MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM … · berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan...

80
LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PERENCANAAN DESTINASI PARIWISATA PERDESAAN Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun Ketua/Anggota Tim I Made Adikampana, S.T., M.T. (0024027704) Dra. Luh Putu Kerti Pujani, M.Si. (0029085708) UNIVERSITAS UDAYANA Oktober, 2015

Transcript of MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM … · berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan...

LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING

MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PERENCANAAN DESTINASI PARIWISATA PERDESAAN

Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun

Ketua/Anggota Tim

I Made Adikampana, S.T., M.T. (0024027704)

Dra. Luh Putu Kerti Pujani, M.Si. (0029085708)

UNIVERSITAS UDAYANA

Oktober, 2015

3!!

RINGKASAN

Penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan di Bali disambut eforia oleh masyarakat lokal. Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit mendominasi perencanaan serta implementasi, dan selanjutnya memonopoli pembagian manfaat pariwisata. Kecenderungan tersebut lebih disebabkan oleh minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan serta sentralisasi program pembangunan pariwisata oleh pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam penelitian lanjutan pada tahun kedua ini disusun beberapa pertanyaan yang menjadi target penelitian, yaitu: apa jenis sumber daya atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan? dan bagaimana model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan?. Model yang terbangun dalam penelitian ini akan memberikan manfaat untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal baik dalam pengambilan keputusan maupun pembagian manfaat pariwisata perdesaan. Pendekatan pariwisata berbasis masyarakat digunakan untuk merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Kebutuhan data guna menjawab pertanyaan penelitian dipenuhi melalui berbagai teknik, yaitu tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD). Data yang terkumpul akan dikelompokkan dan dijabarkan sesuai target penelitian dan kemudian dianalisis dan disintesis secara deskriptif untuk mencapai tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang bagi titik temu dari berbagai aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural karena merupakan lembaga yang bersifat historis, eksis, dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal. Dengan kata lain, lembaga ini akan menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang pembelajaran masyarakat lokal dan wadah bagi produksi kebijakan pariwisata yang diciptakan masyarakat lokal secara kolektif.

4!!

PRAKATA

Puji Syukur kehadapan Tuhan atas segala yang diberikan dan dengan

limpahan perhatian, bantuan, dukungan serta dorongan yang sangat berarti kepada

tim peneliti untuk menyelesaikan laporan akhir Penelitian Hibah Bersaing.

Penelitian tahun terakhir ini fokus membahas jenis sumber daya atau modal yang

dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan

destinasi pariwisata perdesaan dan bagaimana model integrasi masyarakat lokal

dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.

Untuk penyelesaian laporan akhir penelitian ini, tim peneliti mengucapkan

terima kasih kepada: Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemristekdikti,

Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Universitas Udayana, Dekan Fakultas

Pariwisata Universitas Udayana, dan Ketua Program Studi S1 Destinasi

Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan

mendorong tim peneliti untuk melaksanakan fungsi penelitian terkait dengan

pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak lupa juga tim peneliti

mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Pakraman Pinge atas segala

bantuan dan kemudahan yang diberikan.

Tim peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan akhir

penelitian ini, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga laporan akhir

penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Denpasar, Oktober 2015

Tim Peneliti

5!!

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ 1

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. 2

RINGKASAN ...................................................................................................... 3

PRAKATA ........................................................................................................... 4

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 5

DAFTAR TABEL ................................................................................................ 7

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... 8

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ 9

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 10

1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 10

1.2. Urgensi Penelitian ......................................................................................... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13

2.1. Pariwisata Perdesaan ..................................................................................... 13

2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat .................................................................... 14

2.3. Modal ............................................................................................................ 18

2.4. Perencanaan Pariwisata Partisipatif .............................................................. 19

2.5. Peta Jalan Penelitian ...................................................................................... 22

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .......................................... 23

3.1. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 23

3.2. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 23

BAB 4. METODE PENELITIAN ........................................................................ 24

4.1. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 24

4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 24

4.3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 24

4.4. Analisis Data Deskriptif ................................................................................ 25

4.5. Bagan Alir Penelitian .................................................................................... 26

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 27

5.1. Temuan Penelitian sebelumnya ..................................................................... 27

5.2. Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge .................................. 28

5.3. Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional ................................... 30

6!!

5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis kultural .................................................... 34

5.5. Model ............................................................................................................ 37

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43

LAMPIRAN ......................................................................................................... 45

7!!

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar ... 16

8!!

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Jalan Penelitian ........................................................................... 22

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian ......................................................................... 26

Gambar 3. Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan ....... 37

9!!

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ........................................................................ 45

Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti ............................................................... 47

Lampiran 3. Publikasi .......................................................................................... 54

10!!

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Destinasi pariwisata merupakan lokasi produksi, konsumsi dan pola-pola

pergerakan wisata (Davidson dan Maitland, 1997). Selain itu destinasi pariwisata

juga sebagai tempat hidup masyarakat untuk bekerja serta melakukan kegiatan

sosial dan budaya. Hal tersebut juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang

No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa destinasi

pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah

administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas

pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi

terwujudnya kepariwisataan. Dengan demikian masyarakat merupakan bagian

tidak terpisahkan dari suatu destinasi pariwisata, sehingga dalam pengembangan

destinasi pariwisata wajib mempertimbangkan berbagai elemen masyarakat.

Dogra dan Gupta (2012) menyebutkan bahwa masyarakat memiliki posisi

strategis dalam suatu destinasi pariwisata. Maka dari itu, keberlanjutan destinasi

pariwisata sangat tergantung dari tingkat partisipasi masyarakatnya.

Masyarakat dalam destinasi pariwisata yang kemudian disebut dengan

masyarakat lokal mempunyai potensi berupa beragam aktivitas yang dapat

dikreasikan menjadi produk pariwisata. Budaya lokal, tinggalan masyarakat, serta

festival menyediakan keunikan dan sesuatu yang baru dari perspektif wisatawan.

Masyarakat dengan pengetahuan dan kebijakan lokal akan lebih memahami

produk pariwisata yang dikembangkan serta dampak yang ditimbulkan,

dibandingkan dengan masyarakat dari luar destinasi pariwisata. Masyarakat lokal

juga mempunyai kontribusi dalam upaya mempromosikan produk destinasi

pariwisata, karena masyarakat lokal adalah komponen utama pembentuk citra atau

image destinasi pariwisata (Pike, 2004).

Begitu pentingnya peran masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi

pariwisata berkelanjutan telah mendorong munculnya tren baru pengembangan

pariwisata yang berbasis masyarakat. Oleh Tosun dan Timothy (2003) ditegaskan

bahwa aspek penting dalam pariwisata berkelanjutan adalah penekanan kepada

pariwisata berbasis masyarakat. Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi

11!!

masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pengembangan destinasi

pariwisata. Melalui partisipasi masyarakat, pariwisata secara langsung dapat

memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Dengan adanya manfaat inilah

penerimaan, dukungan, dan toleransi masyarakat terhadap pariwisata akan tumbuh

dengan optimal.

Walaupun secara konsepsual pariwisata berbasis masyarakat diyakini

mampu mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan, namun dalam prakteknya

menemui berbagai permasalahan (Campbell, 1999; Shah dan Gupta, 2000;

Scheyvens, 2002; Dogra dan Gupta, 2012). Adanya permasalahan dalam

implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat juga tampak dalam

pengembangan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan

unggulan di Bali. Berdasarkan studi pendahuluan, terdapat dua permasalahan

utama pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Pakraman Pinge.

Pertama, ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata

sebagai strategi pengembangan masyarakat perdesaan. Kedua, minimnya

keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata akibat dominasi elit

desa dan sentralisasi program pemerintah. Berdasarkan fenomena tersebut, sangat

menarik untuk dilakukan penelitian tentang model integrasi masyarakat lokal

dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Model ini diharapkan dapat

diterapkan untuk peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan

pariwisata perdesaan.

1.2. Urgensi Penelitian

Masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi pariwisata.

Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata dimaksudkan

untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan untuk

berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi

dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam

destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam suatu sistem

(produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi

dengan industri lain termasuk masyarakat lokal. Sehingga dapat dikatakan

12!!

masyarakat lokal posisinya sangat strategis dan setara dengan pengambil

keputusan lainnya (stakeholders) dalam pengembangan destinasi pariwisata

berkelanjutan.

Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan

destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam

perencanaan ditengarai menjadi salah satu batu sandungan pengembangan

destinasi pariwisata berkelanjutan. Permasalahan tersebut juga teramati di Desa

Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Desa

Pakraman Pinge telah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata unggulan di wilayah

perdesaan. Penetapan ini bukan tanpa alasan, karena Desa Pakraman Pinge

mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial. Morfologi desa

tradisional, bentang alam (landscape), tinggalan budaya, dan kehidupan

masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu, Desa

Pakraman Pinge menjadi jalur perjalanan wisata. Selama ini sudah ada wisatawan

mancanegara terutama yang berasal Eropa yang menikmati produk pariwisata di

Desa Pakraman Pinge. Umumnya, para wisatawan tersebut menikmati Desa

Pakraman Pinge dengan bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen (VW).

Berdasarkan studi pendahuluan, adanya penetapan Desa Pakraman Pinge

sebagai destinasi pariwisata perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal.

Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit masyarakat desa mendominasi

perencanaan serta implementasi program (spontaneous program), dan selanjutnya

memonopoli pembagian manfaat pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Kecenderungan ini lebih disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat lokal

mengidentifikasi dampak pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat

perdesaan, masih minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan

pariwisata, serta sentralisasi program pengembangan pariwisata oleh pemerintah.

Untuk itu sangat penting dilakukan penelitian yang merumuskan model integrasi

masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan

dengan adanya model ini dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal baik

dalam pengambilan keputusan maupun pembagian manfaat pengembangan

pariwisata perdesaan.

13!!

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata Perdesaan

Pariwisata perdesaan dapat dilihat sebagai pariwisata yang tumbuh di

wilayah perdesaan. Namun pada dasarnya pariwisata perdesaan tidak hanya dapat

dipahami berdasarkan aspek geografis semata, melainkan juga menjadi bagian

tidak terpisahkan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal (Lane,

1994; Roberts dan Hall, 2004). Untuk itu kemudian pariwisata perdesaan secara

ideal harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

1. berlokasi di wilayah perdesaan

2. menjalankan fungsi-fungsi perdesaan

3. berskala kecil

4. bersifat tradisional

5. tumbuh perlahan dan seimbang

6. dikelola oleh masyarakat lokal

Untuk memenuhi keriteria tersebut, maka isu penting yang perlu

mendapatkan perhatian adalah dampak pengembangan pariwisata terhadap

wilayah perdesaan. Beberapa literatur menunjukkan bahwa dampak pariwisata

terhadap wilayah perdesaan akan berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis

wisatawan yang berkunjung, pengorganisasian produk pariwisata, integrasi

pariwisata dalam pengembangan masyarakat perdesaan, dan tahapan dalam siklus

hidup destinasi pariwisata (Briedenham and Wickens, 2004; Barke, 2004). Kajian-

kajian tersebut juga menyatakan bahwa selain ketrampilan, koordinasi dan kontrol

masyarakat lokal akan sangat menentukan dampak pariwisata perdesaan. Sebagai

contoh Barke (2004) menyebutkan suatu kasus tentang kepemilikan usaha

pariwisata perdesaan oleh individu atau pengusaha non lokal telah menjadikan

masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan berarti dari pengembangan

pariwisata perdesaan. Page dan Getz (1997) berdasarkan beberapa hasil penelitian

tentang sikap masyarakat lokal terhadap pariwisata menyimpulkan bahwa

masyarakat lokal yang mendapatkan manfaat dan mempunyai kontrol terhadap

pengembangan pariwisata cenderung bersikap positif. Simpulan tersebut juga

didukung oleh pernyataan World Tourism Organization (WTO, 1998) yang

14!!

menyebutkan melalui partisipasi, masyarakat akan lebih mendapatkan manfaat

pariwisata dalam bentuk pekerjaan dan pendapatan, menciptakan peluang

berusaha serta keuntungan lainnya. Selanjutnya dengan mendapat berbagai

manfaat tersebut, masyarakat akan mendukung pengembangan pariwisata.

Dampak positif pariwisata memerlukan pertimbangan matang dan

memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan

berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan pariwisata yang ramah

lingkungan, layak secara ekonomi, dan dapat diterima oleh sosial budaya

masyarakat lokal. Menurut WTO (1998), pariwisata berkelanjutan harus

menjamin tiga hal penting yaitu :

1. memanfaatkan secara optimal (seimbang) sumberdaya lingkungan fisik

2. menghormati keaslian sosial budaya masyarakat lokal

3. memastikan kelayakan dan manfaat sosial ekonomi (pekerjaan, pendapatan,

layanan sosial, dan pengentasan kemiskinan) bagi para pengambil keputusan.

Pengembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan keterlibatan dari

segenap pengambil keputusan yang terkait serta kepemimpinan yang kuat untuk

memastikan tumbuhnya ruang-ruang berpartisipasi terutama untuk masyarakat

lokal. Pariwisata berkelanjutan juga harus mampu memberikan kepuasan dan

kesadaran bagi wisatawan tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan.

2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat merupakan salah satu jenis pariwisata yang

memasukkan partisipasi masyarakat sebagai unsur utama dalam pariwisata guna

mencapai tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Telfer dan Sharpley,

2008). Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran Garrod et al., (2001); Timothy

dan Boyd (2003) yang menyebutkan pariwisata berbasis masyarakat sebagai

partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Dalam hal ini, partisipasi

masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : ikut terlibat dalam proses

pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata.

Partisipasi dalam pengambilan keputusan berarti masyarakat mempunyai

kesempatan untuk menyuarakan harapan, keinginan dan kekhawatirannya dari

15!!

pembangunan pariwisata, yang selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam proses

perencanaan. Sedangkan mengambil peran dalam pembagian manfaat pariwisata

mengandung pengertian bahwa masyarakat semestinya mempunyai kesempatan

untuk memperoleh keuntungan finansial dari pariwisata dan keterkaitan dengan

sektor lainnya. Untuk itu pengembangan destinasi pariwisata seharusnya mampu

menciptakan peluang pekerjaan, kesempatan berusaha dan mendapatkan pelatihan

serta pendidikan bagi masyarakat agar mengetahui manfaat pariwisata (Timothy,

1999). Menurut Murphy (1985) pariwisata merupakan sebuah “community

industry”, sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata sangat tergantung dan

ditentukan oleh penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap pariwisata.

Implikasi pariwisata sebagai sebuah industri masyarakat adalah adanya kepastian

bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata.

Berhubungan dengan hal tersebut, Pretty (1995) dalam Mowforth dan Munt

(1998) kemudian membagi partisipasi masyarakat dalam tujuh jenis.

1. partisipasi manipulatif; adanya keterwakilan masyarakat dalam kelembagaan

pariwisata, namun wakil masyarakat ini tidak mempunyai kekuasaan

2. partisipasi pasif; masyarakat hanya diinformasikan hal yang sudah diputuskan

atau kejadian yang sudah berlangsung

3. konsultasi; masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang

diajukan oleh pihak eksternal

4. partisipasi material insentif; masyarakat berkontribusi dengan memberikan

sumber daya yang dimilikinya dan kemudian mandapat kompensasi material

berupa makanan dan minuman, pekerjaan, uang, dan insentif materi lainnya

5. partisipasi fungsional; pihak eksternal menginisiasi keterlibatan masyarakat

dengan membentuk kelompok untuk menentukan tujuan bersama dan terlibat

dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi partisipasi tersebut muncul

setelah adanya program dari pihak eksternal dengan tujuan untuk efektifitas

dan efisiensi program

6. partisipasi interaktif; masyarakat mengadakan analisis secara bersama-sama,

merumuskan program untuk mencapai tujuan, dan penguatan institusi lokal

dengan difasilitasi oleh pihak eksternal. Partisipasi jenis ini sudah ideal

16!!

karena masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang sistem dan struktur,

sehingga mampu mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan.

7. mobilisasi sendiri; masyarakat mempunyai inisiatif sendiri dalam proses

perencanaan pembangunan tanpa ada intervensi dari pihak eksternal. Peran

pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sangat dibutuhkan dalam

menyediakan dukungan kerangka kerja.

Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat sering dipahami sebagai sesuatu

yang berseberangan dengan pariwisata skala besar (enclave), berbentuk paket (all

inclusive), pariwisata masal, dan minim keterkaitannya dengan masyarakat lokal.

Sehingga pariwisata berbasis masyarakat disebut juga sebagai pariwisata berskala

kecil, dibangun oleh masyarakat lokal, serta melibatkan berbagai elemen lokal

seperti pengusaha, organisasi, dan pemerintah lokal (Hatton, 1999 dalam Telfer

dan Sharpley, 2008; Leslie, 2012). Terkait dengan pembangunan pariwisata

berskala kecil, Jenkins (1982) telah melakukan perbandingan antara pariwisata

skala kecil dengan skala besar untuk mengetahui dampak pembangunan

pariwisata terhadap masyarakat lokal. Berdasarkan komparasi tersebut diketahui

bahwa pembangunan pariwisata berskala kecil mempunyai karakteristik yang

sangat berbeda dari pembangunan pariwisata berskala besar. Adanya perbedaan

krakteristik tentunya akan menghasilkan perbedaan dampak pula terhadap

masyarakat lokal.

Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar

Skala kecil Skala besar

secara fisik menyatu dengan struktur ruang/kehidupan masyarakat lokal

secara fisik terpisah dari komunitas lokal, namun efektif membangun citra kuat udalam rangka promosi

perkembangan kawasan wisata bersifat spontan/tumbuh atas inisiatif masyarakat lokal (spontaneous)

pengembangan kawasan melalui perencanaan yang cermat dan profesional (well planned)

partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata

investor dengan jaringan internasional sebagai pelaku utama usaha kepariwisataan

interaksi terbuka dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal

interaksi sangat terbatas antara wisatawan dengan masyarakat lokal

Sumber : Diolah dari Jenkins, 1982

17!!

Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa peluang terbesar partisipasi

masyarakat lokal dalam pariwisata, akan muncul jika pariwisata dikembangkan

dengan skala kecil dan terbuka melakukan interaksi dengan wisatawan.

Seringkali partisipasi masyarakat dalam pariwisata disebut sebagai strategi

pembangunan alternatif yang terdengar sangat ideal namun dalam

implementasinya banyak terdapat tantangan dan hambatan. Scheyvens (2002)

menyebutkan ada dua tantangan terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat.

Pertama, pada kenyataannya masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata

terbagi ke dalam berbagai faksi atau golongan yang saling mempengaruhi

berdasarkan kelas masyarakat (kasta), gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya

saling menyatakan paling memiliki atau mempunyai hak istimewa (privilege)

keberadaan sumberdaya pariwisata. Golongan elit masyarakat tertentu sering

berada dalam posisi mendominasi pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat,

lalu memonopoli pembagian atau penerimaan manfaat pariwisata (Mowforth dan

Munt, 1998). Berdasarkan hal tersebut, partisipasi secara adil (equitable) menjadi

pertimbangan penting dalam mendorong pembangunan pariwisata berbasis

masyarakat. Selain itu juga isu-isu tentang kelas masyarakat, gender, dan

kesukuan penting dipertimbangkan terutama dalam perencanaan pengembangan

pariwisata. Tantangan kedua adalah permasalahan dalam masyarakat untuk

mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat lokal.

Masyarakat pada umumnya tidak cukup punya informasi, sumberdaya, dan

kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai pengambil keputusan lainnya

dalam pembangunan pariwisata, sehingga masyarakat lokal rentan terhadap

eksploitasi. Campbell (1999) juga menyatakan hal yang sama bahwa minimnya

kesempatan berpartisipasi dalam pariwisata dan sektor lain yang terkait, akibat

dari kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengidentifikasi manfaat

pariwisata.

Selain tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan

pariwisata berbasis masyarakat juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan.

Tosun (2000); Dogra dan Gupta (2012) mengidentifikasi tiga hambatan dalam

18!!

pembangunan pariwisata berbasis masyarakat terutama di negara berkembang.

Adapun hambatan-hambatan tersebut berupa :

1. keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini adalah sentralisasi

administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya informasi

pariwisata.

2. keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga

ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya

jumlah sumberdaya manusia (SDM) terlatih, dan minim akses ke

modal/finansial.

3. keterbatasan kultural; yaitu terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat

miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal

Semua jenis keterbatasan tersebut, dapat menciptakan masalah serius dalam

partisipasi masyarakat, baik untuk pengambilan keputusan atau perencanaan yang

tepat maupun secara bersama-sama membagi manfaat pariwisata.

2.3. Modal

Berdasarkan pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, habitus merupakan

sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah, yang berfungsi sebagai

basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif.

Modal dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di

dalam ranah. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi

individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu

maupun kelompok untuk memiliki modal atau sumber daya agar dapat bertahan

dalam hidup bermasyarakat atau relasi sosial. Dengan kata lain, modal dapat

menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat.

Representasi individu maupun kelompok dalam relasi sosial terbangun dari

adanya praktek pertukaran antar modal.

Selanjutnya modal dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu: pertama;

modal ekonomi mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang yang dengan

mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Kedua; modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi

19!!

intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan

keluarga. Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di

depan publik, pemilikan benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian

tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat. Ketiga; modal sosial menunjuk pada

jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam

hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat; segala

bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk

modal sosial.

Berbagai jenis modal tersebut dapat dipertukarkan satu dengan yang

lainnya. Semakin besar individu atau kelompok mengakumulasi modal tertentu,

maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar modal. Dari kesemua

jenis modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya kuat

untuk menentukan jenjang hirarkis dalam masyarakat. Prinsip hirarki dan

diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi. Makin

besar jumlah modal yang dikuasai dapat menunjukkan dominasi (kekuasaan dan

hirarki tertinggi) dalam masyarakat.

2.4. Perencanaan Pariwisata Partisipatif

Sebagian besar karakteristik atau pendekatan perencanan destinasi

pariwisata berbasis masyarakat berasal dari tradisi perencanaan transaksi dan

advokasi. Tradisi ini mengutamakan pembelaan terhadap kelompok masyarakat

minoritas dan pemberian kontrol yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam

proses pembangunan sosial guna mencapai kesejahteraan (Timothy, 1999). Hal

tersebut semakin terlihat nyata akibat adanya perubahan paradigma pembangunan

pariwisata dari yang bersifat masal menuju pariwisata alternatif. Seperti ulasan

sebelumnya, pariwisata alternatif merupakan pariwisata berskala kecil dan

melibatkan berbagai elemen lokal terutama masyarakat lokal. Pembangunan

pariwisata berskala kecil dapat memberikan ruang partisipasi sebesar-besarnya

bagi masyarakat lokal (Telfer dan Sharpley, 2008). Pemberian ruang-ruang bagi

masyarakat untuk berpartisipasi aktif, menunjukkan adanya persamaan posisi

dengan pengambil keputusan lainnya (pemerintah, investor, dan wisatawan)

20!!

dalam pembangunan pariwisata. Berdasarkan pemikiran Derrida dalam Barker

(2004), persamaan posisi tersebut menandakan pelucutan atas oposisi biner atau

dikenal dengan dekonstruksi. Dekonstruksi berfungsi menjamin kebenaran dengan

cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian inferior oposisi biner yaitu

masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata. Dengan kata lain pendekatan

dekonstruktif memastikan dipanggilnya kelompok minoritas untuk masuk ke

ranah pariwisata. Kelompok minoritas tersebut tidak lain adalah masyarakat lokal

yang pada dasarnya pemilik sumber daya atau modal pariwisata. Pada saat

pariwisata masal digulirkan oleh elit atau pemerintah yang berkolaborasi dengan

investor, masyarakat lokal hanya berperan sebagai objek pariwisata dan akhirnya

dengan segala keterbatasan malah terlempar dari pembagian manfaat pariwisata.

Kondisi ini melahirkan sebuah konsepsi dekonstruktif tentang integrasi

masyarakat lokal dalam proses perencanaan pariwisata.

Lebih lanjut Murphy (1985) menekankan dekonstruksi berupa suatu

strategi yang terfokus pada pencapaian tujuan pembangunan pariwisata dalam

perspektif wisatawan dan masyarakat lokal. Masyarakat lokal seharusnya mampu

mengidentifikasi berbagai manfaat pariwisata untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Pendekatan perencanaan ini mengakui adanya perhatian dan pemikiran

yang memasukkan kepentingan masyarakat dalam perencanaan pariwisata atau

dengan kata lain semestinya pariwisata tidak hanya memberikan kepuasan bagi

wisatawan, namun juga memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal dan kualitas

lingkungan. Sejalan dengan Murphy, Gunn (1994) juga berpendapat bahwa jika

masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, maka akan terjadi

malfungsi dan inefisiensi dalam pengembangan pariwisata. Kembali menurut

Murphy (1985), pariwisata tidak seperti industri lainnya, karena sangat

bergantung pada kemauan baik (goodwill) dan kerjasama pengambil keputusan

pariwisata termasuk masyarakat lokal, karena masyarakat merupakan bagian tidak

terpisahkan dari destinasi pariwisata. Ketika perencanaan pengembangan destinasi

pariwisata tidak sesuai dengan aspirasi dan kapasitas masyarakat, maka yang akan

terjadi adalah permusuhan dan resistensi masyarakat lokal terhadap

pengembangan pariwisata.

