahari.
Lihat dalam badan hisab dan rukyat departemen agama, lihat dalam Almanak Hisab Rukyat,
Jakarta: Departemen Agama: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, hlm 40 4 Dinamakan tahun Kamariyah karena perhitungannya berdasarkan peredaran bulan. Ibid,
hlm.42 5 Dinamakan tahun jawa karena perhitungan pertama di dasarkan pada sistem jawa hindu
yang terkenal dengan tahun “SOKO”yang sistem perhitungannya berdasarkan pada peredaran
matahari. Ibid, hlm 44 6 Istilah lain untuk tahun panjang adalah tahun Kabisat dan tahun Basitoh untuk tahun
pendek. Untuk mengetahui Kabisat atau Basitoh pada tahun Syamsiyah, angka tahun di bagi 4 jika
tidak ada sisa maka dinamakan tahun Kabisat umur bulan Februari 29 hari. Sedangkan jika ada
sisa dinamakan tahun Basitoh umur bulan Februari 28 hari. Lihat dalam Muhyiddin Khazin, Ilmu
Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta: buana Pustaka cet.I 2004, hlm.107 7 Untuk Mengetahui Kabisat atau Basitoh pada tahun Kamariyah angka tahun di bagi 30
jika sisanya ada 2,5,7,10,13,15,18,21,24,26,29 maka dinamakan tahun Kabisat, umur Dzulhijjah
30 hari, Lihat dalam Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: IAIN walisongo, tt,
hlm 5 8 Slamet Hambali, ibid hlm 5 9Sehingga satu bulan rata rata jumlah harinya adalah 29,53125. lihat dalam
Marsito,Kosmografi Ilmu Bintang Bintang,Jakarta: PT Pembangunan, 1960, hlm 75
3
Kamariyah jumlah hari dalam tiap bulannya sama dengan satu synodic10
sehingga selama satu tahun jumlah hari dalam satu bulan akan bergantian
antara 29 atau 30 hari, sehingga penentuannya memerlukan perhitungan yang
jelas.
Sistem hisab awal bulan Kamariyah dapat diklasifikasikan pada dua
jenis yaitu:
1. Hisab Urfi adalah sistem penghitungan kalender yang didasarkan pada
peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara
konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh khalifah
Umar bin Khattab ra (17 H) sebagai acuan untuk menyusun kalender islam
abadi.11
2. Hisab Haqiqi adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan
dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah
konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap
awal bulan.12
Dalam perkembangan selanjutnya sistem hisab haqiqi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu hisab haqiqi taqribi, hisab
haqiqi bi tahqiqi, hisab kontemporer. Hisab dan Rukyah sebenarnya saling
berkesinambungan antara satu dengan yang lain. Hisab dijadikan sebagai
10 Synodic atau dalam istilah falak Ijtima’ adalah durasi yang dibutuhkan oleh bulan
berada dalam suatu fase bulan baru ke fase bulan baru berikutnya. Adapun waktu yang dibutuhkan
adalah 29,530588 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Lihat dalam Susiknan Azhari
Ensiklopedi Hisab Rukyah Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005, hlm 29 11 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah (edisi Revisi), Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, hlm. 79 12 Ibid,hlm.78
4
pembantu pelaksanaan rukyah karena tujuannya adalah perkiraan terhadap
posisi hilal sedangkan rukyah digunakan untuk menguji hasil perhitungan
yang sifatnya masih hipotetic verificative, Namun dalam prakteknya antara
hisab dan rukyah tersebut sering tidak berjalan seiring bahkan sering terjadi
perbedaan dalam penetapan awal dan akhir bulan Kamariyah.13
Perbedaaan tidak hanya terjadi antara mazhab hisab dengan mazhab
rukyah saja, tapi kini hisab pun dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab
mana yang akan dijadikan pedoman. Di Indonesia setidaknya terdapat kriteria
hisab yang di anut yaitu Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal
(bulan telah wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatil hukmi (berlaku di
seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan hukum). Sementara itu, NU
menggunakan ketinggian minimal 2 derajat dengan prinsip menunggu hasil
rukyat.14
Muhammadiyah sering kali di anggap sebagai manifestasi dari mazhab
hisab. Sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan keputusan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah tidak jarang berbeda dengan keputusan pemerintah
melalui Departemen Agama dalam penentuan awal bulan Kamariyah terutama
menyangkut penentuan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Perbedaan tersebut
terjadi pada Syawal 1427/2006 dan 1428/2007.15
Hal ini tidak terlepas dari
13 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah, Jakarata: Erlangga, 2007, hlm.6 14 Thomas Djamaluddin, “ Menuju Titik Temu Menentukan 1 Syawal”, Media Indonesia,
10 Oktober 2007 15 Wawancara dengan Thomas Djamaluddin (Anggota Badan Hisab Rukyah Departemen
Agama) via email pada tanggal 5 Nopember 2009
5
kriteria yang di pakai Muhammadiyah yaitu Wujudul Hilal16
(bulan telah
wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatil hukmi (berlaku di seluruh
Indonesia sebagai satu kesatuan hukum).
Kebijakan Muhammadiyah mengenai masalah hisab rukyah menjadi
wewenang Majelis Tarjih17
. Melalui mekanisme ijtihad yaitu mencurahkan
segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan syar'i yang
bersifat zanni dengan menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh
Majelis Tarjih baik secara metodologis maupun permasalahan yang ada yaitu
mengenai masalah penentuan awal bulan Kamariyah.
Kebijakan mengenai hisab rukyah Muhammadiyah tertuang dalam
keputusan Muktamar Khususi di Pencongan Wiradesa Pekalongan pada tahun
1972 yang berbunyi:
1. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah Majelis Tarjih untuk
berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan
penentuan hisab dan mematangkan persoalan tersebut untuk kemudian
membawa acara ini pada muktamar yang akan datang.
2. Sebelum ada ketentuan hisab yang pasti, mempercayakan kepada PP
Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1
Dzulhijjah.
16
Wujudul hilal di sini cukup di hitung dari satu bagian wilayah Indonesia, jadi hilal
sudah positif meski derajatnya baru 1 derajat atau bahkan kurang bisa diputuskan masuk bulan
baru 17 Majelis Tarjih salah satu dari 9 majelis Muhammadiyah yang bertugas menguatkan
salah satu dalil sehingga dalil tersebut menjadi lebih utama untuk di amalkan. Asmuni
Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah,Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2004, hlm 4.
6
3. Selambat-lambatnya 3 bulan sebelumnya, PP Muhammadiyah Majelis
Tarjih sudah mengirimkan segala perhitungannya kepada Pimpinan
Muhammadiyah Wilayah untuk mendapatkan koreksi yang hasilnya
dikirimkan pada PP Muhammadiyah majelis Tarjih.
4. Tanpa mengurangi keyakinan atau pendapat para ahli falak di lingkungan
keluarga Muhammadiyah, maka untuk menjaga ketertiban organisasi
setiap pendapat yang berbeda dengan ketetapan PP Muhammadiyah
supaya tidak disiarkan18
.
Muhammadiyah berpedoman bahwa hisab mempunyai kekuatan yang
sama dengan rukyah di dalam menentukan datangnya awal bulan Kamariyah.
Dengan demikian jika secara hisab hilal telah wujud sekalipun dalam
pelaksanaan rukyah tidak dapat melihat hilal, maka awal bulan masih bisa
ditetapkan.19
Argumentasi yang digunakan adalah hadis Nabi:
4�), B� C)D B� $�E� $�# $�# ��F', B� G�� ��, H8� H, I� !��J KL ��(�:J MN A���,� O/J �F�� �P� Q)E�
4���"#�N QR�), QS A�N !��J KL ���T;J)Q)/( !���(WX
Artinya :" Bulan itu hanya 29 hari maka jangan kamu berpuasa kecuali
telah melihat tanggal dan (kelak) janganlah kamu berbuka
kecuali setelah melihatnya. Jika kalian di tutupi mendung maka
kadarkanlah".(H.R Muslim)
18 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,
Yogyakarta:cet III, tt, hlm 370 19 Thomas Djamaluddin, Op.cit, hlm.2 20 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid I,Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm,
481.
7
Muhammadiyah menafsirkan bahwa lafadz faqduru lah dalam hadis
tersebut yang artinya hitunglah atau kadarkanlah pelaksanaannya dengan
perhitungan astronomi (hisab). berbeda dengan sebagian ulama yang
menafsirkannya dengan menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari21
.
sehingga perbedaan dalam hal penafsiran inilah yang kemudian menjadi
pangkal perbedaan dalam menentukan awal bulan Kamariyah, terutama
menyangkut ketinggian hilal yang kurang dari kriteria Imkanurrukyah
sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah.22
Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah pendekatan secara
astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan terkecil yang menghadap
bumi beberapa saat setelah ijtima. Inilah yang kemudian menjadi kriteria
hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan Wujudul Hilal, yaitu apabila
matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.23
Dalam perkembangan ijtihadnya, penggunaan kriteria wujudul hilal
patut dihargai. Karena hal itu merupakan syarat perlu untuk mengetahui
munculnya hilal. tetapi syarat itu belum cukup. Hilal telah wujud bisa juga
terjadi sesudah ijtima’, monset after sunset (bulan terbenam sesudah matahari)
dan wujudul hilal. Hal itu terjadi di Indonesia pada Dzulhijjah 1423 H. Di
Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Papua,
bulan telah wujud pada saat maghrib 1 Februari, tetapi belum terjadi ijtima’.
21 Asmuni Abdurrahman, Op.cit, hlm 224-225 22 Ibid, hlm.225 23 Thomas Djamaludin, Redefinisi Hilal, titik temu kalender hijriah I. Dalam kolong
berakhir pekan dengan Thomas Djamaludin, Pikiran rakyat tanggal 20-21 februari 2004. hlm.3
8
Kasus yang ekstrem terjadi pada bulan Sya’ban 1423 H (Oktober 2002). Saat
itu sebagian besar Indonesia bulan telah wujud tetapi belum terjadi ijtima’24
Sekalipun tidak jarang berbeda dengan keputusan pemerintah, namun
keputusan dari PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya tetap eksis
sampai saat ini terbukti dengan banyaknya warga Muhammadiyah yang
mengikuti putusan tersebut sehingga tidak jarang pula kita jumpai adanya dua
hari raya.
Muhammadiyah selain menggunakan kriteria wujudul hilal, juga
menggunakan matla’ fi wilayatil hukmi yaitu keberlakuan hilal untuk satu
wilayah dimana pun di wilayah kawasan nusantara dianggap berlaku di
seluruh wilayah Indonesia. Konsekuensinya meskipun wilayah Indonesia
dilewati oleh garis penanggalan Islam Internasional, garis ini tidak
memperhitungkan faktor jarak antara dua tempat sehingga awal dan akhir
puasa kedua tempat tersebut bisa jatuh pada tanggal yang sama tetapi bisa juga
berbeda oleh karena itu Muhammadiyah tidak otomatis memberlakukan
wujudul hilal atau matla’ fi wilayatil hukmi akan tetapi menyerahkan
kewenangan tersebut kepada kebijakan pimpinan pusat muhammadiyah.
Walaupun secara geografis dua buah tempat saling berdekatan. Jika keduanya
berada pada sisi yang berlainan dari garis tanggal Kamariyah maka awal dan
akhir ramadhan ditempat itu berbeda namun karena Indonesia menganut
24 Ibid. hlm.3
9
prinsip matla’ fi wilayatil hukmi maka penanggalan Kamariyah harus sama di
seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.25
Dari dua kriteria tersebut terdapat peluang adanya inkonsistensi
Muhammadiyah. Wujudul hilal seharusnya memungkinkan satu daerah
dengan daerah yang lainnya terjadi perbedaan dalam penetapan awal bulan
Kamariyah baru sekalipun masih dalam satu negara, sedangkan dengan
konsep matla’ fi wilayatil hukmi kemungkinan perbedaan tersebut dengan
sendirinya akan hilang. Dalam beberapa kasus misalnya, saat penentuan Idul
Adha 1423, masalah ini teratasi dengan konsep matla' fi wilayatul hukmi.
Namun bila kasus ekstrem seperti Syakban 1423 dengan garis ijtima' saat
magrib bergeser ke arah barat, ke luar Indonesia, konsep matla’ fi wilayatul
hukmi tidak dapat mengatasi wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria
wujudul hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtima’ sebelum
magrib (ijtima’ qablal ghurub)26
. Penggunaan konsep matla’ fi wilayatil
hukmi yang dilakukan oleh Muhammadiyah tersebut menyebabkan timbulnya
perbedaan antara Muhammadiyah dengan Pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama.27
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai metode hisab yang
25 Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyah”Telaah Syari’ah, Sains dan
Teknologi”, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm.18-19 26 Ijtima’ qabla al-ghurub yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam maka
pada malam harinya sudah di anggap sebagai bulan baru.lihat dalam, Susiknan Azhari, op.cit,
hlm.75 27 M. Taufiq, Studi Analisis Tentang Hisab Rukyah Muhammadiyah Dalam Penetapan
Awal Bulan Kamariyah, Skripsi Sarjana IAIN Walisongo 2005, hlm.77
10
dikembangkan oleh Muhammadiyah beserta dasar hukum yang digunakannya.
Mengingat saat ini Muhammadiyah mempunyai basic massa yang cukup kuat.
B. Permasalahan
Dengan berdasarkan pada uraian dalam pendahuluan maka dapat
dikemukakan disini pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi
ini. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode Muhammadiyah tentang penentuan awal bulan
Kamariyah dalam konsep mathla’ fi wilayatil hukmi?
2. Apakah latar belakang pemikiran yang digunakan oleh Muhammadiyah
dalam penentuan awal bulan Kamariyah dalam konsep mathla’ fi wilayatil
hukmi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode Muhammadiyah tentang penentuan awal bulan
Kamariyah dalam konsep matla’ fi wilayatil hukmi.
2. Untuk mengetahui latar belakang yang digunakan oleh Muhammadiyah
dalam penentuan awal bulan Kamariyah dalam konsep matla’ fi wilayatil
hukmi.
D. Telaah Pustaka
Adapun tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah hisab rukyah
adalah Fiqh Hisab rukyah Indonesia (Sebuah upaya penyatuan mazhab
rukyah dengan mazhab hisab) karya Ahmad Izzuddin yang memberikan
11
deskripsi tentang kedua madzhab dalam term hisab rukyah beserta sebuah
upaya penawaran penyatuan antara hisab dan rukyah, Ilmu Falak Dalam
Teori Dan Praktik karya Muhyiddin Khazin buku ini menerangkan tentang
penentuan awal bulan Kamariyah dan perhitungannya, dan juga Ilmu Falak
(Perjumpan Khazanah Islam Dan Sains Modern) karya Dr. Susiknan Azhari,
MA. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa syari’at rukyat yang telah
diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dapat dimodifikasikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan (sains) modern. Modifikasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk metode hisab untuk mengetahui wujudul hilal
dalam menentukan awal bulan Kamariyah.
