Muamalah_Harta Warisan

16
Harta Warisan 1 Ilmu yang mempelajari seluk-beluk tentang warisan dalam syariat Islam disebut Ilmu Faraid 2 . Di dalamnya membahas dan memberi petunjuk tentang bagaimana caranya membagi warisan dan hal-hal yang berkaitan dengan hal itu. Tentu saja dasar hukum yang dipakai dalam pijakan pembagian warisan adalah Al-Qur‟an, Hadits dan ijma maupun qiyas para ulama. A. PENGERTIAN HARTA WARIS DALAM ISLAM Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. 3 1 Di susun oleh Ahmad Fatoni, Ardhiyullah, Dwi Darmas Tuti Utami, dan Aniq Rifatun Najihah sebagai tugas Mata Kuliah Muamalah. 2 Abu Fajar Al Qalami, Abdul Wahid Al Banjary. Tuntunan Islam Lurus dan Benar. (Jakarta: Gitamedia Press.2004). 397 3 QS. An-Naml: 16

Transcript of Muamalah_Harta Warisan

  • Harta Warisan1

    Ilmu yang mempelajari seluk-beluk tentang warisan dalam syariat Islam disebut

    Ilmu Faraid2

    . Di dalamnya membahas dan memberi petunjuk tentang bagaimana

    caranya membagi warisan dan hal-hal yang berkaitan dengan hal itu. Tentu saja dasar

    hukum yang dipakai dalam pijakan pembagian warisan adalah Al-Quran, Hadits dan

    ijma maupun qiyas para ulama.

    A. PENGERTIAN HARTA WARIS DALAM ISLAM

    Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata

    waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya

    sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum lain. Pengertian

    menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta,

    tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.

    Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: Hai manusia, Kami telah

    diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu.

    Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.3

    1 Di susun oleh Ahmad Fatoni, Ardhiyullah, Dwi Darmas Tuti Utami, dan Aniq Rifatun Najihah sebagai

    tugas Mata Kuliah Muamalah. 2 Abu Fajar Al Qalami, Abdul Wahid Al Banjary. Tuntunan Islam Lurus dan Benar. (Jakarta: Gitamedia

    Press.2004). 397 3 QS. An-Naml: 16

  • Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah

    bersenang-senang dalam kehidupannya; Maka Itulah tempat kediaman mereka yang

    tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. dan Kami adalah

    Pewaris(nya).4

    Makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya

    hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,

    baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak

    milik legal secara syari.

    B. KEWAJIBAN DAN MANFAAT PEMBAGIAN HARTA WARISAN

    Sebelum dilakukan proses pembagian warisan5, maka perlu menyelesaikan

    terlebih dahulu hal-hal yang berkenaan dengan si mayat (almarhum):

    1. Menyelesaikan hutang-hutangnya pada orang lain yang belum sempat dilunasi.

    2. Menyelesaikan biaya pengurusan upacara pemakaman, mulai dari pengurusan

    jenazah sampai pada hal-hal terkecil yang membutuhkan dana.

    3. Membayar zakat, jika almarhum meninggal ketika telah sampai untuk

    mengeluarkan zakat hartanya. Sedang ia belum sempat membayarnya sendiri.

    4. Menyelesaikan atau membayar nadzar almarhum yang belum sempat

    dilaksanakan.

    5. Jika almarhum pernah berwasiat, maka hendaknya wasiat dilaksanakan terlebih

    dahulu sebelum membagi warisan.

    Salah satu tujuan syariah Islam6 adalah untuk melindungi harta benda, dengan

    maksud antara lain agar harta benda tetap suci, termasuk dalamnya harta warisan

    yang tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak semestinya. Itulah kiranya

    mengapa masalah harta warisan dalam Al-Quran diterangkan secara rinci sekali.

