MTE Esotropia Kongenital
-
Upload
anonymous-z56uhsox -
Category
Documents
-
view
125 -
download
7
Transcript of MTE Esotropia Kongenital
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Strabismus, sering disebut sebagai mata silang, adalah suatu kondisi dimana
mata tidak selaras atau seimbang antara mata satu dengan yang lain. Salah satu mata
baik secara menetap maupun intermiten berbalik ke arah dalam (esotrofia) dan ke
arah luar (eksotrofia) saat mata mengfiksasi objek tertentu. Selain itu juga ada
ketidakseimbangan arah mata lainnya seperti berbalik ke arah atas (hipertrofia) dan
berbalik ke arah bawah (hipotrofia).
Kecenderungan deviasi mata, satu sama lain dapat diklasifikasikan sebagai
“laten” dimana mata tetap seimbang oleh mekanisme fusi dan “manifes” dimana
keseimbangan mata tidak dapat dikontrol oleh mekanisme fusi. Deviasi mata laten
disebut sebagai heteroforia sedangkan deviasi mata manifes disebut sebagai
heterotrofia atau strabismus.
Ketidakseimbangan mata ini dapat disertai dengan pergerakan satu atau kedua
mata yang abnormal, penglihatan ganda, penurunan ketajaman mata, sakit kepala, dan
perubahan postur kepala.
Pada makalah ini akan membahas mengenai diagnosis dan tatalaksana dari
esotrofia kongenital.
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, klasifikasi, faktor risiko,
patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari
esotrofia kongenital.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai definisi, etiologi,
klasifikasi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis dari esotrofia kongenital, sekaligus sebagai salah satu
pemenuhan sesi pembelajaran kepaniteraan klinik dokter muda bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSUP DR. M. Djamil Padang.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai esotrofia
congenital, khususnya mengenai diagnosis dan penatalaksanaan dari esotrofia
congenital.
1.1 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan makalah ilmiah.
BAB II
TINJUAUAN PUSTAKA
2.1 Neuroanatomi dan fungsi otot – otot ekstraokuler
Pergerakan okular diatur oleh enam otot ekstraokuler. Nervus cranial yang
mempersyarafinya adalah nervus III (okulomotorius), nervus IV (troklearis) dan
nervus VI (abdusens). Selain itu, Nervus III juga mempersyarafi levator palpebra dan
muskulus sfingter pupil.
Tabel 2.1 Origo dan Insersi Muskulus Ekstra Okular
No Otot Origo Insersi inervasi
1. M. Rektus Superior anulus zinii dekat
fisura orbitalis
superior
8 mm di belakang
limbus
N III
2. M. Rektus
Medialis
anulus zinii 5 mm di belakang
limbus
N III
3. M. Rektus Inferior anulus zinii 6 mm di belakang
limbus
N III
4. M. Oblik Superior fossa lakrimal sklera posterior 2 mm
dari kedudukan
macula
N III
5. M. Oblik Inferior anulus zinii sklera di belakang
temporal belakang
bola mata
N IV
6. M.Rektus Lateralis anulus zinii di atas
dan di bawah
foramen optic
7 mm di belakang
limbus
N VI
Pergerakan bola mata bersifat konjugat yaitu keduanya menuju arah yang
sama dan pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal melibatkan
pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah berlawanan dari garis tengah. Satu
mata bergerak ke medial, sedangkan mata lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan
demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan koordinasi persarafan kedua
mata dan pada nuklei otot yang menpersarafi gerakan mata pada kedua sisi.
Hubungan saraf sentral yang kompleks juga mempengaruhi terjadinya gerakan
tersebut. Saraf yang mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada beberapa refleks
yaitu akomodasi, konvergensi, dan refleks cahaya pupil.
Tabel 2.2 Aksi otot ekstraokuler
No. Otot Ekstraokuler Aksi
1. M. Rektus Superior Elevasi Intorsi Adduksi
2. M. Rektus Medialis Adduksi
3. M. Rektus Inferior Depresi Ekstorsi Adduksi
4. M. Oblik Superior Intorsi Depresi Abduksi
5. M. Oblik Inferior Ekstorsi Elevasi Abduksi
6. M.Rektus Lateralis Abduksi
2.2 Definisi Esotrofia Kongenital
Esotropia adalah salah satu tipe strabismus atau ketidakseimbangan mata.