21!!

Korten (1981) dalam Timothy (1999) dalam anjurannya menyebutkan

semakin kompleks permasalahan pembangunan yang dihadapi, semakin besar

pula kebutuhan terhadap pengetahuan dan nilai-nilai/kebijakan lokal (local

wisdom) dalam pemecahannya. Penggunaan pengetahuan dan kebijakan lokal

untuk merumuskan pemecahan permasalahan pembangunan dikenal dengan

sebutan perencanaan berbasis masyarakat lokal. Dengan kata lain, pendekatan

perencanaan ini membutuhkan partisipasi dari berbagai pengambil keputusan

dalam proses perencanaan pariwisata. Dengan adanya partisipasi masyarakat lokal

dalam proses perencanaan, diharapkan masyarakat mampu mengidentifikasi

berbagai dampak pariwisata dan kemudian dapat merumuskan strategi dan

program guna mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak

negatif yang ditimbulkan oleh pengembangan destinasi pariwisata. Inskeep (1991)

menegaskan pentingnya keterlibatan setiap para pengambil keputusan dalam

berbagai tahapan atau proses perencanaan pariwisata. Proses perencanaan

merupakan tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan pengembangan

pariwisata. Proses perencanaan pariwisata meliputi :

1. persiapan studi; pengenalan karakteristik, potensi dan isu strategis,

penganggaran, pemilihan anggota tim, kerangka acuan kerja (TOR), dan

administrasi

2. penetapan tujuan dan sasaran pembangunan; perumusan tujuan dan sasaran

yang dapat menjawab isu-isu strategis

3. survei; inventarisasi situasi eksisting dan karakteristik area perencanaan

pariwisata

4. analisis dan sintesis; analisis hasil survei dan sintesis untuk merumuskan

rencana dan rekomendasi

5. perumusan kebijakan dan rencana; merumuskan alternatif perencanaan

6. rekomendasi; pilihan rencana yang tepat dengan tujuan dan sasaran

7. implementasi; pelaksanaan rencana terpilih

8. pengawasan dan evaluasi; pengawasan yang terus menerus dan memberikan

umpan balik guna penyesuaian dan penyempurnaan perencanaan.

22!!

2.5. Peta Jalan Penelitian

Tahun I: Kontribusi pengembangan pariwisata

perdesaan bagi masyarakat lokal

Tahun II: Model integrasi masyarakat lokal dalam

perencanaan destinasi pariwisata perdesaan

Gambar 1. Peta Jalan Penelitian

Pariwisata berbasis

masyarakat lokal

dampak pengembangan pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal

jenis partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata perdesaan

jenis modal atau sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat lokal

23!!

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tahun kedua ini adalah untuk merumuskan model

integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata di wilayah

perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu akan dibahas jenis

sumber daya pariwisata atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan

perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

3.2. Manfaat Penelitian

Tercapainya tujuan penelitian ini akan memberikan manfaat untuk

mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan

pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

24!!

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian menggunakan metode yang memverifikasi

hubungan konsepsual pariwisata terhadap kondisi empiris (Veal, 2006).

Konstruksi konsep pariwisata didasarkan pada tinjauan pustaka. Kondisi empiris

dikumpulkan dan diketahui dengan berbagai teknik, disesuaikan dengan variabel

penelitian. Sedangkan dalam tahap analisis, jenis modal yang dimiliki masyarakat

lokal dan rumusan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi

pariwisata perdesaan menggunakan metode deskriptif, yang kemudian disintesis

guna menjelaskan kaitan atau hubungan sebab akibat antar variabel.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data kuantitatif, adalah data yang berupa bilangan yang akan disusun serta

diinterprestasikan.

2. Data kualitatif, data berupa deskripsi atau uraian berdasarkan hasil tinjauan

pustaka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah atau dikenal

luas dengan focus group discussion (FGD).

Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.

Data primer akan digali melalui observasi, wawancara dengan masyarakat dan

pakar/praktisi pariwisata berbasis masyarakat, serta FGD dengan kelompok

masyarakat. Sedangkan data sekunder melalui tinjauan pustaka yang relevan.

4.3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu

tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan FGD. Untuk mendapatkan data dan

informasi yang diperlukan, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan :

1. Tinjauan pustaka. Dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman tentang

beberapa konsep pokok dalam penelitian ini : pariwisata perdesaan,

pariwisata berbasis masyarakat, perencanaan partisipatif, dan modal.

25!!

2. Observasi, yaitu usaha pengumpulan data dengan pengamatan langsung di

lapangan untuk menguji dan melengkapi data dan informasi yang sudah

didapatkan sebelumnya.

3. Wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan beberapa informan yang

memiliki informasi penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

penelitian. Adapun informan tersebut yaitu :

- tokoh masyarakat, baik dinas maupun adat

- pengelola pariwisata perdesaan

- pakar dan praktisi pariwisata berbasis masyarakat

Mereka dipilih karena pengetahuan dan ketokohannya (purposive) yang

diharapkan dapat memberikan informasi komprehensif tentang jenis sumber

daya atau modal pariwisata dan model perencanaan destinasi pariwisata

perdesaan berbasis masyarakat lokal.

4. FGD. Mendalami data dan informasi terfokus dalam kelompok diskusi kecil.

Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk :

- lebih mendalami data dan informasi.

- memahami keragaman perspektif masyarakat lokal tentang perencanaan

dan pengembangan pariwisata perdesaan.

- mendapatkan informasi tambahan tentang jenis sumber daya atau modal

terkait dengan perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan.

- memperoleh nilai dengan akurasi tinggi untuk rumusan model integrasi

masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.

4.4. Analisis Data Deskriptif

Analisis deskriptif menafsirkan data dan informasi yang terkait dengan

variabel dan fenomena yang terjadi pada saat penelitian dilakukan dan kemudian

menyajikannya sesuai dengan yang sebenarnya (apa adanya). Dalam penelitian

ini, yang ditafsirkan berupa jenis sumber daya atau modal yang dimiliki

masyarakat lokal dan hubungan antara variabel guna merumuskan model integrasi

masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.

26!!

4.5. Bagan Alir Penelitian

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian

Persiapan : - Tinjauan pustaka - Studi pendahuluan - Proposal penelitian

Identifikasi jenis partisipasi

masyarakat lokal dalam

perencanaan destinasi

pariwisata perdesaan

Analisis dan sintesis

Jenis sumber daya atau modal

Model integrasi masyarakat lokal

dalam perencanaan destinasi pariwisata

perdesaan

Kontribusi pengembangan

pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal

- Temu tim - Seminar proposal - Pengumpulan

proposal

Penelitian tahun I - Observasi - Wawancara kepada

masyarakat - FGD - Tinjauan pustaka - Laporan penelitian - Seminar nasional - Bagian buku

Penelitian tahun II - Observasi - Wawancara kepada

masyarakat, pakar atau praktisi

- FGD - Tinjauan Pustaka - Laporan penelitian - Seminar nasional - Tulisan ke Asia

Pacific Journal of Tourism Research

Identifikasi dampak

pengembangan pariwisata perdesaan

Analisis dan sintesis

27!!

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Temuan Penelitian Sebelumnya

Penelitian pada tahun sebelumnya bertujuan untuk mengetahui kontribusi

pengembangan destinasi pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal.

Penelitian ini telah menghasilkan beberapa temuan yaitu tentang dampak destinasi

pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal dan peran sentral elit desa dalam

pengembangan desa wisata di Desa Pakraman Pinge. Dampak yang ditimbulkan

dari pengembangan Desa Wisata Pinge cukup beragam yang meliputi aspek

ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Namun berbagai dampak tersebut

sampai saat belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat lokal

akibat jenis partisipasi masyarakat selama ini masih manipulatif dan pasif serta

adanya dominasi elit dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Dominasi elit ini

muncul lebih disebabkan oleh kevakuman aktivitas pariwisata selama tujuh tahun,

karena masyarakat lokal tidak berdaya mengembangkan Desa Wisata Pinge yang

telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pada tahun 2004. Kemudian

setelah beberapa elit yang merupakan pensiunan pegawai pemerintah dan swasta

pariwisata mengisi kekosongan tersebut dengan berinisiatif mengembangkan

produk desa wisata, aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge kembali

berkembang. Munculnya sejumlah elit yang mempunyai peran sentral dalam

pengembangan Desa Wisata Pinge menyebabkan dampak yang ditimbulkan

akhirnya mengarah kepada kutub-kutub kekuatan para elit tersebut.

Menarik untuk dibahas kemudian berdasarkan temuan tersebut adalah

terdapatnya dua tipologi elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Kedua jenis elit tersebut adalah elit inklusif dan elit eksklusif yang mempunyai

karakteristik yang tidak sama dan dapat memberikan pengaruh berbeda dalam

konteks pengembangan Desa Wisata Pinge. Dualisme elit dalam kepariwisataan

Desa Pakraman Pinge dapat menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan

menyimpan potensi konflik. Terkait dengan kemungkinan resiko yang terjadi,

kata kunci dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Pakraman

Pinge adalah inklusivitas elit-elit tersebut. Inklusivitas elit dalam penelitian ini

berupa rumusan model yang mampu mensinergikan kedua kekuatan elit tersebut.

28!!

Dualitas elit yang dibangun harus mengakomodasi berbagai kepentingan terutama

masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

5.2. Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge

Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Desa

Wisata Pinge yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut

berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Desa

Pakraman Pinge menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan

pensiunan yang pulang kampung, sehingga dianggap memiliki pengalaman

berdasarkan karir yang ditempuh sebelumnya. Dengan pengalamannya tersebut,

elit ini memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata di Desa Pakraman

Pinge. Terlebih lagi dari elit ini terdapat pensiunan birokrasi pemerintahan dan

manajer hotel bintang lima di Kawasan Pariwisata Sanur. Dapat dikatakan para

elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor

penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata (seperti : wisatawan, biro

perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah,

perguruan tinggi) dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal.

Dari dua tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Desa Pakraman

Pinge yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki

karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktor/kelompok aktor yang

mengakumulasi modal dalam Desa Wisata Pinge atau dapat disebut dengan ranah

pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk

berbagi modal dengan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata

Pinge. Hal ini dapat dimengerti karena elit eksklusif berasal dari pensiunan

pejabat birokrasi pemerintah, sehingga dengan trayektorinya tersebut

menghasilkan habitus khas. Terbiasa memerintah kelompok yang dianggap

bawahan dan hanya patuh kepada kelompok yang dianggap atasan. Kelompok elit

eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan,

sehingga relasi sosial yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah-

diperintah”. Dengan kata lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron-

client, dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan

29!!

pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan elit

inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan

pengalaman. Kalangan ini berasal dari pensiunan kaum profesional swasta

terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki habitus khas pula yaitu

bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut

mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai

kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja

dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga

menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair

dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan

versi birokrat tetapi pertemanan (partner).

Kedua elit pariwisata Pinge memiliki persamaan dalam konteks

kepemilikan modal :

1. Modal Budaya

Merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal (melalui institusi

pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang

tertentu), maupun kultural (sebagai tokoh masyarakat).

2. Modal Sosial

Merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Desa

Wisata Pinge adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal

pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan.

3. Modal Simbolik

Merupakan kemampuan/kuasa untuk memberi nama atau mengkatagorisasi

khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa

Pakraman Pinge. Dengan memiliki modal ini, akan membawa

aktor/kelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah pariwisata di

Desa Pakraman Pinge.

Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif

memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi

memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai

motivator dan fasilitator, memerlukan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah

30!!

untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang

disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai

”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi

berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai

”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya

sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di

Desa Pakraman Pinge merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah

mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata

Pinge.

Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata

di Desa Pakraman Pinge, akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata

perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal.

Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada

memusatnya akumulasi modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan

memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, yaitu dari elit personal menuju elit

institusional.

5.3. Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional

Pengembangan Desa Wisata Pinge bertumpu pada dikonstruksinya sebuah

lembaga yang mampu mewadahi kepentingan berbagai stakeholder pariwisata di

Desa Pakraman Pinge. Untuk itu, diperlukan identifikasi para aktor, ranah

pariwisata dalam bentuk desa wisata yang dikembangkan, aspirasi para aktornya,

dan strategi bersama dalam transaksional modal yang adil.

