Makalah Klp 6

24
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Masalah gizi merupakan masalah utama kesehatan masyarakat pada sebagian besar negara berkembang yang terutama terjadi pada bayi, anak-anak dan wanita usia produktif (UNICEF, 2000). Masalah gizi yang terjadi tidak hanya masalah gizi makro namun pula gizi mikro. Di Indonesia, bayi merupakan kelompok dengan prevalensi tinggi yang mengalami defisiensi zat gizi mikro, kondisi underweight dan stunting (ACC/SCN, 2000). Di Indonesia masalah kurang gizi disebabkan karena kurang energi protein (KEP). KEP merupakan masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Manifestasi KEP ditentukan dengan pengukuran status gizi (Rimbawan & Baliwati, 2004). Berdasarkan pengukuran status gizi tedapat kategori status gizi balita KEP yaitu underweight (BB/U), wasted atau kekurusan (BB/TB), dan stunted atau pendek (TB/U). Posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan India, China, Nigeria, dan Pakistan. Tinggi standar anak usia 5 tahun adalah 110 cm. Namun, tinggi rata- rata anak Indonesia umur 5 tahun pada tahun 2010 kurang 6,7 cm untuk anak laki-laki dan kurang 7,3 cm untuk anak perempuan. 1 | Gangguan Pertumbuhan Bayi (Stunting)dan akibatnya

Transcript of Makalah Klp 6

Page 1: Makalah Klp 6

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

Masalah gizi merupakan masalah utama kesehatan masyarakat pada

sebagian besar negara berkembang yang terutama terjadi pada bayi, anak-anak

dan wanita usia produktif (UNICEF, 2000). Masalah gizi yang terjadi tidak hanya

masalah gizi makro namun pula gizi mikro. Di Indonesia, bayi merupakan

kelompok dengan prevalensi tinggi yang mengalami defisiensi zat gizi mikro,

kondisi underweight dan stunting (ACC/SCN, 2000).

Di Indonesia masalah kurang gizi disebabkan karena kurang energi protein

(KEP). KEP merupakan masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup

mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Manifestasi

KEP ditentukan dengan pengukuran status gizi (Rimbawan & Baliwati, 2004).

Berdasarkan pengukuran status gizi tedapat kategori status gizi balita KEP yaitu

underweight (BB/U), wasted atau kekurusan (BB/TB), dan stunted atau pendek

(TB/U).

Posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan India, China,  Nigeria, dan

Pakistan. Tinggi standar anak usia 5 tahun adalah 110 cm. Namun, tinggi rata-rata

anak Indonesia umur 5 tahun pada tahun 2010 kurang 6,7 cm untuk anak laki-laki

dan kurang 7,3 cm untuk anak perempuan.

Prevalensi stunted (Z-score TB/U <-2.0 SD) di Asia Tenggara pada tahun

1995 36.8%, tahun 2000 32.1% (SCN, 2004). Di Indonesia prevalensinya lebih

tinggi. Data RISKESDAS 2007 menunjukkan prevalensi kependekan anak balita

di Indonesia 36.8, sebanyak 18.8% termasuk sangat pendek yaitu z-skor TB/U <-

3.0 SD (Depkes, 2008). Data terakhir dalam RISKESDAS 2010 menunjukkan

prevalensi kependekan secara nasional 35.6% artinya terjadi penurunan

dibandingkan prevalensi pada tahun 2007. Prevalensi sangat pendek sedikit turun

dari 18.8% pada tahun 2007 menjadi 18.5% pada tahun 2010 sedangkan

prevalensi pendek turun dari 18.0% menjadi 17.1% (Kemkes, 2010).

1 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 2: Makalah Klp 6

Kabupaten/kota yang memiliki prevalensi stunted tertinggi adalah

Kabupaten Seram Bagian Timur (67.9%), Propinsi Maluku. Menurut Salimar

(2009), prevalensi balita pendek tertinggi berada di pedesaan (65.1%), karena

sebagian besar balita berada di pedesaan di empat wilayah (Sumatera, Bali dan

Indonesia Timur, Kalimantan dan Sulawesi) di Indonesia.

Anak balita yang tinggal di daerah perkotaan ternyata lebih tinggi

dibanding anak yang tinggal dipedesaan. Keadaan lingkungan yang tetap dan

tidak berubah di pedesaan diduga menjadi penyebab tinggi badan anak di

pedesaan tidak berubah (ACC/SCN, 1997; Atmarita dan Tatang, 2004). Gangguan

pertumbuhan pada usia dini akan tetap bertahan sampai anak itu berusia remaja

jika anak tersebut masih tinggal di daerah yang sama. Akan tetapi keadaan ini

dapat diperbaiki jika makanan dan keadaan lingkungan turut diperbaiki (Martorel

et al., 1994 dan Rivera et al., 1995).

