MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

19
MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI) Oleh: Deflit Dujerslaim Lilo

description

Siapakah sesembahan kita? Apakah YHWH atau Allah? Apakah Allah berbeda dengan YHWH? Manakah nama yang benar dari sesembahan umat Kristen? Apakah harus mengganti kata Allah dalam Alkitab dengan Yahweh? Apakah pengucapan “nama” Yahweh memberikan dampak yang signifikan bagi keselamatan seseorang? Benarkan pandangan kaum muslim tentang nama Allah? Apakah LAI telah salah memakai nama Allah? Apakah dengan menyebut Allah dalam ibadah dan sebagainya, orang Kristen telah menghujat Yahweh? Pertanyaan-pertanyaan ini akan diolah dan ditinjau dalam kemasan yang kritis dan evaluatif pada artikel ini.

Transcript of MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

Page 1: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

MENAMAI SANG NAMA(POLEMIK NAMA SUCI)

Oleh:Deflit Dujerslaim Lilo

Page 2: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

MENAMAI SANG NAMA(POLEMIK NAMA SUCI)

Di dalam Kitab Suci, nama-nama Allah adalah penyataan diri-Nya. Hanya Allah yang dapat menamai diri-Nya sendiri; nama-Nya adalah sama dengan kesempurnaan-

kesempurnaan yang Ia perlihatkan di dalam dan kepada dunia. Ia membuat diri-Nya diketahui oleh umat-Nya melalui nama-nama diri-Nya; kepada Israel sebaga YHWH,

kepada gereja Kristen sebagai Bapa. Nama-nama Allah yang dinyatakan tidak menyatakan keberadaan-Nya itu sendiri, tetapi akomodasi-Nya terhadap bahasa

manusia. Kitab Suci adalah bahasa yang terakomodasi; Kitab Suci seluruhnya bersifat antropomorfis. Allah sendiri dideskripsikan dalam istilah-istilah manusia melalui

kemampuan-kemampuan, bagian-bagian tubuh, emosi-emosi, sensasi-sensasi, dan tindakan-tindakan manusia. Dalam Kitab Suci, semua ciptaan, panggung bagi kemuliaan Allah, digali untuk mendeskripsikan pengetahuan tentang Allah.1

Pendahuluan

Nama–satu kata sarat makna. Nama menjadi sebuah kepentingan dalam menentukan sesuatu sebagai sesuatu dan seseorang sebagai seseorang. Begitu pula dalam Alkitab. Dalam narasi penciptaan, penamaan sudah menjadi tugas awal manusia yang penting untuk dilakukan. Memberi nama pada setiap makhluk hidup yang telah diciptakan. Bahkan sebelum manusia melakukannya, Allah telah menamakan setiap ciptaan termasuk manusia. Alam semesta, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan di darat dan laut, dan manusia diciptakan dan mendapatkan nama. Allah menamai ciptaan-Nya dan ciptaan-Nya menamai sesama ciptaan.

Allah tidak hanya memberikan mandat kepada manusia untuk beranak-cucu, memelihara bumi, dan mengupayakan kesejateraan mereka melainkan juga menyerahkan sepenuhnya tugas dan tanggung jawab untuk menamai. Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir secara mandiri tentang nama. Nama yang tepat untuk setiap hewan dan tumbuhan yang ada di bumi (Kej. 2:19). Tidak hanya itu. Manusia (Adam) pun secara aklamasi menunjukan otorisasi manusia dalam menamai pendamping hidupnya (Kej. 2:23; 3:20) dan keturunan yang ia hasilkan (Kej. 4:1-2; 5:3). Menunjukan keunggulan manusia yang berakal dari ciptaan lain. Sejak saat itu, tugas menamai bukan hanya tugas Allah tetapi juga manusia.

Akar kata untuk nama dalam bahasa Ibrani šēm (nama) semula dapat berarti “tanda” atau “markah yang membedakan” yang berpadanan dengan kata onoma dalam bahasa Yunani. Dengan demikian, nama dapat menjadi tanda bagi yang menyandangnya. Memberikan ciri khas dan mewakili nilai diri. Dalam dunia zaman kuno, nama itu menjadi sangat personal karena menyatakan identitas secara aktual dan transparan.2

Penamaan ini tentu dimengerti dalam bahasa manusia. Bahasa yang manusia gunakan yang kemudian diterapkan dalam pemberian nama. Dengan nama itu, hewan dapat diklasifikasikan sebagai hewan dan tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Langit sebagai langit, matahari sebagai matahari, bulan dan bintang sebagai bulan dan bintang, makanan sebagai makanan, batu sebagai batu, air sebagai air, dan sebagainya. Tetapi dengan nama itu juga, Allah dapat memanggil manusia dan manusia dapat mengerti dirinya yang dipanggil. Manusia dapat memanggil, mengenal, dan memahami sesamanya.3

1 Herman Bavinck, Dogmatika Reformed – Jilid 2: Allah dan Penciptaan (Surabaya: Momentum, 2012), 107.

2Ibid., 110.3Band. Elmer L. Towns, Nama-Nama Allah (Yogyakarta: ANDI Offset, 2008), 17.

Page 3: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

Akan tetapi, dalam penciptaan itu manusia tidak pernah diberikan mandat untuk memberi nama Allah mereka. Ini hal yang menarik. Allah menamakan setiap ciptaan-Nya dan berkendak agar manusia menamai ciptaan dan keturunannya dengan lebih spesifik. Namun tidak sedikit pun menugaskan manusia untuk memilih, menentukan, dan menamai Allah. Apakah Allah tidak memiliki keinginan untuk dikenal manusia dengan sebuah nama? Mengapa Ia tidak menyatakan nama-Nya pada awal penciptaan ini? Apakah nama bagi diri-Nya sendiri adalah tidak penting? Apakah Allah sedang berupaya menyembunyikan nama-Nya? Apakah belum saatnya Allah menyatakan siapa nama-Nya? Atau, bagi Allah kehadiran dan keberadaan-Nya jauh lebih penting dari pada nama-Nya?

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini, berkaitan erat dengan cara bagaimana manusia memanggil-Nya. Saat manusia telah menamai hewan, tumbuhan, dan keturunannya, kini manusia harus tahu siapa nama penciptanya. Nama yang dapat dipakainya untuk berseru kepada Allahnya. Nama yang penting baginya untuk tahu pribadi penciptanya.

Menarik disimak. Dalam narasi-narasi yang terdapat di kitab Kejadian, tidak satu pun ditemukan pertanyaan tentang nama Allah. Adam, Nuh, Abra(ha)m, Ishak, Yakub, Yusuf dan saudara-saudarannya tidak pernah secara gamblang mempertanyakan nama sesembahan mereka itu. Meskipun mereka mengenal dan menyembah Allah mereka dan percaya akan keberadaan dan kemahakuasaan-Nya, namun tidak satu pun narasi-narasi itu menjelaskan bagaimana cara mereka dapat mengenal siapa nama Allah mereka. Informasi awal hanya dapat di Kejadian 4:1 dan 26 dan itu pun belum cukup menjelaskan bagaimana mereka dapat mengetahui dan akhirnya menyebut nama Allah mereka.