    4 QS. Al-Qashash: 58

    5 Abu Fajar Al Qalami, Abdul Wahid Al Banjary. Tuntunan Islam Lurus dan Benar. (Jakarta: Gitamedia

    Press.2004). 397 6 Mustafa Kamal Pasha, Wahardjani Chalil. Fikih Islam. (Jakarta: Citra Karsa Mandiri. 2009).321

  • Sesuai dengan Hadits Nabi : Diwiwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: Rosulullah

    SAW bersabda: Berikanlah harta waris itu kepada orang yang berhak menerimanya.

    Sekiranya masih ada untuknya, berikanlah kepada lelaki yang paling dekat nasabnya

    dengan si mayit7

    Masalah pewarisan dalilnya telah di tetapkan berdasarkan nash Al-Quran yang

    qathi. Pewarisan ini mempunyai hukum-hukum tertentu yang bersifat tauqify, dan

    tidak disertai illat. Adapun yang dimaksud dengan tauqify adalah suatu ketentuan

    yang bersifat tetap dari As-Syari.

    Di dalam perihal pembagian harta warisan dibicarakan berbagai persoalan yang

    berhubungan dengan harta warisan, seperti siapa sajakah yang termasuk ahli waris,

    seberaba besar masing-masing ahli waris akan menerima bagiannya dan kapan serta

    bagaimanakah pelaksanaan pembagiannya.

    C. AHLI WARIS DAN BAGINYA

    Yang dimaksudkan dengan ahli waris8 ialah semua orang yang karena telah

    ditetapkan dalam nash berhak mendapatkan harta warisan.

    1. Duw Al-Furud

    Duw al-furud adalah ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu

    sebagaimana yang telah ditetapkan secara pasti oleh Al-Quran atau Al-Hadits.

    Adapun bagian-bagiannya adalah sebagai berikut :

    a. Yang mendapatkan (dua pertiga) 2/3 bagian

    Ahli waris yang mendapatkan 2/3 bagian dari harta waris adalah dua orang

    anak perempuan atau lebih, dan dua orang saudara kandung atau lebih, atau

    yang seayah.

    Dalam Surat An-Nisa ayat 11 dinyatakan: maka jika anak perempuan lahir

    lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan

    oleh mereka.

    7 Imam Bukhari, Imam Muslim. Shahih Bukhari Muslim. (Jakarta: Jabal. 2008). 290

    8 Pasha, Mustafa Kamal,. Chalil, Wahardjani. (Jakarta: Citra Karsa Mandiri. 2009). 326-333

  • Adapun jika saudara perempuan lebih dari dua orang maka bagiannya tetap dua

    pertiga. Hal ini diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir

    sebagai berikut: Saya telah mengadukan perihal keadaan saya kepada

    Rosulullah SAW berkenaan saya mempunyai tujuh orang saudara perempuan.

    Saya tanyakan kepada beliau, bagaimanakah dengan harta saya seandainya

    saya meninggal dunia. Berapakah bagian yang akan mereka terima dari harta

    saya tersebut? Kemudian atas pertanyaan tersebut Rosulullah SAW menjawab

    sebagai berikut : Allah telah menurunkan akan hukum warisan saudara-

    saudaramu yang perempuan itu dan Allah telah menerangkannya bahwa

    mereka mendapatkan dua pertiga bagian.

    b. Yang mendapatkan setangah (1/2) bagian

    Ahli waris yang mendapatkan setengah bagian dari harta waris adalah seorang

    anak perempuan, seorang saudara perempuan sekandung atau seayah dan

    suami bila meninggalnya tidak meninggalkan anak yang mewarisi hartanya.

    Adapun rincian dan dasar hukumnya adalah :

    - Anak perempuan tunggal

    Dalam surat An-Nisa ayat 11 dinyatakan: bila mana akan perempuan

    hanya seorang saja, maka ia mendapatkan seperdua (1/2) harta warisan

    - Saudara perampuan tunggal sekandung, atau kalau tidak mempunyai

    saudara perempuan sekandung maka saudara perempuan tunggal seayah.