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1.Apakah definisi Stunting ?

1.2.2.Bagaimana klasifikasi stunting pada bayi ?

1.2.3.Bagaimanakah epidemiologi Stunting ?

1.2.4.Faktor apa sajakah penyebab dan yang mempengaruhi Stunting pada

bayi ?

1.2.5.Bagaiamana dampak Stunting pada bayi ?

1.2.6.Bagaimanakah upaya pencegahan Stunting pada bayi ?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1.Untuk mengetahui definisi Stunting.

1.3.2.Untuk mengetahui epidemiologi Stunting.

1.3.3.Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya Stunting pada bayi.

1.3.4.Untuk mengetahui dampak penyebab Stunting pada bayi.

1.3.5.Untuk mengetahui cara mendiagnosa Stunting.

1.3.6.Untuk mengetahui upaya pencegahan Stunting pada bayi.

2 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 3: Makalah Klp 6

1.4. Manfaat Penulisan

Diharapkan pembaca dapat melihat stunting menjadi salah satu isu

kesehatan yang sangat penting, kiranya bagi para calon ibu agar memperhatikan

janinnya terutama asupan makanan yang bergizi agar potensi stunting dapat

ditekan.

3 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 4: Makalah Klp 6

BAB II. LANDASAN TEORI

Stunting adalah gangguan pertumbuhan yang merefleksikan gagalnya proses

mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai akibat dari kesehatan yang kurang

optimal dan / atau kondisi gizi. Pada dasarnya penduduk yang memiliki kondisi

sosial-ekonomi yang rendah dan risiko terpaparnya suatu penyakit tertentu dan /

atau pola makan serta pola hidup yang tidak sehat sangat rentan mengalami

stunting. Demikian pula, menurunnya prevalensi stunting nasional biasanya

menunjukkan membaiknya kondisi sosial-ekonomi secara menyeluruh di negara

tersebut.

Stunting secara praktis digunakan sebagai pembuktian empiris karena

distribusi tinggi badan anak yang sehat tidak dipengaruhi oleh etnis dan ras untuk

lima tahun pertama usia mereka (Habicht, 1974). Setiap perbedaan di antara

penduduk atau kelompok etnis di bawah usia lima tahun memiliki beragam

tingkat penghambat pertumbuhan yang disebabkan oleh faktor lain selain

kecenderungan genetik. Satu-satunya pengecualian adalah perbedaan jenis

kelamin.

Adapun penelitian di Asia yang menunjukkan kerentanan perempuan lebih

tinggi (Khatun, 2004), namun beberapa penelitian di negara berpenghasilan

rendah telah menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih cenderung penghambatan

pertumbuhan dibandingkan perempuan, sebagian besar dari mereka terdapat di

sub-Sahara Afrika. Salah satu penelitian terbaru dikelompokkan dalam tingkat

prevalensi stunting berdasarkan jenis kelamin dan status sosial ekonomi (Wamani,

2009). Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa pada keluarga miskin,

penderita stunting lebih banyak dialami anak laki-laki dibandingkan anak

perempuan, dan perbedaan akan jenis kelamin dalam stunting tidak terdapat pada

anak-anak dengan kondisi sosial-ekonomi baik.

4 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 5: Makalah Klp 6

Gizi baik dan gaya hidup sehat merupakan hal yang penting sepanjang

siklus kehidupan untuk menjamin kesehatan optimal bagi individu dan generasi

berikutnya. Ketika anak kehilangan hal tersebut, maka akan menjadi anak pendek

(stunting). (Ferrari FBM, 2002). Anak-anak bertubuh pendek karena kurang

gizi kronis sejak dalam kandungan. Kemiskinan dan kekurangtahuan orangtua

membuat anak dan ibu hamil tak mendapat asupan gizi sesuai kebutuhan. Kurang

gizi pada ibu hamil membuat 11,1 persen bayi lahir dengan berat badan rendah,

yaitu kurang dari 2.500 gram.