Pertanyaan tentang siapa nama Allah baru ditemukan saat Musa hendak diutus untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir (Kel. 3:13). “…bagaimana tentang nama-Nya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka?” Apakah lontaran pertanyaan ini mengindikasikan adanya keraguan Musa terhadap pribadi dari Allah yang akan mengutusnya? Mengapa kali ini Musa menanyakan siapa nama Allah? Apakah selama ini mereka tidak mengenal nama Allah mereka? Fokusnya ada pada penyataan Allah mengenai nama-Nya sebagai jawaban terhadap pertanyaan Musa.

Patut dicatat. Cara biasa untuk menanyakan nama seseorang dalam bahasa Ibrani adalah memakai kata ganti Mi ‘siapakah’ (bandingkan dengan kata Arab: man). Tetapi dalam ayat ini dipakai “bagaimana (mah) tentang Nama-Nya?” Mah symo sejajar dengan bahasa Arab Ma ma’na smuhu (apakah arti nama-Nya??).4

Suatu pertanyaan yang menuntut suatu jawaban yang lebih jauh yaitu memberikan arti ‘apa dan bagaimana’ atau hakekat dari nama itu. Bukan sekedar menunjukkan nama, melainkan lebih dari itu, makna yang menunjukkan kepada ‘kuasa di balik Dia yang di-Nama-kan’. Jadi memahaminya tidak seperti nama-nama makhluk hidup pada umumnya. Pertanyaan Musa ini lalu dijawab Allah dalam bahasa Ibrani ‘Ehyeh ‘Asyer ‘Ehyeh (Keluaran 3:14).

Jawaban terhadap pertanyaan Musa menjadi sebuah penyataan yang fenomenal dalam sejarah umat Israel bahkan menggema hingga kini. Setelah sekian lama, Allah beru menyatakan nama-Nya kepada Musa dan bangsa Israel. Nama yang menyatakan pribadi dan keberadaan-Nya. Ini bukan berarti bahwa sejak zaman Adam dan para Patriakh, Allah tidak pernah menyatakan keberadaan diri-Nya. Dalam hal ini, Allah menegaskan kembali kepada bangsa Israel tentang eksistensi, penyertaan, pertolongan, dan pemeliharaan-Nya kepada bangsa Israel. Meneguhkan janji yang telah diberikan kepada Abraham dan keturunan-Nya.

Nama-Nya hwhy (YHWH) atau ‘Ehyeh ‘Asyer ‘Ehyeh dapat diartikan sebagai “I am who I am” atau “Aku ada yang Aku ada”.5 Dikenal dengan istilah

4 Inry Irenio, “Allah,” https://www.facebook.com/notes/center-for-logical-defense-of-christianity-cldc/allah/388997211169831 (diakses 12 November 2013).

5Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan “AKU ADALAH AKU”. Terjemahan ini kurang tepat. Jika “AKU ADALAH AKU”, seharusnya teks Ibrani tertulis “Anokhi hayah Anokhi”. Kata “EHYEH”,

Page 4: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

tetragrammaton (nama suci empat huruf). Nama yang memberikan paparan tentang keagungan dan esensi diri Allah dan dipandang oleh bangsa Yahudi sebagai nama yang terutama.6 Berkhof bahkan berpendapat bahwa nama ini sangat sakral dan paling diagungkan dari semua nama lain di bangsa Israel.7

Nama-nama lain itu seperti El, Elohim, Elyon, Shaddai, El-Shaddai, dan Adonai banyak ditemukan dalam penggunaannya di Perjanjian Lama. Menurut beberapa ahli, nama-nama tersebut telah dikenal luas dan digunakan oleh para Patriakh sebelum nama YHWH itu dinyatakan kepada bangsa Israel.8 Tentang apakah nama YHWH (yang kemudian akan penulis sebut Yahweh) telah dikenal jauh sebelum kisah Sinai terjadi, akan penulis jabarkan pada bagian lain dari tulisan ini.

Perjanjian Baru (Septuaginta) yang muncul kemudian, juga memberikan sejumlah nama yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani. Theos, Kyrios, Pater, Iēsous, dan Kristous adalah nama-nama yang akhirnya dikenal luas pemakaiannya. Lalu juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan TUHAN, Tuhan, Allah, TUHAN Allah, Yesus, Kristus, dan lain-lain.

Anteseden Teori Sang Nama9

Penulisan dan pengucapan nama Allah ini di kemudian hari menjadi topik perdebatan yang sangat panjang dan berbelit-belit hingga abad ke-21. Ada begitu banyak kelompok yang saling menyerang dan bertahan pandangan tentang penggunaan nama Allah ini. Terkhususnya pada polemik seputar penyebutan nama Allah dan Yahweh yang kian memanas belakangan ini dalam diskursus-diskursus teologi di berbagai tempat dan media. Tidak kalah penting yang terjadi di Indonesia. Kelompok-kelompok yang berdiri secara mandiri dan terang-terangan memulai pergerakan memulihkan nama Yahweh, akhir-akhir ini makin intens dilakukan. Baik pergerakan perseorangan maupun dalam kelompok menyebarkan traktat, mempublikasikan artikel, mengunjungi sekolah-sekolah, dan memberikan seminar-seminar tentang urgensi penyebutan nama Yahweh. Tidak jarang terjadi kontroversi berkepanjangan antara pihak-pihak yang bertentangan.

Ketegangan ini semakin meruncing manakala, di satu sisi, kelompok tertentu dalam Islam melarang dengan keras penggunaan nama Allah dalam Alkitab dan setiap peribadatan orang Kristen. Nama Allah diklaim sebagai nama sesembahan Agama Islam. Akan tetapi, di sisi lain, ada yang menawarkan penggunaan nama Allah secara global sebagai legalitas nama sesembahan bagi penganut Agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Sikap ini tentu semakin menempatkan orang Kristen dalam kebingunan dan keraguan. Lalu, sejauh mana paham-paham itu dapat dimengerti? Pada bagian ini, penulis akan mengelaborasikan paham-paham tersebut.

merupakan bentuk kata kerja imperfek (menyatakan sesuatu yang sedang berlangsung atau belum selesai) dari akar kata “HAYAH”. G. Johanes Boterweck dan Helmer Ringren menjelaskan, bahwa kata “Hayah” digunakan dalam Perjanjian Lama dan diterjemahkan dengan opsi sebagai berikut: {1} “Exist, be Present” (Ada, Hadir) {2}”Come into Being” (menjadi) {3} Auxilaries Verb (kata kerja bantú), Theological Dictionary of The Old Testament, Vol III (U.S.A.: Grand Rapids Michigan, 1978),373. Band. J. Douma, The Ten Commandments – Manual for the Christian Life (U.S.A.: P&R Publishing Company, 1996), 76. Herman Bavinck, Ibid., 169., Herlianto, Gerakan Nama Suci – Nama Allah yang Dipermasalahkan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 92.

6 Bavinck. Ibid., 166.7 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1 – Doktrin Allah, Cetakan ketiga (Jakarta: LRII, 1997), 71. 8Lihat pemaparan yang lebih lengkap tentang nama-nama ini dan penggunaannya dalam:

Herlianto, Siapakah yang bernama Allah itu?, cetakan ke-3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 16-19., H. Bavinck, Ibid., 163-166. Lihat juga: Louis Berkhof, Ibid,, 70-71.

9 Mengingat pembahasan mengenai nama Allah ini sangat luas dan telah ada begitu banyak makalah, artikel, buku, dan tulisan-tulisan lain yang membahasnya, maka saya memutuskan untuk memaparkan materi hanya pada seputar penggunaan nama Allah dan YHWH yang sedang menjadi polemik di Indonesia dan beberapa negara lain dua dasawarsa terakhir ini.