1. Elit sebagai penggerak sekaligus penghambat

Untuk identifikasi aktor diperoleh data bahwa elit merupakan pendorong

utama sekaligus penghambat utama dalam penyelenggaraan pariwisata di

Desa Pakraman Pinge. Dikatakan penggerak utama karena elit mampu

menyediakan produk pariwisata perdesaan dan berhubungan dengan pihak

eksternal dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata Desa

Pakraman Pinge. Akan tetapi elit pulalah yang dikatakan sebagai penghambat

31!!

utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Realitas

historis perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge pasca ditetapkan

sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan

pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya

mambangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai

desa wisata versi para elit tersebut.

Dalam persaingan antar para elit ini, lembaga pariwisata formal yang ada

seperti Kelompok Sadar Wisata Desa Pinge dan Badan Pengelola Desa

Wisata Pinge dijadikan ajang unjuk kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata

relasi kontra produktif dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge,

ketika elit terlalu mendominasi dan masyarakat lokal hanya terbawa arus

dalam tarik-menarik kekuatan elit tersebut. Masyarakat lokal menjadi

disorientasi dan menjadi tidak termotivasi dalam merencanakan dan

mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan. Perlawanan masyarakat

lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan membangun kelompok

sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun faktanya, perlawanan

dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang diupayakan relatif gagal,

ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal maupun yang difasilitasi biro

perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi yang disediakan elit, karena

lebih baik dan memadai.

2. Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan

Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji

menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain

tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal

(ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) dalam pariwisata. Untuk

memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan

main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus

pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan

mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam

perencanaan dan pengembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hanya

32!!

segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan

mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari

tahap awal perkembangan Desa Wisata Pinge (fase embriotik) sampai saat ini

telah terjadi dominasi elit. Hal ini bisa dimengerti karena para elit inilah yang

memiliki habitus pariwisata berdasarkan trayektori sebelumnya, yang

memiliki lintasan ranah beragam sebelum pulang kembali dan menetap di

kampung halamannya kini. Ini berarti ketika Desa Pakraman Pinge ditetapkan

sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu

modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang

dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam

ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang

dominan dalam ranah Pariwisata di Desa Pakraman Pinge, namun para elit

tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya

untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Desa

Pakraman Pinge masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang

sebagai ranah pariwisata.

3. Aspirasi para aktor

Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge,

selain para elit (eksklusif dan inklusif), juga teridentifikasi adanya pengurus

desa adat, krama subak, dan kelompok-kelompok sosial berbasis ketrampilan

dan hobi lainnya (sekehe). Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di

luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge,

belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata.

Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata

Pinge ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata Pinge secara

produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan

memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir

kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata

dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa

33!!

kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan tetapi kemudian kalah bersaing

dengan akomodasi yang disediakan para elit.

Dapat dikatakan bahwa para aktor Pinge masih menjalankan siasatnya

masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan

Desa Wisata Pinge. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk

kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan

rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Tidak

ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah

pariwisata dalam bentuk desa wisata.

Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan

antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing.

Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi,

baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal,

tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang

dilakukan elit inklusif terutama dalam menghadapi ”serangan” elit eksklusif

di beberapa momentum ketika harus berhadapan di forum-forum baik formal

maupun informal di Desa Pakraman Pinge. Sementara elit eksklusif

menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya

dengan masyarakat lokal.

4. Strategi kolektif para aktor

Dengan kondisi seperti yang telah dideskripsikan tersebut, dapat dipahami

mengapa Desa Wisata Pinge seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang

berarti dalam konteks memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Keadaan

Quo vadis (mandeg) penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge

dikarenakan belum terciptanya habitus pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Untuk itu diperlukan upaya agar tercipta ranah pariwisata berbasis desa

wisata di Desa Pakraman Pinge.

a. Pemaknaan Desa Wisata Pinge sebagai sebuah ranah pariwisata

Desa Wisata Pinge harus dipandang sebagai ranah yang memberikan

kesempatan bagi semua aktor terutama masyarakat lokal agar

mendapatkan manfaat pariwisata. Dalam konteks ini, masyarakat lokal

34!!

mampu memperoleh modal ekonomi yang dibawa wisatawan,

mendapatkan modal sosial dengan terbukanya jaringan sosial dengan pihak

eksternal, modal budaya berupa perbaikan status sosial dan kesempatan

berprestasi, dan modal simbolik yang berkaitan dengan kapasitas sebagai

penafsir budaya lokal yang legitimit.

b. Dari siasat personal menjadi strategi kolektif

Ketika Desa Wisata Pinge dimaknai sebagai ranah pariwisata dan para

aktor bersepakat untuk bersinergi untuk menyelenggarakan pariwisata

berbasis budaya, yang diperlukan adalah memutus mata rantai saling siasat

menjadi saling manfaat. Memutus mata rantai tersebut dapat dilakukan

dengan cara membangun strategi bersama dalam rangka memperoleh

manfaat pariwisata secara adil.

c. Pelembagaan pariwisata berbasis kultural

Guna menjamin terselenggaranya Desa Wisata Pinge yang dapat

memberikan berbagai kontribusi atau manfaat terutama bagi masyarakat

lokal, dibutuhkan kelembagaan pariwisata. Lembaga tersebut merupakan

wadah kegiatan bersama bagi masyarakat lokal. Idealnya wadah yang

dibangun merupakan lembaga berbasis kultural yang ada di Desa

Pakraman Pinge.

5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis Kultural

Setelah mengetahui peran dan posisi elit dalam ranah pariwisata, hal

penting berikutnya adalah merekonstruksi kelembagaan pariwisata di Desa

Pakraman Pinge. Dikatakan rekonstruksi (konstruksi kembali) karena saat ini

telah ada lembaga pariwisata. Akan tetapi lembaga ini lebih bersifat formalitas

belaka karena hanya sekedar pelengkap sebagai konsekuensi dari penetapan Desa

Pakraman Pinge sebagai desa wisata. Di lembaga formalitas ini terlihat dominasi

elit dan mengikis potensi mayoritas masyarakat lokal untuk terlibat dalam

perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

Pelembagaan pariwisata dalam konteks ini dimaksudkan sebagai proses

kreasi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge dalam mengkonstruksi ruang

35!!

bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan

bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya.

Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis,

ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang

dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para

aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi

penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di

wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan

pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini

bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah

formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna

memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang

bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal.

Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di

Desa Pakraman Pinge.

Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi

dari elit personal menjadi elit institusional (inklusivitas elit). Transformasi ini

merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata

perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap

embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan

destinasi pariwisata perdesaan.

Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang

memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat

menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata.

Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini.

Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan

trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan

pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat

langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit

dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah

36!!

dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata,

juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi

partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam

ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena relatif tidak memiliki bekal

modal untuk dipertukarkan dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah

yang menjadikan pentingnya arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan

kapasitas masyarakat lokal dan menjadikan dominasi elit personal dapat

diminimalisasi.

Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal :

1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan

Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik

fisik maupun pemikiran (wacana). Semacam forum yang akan mengatasi

hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi

permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai

pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para

elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya

dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada

akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya

lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik

pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan

tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal

dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan

dengan modal pihak eksternal.

2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair

Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu

para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata

di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara

kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk

dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak

eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator

bagi pertukaran modal pariwisata yang adil.

37!!

5.5. Model

Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge

teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu

dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis

kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal

secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang

berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.

Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata

Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi

ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata

berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata

Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan

simbolik.

Fase embriotik perkembangan destinasi

pariwisata perdesaan

Elit pariwisata

Inklusifitas elit

Pelembagaan pariwisata berbasis

kultural

Masyarakat lokal

Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan

destinasi pariwisata perdesaan

Pihak eksternal: biro perjalanan wisata,

asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan

wisatawan

DESA WISATA

Gambar 3. Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan

38!!

2. Fase embriotik

Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam

tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini

karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan

sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya

baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama

kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal

untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat

lokal terhadap program pemerintah.

3. Elit pariwisata

Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa

Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga

sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit

pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu

dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai

penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat

lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah

dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran

para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan

pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi

yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman

Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan

mandeg di tahapan embriotik.

4. Lembaga pariwisata berbasis kultural

Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas

elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai

lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi.

Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya

dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan

menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor

39!!

pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam

struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi

sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial

pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk

menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler,

dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat

didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan

bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga

pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah

dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus

pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat

strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang

dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan

ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu

masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika

dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi

habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat

lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan

interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan

karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi

sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang

umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga

berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam

suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata

relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan

berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang

pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung

dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme

ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis

elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai

kelembagaan kultural pariwisata berbasis sekehe. Inilah yang dimaksud

40!!

sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting

dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan

dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan

menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya.

5. Partisipasi masyarakat lokal

Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan

pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan

bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan

adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai

sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis

pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam

penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata

seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata

berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena

karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat

lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata.

Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan

menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang

sosial Desa Pakraman Pinge.

6. Pihak eksternal

Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak

eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan

fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi

pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam

pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi

target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam

kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan

pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal

sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang

dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki

41!!

pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan

terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan

atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk

mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk

pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro

perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting

dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi

pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini

bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan

sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi

keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan

modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh

birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki

pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang

dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat

lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan

masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa

Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata

berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi

masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.

42!!

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

Dapat disimpulkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam

perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge

adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena

adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang

bagi titik temu dari aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan

kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural, karena lembaga tersebut

diupayakan untuk tidak bersifat eksternal dan eksklusif. Bersifat eksternal berarti

lembaga tersebut seolah berasal dari luar dan terlepas dari kerangka pemahaman

serta pemaknaan budaya masyarakat lokal. Sedangkan eksklusif mengandung

makna, ketika lembaga tersebut hanya dimiliki dan dimengerti oleh sebagian kecil

masyarakat yaitu elit (inklusif dan eksklusif). Dengan kata lain, lembaga ini akan

menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata

berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme

aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal.

Dengan demikian dibutuhkan lembaga pariwisata yang bersifat internal

dan inklusif sesuai dengan kultur masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar

masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan.

Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat

pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam

payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku

kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang

pembelajaran masyarakat dan dapur bagi produksi kebijakan pariwisata yang

diciptakan masyarakat lokal secara kolektif.

43!!

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris, 2004, Cultural Studies; Teori & Praktek, Kreasi Wacana, DIY

Briedenhann, J. & Wickens, E., 2004, Rural Tourism-Meeting the Challenges of

the New South Africa, International Journal of Tourism Research, 6: 189-

203.

Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of

Tourism Research, 26: 534-553

Davidson, Rob and Maitland, Robert, 1997, Tourism Destinations, Hodder &

Stoughton, London

Dogra, Ravinder and Gupta, Anil, 2012, Barriers to Community Participation in

Tourism Development: Empirical Evidence from a Rural Destination,

South Asian Journal of Tourism and Heritage, 5: 131-142

Fashri, Fauzi. 2104. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:

Jalasutra.

Garrod, B., Wilson, J.C., and Bruce, D.B., 2001, Planning for Marine Ecotourism

in the EU Atlantic Area: Good Practice Guidelines, Project Report,

University of the West of England, Bristol

Gunn, Clare A., 1994, Tourism Planning; Basics, Concepts, Cases, Taylor &

Francis, USA

Inskeep, E., 1991, Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development

Approach, Van Nostrand Reinhold, USA

Jenkins, C. L., 1982, The Effects Of Scale In Tourism Projects In Developing

Countries, Annals of Tourism Research, 9: 229-249

Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2: 7-21.

Leslie, David, 2012, Responsible Tourism; Concepts, Theory and Practice, CABI,

UK

Mowforth, Martin and Munt, Ian, 1998, Tourism and Sustainability; New Tourism

in the Third World, Routledge, New York

Murphy, Peter E., 1985, Tourism A Community Approach, Methuen, New York

Page, S. J. & Getz, D. (Eds.), 1997, The business of rural tourism: international

perspectives, International Thomson Business Press, London, Boston.

44!!

Pike, Steven, 2004, Destination Marketing Organisations, Elsevier, UK

Roberts, L. and Hall, D., 2004, Consuming the countryside: Marketing for rural

tourism, Journal of Vacating Marketing, 10: 253-263

Scheyvens, Regina, 2002, Tourism for Development; empowering communities,

Prentice Hall, England

Shah, Kishore and Gupta, Vasanti, 2000, Tourism, the Poor and Other

Stakeholders: Experience in Asia, The Russell Press, Nottingham

Telfer, Richard and Sharpley, David J., 2008, Tourism and Development in the

Developing World, Routledge, New York

Timothy, Dallen J., 1999, Participatory Planning; A View of Tourism in

Indonesia, Annals of Tourism Research, 26: 371-391

Timothy, Dallen J. and Boyd, Stephen W., 2003, Heritage Tourism, Pearson

Education, England

Tosun, Cevat, 2000, Limits to Community participation in the tourism

development process in developing countries. Tourism Management, 21:

613-633.