    Dalam surat An-Nisa ayat 175 dinyatakan: dan baginya (orang yang

    meninggal) saudara perempuan maka dia mendapatkan seperdua harta

    yang ditinggalkan oleh saudaranya yang laki-laki.

    - Suami akan mendapatkan seperdua dari warisan istri apabila istrinya tidak

    mempunyai anak atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-

    laki.

    Dalam surat An-Nisa ayat 12 dinyatakan: bagi kalian (suami) seperdua

    harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian,jika istri kalian itu tidak

    mempunyai istri.

  • c. Yang mendapatkan sepertiga (1/3) bagian

    Adapun ahli waris yang mendapatkan sepertiga bagian adalah sebagai berikut :

    - Ibu, bila mana mayit tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki,

    atau tidak mempunyai beberapa saudara sekandung atau yang seayah atau

    yang seibu.

    Dalam surat An-Nisa ayat 11 dinyatakan: jika orang yang meninggal

    tidak mempunyai anak, sedang ahliwarisnya dua orang ibu bapaknya, maka

    untuk ibunya 1/3 bagian.

    - Dua orang saudara atau lebih yang seibu.

    Dalam surat An-Nisa ayat 12 dinyatakan : jika sekiranya adalah mereka

    (saudara seibu) lebih banyak dari demikian (satu), meka mereka berserikat

    pada sepertiga itu saja.

    d. Yang mendapatkan seperempat (1/4) bagian

    - Suami akan mendapatkan seperempat bagian apabila istri mempunyai anak,

    atau cucu dari anak laki-laki.

    Dalam surat An-Nisa ayat 12 dinyatakan: jika istri-istrimu ada

    mempunyai anak, maka untuk kamu (suami) seperempat dari harta

    peninggalan mereka sesudah dibayarkan wasiat yang diwasiatkan ataupun

    sudah dibayarkan hutangnya.

    - Istri baik seorang ataupun lebih dari seorang akan mendapatkan seperempat

    bila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.

    Dalam surst An-Nisa ayat 12 dinyatakan: dan istri-istri kalian

    mendapatkan seperempat dari harta yang kalian tinggalkan jikalau kalian

    tidak meninggalkan anak.

    e. Yang mendapatkan seperenam (1/6) bagian

    - Ibu akan mendapatkan seperenam bagian apabila anaknya yang meninggal

    dunia tersebut mempunyai anak, atau cucu dari anak laki-laki atau sudara

    baik laki-laki atapun perempuan yang sekandung, seayah ataupun seibu.

  • Dalam surat An-Nisa ayat 11 dinyatakan: dan untuk kedua orang ibu

    bapaknya masing-masing mendapatkan seperenam bagian dari harta yang

    ditinggalkan, jika dia mempunyai anak.

    - Bapak akan mendapatkan begian sepereman jika yang meninggal terasebut

    mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.

    - Nenek akan mendapatkan seperenam bagian apabila ibu tidak ada. Hal ini

    didasarkan pada sebuah Hadits riwayat Zaid yang menyatakan sebagai

    berikut: sesungguhnya Nabi itu telah menetapkan begian untuk nenek

    seperemen bagian dari arta warisan.

    - Kakek yaitu adaah bapak dari bapaknya si mayit. Akan mendapatkan

    bagian seperenam bilamana si mayit tidak mempunyai anak atau cucu dari

    anak laki-laki, sedangkan bapaknya tidak ada. Ketentuan ini atas dasar ijma

    ulama.

    - Cucu perempuan dari anak laki-laki. Cucu perempuan baik seorang ataupun

    lebih dari seorang anak laki-laki akan mendapatkan seperenam bagian

    apabila yang meninggal mempunyai anak tunggal. Tapi, jika anaknya lebih

    dari seorang meke cucu perempuannya tidak mendapatkan apa-apa.

