MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

23
247 MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI VAKSIN DI PEDESAAN ANALYZING CULTURAL MEDIATOR FUNCTION IN VACCINE PROMOTIONS IN RURAL AREA Yun Fitrahyati Laturrakhmi Department of Communication Science, Faculty of Social and Political Sciences Brawijaya University [email protected] ABSTRACT Various cultural construct inhibit the vaccine promotion in rural areas. The perspective of a midwife about vaccines which emphasize in the biomedical tradition, becomes difficult to accept by the community who have non-biomedical perspective. As a result, posyandu cadres are needed to mediate that two different perspectives. The aim of this study is to explore the communication complexity in the promotion of vaccines that focused on the function of cadres as cultural mediators. Through an instrumental case study design, this study was conducted on 20 posyandu cadres and 3 midwives in the Gendro area, Tutur District, Pasuruan Regency - East Java. Data collected through FGD, interview and observation. This study reveals that posyandu cadres perform their functions as cultural mediators, especially in facilitating a constructive relationships between midwives and the community by redefining various biomedical terms and explanations to be accepted by the public in non-biomedical perspective. However, in cultural mediator’s role cadres can’t able to fulfill the community empowerment function because of the low level of health literacy. This research has shown that the concept of cultural mediators is not only applicable in the communication context involving migrants. Keywords: cultural mediator, cadre, promotion, vaccine. ABSTRAK Berbagai konstruk kultural seringkali menghambat promosi vaksin di wilayah pedesaan. Cara pandang bidan tentang vaksin yang menekankan pada tradisi biomedis menjadi sulit diterima masyarakat yang berangkat dari cara pandang non-biomedis. Sehingga, kehadiran kader posyandu diperlukan untuk menjembatani kedua cara pandang yang berbeda tersebut. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi kerumitan komunikasi dalam promosi vaksin dengan berfokus pada fungsi kader sebagai cultural mediator. Beberapa studi sebelumnya menempatkan konsep cultural mediator dalam konteks komunikasi yang melibatkan migran. Peneliti berargumen bahwa konsep cultural mediator dapat digunakan dalam konteks yang lebih luas. Melalui desain instrumental case study, penelitian dilakukan terhadap 20 orang kader posyandu dan 3 bidan di wilayah Desa Gendro, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan – Jawa Timur. Data dikumpulkan melalui FGD, wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kader posyandu menjalankan fungsi sebagai cultural mediator khususnya dalam memfasilitasi terbangunnya hubungan yang konstruktif antara bidan dan masyarakat. Hal tersebut dilakukan dengan cara meredifinisi berbagai istilah dan penjelasan yang berbasis biomedis agar dapat diterima masyarakat dalam cara pandang non-biomedis. Akan

Transcript of MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

Page 1: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

247

MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI VAKSIN DI

PEDESAAN

ANALYZING CULTURAL MEDIATOR FUNCTION IN VACCINE PROMOTIONS IN

RURAL AREA

Yun Fitrahyati Laturrakhmi

Department of Communication Science, Faculty of Social and Political Sciences

Brawijaya University

[email protected]

ABSTRACT

Various cultural construct inhibit the vaccine promotion in rural areas. The perspective of

a midwife about vaccines which emphasize in the biomedical tradition, becomes difficult to

accept by the community who have non-biomedical perspective. As a result, posyandu

cadres are needed to mediate that two different perspectives. The aim of this study is to

explore the communication complexity in the promotion of vaccines that focused on the

function of cadres as cultural mediators. Through an instrumental case study design, this

study was conducted on 20 posyandu cadres and 3 midwives in the Gendro area, Tutur

District, Pasuruan Regency - East Java. Data collected through FGD, interview and

observation. This study reveals that posyandu cadres perform their functions as cultural

mediators, especially in facilitating a constructive relationships between midwives and the

community by redefining various biomedical terms and explanations to be accepted by the

public in non-biomedical perspective. However, in cultural mediator’s role cadres can’t

able to fulfill the community empowerment function because of the low level of health

literacy. This research has shown that the concept of cultural mediators is not only

applicable in the communication context involving migrants.

Keywords: cultural mediator, cadre, promotion, vaccine.

ABSTRAK

Berbagai konstruk kultural seringkali menghambat promosi vaksin di wilayah pedesaan.

Cara pandang bidan tentang vaksin yang menekankan pada tradisi biomedis menjadi

sulit diterima masyarakat yang berangkat dari cara pandang non-biomedis. Sehingga,

kehadiran kader posyandu diperlukan untuk menjembatani kedua cara pandang yang

berbeda tersebut. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi kerumitan komunikasi dalam

promosi vaksin dengan berfokus pada fungsi kader sebagai cultural mediator. Beberapa

studi sebelumnya menempatkan konsep cultural mediator dalam konteks komunikasi

yang melibatkan migran. Peneliti berargumen bahwa konsep cultural mediator dapat

digunakan dalam konteks yang lebih luas. Melalui desain instrumental case study,

penelitian dilakukan terhadap 20 orang kader posyandu dan 3 bidan di wilayah Desa

Gendro, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan – Jawa Timur. Data dikumpulkan

melalui FGD, wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kader

posyandu menjalankan fungsi sebagai cultural mediator khususnya dalam memfasilitasi

terbangunnya hubungan yang konstruktif antara bidan dan masyarakat. Hal tersebut

dilakukan dengan cara meredifinisi berbagai istilah dan penjelasan yang berbasis

biomedis agar dapat diterima masyarakat dalam cara pandang non-biomedis. Akan

Page 2: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

248

tetapi, dalam peran sebagai cultural mediator, kader belum dapat memenuhi fungsi

pemberdayaan masyarakat karena rendahnya level health literacy. Penelitian ini telah

dapat menunjukkan bahwa konsep cultural mediator tidak hanya berlaku dalam konteks

komunikasi yang melibatkan migran.

Kata kunci : mediator kultural, kader, promosi, vaksin.

PENDAHULUAN

Pembicaraan tentang vaksin dan imunisasi tidak terlepas dari sisi pro dan kontra.

Terbangun berbagai klaim yang mendasari perdebatan tersebut, baik yang dikaitkan

dengan aspek agama maupun berbagai isu historis dan budaya. Kondisi ini terjadi dalam

dunia nyata maupun dunia maya. Dalam dunia maya, hasil riset Laturrakhmi,

Swastikawara, dan Wardasari (2017) menunjukkan bahwa dari 9 online group facebook

dan blog, tercatat sebanyak 3 online group facebook dan sebuah blog menujukkan sikap

kontra terhadap vaksin dan imunisasi, hanya terdapat 2 online group facebook dan sebuah

blog yang pro pada vaksin dan imunisasi, dan sisanya menaungi sikap pro sekaligus

kontra.