Istilah esotrofia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eso-“ yang berarti ke dalam dan “–
trepo” yang berarti giliran. Esotropia atau yang diistilahkan sebagai mata silang
terjadi ketika salah satu mata melihat lurus ke depan sedangkan mata lainnya
berbelok kea rah hidung. Istilah esotropia kongenital adalah esodeviasi dengan onset
sebelum berusia enam tahun, Sudut deviasi biasanya sangat besar, dan lebih dari 30
primsa dioptric (PD). Esotropia kongenital sering dihubungkan dengan nistagmus
yang merupakan disosiasi deviasi vertical dan overreaksi dari otot oblik inferior.
2.3 Epidemiologi Esotrofia Kongenital
Strabismus merupakan masalah mata yang paling banyak pada usia anak–anak
dimana 5 dari setiap 100 anak di US mengalami strabismus atau 12 juta orang dari
245 juta populasi penduduk. Prevalensi esotropia kongenital lebih banyak daripada
esotrofia jenis lain yaitu 28-54%. Studi berbasiskan populasi dari tahun 1965 sampai
dengan 1994 dilaporkan bahwa prevalensi kelahiran dengan esotrofia kongenital
adalah 25 per 10.000 atau 1 dari 403 lahir hidup.
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Esotrofia Kongenital
Penyebab pasti dari esotrofia kongenital masih belum teridentifikasi.
Beberapa ahli berkeyakinan bahwa ada kaitan dengan komponen genetik.
Berdasarkan penelitian Tychsen dan Lisberger, 1986, ditemukan bahwa pasien
strabismus yang memiliki strabismus berat memiliki dua saudara kandung dengan
esotrofia kongenital. Selain itu investigasi skala besar menunjukkan bahwa 20%-30%
anak–anak yang lahir dari orang tua strabismus akhirnya akan berkembang menjadi
strabismus.
Beberapa faktor risiko tertentu yang dihubungkan dengan esotrofia kongenital
seperti lahir prematur, riwayat keluarga yang memiliki kelainan mata, komplikasi
selama masa kehamilan seperti hipoksia/iskemia ensepalopati, kelainan sistemik, dan
penggunaan obat selama masa kehamilan. Perhatian lebih terhadap faktor risiko
tersebut dapat menjadi deteksi dini dan managemen awal terhadap esotrofia.
2.5 Patogenesis
Penyebab esotropia kongenital masih belum diketahui. Perdebatan mengenai
etiologinya terfokus pada implikasi dari 2 teori. Konsep "sensoris" Worth
mengatakan bahwa esotropian kongenital merupakan hasil dari penurunan pusat fusi
di otak. Menurut teori ini mengembalikan fungsi mata binokular dikatakan tidak
berguna karena tidak ada cara untuk menyediakan pengganti dari hilangnya fungsi
neural. Chavasse tidak setuju dengan teory Worth dan percaya bahwa penyebab
utama esotropia kongenital adalah mekanik dan berpotensi untuk dapat disembuhkan
bila deviasi dapat dihilangkan ketika masih bayi.
2.6 Klasifikasi
Esotropia kongenital termasuk dalam bentuk-bentuk esotropia. Berikut
bentuk-bentuk esotropia :
1. Esotropia kongenital, mulai terlihat pada usia 6 bulan
2. Esotropia akomodatif, mulai usia 6 bulan hingga 7 tahun, bila
dikoreksi hipermetropinya maka akan terlihat hingga esotropinya
3. Esotropia nonakomodatif, tidak hilang hingga dengan koreksi
hipermetropinya.
Bentuk-bentuk esotropia berdasar sudut penyimpangannya :
1. Esotropia konkomitan, yaitu bila sudut penyimpangan sama besarnya
pada semua arah pandangan.
2. Esotropia nonkomitan, yaitu bila besarnya sudut penyimpangan
berbeda-beda pada arah pandangan yang berbeda-beda pula.
2.7 Diagnosis
Esotropia kongenital klasik melibatkan sudut deviasi yang besar melebihi 20
dioptri prisma (PD) pada pengukuran reflek cahaya kornea. Sesuai aturan, anak-anak
dengan esotropia yang lebih besar atau sama dengan 40 PD pada usia 2-4 bulan awal
jarang menjadi orthoporia secara spontan.
Pada anak dengan deviasi sudut yang lebih kecil (< 40 PD) atau dengan sudut
yang bervariasi mempunyai kesempatan yang lebih untuk menjadi orthoporia.