Skripsi Nur Hidayah, Studi Analisis Terhadap Persepsi Ibnu Abidin
Tentang Keharusan Mengikuti Matla’ Masing-Masing Negeri Dalam
Penetapan Idul Adha Dalam Kitab Radd Al Mukthar yang menguraikan
tentang keharusan mengikuti matla’ dalam penentuan awal bulan Kamariyah
menurut Ibnu Abidin. Pendapat Ibnu Abidin ini didasarkan pada atsar sahabat
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menjelaskan tentang perbedaan
wujudul hilal yang mana kemudian diterapkan oleh Mu’awiyah.28
Skripsi Mulyadi Studi Analisis Terhadap Persepsi Syafi’i Shaghir
Tentang Rukyah Pada Dua Negara Yang Berbeda Matla’nya Dalam
Penetapan Awal Ramadhan Dalam Kitab Nihayah Al-Muhtaj yang
menguraikan tentang bagaimana rukyah yang berbeda matla’-nya menurut
28 Nur Hidayah, Studi Analisis Terhadap Persepsi Ibnu Abidin Tentang Keharusan
Mengikuti Matla’ Masing-Masing Negeri Dalam Penetapan Idul Adha Dalam Kitab Radd Al
Mukthar, Skripsi sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1999
12
Syafi’i Shaghir.29
Menurut Syafi’i Shagir, perbedaan matla’ antar negara
menjadi hal penting. Maksudnya adalah meskipun jarak kedua negara dapat
menyebabkan kebolehan meng-qashar shalat, namun jika kedua negara
tersebut memiliki perbedaan matla’ maka syarat jarak qashar tidak dapat
dijadikan sebagai pedoman untuk menyamakan matla’.
Skripsi M. Taufik Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan
Kamariyah menurut Muhammadiyah dalam Perspektif Hisab Rukyah di
Indonesia yang menerangkan tentang perbedaan awal bulan Kamariyah antara
Muhammadiyah dan Pemerintah dalam perspektif hisab rukyah di Indonesia.
Perbedaan awal bulan tersebut karena adanya perbedaan metode hisab.
Metode hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab wujudul hilal
yaitu apabila hilal sudah positif di atas ufuk,maka awal bulan sudah dapat
ditetapkan.meskipun ketinggian hilal belum mencapai ketentuan
imkanurrukyah sebagaimana yang digunakan pedoman oleh Pemerintah yaitu
ketinggian hilal minimal harus dua derajat.30
Dalam kajian pustaka tersebut menurut penulis belum ada tulisan yang
membahas secara spesifik tentang penentuan (hisab) awal bulan Kamariyah
menurut Muhammadiyah dalam konsep matla’ fi wilaytil hukmi, sedangkan
penelitian penulis lebih memfokuskan pada penentuan awal bulan Kamariyah
Muhammadiyah dalam konsep matla’ fi wilayatil hukmi. Oleh sebab itulah
29 Mulyadi Studi Analisis Terhadap Persepsi Syafi’i Shaghir Tentang Rukyah Pada Dua
Negara Yang Berbeda Matla’nya Dalam Penetapan Awal Ramadhan Dalam Kitab Nihayah Al-
Muhtaj, Skripsi sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1999 30 M. Taufik Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan Kamariyah menurut
Muhammadiyah dalam Perspektif Hisab Rukyah di Indonesia, Skripsi sarjana Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang, 2005
13
penulis merasa yakin untuk melakukan penelitian ini tanpa adanya
kekhawatiran adanya asumsi plagiat.
E. Metode Penulisan
Agar di dalam penulisan skripsi ini lebih mengarah pada obyek kajian
dan sesuai dengan tujuan, penulisan menggunakan metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research yaitu suatu penelitian
kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dan informasi dengan
bantuan macam-macam materi yang terdapat di ruang kepustakaan, seperti
buku-buku, majalah, koran, naskah, catatan, dokumen, dan lain-lain.31
2. Sumber Data
Adapun data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber asli
yang memuat data-data atau informasi tersebut. Data primer ini
diperoleh dari Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan
Manhaj Tarjih Muhammadiyah, serta hasil Musyawarah Nasional
Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Muktamar Muhammadiyah.
b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang
bukan asli memuat informasi atau data tersebut. Adapun sumber-
sumber data sekunder yang digunakan adalah Ilmu Falak (Perjumpaan
31Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1996,
hlm. 26.
14
Khazanah Islam Dan Sains Modern) karya Dr. Susiknan Azhari dan
sumber lain serta kitab dan buku lainnya yang berkaitan dengan
masalah penentuan awal bulan Kamariyah.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode pengumpulan data library research
(penelitian kepustakaan). Adapun teknik pengumpulan data dengan
melakukan penelusuran dan penelaahan pada literatur dan bahan pustaka
yang relevan dengan latar belakang yang diangkat.
Penulis juga mengadopsi banyak pendapat yang diungkapkan oleh
astronom dari LAPAN Thomas Djamaludin yang merupakan hasil
wawancara penulis via Facebook. Serta pendapat pakar lain baik yang
diterbitkan maupun tidak.
4. Metode Analisis Data
Proses analisa data merupakan suatu proses penelaahan data secara
mendalam. Menurut Lexy J. Moloeng proses analisa dapat dilakukan pada
saat yang bersamaan dengan pelaksanaan pengumpulan data meskipun
pada umumnya dilakukan setelah data terkumpul.32
Guna memperoleh
gambaran yang jelas dalam memberikan, menyajikan, dan menyimpulkan
data, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisa deskriptif
kualitatif, yakni suatu analisa penelitian yang dimaksudkan untuk
32 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002,
hlm. 103.
15
mendeskripsikan suatu situasi tertentu yang bersifat faktual secara
sistematis dan akurat.33
Metode deskriptif kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif dan eksploratif yang merupakan data yang
diambil dari penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan
atau status fenomena dengan menerangkan apa adanya atau apa yang ada
sekarang secara mendalam.34
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan penelitian ini terdiri atas tiga bagian yakni
bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir.
Bagian awal memuat halaman judul, nota pembimbing, halaman
pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, abstraksi
dan daftar isi.
Sedangkan bagian isi terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai
berikut:
Bab I adalah Pendahuluan yang isinya meliputi latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
33 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002, hlm. 41
34 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta ,
1998, hlm. 245.
16
Bab II adalah teori tentang Fiqh Hisab Rukyah yang isinya meliputi
Pengertian hisab rukyah, dasar hukum hisab rukyah, sejarah hisab rukyah,
metode hisab rukyah Indonesia dan konsep matla’ dalam hisab dan rukyat.
Bab III merupakan gambaran tentang Metode Hisab dan Rukyah
Muhammadiyah yang isinya meliputi tentang sejarah singkat Muhammadiyah,
metode hisab dan rukyah Muhammadiyah dan konsep matla’ fi wilayatul
hukmi Muhammadiyah.
Bab IV adalah Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan Kamariyah
Dalam Konsep Matla’ Fi Wilayatil Hukmi yang isinya meiputi analisis metode
yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan
Kamariyah dalam konsep matla’ fi wilayatul hukmi dan analisis terhadap latar
belakang penerapan konsep matla’ fi wilayatil hukmi.
Bab V adalah Penutup yang isinya meliputi kesimpulan, saran dan kata
penutup.
Bagian akhir adalah bagian yang isinya meliputi daftar pustaka,
lampiran dan biografi penulis.
17
BAB II
FIQH HISAB DAN RUKYAH DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum tentang Hisab dan Rukyah di Indonesia
Pada dasarnya istilah Hisab Rukyah adalah persoalan penentuan
waktu-waktu ibadah umat Islam. Perosalan-persoalan itu pada umumnya
terdiri atas penentuan arah kiblat dan bayangan arah kiblat, waktu-waktu
sholat, gerhana dan awal bulan Kamariyah.35
Sebelum membahas awal bulan Kamariyah penulis akan memaparkan
dulu apa penentuan arah kiblat, waktu shalat, dan gerhana. Penentuan arah
kiblat pada dasarnya adalah menghitung besaran sudut yang diapit oleh garis
meredian yang melewati suatu tempat yang dihitung arah kiblatnya dengan
lingkaran besar yang melewati tempat tersebut dan ka’bah, serta menghitung
jam berapa matahari itu memotong jalur menuju ka’bah.36
Sedangkan penentuan waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung
tenggang waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas dengan waktu
ketika matahari berkedudukan pada awal waktu shalat, sementara gerhana
adalah menghitung waktu terjadinya kontak antara matahari dan bulan, yakni
kapan bulan menutupi matahari dan lepas darinya pada gerhana matahari,
35 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka,
2004, hlm. 4. 36 Ibid, hlm. 4
18
serta kapan pula bulan mulai masuk pada umbra bayangan bumi serta keluar
darinya pada gerhana matahari.37
Di Indonesia penentuan awal bulan Kamariyah didominasi oleh 2
mazhab yaitu;
1. Mazhab Rukyah
Secara etimologi (bahasa) istilah rukyah berasal dari Bahasa Arab
yaitu ���Y Y�< Z<[� yang berarti melihat dengan mata.38
Adapun yang
dimaksud adalah melihat bulan baru sebagai tanda masuknya awal bulan
Kamariyah baru dan dilaksanakan pada saat matahari terbenam pada tiap
tanggal 29 bulan Kamariyah.39
Mazhab ini berlandaskan pada hadis Nabi
SAW:
�� �� ����� � � ��� ��� ��� ���� � �� � ���� ���� ��� ��� ! � ��"�#$� �%�& !� �
��"�#$� ��' � (� #) �*��� �+, -.�. )" �� ��/%(01
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a berkata, Nabi menjelaskan tentang hilal,
kemudian beliau bersabda :”jika kalian melihatnya maka
berpuasalah dan jika kamu melihatnya (lagi) maka
berbukalah. Jika kalian di tutupi mendung maka hitunglah
(bulan Sya’ban) 30 hari” (H.R Muslim).
37 Ibid. hlm.5 38 M. Warson Munawir, Kamus Al Munawir, Surabaya:Pustaka Progresif, 1996, hlm. 460. 39 Hal ini karena menurut Taqwim Islam permulaan hari dimulai pada saat matahari
terbenam 40Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Al Jamius Shahih, jilid 3 , Beirut: Darl al Fikr, tt hlm
124 - 125
19
2. Mazhab Hisab.
Secara etimologi (bahasa) kata hisab berasal dari Bahasa Arab
yaitu \/L \/] �8�/L41 yang artinya menghitung. Sedangkan dalam Bahasa
Inggris kata ini disebut Arithmatic yaitu ilmu pengetahuan yang
membahas tentang seluk beluk perhitungan.42
Jadi hisab itu sendiri berarti
hitung, jadi ilmu hisab adalah ilmu hitung.
Hisab melandaskan pada firman Allah swt :
2�3� 45678 9:2,2; 2<=#>?8 @A�2�5 2�2#9�B8 2� C��3D 3"2�>+9�2� 9�EF�2�2% �3#9�=,2$58 2G2+2� 2-E�H/8 2I�2/5JB8 2� �2% 2K9�2L 3�7�8 2M589� �78E!
HK2JB8�EN O:H&9P3� 5Q�2�RB8 ST=�9�58 9(�3#9�=,2�
Artinya : ”Dialah yang menjadikan matahari bersinar, bulan bersinar dan
ditetapkannya manzilah manzilah bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan diperhitungkan”
(Q.S Yunus 5)43
Kata Hisab dalam Al Qur’an dapat mempunyai beberapa arti antara
lain:
a Perhitungan, sebagaimana Firman Allah dalam surat an Nisa’ ayat 87
9�E!2� =�3$�H�3U VW>�5J2$EN �X�2J9 2�2/=U9YEN �2Z=�5% =�9� �2��XG3� 7(E! 2�7�8 9(�9� 9�2� [:O� \A=]2 �C_�/2U
Artinya : “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan,
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah (dengan serupa). Sesungguhnya Allah selalu
41 Loewis Ma’luf, Al-Munjid,. cet. 25,Beirut: Darl Masyriq, 1975, hlm. 132. 42
Badan Hisab Rukyah Depag RI, Al Manak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 14. 43 Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Karya Toha Putra, t.t hlm 306.
20
membuat perhitungan atas segala sesuatu”(Q.S al Nisa’:
87) 44
b Memeriksa, sebagaimana Firman Allah dalam surat al Insyiqoq ayat 8
2a=�2/9 3b2��2J3� �CN�2/5U Cc/2� Artinya : “Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah”(Q.S
al Insyiqoq: 8)45
c Pertanggung jawaban, sebagaimana Firman Allah dalam surat al
An’am ayat 69
�2%2� 9�2� 2��5678 9(�O�>$2� =�5% =�EZEN�2/5U =�5% \A=]2 =�5*982� d2�B�5� =�3Z7�2,98 (�O�>$2�
Artinya : “Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang
yang bertaqwa terhadap dosa mereka, akan tetapi kewajiban
mereka telah mengingatkan mereka agar mereka bertaqwa.”)Q.S
al An’am: 69)46
Hisab artinya menghitung perjalanan matahari dan bulan pada bola
langit. Dengan hisab orang dapat mengetahui dan memperkirakan kapan
awal dan akhir bulan Kamariyah tanpa harus melihat hilal.47
Dalam
perkembangan selanjutnya istilah Hisab dan Rukyah sering disebut dengan
ilmu falak,48
yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda
44 Ibid, hlm. 73. 45 Ibid, hlm. 471. 46 Ibid, hlm. 108. 47 Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyah, Jakarta: Gema Insani Press, 1996,
hlm 29 48 Ilmu falak berasal dari dua kata yaitu ilmu yang berarti pengetahuan atau kepandaian,
dan falak yang berarti lengkung langit, lingkaran langit, cakrawala, dan juga dapat berarti
21
langit tentang fisiknya, ukurannya, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya.49
Ilmu falak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a Theoritical astronomy yaitu ilmu yang membahas teori dan konsep
benda-benda langit50
yang meliputi:
1) Kosmogoni yaitu teori tentang asal usul benda-benda langit dan
alam semesta51
2) Kosmologi yaitu cabang astrologi yang menyelidiki asal- usul
struktur dan hubungan ruang waktu dari alam semesta52
3) Kosmografi yaitu pengetahuan tentang seluruh susunan alam,
pemerian (penggambaran) umum tentang jagat raya termasuk
bumi53
4) Astrometrik yaitu cabang astronomi yang kegiatannya melakukan
pengukuran terhadap benda-benda langit dengan tujuan
mengetahui ukurannya dan jarak antara satu dengan lainnya.54
5) Astromekanik yaitu cabang astronomi yang mempelajari gerak dan
gaya tarik benda-benda langit dengan cara dan hukum mekanik.55
pengetahuan mengenai keadaan (peredaran, perhitungan, dan sebagainya) bintang, ilmu
perbintangan (astronomi), lihat dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan
Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 325 49 Badan Hisab Rukyah RI, op.cit, hlm. 22. 50 Muhyidin Khazin, op.cit, hlm 4 51 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, op.cit, hlm 527 52 Ibid, hlm. 528. 53 Ibid. hlm. 529 54 Badan Hisab Rukyah RI, op.cit, hlm. 221.
22
6) Astrofisika yaitu bagian astronomi tentang benda-benda angkasa
dari sudut ilmu alam dan ilmu fisika.56
b Practical Astronomy yaitu ilmu yang melakukan perhitungan untuk
mengetahui posisi dan kedudukan benda-benda langit antara satu
dengan yang lain.57
Ilmu falak inilah yang kemudian dikenal dengan
ilmu falak atau ilmu hisab.
a. Dasar Hukum Hisab Rukyah
1. Dasar hukum Al Qur’an, antara lain
a. Surat Ar Rahman ayat 5
������� ���������� A��_�/�1%8 Artinya : “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya” (Q.S
Ar Rahman :5)58
Surat Yunus ayat 5
���� ���� � ���� ������� ������� ���������� ����� �!���"�#�� �$%&��'�( �����)���*� �+�"�, �-%'./� �0��/�1���� ��( �2�)�3 �4)� �5��6 �%7 .2�1��%8 9 .:�;�< �=��<>�� ?@����� A����)���<
Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkannya manzilan-manzilah bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan”(Q.S Yunus: 5).59
b. Surat al Baqarah ayat 189
�5� �9��/�< %H�, �Z)����� � 9# �G�� �a��#����( %b��')� c�1����
55 Ibid. Hlm. 165 56 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, op.cit, hlm 62 57 Muhyidin Khazin, op.cit, hlm 4 58 Depag RI, op.cit, hlm. 885. 59 Ibid, hlm. 306.