    Hal ini berdasarkan pada hadit Rosulullah SAW : Nabi telah memberikan

    seperenam bagian untuk cuc perempuan dan anak laki-laki yang beserta

    seorang anak perempuan dari anak laki-laki yang beserta seorang anak

    perempuan.

    - Seorang saudar laki-laki atau perempuan yang seibu. Seorang saudar laki-

    laki atau perempuan yang seibu akan mendapatkan seperenam bagian, hal

    ini didasarkan pada surat An-Nisa ayat 12: dan baginya (orang yang

    meninggal) mempunyai seorang saudar laki-laki (seibu saja) atau saudar

    perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudar

    tersebut mendapatkan seperenam.

    - Saudara perempuan yang seayah (seorang atau lebih). Saudara yang seayah

    akan mendapatkan bagian seperenam bagian mana kala si mayit mempunyai

    seorang saudara sekandung. Akan tetapi apibila ia mempunyai saudara

  • kandung lebih dari satu maka saudara yang seayah tidak mendapatkan harta

    warisan. Dasar ketentuan ini berdasarkan ijma uama.

    f. Yang mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian

    Istri, satu orang atau lebih akan mendapatkan bagian seperdelapan apabila

    suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.

    Dalam surat An-Nisa ayat 12 dinyatakan : maka jika kalian mempunyai anak,

    maka untuk istri-istri kalian mendapatkan seperdelapan.

    2. Ashabah

    Ashabab9 dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.

    Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan

    bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali

    digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

    Mereka berkata: Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan

    (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang

    merugi.10

    Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan

    mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.

    Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang

    tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan

    tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki,

    saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara

    kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak

    ayah.

    9 Mustafa Kamal Pasha, Wahardjani Chalil. Fikih Islam. 333-335

    10 QS. Yusuf: 14

  • Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah

    orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu,

    ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima

    dan mengambil bagian masing-masing. Menurut pengertian bahasa ashabah ialah

    anak dan kerabat seseorang dari pihak ayah. Dalam ilmu hukum waris Islam,

    ashabah ialah ahli waris yang tidak memperoleh dari bagian-bagian tertentu dalam

    suatu pembagian harta peninggalan. Ahli waris ashabah mewarisi harta

    peninggalan setelah harta peninggalan itu terlebih dahulu diambil oleh ahli waris

    ashabul furdh menurut bagian masing-masing. Bila harta peninggalan itu telah

    habis dibagikan kepada ahli waris ashabul furdh, maka ahli waris ashabah tidak

    mendapat sedikitpun, kecuali apabila ahli waris ashabah itu anak, karena anak

    tidak dapat terhalang oleh siapapun, dan saudara laki-laki sekandung dalam

    masalah musyarrakah. Sebaliknya ahli waris ashabah memperoleh seluruh harta

    peningglan apabila dalam mewarisi harta peningggalan itu tidak terdapar seorang

    ahli waris ashabul furdh.

    Telah disebutkan bahwa sebab-sebab seorang ahli waris ada 3 yaitu11

    : (a)

    karena perkawinan, (b) karena hubungan nasab, (c) karena membebaskan hamba.

    Sedangkan untuk sebab seseorang menjadi ahli waris ashabah ada 2 yaitu karena

    hubungan nasab dan karena membebaskan hamba. Atas dasar sebabnya inilah

    ashabah dibedakan menjadi 2:

    a. Ashabah Nasabiyah

    Ialah seseorang yang menjadi ahli waris ashabah karena mempunyai hubungan

    nasab dengan orang yang meninggal dunia. Ashabah nasabiyah dibagi menjadi

    tiga macam yaitu:

    1) Ashabah Binafsih

    Yaitu ahli waris laki-laki yang dalam hubungan nasabnya dengan orang

    yang meninggal dunia tidak diselingi oleh perempuan.