Berkaitan dengan sikap anti-vaksin, Gultom (2016) menyebutkan bahwa terdapat 3

kategori kelompok anti-vaksin. Pertama, komunitas yang memiliki kecurigaan berlebih

pada pemerintah, sistem kesehatan dan bisnis farmasi. Hal ini berkaitan dengan riset

Kasarda (2013) yang menunjukkan bahwa gerakan anti-vaksinasi turut didukung oleh

teknologi komunikasi modern yang memungkinkan kelompok tertentu menyebarluaskan

ideologi-ideologi tertentu dengan menyerang masyarakat ataupun berbagai sarana yang

digunakan pemerintah untuk mempromosikan program vaksinasi nasional. Terlepas dari

hal tersebut, kategori kedua disebutkan Gultom (2016) sebagai kelompok yang berisikan

masyarakat yang menolak vaksinasi karena alasan teologis (berseberangan dengan

Page 3: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

249

keimanan), dan dilarang dalam kepercayaannya. Sementara itu, kategori ketiga adalah

kelompok yang merupakan kombinasi antara kategori pertama dan kedua.

Kennedy, LaVail, Nowak, Basket, dan Landry (2011) melalui risetnya

mengungkapkan bahwa sebagian besar orang tua di US masih mempertanyakan bahkan

mempunyai interpretasi yang salah terhadap vaksin. Beberapa mis-interpretasi terhadap

vaksin tersebut yaitu kepercayaan bahwa vaksin dapat menyebabkan demam bahkan

autisme, serta sisi keamanan dari vaksin yang masih dipertanyakan. Dalam konteks

Indonesia, khususnya di wilayah Padang, Triana (2016) menemukan bahwa belum

tercapainya target cakupan imunisasi terjadi karena masyarakat yang masih berpendapat

bahwa imunisasi menyebabkan anak menjadi sakit, cacat, bahkan meninggal dunia. Riset

yang sama juga menggarisbawahi bahwa sisi halal-haram dari vaksin serta konspirasi

negara barat dan Yahudi seringkali dijadikan sebagai isu utama bagi kelompok anti-vaksin.

Tidak jauh berbeda dengan wilayah Padang, resistensi masyarakat juga menghambat

pelaksanaan program imunisasi di wilayah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Evaluasi

Bupati Pasuruan terhadap hasil pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2016

menunjukkan bahwa terdapat sekitar 92 dari total 273 desa belum melaksanakan program

PIN (dikutip dari Radar Bromo, 2016). Data dari Dinas Kesehatan (2015) menunjukkan

bahwa tingkat ketercapaian imunisasi campak masih sekitar 78,91%. Data yang sama

mengungkap bahwa hanya sekitar 57,79% dari sebanyak 1.893 posyandu di wilayah

Kabupaten Pasuruan yang aktif melaksanakan program posyandu. Kondisi tersebut

menuntut pemerintah selaku pelaksana program untuk lebih aktif dalam

mengomunikasikan pentingnya vaksin, khususnya melalui bidan dan kader sebagai

pelaksana program di tingkat desa/kelurahan sebagaimana diatur dalam Permenkes RI

Page 4: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

250

Nomor 42 Tahun 2013. Peningkatan mutu dan kualitas kesehatan sendiri merupakan salah

satu prioritas dalam program pembangunan.

Salah satu permasalahan utama yang seringkali dihadapi dalam promosi vaksin pada

masyarakat di wilayah pedesaan di Kabupaten Pasuruan adalah konstruk kultural yang

berlaku. Sebagaimana ditunjukkan beberapa studi sebelumnya, anggapan bahwa vaksin

justru menyebabkan bayi dan balita mengalami demam juga menjadi salah satu faktor yang

membuat masyarakat di wilayah ini enggan memberikan vaksin. Di samping itu, terdapat

keyakinan bersama tentang penyebab serta pengobatan terhadap penyakit seperti campak

maupun polio yang turut meneguhkan penolakan terhadap vaksin. Secara mendasar kondisi

ini sejalan dengan argumentasi Conrad & Barker (2010), bahwa beberapa penyakit

(illnesses) melekat pada makna kultural, sehingga kemudian membentuk bagaimana

respon yang diberikan masyarakat terhadapnya. Sementara itu, di sisi yang lain vaksin

dalam konteks medis dipahami sebagai salah satu cara yang dapat digunakan untuk

memproduksi sistem kekebalan tubuh aktif (active immunity) yang dapat mencegah

penyakit tertentu (dikutip dari situs resmi CDC, n.d.). Dengan demikian, terdapat potensi

perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan tenaga medis tentang vaksin itu sendiri.

Dalam penelitian ini, peneliti berargumen bahwa komunikasi yang terjadi di antara

tenaga medis dengan masyarakat tentang vaksin berangkat dari dua perspektif yang

berbeda. Sehingga, proses promosi vaksin seringkali mendapatkan penolakan. Dengan

demikian, komunikasi yang berlaku diantara keduanya dapat dikatakan sebagai

komunikasi antarbudaya mengingat kedua belah pihak berangkat dari cara pandang dan

nilai yang berbeda terhadap penyakit, termasuk pencegahan serta penanganannya. Hal lain

yang juga dapat diamati dari promosi vaksin adalah penggunaan istilah-istilah medis yang

cenderung tidak dapat dipahami masyarakat umum (sebagaimana ditunjukkan riset

Page 5: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

251

Taglieri, dkk., 2013) demikian pula dengan berbagai istilah lokal yang digunakan

masyarakat untuk menyebutkan berbagai gejala tertentu. Dalam titik ini, peluang

terjadinya mis-interpretasi menjadi semakin besar yang dapat berujung pada keputusan

untuk menggunakan atau tidak menggunakan vaksin.

Untuk membantu mengatasi berbagai kerumitan komunikasi, dalam tataran praktis

para tenaga medis turut melibatkan kader posyandu terutama dalam upaya promosi vaksin.