Berdasarkan Tychsen, esotropia kongenital bermanifestasi dengan tanda
motorik ocular, seperti :
1. Esotropia dengan atau tanpa ambliopia strabismus
2. Nistagmus
3. Asimetris
4. Gerakan visual asimetris dan abnormalitas persepsi gerakan
5. Deviasi vertical
Esotropia kongenital dapat berhubungan dengan beberapa presentasi klinis
seperti ambliopia, skotoma sentral, dan inkomiten.
Ambliopia selalu terdapat pada pasien dengan esotropia kongenital.
Semua pasien dengan esotropia kongenital gagal untuk mencapai penglihatan
normal dan stereopsis.
Skotoma sentral selalu dapat diidentifikasi. Pada kondisi lain, telah dilaporkan
bahwa kuadran inferonasal pada lapang pandangan mengalami penyemoitan
pada pasien dengan esotropia kongenital sebagai hasil dari deviasi vertical.
Terdapat inkomiten, tipe yang paling sering ditemukan adalah esotropia
kongenital dengan tipe V dimana esodeviasi lebih besar pada bagian bawah
daripada bagian atas. Esotropia kongenital tipe V disebabkan oleh overaksi
dari muskulus obliqus inferior.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Kelainan Refraksi (Rusdianto, 2006)
a. Pemeriksaan Aspek Motorik
Menentukan Besar Sudut Deviasi
1. Uji Prisma dan Penutupan
a. Uji penutupan (cover test)
b. Uji membuka penutup (uncover test)
c. Uji penutup berselang seling (alternate cover test)
Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian
mata yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan
heteroforia)
2. Uji penutupan plus prisma
Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan
kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata sampai
terjadi netralisasi gerakan mata pada uji penutup berselang-seling. Misalnya
untuk mengukur esodeviasi penuh, penutup dipindah-pindahkan sementara
diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang semakin tinggi didepan salah
satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi horizontal dicapai oleh mata
yang deviasi. (Rusdianto, 2006)
3. Uji Objektif
Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan –
laporan pengamatan sensorik Dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan
tajam penglihatan yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai
akhir pelaporan berdasarkan laporan pengamatan sensorik pasien. Pada kasus
dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif, mungkin tidak
respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak
memerlukan pengamatan sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat,
walaupun kadang-kadang masih bermanfaat. Terdapat dua metode yang sering
digunakan yang bergantung pada pengamatan posisi reflek cahaya oleh kornea,
yakni : (Rusdianto, 2006)
a. Metode Hirschberg
Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat
pantulan cahaya pada kedua kornea mata.
i. Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi
ii. Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º
iii. Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka
deviasinya 30 º
iv. Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º
b. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)
Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma
ditaruh didepan mata sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan
agar refleksi kornea pada mata yang juling berada ditengah-tengah pupil
menunjukkan besarnya sudut deviasi.
4. Duksi (rotasi monokular)
Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang
digerakkan kesegala arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat
diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena paralisis otot atau karena
kelainan mekanik anatomik. (Rusdianto, 2006)
5. Versi (gerakan Konjugasi Okular)
Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya
pada jarak 33 cm dalam 9 posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder –
kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan tersier – keatas dan kekanan,
kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri. Rotasi satu
mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan sebagai
kerja-lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction). Konsensus:
pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang
berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja
otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan
rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata
yang normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik.
(Rusdianto, 2006)
b. Pemeriksaan Aspek Sensorik
1. Uji stereopsis
Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan.
Sasaran yang dipantau secara monokular hampir-hampir tidak bisa dilihat
kedalamannya. Stereogram titik-titik acak (random stereogram) tidak
memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat monocular. Lapangan titik-titik
secara acak (A field of random dots) terlihat oleh mata masing-masing tetapi
hubungan titik ke titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa
sehingga bila ada stereopsis akan tampak suatu bentuk yang terlihat
stereoskopis. (Rusdianto, 2006)
2. Uji Supresi
Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang
pencoba dengan 4 lensa merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan
mata yang lain. Ditunjukkan senter dengan bulatan-bulatan merah, hijau dan
putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda untuk persepsi mata masing-
masing dan bulatan putih yang bisa dilihat kedua mata dapat menunjukkan
adanya diplopia. Pemilahan bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata,
menentukan luasnya retina yang diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer
dapat diperiksa dengan jarak dekat atau jauh. (Rusdianto, 2006)
3. Uji Kelainan Korespondensi Retina
Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara :
(Rusdianto, 2006)
a. dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak tegak lurus didepannya
b. dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea
mata lainnya mempunyai arah yang bersamaan.