Page 5: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

Teori Pengagum Nama Yahweh

Kelompok pengagung nama Yahweh —tidak dapat disangkal— memiliki keragaman pandangan meskipun berangkat dari konsep yang sama. Oleh sebab itu, penulis akan membagi penjabaran ini ke dalam dua teori berbeda dari dua kelompok yang berbeda pula. Dua kelompok pandangan itu tidak lain adalah Saksi Yehuwa (Jehovah Witnesses) yang selanjutnya akan disingkat SY dan Gerakan Nama Suci (The Sacred Name Movement10) yang selanjutnya akan disingkat GNS. Meskipun Gerakan Nama Suci telah mencetuskan ide ini terlebih dulu dan akan menjadi sentral dalam penelitian ini, namun ihwal tentang Saksi Yehuwa akan dipaparkan pertama secara singkat.

Jehovah Witnesses atau Saksi Yehuwa telah sangat dikenal sebagai salah satu aliran kepercayaan dalam kekristenan. Dalam beberapa literatur, kelompok ini lebih diklasifikasikan sebagai sebuah bidat karena berbagai pandangannya yang dipandang sesat dan menyesatkan. Namun, berbagai pandangan itu tidak akan dibahas secara mendetail –satu per satu– dalam tulisan ini. Akan tetapi, konteks polemik nama YHWH memang tidak dapat disangkal akan berkaitan erat dengan salah satu inti pandangan aliran ini. Inti perdebatan yang menyeret arus pemikiran Saksi Yehuwa berada pada pandangan mengenai pensakralan nama YHWH.

Polemik ini memang tidak terlepas dari kemunculan sekte baru dalam agama Yahudi yaitu Yudaisme Mesianik. Pengaruh yang kuat dari Gerakan Yudaisme Mesianik mengenai pentingnya pembaruan dan pemulihan dalam tradisi Yahudi, ditujukan bagi orang-orang Yahudi yang telah percaya kepada Yesus.11

Fenomena Yudaisme Mesianik (Messianic Judaism) dikenal sebagai suatu kebangkitan spiritual yang terjadi di kalangan unsur-unsur Yudaisme dan Bangsa Yahudi yang mulai merespons ajaran Yesus Sang Mesias yang dijanjikan namun tidak menyebut diri mereka sebagai Kristen dan Gereja. Mereka memang tetap memelihara gaya hidup dan tata ibadat Yudaisme, namun dalam terang ajaran Yesus, Sang Mesias. Michael Shiffman mendefinisikan Mesianik Yudaisme sebagai: “Messianic Jews are physical descendants of the patriarchs, being Jewish by birth, but are not adherents to the authority of rabbinic tradition” (Yudaisme Mesianik adalah keturunan para leluhur secara jasmani, yang menjadi Yahudi melalui kelahiran namun tidak mengikuti otoritas tradisi kaum rabinik – terjemahan Penulis).12

Sementara itu, David Stern berpendapat bahwa penganut sekte ini adalah orang Yahudi secara lahirian dan atau menjadi mualaf ke dalam agama Yahudi, namun tetap beriman kepada Yesus dan meyakini ke-Yahudi-an Yesus.13 John Fischer melangkah lebih jauh dengan memberikan deskripsi mengenai Yudaisme Mesianik. Menurutnya, kumpulan jemaat ini memiliki keyakinan yang unik. Mereka mengakui bahwa mereka dapat mempercayai Yesus sesuai Kitab Suci, namun yang secara otentik adalah seorang Yahudi pula. Mereka menyetujui bahwa Yesus sebagai Mesias, Juruslamat dan Tuhan atas alam semesta. Mereka menerima keseluruhan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan yang diilhamkan dan menolak segala sesuatu yang bertentangan ajaran-Nya. Mereka merasakan suatu kekeluargaan dan kesetiaan terhadap seluruh anggota tubuh Mesias. Namun mereka mengekspresikan iman

10 Gerakan Nama Suci (The Sacred Name Movement) ini dalam beberapa diskursus ilmiah yang penulis amati, sering juga disebut dengan istilah Yahweisme untuk merujuk pada kelompok dan pemahaman mereka tentang penggunaan nama Yahweh. Penulis juga akan menggunakan istilah ini secara bergantian untuk menjelaskan pandangan ini.

11Untuk penjelasan yang lebih lengkap, lihat: Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang Dipermasalahkan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 6-7.

12Michael Shiffman, Return of the Remnant: the Rebirth of Messianic Judaism (Baltimore: Lederer Messianic Publishers, 1996), 23.

13David Stern, Messianic Jewish Manifesto (Maryland: Jewish New Testament Publications, 1991), 20.

Page 6: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

mereka, gaya hidup mereka dan ibadah mereka dalam bentuk dan tata cara ke-Yahudi-an.14

Dari tiga definisi ini, paling tidak terdapat tiga karakteristik umum dan khas dari Yudaisme Mesianik, yaitu: Pertama, sekte ini merupakan suatu pergerakan spiritual di kalangan komunitas bangsa Yahudi dan agama Yudaisme. Kedua, penganut sekte ini tetap memiliki iman pada Yesus sebagai Mesias dan menerima Tanakh dan Perjanjian Baru, sebagai kitab suci yang diilhamkan Roh Kudus. Ketiga, upaya untuk tetap mempertahankan gaya hidup, tradisi dan kebudayaan luhur Yahudi yang dipelihara berabad-abad, sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa.15

Gerakan ini mulai berkembang pesat di abad XIX dan memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan GNS di Eropa dan Amerika, meskipun hal ini dibantah. GNS inilah yang dinilai memberikan pengaruh yang cukup dominan bagi kemunculan dan sepak terjang SY.16 Berangkat dari paradigma yang sama, SY pun menekankan penulisan dan pengucapan nama YHWH secara konsisten. Berpendapat bahwa penerjemahan nama suci ke dalam bahasa-bahasa yang berbeda jelas merupakan sebuah kesalahan fatal. Otto memparafrasekannya dengan penekanan yang lebih radikal, “Penghilangan tersebut merupakan sebuah penghinaan terbesar kepada penulis ilahi Kitab Suci.”17 Walaupun SY kemudian menerjemahkan dan melafalkan tetragramaton itu dengan bunyi Jehovah, Yehovah, atau Yehuwa yang kemudian mempatenkan nama itu sebagai nama aliran pada tahun 1931. Di samping itu, anggapan bahwa Yesus dan para murid masih tetap menggunakan nama YHWH. Sebagai contoh, saat Yesus membaca Yesaya 61:1-2 dan ajarannya tentang nama itu dalam Yohanes 17:6; 26).18 Akan tetapi, dalam Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru yang diterjemahkan oleh SY, nama Allah masih tetap digunakan.19

Gerakan kedua yang tidak kalah penting dan menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah The Sacred Name Movement atau Gerakan Nama Suci. Beberapa teolog melabelkan para penganut paham ini dengan sebutan “Yahweh-isme”. Gerakan ini sendiri mulai abad ke-19, sekitar tahun 1930-an di Amerika Serikat, di tengah pergolakan Perang Saudara (Civil War). Pelopor gerakan ini adalah salah satu perintis gerakan pemulihan nama Yahweh di kalangan gereja Church of God (COG) Seventh Day, yang bernama Clarence O. Dodd. COG Seventh Day merupakan pecahan dari gereja Seventh Day Adventist. Setelah keluar dari COG Seventh Day, Dodd mendirikan Assembly of Yahweh, yang getol menekankan keharusan untuk kembali kepada akar-akar yudaik. Penekanan ini meliputi pemulihan nama Yahweh dalam bahasa Ibrani, perayaan hari Sabat, dan hari-hari raya Yahudi. Jemaat Assembly of Yahweh berasal dari kalangan Kristen non-Yahudi yang kemudian terlibat secara aktif dalam The Sacred Name Movement/Gerakan Nama Suci. Gerakan pembaruan ini berasal dari kalangan Advent dan Baptis.