Data yang disampaikan oleh UNICEF, anak yang pendek punya rata-rata

IQ 11 poin lebih rendah dibandingkan rata-rata anak dengan tinggi normal sesuai

usianya. Menurut Linda S Adair, PhD, Associate Professor of Nutrition

Universitas Carolina Utara, AS mengatakan, ini tidak berlaku apabila tubuh

pendek diakibatkan karena faktor genetis.

Stunting menimbulkan berbagai konsekuensi, baik yang bersifat jangka

pendek maupun jangka panjang. Pada jangka pendek, stunting, wasting berat, dan

IUGR secara bersama-sama bertanggungjawab pada kematian 2,2 juta kematian

anak balita dan 21% disability-adjusted life-years (DALYs).

5 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 6: Makalah Klp 6

BAB III. PEMBAHASAN

3.1. Definisi Stunting

Stunted merupakan manifestasi sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya

angka Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta

tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna pada masa

berikutnya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada usia sekolah banyak

ditemukan anak yang kurang gizi.

Di negara-negara berkembang, stunting dimanifestasikan dengan gangguan

akan pertumbuhan dan prevalensi defisiensi gizi makro dan gizi mikro yang

cukup tinggi. Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah

gizi kurang. Gangguan stunting mengakibatkan anak tidak mampu mencapai

potensi genetik, mengindikasikan kejadin jangka panjang dan dampak kumulatif

dari ketidak cukupan komsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang

tidak memadai (ACC/ SCN 1997).

Gangguan pertumbuhan linear atau penyimpangan dari garis kurva

pertumbuhan referensi WHO di negara-negara berkembang pada umumnya terjadi

pada saat bayi berumur diatas 4-6 bulan dan penyimpangan semakin memburuk

selama tahun pertama kehidupan dan mencapai z-skor tinggi badan menurut umur

yang terendah pada tahun ke dua kehidupan (24 bulan), dan perbedaan kurva

pertumbuhan menjadi semakin membesar. Setelah umur 24 bulan, kurva

pertumbuhan akan mendatar pada z-skor yang rendah (Karlberg, 1994 dan

ACC/SCN, 1997).

3.2. Epidemiologi Stunting

6 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 7: Makalah Klp 6

3.3. Faktor Penyebab dan yang mempengaruhi Stunting pada Bayi

Sudah umum diketahui bahwa gangguan pertumbuhan linear diakibatkan

oleh berbagai faktor (multifaktoral), yang kemungkinan besar dapat mengganggu

metabolisme. Faktor yang paling penting ada tiga yaitu konsumsi zat gizi, infeksi

dan interaksi ibu dan anak, yang sebagian besar tergantung pada tingkat

pendidikan dan tingkat sosial ekonomi keluarga. Selama ini gangguan

pertumbuhan dianggap hanya sebagai akibat dari kurang energi-protein yang

berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Walaupun pendapat itu tidak

sepenuhnya salah, hasil analisis dari penelitian tentang hubungan antara intake

energi-protein dengan pertumbuhan linear yang dilakukan oleh Allen (1994)

menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan linear, dapat saja terjadi meskipun

intake energi-protein cukup.

Zat gizi dan non-gizi pada yang terdapat pada ASI berguna untuk menopang

kesehatan bayi, pertumbuhan, dan perkembangan sebagai faktor amikroba, enzim

pencernaan, hormon, dan growth modulator (Pretice, 1996). Pemberian ASI

memberi manfaat bagi kesehatan dan gizi bayi melalui beberapa mekanisme. ASI

menyediakan sumber zat gizi lengkap secara penuh selama 6 bulan pertama

kehidupan, kemudian memenuhi setengah kebutuhan selama 6 bulan periode

berikutnya dan memenuhi dua pertiga kebutuhan pada tahun kedua kehidupan

(WHO 1998; ACC/SCN, 2000). Berbagai penelitian melaporkan bahwa bayi yang

memperoleh ASI, lebih jarang menderita sakit bila dibandingkan dengan bayi

yang memperoleh susu formula, hal ini disebabkan ASI mengandung zat

kekebalan terhadap bakteri

Defisiensi zat gizi mikro (mineral seng, besi, iodium, selenium) diduga

dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan linear. Hasil penelitian

Allen (1994) menunjukkan bahwa suplementasi zat gizi mikro dapat memperbaiki

pertumbuhan linear. Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan konsumsi zat gizi

mikro juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan linear.

Pola pengasuhan secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi anak.