4. Uji Kaca Beralur Bagolini
Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan alur-
alur halus yang arahnya berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata.
Kondisi uji sedapat mungkin mendekati penglihatan normal. Terlihat sebuah
titik sumber cahaya dan seberkas sinar tegak lurus pada arah alur. Jika unsur
retina perifer mata yang berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik
sumber cahaya maka berarti ada kelainan korespondensi retina. (Rusdianto,
2006)
2.9 Tatalaksana
Tujuan pengobatan esotropia kongenital adalah untuk mengurangi deviasi
untuk orthotropia. Idealnya, hasil ini terdapat dalam penglihatan normal pada setiap
mata dan dalam pengembangan setidaknya beberapa derajat fusi sensorik yang akan
menjaga keselarasan gerakan bola mata. (AAO, 2013)
Sudut deviasi yang lebih kecil dapat ditatalaksana dengan lensa prisma dengan
atau tanpa terapi oklusi, berdasarkan ada tidaknya ambliopia. Menampilkan refraksi
yang baik dengan sikloplegik penuh pada esotropia kongenital. Kombinasi
sikloplegik yang umum digunakan adalah 2,5% phenylephrine dan 1%
cyclopentolate. Penting untuk menutup satu mata selama melakukan pemeriksaan
retinoskopi untuk membuat jarak yang akurat dengan visual aksis. Rata-rata refraksi
sikloplegik pada anak dengan esotropia kongenital tanpa masalah perkembangan dan
sistemik lainnya adalah sferis hiperopik ringan dengan astigmatisma ringan, yang
stabil pada dekade pertama kehidupan. (Vincent VDO, 2012)
Lensa koreksi pada umumnya diberikan dengan hiperopia lebih dari +2.50
dioptri (D) dan/atau ketika unisometropia 1.50 D. tambahan, silinder lebih besar dari
atau rata-rata +0.5D dapat diberikan. Pada kondisi lain, myopia diatas -4.00
memerlukan lensa koreksi. Koreksi miopia dilakukan untuk 2 alasan: (Vincent VDO,
2012)
- Untuk memperjelas gambar yang dilihat oleh bayi dengan demikian dapat
meningkatkan fiksasi
- Lensa minus dapat menurunkan kekuatan akomodasi dan sudut strabismus,
terutama fiksasi didekat target.
Ketika terdapat ambliopia maka, terapi oklusi merupakan satu-satunya pilihan.
Bayi diperiksa ulang setelah beberapa minggu untuk melihat respon terapi dan untuk
meyakinkan bahwa oklusi pada ambliopia tidak berkembang pada mata yang
dominan. Akhir dari terapi oklusi adalah untuk mencapai penglihatan rata-rata.
(Vincent VDO, 2012)
1. Operatif
Esotropia kongenital ditandai dengan sudut deviasi yang besar (> 40 PD)
dan dikoreksi dengan pembedahan. Tychsen menyatakan bahwa ketika dokter
bedah telah menemukan bayi dengan esotropia kongenital melebihi 12 PD, maka
penatalaksanaan bedah harus dilakukan. Dokter bedah harus melakukan 2 kali
pengukuran strabismus sebelum melakukan operasi. (Vincent VDO, 2012)
Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi
ambliopia dilakukan. Selama bertahun-tahun, sejumlah teknik operasi
dikembangkan tetapi kebanyakan melibatkan reseksi rektus media bilateral.
(Vincent VDO, 2012 & AAO, 2013). Reseksi dari otot rektus medial
dikombinasikan dengan reseksi dari otot rektus ipsilateral lateral alternatif yang
dapat diterima. Pada operasi dua-otot rektus ini, dibutuhkan otot suku cadang
horizontal untuk operasi berikutnya; ini umum terjadi pada pasien dengan
esotropia kongenital. (AAO, 2013)
Alternatif lain adalah reseksi unilateral rektus medius – reseksi rektus
lateral (pemendekan otot untuk meningkatkan kekuatan abduksi). Kebanyakan
dokter mata setuju bahwa operasi harus dilakukan lebih awal karena koreksi
esotropia kongenital dengan operasi memberikan hasil terbaik bila dilakukan
pada anak usia kurang dari 12 bulan. Selain itu, juga dapat memaksimalkan
fungsi teropong seperti stereopsis (Vincent VDO, 2012 & AAO 2013).