Pentingnya keberadaan ‘perantara’ yang menjembatani tenaga medis dengan masyarakat

terkait promosi vaksin setidaknya dapat dilihat melalui riset Taglieri, dkk (2013), maupun

riset Balkan (2016) yang menekankan pentingnya keberadaan para perantara yang

menjembatani para migran dengan tenaga medis dan organisasi kesehatan berkaitan

dengan perawatan kesehatan migran. Pada kedua riset tersebut, para perantara ini

diistilahkan sebagai cultural mediator. Secara khusus, Martin dan Phelan (2009)

menegaskan bahwa cultural mediator yang seringkali dipandang secara tumpang tindih

dengan medical interpreter lebih menduduki posisi sebagai penghubung antara dua nilai

yang berbeda yang dianut tenaga medis dan pasien mereka. Ditegaskan pula bahwa salah

satu tanggung jawab cultural mediator adalah menciptakan ruang dialog yang

memungkinkan professional medis dan pasien (masyarakat) dapat membangun hubungan

yang efektif dan saling menghargai (Martin dan Phelan, 2009).

Pada dasarnya, riset Martin dan Phelan (2009), Taglieri, dkk. (2013) dan Balkan

(2016) menempatkan cultural mediator dalam konteks perbedaan budaya yang melibatkan

etnisitas di bawah konsep migran dan non-migran. Peneliti berargumen bahwa pemahaman

tentang cultural mediator tidak hanya terbatas pada kerangka etnisitas ataupun batas

negara, tetapi juga berkaitan dengan lingkup perbedaan perspektif maupun isu

sosioekonomi. Mengikuti argumentasi Kreuter dan McLure (2004), dalam konteks praktik

Page 6: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

252

maupun riset, budaya seringkali dibatasi pada ras dan etnisitas, khususnya menyangkut isu

mayoritas-minoritas. Batasan tersebut justru menempatkan budaya sebagai sebuah variabel

kategorisasi yang relatif sederhana dan tetap, bukan sebagai sistem makna yang lebih

kompleks, dinamis dan adaptif (Kreuter dan McLure, 2004). Ting-Toomey dan Chung

(2012) memandang budaya sebagai “a learned meaning system that consists of patterns of

traditions, beliefs, values, norms, and symbols…” Dengan demikian, secara jelas bahwa

pemahaman tentang keberadaan cultural mediator tidak terbatas sebagai penghubung

antara dua etnisitas yang berbeda mengingat konsep budaya tidak terbatas pada etnisitas

ataupun batasan negara.

Berdasarkan argumentasi tersebut, menjadi penting untuk melihat kerumitan

komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam promosi vaksin, khususnya dengan melihat

peranan kader posyandu sebagai penghubung, bahkan cultural mediator antara bidan dan

masyarakat desa yang berangkat dari latar belakang, tingkat pendidikan dan pemahaman

yang berbeda tentang vaksin. Riset ini dapat berkontribusi pada studi-studi berbasis isu

antarbudaya dalam konteks komunikasi kesehatan dengan memberikan perluasan pada

konsep cultural mediator dalam konteks kesehatan. Beberapa studi sebelumnya banyak

berfokus pada pentingnya kompetensi antarbudaya dalam interaksi dokter-pasien

sebagaimana ditunjukkan Johnson, dkk (2004) maupun Schouten dan Meeuwesen (2006).

Sementara itu, studi yang dilakukan Viswanath dan Ackerson (2011) menyoroti tentang

penggunaan komunikasi kesehatan tentang kanker dibentuk oleh ras, etnisitas, bahasa dan

kelas sosial. Berkaitan dengan keberadaan cultural mediator, studi-studi yang dilakukan

Martin dan Phelan (2009), Taglieri, dkk (2013) serta Balkan (2016), membatasi cultural

mediator dalam hubungan migran-non migran dalam konteks kesehatan. Oleh sebab itu,

Page 7: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

253

penelitian ini dapat menyajikan pandangan yang lebih luas terhadap cultural mediator

yang tidak hanya terbatas pada hubungan migran non-migran dalam konteks antarbudaya.

TINJAUAN PUSTAKA

Diskusi akademis tentang kultur dan konteks kesehatan telah banyak dilakukan.

Dalam kajian ilmu komunikasi, hal tersebut dapat ditelusuri dari pembahasan yang

mengarah pada studi komunikasi kesehatan. Komunikasi kesehatan mengacu pada

berbagai jenis komunikasi manusia yang di dalamnya mengandung pesan kesehatan

(Rogers, 1996) dan berfokus pada transaksi berbasis kesehatan serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya (Berry, 2007). Komunikasi kesehatan juga dipandang sebagai studi dan

penggunaan berbagai strategi komunikasi untuk menginformasikan dan mempengaruhi

keputusan individu maupun kelompok dalam upaya meningkatkan kesehatan (CDC dalam

Schiavo, 2007). Kedua definisi tersebut menggambarkan bahwa komunikasi kesehatan

menggarisbawahi pentingnya pengetahuan atas karakteristik masing-masing aktor

komunikasi dalam pembicaraan tentang kesehatan. Maka, secara tidak langsung aspek

budaya menjadi salah satu variabel penting dalam proses komunikasi transaksional yang

mengarah pada upaya peningkatan kesehatan.

Menurut Kreuter dan McClure (2004), karakteristik budaya berhubungan secara

langsung ataupun tidak langsung dengan prioritas kesehatan, pengambilan keputusan,

perilaku dan/atau penerimaan terhadap edukasi kesehatan. Dikemukakan pula bahwa

budaya mempengaruhi perilaku kesehatan dan health outcome. Hal ini ditunjukkan oleh

hasil riset Viswanath dan Ackerson (2011) di AS bahwa penggunaan media untuk

pencarian informasi tentang kanker dibentuk oleh ras, etnisitas, bahasa dan kelas sosial.

Page 8: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

254

Budaya juga seringkali dikaitkan dengan kompetensi health provider. Taglieri, dkk

(2013) melalui risetnya mengemukakan bahwa berbagai aktivitas komunikasi antara

individu dengan health provider melibatkan ciri khas masing-masing dan membutuhkan

pengembangan kompetensi komunikatif dan relasional dalam upaya mencapai transmisi

pesan secara efektif. Bahkan, kompetensi health provider dipandang berpengaruh secara

signifikan terhadap hasil dari interaksi resiprokal dengan pasien. Argumentasi lain yang

juga menekankan pada pentingnya kompetensi health provider ditunjukkan oleh

Betancourt (dalam Silva, 2014) bahwa kompetensi kultural dibutuhkan healthcare

providers agar dapat berkomunikasi secara efektif serta menunjang pemberian layanan

yang lebih baik terhadap pasien dengan berbagai background kultural dan sosial.

Kompetensi kultural seringkali dikaitkan dengan health literacy, meskipun terdapat

beberapa researcher justru menempatkan kompetensi kultural dalam posisi yang

berlawanan dengan health literacy (Silva, 2014).