    2) Ashabah bi ghairi

    Yaitu setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang

    membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ashabah bersama-sama

    11

    Daradjat, Zakiah. Ilmu Fikih. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995). 71

  • 3) Ashabah maaghairi

    Yaitu setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang

    membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ashabah, tetapi ahli waris yang

    dibutuhkan itu tidak bersama-sama dengannya menjadi ashabah.

    b. Ashabah Sababiyah

    Ashabah Sababiyah ialah seseorang yang menjadi ahli waris ashabah karena

    memerdekakan orang yang meninggal dunia yang semulanya adalah hamba.

    3. Dzawil Arham

    Menurut pengertian bahasa yakni setiap orang yang mempunyai hubungan

    kekeluargaan dengan orang lain. Sedangkan dalam ilmu hukum waris Islam ialah

    ahli waris karena ada hubungan nasab dengan orang yang meninggal dunia, selain

    ashabul furudh dan ashabah.

    Para ulama berbeda pendapat: apakah dzawil arham dapat mewarisi harta

    peninggalan dari orang yang meninggal dunia yang sama sekali tidak mempunyai

    ahli waris ashabul furudh maupun ahli waris ashabah atau jika yang meninggal

    dunia itu meninggalkan ahli waris ashabul furudh tetapi masih ada sisa harta

    peninggalan yang tidak dapat ditambahkan kepada ahli waris ashabul furudh

    yang ada itu.

    Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa dzawil arham tidak dapat mewarisi harta

    peninggalan. Apabila orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris

    ashabul furudh atau ahli waris ashabah, maka harta peninggalannya diberikan

    kepada Baitulmal (kas negara). Pendapat ini diakui oleh Said bin Musayyab dan

    Said bin Jubair dari golongan tabiin. Demikian pula diikuti oleh Imam Malik,

    Imam Asy syafii, Al Auzai, Makhul, para ulama Madinah dan ulama Ghaiririyah

    di antaranya Ibnu Hazm. Alasan pendapat ini, yaitu bahwa Allah SWT telah

    menjelaskan dalam beberapa ayat tentang pewarisan bagian-bagian ahli waris

    ashabul furudh dan ketentuan bagi ahli waris ashabah tetapi tidak menyebutkan

    sama sekali tentang pewarisan bagi dzawil arham. Seandainya dzawil arham ini

    berhak mewarisi harta peninggalan, pastilah telah dijelaskannya. Memberi bagian

    harta peninggalan kepada mereka berarti menambah ketentuan-ketentuan dalam

  • Al-Quran. Yang demikian itu tidak dapat hanya dengan hadits ahad atau

    berdasarkan qiyas.

    Sedangkan menurut Ali, Ibnu Abbas, Muadz bin Jabal dan Abu Ubaidah

    bin Jarrah bahkan Khulafaur Rasyidin, yang kemudian diikuti oleh para tabiin

    yaitu: Syuraih, Al Hasan, Ibnu sirin, Atha dan Mujahid, bahwa ahli waris dzawil

    arham dapat mewarisi harta peninggalan, apabila orang yang meninggal dunia

    tidak meninggalkan ahli waris ashabul furudh dan ahli waris ashabah. Pendapat

    ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam Al-Quran: Orang-orang yang

    mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya

    (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.12

    Klasifikasi ahli waris dzawil arham dan cara pembagian harta peninggalan

    kepada mereka. Ahli waris dzawil arham diklasifikasikan menjadi empat bagian,

    yaitu :

    1. Anak keturunan

    Ahlli waris yang masuk klasifikasi pertama adalah anak keturunan yang

    mencakup :

    a. Anak baik laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan, dan

    keturunan seterusnya kebawah sampai betapapun jauhnya.

    b. Anak, baik laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan dari anak

    laki-laki, dan terus kebawah sampai betapapun jauhnya.

    2. Orang yang menurunkan

    Ahliwaris yang termasuk kedalam klasifikasi kedua atau orang yang

    mneurunkan ini yaitu:

    a. Kakek ghairu sahih.

    b. Nenek ghairu sahihah.