Tosun, Cevat and Timothy, Dallen J., 2003, Arguments for Community

Participation in the Tourism Development Process, The Journal Of

Tourism Studies, 14: 1-15

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan

Veal, A. J., 2006, Research Methods for Leisure and Tourism; A Practical Guide,

Pearson Education, England

WTO, 1998, Guide for Local Authorities on Developing Sustainable Tourism,

World Tourism Organization.

45!!

LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian

1. Ceklis kelengkapan instrumen

No. Kelengkapan Keterangan A. Panduan wawancara B. Panduan pengambilan gambar C. Alat rekam suara D. Kamera E. Laptop F. Charger G. Flashdisk H. Buku catatan I. Pulpen J. Map K. Buku harian

2. Panduan wawancara

Target: menggali informasi kondisi ruang dan ranah pariwisata, modal,

ekspektasi mengenai pariwisata, permasalahan yang dihadapi,

kearifan lokal, kelembagaan, dan jenis partisipasi masyarakat dalam

pengembangan pariwisata

A. Ranah atau ruang

- Kegiatan pariwisata yang sedang berlangsung

- Lembaga yang terlibat (masyarakat, pemerintah, swasta)

B. Komposisi modal

- Ekonomi (individu/kelompok dan trajektori)

- Budaya (individu/kelompok dan trajektori)

- Sosial (individu/kelompok dan trajektori)

- Simbolik (individu/kelompok dan trajektori)

C. Permasalahan yang dihadapi

- Etos (need for achievement, need for power, need for affiliation)

- Struktural (adat, kebijakan dinas, dan lain-lain)

D. Ekspektasi

- Manifes

46!!

- Laten

- Romantisme

- Futuristik

E. Kearifan lokal

F. Kelembagaan

- Ruang-ruang diskursif (formal dan informal)

- Mekanisme pengambilan keputusan

- Manajemen konflik

3. Catatan penelitian

Sumber Aspek Penekanan

Temuan/ Informasi

Kekurangan informasi Keterangan

4. Panduan pengambilan gambar

A. Narasumber

B. Infrastruktur

C. Suprastruktur

D. Lembaga/institusi

E. Kegiatan pariwisata

F. Kegiatan masyarakat

G. Lansekap

47!!

Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti

Ketua Peneliti

A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Made Adikampana, S.T., M.T. 2 Jenis Kelamin L/P 3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 4 NIP/NIK/No.Identitas lainnya 197702242001121002 5 NIDN 0024027704 6 Tempat dan Tanggal Lahir Negara, 24 Februari 1977 7 Alamat e-mail [email protected] 8 Nomor Telepon/HP 08123884484 9 Alamat Kantor Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar

10 Nomor Telepom/Faks. (0361) 223798 11 Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = 56 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 12 Mata Kuliah yang diampu 1. Geografi Pariwisata

2. Proses Perencanaan pariwisata 3. Perencanaan Kawasan Pariwisata 4. Perencanaan Destinasi Pariwisata 5. Pariwisata Berbasis Masyarakat

B. Riwayat Pendidikan Program S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi Institut Teknologi Nasional Bandung

Universitas Gadjah Mada

Universitas Udayana

Bidang Ilmu Teknik Planologi

Teknik Arsitektur Pariwisata

Pariwisata

Tahun Masuk - Lulus 1995 - 2001 2004 - 2006 2012 - Judul Skripsi/Tesis/Desertasi Identifikasi

Karakteristik Pedagang Kaki Lima dalam rangka Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung

Pariwisata Alam dan Peluang Pekerjaan bagi Masyarakat Lokal

-

Nama Pembimbing/Promotor Ir. Akhmad Setiobudi, M.Sc.

Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D.

-

48!!

C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)

1 2010 Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas di Atraksi Wisata Ceking

HB, DIKTI 46,5

2 2011 Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge

PDM, Unud 7,5

3 2013 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis

PUPT, DIKTI 62

4 2013 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Candi Dasa Provinsi Bali

HB, DIKTI 45

5 2014 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis

PUPT, DIKTI 64

6 2014 Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata Perdesaan

HB, DIKTI 48,75

* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber lainnya.

D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat

Pendanaan

Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)

1 2011 Penataan Kemitraan dan Kelembagaan Desa Wisata Tista Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan

DIPA, Unud 4

2 2012 Pengembangan Agrotourism Berbasis Ipteks Terpadu di Desa Lod Tunduh Kabupaten Gianyar

IbM, DIKTI 45

3 2013 Pengembangan Atraksi Agrowisata Terpadu Berbasis Ipteks

IbM, DIKTI 49

4 2014 IbM Desa Pakraman Pinge yang Menghadapi Permasalahan Pengembangan Produk Desa Wisata

IbM, DIKTI 43

* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI maupun dari sumber lainnya.

49!!

E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Analisis Dampak Budaya Pembangunan

Bandara Internasional Terhadap Masyarakat Sekitarnya

2/2, 2011 dwijenAGRO

2 Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge

12/1, 2012 Analisis Pariwisata

3 Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata (Sebagai manifestasi praktek dekonstruktif)

3/1, 2012 Jurnal Ilmiah Hospitality Management

4 Optimalisasi Kontribusi Pariwisata Ceking terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal

2/1, 2012 Jurnal Ilmiah Pariwisata

5 Tantangan Pengembangan Pariwisata di Daerah Pinggiran

5/1, 2014 Jurnal Ilmiah Hospitality Management

6 Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis

9/3, 2014 Jurnal Kepariwisataan Indonesia

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir No. Nama Pertemuan ilmiah/

Seminar Judul Artikel

Ilmiah Waktu dan

Tempat 1 Kegiatan Temu Karya Pengembangan

Kawasan Pariwisata Terpadu Pengintegrasian Pengembangan Pariwisata dalam Ekonomi Masyarakat Lokal

2010 Bali

2 Seminar Hasil-Hasil Penelitian 2011 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana

Kontribusi Pariwisata Ceking terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal

2011 Bali

3 Seminar Hasil-Hasil Penelitian Pariwisata Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia

Kajian Dampak Bandara terhadap Budaya Masyarakat

2012 Bali

4 Deseminasi Hasil-hasil Penelitian tahun 2013

Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata

2013 Bali

50!!

Candi Dasa Provinsi Bali

5 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014 Dampak Pariwisata Perdesaan bagi Masyarakat Lokal

2014 Bali

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul buku Tahun Jumlah

Halaman Penerbit

1 Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global

2010 xiv + 294 Udayana University Press

2 Pariwisata Kalimantan: Pemikiran & Perjalanan ke Jantung Borneo

2010 xiii + 155 Arsimedik Publisher

3 The Exellence Research Universitas Udayana 2011

2011 vii + 182 Udayana University Press

4 Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014

2014 xxviii + 1032 Udayana University Press

H. Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID - - - - -

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir

No. Judul/Tema/Jenis

Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah Diterapkan

Tahun Tempat Penerapan

Respon Masyarakat

1 Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

2012 Kabupaten Nunukan

Mendukung program

J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)

No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi

Penghargaan Tahun

1 Peneliti Muda Terbaik Tingkat Universitas Udayana Bidang Sosial

Unud 2010

51!!

Anggota Peneliti

A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap (dengan gelar) Dra Luh Putu Kerti Pujani M. Si. 2 Jenis Kelamin L/P 3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 4 NIP/NIK/No.Identitas lainnya 195708291986012001 5 NIDN 0029085708 6 Tempat dan Tanggal Lahir Gianyar, 29 Agustus 1957 7 Alamat e-mail [email protected] 8 Nomor Telepon/HP 0361290047/03618553655 9 Alamat Kantor Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar

10 Nomor Telepom/Faks. (0361) 223798 11 Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = 134 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 12 Mata Kuliah yang diampu 1.Antropologi Pariwisata

2.Metodologi 3.Sistem Pariwisata 4.Seminar dan Wisata Spiritual 5.Sosial Budaya Pariwisata

B. Riwayat Pendidikan Program S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana

Universitas Udayana

-

Bidang Ilmu Antropologi Kajian Budaya - Tahun Masuk - Lulus 1978 - 1984 1997 - 2000 - Judul Skripsi/Tesis/Desertasi Cerita Sutasoma

dalam Karya Seni Rupa I Gusti Nyoman Lempad (Suatu Usaha Pemahaman Transmisi Budaya dalam Kehidupan Komunitas Banjar Taman di Desa Ubud)

Pekerja Anak Pada Sektor Informal Penjual Post Card di Obyek Wisata Tanah Lot, Tabanan, Bali (Studi tentang Pemaknaan Kerja dalam Perspektif Budaya Kewiraswastaan)

-

Nama Pembimbing/Promotor Prof. Dr. I Gusti. Ngurah Bagus

Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA.

-

52!!

C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)

1 2010 Upaya dan Kendala Disparda Provinsi Bali dalam Pemulihan Pariwisata Pasca Bom Bali ( Suatu Tinjauan Kritis Kajian Budaya)

DIPA PNBP 7,5

2 2011 Desa Wisata Berbasis Masyarakat Sebagai Model Pemberdayaan Masyaraka di Desa Pinge

DIPA PNBP 7,5

3 2011 Pemetaan Kriminalitas Dan Upaya Antisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Wisatawan (Studi Tentang Bentuk Kejahatan di Wisata Kuta

Hibah Penelitian Unggulan Udayana

50

4 2013 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis

PUPT, DIKTI 62

5 2013 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Candi Dasa Provinsi Bali

HB, DIKTI 45

6 2014 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis

PUPT, DIKTI 64

7 2014 Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata Perdesaan

HB, DIKTI 48,75

* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber lainnya.

D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat

Pendanaan

Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)

1 2011 Manajemen Kelompok Elit Sebagai Aktor Penggerak Pengembangan Desa Wisata Pinge

DIPA PNBP 4

2 2014 IbM Desa Pakraman Pinge yang Menghadapi Permasalahan Pengembangan Produk Desa Wisata

IbM DIKTI 43

* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI maupun dari sumber lainnya.

E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Revitalisasi dalam Fluktuasi Vol. 24, No. 1 Mudra

53!!

Kesenian Reog Ponorogo Menuju Icon Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo

2009

2 Pemetaan Kriminalitas danUpaya Antisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Wisatawan (Studi Tentang Bentuk Kejahatan di Wilayah Pariwisata Kuta

Vol.7, No.1 2012

Jurnal Kepariwisataan Indonesia

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir No. Nama Pertemuan ilmiah/

Seminar Judul Artikel

Ilmiah Waktu dan

Tempat 1 Sosialisasi Renstra Fakultas

Pariwisata terhadap civitas akademika Fakultas Pariwisata

Renstra Fakultas Pariwisata Tahun 2010-2014.

Fakultas Pariwisata, 2010

2 Penceramah dalam pembekalan metodologi kualitatif kepada peserta “Penelitian Lapangan I” di Jember dan Bromo

Prosedur kerja penelitian kualitatif

PS. Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata, 2011

3 Penceranah dalam pembekalan metodologi kualitatif kepada peserta “Penelitian Lapangan I” di kawasan wisata Senggigi dan Gili Trawangan Lombok.

Prosedur kerja penelitian kualitatif (teknik wawancara mendalam dan pedoman wawancara)

PS. Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata 2012

4 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014

Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis

2014 Bali

5 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014

Dampak Pariwisata Perdesaan bagi Masyarakat Lokal

2014 Bali

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul buku Tahun Jumlah

Halaman Penerbit

1 Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global

2010 xiv + 294 Universitas Udayana Press

2 Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014

2014 xxviii + 1032

Udayana University Press

H. Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID - - - - -

54!!