Jus’at dkk (2000) mengemukakan bahwa pola asuh sangatlah penting untuk

7 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 8: Makalah Klp 6

pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita. Lebih lanjut dikemukakan juga

bahwa pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh yang diwujudkan dengan

tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumberdaya lainnya untuk

kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang mempengaruhi status

gizi anak. Semakin tinggi pendidikan, semakin rendah prevalensi balita kurang

gizi dan balita kependekan (Kemkes, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi stunted

Berdasarkan analisis korelasi Pearson, diketahui bahwa faktor-faktor yang

berhubungan dengan stunted adalah PDRB (kapita tanpa migas), tingkat

pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, pemanfaatan posyandu,

imunisasi lengkap dan kejadian diare.

TABEL 1. Faktor yang Berhubungan dan Faktor yang Berpengaruh terhadap

Stunted

Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari

setiap faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis regresi linier tersebut dapat

diketahui bahwa PDRB/kapita, tingkat pendidikan, dan perilaku higiene 8 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 9: Makalah Klp 6

berpengaruh negatif terhadap stunted, sedangkan tingkat kemiskinan berpengaruh

positif terhadap stunted. Kondisi ini menunjukkan semakin tinggi persentase

penduduk yang berperilaku higiene, penduduk yang berpendidikan tinggi dan

tingginya PDRB/kapita wilayah, maka semakin rendah prevalensi stunted,

semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi stunted semakin meningkat.

Dengan persamaan liniernya sebagai berikut:

3.4. Dampak yang Stunting pada Bayi

Penyebab kejadian stunting terjadi pada saat prenatal dan postnatal

terutama pada dua tahun pertama kehidupan (ACC/SCN, 1997). Kerentangan

gangguan pertumbuhan linier post-natal mengalami perubahan menurut usia.

Di negara berkembang, periode terjadi kerentanan gangguan pertumbuhan

linier terjadi pada usia 3-6 bulan hingga usia 24-36 bulan (ACC/SCN 1997).

Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan

dengan meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya

perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik ( ACC/

SCN, 2000 ; Waterlow & Schurch, 1994 ).

Terhambatnya perkembangan motorik dan mental ditandai oleh perilaku

yang abnormal seperti apatis, kurang aktif, kurang mengekspolarasi lingkungan,

lekas marah, dan kurang respon terhadap stimulasi yang diberikan (Grantham-

McGregor 1995 ). Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan kapasitas

kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh (Haas, 1996 ) dan pada wanita

dapat menyebabkan terjadinya resiko komplikasi kandungan karena memiliki

ukuran panggul yang kecil serta resiko melahirkan bayi BBLR ( WHO 1995 ).

9 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 10: Makalah Klp 6

Anak perempuan yang stunted akan menjadi seorang ibu yang

berkontribusi terhadap risiko janinnya juga mengalami gangguan gizi. Hal ini

disebabkan janin sebenarnya menyerap deposit nutrisi yang dimiliki ibunya,

bukan hanya nutrisi yang diasupkan pada saat mengandung. Begitu pentingnya

pemenuhan gizi ini karena berhubungan dengan generasi-generasi berikutnya.

Sebanyak 80 persen sel otak berkembang hingga usia 2 tahun dan 95

persen pada usia 6 tahun. Karena asupan gizi yang tidak optimal sejak awal,

sementara proses pembentukan otak di proses pada periode tersebut, maka bisa

dipastikan proses pembentukan jaringan otak tidak akan sempurna.

Anak yang menderita stunting berat berdampak tidak hanya/ pada fisik

yang lebih pendek saja, tetapi juga pada fungsi kognitifnya. Stunting juga dapat

mengurangi risiko obstetric yang disebabkan oleh ukuran tubuh yang kecil dari

ibu, , walaupun tidak akan mengubah akibat stunting pada anak-anak pada fungsi

kognitifnya. Stunting juga dapat menyebabkan mental yang berkembang tidak

maksimal. (Barker, 2007). Sehingga stunting harus dicegah sejak dalam uterus

dan masa kanak-kanak. (UNICEF, 2003).

Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stres yang sudah berlangsung

lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian tidak

terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh). Hal ini mengakibatkan

menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh

dalam lingkungan yang mendukung.

Akibat kekurangan zat besi yang kerap menyertai penderita sangat

dikhawatirkan menimbulkan kejadian anemia. Hal ini mengingat anemia dapat

mengakibatkan gangguan kognisi maupun pertumbuhan fisik. Dalam jangka

panjang, kondisi stunting akan berakibat pada gangguan metabolisme yang

menimbulkan penyakit seperti hipertensi dan gangguan kesehatan akibat obesitas.