Dalam artikelnya yang berjudul “Sacred Name Movement History”, Organisasi Yahweh New Covenant Assemblies (YNCA) sebagai salah satu komunitas penggerak pemulihan nama Yahweh, menjelaskan bahwa Gerakan Nama Suci mendasarkan pandangannya dari pernyataan dalam Amsal 30:4, “Siapakah yang naik ke sorga lalu turun? Siapakah yang telah mengumpulkan angin dalam genggamnya? Siapakah yang telah membungkus air dengan kain? Siapakah yang telah menetapkan segala

14John Fischer, Why Messianic Judaism, dalam Enduring Paradoxs (Baltimore,: Messianic Jewish Publishers, 2000), 8.

15Teguh Hindarto, “Messianic Judaism & Sacred Name Movement: Fenomena Keagamaan Abad XX dan Tanggapan Kekristenan (Seri 1),” http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/messianic-judaism-sacred-name-movement.html (diakses 18 November 2013).

16Ibid., 12. 17Oky Otto Otto, History of YHWH – Tantangan, Argumentasi, dan Pembuktian Sejarah

Penggunaan Kata YHWH (Yogyakarta: ANDI, 2013), 3.18Watchtower Bible and Tract Society of New York Inc. International Bible Students Association,

“Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru, pen. New World Translation of The Holy Scriptures Indonesia” (New York: Watchtower Bible and Tract Society of New York Inc. International Bible Students Association, 1999): 2024, dikutip dalam Oky Otto Otto, Ibid., 3.

19Herlianto, Gerakan Nama Suci, 12.

Page 7: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

ujung bumi? Siapa namanya dan siapa nama anaknya? Engkau tentu tahu!” Ayat lain yang setara dengan itu adalah Wahyu 14:1, “Dan aku melihat: sesungguhnya, Anak Domba berdiri di bukit Sion dan bersama-sama dengan Dia seratus empat puluh empat ribu orang dan di dahi mereka tertulis nama-Nya dan nama Bapa-Nya.”Atau dalam Yoel 2:32, “barangsiapa berseru kepada nama TUHAN (YHWH) akan diselamatkan….”

Fenomena The Sacred Name Movement tidak hanya berlangsung di Amerika dan Eropa, tetapi juga menyebar hingga Asia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, gerakan ini lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Nama Suci. Penganut gerakan ini tidak sedikit dan sebenarnya telah bergerak sejak tahun 1980-an.

Menurut Herlianto,Pada paruh kedua tahun 1980-an, beberapa mantan penganut Muslim yang menjadi Kristen merintis usaha penginjilan untuk menobatkan umat Islam melalui ceramah-ceramah, dan kemudian mendirikan Yayasan Nehemia (1987) untuk mendidik para penginjil. Dalam siar agamanya, secara pelan dan pasti yayasan ini memperkenalkan nama Yahweh dan menekankan kembalinya ibadat ke akar yudaik dengan membangkitkan kembali penggunaan bahasa Ibrani.20

Selain keharusan menggunakan nama Yahweh, kelompok ini juga melangkah maju dengan melarang penggunaan nama Allah. Alasannya, kata “Allah” adalah nama dewa bulan bangsa Arab pada masa jahiliah. Menggunakan kata itu untuk menyebut Yahweh berarti sama dengan menghujat-Nya.21 Larangan terakhir ini (mungkin) hanya akan berguna di negara-negara yang umat Kristianinya notabene menggunakan kata “Allah”, seperti di Arab, Etnis Hausa di Afrika Barat, Malaysia, dan Indonesia.

Untuk Indonesia, beberapa teolog sangat erat dikaitkan dengan Gerakan Nama Suci (GNS) ini, antara lain: dr. Suradi (akhir tahun 1990-an, dari Yayasan Nehemia), Pdt. Teguh Hindarto, M.Th. (Nafiri Yahshua Ministry), Pdt. Yakub Sulistyo S.Th. MA (Gereja Rohul Kudus, Surya Kebenaran), Prof. Kristian Sugiarto, dan lain-lain. Tiga nama terakhir adalah para tokoh dalam gerakan ini yang sedang ‘naik daun’ dan begitu giat melarang penggunaan kata ‘Allah’ dan mengharuskan nama Yahweh. Ajaran yang paling menimbulkan kontoversi adalah anggapan bahwa penyebutan nama YHWH yang benar dan tepat memberikan dampak secara langsung pada keselamatan manusia.22

Tidak berhenti sampai di situ. Belakangan ini di Indonesia, kelompok-kelompok dalam Islam juga makin gencar melarang umat Kristen menggunakan kata “Allah” untuk menyebut nama Tuhan. Upaya ini sebenarnya telah dilakukan sejak masa orde lama, namun baru pada tahun 2004, secara tegas ditekankan dalam surat edaran yang ditujukan untuk LAI.23 Surat edaran tersebut paling tidak menegaskan beberapa hal, yaitu: 1) menegaskan bahwa nama Allah merupakan nama sesembahan umat muslim; 2) menarik semua Alkitab dan buku-buku rohani Kristen yang mencantumkan nama Allah itu; 3) memberikan teguran yang keras bagi semua gereja yang masih menggunakan nama Allah; dan 4) memperingatkan dengan keras kepada semua pendeta dan penginjil tanpa terkecuali agar tidak menggunakan nama Allah saat berkhotbah, menyampaikan seminar, dan lain-lain.24

Surat edaran ini berpijak pada pemahaman bahwa secara etimologis kata Allah berasal dari bahasa Arab. Setidaknya telah tertulis di dalam kitab suci Al-Qur'an semenjak tahun 633 M, yaitu ketika untuk pertama kalinya kitab wahyu tersebut

20Ibid., 17.21Ibid.22Ajaran ini dibahas panjang-lebar dalam buku setebal 298 halaman, oleh: R. Clover, The Sacred

Name, Jilid 1 (U.S.A.: Qadesh La YAHWEH Press, 2002), 223-229. 23Surat edaran, tanggal 28 Mei 2004.24Herlianto, Ibid., 19-20., lihat juga: Tabloid Reformata, edisi 80, 1-15 Maret 2008.

Page 8: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

dibukukan oleh Zayd ibn Tsabit atas perintah Khulafaur Rasyidin I, Abu Bakar ash-Shiddiq. Bahwa Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Dengan kata lain, tidak ada tuhan selain Allah. Allah adalah nama diri Dzat Rabb Semesta Alam. Ia tidak dapat diterjemahkan dengan kata lain, misalnya, God, Tuhan, atau Gusti. Ia juga tidak dapat dijadikan terjemahan untuk bahasa manapun. Lafadz-nya dinamakan Lafzhul Jalalah. Ada beberapa ayat yang dijadikan sebagai dalilnya, seperti:

Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya, Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (QS. 2:255).