23
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah
bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadah) haji”.(Q.S al Baqarah :189)60
c. Surat Ar Ra’ad ayat 2
ª!$# “Ï% ©! $# yì sùu‘ ÏN≡uθ≈uΚ ¡¡9$# Î�ö� tóÎ/ 7‰uΗxå $ pκtΞ÷ρ t� s? ( §Ν èO 3“ uθtGó™$# ’n?tã Ä ö�yèø9$# ( t�¤‚y™uρ }§ ôϑ ¤±9$# t�yϑ s) ø9$#uρ ( @≅ ä. “ Ì�øgs† 9≅y_ L{ ‘ wΚ |¡ •Β 4 ã�În/y‰ãƒ t�øΒ F{$# ã≅Å_Áx� ãƒ
ÏM≈tƒFψ $# Ν ä3= yès9 Ï!$s) Î=Î/ öΝ ä3 În/u‘ tβθãΖ Ï%θè? ∩⊄∪
Artinya: ”Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana)
yang kamu lihat, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arasy,
dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing
beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan
Tuhanmu.”(Q.S Ar Ra’ad:2)61
d. Surat Yasin ayat 38-40
ߧôϑ ¤±9$#uρ “ Ì�øgrB 9h�s) tGó¡ ßϑ Ï9 $ yγ ©9 4 y7Ï9≡sŒ ã�ƒÏ‰ ø) s? Í“ƒÍ• yèø9$# ÉΟŠ Î=yèø9$# ∩⊂∇∪ t�yϑ s) ø9$#uρ
çµ≈tΡ ö‘ £‰ s% tΑΗ$ oΨtΒ 4 ®Lym yŠ$tã Èβθã_ó& ãèø9$%x. ÉΟƒÏ‰s) ø9$# ∩⊂∪ Ÿω ߧôϑ ¤±9$# Èöt7 .⊥ tƒ
!$ oλ m; β r& x8Í‘ ô‰è? t�yϑ s) ø9$# Ÿωuρ ã≅ø‹ ©9$# ß,Î/$ y™ Í‘$ pκ ¨]9$# 4 @≅ä. uρ ’Îû ;7 n=sù šχθßst7 ó¡ o„
∩⊆⊃∪
Artinya: Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.(38)Dan
60 Ibid, hlm.46 61 Ibid, hlm.56
24
Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah
dia sebagai bentuk tandan yang tua.(39)Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis
edarnya.(40). (QS. Yasin:38-40)
1. Dasar Hukum dari hadis, antara lain
a. Hadis Riwayat Muslim dari Ibn Umar
H, H8� ��, G�� B� ��F', $�# $�# $�E� B� C)D B� 4�), Q)E� �P� �F�� O/J A���,� MN ��(�:J KL !��J I� ���T;J KL !��J NdA
QS QR�), 4���"#�N )!��� Q)/((٦٢ Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu
bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum
melihat bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan
jika tertutup awal maka perkirakanlah. (HR. Muslim)
b. Hadis Riwayat Bukhari
H, ON� H, B�"_, H8 ��, G�� B� ��F', eA $�E� B� C)D B� 4�), Q)E� �f6 A�g(� $��N : I ��(�:J iL ���J $Mj� I� ���T;J iL !��J A�N QS QR�), 4���"#�N )!��� Y��k_�٦٣(
Artinya : “Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah
saw menjelaskan bulan Ramadhan kemudian beliau
bersabda: janganlah kamu berpuasa ssampai kamu melihat
hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuak sebelum
melihatnya lagi.jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR
Bukhari)
62
Sahih Muslim
, Jilid
I, Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm. 481. 63 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, Beirut: Dar al Fikr ,tt, hlm.
34.
25
c. Hadis riwayat Bukhori
�'l"L "��E H8 ���, 4 � Om H8� ��, G�� B� ��F', H, n'� C)D B� 4�), Q)E� e4 $�# 7� eZ( eZ�( \*R I \/oI� ���F ��R� ��R��
p�< Z�/Jq�( A���,� q�(� -lMl ) !��� Y��k_� ٦٤.( Artinya : “ Dari Said bin Amr bahwasanya dia mendengar Ibn Umar ra
dari Nabi saw beliau bersabda : sungguh bahwa kami
adalah umat yang Ummi tidak mampu menulis dan
menghitung umur bulan adalah sekian dan sekian yaitu
kadang 29 hari dan kadang 30 hari (HR Bukhari)
B. Sejarah Hisab Rukyah
Menurut catatan sejarah, penemu ilmu astronomi adalah Nabi Idris.65
Baru sekitar abad ke- 28 Sebelum Masehi (SM) embrio ilmu falak mulai
nampak sebagaimana digunakan dalam penentuan waktu pada penyembahan
berhala seperti yang terjadi di Mesir untuk menyembah dewa Osiris, Isis dan
Amon, serta di Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth
dan Baal66
Pengetahuan tentang nama- nama hari dalam satu minggu baru ada
pada 5000 tahun Sebelum Masehi yang masing- masing diberi nama dengan
nama- nama benda langit. Yaitu Matahari untuk hari Ahad, Bulan untuk hari
Senin, Mars untuk hari Selasa, Mercurius untuk hari Rabu, Yupiter untuk hari
Kamis, Venus untuk hari Jum’at dan Saturnus untuk hari Sabtu67
.
64 Ibid. Hlm.34 65 Sebagaimana sering dijumpai dalam muqadimah kitab-kitab falak seperti dalam Zubair
Umar al Jailany, Khulasoh al Wafiyah, Surakarta: Melati, tt, hlm. 5. 66 Thantawy al-Jauhary, Tafsir al Jawahir, Juz VI, Mesir: Mustafa al Babi al Halabi,
1346 H, hlm. 16 – 17. 67 Ibid . 16-17
26
Pada masa sebelum masehi, perkembangan ilmu ini dipengaruhi oleh
teori geosentris68
Aristoteles. Kemudian teori ini dipertajam oleh Aristarchus
dari Samos (310-230 SM) dengan hasil pengukuran jarak antara bumi dan
matahari, kemudian eratosthenes dari mesir juga sudah dapat menghitung
keliling bumi.69
Setelah Masehi perkembangan ilmu ini ditandai dengan temuan
Claudius Ptolomeus (140 M) berupa catatan tentang bintang – bintang yang
diberi nama Tibril Magesthi dan berasumsi bahwa bentuk semesta alam adalah
geosentris.70
Pada masa permulaan Islam, ilmu astronomi belum begitu masyhur di
kalangan umat Islam. Hal ini tersirat dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari inna ummatun ummiyatun la naktubu wa la nahsibu71
. Namun
demikian mereka telah mampu mendokumentasikan peristiwa- peristiwa pada
masa itu dengan memberikan nama-nama tahun sesuai dengan peristiwa yang
paling monumental.72
Wacana mengenai hisab rukyah baru muncul pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Bin Khattab ra. Ia menetapakan kalender hijriyah sebagai
dasar melaksanakan ibadah bagi umat Islam. Penetapan ini terjadi pada tahun
68 Teori geosentris adalah teori yang yang berasumsi bahwa bumi adalah sebagi pusat
peredaran benda-benda langit. lihat dalam Marsito,Kosmografi Ilmu Bintang Bintang,Jakarta: PT
Pembangunan, 1960, hlm 8 69 Ibid. hlm. 8. 70 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah (Sebuah Upaya Penyatuan Antara Madzhab
Rukyah dan Madzhab Hisab),Yogyakarta: Logung Pustaka,2004, hlm. 43. 71 Lihat hadis selengkapnya dalam dasar hukum hisab rukyah dari hadis. 72 Hal ini dapat kita temukan dalam literatur sejarah islam dimana kita mengenal istilah
tahun gajah karena ketika Nabi lahir terjadi penyerangan oleh pasukan bergajah, disebut Tahun
Ijin karena merupakan tahun diijinkannya hijrah ke Madinah, disebut Tahun Amr di mana umat
Islam diperintahkan untuk menggunakan senjata. Selain itu juga ada Tahun Jama’ah, dan
sebagainya. Ahmad Izzudin, op. cit., hlm. 49.
27
17 H. Tepatnya pada tanggal 20 Jumadil Akhir 17 H dan di mulai sejak Nabi
hijrah dari Mekkah ke Madinah.73
Perhitungan tahun Hijriyah dilatarbelakangi oleh pengangkatan
beberapa gubernur pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra, di antaranya
pengangkatan Abu Musa al Asy’ari sebagai gubernur Basrah. Surat
pengangkatannya berlaku mulai Sya’ban tetapi tidak jelas tahunnya. Karena
tidak diketahui tahunnya secara pasti, maka Umar bin Khattab ra merasa perlu
menghitung dan menetapkan tahun Islam. Kemudian Umar bin Khattab ra
mengundang para sahabat untuk bermusyawarah tantang masalah ini. dan
kemudian disepakati kalender hijriyah sebagai kalender negara.74
Perkembangan hisab rukyah mencapai titik keemasan pada masa
pemerintahan dinasti Abbasyiah yang ditandai dengan adanya penerjemahan
kitab Sindihind dari India pada masa pemerintahan Abu Ja’far al Manshur,75
selain itu pada masa al Makmun di Baghdad didirikan observatorium pertama
yaitu Syammasiyah 213 H/ 828 M yang di pimpin oleh dua ahli astronomi
termashur Fadhl ibn al Naubakht dan Muhammad ibn Musa al Khawarizmi76
yang kemudian diikuti dengan serangkaian observatorium yang dihubungkan
73 Slamet Hambali, Ilmu Falak I (Tentang Penentuan Awal Waktu Shalat dan Penentuan
Arah Kiblat Di Seluruh Dunia), Semarang: t.p, 1998, hlm. 5. 74 Ahmad Izzudin, op. cit., hlm. 50. 75 Muh Farid Wajdi, Dairotul Ma’arif, juz VIII, Cet II, Mesir: tp,1342 H, hlm. 483. 76 Observatorium pada masa ini telah meninggalkan teori yunani kuno dan membuat teori
sendiri dalam menghitung kulminasi matahari dan menghasilkan data-data dari kitab Sindihind
yang di sebut dengan table of Makmun dan oleh orang Eropa di kenal dengan astronomos/
astronomy. Lihat dalam Mehdi Nakosteen,Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual
Barat:Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam,Terj. Joko S Kalhar, Surabaya: Risalah Gusti,
1996, hlm. 230-233.
28
dengan nama ahli astronomi seperti observatorium al Battani di Raqqa dan
Abdurrahman al Shufi di Syiraz.77
Puncak dari zaman keemasan astronomi ini dicapai pada abad ke-9
H/15 M ketika Ulugh Beik cucu Timur Lenk mendirikan observatoriumya di
Samarkand yang bersama dengan observatorium Istambul dianggap sebagai
penghubung lembaga ini ke dunia Barat.78
Tokoh- tokoh astronomi yang hidup pada masa keemasan antara lain
adalah al Farghani, Maslamah ibn al Marjit di Andalusia yang telah mengubah
tahun Masehi menjadi tahun Hijriyah, Mirza Ulugh bin Timur Lenk yang
terkenal dengan ephemerisnya, Ibn Yunus, Nasirudin, Ulugh Beik yang
terkenal dengan landasan ijtima’ dalam penentuan awal bulan Kamariyah.79
Setelah Islam menampakkan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
dengan terjadinya ekspansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol,
muncullah Nicolas Capernicus (1473-1543) yang membongkar teori
Geosentris yang dikembangkan oleh Ptolomeus dengan mengembangkan teori
Heliosentris.80
Masuknya ilmu falak diIndonesia diawali dengan kembalinya para
ulama muda ke Indonesia dari bermukim diMakkah pada awal abad ke-20
77 Sayyed Hossein Nasr, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,Terj J Muhyidin, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1986, hlm. 62-63. 78 Ibid. Hlm. 62-63 79 Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka,Terj. Tim penerjemah Pustaka al Firdaus, Cet
I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 166-170. 80 Teori Heliosentris adalah teori yang merupakan kebalikan dari teori geosentris. Teori
ini mengemukakan bahwa Matahari sebagai pusat peredaran benda- benda langit. Akan tetapi
menurut lacakan sejarah yang pertama kali melakukan kritik terhadap teori geosentris adalah al
Biruni yang berasumsi tidak mungkin langit yang begitu besar beserta bintang-bintangnya yang
mengelilingi bumi. Lihat dalam Ahmad Baiquni, Al Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Cet
IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996, hlm. 9.
29
ilmu falak mulai berkembang, mereka tidak hanya membawa catatan-catatan
ilmu tentang Tafsir, Hadis, Fiqh, Tauhid dan Tasawuf melainkan juga
membawa catatan-catatan ilmu falak yang mereka dapatkan dari makkah
sewaktu mereka belajar disana yang kemudian mereka ajarkan kepada para
santrinya di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh yang belajar ilmu falak adalah
Syekh Abdurrahman bin Ahmad al- Misri (mertua Habib Usman) beliau
membawa zaij (tabel astronomis) Ulugh bek pada tahun 1324 H/1896M dan
kemudian diajarkan kepada ulama muda di Indonesia antara lain Ahmad
Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi, Habib Usman bin Abdilah bin ‘Aqil bin
yahya.81
Perkembangan hisab rukyah pada awal abad ke-17 M sampai abad ke-
19 M bahkan awal abad 20 M tidak bisa lepas dari pemikiran serupa di negara
Islam yang lain. Hal ini seperti tercermin dalam kitab Sullamun Nayyirain82
yang masih terpengaruh oleh sistem Ulugh Beik.
Hasanah (kitab-kitab) hisab di Indonesia dapat dikatakan
relatif banyak apalagi banyak pakar hisab sekarang yang menerbitkan
(menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok kitab-kitab yang
sudah lama ada di masyarakat seperti kitab Sullam al-Nayyirain yang
ditulis oleh Muhammad Manshur al-Batawi, Zubair Umar al Jailany,
dengan al-Khulasoh al-Wafiyah, KH. Noor Ahmad.SS dengan Nurul Anwar.
81 Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 30-31 82 Sullamun Nayyirain adalah kitab kecil unruk mengetahui konjungsi matahari, bulan
berdasarkan metode Ulugh Beik al Samarqondy yang di susun oleh KH. Muh Mansur bin KH
Abdul Hamid bin Muh Damiry al Batawy. Di mana kitab tersebut berisi rissalah untuk ijtima’,
gerhana bulan daan matahari. Lihat dalam Ahmad Izzuddin , Analisis Kritis tentang Hisab Awal
Bulan Kamariyah dalam kitab Sullamun Nayyirain, Skripsi Sarjana, Seamarang: Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo, 1997, hlm. 8.