    3. Anak keturunan saudara

    Ahli waris yang termasuk kedalam klasifikasi ketiga dalah anak keturunan

    saudara, yaitu:

    a. Anak laki-laki maupun perempuan dari saudara perempuan baik kandung,

    seayah ataupun seibu, dan keturunan selanjutnya btepapun jauhnya.

    12

    QS. Al-Anfal: 75

  • b. Anak perempuan saudara laki-laki baik kandung, seayah ataupun seibu dan

    terus kebawah betapapun jauhnya.

    c. Anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki sakandung, atau seibu

    betapapun jauhnya kebawah dan keturunan kebawah seterusnya betapapun

    jauhnya.

    d. Anak laki-laki saudara laki-laki seibu, dan keturunan seterusnya kebwah

    sampai betapapun jauhnya.

    4. Anak keturunan kakek dan nenek

    Ahli waris yang termasuk kedalam klasifikasi keempat atau akan keturunan

    kakek dan nenek, dibedakan menjadi empat golongan, yaitu :

    a. Paman (saudar laki-laki ayah disebuk am) seibu, bibi (saudara perempuan

    ayah disebut ammah) sekandung, seayah atau seibu. Paman (saudara laki-

    laki disebut khal) sekandung, seayah atau seibu, dan bibi (saudara

    perempuan disebut khalah) sekandung, seayah atau seibu.

    b. Anak keturunan golongan pertama sampai betapapun jauhnya kebawah.

    c. am, ammah, khal, khalah dari ayah orang yang meninggal dunia baik

    sekandung, seayah ataupun seibu. am, ammah, khal, khalah dari ibu orang

    yang meninggal beik sekandung, seayah ataupun seibu.

    d. Anak keturunan golongen ketiga sampai betapapun jauhnya kebawah.

    e. am seibu ayah dari ayah orang yang meninggal dunia, am ibu dari ayah

    orang yang meninggal dunia, ammah, khal dan khalah, dari dua orang

    tersebut baik sekandung, seayah ataupun seibu.

    f. Anak keturunak golongan kelima sampai betapapun jauhnya kebawah.

    4. Hijab dan Mahjub

    Hijab atau hajab menurut bahasa artinya tabir, dinding pencegah dan

    penghalang, menurut istilah dalam ilmu mewarisi ialah sesuatu yang menjadi

    tabir atau dinding yang mengurangi penerimaan ahli waris dari suatu bagian

    tertentu menjadi bagian yang lebih kecil, atau menghalangi ahli waris dari

    menerima bagiannya sehingga yang bersangkutan sama sekali tidak berhak

  • menerima bagian dari harta pusaka tersebut. Sedangkan mahjub adalah ahli waris

    yang terdinding atau terhalangi.

    a. Ahli waris yang menjadi haajib dan tidak mungkin menjadi mahjub

    1) Ayah tidak mungkin mahjub oleh siapapun, bahkan menjadi hajib bagi:

    - Kakek (ayahnya ayah)

    - Nenek (ibunya ayah)

    - Segala macam saudara si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    2) Ibu tidak mungkin mahjub oleh siapapun, bahkan menjadi hajib bagi:

    - Nenek (ibunya ayah)

    - Nenek (ibunya ibu)

    3) Anak laki-laki tidak mungkin mahjub oleh siapapun, bahkan menjadi hajib

    bagi:

    - Cucu anak laki-laki (dari anak laki-laki)

    - Cucu perempuan (dari anak laki-laki)

    - Segala macam saudara si mati

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara saudara sepupu si mati

    4) Anak perempuan tidak mungkin mahjub oleh siapapun, bahkan menjadi

    hajib bagi:

    - Saudara seibu si mati

    b. Ahli waris yang tidak menjadi haajib dan tidak menjadi mahjub

    1) Suami, suami selalu memperoleh bagian dari harta pusaka peninggalan

    isterinya, tidak mungkin terhalang (mahjub) oleh ahli waris lain, namun

    tidak pula mungkin menghalangi ahli waris lain. Hanya saja porsi bagian

    suami berbeda antara adanya anak dan tidak adanya anak. Bila isteri

    mempunyai anak maka suami mendapat dan bila isteri tidak mempunyai

    anak maka suami dapat harta pusaka.