Obesitas terjadi dengan suatu mekanisme tertentu yang dimulai pada asupan

energi rendah berlangsung selama masa pertumbuhan. Asupan energi rendah itu

memicu penurunan pertumbuhan somatik (berkaitan dengan tubuh).

10 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 11: Makalah Klp 6

Asupan energi rendah juga akan memicu penurunan kadar faktor

pertumbuhan yang serupa hormon insulin, yang berkaitan dengan tingginya rasio

hormon kortisol terhadap hormon insulin.

Untuk jangka panjang, analisis data pada 5 negara berpendapatan rendah-

sedang menunjukkan bahwa stunting pada masa anak berkorelasi kuat dengan

postur pendek saat dewasa, rendahnya kehadiran di sekolah, berkurangnya fungsi

intelektual, dan rendahnya berat lahir keturunannya nanti (Black et.al. 2008)

3.5. Diagnosa Stunting

Mereka yang diukur dengan indikator TB/U dapat dinyatakan TB-nya

normal, kurang dan tinggi menurut standar WHO. Bagi yang TB/U kurang

menurut WHO dikategorikan stunted yang diterjemahkan “sebagai pendek tak

sesuai umurnya”. Tingkat keparahannya dapat digolongkan menjadi ringan,

sedang dan berat. Hasil pengukuran menggambarkan status gizi masa lampau.

Seseorang yang tergolong pendek tak sesuai umur kemungkinan keadaan gizi

masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan rendah yang diukur dengan

BB/U yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak

maupun dewasa. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau :

1) Kelebihan

a) Dapat memeberikan gambaran riwayat gizi masa lampau

b) Dapat dijadikan indicator keadaan sosial ekonomi penduduk

2) Kelemahan

a) Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok

usia balita

b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini

c) Memerlukan data umur yang akurat yang sering sulit diperoleh di negara-

negara berkembang

11 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 12: Makalah Klp 6

d) Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila

dilakukan oleh petugas non profesional

Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) (Riskeda, 2010) :

1) Sangat Pendek : Zscore < -3.0

2) Pendek : Zscore >= -3.0 s/d Zscore <-2.0

3) Normal : Zscore >= -2.0

Berdasarkan indikator TB/U :

Prevalensi sangat pendek = (∑ Balita sangat pendek / ∑ Balita) x 100%

Prevalensi pendek = (∑ Balita pendek / ∑ Balita) x 100%

Prevalensi normal = (∑ Balita normal / ∑ Balita) x 100%

3.6. Upaya Pencegahan Stunting

Pertama, pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting

pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia >

6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang

berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan

dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting.

Kedua, peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket

A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek huruf sehingga dapat

mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi

tersebut dipraktikan dalam keluarga.

Ketiga, peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko

penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang

lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan

kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah

terjadinya stunting di pedesaan.

Keempat, memberikan asupan gizi yang baik tidak hanya pada ibu hamil,

tapi juga pada remaja putri, wanita usia subur agar kelak ketika sedang hamil

12 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 13: Makalah Klp 6

kebutuhan asupan gizi telah terpenuhi jauh sebelum memiliki janin. Sebab remaja

yang sedang bertumbuh umumnya melahirkan bayi berat lahir rendah karena

adanya persaingan nutrien untuk remaja yang bertumbuh, fetus yang bertumbuh,

dan fungsi placenta yang buruk. Kehamilan pada remaja mempunyai risiko yang

lebih tinggi untuk mortlitas ibu dan bayi serta prematuritas. Perempuan dengan

masa anak-anak mengalami retardasi pertumbuhan juga akan mempunyai ukuran

tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan normal, karenya risiko untuk

terjadinya “obstructed labor” akan lebih tinggi.

BAB IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1) Stunting adalah suatu akibat lebih lanjut dari tingginya angka Bayi Berat

Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta tidak adanya

pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna, yang terjadi karena

defisiensi zat gizi makro maupun mikro yang menyebabkan seorang bayi

memiliki tinggi/panjang bayi dibawah normal.

2) Faktor penyebab stunting yakni multikausal, karena tidak mengonsumsi zat

gizi yang cukup, tapi beberapa hal lainnya seperti infeksi, ibu yang

mengalami stunting, tingkat pendidikan dan ekonomi kelaurga yang rendah,

tidak mendapatkan ASI ekslusif, dsbnya. Dan faktor yang mempengaruhi

stunted antara lain adalah PDRB (kapita tanpa migas), tingkat pendidikan,

tingkat kemiskinan, perilaku higiene, pemanfaatan posyandu, imunisasi

lengkap dan kejadian diare.