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir

No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah Diterapkan Tahun Tempat

Penerapan Respon

Masyarakat - - - - -

J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)

No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun

- - - - Lampiran 3. Publikasi

A. Artikel di Senastek 2015 (sudah dilaksanakan)

TIPOLOGI ELIT DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA PERDESAAN

Abstrak

Tantangan dalam pengembangan pariwisata perdesaan adalah adanya keterbatasan struktural yang berupa dominasi elit dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi tipologi elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan. Pengembangan Desa Wisata Pinge di Tabanan, Bali digunakan sebagai studi kasus. Data dikumpulkan dengan observasi dan wawancara terhadap beberapa informan diantaranya tokoh masyarakat lokal, kelompok sadar wisata (pokdarwis), dan badan pengelola desa wisata. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis untuk menentukan karakteristik elit pariwisata perdesaan. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa pengembangan Desa Wisata Pinge berada dalam fase baru berkembang. Pada fase tersebut, keberadaan elit memberikan dampak yang berarti bagi pengembangan pariwisata perdesaan. Terdapat dua tipe elit dalam ranah pariwisata perdesaan, yaitu elit inklusif dan elit eksklusif. Elit inklusif memiliki karakter : partisipatif, visioner, orientasi pada pengembangan pariwisata skala kecil, dan legitimatif. Sedangkan elit eksklusif bercirikan sebaliknya : dominatif, pragmatis, orientasi pada pengembangan pariwisata berskala besar, dan non-legitimatif. Kata kunci: tipologi, elit, pariwisata perdesaan, inklusif, eksklusif

Abstract

The challenge in the development of rural tourism is the existence of structural limitation in the form of elite domination in decision-making and sharing the benefits of tourism. The research addressed to construct the elite typology in the practices of rural tourism development. The development of Pinge Village as a rural tourism destination in Tabanan, Bali is utilized as a case study. Data collected by observation and interviews with several informants including local community figure, tourism awareness group (pokdarwis), and rural tourism management board. The data analyzed descriptively to

55!!

determine the characteristics of rural tourism elite. Result of such analysis indicated that the developments of rural tourism in Pinge Village are in a new phase or early stage. In this stage, the presences of the elite contribute a significant impact for the development of rural tourism. There are two types of the elite in the development of rural tourism, specifically the inclusive and exclusive elite. The inclusive elite has character: participative, visionary, small-scale tourism oriented, and legitimate. While the exclusive elite characterized by conversely: dominative, pragmatic, large-scale tourism oriented, and non-legitimate. Keywords: typology, elite, rural tourism, inclusive, exclusive

1. PENDAHULUAN

Masyarakat lokal merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi

pariwisata. Integrasi masyarakat lokal dalam destinasi pariwisata dimaksudkan

untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan

berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi

dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam

destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam sebuah sistem

(produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi

dengan industri lain dan masyarakat lokal. Begitu pentingnya peran masyarakat

lokal dalam keberlanjutan pengembangan destinasi pariwisata telah mendorong

munculnya tren baru pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat. Oleh

Tosun dan Timothy (2003) ditegaskan bahwa aspek penting dalam pariwisata

berkelanjutan adalah penekanan kepada pariwisata berbasis masyarakat lokal.

Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi masyarakat lokal dalam

perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata. Melalui partisipasi

masyarakat, pariwisata secara langsung dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat lokal. Dengan adanya manfaat inilah penerimaan, dukungan, dan

toleransi masyarakat lokal terhadap pariwisata akan tumbuh dengan optimal.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal posisinya sangat

strategis dan setara dengan pengambil keputusan lainnya dalam menjamin

keberlanjutan destinasi pariwisata (Telfer dan Sharpley, 2008; Timothy dan

Tosun, 2003).

Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan

destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam

56!!

perencanaan ditengarai menjadi tantangan dan hambatan pengembangan destinasi

pariwisata berkelanjutan. Scheyvens (2002) menyebutkan ada dua tantangan

terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat lokal. Pertama, pada kenyataannya

masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata terbagi ke dalam berbagai faksi

atau golongan yang saling mempengaruhi berdasarkan kelas masyarakat (kasta),

gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya saling menyatakan paling memiliki

atau mempunyai hak istimewa atas keberadaan sumber daya pariwisata. Golongan

elit masyarakat lokal tertentu sering berada dalam posisi mendominasi

pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat, lalu memonopoli pembagian atau

penerimaan manfaat pariwisata (Mowforth dan Munt, 1998). Tantangan kedua

adalah permasalahan internal dalam mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi

pembangunan masyarakat lokal. Masyarakat lokal pada umumnya tidak cukup

punya informasi, sumber daya, dan kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai

pengambil keputusan lainnya dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata,

sehingga masyarakat lokal rentan terhadap eksploitasi. Selain tantangan yang

sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pengembangan pariwisata berbasis

masyarakat lokal juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan. Tosun (2000)

mengidentifikasi tiga hambatan dalam pembangunan pariwisata berbasis

masyarakat. Pertama, keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini

adalah sentralisasi administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya

informasi pariwisata. Kedua, keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku

pariwisata, terbatasnya tenaga ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang

belum tepat, sedikitnya jumlah sumber daya manusia (SDM) terlatih, dan minim

akses ke sumber modal/finansial. Ketiga keterbatasan kultural, yaitu : kurangnya

kapasitas terutama pada masyarakat miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran

pariwisata masyarakat lokal.

Berbagai permasalahan tersebut juga teramati di sebuah desa adat yaitu

Desa Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.

Desa Pakraman Pinge pada tahun 2004 telah ditetapkan sebagai desa wisata atau

destinasi pariwisata di wilayah perdesaan. Penetapan ini didasarkan bahwa Desa

Pakraman Pinge mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial.

57!!

Morfologi desa tradisional, bentang alam, tinggalan budaya, dan tradisi

masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu Desa

Pakraman Pinge telah dikunjungi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara

yang berasal dari Eropa. Akan tetapi kebanyakan wisatawan tersebut hanya

sebatas transit sebelum atau setelah mengunjungi daya tarik wisata lainnya yang

terdapat di sekitar Desa Pakraman Pinge. Ini terjadi karena selama ini Desa

Pakraman Pinge merupakan jalur perjalanan wisata, terutama wisatawan

bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen.

Adanya penetapan Desa Wisata Pinge sebagai destinasi pariwisata

perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal. Akan tetapi kemudian, muncul

kecenderungan elit yang mendominasi perencanaan serta implementasi program,

dan selanjutnya memonopoli pembagian manfaat pengembangan Desa Wisata

Pinge. Munculnya fenomena elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan

seperti kasus yang teramati di Desa Wisata Pinge, disebabkan oleh

ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata sebagai

strategi pembangunan masyarakat perdesaan. Disamping itu, dominasi elit

tersebut juga didukung oleh masih minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam

pengembangan pariwisata perdesaan. Untuk itu, penelitian ini dilakukan dengan

tujuan untuk menemukan tipologi elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan.

Temuan tentang tipologi elit pariwisata perdesaan dapat memberikan ilustrasi

tentang karakteristik dan implikasi yang ditimbulkannya dalam pengembangan

pariwisata perdesaan.

2. BAHAN DAN METODE

Penelitian tentang tipologi elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan

mengambil kasus di Desa Wisata Pinge. Penelitian ini menggunakan pendekatan

interpretatif, naturalistik agar lebih bisa memahami makna suatu fenomena

(tindakan, keputusan, keyakinan, nilai) dalam realitas sosial tertentu (Snape dan

Spencer, 2003). Fenomena yang diinterpretasi adalah adanya elit yang

mendominasi pengembangan pariwisata perdesaan.

58!!

Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.

Data primer dikumpulkan dengan teknik observasi dan wawancara terhadap

beberapa tokoh masyarakat lokal baik dinas maupun adat, pokdarwis, dan badan

pengelola desa wisata. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan informasi

komprehensif mengenai proses perencanaan pengembangan pariwisata perdesaan.

Selain data primer, sumber data juga berasal dari data sekunder yang dihasilkan

dari survei kelembagaan. Semua data yang terkumpul kemudian dikelompokkan

sesuai dengan tujuan penelitian dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

3. HASIL

Penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata atau destinasi

pariwisata perdesaan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Tabanan No. 337

Tahun 2004. Namun penetapan tersebut, tidak serta diimbangi dengan rangkaian

program pengembangan, baik oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan maupun

masyarakat lokal sendiri. Hal ini mengakibatkan Desa Wisata Pinge yang

ditargetkan sebagai salah satu destinasi pariwisata perdesaan unggulan di Bali

tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pasar dan juga para pelaku industri

pariwisata. Keadaan kemudian berubah ketika pada tahun 2011, muncul inisiatif

dari beberapa masyarakat setempat untuk membangun produk desa wisata.

Sejumlah masyarakat ini merupakan pensiunan yang memiliki pengalaman

terutama di pemerintahan dan pariwisata. Masyarakat lokal dengan inisiasi

pensiunan tersebut, mulai mengadakan program penataan desa, memfungsikan

beberapa tempat tinggal sebagai homestay, pemberdayaan perempuan melalui

kelompok kuliner Merta Dewi, dan menentukan jalur-jalur jelajah desa.

Selanjutnya pada tahun 2012 dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata Pinge sesuai

dengan keputusan adat Desa Pakraman Pinge. Badan ini diberikan mandat untuk

mengontrol perencanaan dan pengembangan Desa Wisata Pinge.

Berdasarkan kronologis perkembangan pariwisata perdesaan di Desa

Pakraman Pinge tersebut, dapat dikatakan bahwa telah terjadi kevakuman

pengembangan Desa Wisata Pinge selama tujuh tahun, yaitu antara tahun 2004

sampai dengan 2011. Kekosongan yang ada, relatif mulai terisi dengan beberapa

59!!

program pengembangan yang bersumber dari inisiatif sejumlah masyarakat lokal

yang berlatar pensiunan. Dengan menginisiasi pengembangan produk desa wisata

telah menjadikan pensiunan tersebut memiliki peran sentral dalam perkembangan

pariwisata perdesaan. Sedangkan masyarakat lokal lainnya yang menjadi

mayoritas hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Fenomena ini kemudian

menjustifikasi jenis partisipasi masyarakat lokal dalam perkembangan Desa

Wisata Pinge dan juga mengarahkan kepada konsep elit pariwisata perdesaan

(Adikampana et al., 2014).

4. PEMBAHASAN

Desa Pakraman Pinge dapat dipahami sebagai sebuah ruang sosial yang

terdiri dari beragam ranah yang eksis di dalamnya, termasuk ranah pariwisata

perdesaan yaitu desa wisata. Konsepsi tentang ruang sosial dan ranah dalam

konteks ini, berangkat dari pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, yang

mendefinisikan ruang sosial sebagai keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial.

Konsepsi ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang) yang di

dalamnya terdiri dari beragam ranah yang memiliki keterkaitan dan berhubungan

satu dengan yang lainnya. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur

posisi individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut

individu maupun kelompok untuk memiliki sumber daya atau modal agar dapat

bertahan hidup dalam relasi sosial atau bermasyarakat. Dengan kata lain, modal

dapat menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam ruang sosial

dan ranah. Konsep ranah dan modal tidak dapat dilepaskan dari konsep habitus.

Secara sederhana, habitus dapat disebut dengan kebiasaan-kebiasaan yang

mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang. Habitus mengacu pada

sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur

objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial

yang berada di dalam suatu ranah (Mahar et al., 2005).

Keberadaan ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ditandai dengan

penetapan desa adat tersebut sebagai desa wisata oleh pemerintah daerah pada

tahun 2004. Akan tetapi selama tujuh tahun semenjak ditetapkannya status

60!!

tersebut, dapat dikatakan belum terdapat aktivitas desa wisata yang berarti.

Kevakuman aktivitas Desa Wisata Pinge relatif terisi ketika muncul inisiatif

individu atau kelompok dalam masyarakat lokal yang mulai mengembangkan

produk desa wisata. Mereka yang memiliki kapasitas tersebut pada umumnya

merupakan pensiunan, baik di birokrasi pemerintah ataupun pekerja swasta,

khususnya yang terkait dengan industri pariwisata. Sesuai dengan latar belakang

profesinya tersebut, pensiunan memiliki banyak pengalaman dan kemampuan

dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan dan juga kepentingan. Dengan

mempelopori pengembangan produk desa wisata telah menjadikan pensiunan

tersebut memiliki peran sentral dalam perkembangan Desa Wisata Pinge,

sehingga posisinya sangat strategis dalam ranah pariwisata perdesaan. Posisi

strategis dalam konteks ini mempunyai makna sangat menentukan dinamika

perkembangan Desa Wisata Pinge. Fenomena ini kemudian menjadi basis

konsepsi elit pariwisata perdesaan.

Sebagian besar pola mata pencaharian masyarakat di Desa Pakraman

Pinge adalah sebagai petani. Akan tetapi, profesi ini lebih banyak digeluti oleh

generasi tua. Sedangkan generasi mudanya mulai meninggalkan pekerjaan agraris

tersebut. Kebanyakan masyarakat lokal berusia produktif mencari peruntungan di

wilayah perkotaan, mengisi kesempatan pekerjaan di sektor formal ataupun

informal. Ketika para kaum urban Desa Pakraman Pinge ini telah memasuki masa

pensiun, sesuai dengan kebiasaan di Bali, umumnya akan pulang kembali ke desa

asalnya. Para pensiunan dengan segala yang diperoleh selama merantau, akan

berpeluang menduduki posisi sebagai elit dalam berbagai ranah di Desa

Pakraman Pinge, termasuk juga dalam ranah pariwisata perdesaan.