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. 20:14)

Dan Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. 28:70)

Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Mahaesa; Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." (QS. 112:1-4)

Oleh karena itu, menurut kalangan tersebut penyusunan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia telah salah karena memakai kata “Allah” untuk menerjemahkan nama Yahweh. Padahal, Allah adalah nama diri dari Dzat Rabb Semesta Alam yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa manapun dan tidak dapat dijadikan terjemahan untuk bahasa manapun.

Seakan menjawab polemik ini, Bishop Martinus Muskens dari Breda, Belanda, menyarankan agar kata God diganti menjadi Allah, karena menurutnya “Allah is beautiful name". Muskens sendiri pernah berada lama di Indonesia, dan menulis sejarah gereja di Indonesia. Ia terinspirasi penggunaan kata Allah di kalangan Kritiani di Indonesia dan di dunia Arab. Lantas gagasannya ini memunculkan polemik di Belanda, terutama di kalangan Kristiani sendiri. Muskens berpendapat, "Allah is a very beautiful word for God. Shouldn't we all say that from now on we will name God Allah?"25 ini (mungkin) lahir dari presaposisi bahwa jauh sebelum Islam muncul, nama Allah telah digunakan oleh orang Kristen dan Yahudi di Arab. Sekaligus meminimalisasi ketegangan di antara dua agama semitik ini.

Sekelumit pandangan ini bukan saja berujung pada perdebatan yang panjang, tetapi juga perpecahan dalam gereja itu sendiri. Polemik ini sontak memunculkan sekumpulan pertanyaan yang rumit. Siapakah sesembahan kita? Apakah YHWH atau Allah? Apakah Allah berbeda dengan YHWH? Manakah nama yang benar dari sesembahan umat Kristen? Apakah harus mengganti kata Allah dalam Alkitab dengan Yahweh? Apakah pengucapan “nama” Yahweh memberikan dampak yang signifikan bagi keselamatan seseorang? Benarkan pandangan kaum muslim tentang nama Allah? Apakah LAI telah salah memakai nama Allah? Apakah dengan menyebut Allah dalam ibadah dan sebagainya, orang Kristen telah menghujat Yahweh? Pertanyaan-pertanyaan ini akan diolah dan ditinjau dalam kemasan yang kritis dan evaluatif.

25http://www.godallah .com/index. Php, (diakses 09 November 2013).

Page 9: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

Tinjauan Kritis-Evaluatif

Presaposisi-presaposisi yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang baru saja dipaparkan perlu mendapat perhatian yang komprehensif. Oleh karena itu, penulis akan menyadurnya menjadi dua bagian tinjauan, yang pertama penulis khususkan untuk menelaah paham-paham seputar sakralisasi nama “Yahweh” dan kedua seputar persoalan penggunaan dan pemaknaan nama “Allah”. Dalam hal ini, penulis berupaya merekonstruksi dan menawarkan ulasan-ulasan kritis-evaluatif dalam hubungannya dengan polemik ini.

Ada beberapa argumen yang dapat diajukan untuk mengevaluasi pandangan-pandangan yang telah dipaparkan sebelumnya.

Pertama, bukan manusia yang menamai Allah. Nama yang Allah gunakan untuk menyatakan diri-Nya tidak bersifat arbiter. Dengan kata lain, Allah tidak menentukan nama-Nya berdasarkan negosiasi aktif maupun pasif dengan manusia. Meskipun Allah menggunakan bahasa manusia dan bukan ilahi. Dengan nama-Nya, Allah menyatakan diri dan berelasi dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Manusia dapat memanggil-Nya dengan semua nama yang dinyatakan oleh Allah, sebagai sebutan-sebutan Allah. Saat menyebut nama-nama itu, ada keharusan untuk menjaga kekudusan dan kemuliaan-Nya.26

Oleh karena Allah menyatakan nama-Nya dengan menggunakan bahasa manusia yang terbatas (finit), jelas kontras dengan kekekalan kesempurnaan (infinit) Allah. Bavinck berpendapat, “Seandainya Allah berbicara kepada kita dalam bahasa ilahi, tidak satu pun ciptaan yang akan memahami Dia.”27 Memahami segala kepenuhan Allah yang tidak terbatas melalui bahasa manusia yang terbatas dan berkesudahan adalah upaya yang mencoba melanggar keberadaan-Nya itu sendiri. Jika demikian, maka menyebut dan atau memanggil Allah dengan nama apa pun jelas merupakan tindakan penistaan terhadap keagungan Allah yang infinit itu. Dalam hal ini, Allah tidak dapat dan tidak boleh disebut atau dipanggil dengan nama apa pun.28

Implikasi logis dari pemahaman ini adalah setiap nama, baik itu Yahweh, Elohim, Adonay, Kurios, Theos, Allah, dan lainnya merupakan nama yang dipakai Allah secara antropomorfis. Jika nama-nama itu hanya merujuk pada persoalan “nama” dan bukan pada pribadi dan relasi-Nya dengan ciptaan, maka semua upaya manusia untuk memanggil-Nya merupakan bentuk penistaan terhadap eksistensi kekekalan-Nya. Tetapi tidak demikian. Allah berkenan menyatakan diri-Nya dengan bahasa yang dimengerti manusia.

Kedua, Alkitab dilatarbelakangi oleh budaya Yahudi. Hal ini sekaligus memberikan informasi bahwa pemaknaan pada ‘nama’ harus dimengerti dalam konteks Yahudi. Bagi orang Yahudi, ‘nama’ selalu terkait erat dengan ‘pribadi’. Dalam Kitab Suci, ‘nama’ dapat dirumuskan dalam tiga dalil*, yaitu: (1)Nama adalah pribadi itu sendiri; (2) Nama adalah pribadi yang diungkapkan dan (3)Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif. 29

Apabila ketiga pengertian ini diterapkan untuk Allah maka penjelasan sekaligus dalil-dalilnya sebagai berikut:1. Nama menunjuk kepada pribadi itu sendiri

Dalam Alkitab, nama seseorang selalu diidentikkan dengan pribadi seseorang. Lenyapnya seseorang sering disebut ‘namanya hilang’. Misalnya, doa bangsa Israel ketika mereka dikalahkan dalam sebuah peperangan: “…maka mereka akan mengepung kami dan melenyapkan nama kami dari bumi ini. Dan apakah yang akan Kau lakukan untuk memulihkan Nama-Mu yang besar itu?” (Yos 7:9).

Dalam hal Allah, digambarkan lebih dramatis lagi. Sebab TUHAN identik dengan ‘Sang Nama’. Imamat 24 ayat 11 dalam teks asli: “Wayyiqov ben ha isyah ha

26Bavinck, Ibid .,113.27Ibid.28Ibid., 120.29Lihat artikel ‘Nama’ dalam: JD Douglas (ed), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid 2 (Jakarta:

Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995), 123-124.

Page 10: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

yisrael et ha Syem…” (anak perempuan Israel itu menghujat Sang Nama dengan mengutuk). Karena itu Alkitab Terjemahan Baru 1974 (LAI)  menerjemahkan: anak perempuan Israel itu menghujat nama TUHAN dengan mengutuk.

Dari contoh ayat diatas, jelaslah bahwa ‘nama’ menunjuk kepada ‘pribadi’ yang dinamakan itu. Karena itu, yang dipentingkan bukan penyebutan Nama Ilahi Yahwe dalam bahasa Ibrani, melainkan lebih menunjuk kepada Pribadi Allah itu sendiri: Allah yang Maha kekal, Mahaesa, Maha hidup yang menyatakan diri-Nya kepada manusia.