Lebih lanjut, Cooper & Roter (dalam Johnson, dkk, 2004) menegaskan pentingnya

kompetensi kultural dalam hubungan health provider dan pasien. Kompetensi kultural

dipandang dapat menunjukkan kemampuan individu dalam menegaskan hubungan

interpersonal dan professional yang efektif dengan memperhatikan perbedaan budaya.

Namun, pada kenyataannya komunikasi di antara health provider dan pasien seringkali

terhambat oleh berbagai bias kultural. Sebagaimana ditunjukkan Schouten & Meeuwesen

(2006) dalam review-nya pada beberapa studi terkait bias kultural dalam layanan

kesehatan, yang menemukan bahwa perilaku dokter cenderung tidak efektif ketika

berinteraksi dengan kelompok etnis minoritas. Ditemukan pula bahwa pasien etnis

minoritas cenderung tidak ekspresif secara verbal, bahkan cenderung tidak asertif.

Page 9: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

255

Sementara dari sisi pasien, Johnson, dkk (2004) menemukan bahwa perbedaan etnis dan

ras mempengaruhi persepsi pasien terhadap kompetensi kultural health provider.

Sejalan dengan beberapa riset sebelumnya, Silva (2014) melihat lebih khusus tentang

kemampuan pasien dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, dalam berbicara,

menulis dan memahami berbagai instruksi dan tahapan proses perawatan. Riset tersebut

menemukan bahwa kemampuan berbahasa berpengaruh pada munculnya masalah

komunikasi yang dapat berakibat pada risiko dalam proses layanan kesehatan. Ditemukan

pula bahwa bukan hanya perbedaan bahasa, nilai budaya dalam memandang health and

illness berkontribusi pada kemampuan individual dalam memahami dan bertindak

berdasarkan instruksi dokter dalam cara-cara tertentu yang berkaitan pula dengan level

health literacy (Silva, 2014).

Berkaitan dengan nilai budaya, Samovar, Porter dan McDaniel (2010) mengemukakan

bahwa budaya dan etnis menciptakan pola kepercayaan dan persepsi yang unik mengenai

kesehatan dan penyakit. Terkait dengan hal tersebut, Andrews (dalam Samovar, Porter dan

McDaniel, 2010) membagi paradigma sistem kepercayaan kesehatan ke dalam 3 kelompok

yaitu supranatural/religius, holistik, dan ilmiah/biomedis. Premis yang mendasari tradisi

supranatural yaitu sistem kepercayaan bahwa dunia merupakan arena dengan kekuatan

supranatural yang mendominasi, dan penyakit dianggap sebagai akibat dari intervensi aktif

makhluk supranatural, makhluk bukan manusia ataupun tukang sihir (Samovar, Porter,

McDaniel, 2010). Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Mulyana (2012) menyebut sistem

ini sebagai sistem personalistik. Kemudian, tradisi holistik berangkat dari premis tentang

sistem hubungan yang seimbang antara tubuh, pikiran, dan jiwa, sehingga penyakit terjadi

karena ada ketidakseimbangan dari salah satu aspek tersebut (Samovar, Porter, McDaniel,

2010). Sistem ini diistilahkan pula sebagai sistem naturalistik (Mulyana, 2012).

Page 10: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

256

Berbeda dengan kedua tradisi sebelumnya, tradisi ilmiah/biomedis berfokus pada

diagnosis objektif dan pendekatan ilmiah penyakit (Samovar, Porter, McDaniel, 2010),

sehingga penyakit dipandang terjadi karena abnormalitas fungsi atau struktur tubuh

(Mulyana, 2012). Model biomedis umumnya diterapkan para professional medis melalui

penggunaaan prinsip dan metode scientific untuk mengidentifikasi dan memberikan

perawatan terhadap penyakit (Engle dalam Apker, 2012). Dalam perkembangannya, dalam

konteks kesehatan muncul reaksi terhadap model biomedis, Apker (2012) membaginya ke

dalam 2 model lainnya yaitu biopsikososial (pandangan bahwa penyakit bukan semata-

mata fenomena fisik tetapi dipengaruhi pula oleh pendapat dan pemikiran tentang

kesehatan), dan model relationship centered care (pentingnya relasi interdependen antara

pasien, dokter, organisasi dan masyarakat). Berbagai kategori sistem, tradisi ataupun

model tersebut berimbas pada cara berpikir dan cara memandang penyakit serta

penanganannya yang kemudian turut menghadirkan kerumitan dalam komunikasi antara

pasien dengan health provider.

Salah satu fenomena yang berpotensi memunculkan kesalahpahaman dalam proses

komunikasi health provider – pasien adalah keberadaan para migran. Taglieri, dkk (2013)

mengemukakan bahwa migrasi membawa pada hadirnya new citizen yang berarti

memunculkan berbagai kebutuhan kesehatan yang menuntut diperlukannya new

communication – relational procedures yang memungkinkan tumbuhnya pemahaman

secara resiprokal antara health provider dan pasien. Dalam risetnya tentang konseling HIV

melalui telepon, Taglieri, dkk (2013) menekankan bahwa kehadiran mediator kultural

dalam memberikan jawaban sesuai dengan bahasa utama kelompok migran ternyata dapat

meningkatkan penyediaan informasi kesehatan bagi migran.

Page 11: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

257

Selain perbedaan bahasa, kerumitan komunikasi kesehatan dengan pasien dari

kalangan migran juga berkisar tentang perbedaan nilai budaya. Balkan (2016) melakukan

eksplorasi terhadap negosiasi antarbudaya tentang kematian dan pemakaman warga

muslim di Jerman, dengan menyoroti peran mediasi yang dijalankan pengurus muslim

dalam negosiasi antara keluarga muslim migran dengan pemerintah Jerman. Melalui

metode etnografi pada keluarga muslim asal Turki di Berlin, riset ini menunjukkan

bagaimana mediator kultural dipahami dalam kerangka peran mediasi antarbudaya, bukan

hanya penerjemah dalam konteks bahasa. Khususnya berkaitan dengan perbedaan norma

agama dan budaya yang juga berusaha dinegosiasikan dengan regulasi pemerintah yang

tidak terlepas dari konteks politik serta budaya yang berlaku setempat.