30
Hal ini juga ditopang oleh kecanggihan tehnologi yang dikembangkan
oleh para pakar Astronomi dalam mengolah data-data kontemporer
berkaitan dengan hisab rukyah. Namun dengan semakin canggihnya
teknologi dan ilmu pengetahuan maka wacana hisab rukyah pun mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Data bulan dan matahari menjadi semakin
akurat dengan adanya sistem Ephemeris, Almanak Nautika dan sebagainya
yang menyajikan data per jam. Sehingga akurasi perhitungan bisa semakin
tepat sampai sekarang.83
Melihat fenomena tersebut maka pemerintah mendirikan Badan
Hisab Rukyah yang berada di bawah naungan Departemen Agama.Pada
dasarnya kehadiran Badan Hisab rukyah untuk menjaga persatuan dan
ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam beribadah. Hanya saja dalam
dataran realistis dan etika praktis, masih belum terwujud. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya perbedaan berpuasa Ramadhan maupun
berhari raya Idul Fitri.84
C. Metode Hisab Rukyah Indonesia
Metode yang digunakan dalam hisab rukyah pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua yaitu
1. Metode Hisab
83 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam
penentuan Awal Bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha), jakarta; Erlangga, 2007, hlm.57 84 Ibid, hlm. 59
31
Metode ini adalah metode dengan menggunakan perhitungan
astronomis dalam penentuan awal bulan Kamariyah. Metode ini Menurut
Susiknan Azhari dapat di bedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Hisab Urfi
Hisab Urfi adalah sistem perhitungan yang didasarkan pada
perdaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara
konvensional. Sistem ini tidak berbeda dengan kalender Masehi.
Bilangan hari pada tiap bulan berjumlah tetap kecuali pada tahun-
tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang satu hari. Sistem hisab ini
tidak dapat digunakan dalam menentukan awal bulan Kamariyah untuk
pelaksanaan ibadah. Karena menurut sistem ini umur bulan Sya’ban
dan Ramadhan adalah tetap yaitu 29 hari untuk bulan Sya’ban dan 30
hari untuk bulan Ramadhan.85
b. Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah hisab yang didasarkan pada perdaran bulan
dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah
konstan dan juga tidak beraturan melainkan bergantung posisi hilal
setiap bulan. Sehingga umur bulan bisa jadi berturut -turut 29 hari atau
30 hari.86
2. Metode Rukyah
85 Lihat dalam Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2005, hlm. 66. 86 Ibid, hlm. 65. Hisab Urfi adalah perhitungan yang belandaskan kepada kaidah-kaidah
yang bersifat tradisional yaitu dibuatnya anggaran-anggaran dalam menentukan perhitungan
masuknya awal bulan itu dengan anggaran yang didasarkan kepada peredaran bulan. Hisab Hakiki
adalah sistem penentuan awal bulan Kamariyah dengan metode penentuan kedudukan bulan pada
saat matahari terbenam. Badan Hisab Rukyah Depag RI, op.cit, hlm.37-38
32
Istilah ini berarti melihat atau mengamati hilal dengan mata
ataupun dengan teleskop pada saat matahari terbenam menjelang bulan
baru Kamariyah.87
Apabila hilal berhasil dilihat maka malam itu dan
keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu untuk bulan baru.
Sedangkan apabila hilal tidak berhasil dilihat karena gangguan cuaca maka
tanggal satu bulan baru ditetapkan pada malam hari berikutnya atau bulan
di istikmalkan 30 hari.88
Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan dalam menentukan awal
bulan Kamariyah juga terjadi karena perbedaan memahami konsep
permulaan hari dalam bulan baru. Disinilah kemudian muncul berbagai
aliran mengenai penentuan awal bulan yang pada dasarnya berpangkal
pada pedoman ijtima, dan posisi hilal di atas ufuk.89
Golongan yang berpedoman pada ijtima’ dapat dibedakan menjadi
beberapa golongan yaitu:
a. Ijtima’ qabla al-ghurub yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari
terbenam maka pada malam harinya sudah di anggap sebagai bulan
baru.
b. Ijtima’ qabla al-fajri yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar
maka pada malam itu sudah di anggap sudah masuk awal bulan baru.
87 Ibid, hlm. 130. 88 Muhyiddin khazin, op.cit, hlm.146 89 Ijtima’ adalah berkumpulnya matahari dan bulan dalam satu bujur astronomi yang
sama. Ijtima’ di sebut juga dengan konjungsi ,pangkreman, iqtiraan. Sedangkan yang di maksud
ufuk adalah lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua bagian yang besarnya sama.
Ufuk di sebut juga horizon, kaki langit, cakrawala, batas pandang, Susiknan Azhari, op.cit, hlm.72
33
c. Ijtima’ qablal zawal yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum zawal maka
hari itu sudah memasuki awal bulan baru.90
Namun dari golongan - golongan tersebut yang masih banyak di
pegang oleh ulama adalah ijtima’ qoblal ghurub dan ijtima’ qoblal fajri.
Sedangkan golongan yang lain tidak banyak dikenal secara luas oleh
masyarakat.91
Golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk
dibedakan menjadi:
a. Golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk hakiki
b. Golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk mar’i yaitu
ufuk hakiki dengan koreksi seperti kerendahan ufuk92
, refraksi93
, semi
diameter94
, dan parallax95
.
D. Konsep Matla’ dalam Hisab dan Rukyah
Kata “matla’” berasal dari lafadz “mathli’” yang artinya tempat
terbit,96
sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “matla’”
90 Ibid, hlm. 75 91 Nouruz Zaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 195. 92 Untuk mencari kerendahan ufuk dapat di gunakan rumus 0o 1,76’ di kalikan dengan
akar ketinggian tempat tersebut dari permukaan air laut. Lihat dalam Muhyiddin Khazin, op.cit,
hlm. 140 93 Refraksi atau Daqa’iqul Iktilaf adalah pembiasan sinar yaitu perbedaan antara tinggi
suatu benda langit yag sebenarnya dengan tinggi benda langit itu yang dilihat sebagai akibat
adanya pembiasan sinar, Untuk mencari refraksi dapat digunakan rumus tinggi lihat – tinggi
nyata, Ibid, hlm. 142 94 Semi Diameter / jari-jari/ Nisful Qotr adalah titik pussat matahari / bulan dengan
piringan luarnya. Lihat dalam Tim Hisab Ditpenpera Depag RI, Ephemeris Hisab Rukyat2004,
Jakarta, Ditpenpera, 2004, hlm. 4. 95 Parallax/ ikhtilaful mandzor adalah sudut antara garis yang di tarik dari benda langit ke
titik pusat bumi dan garis yang di tarik dari benda langit ke mata si pengamat. Ibid, hlm 5
34
berarti daerah tempat terbit matahari, terbit fajar maupun terbit bulan.97
Sementara itu, jika dikaitkan dengan kalender Hijriyah, matla’ mengarah
kepada konsep geografis keberlakuan rukyat, sehingga hal ini kemudian
menimbulkan perbedaan matla’ yang dikenal dengan terminologi íkhtilaf
matla’.98
Perbedaan pendapat mengenai matla’ terjadi di kalangan para ulama.
Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai pemberlakuan konsep matla’.
Kelompok pertama menyatakan bahwa konsep matla’ hanya berlaku bagi
wilayah yang berada di dekat dengan tempat rukyat. Maksudnya adalah
wilayah yang berada dekat dengan tempat rukyat harus (lazim) mengikuti hasil
rukyat, sedangkan wilayah yang berada jauh dari tempat rukyat tidak dapat
mengikuti hasil rukyat. Contoh dari kelompok pertama ini adalah tidak
berlakunya hasil rukyat wilayah Hijaz untuk diberlakukan di wilayah Irak,
sedangkan hasil rukyat wilayah Kuffah dapat dijadikan pedoman bagi wilayah
Baghdad.99
Kelompok kedua menyatakan kebalikannya, yakni konsep matla’
dapat diterapkan pada wilayah yang berjauhan. Batasan jauh yang dimaksud
dalam pendapat kelompok kedua terkandung dua pengertian. Pertama, batasan
jauh adalah perjalanan yang jaraknya memperbolehkan meng-qashar shalat.
96 Mengenai penjelasan tentang arti kata matla’ dapat dilihat dalam Muhammad Amin,
Raddu al-Muhtar, Beirut: Daar al-Kutb al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 363. Muhammad Amin lebih
dikenal dengan nama Ibnu Abidin. 97 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 1082. 98 Lihat dalam Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I: Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996, hlm. 679. 99 Lihat selengkapnya dalam Muhammad bin Abi al-Abbas, Nihayatu al-Muhtaj, t,Kp
Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 155-156.
35
Sedangkan batasan jauh yang kedua adalah adanya perbedaan matla’ antara
dua wilayah.100
Pendapat kelompok yang kedua memiliki maksud bahwa apabila dua
jarak wilayah dapat menyebabkan kebolehan qashar, selama tidak memiliki
perbedaan matla’ dapat mengikuti keputusan rukyat dari wilayah yang telah
tampak hilal-nya. Sebaliknya, apabila wilayah tersebut memiliki jarak yang
memiliki kebolehan meng-qashar shalat namun memiliki perbedaan matla’,
maka konsep kesamaan matla’ tidak dapat diberlakukan.
Selain kedua pendapat di atas, ada dasar hukum penetapan matla’ yang
lain yang bersumber dari atsar (perkataan sahabat) sebagai berikut:
�H�, ?\�<��9f A�e �@9e % �g�;�� �a�'%8 �r%���1�� �4�*�s���8 C�%7 �Z�<%�����( %@����%8 �$��# �a�(�"���N �@���� �a���g���N ��F�*����L %F�*�E��� �,�G�) 9A��g�(�� �� �e�� %@����%8 �a�<�e���N �$�M%F�� �Z�)���
�Z�����t�� �Q9l �a�(�"�# �Z�'<�"���� G�N %��3u %��F��� G%'���/�N �"�_�, vB� �H�8 ?b��_�, G���� wB� �4�'�, �Q9l ���f�6 �$�M%F�� �$����N C�*�( �Q�*�<�e�� �$�M%F�� �a�)9��N �e���!��'�< �Z�)��� �Z�����t�� �$����N �a� �e
�4�*�<�e�� �a�)9��N �Q��� �!u���� �b��'� ���(��D�� �@��D�� 9Z�<%�����( �$����N ��'�R� �!��'�<�e�� �Z�)��� �a�_�/� �M�N 9$��x� �@��:� C�*�L � ���R� �-�l�M�l ���e �!���� �a�)9��N ���e �I G�;�*�R�J �Z�<�[��%8 �Z�<%�����(
�4�(����D�� �$����N �I ����R�� �� ���(�e 9$��E�� vB� C)�D wB� �4���)�, �Q)�E�� �5�y�� C���1�< �H�8 C���1�< G�N G�;�*�R� ���e G�;�*�R�J) !��� Q)/((
Artinya: “Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits
mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam, Kuraib berkata:
Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-
pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal bulan
Ramadan sementara saya masih berada di Syam dan saya
melihatnya pada malam Jum’at, kemudian saya kembali ke
Madinah pada akhir bulan Ramadan. Lalu Ibnu ‘Abbas
100 Ibid., hlm. 156.
36
bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan: kapan kalian
melihat hilal? Saya menjawab: kami melihatnya pada
malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya: apakah kamu
melihatnya? Saya katakan: Ya, dan kaum muslimin juga
melihatnya, kemudian mereka memulai puasa dan
Mu’awiyah juga berpuasa. Lalu Ibnu Abbas berkata: kami
melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan
melanjutkan puasa sampai tiga puluh hari atau kami melihat
hilal. Saya katakan kepada beliau: apakah tidak
mencukupkan dengan ru’yah dan puasa Mua’wiyah? Jawab
beliau: Tidak, demikianlah Rasulullah SAW mentitahkan
kepada kami.” (HR. Muslim)
Dari atsar tersebut, terdapat perbedaan konsep matla’ dengan kedua
konsep matla’ di atas. Sekilas memang memiliki kesamaan dengan pendapat
kelompok yang pertama, yakni dengan adanya kemungkinan untuk
menerapkan konsep matla’ untuk wilayah yang berdekatan dengan tempat
rukyah. Namun demikian, dalam atsar tersebut dijelaskan bahwa Ibnu Abbas
tetap melanjutkan puasa dan tidak mengikuti hasil rukyah di Madinah.
Padahal jarak antara Syam dan Madinah dekat dan tidak sampai meng-qashar
shalat. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tidak semua fuqaha
menerima dan menerapkan konsep matla’ sebagai ketetapan untuk wilayah
yang berdekatan. Dalam istilah lain, konsep matla’ yang terkandunng dalam
atsar di atas adalah penerapan hasil rukyah yang diterapkan untuk wilayah
yang melakukan rukyah. Sedangkan wilayah lain, meskipun berada di dekat
wilayah yang melihat rukyah tidak harus mengikuti ketetapan hasil rukyah.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
karakteristik matla’ sebagai berikut:
1. Konsep matla’ yang diterapkan pada wilayah yang letaknya saling
berdekatan dengan tempat rukyah
37
2. Konsep matla’ yang diterapkan pada wilayah yang berbeda dengan
batasan perbedaan waktu qashar shalat. Selain batasan waktu qashar,
syarat pemberlakuan ini juga didasarkan pada tidak adanya perbedaan
konsep matla’ antara kedua daerah tersebut
3. Konsep matla’ yang diberlakukan hanya untuk daerah yang melihat hilal
(rukyah), sedangkan daerah lain, meskipun berjarak dekat tidak
menenerapkan hasil hilal tersebut.
37
BAB III
METODE HISAB DAN RUKYAH MUHAMMADIYAH
A. Sekilas tentang Muhammadiyah dan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis atau
KH Ahmad Dahlan101
pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta atas saran dari murid-
muridnya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang permanen.
Muhammadiyah didirikan dengan maksud dan tujuan yaitu menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya102
Secara umum faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah bermula
dari beberapa kegelisahan dan keprihatinan sosial religius dan moral.