Kapasitas inilah yang digunakan untuk mengambil peran dalam ranah

pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

terjadinya kevakuman aktivitas desa wisata disebabkan oleh belum adanya

kemampuan masyarakat lokal non-elit dalam menyelenggarakan pariwisata

perdesaan. Ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa ketika para elit menjadi

pionir pengembangan produk desa wisata, wisatawan mulai berkunjung secara

reguler ke Desa Wisata Pinge. Di sisi lain, para elit juga terlibat dalam

61!!

pembentukan kelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, baik kelompok

sadar wisata (pokdarwis) maupun badan pengelola desa wisata. Tampak dari

komposisi kepengurusannya, para elit ini menduduki berbagai posisi penting

dalam pengambilan keputusan. Ketika para elit berposisi dalam pengambilan

keputusan pariwisata, maka kesempatan untuk memperoleh manfaat pariwisata

pun akan semakin besar.

Perjalanan elit hingga mencapai posisi strategis dalam ranah pariwisata di

Desa Pakraman Pinge ditempuh dengan memaksimalkan habitus yang dimiliki

dan mengakumulasi beragam jenis modal yang tersedia dalam ranah, sehingga

memproduksi praktik pariwisata yang mendukung posisinya sebagai elit

pariwisata perdesaan. Praktik pariwisata yang terjadi dalam ranah pariwisata

perdesaan tersebut berupa memanfaatkan tempat tinggal sebagai homestay,

pembentukan lembaga pengelola pariwisata, menarik bantuan dan bekerjasama

dengan pihak eksternal untuk pengembangan pariwisata, serta berdiskusi formal

maupun informal bertema pariwisata. Dengan memiliki habitus yang relatif kaya

dan kepemilikan modal yang relatif lengkap, menjadikan posisi para elit berada

dalam poros strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan

demikian individu atau kelompok lain (non-elit) cenderung untuk mendekat

kepada salah satu elit untuk dapat melengkapi modal, sehingga dapat

berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata perdesaan.

Dengan mengelaborasi batasan tentang elit pariwisata perdesaan dan

temuan empiris lainnya, maka dapat ditentukan tipologi elit dalam ranah

pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Terdapat dua tipe elit dalam pengembangan

pariwisata perdesaan, yaitu elit inklusif dan elit eksklusif. Karakteristik masing-

masing elit dapat diamati dalam tabel berikut :

Tabel 1. Tipologi Elit Pariwisata Perdesaan

Elit Inklusif Elit Eksklusif Partisipatif Dominatif Visioner Pragmatis Legitimatif Non-legitimatif Sumber : Analisis, (2014)

62!!

4.1 Elit Inklusif

Elit inklusif memiliki sifat yang bisa diamati dari praktik pariwisatanya

dalam ranah pariwisata perdesaan. Dengan habitus dan ditopang oleh kelengkapan

modal yang dimilikinya, menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat non-elit

lainnya untuk bergabung mengikuti elit ini. Tentu saja relasi yang terjadi

cenderung bersifat dominatif. Hal tersebut dapat dipahami ketika elit memiliki

kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata perdesaan di Desa Pakraman

Pinge. Akan tetapi ada kekhasan gaya elit ini dalam menjalin relasi dengan

kelompok non-elit. Pada elit dengan tipe inklusif memiliki strategi khusus dalam

menjaga posisi sosialnya. Strategi tersebut dapat diamati dengan melihat relasi

yang dibangun dengan kalangan non-elit.

- Partisipatif

Elit inklusif memiliki kemampuan mengorganisir khalayak untuk

berpartisipasi dalam pariwisata perdesaan. Selain memiliki keinginan untuk

melibatkan masyarakat lokal, juga memiliki kemampuan untuk memberi

keteladanan sikap dan perilaku. Dapat dikatakan relasi yang terjadi khas

agraris, yaitu patron-client. Elit sebagai patron memposisikan diri sebagai

tempat bertanya dan memberikan arahan kepada masyarakat non-elit atau

client. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, elit inklusif

mengajak masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengembangan produk desa

wisata dan juga sebagai pengurus kelembagaan desa wisata.

- Visioner

Elit inklusif memiliki visi pengembangan pariwisata perdesaan berskala kecil.

Dalam artian target pasarnya adalah wisatawan berkualitas, fasilitas yang

dibangun tidak bertentangan dengan tradisi dan budaya lokal, dan terbina

interaksi yang intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal.

- Legitimatif

Elit inklusif memiliki basis legitimasi yang relatif kuat di ruang sosial Desa

Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dalam proses pemilihan pimpinan adat

(bendesa). Walaupun elit ini tidak mencalonkan diri dan hanya memposisikan

diri sebagai panitia pemilihan, tetapi pada akhirnya justru masyarakat

63!!

menghendaki elit ini untuk menjadi bendesa. Fenomena ini mengindikasikan

adanya dukungan yang kuat dari masyarakat lokal terhadap elit inklusif.

4.2 Elit Eksklusif

Elit eksklusif mempunyai habitus khas berdasarkan rekam jejak yang

dilalui untuk sampai pada posisi sekarang. Elit ini berlatar belakang mantan

birokrasi dan pernah menduduki jabatan penting pemerintahan. Birokratisme

menjadi salah satu karakter yang ada dalam elit eksklusif ini :

- Dominatif

Birokratisme menjadi paham yang melekat pada elit eksklusifi, sehingga

memiliki sifat mendominasi penyelenggaraan pariwisata perdesaan di Desa

Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dengan memonopoli jaringan relasi

yang dimilikinya dengan pihak luar, terutama dalam konteks pencarian

bantuan atau hibah dari pemerintah maupun swasta untuk membangun produk

desa wisata. Masyarakat lokal relatif tidak mengetahui proses bantuan

tersebut dan hanya menyaksikan dan mengikuti ketika pembangunan tersebut

berlangsung.

- Pragmatis

Ketidaktransparanan dalam proses pengambilan keputusan dan cenderung

bertindak sendiri, menjadikan elit eksklusif bercirikan pragmatis. Selama

jaringan sosial yang dimilikinya mampu mendatangkan keuntungan untuk

mempertahankan posisi dominatifnya, maka jaringan tersebut akan

dipertahankan, demikian juga sebaliknya. Kekurangpedulian terhadap

pelibatan masyarakat lokal dalam pariwisata di Desa Pakraman Pinge,

menjadikan elit ekslusif terjebak dalam tuduhan pragmatis. Selain itu, visi elit

ini tentang pariwisata perdesaan cenderung berskala besar, artinya produk

desa wisata yang dikembangkan diharapkan dapat menarik jumlah kunjungan

yang sebesar-besarnya.

- Non-legitimatif

Dengan karakter demikian, elit eksklusif memiliki basis legitimasi yang

relatif lemah. Hal ini juga ditunjukkan dalam konteks pemilihan bendesa.

64!!

Ketika elit ini ikut mencalonkan diri, namun akhirnya mengalami kekalahan

dan seperti telah disebutkan sebelumnya, yang terpilih justru elit inklusif yang

tidak mencalonkan diri.

5. KESIMPULAN

Kemunculan elit dalam ranah pariwisata perdesaan di Desa Pakraman

Pinge diawali dari adanya kevakuman pengembangan setelah penetapannya

sebagai desa wisata. Disebut elit karena memiliki pengalaman dan kemampuan

membangun relasi guna mengisi kevakuman dengan mempelopori pengembangan

produk desa wisata. Dengan status sebagai pionir menjadikan elit memiliki peran

sentral dan posisinya sangat strategis dalam ranah pariwisata perdesaan. Posisi

strategis mempunyai makna sangat menentukan dinamika perkembangan

pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Berdasarkan batasan elit tersebut,

diketahui ada dua tipe elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan, yaitu elit

inklusif dan elit eksklusif. Kedua elit ini mempunyai karakteristik yang khas dan

masing-masing mampu memberikan pengaruh berbeda dalam pengembangan

pariwisata perdesaan. Adanya dualisme elit dalam penyelenggaraan pariwisata

perdesaan ini, berpeluang menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan

menyimpan potensi konflik. Dengan demikian sangat penting merumuskan model

dualitas elit yang mampu mensinergikan kedua kekuatan elit tersebut dalam

pengembangan pariwisata perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Adikampana, I M., L.P.K. Pujani, dan S. Nugroho. 2014. Dampak Pariwisata

Perdesaan Bagi Masyarakat Lokal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan

Teknologi 2014. Denpasar. Universitas Udayana. 975-978.

Fashri, F. 2014. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Cetakan Pertama.

Jalasutra. Yogyakarta.

Mahar, C., R. Harker, dan C. Wilkes 2005. Posisi Teoretis Dasar. Dalam An

Introduction to the Work of Pierre Bourdiue: The Practice Theory. Editor

R. Harker, C. Mahar, dan C. Wilkes. Macmillan. London. Terjemahan

65!!

Pipit Maizier. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik : Pengantar

Paling Kompeherensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Cetakan

Pertama. Jalasutra. Yogyakarta.

Mowforth, M. dan I. Munt. 1998. Tourism and Sustainability; New Tourism in the

Third World. Routledge. London.

Scheyvens, R. 2002. Tourism for Development; empowering communities.

Pearson Education Limited. Harlow.

Snape, D. dan L. Spencer. 2003. The Foundations of Qualitative Research. Dalam

Qualitative Research Practice; A Guide for Social Science Students and

Researchers. Editor J. Ritchie and J. Lewis. Sage Publications. London.

Telfer, D.J. dan R. Sharpley. 2008. Tourism and Development in the Developing

World. Routledge. London.

Timothy, D.J. dan C. Tosun. 2003. Appropriate Planning for Tourism in

Destination Communities: Participation, Incremental Growth and

Collaboration. Dalam Tourism in Destination Communities. Editor S.

Singh, D.J. Timothy, dan R.K. Dowling. CABI Publishing. Wallingford.

Tosun, C. 2000. Limits to Community participation in the tourism development

process in developing countries. Tourism Management. 21(6): 613-633.

Tosun, C. dan D.J. Timothy. 2003. Arguments for Community Participation in the

Tourism Development Process. The Journal Of Tourism Studies 14(2): 1-

15

B. Artikel di Asia Pacific Journal of Tourism Research (draft)

A MODEL OF INTEGRATION LOCAL COMMUNITIES IN THE PLANNING OF RURAL TOURISM

ABSTRAK

Tulisan ini membahas model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan dengan adanya model ini dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata perdesaan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata perdesaan akan tumbuh dalam suatu lembaga yang berbasis kultural. Model lembaga pariwisata berbasis kultural ini menjadi penting karena

66!!

merupakan proses negosiasi masyarakat lokal secara historis terhadap perkembangan pariwisata. Kata-kata kunci : masyarakat lokal, pariwisata perdesaan, perencanaan, model lembaga

kultural

PENGANTAR

Masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi pariwisata.

Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata dimaksudkan

untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan untuk

berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi

dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam

destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam sustu sistem

(produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi

dengan industri lain termasuk masyarakat lokal. Sehingga dapat dikatakan

masyarakat lokal posisinya sangat strategis dan setara dengan pengambil

keputusan lainnya (stakeholders) dalam pengembangan destinasi pariwisata

berkelanjutan.

Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan

destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam

perencanaan ditengarai menjadi salah satu batu sandungan pengembangan

destinasi pariwisata berkelanjutan. Permasalahan tersebut juga teramati di Desa

Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Desa

Pakraman Pinge telah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata unggulan di wilayah

perdesaan. Penetapan ini bukan tanpa alasan, karena Desa Pakraman Pinge

mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial. Morfologi desa

tradisional, bentang alam (landscape), tinggalan budaya, dan kehidupan

masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu, Desa

Pakraman Pinge menjadi jalur perjalanan wisata. Selama ini sudah ada wisatawan

mancanegara terutama yang berasal Eropa yang menikmati produk pariwisata di

Desa Pakraman Pinge. Umumnya, para wisatawan tersebut menikmati Desa

Pakraman Pinge dengan bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen (VW).

67!!

Berdasarkan studi pendahuluan, adanya penetapan Desa Pakraman Pinge

sebagai destinasi pariwisata perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal.

Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit masyarakat desa mendominasi

perencanaan serta implementasi program dan selanjutnya memonopoli pembagian

manfaat pariwisata Desa Pakraman Pinge. Kecenderungan ini lebih disebabkan

oleh ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata

sebagai strategi pengembangan masyarakat perdesaan dan masih minimnya

keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata serta sentralisasi

program pengembangan pariwisata oleh pemerintah. Untuk itu sangat penting

dilakukan kajian yang merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam

perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan dengan adanya model ini

dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan

dan pembagian manfaat pengembangan pariwisata perdesaan.