Menyoal tentang mediator kultural (cultural mediator), pada dasarnya dalam

perawatan kesehatan dengan melibatkan konteks antarbudaya, seringkali dipertukarkan

dengan medical interpreters. Mengikuti Martin dan Phelan (2009), medical interpreters

berperan dalam menjembatani hambatan bahasa dengan melibatkan transfer makna, tidak

sebatas menerjemahkan kata per-kata. Literatur yang sama mengungkap bahwa cultural

mediators berperan dalam memberdayakan pasien dengan cara menginformasikan dan

mendorong pasien agar menyuarakan kebutuhan dan apa yang menjadi perhatian utama

mereka. Sehingga, dapat dikatakan bahwa cultural mediators menjembatani 2 nilai budaya

yang berbeda, tidak sebatas mengatasi kendala bahasa. Martin dan Phelan (2009) juga

mengungkap bahwa cultural mediators juga bertanggung jawab pada penciptaan ruang

dialog antara health provider dan pasien, bahkan mereka diharapkan menjadi agen yang

dapat membawa perubahan dalam konteks layanan kesehatan dengan memperkuat

kesetaraan dan keadilan.

Page 12: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

258

Beberapa studi sebelumnya seperti Martin dan Phelan (2009), Taglieri (2013), maupun

Balkan (2016) menunjukkan bahwa pada negara-negara maju, keberadaan cultural

mediators ini menempati posisi professional yang juga menuntut skill dan pengetahuan

khusus. Dalam beberapa riset akademis, konsep cultural mediators seringkali dikaitkan

dengan komunikasi kesehatan yang melibatkan para migran. Padahal, ditegaskan bahwa

cultural mediators berfungsi pula sebagai cultural brokers yang berfungsi menjembatani 2

cara pandang yang berbeda tentang kesehatan sebagaimana dikemukakan Martin dan

Phelan (2009), sehingga dapat diargumentasikan bahwa cultural mediators tidak hanya

berlaku pada komunikasi kesehatan yang melibatkan migran. Terlebih konsep tentang

budaya sendiri tidak hanya mencakup batasan negara, ras ataupun etnisitas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berangkat dari paradigma interpretif yaitu menjelaskan fenomena yang

diteliti dari perspektif pelaku itu sendiri. Neumann (2000) mengemukakan bahwa

penelitian interpretif berusaha mempelajari apa yang dianggap bermakna oleh subjek-

subjek yang diteliti, atau bagaimana individu-individu mengalami kehidupan sehari-hari.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumental case study.

Mulyana (2013) mengemukakan bahwa case study digunakan ketika peneliti bertujuan

memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti.

Penelitian ini menggunakan studi kasus berjenis instrumental sebab penelitian ditujukan

memperoleh gambaran yang mendalam tentang fungsi mediator kultural oleh kader

posyandu dalam promosi vaksin di tingkat pedesaan. Mengikuti argumentasi Creswell

(1998) bahwa instrumental case study digunakan ketika terdapat suatu isu atau beberapa

isu tertentu dengan mengambil satu kasus untuk menggambarkan isu tersebut, maka

Page 13: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

259

penelitian ini mengambil satu kasus yaitu di wilayah Desa Gendro, Kecamatan Tutur,

Kabupaten Pasuruan- JATIM.

Data dikumpulkan melalui Focused Group Disscussion (FGD) dan dilengkapi dengan

wawancara mendalam, serta observasi. FGD dilakukan pada 20 orang kader Desa Gendro

untuk mendapatkan gambaran tentang praktik promosi vaksin yang dilakukan. Di samping

itu, dilakukan pula wawancara terhadap 3 bidan desa untuk melengkapi data penelitian.

Observasi dilakukan pada aktivitas posyandu yang dilakukan. Digunakannya beragam

metode pengumpulan data ditujukan untuk memperoleh gambaran mendalam dari berbagai

perspektif untuk menjelaskan kerumitan komunikasi antarbudaya dalam promosi vaksin,

khususnya dengan melihat fungsi mediator kultural oleh kader posyandu. Data dianalisis

dengan menggunakan kerangka analisis interaktif sebagaimana dikemukakan Miles,

Huberman dan Saldana (2014) meliputi data condensation, data display, conclusion

drawing (verification).

HASIL PENELITIAN

Peran Kader sebagai Jembatan

Berdasarkan data di lapangan, ditemukan bahwa kader posyandu memiliki peran

utama dalam menyampaikan pesan kesehatan utamanya terkait vaksin pada masyarakat.

Idealnya, hal ini dilakukan dalam bentuk penyuluhan pada meja khusus selama proses

imunisasi berlangsung. Akan tetapi, dalam praktiknya kader lebih banyak menyerahkan

peran ini pada bidan desa di meja tindakan. Padahal, sebagaimana ditegaskan Tse, Suprojo,

& Adiwidjaja (2017) kader posyandu diharapkan menempati posisi sebagai perpanjangan

tangan bidan desa dan puskesmas dalam menunjang perilaku sehat masyarakat. Minimnya

penyuluhan oleh kader disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan kader sehingga

Page 14: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

260

muncul kekhawatiran bahwa informasi kesehatan yang disampaikan tidak dipercaya

mengingat mereka tidak berasal dari golongan profesional kesehatan. Hal ini berkaitan

dengan apa yang dikemukakan Rakhmat (2011) bahwa siapa yang mengatakan terkadang

lebih penting dari apa yang dikatakan, maka kredibilitas sumber menjadi faktor kunci

dalam proses komunikasi. Terlebih Northouse & Northouse (dalam Berry, 2007)

menggarisbawahi tentang asymmetrical ‘power’ relationship, bahwa seringkali profesional

kesehatan dianggap lebih powerful di mata masyarakat.

Meskipun demikian, temuan di lapangan menunjukkan bahwa kader tetap secara aktif

menyampaikan informasi dan melakukan persuasi terkait penggunaan vaksin, dengan

informasi seadanya. Berdasarkan hasil FGD ditemukan bahwa di kalangan masyarakat

Desa Gendro, terdapat beberapa sudut pandang atas vaksin. Pertama, masyarakat yang

mudah menerima dan menggunakan vaksin, didominasi oleh ibu-ibu di Dusun Krajan

(pusat pemerintahan Desa Gendro). Kedua, masyarakat yang resisten terhadap vaksin,

didominasi oleh masyarakat di Dusun Dukutan, dusun terjauh dari pusat pemerintahan

desa dan secara geografis cenderung terisolir dengan akses informasi yang minim. Pada

dasarnya temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Palupi (2017) bahwa pola adopsi

terhadap inovasi kesehatan di kalangan masyarakat pedesaan turut dipengaruhi oleh posisi

tempat tinggal masyarakat dari pusat pemerintahan desa. Resistensi masyarakat cenderung

lebih tinggi sebab akses informasi lebih terbatas.