2. Hasil Operasi
Von Noorden tak sependapat bahwa tujuan operasi pada esotropia
kongenital hanya untuk kosmetik, kita harus berusaha untuk menjadikan mata
lurus setelah visus menjadi sama. Operasi dikatakan berhasil bila posisi matajadi
ortoforia +/- 10 PD. (Ridwan, 2008)
Hasil yang ideal esotropia kongenital adalah: (Ridwan, 2008)
a. Ortoforia/heteroforia asimptomatik untuk jauh dan dekat.
b. Visus kembali normal pada kedua mata
c. Fusi perifer dengan amplitudo normal
d. Gross stereopsis
Sayangnya hasil tersebut jarangdidapat, hasil yang banyak diperoleh
adalah: (Ridwan, 2008)
a. Secara kosmetik baik/dengansmall residual esotropia
b. Adanya fusi perifer
c. Dengan ARC
d. Terdapat small foveal supression
e. Besarnya foveal supression kurang atau sama dengan 2 derajat (pada mata
deviasi)
Hasil terhadap binocularity diuraikan dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 2.x Hasil Operasi Berdasarkan Binocularity
Usia Sampel binocularity
0 - 6 bulan dari 20 pasien 20 (100%)
7 – 12 bulan dari 46 pasien 46 (100%)
13 - 24 bulan dari 24 pasien 23 (96%)
25 – 79 bulan dari 17 pasien 7 (48%)
Sumber : Strabismus, 2008
Anak-anak yang matanya lurus setelah operasi esotropia pada usia dini
sering dengan fusi perifer dengan NRC, tapi tak pernah dengan fusi sentral.
Single binokuler vision tidak akan diperoleh bila hasil operasi deviasi tidak
menjadi orto +/-10 prisma. Fusi tidak diperoleh bila operasi dilakukan pada usia>
4 tahun. (Ridwan, 2008)
Ing M.R. dalam penelitiannya pada 34 pasien esotropia kongenital dengan
operasi yang berhasil (posisi mata setelah operasi ortho +/- 10 PD). (Ridwan,
2008)
a. Hasil stereoskopik post op esotropia kongenital 40 detik busur sangat jarang
diperoleh, kebanyakan hasil stereoskopik 200 – 3000 detik busur.
b. Pasien yang dioperasi usia 6 bulan semuanya memberikan hasil penglihatan
binokuler.
c. Operasi pada usia 12 maupun 24 bulan memberikan hasil binokuler yang
tinggi dan secara statistik hasil keduanya tidak ada perbedaan.
3. Medikamentosa
Beberapa obat digunakan dalam penatalaksanaan esotropia kongenital.
Salep kombinasi antibiotik – steroid digunkan untuk pengobatan minggu pertama
postoperasi. Injeksi BOTOX® digunakan sebagai alternatif untuk memulai atau
mengulang operasi. (Vincent VDO, 2012)
a. Salep kombinasi antibiotik-steroid
Digunakan pada minggu pertama postoperasi untuk mengontrol inflamasi
dan untuk mencegah infeksi terutama pada konjungtiva. (Vincent VDO, 2012)
Obat yang bisa digunakan adalah dexamethasone/tobramycin (Tobradex)
yang merupakan kombinasi dari tobramycin 0,3% dan dexamethasone 0,1%.
Tobramycin digunakan untuk bakteri gram positif dan gram negatif.
Dexamethasone merupakan kortikosteroid paten. (Vincent VDO, 2012)
b. Neurotoksik
Botulinum toxin tipe A (BOTOX®) adalah yang paling sering digunakan.
Menghambat transmisi impuls saraf pada jaringan neuromuscular. (Vincent
VDO, 2012)
OnabotulinumtoxinA (BOTOX®)
Digunakan untuk injeksi pada muskulus ekstraokuler. Dosis terapi yang
digunakan 1,25 – 2,5 U. dosis lebih rendah digunakan untuk deviasi lebih kecil
dan dosis lebih tinggi digunakan untuk deviasi yang lebih besar. (Vincent VDO,
2012)
Suntikan toksin botulinum ke dalam otot rektus medial telah digunakan
oleh beberapa dokter mata dalam pengobatan esotropia kongenital. Beberapa
suntikan mungkin diperlukan dan jangka panjang sensorik dan motorik hasil
belum terbukti lebih unggul kepada orang-orang dari operasi insisi. (AAO, 2013)
Injeksi Botulinum Toxic (BOTOX®) ke dalam rektus medial telah
disarankan sebagai terapi alternatif untuk operasi. Beberapa penelitian telah
meneliti manfaat dari prosedur ini dan mendapatkan hasil yang kontras. Dalam
menggunakan injeksi BOTOX® pada rektus medial bilateral, McNeer mencatat
penurunan sudut esotropia pada 27 pasien dengan esotropia kongenital lebih
muda dari usia 12 bulan dan pada pasien lebih muda dari usia 24 bulan.