2. Nama adalah Pribadi yang DiungkapkanAmsal 18:10, “Nama TUHAN adalah menara yang kuat, kesanalah orang benar

berlari dan ia menjadi selamat.” Ayat tersebut menyebut bahwa Nama TUHAN (syem Yahwe) adalah menara yang kuat, maksudnya tidak lain adalah Pribadi Allah yang hidup dengan kekuasaan IlahiNya yang menjaga dan melindungi kita. ‘Nama’ disini menunjuk kepada apa yang diketahui tentang Pribadi-Nya.

Contoh yang lebih jelas, dalam Yesaya 30:27 dalam bahasa Ibrani: hinneh syem yahwe ba mimmerhaq…Secara harfiah terjemahannya: perhatikanlah, Nama TUHAN datang dari tempatNya yang jauh. Mengapa dikatakan ‘Nama TUHAN’ datang? dan tidak dikatakan saja ‘TUHAN’ datang? Jawabnya, nama disini untuk menekankan pengungkapan ‘pribadi’ TUHAN. Tepat sekali LAI menerjemahkan: TUHAN datang menyatakan diriNya dari tempat yang jauh. Disini ‘nama’ diterjemahkan ‘menyatakan diri-Nya’. Jadi sekali lagi bukan dalam makna mempertahankan secara harfiah penyebutan Ibrani Yahwe sebagaimana ditafsirkan kelompok Saksi-Saksi Yehuwa dan Gerakan Nama Suci, melainkan makna teologis dari Nama-Nya tersebut.

3. Nama adalah Pribadi yang hadir secara aktifMakna ketiga dari Nama adalah kehadiran aktif dari Pribadi itu dalam

kepenuhan sifat-Nya yang diungkapkan. Dalam Mazmur 76:1 dikatakan: “Allah terkenal di Yehuda, nama-Nya masyhur di Israel.” Ini dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan Allah yang dahsyat yang dialami oleh umat Israel.

Begitu pula di gunung Karmel, Nabi Elia mengusulkan ‘perang’ antara Nama TUHAN dengan nama-nama ilah lainnya. Nama dalam hal ini menunjukkan kepada Pribadi Allah yang hadir yang dibuktikan dengan menjawab doa orang yang menyerukan Nama-Nya. “Kemudian biarlah kamu memanggil nama ilahmu (besyem elohekhem) dan aku pun akan memanggil Nama TUHAN (besyem Yahwe)”, begitu Nabi Elia menantang dalam 1 Raja-Raja 18:24, “maka ilah yang menjawab dengan api, Dialah Allah (we hayah ha elohim asyer yaeneh be esh hu ha elohim).” Dalam konteks ayat ini, secara gramatikal, Allah adalah ilah yang menjawab dengan api itu.

Kutipan ini juga membuktikan bahwa kata Allah memang sejajar dengan al-ilah dan bukan ‘nama diri’ (the proper name). Nama diri Allah adalah Yahwe, seperti disebutkan dengan ‘perang nama’ di gunung Karmel dimana Yahwe tampil sebagai pemenang karena Ia adalah Allah yang menjawab doa umat-Nya. Ia adalah Pribadi yang benar-benar hadir secara aktif.

Ketika kata YHWH ditinjau secara gramatikal, bentuk YHWH tersebut sangat berkaitan dengan Allah yang Maha hadir, baik saat lampau, kini, dan akan datang. Aspek-aspek waktu kemahahadiran Allah ini berkaitan dengan gramatikal bahasa Ibrani. Kata “hayah” (Dia telah ada), “howeh” (Dia ada), dan “yihyeh” (Dia akan ada). Dengan demikian, kata Yahweh menunjuk kepada Allah yang hadir secara aktif dalam segala zaman.

Memang dalam hal ‘nama diri’  Yahweh, semua orang Kristen sepakat itu. Namun, baik UBS dan LAI hanya mengikuti tardisi lama yang juga diikuti oleh Yesus, para murid-Nya dan gereja Tuhan sepanjang abad bahwa sekalipun nama Yahweh tetap dipertahankan dalam teks bahasa asli Kitab Suci Perjanjian Lama, tetapi tidak membaca nama ilahi itu.

Hal sekaligus membuktikan bahwa nama YHWH/Yahweh dapat diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain seperti  yang dicontohkan para penerjemah Alkitab

Page 11: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

dalam bahasa Yunani (Septuginta) yang kemudian diikuti oleh para rasul yang menulis Perjanjian Baru. Begitu pula terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa lain sesudah abad rasuli, seperti  Peshita/Peshito dalam bahasa Aram/Suryani, Koptik (dialek Sahidi dan Bohairi) dan teks Vulgata dalam bahasa Latin, yang kemudian disusul dengan Etiopia, Armenia, Arab dan masih banyak terjemahan kuno lainnya.

Ketiga, mempertahankan nama Yahweh dengan tujuan mendapatkan keselamatan adalah sesat. Mengutip ayat-ayat Alkitab secara lepas dan memberikan penekanan yang salah terhadap pemakaian nama Yahweh. Upaya legalistik ini sangat bertentangan dengan Alkitab. Mengapa? Karena jelas hal ini menunjuk pada doktrin keselamatan karena perbuatan baik: keharusan mengucapkan nama Yahweh dengan benar dan tepat agar diselamatkan. Efesus 2:8-9 dengan tegas menyatakan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”

Keempat, Gerakan Nama Suci pada prinsipnya juga tidak konsisten. Gerakan ini bukan merupakan sebuah gerakan yang bersifat tunggal tetapi bervariasi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika gerakan ini memiliki banyak ketidaksamaan konsep perihal penyebutan nama Yahweh. Sangat ironis, karena gerakan ini dengan radikal memberikan penekanan penyebutan nama YHWH dengan BENAR dan TEPAT tetapi memiliki penyebutan nama yang bervariatif. L.D. Snow memberikan gambaran yang menarik tentang fenomena ini. Ia berpendapat bahwa para penganut gerakan ini tidak memiliki rumusan yang tetap mengenai pelafalan nama YHWH. Ada yang menyebutnya IHVH, JHVH, JHWH, YHVH, YHWH, JAHAVEH, JAHVAH, JAHVE, JAHVEH, YAHVE, YAHVEH, YAHWE, dan YAHWEH.30 Mana yang benar? Manakah dari para penganut gerakan ini yang akan diselamatkan? Jika teori yang dikumandangkan oleh gerakan ini benar, maka keberagaman ini tentu saja menempatkan para penganutnya dalam posisi yang juga salah karena tidak memiliki sebutan yang BENAR dan TEPAT. Dengan kata lain, para pengagum nama suci ini sedang menyerang argumen (diri) sendiri (strawmen fallacious) ketika mengeritik kekristenan.