Terkait dengan penelitian ini, keengganan masyarakat Dusun Dukutan untuk

menggunakan vaksin didasarkan pada alasan bahwa vaksin tidak dikenal pada zaman

leluhur mereka. Mereka meyakini bahwa tanpa menggunakan vaksin pun anak-anak

mereka akan tumbuh sehat. Efek samping dari penggunaan vaksin turut meneguhkan

resistensi masyarakat dengan memunculkan anggapan bahwa vaksin justru menyakiti bayi

Page 15: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

261

dan balita. Hasil wawancara dan FGD juga menunjukkan bahwa berbagai tradisi dan ritual

yang dilaksanakan masyarakat di wilayah tersebut menjadi hambatan terbesar bagi kader

dalam mengajak masyarakat untuk membawa bayi dan balita ke posyandu. Salah satu

tradisi yang berlaku yaitu tradisi khusus yang melarang ibu dan bayi ke luar rumah selama

40 hari setelah proses persalinan. Bagi keluarga yang dianggap mampu, tradisi ini ditutup

dengan “Among-among” yang merupakan upacara dengan menyediakan sesaji khusus

dengan dipimpin dukun adat. Pada kenyataanya, tradisi ini menyebabkan imunisasi

hepatitis dan BCG sering dilewatkan, terlebih bagi para ibu yang melakukan persalinan

melalui dukun beranak.

Di samping itu, ditemukan pula bahwa di kalangan masyarakat di wilayah riset

terdapat keyakinan bahwa demam seringkali diasosiasikan dengan gangguan makhluk

halus, yang diistilahkan sebagai penyakit sawan. Selain demam, terdapat bintik-bintik di

sekujur tubuh bayi dengan penyakit tersebut, umumnya bayi menjadi cengeng dan rewel.

Umumnya, masyarakat menggunakan pengobatan tersendiri mulai dari penggunaan air

rendaman kikir (alat untuk mengasah pisau dan benda tajam lainnya) maupun air rendaman

tali pusar bayi hingga membawa bayi pada dukun untuk diberikan mantra dan jimat.

Kondisi ini selain menyulitkan kader dalam promosi vaksin juga mencerminkan

berlakunya sistem atau tradisi supranatural sebagaimana dikemukakan Samovar, Porter

dan McDaniel (2010), atau diistilahkan pula sebagai sistem personalistik (Mulyana, 2012).

Sementara itu, penyakit tersebut dalam konteks medis diistilahkan sebagai campak yang

dapat dicegah melalui vaksin. Content pesan yang disampaikan bidan cenderung berangkat

dari tradisi biomedis yang berbasis scientific, sementara masyarakat yakin bahwa penyakit

tersebut terjadi karena intervensi zat supranatural. Dengan demikian, komunikasi dalam

Page 16: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

262

konteks pemberian vaksin dan perawatan bayi menjadi semakin rumit mengingat masing-

masing berangkat dari nilai dan cara pandang yang berbeda.

Penggunaan Analogi dan Pembahasaan Ulang Istilah Vaksin

Berbagai konstruk kultural yang berlaku dalam masyarakat menjadikan tugas kader

sebagai jembatan antara bidan yang berangkat dari pemahaman medis dengan masyarakat

yang berangkat dari pemahaman non medis, menjadi semakin berat. Pemahaman medis

oleh Engle (dalam Apker, 2012) diistilahkan sebagai biomedical approach yang

menerapkan prinsip-prinsip dan metode scientific untuk mengindentifikasi dan

memberikan perawatan terhadap penyakit. Meskipun demikian, hasil penelitian

menunjukkan bahwa upaya kader untuk mengajak masyarakat untuk memberikan vaksin

pada bayi-balita adalah dengan menggunakan berbagai analogi terhadap vaksin yang

sangat berbasis biomedis agar dapat diterima masyarakat. Dengan mengikuti cara pandang

masyarakat yang sangat tradisional, para kader berusaha membahasakan kembali jenis

penyakit yang dapat muncul jika vaksin tertentu tidak diberikan. Misalnya menggunakan

istilah ‘semper’ (penyakit yang diyakini terjadi karena ter-serempet makhluk halus penjaga

desa yang mendiami danyang/pohon besar tempat sesaji) untuk mendefinisikan penyakit

polio, dan vaksin dianalogikan sebagai ‘penangkal’ bagi masuknya penyakit. Ditemukan

pula bahwa kader juga mengombinasikan cara-cara tradisional dan biomedis terkait

penanganan efek samping penggunaan vaksin. Dalam hal ini, demam sebagai efek samping

pemberian bayi dibahasakan ulang sebagai pertanda bahwa penangkal yang diberikan

bekerja dengan baik. Kader juga tidak menentang cara-cara tradisional yang masih

digunakan masyarakat, misalnya pemberian pijat oleh dukun bayi hingga pemberian air

rendaman tali pusar bayi untuk meredakan demam pasca pemberian vaksin. Namun,

Page 17: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

263

mereka tetap menekankan pentingnya pemberian puyer untuk meredakan demam pada

bayi/balita.

Penggunaan Saluran Tradisional

Pada dasarnya, pemberian berbagai treatment tradisional tidak semata-mata aman bagi

bayi, namun dalam praktiknya kader memilih untuk tidak melarang penggunaan cara-cara

tradisional. Selain untuk menghindari penolakan dari masyarakat, para kader juga tidak

dapat menyediakan informasi yang cukup mengingat keterbatasan pengetahuan di samping

terbentur sisi kredibilitas dalam menyajikan informasi kesehatan dari sudut pandang

biomedis. Meskipun demikian, secara tidak langsung para kader turut menegosiasikan

penggunaan cara-cara tradisional agar dapat dipahami bidan yang berangkat dari perspektif

biomedis sehingga dapat lebih tepat dalam melakukan promosi vaksin.

Menyadari kuatnya konstruk kultural pada masyarakat, selain berfokus pada content

informasi, para kader juga memanfaatkan berbagai saluran tradisional seperti jamaah tahlil

khusus bagi ibu-ibu dalam promosi penggunaan vaksin. Melalui saluran tersebut, kader

tidak hanya meyakinkan kalangan ibu, tetapi juga meyakinkan generasi yang lebih tua

(nenek), bahwa vaksin bukanlah benda asing, penyebab penyakit yang harus dihindari.

Dalam upaya ini, kader tetap berupaya memberikan penjelasan tentang vaksin dengan

pendekatan tradisional agar lebih mudah diterima dan lebih mudah dipahami masyarakat

sasaran.