Kegelisahan sosial ini terjadi disebabkan oleh suasana kebodohan,
kemiskinan, dan keterbelakangan umat. Kegelisahan religius muncul karena
melihat praktik keagamaan yang mekanistik tanpa terlihat kaitannya dengan
perilaku sosial dan positif disamping syarat dengan tahayul, bid’ah, dan
101 Ahmad Dahlan adalah anak dari KH Abu Bakar bin K. Sulaiman seorang katib di
kesultanan Yogyakarta. Ia dilahirkan pada tahun 1869 dengan nama M. Darwis. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqh dan tafsir di Yogyakarta dan sekitarnya,
pada tahun 1890 ia pergi ke Mekkah selama setahun untuk belajar di sana. Pada tahun 1903 ia
kembali lagi ke tanah suci untuk menetap selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah Syaikh
Ahmad Khatib. Lihat selengkapnya dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia,
Jakarta: PT Pustaka LP3ES, Cet VIII, 1996, hlm. 85. 102 Syamsul Hidayat dkk, Studi Ke-Muhammadiyahan (Kajian Historis, Ideologi dan
Organisasi), Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar (LPID), hlm. 243
38
38
khufarat, Sedangkan kegelisahan moral di sebabkan oleh kaburnya batas
antara baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.103
Muhammadiyah berdiri untuk mengadakan tajdid atau perubahan yang
bermakna mengembalikan wajah beku dari sistem Islam yang ditampilkan
pemeluknya ketika itu utuk dikembalikan kepada dasar-dasar yang asli dari al-
Qur’an dan Al-Sunnah. Seluruh sistem ajaran dan struktur sosial serta
kerangka berpikir tradisional dirombak menjadi yang sesuai dengan ajaran
Islam.104
Pada tahun-tahun pertama organisasi Muhammadiyah ingin
menggembirakan orang dalam mengamalkan ajaran agama Islam,
Mengamalkan ajaran agama haruslah membuahkan kesejukan dan
kegembiraan bukannya kegelisahan, untuk merealisasikan tujuan itu maka
Muhammadiyah mendirikan sekolah untuk mencerdaskan umat, membentuk
mubalig dan mubalighat untuk kemudian diterjunkan ke tengah masyarakat
luas untuk menyiarkan ajaran Islam dan menyiarkan agama Islam melalui
media cetak yang pada waktu itu bentuknya sangat sederhana dan dibagikan
secara cuma-cuma, serta melancarkan usaha untuk menolong kesenjangan
umum yang menjadi cikal bakal Pelayanan Kesehatan Umat (PKU), rumah-
rumah yatim dan miskin.105
Daerah operasi organisasi Muhammadiyah ini mulai berkembang pada
tahun 1917 setelah Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta dan
103 M. Yunan Yusuf dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005, hlm. 251 104 Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, Dan
Pendidikan (Kritik Dan Terapinya), Surabaya: PT Bina Ilmu, Cet I, 1990, hlm. 472 105 M. Yunan Yusuf dkk, op.cit, hlm. 252
39
39
KH.Ahmad Dahlan sebagai Sahibul Bait mampu mempesona peserta kongres
melalui Tablignya, dalam kongres itu banyak permintaan untuk mendirikan
cabang Muhammadiyah di Jawa sehingga pengurus Muhammadiyah
menerima permintaan dari beberapa daerah untuk mendirikan cabang-
cabangnya. Untuk maksud ini anggaran dasar dari organisasi itu yang
membatasi diri pada kegiatan-kegiatan di Yogyakarta saja haruslah lebih
dahulu diubah. Ini dilakukan pada tahun 1920 ketika mana bidang
Muhammadiyah diluaskan meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun
berikutnya 1921 ke seluruh Indonesia.106
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, sebagai organisasi
kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak hanya menangani masalah-masalah
pendidikan saja, tetapi juga melayani berbagai usaha pelayanan masyarakat
seperti kesehatan, pemberian hukum (fatwa), panti asuhan, penyuluhan dan
lain-lain. Ini terbukti dengan banyaknya majelis, lembaga serta organisasi
otonom yang menangani masalah-masalah sosial kemasyarakatan.107
Saat ini Muhammadiyah memiliki 9 majelis yaitu: Majelis Tarjih,
Majelis Tabligh, Majelis Pustaka, Majelis Pendidikaan Tinggi, Majelis
Pendidikaan Dasar dan Menengah, Majelis Pembina Kesehatan, Majelis
Kesejahteraan Sosial, Majelis Ekonomi, serta Majelis Waqaf dan
Kehartabendaan.108
106 Deliar Noer, op.cit, hlm. 87 107Asmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004, hlm. 4 108 Ibid
40
40
Salah satu dari bagian Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih.109
Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam
persyarikatan karena selain berfungsi sebagai pembantu pimpinan
persyarikatan Majelis Tarjih juga memiliki tugas untuk memberikan
bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada
umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya.110
Majelis Tarjih selain berfungsi sebagai pembantu pimpinan
persyarikatan juga berfungsi mengeluarkan fatwa/ memastikan hukum tentang
masalah-masalah yang dipertikaikan masyarakat muslim. Oleh karena itu
obyek penelitian Majelis Tarjih meliputi masalah-masalah khilafiyah yang
pada waktu itu dianggap rawan oleh Muhammadiyah, kemudian majelis tarjih
itulah yang menetapkan pendapat mana yang dianggap paling kuat untuk
diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Dalam perkembangan selanjutnya
majelis ini tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyah saja akan
tetapi mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru atau
kontemporer.111
Keputusan yang di ambil dalam masalah-masalah khilafiyah tidak
selamanya berada dalam lingkup madzhab empat. Salah satu contohnya adalah
dalam Muktamar Tarjih di Klaten pada tahun 1979-1980 yang membicarakan
109 Majelis Tarjih terdiri dari dua kata yaitu Majelis dan Tarjih. Majelis berarti dewan
sedangkan Tarjih dalam term Ushul Fiqh adalah mengukuhkan salah satu dalil yang bertentangan
yang seimbang kekuatannya dengan menyatakan kelebihan dalil yang satu dari dalil yang lain. Jadi
Majelis Tarjih adalah badan/ dewan yang berwenang melakukan kegiatan penetapan hukum
melalui prosedur pemilahan salah satu pendapat di antara beberapa pendapat yang dalilnya lebih
kuat. Lihat dalam Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu studi
perbandingan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993, hlm. 90-91 110 Ahmad Zain An Najah, Majelis Tarjih Muhammadiyah (Pengenalan Penyempurnaan
dan Pengembangan), makalah disampaikan dalam FORMAT (Forum Kader Ummat) hlm.2 111 Syamsul Hidayat dkk,op.cit, hlm.101
41
41
masalah pencangkokan mata, jantung, dan organ tubuh lainnya yang hasilnya
belum dipublikasikan tapi sudah diumumkan, mana hal-hal yang
diperkenankan dan mana yang diharamkan. Bila pencangkokan itu lebih
bermafaat dan tidak merugikan orang lain dan ada unsur saling merelakan
kedua belah pihak, itu diperkenankan, akan tetapi apabila mudharatnya lebih
banyak dan ada unsur ketidakrelaan dari kedua belah pihak maka itu
diharamkan.112
Dalam menarjihkan masalah-masalah yang baru Majelis Tarjih
melibatkan mereka yang di luar alur ulama, seperti dokter, ahli ekonomi, dan
sebagainya. Sidang pun lebih menyerupai seminar dengan di dahului
pembacaan masalah-masalah oleh beberapa ahli dalam bidangnya dan
kemudiaan isi makalah itulah yang ditarjihkan oleh Majelis Tarjih113
.
Disamping itu Majelis Tarjih berkewajiban memberikan tuntunan
amalan Islam murni kepada warga Muhammadiyah setelah hasil tuntunan dan
keputusan Majelis Tarjih itu ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Adapun tugas Majelis ini secara rinci:
a. Menggiatkan dan memperdalam penyelidikan ilmu dan hukum Islam untuk
mendapatkan kemurnianya
b. Merumuskan tuntunan Islam terutama dalam bidang-bidang, tauhid dan
muamalah yang akan dijadikan sebagai pedoman hidup anggota dan
keluarga Muhammadiyah.
112 M. Yunan Yusuf dkk, op.cit, hlm. 382 113 Arbiyah Lubis, op. cit, hlm. 95.
42
42
c. Menyalurkan perbedaan-perbedaan paham mengenai hukum-hukum ke arah
yang lebih maslahat
d. Memperbanyak dan meningkatkan kualitas ulama-ulama Muhammadiyah.
e. Memberi fatwa dan nasehat kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, baik
diminta ataupun tidak diminta, baik mengenai hukum Islam atau jiwa ke-
Islaman, bagi jalanya kepemimpinan, maupun pelaksanaan gerak amal
usaha Muhammadiyah.114
Qaidah tersebut kemudian dikuatkan oleh keputusan Muktamar ke-40
di Surabaya tanggal 24-30 Juni 1978 pada Bab 6 halaman 20 sebagai berikut:
a. Meningkatkan usaha penelitian ilmu-ilmu agama untuk landasan hukum
dan dorongan bagi kemaslahatan dan kemajuan masyarakat.
b. Meningkatkan penelitian tentang hukum Islam untuk pemurnian tentang
hukum Islam untuk pemurnian pemahaman syariat dan kemajuan hidup
beragama dan mengaktifkan jalannya pendidikan ulama dengan
mendirikan perguruan dan kursus-kursus.
c. Memperbanyak dan meningkatkan mutu ulama, antara lain dengan
menyelenggarakan latihan khusus bagi angkatan muda lulusan perguruan
tinggi.
d. Lebih meningkatkan terselenggaranya forum pembahasan tentang
masalah-masalah agama dan hukum islampada khususnya, serta masalah-
masalah lain yang mempunyai hubungan dengan agama/ hukum agama.
114 M. Yunan Yusuf dkk, loc.cit.
43
43
e. Agar dapat diterbitkan kitab fiqh Islam berdasarkan keputusan Tarjih.115
Agar tidak terjadi kevakuman hukum, maka terhadap masalah-masalah
yang mendesak dan memerlukan keputusan yang cepat, Majelis Tarjih dapat
melakukan kajian, penelitian, tarjih dan ijtihad terhadap masalah-masalah
yang masuk, dan hasilnya berupa fatwa Majelis Tarjih yang nantinya juga
dilaporkan ke persidangan Lajnah. Dari uraian mengenai tugas Majelis Tarjih
tersebut dapat diketahui bahwa keputusan Majelis Tarjih meliputi berbagai
bidang dalam hukum Islam sehingga keberadaan Majelis Tarjih sekaligus juga
sebagai lembaga fatwa Muhammadiyah.
B. Metode Hisab dan Rukyah Muhammadiyah dalam Penentuan Awal
Bulan Kamariyah dalam Konsep Matla’ fi Wilayatil Hukmi.
Sebagaimana tugas pokok dan kegiatan Majelis tarjih yang meliputi
berbagai bidang, maka persoalan hisab rukyah pun juga merupakan produk
ijtihad Majelis Tarjih.
Kebijakan masalah hisab rukyah Muhammadiyah tertuang dalam
keputusan Muktamar Khususi di Pencongan Wiradesa Pekalongan pada tahun
1972 yang berbunyi:
1. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah Majelis Tarjih untuk
berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan
penentuan hisab dan mematangkan persoalan tersebut untuk kemudian
membawa acara itu pada muktamar yang akan datang.
2. Sebelum ada ketentuan Hisab yang pasti, mempercayakan kepada PP
Muhammadiyah untuk menetapkan 1 Ramadhan,1 Syawal serta 1
Dzulhijjah.
3. Selambat-lambatnya 3 bulan sebelumnya, PP Muhammadiyah Majelis
Tarjih sudah mengirimkan segala perhitungannya kepada Pimpinan
115 Ibid
44
44
Wilayah Muhammadiyah untuk mendapatkan koreksi yang hasilnya
segera dikirimkan kepada PP Muhammadiyah Majelis Tarjih.
4. Tanpa mengurangi keyakinan/pendapat para ahli falak di lingkungan
keluarga Muhammadiyah, maka untuk menjaga ketertiban organisasi
setiap pendapat yang berbeda dengan ketetapan PP Muhammadiyah
supaya tidak disiarkan116
.
Dari keputusan Muktamar Majelis Tarjih pada mulanya
Muhammadiyah menempatkan antara hisab dengan rukyah sebagai penentuan
awal bulan Kamariyah, namun seiring berkembangannya ilmu pengetahuan
terutama dalam hal ilmu astronomi modern yang sudah mencapai tingkat yang
meyakinkan maka Muhammadiyah menggunakan hisab dalam penentuan awal
bulan Kamariyah. Hisab Muhammadiyah mengalami perkembangan menuju
kesempurnaan sejalan dengan adanya temuan-temuan baru sains modern dan
penggunaanya pun semakin menguat dan dominan.
Dalam penentuan awal bulan Kamariyah metode hisab yang
dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria
Wujudul hilal117
(bulan telah wujud di atas ufuk). Dalam hisab hakiki Wujudul
hilal bulan baru Kamariyah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria yaitu:
1. Telah terjadi ijtima’ (konjungsi)
2. Ijtima’ (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam.
3. Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk
(bulan baru telah wujud).118
116 PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah,
Yogyakarta;cet III, tt, hlm.370 117 Wujudul hilal di sini cukup di hitung dari satu bagian wilayah Indonesia, jadi Hilal
sudah positif meski derajatnya baru 1 derajat atau bahkan kurang bisa diputuskan masuk bulan
baru 118 Tim Majelis Tajih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Cet II, 2009, hlm. 78
45
45
Mengenai metode hisab yang memenuhi persyaratan adalah hisab yang
paling mutakhir. Perhitungan hisab dengan data-data yang paling akurat dan
tepat. Dalam lintasan sejarah, pedoman hisab yang digunakan oleh
Muhammadiyah terus berkembang mulai dari Hisab Hakiki KH Wardan,
sampai sekarang menggunakan pedoman hisab yang up to date seperti
Almanak Nautika maupun Ephemeris Hisab Rukyah. Pedoman itu akan
senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan data-data Kontemporer.
Jika nanti ditemukan pedoman yang lebih mutakhir dan lebih modern, tidak
menutup kemungkinan pedoman itu yang akan digunakan oleh
Muhammadiyah.119
Metode hisab yang digunakan Muhammadiyah tertuang juga dalam
keputusan Munas Tarjih ke-25 tahun 2000 di Jakarta yang isinya;
1. Hisab hakiki dan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan
Kamariyah memiliki kedudukan yang sama.
2. Hisab hakiki yang digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal.
3. MatIa' yang digunakan adalah Matla’ yang didasarkan pada wilayatul
hukmi.
4. Mengusulkan kepada MTPPI PPM untuk :
a. Meninjau kembali pernyataan "Apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa
bulan belum nampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan,
padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga;
manakah yang mu'tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah
yang mu'tabar" sebagaimana termaktub dalam HPT.
b. Memasukkan Ilmu Falak dalam kurikulum sekolah sekolah, Pesantren,
dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
c. Menyusun buku-buku panduan dan rujukan hisab dan rukyat yang
digunakan oleh Muhammadiyah.
d. Membina kader-kader tenaga teknis hisab atau ahli ilmu falak di
masing-masing Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.120
119 Lihat dalam M. Taufiq, Studi Analisis Tentang Hisab Rukyah Muhammadiyah Dalam
Penetapan Awal Bulan Kamariyah, Skripsi Sarjana IAIN Walisongo 2005, hlm. 40 120 “Himpunan Putusan Tarjih tentang Penanggalan Hijriyah” dalam
www.ilmufalak.org/index.php?option=com diakses tanggal 23 Juni 2009.
46
46
Keputusan Munas Tarjih ke-25 tahun 2000 di Jakarta kemudian
disempurnakan lagi dalam keputusan Munas Tarjih ke-26 tahun 2003 di
Padang yang isinya;
1. Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan Rukyah
sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah. Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan adalah :
a. Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 185
… �H���N �"%F�y �Q9R�'�( ���F��� �4���:���)�N …
Artinya: "... karena itu, barang siapa diantara kamu yang
menyaksikan bulan Ramadhan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, ... " (QS. al-Baqarah, 2: 185)
b. Al-Qur'an Surat Yunus ayat 5
���� ���� � ���� ������� ������� ���������� ����� �!���"�#�� �$%&��'�( �����)���*� �+�"�, �-%'./� �0��/�1���� ��( �2�)�3 �4)� �5��6 �%7 .2�1��%8 9 .:�;�< �=��<>�� ?@����� A����)���<
Artinya: "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (QS.
Yunus: 5)
c. Hadits dari Abdullah bin Umar
�H�, �"�_�, vB� %H�8 �����, G���� wB� �F ,� A�e �$��E�� vB� C)�D wB� �4���)�, �Q)�E�� ���f�6 �A��g�(�� �$����N �I ���(��:�J C�*�L ������J �$�M%F�� �I�� �����T�;�J C�*�L �!�����J �A%d�N �Q9S �Q9R���)�, �����"�#��N �4� )!��� ���k_� � Q)/((
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya
Rasulullah saw menjelaskan tentang bulan Ramadlan dan
berkata: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat
hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu
melihat hilal. Bila awan menutup penglihatanmu maka
perkirakanlah (kadarkanlah).”(HR. al-Bukhari dan
Muslim)
47
47
2. Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat
Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul hilal. Adapun
dalil-dalil yang dijadikan landasan adalah :
a. AI-Qur'an Surat Ar-Rahman ayat 5:
������� ���������� A��_�/�1%8 Artinya: "Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
(QS. ar-Rahman,55: 5)
b. Al-Qur’an Surat Yasin ayat 40:
I������� G�z�_�'�< ��F� �A�e �{%��"�J �������� �I�� 9 ��)� �2%8��E %���F�'� | 9f�� G�N 5�)�N �A��1�_�/�<
Artinya: Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-
masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasin, 36: 40)
3. Matla’ yang digunakan adalah matla’ yang didasarkan pada Wilayatil
Hukmi (Indonesia).