  • 2) Isteri, isteri selalu memperoleh bagian dari harta pusaka peninggalan

    suamnya, tidak mungkin terhalang (mahjub) oleh ahli waris lain, namun

    tidak pula menjadi hajib bagi ahli waris lain. Hanya saja porsi bagian isteri

    berbeda ada dan tidak adanya anak. Bila suami mempunyai anak maka isteri

    1/8 dan bila suami tidak mempunyai anak maka isteri mendapat harta

    pusaka.

    c. Ahli waris yang menjadi haajib dan tidak menjadi mahjub

    1) Kakek dari ayah menjadi hajib bagi:

    - Saudara seibu si mati

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    2) Cucu laki-laki dari laki-lakimenjadi hajib bagi:

    - Segala macam saudara si mati

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    3) Nenek (ibunya ayah) terhalang oleh ayah dan ibu, sedangkan nenek

    (ibunya ibu) terhalang oleh ibu, begitu seterusnya ke atas, nenek yang

    lebih jauh tertutup oleh nenek yang lebih dekat, sebaliknya juga menutup

    nenek yang lebih jauh lagi.

    4) Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki dan dua

    anak perempuan atau lebih, begitu seterusnya ke bawah, cucu yang lebih

    jauh tertutup oleh cucu yang lebih dekat, sebaliknya juga menutup cucu

    yang lebih jauh lagi.

    5) Saudara laki-laki seibu seayah menghalangi:

    - Saudara laki-laki seayah

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

  • 6) Saudara laki-laki seayah menghalangi:

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    7) Saudara perempuan seibu seayah menghalangi:

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    8) Saudara perempuan seayah menghalangi:

    - Segala macam kemenakan si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    9) Kemenakan laki-laki seibu seayah menghalangi:

    - Kemenakan seayah si mati

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    10) Kemenakan laki-laki seayah menghalangi:

    - Segala macam paman si mati

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    11) Paman seibu seayah menghalangi:

    - Paman seayah

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    12) Paman seayah menghalangi:

    - Segala macam saudara sepupu si mati

    13) Saudara sepupu seibu seayah. Dia mahjub oleh ahli waris yang

    menghalangi paman seayah, ditambah terhalang pula oleh paman seayah,

    dan dia menghalangi saudara sepupu seayah.

    14) Saudara sepupu seayah. Dia mahjub oleh ahli waris yang menghalangi

    saudara sepupu seibu seayah, ditambah terhalang pula oleh saudara

    sepupu seibu seayah.

  • 15) Orang yang memerdekakan. Orang yang memerdekakan mayit terhalang

    oleh setiap ahli waris laki-laki dari si mati, kecuali saudara laki-laki seibu

    si mati yang tidak menghalanginya. Orang yang memerdekakan itu

    menjadi ahli waris ashabah bersama-sama ahli waris perempuan si mati.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Al-Quran

    Al Qalami, Abu Fajar., Al Banjary, Abdul Wahid. Tuntunan Islam Lurus dan Benar.

    Jakarta: Gitamedia Press. 2004.

    Bukhari, Imam., Muslim, Imam. Shahih Bukhari Muslim. Jakarta: Jabal. 2008.

    Daradjat, Zakiah. Ilmu Fikih. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.

    Pasha, Mustafa Kamal,. Chalil, Wahardjani. Fikih Islam. Jakarta: Citra Karsa Mandiri.

    2009.

    Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah (Jilid 5). Bandung: Pena Publising. Jakarta

    Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.

    Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Haji Masagung. 1990.