PEMBAHASAN

Jika ditelaah lebih lanjut, pada dasarnya kader posyandu sedang menjalankan fungsi

sebagai mediator kultural (cultural mediator), sebab mereka berusaha menjembatani 2 nilai

dan cara pandang yang berbeda terhadap vaksin, yaitu supranatural/personalistik dari sisi

Page 18: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

264

masyarakat, dan biomedis dari sisi bidan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa kader posyandu tidak semata-mata menerjemahkan istilah medis yang rumit pada

masyarakat, sebagaimana dikemukakan Sue & Mettger (2007) bahwa penggunaan bahasa

medis yang rumit seringkali menjadi hambatan utama dalam pemahaman masyarakat

tentang informasi kesehatan. Kader lebih banyak melakukan redefinisi berbagai istilah

medis dan mengombinasikannnya dengan cara-cara tradisional sesuai dengan cara pandang

dan keyakinan masyarakat. Dalam fungsi ini, kader posyandu telah memenuhi peranan dari

cultural mediator sebagaimana ditegaskan Martin dan Phelan (2009) dalam hal

memfasilitasi terbangunnya hubungan yang konstruktif antara health provider dan health

user (pasien). Meskipun demikian, para kader posyandu belum dapat memenuhi fungsi

pemberdayaan pasien. Martin dan Phelan (2009) mengemukakan bahwa salah satu peran

cultural mediator adalah memberdayakan pasien dengan cara menginformasikan dan

mendorong pasien agar menyuarakan kebutuhan dan apa yang menjadi perhatian mereka.

Tidak dapat dipenuhinya peran pemberdayaan pasien setidaknya dapat ditelusuri dari

2 hal. Pertama, wacana tentang kesehatan maupun pengobatan penyakit sangat kental

dengan tradisi biomedis, sedangkan tradisi non-biomedis (khususnya supranatural) lebih

tidak populer dan dianggap tidak rasional. Hal ini tidak terlepas dari konteks historis

bahwa model biomedis menggambarkan kerangka filosofis dan praktik dari pengobatan

barat lebih dari 100 tahun (Starr dalam Apker, 2012). Kedua, rendahnya pengetahuan yang

dimiliki kader posyandu dalam kerangka tradisi biomedis. Temuan di lapangan

menunjukkan bahwa hanya 4 dari 20 kader memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang

vaksin. Jika merujuk pada WHO, kelompok kader yang mempunyai pengetahuan yang

cukup atas vaksin ini dapat digolongkan sebagai kelompok dengan kemampuan health

literacy (Bernhardt dan Cameron dalam Thompson, Dorsey dan Miller, 2003).

Page 19: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

265

Berkaitan dengan fungsi sebagai cultural mediators, temuan dalam penelitian ini

menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan beberapa studi sebelumnya. Martin dan

Phelan (2009) menegaskan bahwa cultural mediators secara ideal tidak mensyaratkan

dimilikinya latar pendidikan khusus, namun umumnya mereka dibekali dengan training

dan memiliki kode etik tersendiri. Bahkan, pada beberapa negara di Eropa seperti Inggris,

cultural mediators umumnya dibantu oleh aktor profesional yang diistilahkan sebagai

community health educators untuk membantu menjembatani para migran dan pemerintah

(Taglieri, 2013). Temuan dalam penelitian ini sejalan dengan hasil riset Balkan (2016)

yang menunjukkan bahwa fungsi cultural mediators tidak selalu beriringan dengan

kualifikasi khusus tidak pula mendapatkan training antarbudaya. Akan tetapi, dalam

menjalankan fungsinya, kader posyandu memiliki pedoman khusus, hal ini tidak dibahas

lebih jauh dalam riset Balkan (2016).

Secara umum, dalam konteks komunikasi kesehatan, peneliti berargumen bahwa

meskipun menempati fungsi sebagai cultural mediator, kader posyandu tidak berdiri dalam

posisi health provider, mengingat health provider diasosiasikan dengan professional

kesehatan seperti dokter dan perawat (Berry, 2007) maupun apoteker dan berbagai staf

klinis lainnya (Viswanath dalam Donsbach, 2008). Akan tetapi, interaksi di antara kader

posyandu dan masyarakat termasuk interaksi kesehatan yang melibatkan tugas

instrumental. Merujuk pada Roter dan Hall (dalam Berry, 2007), setiap interaksi kesehatan

setidaknya mengandung 2 tugas dasar yaitu tugas instrumental yang berkaitan dengan

pemberian informasi kesehatan, serta tugas yang berkaitan dengan aspek sosioemosional

yang mencakup partnership building.

Berbagai temuan dalam penelitian ini telah dapat menunjukkan bagaimana cultural

mediators dapat diluaskan bukan hanya dalam konteks migran. Di samping itu, penelitian

Page 20: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

266

ini juga memperkaya studi-studi sebelumnya yang membicarakan dimensi kultural dari

penyakit dan perawatan kesehatan seperti Arifin (2015) tentang ritual menjaga kesehatan

ibu hamil dalam masyarakat Madura, Putri (2015) tentang komunikasi terapeutik melalui

terapi pengobatan ayurveda di Bali, maupun Setiawati (2015) tentang komunikasi

terapeutik pada pengobatan alternatif.

Peneliti menggarisbawahi posisi kader posyandu sebagai cultural mediator menuntut

dimilikinya pengetahuan yang cukup terkait vaksin dan efek sampingnya yang sangat

berbasis biomedis. Sehingga diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan level literasi

kesehatan pada kader, terutama penyediaan akses yang cukup terhadap informasi

kesehatan. Terlebih, penelitian ini menunjukkan bahwa kader posyandu tidak menjadi

pasif meskipun terindikasi memiliki tingkat literasi kesehatan yang rendah. Temuan ini

bertentangan dengan hasil riset Suhat dan Hasanah (2014) bahwa kader yang

berpengetahuan kurang baik akan mempunyai risiko pasif dibanding kader yang

berpengetahuan baik.

SIMPULAN

Dalam proses promosi vaksin di wilayah pedesaan, kader posyandu menjalankan fungsi

sebagai cultural mediator (mediator kultural), khususnya dalam hal memfasilitasi

terbangunnya hubungan yang konstruktif antara health provider dan health user (pasien).

Fungsi tersebut dijalankan dengan penggunaan analogi dan membahasakan kembali

berbagai istilah dan manfaat vaksin yang sangat berbasis biomedis sebagaimana

ditekankan bidan, dengan berbagai istilah dan pendekatan kultural yang dapat diterima dan

sesuai dengan cara pandang masyarakat yang berbasis non-biomedis. Di samping itu, kader

juga menggunakan berbagai saluran tradisional yang dekat dengan ibu-ibu sasaran dalam

Page 21: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

267

promosi vaksin. Fungsi cultural mediator menjadi sangat tepat untuk menimimalisir

penolakan masyarakat dalam penggunaan vaksin yang muncul dan diteguhkan berbagai

konstruk kultural. Akan tetapi, fungsi pemberdayaan pasien tidak dapat dicapai mengingat

rendahnya level health literacy bagi sebagian besar kader sehingga menghambat fungsi

penyediaan informasi terkait vaksin.