Adapun dalil dalil yang digunakan adalah :
a. Hadits dari Kuraib :
�H�, ?\�<��9f A�e �@9e % �g�;�� �a�'%8 �r%���1�� �4�*�s���8 C�%7 �Z�<%�����( %@����%8 �$��# �a�(�"���N ����@� �a���g���N ��F�*����L %F�*�E��� �G�)�, 9A��g�(�� �� �e�� %@����%8 �a�<�e���N �$�M%F�� �Z�)���
�Z�����t�� �Q9l �a�(�"�# �Z�'<�"���� G�N %��3u %��F��� G%'���/�N �"�_�, vB� �H�8 ?b��_�, G���� wB� �4�'�, �Q9l ���f�6 �$�M%F�� �$����N C�*�( �Q�*�<�e�� �$�M%F�� �a�)9��N �!��'�<�e�� �Z�)��� �Z�����t�� �$����N �a� �e
�4�*�<�e�� �a�)9��N �Q��� �!u���� �b��'� ���(��D�� �@��D�� 9Z�<%�����( �$����N ��'�R� �!��'�<�e�� �Z�)��� �a�_�/� �M�N 9$��x� �@��:� C�*�L � ���R� �-�l�M�l ���e �!���� �a�)9��N ���e �I G�;�*�R�J �Z�<�[��%8 �Z�<%�����(
�4�(����D�� �$����N �I ����R�� �� ���(�e 9$��E�� vB� C)�D wB� �4���)�, �Q)�E�� �5�y�� C���1�< �H�8 C���1�< G�N G�;�*�R� ���e G�;�*�R�J )!��� Q)/((
Artinya: "Dari Kuraib (diriwayatkan bahwa) sesungguhnya Ummu Fadhl
binti al-Harits mengutusnya menemui Muawiyah di negeri
Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan
keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadlan sementara saya
berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari
Jum’at, Selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan
Ramadlan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya
dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat
48
48
hilal? Saya menjawab: Kami melihat hilal pada malam hari
Jum’at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang
melihatnya ? Maka jawab Kuraib, Benar, dan orang yang lain
juga melihatnya. Karenanya Muawiyah dan orang-orang di
sana berpuasa. Lalu Abdullah ibn Abbas berkata: Tetapi kami
melihat hilal pada malam hari Sabtu, karenanya kami akan
terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal
sendiri. Saya (Kuraib) bertanya: Apakah kamu (Abdullaah ibn
Abbas) tidak cukup mengikuti rukyatnya Mu’awiyah (di
Syam) dan puasanya. Abdullah ibn Abbas menjawab : Tidak,
demikianlah yang Rasulullah saw perintahkan kepada kami."
(HR. Muslim)
b. Keumuman Hadits lbn Umar
�H�, �"�_�, vB� %H�8 �����, G���� wB� �4�'�, A�e �$��E�� vB� C)�D wB� �4���)�, �Q)�E�� ���f�6 �A��g�(�� �$����N �I ���(��:�J C�*�L �����J� �$�M%F�� �I�� �����T�;�J C�*�L �!�����J �A%d�N �Q9S �Q9R���)�, �����"�#��N �4� ) !��� ���k_� � Q)/((
Artinya: "Dari Abdullah bin Umar r.a. (di Riwayatkan bahwa) Rasulullah
saw menjelaskan tentang bulan Ramadlan dan berkata:
Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan
jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila
awan menutup penglihatanmu maka perkirakanlah
(kadarkanlah). (HR. al-Bukhari dan Muslim).
4. Apabila Garis Batas Wujudul hilal pada awal bulan Kamariyah tersebut di
atas membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan awal
bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.121
Melihat dari keputusan Majelis Tarjih tentang penentuan awal bulan
Kamariyah dapat diketahui bahwa Muhammadiyah dalam penentuan awal
bulan Kamariyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria WujudL hilal
dalam penentuan awal bulan Kamariyah akan muncul istilah garis batas
Wujudul hilal yakni tempat-tempat yang mengalami terbenam matahari dan
bulan pada saat yang bersamaan, jika tempat-tempat tersebut dihubungkan
121 Ibid
49
49
maka akan terbentuk sebuah garis, garis inilah yang kemudian disebut dengan
garis batas wujudul hilal.122
Garis batas wujudul hilal akan membelah menjadi dua wilayah yaitu
wilayah yang berada disebelah barat garis batas wujudul hilal dan wilayah
yang berada disebelah timur garis batas wujudul hilal. Wilayah yang berada
disebelah barat garis batas wujudul hilal, Matahari akan terbenam terlebih
dahulu dari pada Bulan dan pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di
atas ufuk sehingga Bulan telah wujud dan pada saat itu juga sudah masuk
bulan baru sedangkan wilayah yang berada di sebelah timur garis batas
wujudul hilal Bulan lebih dahulu terbenam dari pada Matahari sehingga Bulan
berada di bawah ufuk dengan kata lain bulan belum wujud pada saat Matahari
terbenam, sehingga bulan baru belum masuk melainkan masih termasuk bulan
yang sedang berlangsung.123
Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan posisi Bulan akibat garis
wujudul hilal di atas yang berdampak pada masuknya bulan baru, maka
perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariyah lebih dikarenakan adanya
perbedaan garis batas wujudul hilal. Supaya tidak terjadi perbedaan dalam
penentuan awal bulan Kamariyah maka Muhammadiyah memberlakukan
matla’ fi wilayatil hukmi124
dalam penentuan awal bulan Kamariyah meskipun
dalam putusan Munas Tarjih dijelaskan bahwa kewenangan dalam penentuan
122 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah Dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha), Jakarta; Erlangga, 2007, hlm. 15 123
Ibid, hlm. 125-126 124 Matla’ fi wilayatil hukmi yaitu keberlakuan hilal untuk satu wilayah di manapun
diwilayah kawasan nusantara dianggap berlaku diseluruh wilayah Indonesia lihat dalam Susiknan
Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005, hlm.101
50
50
awal bulan Kamariyah diserahkan oleh kebijakan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Namun karena Muhammadiyah menganut matla’ fi wilayatil
hukmi sesuai dengan putusan Munas Tarjih Jakarta dan Padang maka
penanggalan Kamariyah harus sama di seluruh wilayah hukum Republik
Indonesia.
C. Latar Belakang Pemikiran Muhammadiyah dalam Penentuan Awal
Bulan Kamariyah dalam Konsep Matla’ fi Wilayatil Hukmi
Matla’ jika dikaitkan dengan studi kalender hijriah mengarah pada
batas geografis keberlakuan rukyah. Dalam pengertian ini kemudian muncul
terminologi ikhtilaf matla’.125
Kajian tentang ikhtilaf matla’ senantiasa muncul
ke permukaan ketika umat Islam akan menetapkan awal dan akhir bulan
Ramadhan setiap tahun. Oleh karena itu pembahasan ikhtilaf matla’ di
berbagai wilayah Islam difokuskan pada persoalan awal penampakan hilal
menjelang puasa Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan.
Persoalan yang menjadi objek kajian ulama adalah apakah
penampakan hilal Ramadhan atau hilal hari raya Idul Fitri di suatu wilayah
harus diikuti pula oleh wilayah yang belum melihat hilal. Dengan kata lain
bahwa hasil rukyah bersifat global artinya perbedaan tempat penampakan hilal
tidak berpengaruh pada perbedaan memulai puasa atau hari raya Idul Fitri
untuk seluruh wilayah di Bumi ini sehingga apabila suatu wilayah telah
melihat hilal maka wilayah lain berpedoman pada hasil rukyah wilayah
tersebut. Jika demikian halnya maka perbedaan hari memulai puasa tidak akan
125
Ikhtilaf matla’ adalah perbedaan tempat terbitnya hilal disuatu wilayah, Ibid, hlm.76
51
51
terjadi di seluruh tempat dimuka Bumi ini tanpa membedakan jauh dekatnya
antara wilayah yang melihat hilal dan yang belum melihat hilal.126
Dalam kaitan ini contoh yang jelas adalah para ahli rukyah di Makkah,
pada akhir bulan Syakban telah berhasil melihat hilal, sedangkan di daerah
lain hilal belum kelihatan pada hari yang sama. Dengan dasar hasil rukyah
tersebut pemerintah Arab Saudi mengumumkan bahwa puasa Ramadhan
dimulai keesokan harinya. Berdasarkan hasil rukyah di Makkah ini timbul
persoalan apakah kaum muslimin di daerah lain harus mengakui dan
mengikuti hasil rukyah di Makkah tersebut sehingga awal Ramadhan untuk
daerah-daerah lain sama dengan awal Ramadhan di Arab Saudi.127
Para ulama menyadari bahwa tidak dapat diingkari fenomena
munculnya hilal pada setiap daerah waktunya berlainan, apalagi bila daerah
itu saling berjauhan. Rasulullah Saw dalam sabdanya yang berkaitan dengan
hilal yaitu:
����(���D �4�*�<�[��� ������T�N�e�� 4�*�<�[���}W~ Artinya: “Berpuasalah kamu sesudah melihat hilal dan berbukalah
kamu sesudah melihat hilal”
Secara umum hadis di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang telah
melihat hilal maka kaum muslimin wajib mengikuti rukyah tersebut, namun
apabila pada tanggal 29 hilal tidak terlihat oleh pandangan mata maka esok
harinya masih ditetapkan sebagai hari ke-30, pemahaman seperti ini bisa
126 Susiknan Azhari, Penggunaaan Sistem Hisab dan Rukyat di Indonesia (Studi tentang
Interaksi NU dan Muhammadiyah)”, Jogjakarta; Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 74 127 Ibid., hlm. 75 128 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shohih Muslim, Jilid I,Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm.
482
52
52
dikatakan pemahaman secara lahiriah karena kata rukyah diartikan melihat
dengan mata.
Namun Muhammadiyah dalam menentukan penggunaan metode hilal
sebagai penentu awal bulan tidak mendasarkan pada hadits di atas, melainkan
pada hadits Nabi Saw yang lain yakni:
H, ON� H, B�"_, H8 ��, G�� B� ��F', A� $�E� B� C)D B� 4�), Q)E� �f6 A�g(� $��N : I ��(�:J iL ���J $Mj� I� ���T;J iL !��J A�N QS
QR�), 4���"#�N (!��� Y��k_�)١٢٩
Artinya : “Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah
saw menjelaskan bulan Ramadhan kemudian beliau
bersabda: janganlah kamu berpuasa ssampai kamu melihat
hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuak sebelum
melihatnya lagi.jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR
Bukhari)
Pemahaman hadis di atas tidak hanya memperhatikan makna lahiriah
saja akan tetapi lebih jauh mencari makna yang subtansial dari maksud hadis
diatas yakni mengetahui dan meyakini apakah hilal telah wujud atau belum
pada tanggal 29. Sesuai dengan makna substansial hadis di atas maka istilah
rukyah yang diartikan dengan melihat, oleh Muhammadiyah juga dipahami
dengan melihat menggunakan metode penelitian atau penalaran ilmiah,
Metode tersebut sekarang telah terumus dengan baik dalam ilmu hisab atau
astronomi.
Konsep matla’ adalah batas suatu kawasan geografis yang mengalami
terbit hilal di atas ufuk barat sesudah matahari terbenam sehingga semua
129 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, Beirut: Dar al Fikr ,tt, hlm.
34.
53
53
wilayah dalam kawasan tersebut memulai awal bulan pada hari yang sama
akan tetapi muncul perdebatan dalam penerapannya, apakah terbitnya hilal
berlaku bagi seluruh kawasan di belahan bumi ini, ataukah hanya menyangkut
satu kawasan tertentu yang dapat melihat terbitnya hilal secara bersamaan.
Untuk mengantisipasi timbulnya dampak negatif dari adanya
perbedaan tentang awal masuknya bulan Kamariyah, maka kemudian
Muhammadiyah menentukan kebijakan mengenai persamaan pemberlakuan
hasil rukyah untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena
Muhammadiyah sendiri pernah mengalami perbedaan internal mengenai
pengukuran ufuk.130
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penerapan
konsep matla’ fi wilayatil hukmi di kalangan Muhammadiyah tidak lain adalah
untuk mengantisipasi timbulnya perbedaan internal terkait dengan masuknya
awal bulan Kamariyah.
130 Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Encep Supriyatna, seorang pakar hisab dan
anggota Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PW Muhammadiyah Jawa Barat
sebagaimana dikutip dalam Ahmad Izzudin, op. cit., hlm. 148.
54
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH
DALAM KONSEP MATLA’ FI WILAYATIL HUKMI
A. Analisis Metode Hisab Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Bulan
Qamariyah Dalam Konsep Matla’ fi Wilayatil Hukmi
1. Analisis Metode Hisab Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Bulan
Sejarah pedoman hisab yang digunakan Muhammadiyah terus
berkembang seiring berjalannya waktu. Hal ini terlihat dari pedoman yang
digunakan Muhammadiyah yaitu mulai dari hisab hakiki KH. Wardan
sampai sekarang menggunakan pedoman hisab yang up to date seperti
almanak Nautika yang dikeluarkan TNI Angkatan Laut Dinas Oceanografi
yang terbit setiap tahun maupun Epimeris hisab rukyah.131
Meski
memiliki pedoman tersebut, Muhammadiyah tidak lantas secara serta
merta mengikuti penanggalan yang ada dalam pedoman itu melainkan
dipadukan dengan metode hisab yang dipilih dan dilaksanakan oleh
Muhammadiyah, yakni metode hisab wujudul hilal.132
Metode hisab wujudul hilal sebagai penentuan awal bulan
qamariah Muhammadiyah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
131 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah Dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha), Jakarta; Erlangga, 2007, hlm. 124 132 Hal ini sebagaimana tertuang dalam Keputusan Muktamar Tarjih di Pencongan
Wiradesa Pekalongan 1972, Keputusan Munas Tarjih ke-25 di Jakarta dan Keputusan Munas
Tarjih ke-26 di Padang. Dari keputusan tersebut dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah
menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal (bulan telah wujud di atas ufuk) dengan
prinsip matla’ fi wilayatil hukmi (berlaku di seluruh wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan
hukum) dalam penentuan awal bulan qamariyah. Putusan Muktamar di Pekalongan, Jakarta dan
Padang terangkum dalam “Himpunan Putusan Tarjih tentang Penanggalan Hijriyah” dalam
www.ilmufalak.org/index.php?option=com diakses tanggal 23 Juni 2009.