Penelitian jangka panjang hingga 95 bulan postinjeksi menunjukkan bahwa tidak
hanya penurunan signifikan dari sudut esotropia tetapi juga kesejajaran binocular
(+10 PD) pada 89% pasien. (Vincent VDO, 2012)
Pada suatu penelitian terpisah yang dilakukan oleh Scott et al, tercatat
bahwa 65% pasien yang mengalami esotropia kongenital mencapai koreksi 10
PD dengan injeksi BOTOX®. Tidak ada perforasi, ambliopia, atau kehilangan
penglihatan yang dilaporkan pada pemakaian injeksi BOTOX®.(Vincent VDO,
2012)
Dalam evaluasi penggunaan BOTOX® sebagai pengobatan primer untu
esotropia kongenital sebelum operasi, de Alba Campomanes et al, menyatakan
bahwa BOTOX® adalah pengobatan paling efektif untuk esotropia kecil –
sedang, dengan hasil yang sebanding dengan pembedahan. Namun, operasi
merupakan penanganan yang paling baik untuk esotropia sudut besar. (Vincent
VDO, 2012)
3.10 Komplikasi
3.11 Prognosis
Prognosis yang lebih baik untuk kesejajaran okuler dan penglihatan dapat
diperoleh apabila operasi dilakukan sebelum usia 2 tahun. Faktor yang mempengaruhi
perburukan kesejajaran letak okuler dan penglihatan dipengaruhi oleh amblyopia
preoperasi, manifestasi nistagmus laten, myopia dari -2,5 sampai -5,0 D. (Vicente,
2012)
BAB III
KESIMPULAN
1)
DAFTAR PUSTAKA
Rutstein RP, 2011. Optometric Clinical Practice Guideline Care of the Patient with
Strabismus: Esotropia And Exotropia. American Optometric Association. Hal.1
Fundamentals and Principles of Ophthalmology. In: American Academy Of
Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2. 2009-2010: 97-
99.
Sitepu BRE, 2012. Karakteristik Kelumpuhan Okular Motor di RSUP H.Adam
Malik Medan diakses pada tanggal 14 Februari 2015 dari
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33581
Pediatric Ophthalmic Consultant, 2014. Esotropia : Crossed Eyes diakses pada
tanggal 14 Februari 2015 dari
http://www.pedseye.com/strabismus_esotropia.htm
Voncurova J, Uncovska E. 2003. Congenital Esotropia and Nystagmus. Evaluation of
Surgical Outcomes. Scripta Medica (BRNO). 76 (2): 119–124
Vicente, Victor D, Ocampo JR. 2014. Infantile Esotropia. Medscape diakses pada
tanggal 14 Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/1198876-
overview#a0199
Kiorpes L, Walton PJ, O’Keefe LP, Movshon JA, dan Lisberger SG. 1996. Effects
of Early-Onset Artificial Strabismus on Pursuit Eye Movements and on
Neuronal Responses in Area MT of Macaque Monkeys. The Journal of
Neuroscience. 16(20): 6537-6553
https://www.scribd.com/doc/122431172/ESOTROPIA
https://www.scribd.com/doc/241637420/CSS-Ari-A-Esotropia-kongenital-docx
Sidarta I, Yulianti SR. 2012. Strabismus. Dalam Sidarta I, Yulianti SR. Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta: FKUI. Hal 267-258.
American Academy of Ophthalmology. 2005. Clinical Aspect of Toxic anf Traumatic
Injuries of the Anterior Segment. BCSC Section 8. External Disease and Cornea.
AAO Foundation. San Fransisco. Hal 89-92
Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th Sumatera
Ophthalmology Meeting. 2006
American Academy of Ophtalmology. Infantile (Congenital) Esotrophia. USA :
AAO. 2013.
Vicente VDO dan Foster CS. Infantile Esotropia (Reference). WebMD LLC. 2012.
Ridwan M. Strabismus. Padang : Universitas Andalas. 2008
Vincente Victor D Ocampo. Infantile Esotropia (Reference). Web MD LLC. 2012.