3) Dampak stunting pada bayi yaitu : Terhambatnya perkembangan motorik

dan mental ditandai oleh perilaku yang abnormal seperti apatis, kurang

aktif, kurang mengekspolarasi lingkungan, lekas marah, dan kurang respon

terhadap stimulan. Selain itu akan berdampak ketika usia dewasa dengan

kapasitas kerja karena terjadi pengurangan massa tubuh dan pada wanita

dapat menyebabkan terjadinya resiko komplikasi kandungan karena

memiliki ukuran panggul yang kecil serta resiko melahirkan bayi BBLR.

13 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 14: Makalah Klp 6

4) Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting antara lain : menekan

angka buta huruf bagi kaum wanita, agar saat hamil mereka dapat

mempunyai informasi yang lebih luas terhadap pentingnya asupan gizi dan

hidup sehat; memberi asupan gizi yang baik bagi para remaja putri secara

dini untuk memenuhi asupan gizi yang cukup; terlebih bagi ibu hamil

kiranya memperhatikan asupan gizinya serta setelah melahirkan

memberikan ASI ekslusif minimal 6 bulan bagi bayinya.

4.2. Saran

Terkait kasus stunting kiranya pemerintah dan masyarakat menaruh

perhatian yang besar, sebab stunting ini membawa dampak yang luar biasa

besarnya untuk Indonesia kedepan, sehingga perlu di perhatikan bahwa asupan

gizi bagi ibu hamil dan remaja putri perlu di tingkatkan secara dini, agar para

penerus bangsa Indonesia tidak terjangkiti Stunting.

14 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 15: Makalah Klp 6

REFERENSI

Arnelia. 2011. “Karakteristik Remaja dengan Riwayat Gizi Buruk dan Pendek

pada Usia Dini”. Journal of Nutrition and Food : 42-50

Astari, lita dwi. 2006. “Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting

anak usia 6-12 bulan di kabupaten Bogor”. Tesis Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Departemen Gizi dan Kesehatan Mayarakat. 2007. Gizi dan Kesehatan

Masyarakat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

De Onis Mercedes dan Monika Blössner. 1997. WHO Global Database on Child

Growth and Malnutrition. Programme of Nutrition. Geneva.

Inayah. 2012. Seribu Hari yang Menentukan.

http://www.rspkujogja.com/beritaartikel/berita/172-seribu-hari-yang-

menentukan . Diakses 27 September 2012.

Isdaryanti, christien. 2007. “Asupan Energi Protein, Status Gizi, dan Prestasi

Belajar Anak Sekolah Dasar Arjowinangun I Pacitan”. Skripsi Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta : 22-23.

15 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a

Page 16: Makalah Klp 6

Kompas. 2012. Indonesia Peringkat 5 Dunia untuk Jumlah Anak Pendek.

http://health.kompas.com/read/2012/01/12/06575989/Indonesia.Peringkat.5.

Dunia.untuk.Jumlah.Anak.Pendek . Diakses 27 september 2012

Ramli, Kingsley E., Kerry J Inder, Steven J Bowe, Jennifer Jacobs, dan Michael J

Dibley. 2009. Prevalence and risk factors for stunting and severe stunting

among under-fives in North Maluku province of Indonesia. BMC Pediatrics.

Rosha, bunga christitha. 2010. “Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan

pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur”. Tesis Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rivera JA, Martorell R, Ruel MT, Habicth JP, & Haas J. 1995. “Nutritional

suplementation during preschool years influences body size and

composition of Guatemalan aldolescents”. Journal of Nutrition. 125 1068s-

1077s.

Ulfani, DH., Drajat martianto, dan Yayuk farida baliwati. 2011. “Faktor-faktor

sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi

underweight, stunted, dan wasted di Indonesia”. Journal of Nutrition and

Food: 59-65.

Wamani H, Tylleskär T, Åstrøm AN, Tumwine JK, Peterson S. 2004: Mothers'

education but not fathers' education, household assets or land ownership is

the best predictor of child health inequalities in rural Uganda. Int J Equity in

Health, 3: 9.

_____. 2007. Boys are more stunted than girls in Sub-Saharan Africa: a meta-

analysis of 16 demographic and health surveys. BMC Pediatrics : 2.

16 | G a n g g u a n P e r t u m b u h a n B a y i ( S t u n t i n g ) d a n a k i b a t n y a