55
dipisahkan. Maksud dari kesatuan yang tidak dapat dipisahkan adalah
bahwa ketiga kriteria dalam wujudul hilal, yakni ijtima’, ghurub, dan
bulan di atas ufuk harus terpenuhi semuanya. Apabila salah satu tidak
terpenuhi, maka wujudul hilal tidak terlaksana dan itu berarti belum terjadi
pergantian bulan. Sebaliknya, apabila ketiga kriteria tersebut telah
terpenuhi, maka telah ada pergantian bulan dari bulan lama menuju bulan
baru.133
Operasionalisasi metode hisab wujudul hilal secara tidak langsung
menunjukkan totalitas perhitungan yang digunakan oleh Majelis Tarjih
dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menurut penulis, disebut
demikian karena dalam metode wujudul hilal terkandung penerapan ilmu
astronomi dengan tanpa meninggalkan syari’ah yang telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad Saw yang men-sunnah-kan untuk memperhatikan hilal
dengan jalan rukyat. Hal ini terlihat dari hadits beliau berikut ini:
H, H8� ��, G�� B� ��F', $�# $�# $�E� B� C)D B� 4�), Q)E� �P� �F�� O/J A���,� MN ��(�:J KL !��J I� ���T;J KL !��J A�N
QS QR�), 4���"#�N ) !��� Q)/((١٣٤
Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu
bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum
melihat bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan
jika tertutup awal maka perkirakanlah. (HR. Muslim)
133 Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Cet ke-2, 2009, hlm. 78-80. 134 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid I, Beirut: Daar al-Fikr, t.t.,
hlm. 481.
56
Penerapan ilmu astronomi sendiri tidaklah bertentangan dengan
perintah Allah sebagaimana termaktub dalam salah satu firman-Nya
berikut ini:
���� ���� � ���� ������� ������� ���������� ����� �!���"�#�� �$%&��'�( �����)���*� �+�"�, �-%'./� �0��/�1���� ��( �2�)�3 �4)� �5��6 �%7 .2�1��%8 9 .:�;�< �=��<>�� ?@����� A����)���<
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-
tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak [669].
dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang Mengetahui. (Q.S. Yunus: 5)135
Kandungan firman di atas menunjukkan bahwa Allah telah
menetapkan adanya perhitungan waktu dalam perjalanan Matahari dan
Bulan sebagai hikmah bagi umat manusia. Dengan demikian jelas bahwa
perhitungan untuk menentukan awal bulan dengan menggunakan metode
perhitungan posisi Matahari dan Bulan dalam lingkup ijtima’, ghurub dan
posisi pada saat ufuk tidaklah salah apalagi bertentangan dengan syari’ah
Islam.
Dua dalil yang berasal dari al-hadis dan ayat al-Qur’an di atas
sekaligus menjadi penguat terhadap totalitas metode hisab yang dilakukan
oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam aspek astronomi
dan tradisi yang diajarkan oleh Nabi (rukyat). Aspek astronomi terlihat
135 [669] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah
dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah. Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: PT Karya Toha Putra, t.t hlm 306.
57
dalam proses perhitungan untuk menentukan ijtima’, ghurub, maupun
posisi Bulan saat ufuk. Sedangkan aspek rukyat secara tidak langsung
terkandung dalam perhitungan penentuan posisi Bulan saat ufuk. Melalui
perhitungan tersebut dapat diperkirakan bagaimana posisi bulan pada saat
ufuk; apakah di atas matahari yang berarti akan tenggelam setelah
matahari tenggelam, ataukah di bawah posisi matahari yang berarti akan
tenggelam mendahului matahari.
Jadi sebenarnya dalam metode hisab wujudul hilal yang digunakan
oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terkandung aspek
rukyat yang terwujud dalam bentuk perhitungan. Dengan demikian,
melalui hisab wujudul hilal untuk mengetahui posisi bulan saat ufuk tidak
perlu menunggu saat matahari akan tenggelam namun dapat ditentukan
beberapa jam sebelum peristiwa tersebut.
2. Analisis Konsep Matla’ fi Wilayatil Hukmi dalam Penentuan Awal Bulan
Pemberlakuan hasil hisab wujudul hilal dilaksanakan dalam konsep
matla’ fi wilayatil hukmi yakni diberlakukan untuk seluruh wilayah
hukum.136
Dalam konteks Muhammadiyah, pemberlakuan konsep matla’ fi
wilayatil hukmi hanya mencakup wilayah hukum Indonesia saja. Dengan
demikian, wilayah hukum selain Indonesia tidak perlu menjadikan hasil
hisab Muhammadiyah sebagai penentuan awal bulan.
Penerapan kesatuan wilayah untuk pelaksanaan hasil hisab Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan
136 Penjelasan mengenai istilah matla’ fi wilayatil hukmi dapat dilihat dalam Susiknan
Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005, hlm.101.
58
mungkin tidak akan menimbulkan permasalahan secara syari’at manakala
wilayah yang berada dalam kesatuan wilayah hukum tersebut memiliki
kesamaan hasil perhitungan. Namun apabila terjadi perbedaan hasil
perhitungan yang disebabkan keberadaan garis wujudul hilal yang
membelah bagian tengah wilayah tersebut, maka tentu akan menghasilkan
perhitungan yang berbeda pula mengenai penentuan awal bulan.
Contoh kasus adalah penetapan awal Syawal dari Muhamadiyah
tahun 2007. Waktu itu diperkirakan ijtima’ (konjungsi) terjadi pada
tanggal 11 Oktober tepatnya 12.02 WIB. Garis ijtima’ sendiri telah
membelah Indonesia menjadi bagian yang terlewati dan belum terlewati
garis 0 derajat. Berdasarkan hisab tersebut maka Muhammadiyah lalu
menetapkan tanggal 12 Oktober berdasarkan fakta perhitungan tersebut.
Berikut ilustrasinya
Dari gambar di atas terlihat seharusnya Kalimantan Timur,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Maluku dan Irian
Jaya (termasuk pula Philipine dan Brunei) belum masuk Syawal sebab
59
masih di bawah 0 derajat.137
Namun oleh karena berlaku matla’ fi wlayatil
hukmi, maka daerah yang belum masuk syawal tersebut “diperbolehkan”
untuk mengikuti awal bulan syawal sesuai dengan hasil hisab wujudul
hilal, yakni tanggal 12 Oktober.138
Peristiwa di atas jika dikembalikan kepada ketentuan wujudul hilal
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentu akan menjadi
bumerang tersendiri. Disebut demikian karena dalam wujudul hilal berlaku
ketentuan bahwa apabila keadaan matahari dan bulan dalam lingkup
ijtima’, ghurub dan posisi bulan pada saat ufuk secara keseluruhan belum
memenuhi syarat pergantian bulan, maka dianggap tidak terjadi pergantian
bulan. Dengan adanya asumsi kesamaan melalui konsep matla’ fi wilayatil
hukmi berarti secara tidak langsung putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah tersebut bertentangan atau tidak bersesuaian dengan
kesepakatan yang telah disepakati terkait dengan syarat pergantian bulan.
Dengan demikian, pemberlakuan hasil hisab wujudul hilal dalam
konsep matla’ fi wilayatil hukmi PP Muhammadiyah kurang sesuai dengan
kaidah penentuan awal bulan yang dijadikan dasar oleh PP
Muhammadiyah.
137 Menurut Susiknan Azhari, wilayah yang berada disebelah barat garis batas wujudul
hilal, Matahari akan terbenam terlebih dahulu dari pada Bulan dan Bulan berada di atas ufuk
sehingga Bulan telah wujud dan sudah masuk bulan baru; sedangkan wilayah yang berada di
sebelah timur garis batas wujudul hilal Bulan lebih dahulu terbenam dari pada Matahari sehingga
Bulan berada di bawah ufuk dan Bulan belum wujud pada saat Matahari terbenam. Hal ini berarti
bahwa bulan baru belum masuk melainkan masih termasuk Bulan yang sedang berlangsung.
Sebagaimana dijelaskan dalam Susiknan Azhari, Ilmu Falak (Teori Dan Praktek), Yogyakarta;
Suara Muhammadiyah, cet I, hlm. 125-126. 138 Dijabarkan oleh penulis dari Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor
03/MLM/I.0/E/2007 tentang Penetapan 1 Syawal 1428 Hijriyah.
60
B. Analisis Latar Belakang Pemikiran Muhammadiyah dalam Penentuan
Awal Bulan Qamariyah dalam Konsep Mathla’ fi Wilayatil Hukmi
Latar belakang pemikiran Muhammadiyah dalam penentuan awal
bulan qamariyah dalam konsep matla’ fi wilayatil hukmi – sebagaimana telah
dijelaskan dalam Bab III – dilatarbelakangi terjadinya perbedaan matla’ antar
berbagai wilayah di belahan bumi. Hal ini tidak berlebihan karena di kalangan
para ulama juga tidak jarang terjadi perselisihan pendapat tentang terlihatnya
hilal di kawasan negeri tertentu apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh
kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, ataukah hanya berlaku pada masing-
masing negeri berdasarkan ru’yat atau perhitungan mereka sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konsep matla’ fil
wilayatil hukmi yang diterapkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah dapat diterima sebagai bentuk penghindaran mafsadat dengan
jalan untuk menyeragamkan pandangan mengenai penentuan awal bulan
qamariah. Dapat dimaklumi dan diterima bahwa yang memiliki hak otoritas
adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan bukan masing-masing Pimpinan
Cabang Muhammadiyah. Apabila diserahkan pada masing-masing Pimpinan
Cabang, maka akan terjadi khilafiyah dalam menentukan awal bulan yang
diakibatkan perbedaan wilayah antar cabang dalam posisi garis wujudul hilal.
Selain berlaku bagi kesatuan wilayah hukum, konsep matla’ fi
wilayatil hukmi Muhammadiyah secara tidak langsung juga terkandung
prinsip tidak bertentangan dengan keputusan pusat peradaban Islam, yakni
61
Mekkah. Hal ini dapat dilihat dalam dengan penentuan puasa Arafah dengan
ilustrasi sebagai berikut:139
Garis A adalah garis terbenamnya Matahari dan Bulan bersamaan.
Sedangkan kurve B menunjukkan bahwa kawasan di dalam kurve B tersebut –
berdasarkan konsep wujudul hilal – hilal Syawal terjadi pada sore Kamis 11
Oktober 2007. Selain itu, dari gambar garis wujudul hilal di atas dapat
dijelaskan bahwa pada tahun tertentu, wujudul hilal akan menimbulkan
perbedaan di kalangan umat Islam di dunia dalam melaksanakan puasa Arafah
yang berbeda dengan hari terjadinya wukuf di Arafah (Mekah) secara riil.
Sebagai contoh adalah Zulhijah 1431 H. Pada sore Sabtu (hari konjungsi) 06
November 2010 M, di Mekah tinggi (titik pusat) Bulan geosentrik saat
Matahari terbenam baru mencapai setengah derajat (0,5º). Tinggi toposentrik
malah masih minus. Itu artinya Mekah akan menggenapkan Bulan Zulkaidah
30 hari dan akan memulai tanggal 1 Zulhijah 1431 H pada hari Senin 08
139 Dikembangkan penulis berdasarkan sumber dari “Rukyat Global” Tanya Jawab
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam
www.muhammadiyah.or.id/tarjih/files/.../Fatwa_24_2009_Rukyat_Global.rtf
62
November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari Senin 15 November
2010 M. Sementara itu di bagian selatan Benua Amerika Latin hilal Zulhijah
terlihat pada hari Sabtu 06 November 2010 H apabila langit cerah. Di ibukota
Cile, Santiago, tinggi Bulan geosentrik adalah 09º 49’ 35”. Itu artinya bahwa
sebagian besar masyarakat Muslim Amerika Latin akan memasuki 1 Zulhijah
pada hari Ahad 07 November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari
Senin 15 November 2010 M. Jadi timbul perbedaan hari mengerjakan puasa
Arafah antara Mekah dan Amerika Latin.140
Penjelasan di atas, menurut penulis, secara tidak langsung
mengindikasikan bahwa penerapan matla’ fi wilayatil hukmi yang berdasarkan
pada kesatuan wilayah kenegaraan masih dapat menimbulkan kemadlaratan
atau minimal tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Dikatakan tidak
konsisten manakala terjadi peristiwa seperti contoh kasus di atas maka konsep
kesatuan wilayah hukum tidak akan berlaku. Di mana pun negara dan
bagaimana pun kondisi kedudukan matahari dan bulan terkait dengan
penentuan awal bulan, pada contoh kasus di atas tentu akan sepakat
menjadikan ukuran hasil perhitungan Makkah sebagai acuan dalam
menjalankan puasa Arafah. Oleh sebab itulah dapat diketahui bahwa
Muhammadiyah juga menerapkan prinsip fleksibel dalam menerapkan konsep
matla’ fi wilayatil hukmi tersebut. Fleksibilitas itu terlihat dengan tidak
berlakunya konsep matla’ fi wilayatil hukmi manakala berhubungan dengan
peribadatan yang memiliki tolok ukur yang berbeda seperti halnya penentuan
140 Ibid.
63
ibadah puasa Arafah. Oleh karena yang menjadi penentu adalah wilayah
Mekkah, maka dalam menentukan hari untuk puasa Arafah mengacu pada
keputusan dari Mekkah. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa fleksibilitas
konsep matla’ fi wilayatil hukmi Muhammadiyah hanya berlaku manakala
tidak bertentangan dengan hasil keputusan Mekkah.
Keunggulan fleksibilitas matla’ fi wilayatil hukmi Muhammadiyah
tersebut kiranya akan lebih baik lagi manakala memperhatikan aspek
pemenuhan rukun dan syarat suatu ibadah sebagaimana telah dijelaskan di
atas. Tanpa adanya pemenuhan rukun dan syarat, maka suatu ibadah akan
menjadi tidak sah. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam konsep matla’ fi
wilayatil hukmi Muhammadiyah, khususnya yang berkaitan dengan penentuan
awal bulan Syawal, ada peluang tidak terpenuhinya rukun dan syarat ibadah.
Maksudnya adalah tidak terpenuhinya rukun waktu dari shalat hari raya Idul
Fitri karena belum memasuki waktunya, yakni bulan Syawal. Apabila hal ini
terjadi tentu bukan menghilangkan mafsadat melainkan malah mendatangkan
mafsadat. Mafsadat yang dimaksud tidak lain adalah karena hilangnya salah
satu rukun dan syarat yang melekat pada ibadah tersebut. Padahal jika salah
satu dari rukun maupun syarat dari suatu ibadah tidak terpenuhi, maka hal
tersebut akan menjadikan cacat atau batalnya suatu ibadah tersebut.
Menurut penulis, konsep matla’ fi wilayatil hukmi perlu diperhatikan
kembali hakekatnya. Kesatuan wilayah hukum – dalam contoh kasus di atas –
tidak dapat diberlakukan dengan memberikan kesamaan awal bulan. Dengan
memberikan kesamaan awal bulan kepada wilayah yang belum memasuki
64
awal bulan Syawal sama saja berarti memperbolehkan umat Islam untuk
melaksanakan shalat Idul Fitri di akhir bulan Ramadlan. Tentu saja hal ini
tidak sesuai dengan syari’at Islam. Lebih lanjut, idealnya konsep matla’ fi
wilayatil hukmi tidak hanya didasarkan pada wilayah kenegaraan namun lebih
didasarkan pada substansi hukum Islam. Maksudnya adalah perlu kiranya
mempertimbangkan legalitas syari’at peribadatan dalam menentukan konsep
matla’ fi wilayatil hukmi. Apabila disandarkan pada legalitas syari’at
peribadatan, maka yang menjadi dasar konsep matla’ fi wilayatil hukmi pada
contoh kasus di atas bukanlah kesatuan wilayah hukum Indonesia melainkan
kesatuan wilayah hukum shalat Idul Fitri (rukun dan syarat), yakni berlaku
hukum dilaksanakan pada awal bulan Syawal setelah berakhirnya bulan
Ramadlan. Dengan demikian, pemberlakuan matla’ fi wilayatil hukmi tidak
akan mengurangi atau bahkan menghilangkan legalitas syari’at suatu ibadah
yang secara otomatis akan menghasilkan kemadlaratan.