POSISI STRATEGIS ELIT DALAM RANAH PARIWISATA PINGE

Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Desa

Wisata Pinge yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut

berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Desa

Pakraman Pinge menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan

pensiunan yang pulang kampung, sehingga dianggap memiliki pengalaman

berdasarkan karir yang ditempuh sebelumnya. Dengan pengalamannya tersebut,

elit ini memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata di Desa Pakraman

Pinge. Terlebih lagi dari elit ini terdapat pensiunan birokrasi pemerintahan dan

manajer hotel bintang lima di Kawasan Pariwisata Sanur. Dapat dikatakan para

elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor

penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata (seperti : wisatawan, biro

perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah,

perguruan tinggi) dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal.

Dari dua tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Desa Pakraman

Pinge yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki

karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktor/kelompok aktor yang

68!!

mengakumulasi modal dalam Desa Wisata Pinge atau dapat disebut dengan ranah

pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk

berbagi modal dengan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata

Pinge. Hal ini dapat dimengerti karena elit eksklusif berasal dari pensiunan

pejabat birokrasi pemerintah, sehingga dengan trayektorinya tersebut

menghasilkan habitus khas. Terbiasa memerintah kelompok yang dianggap

bawahan dan hanya patuh kepada kelompok yang dianggap atasan. Kelompok elit

eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan,

sehingga relasi sosial yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah-

diperintah”. Dengan kata lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron-

client, dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan

pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan elit

inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan

pengalaman. Kalangan ini berasal dari pensiunan kaum profesional swasta

terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki habitus khas pula yaitu

bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut

mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai

kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja

dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga

menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair

dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan

versi birokrat tetapi pertemanan (partner). Kedua elit pariwisata Pinge memiliki

persamaan dalam konteks kepemilikan modal :

1. Modal Budaya

Merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal (melalui institusi

pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang

tertentu), maupun kultural (sebagai tokoh masyarakat).

2. Modal Sosial

Merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Desa

Wisata Pinge adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal

pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan.

69!!

3. Modal Simbolik; merupakan kemampuan/kuasa untuk memberi nama atau

mengkatagorisasi khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata

perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Dengan memiliki modal ini, akan

membawa aktor/kelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah

pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif

memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi

memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai

motivator dan fasilitator, memerlukan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah

untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang

disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai

”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi

berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai

”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya

sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di

Desa Pakraman Pinge merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah

mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata

Pinge.

Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata

di Desa Pakraman Pinge, akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata

perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal.

Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada

memusatnya akumulasi modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan

memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, yaitu dari elit personal menuju elit

institusional.

INKLUSIVITAS ELIT; Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional

Pengembangan Desa Wisata Pinge bertumpu pada dikonstruksinya sebuah

lembaga yang mampu mewadahi kepentingan berbagai stakeholder pariwisata di

Desa Pakraman Pinge. Untuk itu, diperlukan identifikasi para aktor, ranah

70!!

pariwisata dalam bentuk desa wisata yang dikembangkan, aspirasi para aktornya,

dan strategi bersama dalam transaksional modal yang adil.

1. Elit sebagai penggerak sekaligus penghambat

Untuk identifikasi aktor diperoleh data bahwa elit merupakan pendorong

utama sekaligus penghambat utama dalam penyelenggaraan pariwisata di

Desa Pakraman Pinge. Dikatakan penggerak utama karena elit mampu

menyediakan produk pariwisata perdesaan dan berhubungan dengan pihak

eksternal dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata Desa

Pakraman Pinge. Akan tetapi elit pulalah yang dikatakan sebagai penghambat

utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Realitas

historis perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge pasca ditetapkan

sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan

pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya

mambangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai

desa wisata versi para elit tersebut. Dalam persaingan antar para elit ini,

lembaga pariwisata formal yang ada seperti Kelompok Sadar Wisata Desa

Pinge dan Badan Pengelola Desa Wisata Pinge dijadikan ajang unjuk

kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata relasi kontra produktif dalam ranah

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ketika elit terlalu mendominasi dan

masyarakat lokal hanya terbawa arus dalam tarik-menarik kekuatan elit

tersebut. Masyarakat lokal menjadi disorientasi dan menjadi tidak termotivasi

dalam merencanakan dan mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan.

Perlawanan masyarakat lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan

membangun kelompok sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun

faktanya, perlawanan dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang

diupayakan relatif gagal, ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal

maupun yang difasilitasi biro perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi

yang disediakan elit, karena lebih baik dan memadai.

2. Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan

Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji

menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain

71!!

tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal

(ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) dalam pariwisata. Untuk

memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan

main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus

pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan

mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam

perencanaan dan pengembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hanya

segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan

mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari

tahap awal perkembangan Desa Wisata Pinge (fase embriotik) sampai saat ini

telah terjadi dominasi elit. Hal ini bisa dimengerti karena para elit inilah yang

memiliki habitus pariwisata berdasarkan trayektori sebelumnya, yang

memiliki lintasan ranah beragam sebelum pulang kembali dan menetap di

kampung halamannya kini. Ini berarti ketika Desa Pakraman Pinge ditetapkan

sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu

modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang

dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam

ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang

dominan dalam ranah Pariwisata di Desa Pakraman Pinge, namun para elit

tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya

untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Desa

Pakraman Pinge masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang

sebagai ranah pariwisata.

3. Aspirasi para aktor

Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge,

selain para elit (eksklusif dan inklusif), juga teridentifikasi adanya pengurus

desa adat, krama subak, dan kelompok-kelompok sosial berbasis ketrampilan

dan hobi lainnya (sekehe). Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di

72!!

luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge,

belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata.

Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata

Pinge ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata Pinge secara

produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan

memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir

kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata

dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa

kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan tetapi kemudian kalah bersaing

dengan akomodasi yang disediakan para elit.

Dapat dikatakan bahwa para aktor Pinge masih menjalankan siasatnya

masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan

Desa Wisata Pinge. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk

kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan

rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Tidak

ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah

pariwisata dalam bentuk desa wisata.

Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan

antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing.

Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi,

baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal,

tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang

dilakukan elit inklusif terutama dalam menghadapi ”serangan” elit eksklusif

di beberapa momentum ketika harus berhadapan di forum-forum baik formal

maupun informal di Desa Pakraman Pinge. Sementara elit eksklusif

menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya

dengan masyarakat lokal.

4. Strategi kolektif para aktor

Dengan kondisi seperti yang telah dideskripsikan tersebut, dapat dipahami

mengapa Desa Wisata Pinge seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang

berarti dalam konteks memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Keadaan

73!!

Quo vadis (mandeg) penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge

dikarenakan belum terciptanya habitus pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Untuk itu diperlukan upaya agar tercipta ranah pariwisata berbasis desa

wisata di Desa Pakraman Pinge.

a. Pemaknaan Desa Wisata Pinge sebagai sebuah ranah pariwisata

Desa Wisata Pinge harus dipandang sebagai ranah yang memberikan

kesempatan bagi semua aktor terutama masyarakat lokal agar

mendapatkan manfaat pariwisata. Dalam konteks ini, masyarakat lokal

mampu memperoleh modal ekonomi yang dibawa wisatawan,

mendapatkan modal sosial dengan terbukanya jaringan sosial dengan pihak

eksternal, modal budaya berupa perbaikan status sosial dan kesempatan

berprestasi, dan modal simbolik yang berkaitan dengan kapasitas sebagai

penafsir budaya lokal yang legitimit.

b. Dari siasat personal menjadi strategi kolektif

Ketika Desa Wisata Pinge dimaknai sebagai ranah pariwisata dan para

aktor bersepakat untuk bersinergi untuk menyelenggarakan pariwisata

berbasis budaya, yang diperlukan adalah memutus mata rantai saling siasat

menjadi saling manfaat. Memutus mata rantai tersebut dapat dilakukan

dengan cara membangun strategi bersama dalam rangka memperoleh

manfaat pariwisata secara adil.

c. Pelembagaan pariwisata berbasis kultural

Guna menjamin terselenggaranya Desa Wisata Pinge yang dapat

memberikan berbagai kontribusi atau manfaat terutama bagi masyarakat

lokal, dibutuhkan kelembagaan pariwisata. Lembaga tersebut merupakan

wadah kegiatan bersama bagi masyarakat lokal. Idealnya wadah yang

dibangun merupakan lembaga berbasis kultural yang ada di Desa

Pakraman Pinge.

PELEMBAGAAN PARIWISATA BERBASIS KULTURAL

Setelah mengetahui peran dan posisi elit dalam ranah pariwisata, hal

penting berikutnya adalah merekonstruksi kelembagaan pariwisata di Desa

74!!

Pakraman Pinge. Dikatakan rekonstruksi (konstruksi kembali) karena saat ini

telah ada lembaga pariwisata. Akan tetapi lembaga ini lebih bersifat formalitas

belaka karena hanya sekedar pelengkap sebagai konsekuensi dari penetapan Desa

Pakraman Pinge sebagai desa wisata. Di lembaga formalitas ini terlihat dominasi

elit dan mengikis potensi mayoritas masyarakat lokal untuk terlibat dalam

perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

Pelembagaan pariwisata dalam konteks ini dimaksudkan sebagai proses

kreasi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge dalam mengkonstruksi ruang

bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan

bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya.

Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis,

ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang

dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para

aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi

penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di

wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan

pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini

bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah

formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna

memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang

bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal.

Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di

Desa Pakraman Pinge.

Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi

dari elit personal menjadi elit institusional (inklusivitas elit). Transformasi ini

merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata

perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap

embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan

destinasi pariwisata perdesaan.

75!!

Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang

memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat

menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata.

Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini.

Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan

trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan

pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat

langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit

dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah

dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata,

juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi

partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam

ranah pariwisata karena relatif tidak memiliki bekal modal untuk dipertukarkan

dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah yang menjadikan pentingnya

arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan kapasitas masyarakat lokal dan

menjadikan dominasi elit personal dapat diminimalisasi.

Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal :

1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan

Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik

fisik maupun pemikiran (wacana). Semacam forum yang akan mengatasi

hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi

permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai

pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para

elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya

dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada

akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya

lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik

pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan

tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal

dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan

dengan modal pihak eksternal.

76!!

2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair

Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu

para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata

di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara

kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk

dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak

eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator

bagi pertukaran modal pariwisata yang adil.

KESIMPULAN; Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan

Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge

teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu

dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis

kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal

secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang

berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.

Fase embriotik perkembangan destinasi

pariwisata perdesaan

Elit pariwisata

Inklusifitas elit

Pelembagaan pariwisata berbasis

kultural

Masyarakat lokal

Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan

destinasi pariwisata perdesaan

Pihak eksternal: biro perjalanan wisata,

asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan

wisatawan

DESA WISATA

Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan

77!!

Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata

Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi

ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata

berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata

Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan

simbolik.

2. Fase embriotik

Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam

tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini

karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan

sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya

baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama

kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal

untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat

lokal terhadap program pemerintah.

3. Elit pariwisata

Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa

Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga

sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit

pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu

dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai

penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat

lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah

dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran

para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan

pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi

yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman

Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan

mandeg di tahapan embriotik.

78!!

4. Lembaga pariwisata berbasis kultural

Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas

elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai

lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi.

Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya

dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan

menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor

pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam

struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi

sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial

pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk

menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler,

dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat

didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan

bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga

pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah

dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus

pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat

strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang

dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan

ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu

masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika

dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi

habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat

lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan

interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan

karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi

sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang

umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga

berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam

79!!

suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata

relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan

berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang

pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung

dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme

ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis

elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai

kelembagaan kultural pariwisata berbasis sekehe. Inilah yang dimaksud

sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting

dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan

dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan

menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya.

5. Partisipasi masyarakat lokal

Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan

pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan

bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan

adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai

sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis

pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam

penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata

seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata

berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena

karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat

lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata.

Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan

menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang

sosial Desa Pakraman Pinge.

6. Pihak eksternal

Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak

eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan

80!!

fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi

pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam

pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi

target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam

kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan

pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal

sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang

dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki

pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan

terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan

atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk

mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk

pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro

perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting

dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi

pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini

bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan

sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi

keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan

modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh

birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki

pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang

dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat

lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan

masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa

Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata

berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi

masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.