Kelima, tindakan menyalahkan para penerjemah Septuaginta adalah keliru. Dalam LXX, kata “Yahweh” diterjemahkan menjadi “Kurios” yang berarti “Tuhan”. Penerjemahan ini dipandang oleh GNS salah dan sesat. Nama Yahweh adalah nama pribadi yang tidak bisa digantikan oleh kata Kurios yang adalah nama dewa Yunani.31 Para penganut ini berpendapat bahwa semasa Yesus dan para murid hidup, mereka tetap menggunakan nama Yahweh. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya naskah (septuaginta) Paleo Hebrew yang tetap mencantumkan nama Yahweh itu.32 Hal ini jelas merupakan langkah predisposisi yang dilakukan oleh pengikut GNS. Bagaimana mungkin menutup mata terhadap begitu banyaknya naskah LXX dan versi-versi terjemahan lainnya yang tidak mencantumkan nama Yahweh? Lalu menganggap bahwa naskah LXX dan versi terjemahan yang lain tidaklah benar? Apa standar otorisasinya? Apakah hanya karena nama Yahweh? Dalam hal ini, para pengikut GNS kedapatan menggunakan standar ganda untuk membenarkan argumen mereka. Di samping itu, teks yang mencantumkan tetragramaton itu dianggap sebagai sisipan. Terlihat dari perbedaan besarnya ukuran huruf dengan kata-kata lain, perbedaan gaya penulisan, kepekatan tinta, terlihat ada baying-bayang kata yang telah dihapus di belakang nama YHWH itu, dan perbedaan dalam jarak antar kata.

Keenam, terdapat dua pandangan berbeda tentang nama Yahweh. Pandangan pertama yang datang dari kelompok yang kontra terhadap sakralisasi nama Yahweh. Nama Yahweh dianggap telah dikenal jauh sebelum masa Musa yaitu pada dunia kafir. Misalnya, Herlianto berpendapat bahwa nama Yahweh bukan nama yang baru

30L.D. Snow, “A Brief Histori of the (Sacred) Name Movement in America,” World Today Analyzed (September 1975), dikutip dalam Herlianto, Ibid., 15.

31Dikutip dalam Budi Asali, “Keharusan Menggunakan Nama Yahweh dan Larangan Menggunakan Kata Allah” (ceramah, G.K.R.I Golgota, Surabaya, 6 Juni 2008).

32 Jahja Iskandar, “Mengapa Nama Yahweh Semakin Populer.” (Jakarta: PT Abiyah Pratama, 2009), 86-87, dikutip dalam Oky Otto Otto, Ibid., 35.

Page 12: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

dikenal Musa dalam peristiwa di gunung Horeb. Nama Yahweh diduga memiliki asal muasal dari kaum Keni-Midian.33 Atau, pendapat dari Hartmann, Bohlen, Colenso, Dozy, dan Land bahwa nama itu berasal dari Kanaan atau Funisia dan akhirnya digunakan oleh bangsa Israel yang masuk ke tanah Kanaan.34 Menjawab hal ini, saya sependapat dengan Bavinck yang menyatakan bahwa pendapat-pendapat tersebut tidak dapat dibuktikan dan dipertahankan sebab tidak ada jejak yang ditemukan tentang suatu allah bangsa Kanaan yang bernama Yahweh.35

Pandangan yang kedua datang dari kelompok pro nama Yahweh (Gerakan Nama Suci). Ada banyak dalil yang ditawarkan, namun penulis hanya akan memaparkan salah satunya. Kelompok ini berpendapat bahwa Yesus akhirnya dijatuhi hukuman mati dilatarbelakangi oleh penghujatan nama YHWH. Dalam pengadilan Mahkamah Agama, imam-imam kepala berupaya mencari kesalahan yang pantas dihadiahi hukuman mati. Apa itu? Penghujatan nama Allah dari mulut Yesus sendiri. Dalam Matius 26:64 kata “Yang Mahakuasa” (terj. LAI) dari kata “El” yang sebenarnya pengganti dari kata Yahweh. Saat Yesus mengucapkannya, maka dalam hukum Yahudi, dianggap sebagai bentuk hujat kepada nama Yahweh. Respons yang ditunjukan oleh Imam Besar semakin menjelaskan kisah penghujatan itu (ayat 65-66).36 Berpijak dari tafsiran tersebut, kelompok ini berpendapat bahwa nama Yahweh juga berupaya diperkenalkan oleh Yesus semasa ia hidup. Apakah ini benar?

Meskipun peristiwa ini benar terjadi sesuai tafsiran tersebut, tetap tidak menjadi sebuah keharusan menggunakan nama Yahweh dalam tradisi Yahudi pada masa itu. Mengapa? Karena penggunaan nama itu telah dilarang keras bagi setiap orang Yahudi. Summer berpendapat bahwa orang-orang Yahudi menghindari pengucapan nama Yahweh dengan menyebutnya secara euphemism, menggunakan istilah Ha-Shem (Sang Nama).37 Larangan itu semakin jelas dengan adanya penjatuhan hukuman mati bagi yang menista nama suci itu. Jika Yesus dan murid-murid-Nya telah beberapa kali menyebut dan memperkenalkan nama itu kepada orang Israel dalam berbagai kesempatan, bukankah sejak awal mereka telah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati tanpa terkecuali? Apakah tidak ada orang yang mendengar dan mengerti ketika Yesus mengucapkan Yahweh jauh sebelum malam pengadilan itu?

Persoalan lain yang juga meruak adalah mengenai nama Allah yang dipakai umat Kristen di Indonesia. Ketika "nama ALLAH" dipermasalahkan, kita harus mengerti apakah kata ALLAH identik dengan Allah umat muslim saja? apakah itu nama berhala? Ada beberapa hal yang dapat dipakai untuk menjelaskan bagian ini

Pertama, menurut salah satu cendekiawan Muslim, (Alm) Prof. Dr. Nurcholish Madjid keberatan tentang penggunaan nama Allah bagi kalangan Kristiani bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran sendiri yang menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen juga menyembah Allah (Qs. Al-Hajj 22:40). Juga bertentangan dengan fakta sejarah bahwa sejak zaman sebelum dan sesudah Islam, kata Allah digunakan bersama-sama oleh ketiga umat pengikut Musa, Yesus dan Muhammad.38 Pengucapannya mirip, asal bahasanya tidak jauh beda karena sama-sama rumpun Semitik, akar katanya.

Kedua, dalam konteks penggunaan kata Allah di Indonesia, setelah melihat dan menyelidiki dengan cermat, beberapa pakar lembaga biblika indonesia bersama LAI berkesimpulan bahwa terjemahan Alkitab tetap berpegang pada prinsipnya yakni tetap menggunakan kata Allah namun Allah bukan nama diri dari Tuhan itu sendiri. Kata 'Allah' terbitan LAI didefinisikan secara stipulatif. Menurut aturan berbahasa, penggunaan defenisi stipulatif pada dasarnya sah-sah saja.

33Ibid., 98. 34Bavinck, Ibid., 168 35Ibid.36Penjelasan yang lebih lengkap dan detail, silahkan lihat: R. Clover, Ibid., 181-189.37Paul Summer, “HaShem-The Name”, http://hebrewstream.org/works/hebrew/hashem.html

(Pittsburgh: Hebrew Stream, 1998), 2.38Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,1992), xciv-xcv.

Page 13: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

Kejelasan pemahaman dalam konteks ini perlu diperhatikan. Dalam Kristen, 'Allah' menjadi generik name bagi ha Shem (Sang Nama), sedangkan dalam Islam, 'Allah' adalah proper name dari sesembahan umat Islam. Jika umat muslim menyebut 'Allahlah Tuhanku' maka artinya Allahlah sesembahanku. Akan tetapi, jika Kristen menyebut 'TUHANlah Allahku' maka artinya Yahwehlah sesembahanku.