Apabila hal tersebut dilaksanakan, maka jika suatu waktu wilayah
Indonesia terbelah oleh garis wujudul hilal, Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah dapat mempertimbangkan untuk mengambil keputusan yang
mendasarkan pada aspek kesatuan hukum ibadah (rukun dan syarat) meskipun
umat manusia mengalami perbedaan waktu pelaksanaan ibadah tersebut. Hal
ini tidak bermasalah karena perbedaan tersebut dikarenakan sunnatullah dan
bukan karena faktor manusia. Penguatan kebolehan perbedaan akibat hilal
juga telah dicontohkan dalam salah satu hadits Nabi Saw berikut ini:
65
�H�, ?\�<��9f A�e �@9e % �g�;�� �a�'%8 �r%���1�� �4�*�s���8 C�%7 �Z�<%�����( %@����%8 �$��# �a�(�"���N �@���� �a���g���N ��F�*����L %F�*�E��� �G�)�, 9A��g�(�� �� �e�� %@����%8 �a�<�e���N �$�M%F�� �Z�)���
�Z�����t�� �Q9l �a�(�"�# �Z�'<�"���� G�N %��3u %��F��� G%'���/�N �"�_�, vB� �H�8 ?b��_�, G���� wB� �4�'�, �Q9l ���f�6 �$�M%F�� �$����N C�*�( �Q�*�<�e�� �$�M%F�� �a�)9��N �!��'�<�e�� �Z�)��� �Z�����t�� �$����N �a� �e
�4�*�<�e�� �a�)9��N � �Q�� �!u���� �b��'� ���(��D�� �@��D�� 9Z�<%�����( �$����N ��'�R� �!��'�<�e�� �Z�)��� �a�_�/� �M�N 9$��x� �@��:� C�*�L � ���R� �-�l�M�l ���e �!���� �a�)9��N ���e �I G�;�*�R�J �Z�<�[��%8 �Z�<%�����(
�4�(����D�� �$����N �I ����R�� �� ���(�e 9$��E�� vB� C)�D wB� �4���)�, �Q)�E�� �5�y�� C���1�< �H�8 C���1�< G�N G�;�*�R� ���e G�;�*�R�J (!��� Q)/()
Artinya: “Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits
mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam, Kuraib berkata:
Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan
Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal bulan Ramadan
sementara saya masih berada di Syam dan saya melihatnya
pada malam Jum’at, kemudian saya kembali ke Madinah
pada akhir bulan Ramadan. Lalu Ibnu ‘Abbas bertanya
kepada saya tentang hilal Ramadhan: kapan kalian melihat
hilal? Saya menjawab: kami melihatnya pada malam Jum’at.
Ibnu Abbas bertanya: apakah kamu melihatnya? Saya
katakan: Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian
mereka memulai puasa dan Mu’awiyah juga berpuasa. Lalu
Ibnu Abbas berkata: kami melihatnya pada malam Sabtu,
maka kami akan melanjutkan puasa sampai tiga puluh hari
atau kami melihat hilal. Saya katakan kepada beliau: apakah
tidak mencukupkan dengan ru’yah dan puasa Mua’wiyah?
Jawab beliau: Tidak, demikianlah Rasulullah SAW
mentitahkan kepada kami.” (HR. Muslim)
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas sekali bahwa dalam konsep
matla’ fi wilayatil hukmi PP Muhammadiyah masih terkandung aspek
madlarat. Disebut demikian karena aspek madlarat yang terkandung tersebut
adalah aspek hilang atau tidak terpenuhinya rukun dan syarat suatu ibadah
yang tentu saja akan berdampak pada keabsahan ibadah yang dilaksanakan.
66
Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan kembali untuk menyandarkan konsep
matla’ fi wilayatil hukmi pada aspek batas wilayah hukum suatu negara
dengan menggantinya pada aspek kesatuan hukum (rukun dan syarat) yang
terkandung dalam suatu peribadatan. Apabila legalitas ibadah hilang atau
cacat, maka madlarat akan muncul karena masalah ibadah merupakan masalah
umat manusia dengan Allah. Apabila disandarkan pada hadits di atas, idealnya
konsep matla’ fi wilayatil hukmi diberlakukan dengan tidak menyamaratakan
seluruh wilayah dalam memasuki awal bulan Syawal, melainkan membedakan
awal bulan Syawal sesuai dengan keadaan wilayah akibat adanya garis
wujudul hilal. Dengan demikian, konsep matla’ fi wilayatil hukmi hanya
menjadi sifat wilayah di mana keputusan diterapkan di seluruh wilayah
Indonesia, sedangkan hakekat substansi mengenai awal bulan disesuaikan
dengan kondisi masing-masing wilayah sesuai dengan keadaan wilayah akibat
adanya garis wujudul hilal. Jadi secara sederhana, hasil hilal dengan konsep
matla’ fi wilayatil hukmi menurut penulis idealnya dapat diputuskan sebagai
berikut: Putusan berlaku seluruh bagi wilayah Indonesia yang berhubungan
dengan awal masuknya bulan Syawal dengan ketentuan bahwa wilayah yang
telah terjadi hilal (wujudul hilal) telah memasuki bulan Syawal sedangkan
wilayah yang belum terjadi hilal (wujudul hilal) tetap berada pada bulan
Ramadlan dan berlaku ketetapan untuk menggenapkan bulan Ramadlan
menjadi 30 hari.
Oleh sebab itu, meskipun memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas
konsep matla’ fi wilayatil hukmi, dengan adanya madlarat terkait dengan
67
pelaksanaan keputusan dengan konsep matla’ fi wilayatil hukmi dalam
penentuan awal bulan Syawal maka pelaksanaan konsep tersebut masih
terkandung madlarat. Hal ini tentu kurang sesuai dengan kaidah hukum Islam
yang mengharuskan menghilangkan madlarat dalam pelaksanaan hukum
Islam, yakni
$�x< ���g�١٤١
“Madlarat harus dihilangkan”
141 Teuku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
hlm. 436-437.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan pada beberapa Bab yang dulu dapat
disimpulkan bahwa:
1. Metode penentuan awal bulan Kamariyah yang dilaksanakan oleh
Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Penggunaan metode ini
menitikberatkan pada penghitungan saat wujudul hilal Sehingga apabila
telah ditemukan penghitungan mengenai waktu wujudul hilal, maka dapat
dipastikan bahwa akan datang bulan Kamariah yang baru. Pemberlakuan
hasil hisab wujudul hilal dalam konsep matla’ fi wilayatil hukmi PP
Muhammadiyah kurang sesuai dengan kaidah penentuan awal bulan yang
dijadikan dasar oleh PP Muhammadiyah, khususnya manakala terjadi
perbedaan wilayah karena terbelah oleh garis wujudul hilal.
2. Konsep matla’ fi wilayatil hukmi Muhammadiyah dilatarbelakangi untuk
menghilangkan perbedaan pendapat mengenai masuknya bulan Kamariyah
yang baru. Konsep tersebut secara tidak langsung mengindikasikan upaya
Muhammadiyah untuk tetap menjaga persatuan umat Islam, khususnya
dalam menghadapi perbedaan penghitungan awal bulan Kamariyah.
Penerapan konsep matla’ fi wilayatil hukmi Muhammadiyah memiliki
keunggulan dalam hal fleksibilitas. Meskipun memiliki keunggulan dalam
hal fleksibilitas konsep matla’ fi wilayatil hukmi, dengan adanya madlarat
69
terkait dengan pelaksanaan keputusan dengan konsep matla’ fi wilayatil
hukmi dalam penentuan awal bulan Syawal maka pelaksanaan konsep
tersebut masih terkandung madlarat. Hal ini tentu kurang sesuai dengan
kaidah hukum Islam yang mengharuskan menghilangkan madlarat dalam
pelaksanaan hukum Islam, yakni:
$�x< ���g�
“Madlarat harus dihilangkan”
B. Saran-Saran
1. Pemerintah melalui Departemen Agama sudah seharusnya memiliki
tanggung jawab terhadap permasalahan hisab rukyah ini dengan bekerja
sama dengan para ulama dan pakar falak dalam upaya penentuan awal
bulan qamariyah agar tidak terjadi perselihan di tengah masyarakat
menyangkut persoalan penentuan awal bulan qamariyah terutama
terhadap penentuaan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
2. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan terbesar
kedua perlu melakukan kajian ulang terhadap kriteria yang digunakan
dalam penentuan awal bulan qamariyah. Muhammadiyah perlu
membuka diri terhadap solusi yang ditawarkan pemerintah yang
berusaha menyatukan dua mazhab besar dalam wacana hisab rukyah
Indonesia Sehingga potensi perselisihan yang mungkin bisa ditimbulkan
dari perbedaan dalam penentuan awal bulan qamariyah terutama
menyangkut penentuan Puasa, Syawal dan Dzulhijjah akan dapat
dihindari.
70
3. Ilmu Falak termasuk penentuan awal bulan qamariyah didalamnya
merupakan salah satu ilmu yang langka karena tidak banyak orang yang
mempelajari dan menguasainya. Oleh karena itu hendaknya ilmu ini
tetap dijaga eksistensinya dengan melakukan pengembangan dan
pembelajaran baik bersifat personal maupun institusi pendidikan formal
seperti IAIN maupun informal seperti pondok pesantren. Karena telah
kita ketahui bersama bahwa ilmu ini memiliki peranan sangat penting
terhadap syari’at agama Islam.
C. Penutup
Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. penulis ucapkan sebagai
ungkapan rasa syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini. Meskipun
telah berupaya dengan optimal, penulis yakin masih ada kekurangan dan
kelemahan skripsi ini dari berbagai sisi. Namun demikian penulis berdo’a
dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Atas saran dan kritik konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan
tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih.
Wallahu a’lam bi al-shawab
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,Asmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004.
Ahmad ,Jamil,Seratus Muslim terkemuka,Terj. Tim penerjemah Pustaka al
Firdaus, Cet I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987
Al Baihaqi, Jalil abi Bakr Ahmad bin Husain bin ali Al hafidz, al Sunan al Kubro,
Juz IV, Beirut: Darl Fikr, tt
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Juz. III,
Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Al Jauhary, Thantawy, Tafsir al Jawahir,Juz VI,Mesir: Mustafa al Babi al Halabi,
1346 H
Al Qulyubi ,Syihabudin, Hasiyah Minhaj al Thalibin Jilid II,Kairo: Mustofa al
Babi al Halabi, 1956
Amirin,Tatang,,Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo persada,
1995.
An Najah, Ahmad Zain, Majelis Tarjih Muhammadiyah (Pengenalan
Penyempurnaan dan Pengembangan ) disampaikan dalam FORMAT
(Forum Kader Ummat)
Azhari, Susiknan, M.Ag., Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, Cet. I, 2005.
_______, ilmu falak teori dan praktek, Yogyakarta;Suara Muhammadiyah, cet I
2004
_______, Penggunaaan Sistem Hisab dan Rukyat di Indonesia (Studi tentang
Interaksi NU dan Muhammadiyah)”, Yogyakarta; Disertasi UIN Sunan
Kalijaga, 2006
_______, Ilmu Falak (perjumpaan khazanah islam dan sains modern),
Yogyakarta; suara muhammadiyah, 2007
Baraas, Ahmad, dkk, “perjalanan dari waktu kewaktu”, Kompas, 17 November
1990.
Baiquni,Ahmad, Al Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, Cet IV,
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996
Departemen Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta :
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1998/1999.
______, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Kumudasmoro Grafindo, 1994.
______, Ephemeris Hisab Rukyah 2004, Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 2004.
______, Almanak sepanjang Masa, Semarang : t.p.t.d
Djamaluddin, Thomas, “Menuju Titik Temu Menentukan 1 Syawal”, Media
Indonesia, 10 oktober 2007
Djamaluddin, Thomas, ”Aspek Astronomis Dalam Kesatuan Umat”, Republika,
10 Desember 1999
Djamaludin, Thomas, Redefinisi Hilal, titik temu kalender hijriah I. Pikiran
rakyat tanggal 20-21 Februari 2004.
Hasil Munas Tarjih ke-20, Jakarta 5 - 7 juli 2000
Hasil Munas Tarjih ke-23,, Padang 1-5 Oktober 2003
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi’ al Awaliyah, Jakarta:Penerbit Sa’adiyah Putra,tt,
Hukum, Mimbar, Jakarta:Ditbinpapera, 1998
Izzuddin, Ahmad, M.Ag., Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia (Upaya Penyatuan
Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab), Yogyakarta : Logung Pustaka,
Cet. I, 2003.
_______, Fiqh Hisab Rukyah(menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam
penentuan awal bulan Ramadh, Idul Fitri dan Idul Adha), Jakarata;
Erlangga, 2007
______, Analisis Kritis Hisab Awal Bulan Qamariyah Dalam Kitab
Sullamunnayirain, Semarang : Skripsi sarjana.IAIN Walisongo,t.p.,
1997
Khazin, Muhyiddin, Drs., Ilmu Falak (Dalam Teori dan Praktik), , Yogyakarta :
Buana Pustaka, Cet. I, 2004.
Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu studi
perbandingan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993
Ma’luf , Loewis, Al-Munjid,. cet. 25,Beirut: Darl Masyriq, 1975
Marsito,Kosmografi Ilmu Bintang Bintang,Jakarta, PT Pembangunan, 1960.
Munawir, M. Warson, Kamus Al Munawir, Surabaya:Pustaka Progresif, 1996.
Muslim, Shahih Muslim, Juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Mehdi Nakosteen,Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat:Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam,Terj. Joko S Kalhar, Surabaya: Risalah
Gusti, 1996
Murtadho,Muhammad, Ilmu Falak Praktis, Malang; UIN Malang, 2008
Nasr, Sayyed Hossein, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,Terj J Muhyidin,
Bandung: Penerbit Pustaka, 1986
Noer, Deliar,Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: PT Pustaka LP3ES,
Cet VIII, 1996
Pikiran rakyat tanggal 7 Oktober 2004.
PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah,
Yogyakarta:cet III, tt.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Qa`idah Majelis Tarjih Dan Pengembangan
Pemikiran Islam, Yogyakarta, 20 Januari 2000
Ruskanda, Farid, 100 Masalah Hisab dan Rukyah, Jakarta, Gema Insani Press,
1996.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah,Beirut: Darl Fikr,1982
Shiddiqi,Nouruz Zaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Taufiq, Muhammad, Studi Analisis Tentang Hisab Rukyah Muhammadiyah
Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah, Skripsi Sarjana IAIN
Walisongo 2005
Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang,: t.p, 2000.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa,Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Wajdi, Muh Farid, Dairotul Ma’arif, juz VIII, Cet II,Mesir: tp,1342 H
Wawancara dengan Thomas Djamaluddin.
www.Ferry’s Astronom Pages.com
www.serbasejarah.wodpress.com
www.scribd.com/doc/16097901/Mendudukkan-Hadits-Kuraib-dalam-Prespektif-
Penentuan-Awal-Akhir-Romadhon-dan-Problem-Kesatuan-Umat-Islam
BIOGRAFI PENULIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Syarif Hidayat
Tempat/Tanggal Lahir : Kendal, 23 Nopember 1986
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Desa Karangayu RT. 04 RW. 01 No.4
Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal
Kewarganegaraan : Indonesia
Riwayat Pendidikan : SD Negeri 01 Karangayu Lulus 1999
MTs NU 01 Cepiring Lulus 2002
SMA NU 01 Al Hidayah Kendal Lulus 2005
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Demikian Biografi Penulis ini saya buat, yang ditulis dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 1 Juni 2011
Penulis
Muhammad Syarif Hidayat