SARAN

Berdasarkan temuan penelitian, dalam tataran praktis peneliti merekomendasikan

dilakukan berbagai pelatihan dan membuka akses informasi yang seluas-luasnya bagi

kader posyandu. Sementara dalam konteks riset, peneliti merekomendasikan dilakukan

riset lanjutan dengan berfokus pada wacana-wacana yang dibangun masyarakat tentang

kesehatan yang berbasis non-biomedis, maupun analisis terhadap kompetensi kultural yang

dimiliki health provider dalam penyediaan informasi seputar vaksin.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S. (2015). Pelet Kandhung sebagai ritual menjaga kesehatan ibu hamil pada

masyarakat Madura. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Komunikasi

Kesehatan. Bandung, Jawa Barat: Universitas Padjadjaran.

Apker, J. (2012). Communication in Health Organizations. New York: Willey.

Balkan, O. (2016). Between Civil Society and the State: Bureaucratic Competence and

Cultural Mediation among Muslim Undertakers in Berlin. Journal of intercultural

studies, 32 (2).

Berry, D. (2007). Health Communication: Theory and Practice. Berkshire: McGraw-Hill.

Conrad, P. & Barker, KK. (2010). The Social Construction of Illness: Key Insights and

Policy Implications. Journal of Health and Social Behavior, 51.

Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design:Choosing among Five

Traditions. London: Sage Publication.

Gultom, D. (2016, Maret 8). Imunisasi dan komunitas anti-vaksin, Kompasiana. Diakses

dari www.kompasiana.com.

Johnson, R.L., Saha, S., Arbelaez, J.J., Beach, M.C., Cooper, L.A. (2004). Racial and

ethnic differences in patient perception of bias and cultural competence in healthcare.

Journal of general internal medicine, 19 (2), 101 – 110.

Kasarda, M. (2013). The media environment and anti-vaccination movement. European

scientific journal, 1.

Kennedy, A., LaVail, K., Nowak, G., Basket, M., Landry, S. Confidence about vaccine in

United States: understanding parents’ perception. (2011). Health affairs, 30(6).

Page 22: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

268

Kreuter, M.W., McClure, S.M. (2004). The role of culture in health communication.

Annual review of public health, 25, 439 – 455.

Laturrakhmi, Y.F., Swastikawara, S. & Wardasari, N. (2017). Rancangan Model

Komunikasi Risiko dalam Konteks Kesehatan: Studi Eksploratif Pengomunikasian

Risiko Vaksin 5 Dasar Lengkap di Wilayah Pedesaan. Paper dipresentasikan di

Conference on Media, Communications and Sociology. Yogyakarta, D.I. Yogyakarta:

Universitas Atmajaya.

Martin, M.C., Phelan, M. Interpreter and cultural mediators: different but complementary

roles. (2009). Translocation: migration and social change.

Miles, M.B., Huberman, A.M., Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Method

Sorce Books. California: Sage Publication.

Mulyana, D. (2012).Cultures and communication: an indonesian scholar’s perspective.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Neuman, W. Lawrence. (2000). Social research methods: Qualitative and Quantitative

Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Palupi, S.W. (2017). Strategi komunikasi anggota paguyuban KB lanang dalam upaya

meningkatkan jumlah akseptor KB pria: studi kualitatif pada pengguna KB pria di

kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri. (Skripsi, Universitas Brawijaya, 2017).

Putri, I.D.A.H. (2015). Komunikasi terapeutik dalam terapi pengobatan Ayurveda di Ubud

Bali. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Komunikasi Kesehatan. Bandung,

Jawa Barat: Universitas Padjadjaran.

Rakhmat, J. (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Samovar, L.A., Porter, R.E., McDaniel, E.R. (2010). Komunikasi lintas budaya: edisi

ketujuh. terj. Indri Margaretha Sidabalok. Jakarta: Salemba Humanika.

Schiavo, R. (2007). Health Communication From Theory and Practice. San Fransisco:

Josey Bass.

Schouten, B.C., Meeuwesen, L. (2006). Cultural differences in medical communication: a

review of the literature. Patient and education counseling, 64, 21-34.

Setiawati, R. (2015). Komunikasi Terapeutik melalui music campursari pada pengobatan

alternatif Eyang Agung, Ciputat. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional

Komunikasi Kesehatan. Bandung, Jawa Barat: Universitas Padjadjaran.

Silva, I. Addressing language and culture differences in healthcare settings. (2014).

Disparities national coordinating center (DNCC), Centers for Medicare and Medicaid

Services.

Streatfield, K. & Singarimbun, M. Social Factors Affecting Use of Immunization in

Indonesia. (1988). Journal of Social Science and Medicine. 27, (11).

Sue, S. & Mettger, W. Plain Language: A Strategic Response to the Health Literacy

Challenge. (2007). Journal of Public Health Policy. 28, (1).

Suhat & Hasanah, R. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keaktifan Kader

dalam Kegiatan Posyandu (Studi di Puskesmas Palasari Kabupaten Subang). Jurnal

Kesehatan Masyarakat, 10, 73-79.

Taglieri, F.M., Colucci, A., Barbina, D., Fanales-Belasio, E., Luzi, A.M. (2013).

Communication and cultural interaction in health promotion strategies to migrant

populations in Italy: the cross-cultural phone counselling experience. Ann Ist Super

Sanita, 9 (2), 138 – 142.

Ting-Toomey, Stella & Chung, Leeva C. (2012). Understanding intercultural

communication. Oxford: Oxford University Press.

Page 23: MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI …

269

Triana, V. (2016). Faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap

pada bayi tahun 2015. Jurnal kesehatan masyarakat Andalas, 10 (2).

Thompson, T.L., Dorsey, A. & Miller, K.I. (2003). Handbook of Health Communication.

New York: Lawrence Earlbaum.

Tse, A.D.P., Suprojo, A. & Adiwidjaya, I. (2017). Peran Kader Posyandu terhadap

Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 6 (1).

Viswanath K, Ackerson LK. Race, Ethnicity, Language, Social Class, and Health

Communication Inequalities: A Nationally-Representative Cross- Sectional Study.

(2011). PLoS ONE, 6 (1).

Viswanath, K. (2008). Health communication. Dalam Donsbach, W. (Eds.). The

International Encyclopedia of Communication. Malden, MA: Blackwell Publishing.