Ketiga, Allah dalam Alkitab jelas berbeda dengan Al-Quran. Islam dan Kristen tidak menyembah pada Allah yang sama. Allah dalam Alkitab dideskripsikan sebagai Allah yang tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan mencobai siapa pun dengan hal yang jahat (Yak. 1:13; Mzm. 5:4-5; Hab. 1:13). Allah dalam Alkitab adalah Allah yang selalu menyertai umat-Nya. Allah yang telah ada dan akan ada. Dalam Perjanjian Lama dideskripsikan sebagai Allah-nya Abr(ah)am, Ishak, dan Yakub sedangkan dalam Perjanjian Baru dinyatakan melalui inkarnasi Yesus Kristus.

Al-Quran mengajarkan bahwa Allah adalah ”The Author of Evil”. Misalnya dalam Surat An-Nisa ayat 142: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” Atau dalam Surat Al-Imran ayat ke-54, “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” Masih banyak lagi ayat-ayat Quran yang mendeskripsikan Allah yang jahat, penipu, perancang kejahatan, dan sebagainya. Tentu ini berbeda dengan Allah yang terdapat di dalam Alkitab. Dengan demikian, pendapat bahwa Allah dalam Islam sama dengan Kristen jelas merupakan sebuah kekeliruan dan kesesatan.

Kesimpulan

Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia dengan nama-nama yang spesifik. Nama-nama itu adalah nama-nama dalam bahasa yang dipahami manusia. Penamaan diri Allah bukanlah kerja sama dengan manusia. Allah tidak memberikan mandate kepada manusia untuk menamai-Nya. Allah menamakan diri-Nya sendiri dalam setiap zaman. Bagi bangsa Israel, puncak penyataan-Nya terdapat pada nama YHWH. Nama yang di kemudian hari menjadi polemik berkepanjangan.

Kelompok-kelompok yang memiliki andil dalam polemik ini dipengaruhi oleh semangat Yudaisme. Dua kelompok yang paling dikenal adalah Saksi Yehuwa dan Gerakan Nama Suci. Baik Saksi Yehuwa maupun Gerakan Nama Suci berangkat dari pemahaman yang sama mengenai pengembalian akar-akar yudaik. Meskipun keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal pengajaran. Jika Saksi Yehuwa hanya sampai pada penekanan nama, maka Gerakan Nama Suci memiliki penekanan lebih terhadap nama Yahweh, tata cara ibadah dan ritual Yahudi, dan masih banyak lagi.

Pengaruh dari kedua gerakan ini cukup luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Khususnya pada Gerakan Nama Suci, para pengikutnya secara aktif memperkenalkan keharusan menggunakan nama Yahweh sebagai nama sesembahan yang benar dan tepat. Bahkan cenderung menempatkan ‘nama’ Yahweh sebagai inti untuk memperoleh keselamatan.

Penekanan tentang pentingnya penyebutan nama YHWH bagi kekristenan bukan suatu persoalan. Itu benar adanya. Akan tetapi, keharusan menyebutnya sebagai syarat keselamatan telah melenceng jauh dari konteks pemahaman Alkitab secara menyeluruh. Ini yang sesat dan salah dari Saksi Yehuwa dan Gerakan Nama Suci. Begitu pula dengan klaim dari umat Muslim tidak memiliki dasar argumen yang tepat dan hanya merupakan klaim sepihak tanpa mempertimbangkan data dan fakta yang ada.

Menghormati nama Tuhan yang mana saja adalah kewajiban setiap orang Kristen. YHVH, YHWH, YAHWEH, YEHOVAH, KURIOS, THEOS, ELOAH, ELOHIM, EL, ELAH, ELAHA, ALLAH, dan lain-lain. Penekanan sebenarnya terdapat pada pemahaman tentang pribadi Allah yang berada di balik dan menyandang nama-nama

Page 14: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

itu. Allah yang telah ada dan akan terus ada menyertai umat-Nya. Allah Abraham, Ishak, Yakub, dan umat yang percaya pada-Nya.

BIBLIOGRAFI

Asali, Budi. “Keharusan Menggunakan Nama Yahweh dan Larangan Menggunakan Kata Allah.” Ceramah, G.K.R.I Golgota, Surabaya, 6 Juni 2008.

Bavinck, Herman. Dogmatika Reformed – Jilid 2: Allah dan Penciptaan. Surabaya: Momentum, 2012.

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 1 – Doktrin Allah, Cetakan ketiga. Jakarta: LRII, 1997.

Clover, R. The Sacred Name, jilid 1. U.S.A.: Qadesh La YAHWEH Press, 2002.Douglas, JD, (peny). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid 2. Jakarta: Yayasan

Komunikasi Bina Kasih, 1995. S.v. Nama.Douma, J. The Ten Commandments – Manual for the Christian Life. U.S.A.: P&R

Publishing Company, 1996.Fischer, John. “Why Messianic Judaism.” dikutip dalam Enduring Paradoxs.

Baltimore: Messianic Jewish Publishers, 2000.Herlianto. Gerakan Nama Suci – Nama Allah yang Dipermasalahkan. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2009.Herlianto. Siapakah yang bernama Allah itu?, cetakan ke-3. Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2005.Iskandar, Jahja. “Mengapa Nama Yahweh Semakin Populer.” Jakarta: PT Abiyah

Pratama, 2009. Dikutip dalam Oky Otto Otto, History of YHWH – Tantangan, Argumentasi, dan Pembuktian Sejarah Penggunaan Kata YHWH. Yogyakarta: ANDI, 2013.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina,1992.Otto Otto, Oky. History of YHWH – Tantangan, Argumentasi, dan Pembuktian Sejarah

Penggunaan Kata YHWH. Yogyakarta: ANDI, 2013.Shiffman, Michael. Return of the Remnant: the Rebirth of Messianic Judaism.

Baltimore: Lederer Messianic Publishers, 1996.Snow, L.D. “A Brief Histori of the (Sacred) Name Movement in America.” World

Today Analyzed (September 1975). Dikutip dalam Gerakan Nama Suci – Nama Allah yang Dipermasalahkan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Stern, David. Messianic Jewish Manifesto. Maryland: Jewish New Testament Publications, 1991.

Towns, Elmer L. Nama-Nama Allah. Yogyakarta: ANDI Offset, 2008.Watchtower Bible and Tract Society of New York Inc. International Bible Students

Association, “Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru, pen. New World Translation of The Holy Scriptures Indonesia.” (New York: Watchtower Bible and Tract Society of New York Inc. International Bible Students Association, 1999), 2024. Dikutip dalam Oky Otto Otto, History of YHWH – Tantangan, Argumentasi, dan Pembuktian Sejarah Penggunaan Kata YHWH. Yogyakarta: ANDI, 2013.

Moshay, G.J.O. Who is this ALLAH. USA: Dorchester House Publications, 1995.

Sumber Internet:Hindarto, Teguh. “Messianic Judaism & Sacred Name Movement: Fenomena

Keagamaan Abad XX dan Tanggapan Kekristenan (Seri 1).” http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/messianic-judaism-sacred-name-movement.html (diakses 18 November 2013).

http://www.godallah .com/index. Php, (diakses 09 November 2013).Irenio, Inry. “Allah.” https://www.facebook.com/notes/center-for-logical-defense-of-

christianity-cldc/allah/388997211169831 (diakses 12 November 2013).

Page 15: MENAMAI SANG NAMA (POLEMIK NAMA SUCI)

Summer, Paul. “HaShem-The Name”, http://hebrewstream.org/works/hebrew/hashem.html. Pittsburgh: Hebrew Stream, 1998 (diakses 08 November 2013).