Makalah ESDM Fix
-
Upload
galihmanggala -
Category
Documents
-
view
171 -
download
1
Transcript of Makalah ESDM Fix
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang subur dan memiliki potensi keanekaragaman
hayati yang sangat melimpah (mega biodiversity). Potensi keanekaragaman hayati
tersebut merupakan salah satu yang terbesar di dunia setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan
sumber daya alam ini adalah anugerah dari Sang Pencipta yang harus bisa dimanfaatkan
seefisien mungkin untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk dapat
memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah tersebut, pasti diperlukan sumber daya
manusia yang melimpah pula. Namun sayangnya potensi sumber daya manusia itu, tidak
tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Potensi sumber daya manusia
Indonesia lebih banyak terkonsentrasi di pulau Jawa, Madura dan Bali. Kepadatan
penduduk di pulau-pulau ini sampai sekarang adalah yang paling tinggi di Indonesia,
padahal daya tampung dan daya dukung dari pulau-pulau ini untuk menyediakan dan
memenuhi kebutuhan hidup bagi penduduknya sudah sangat minim.
Melihat ketimpangan antara potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia
tersebut, maka pemerintah mencanangkan suatu program khusus yang diberi nama
transmigrasi. Transmigrasi merupakan istilah bahasa Indonesia untuk migrasi.
Transmigrasi secara lebih spesifik merupakan pemindahan penduduk dari pulau-pulau
yang terlalu padat penduduknya ke pulau-pulau yang kepadatan penduduknya masih
cukup rendah dan potensi alamnya masih belum digarap secara lebih intensif.
Di Indonesia, transmigrasi penduduk sudah dikenal sejak tahun 1905, atau sejak
pada masa kependudukan Belanda. Desa Gedong Tataan di Lampung merupakan basis
pertama kolonisasi petani Jawa di daerah luar pulau Jawa (Sayogyo dalam
Swasono;1986). Transimgrasi mempunyai arti sebagai perpindahan penduduk dari suatu
1
daerah ke daerah lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk menetap yang berguna dalam kepentingan pembangunan nasional
yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang
(Munir dalam Swasono;1986).
Ada dua macam transmigrasi, yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi
swakarsa. Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang sepenuh biayanya ditanggung
oleh pemerintah (Swasono;1986). Sedangkan transmigrasi swakarsa secara harfiah
adalah transmigrasi yang dilaksanakan atas dorongan sendiri, dengan kemauan dan
biaya ditanggung sendiri, berpindah dari daerah asal dan menetap di daerah transmigrasi
(Warsito et.al;1995). Transmigrasi merupakan tumpuan harapan bagi berbagai pihak,
tidak lagi menjadi tumpuan bagi petani kecil saja (Swasono, 1986).
1.2. Rumusan Masalah
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
persebaran penduduk yang sangat timpang. Sekitar 59,9 % dari jumlah seluruh
penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,7 % dari luas seluruh
daratan Indonesia. Sementara Kalimantan, pulau terluas di Indonesia (28,1 % dari
seluruh daratan Indonesia), hanya dihuni oleh sekitar 5,1 % dari jumlah penduduk
Indonesia. Papua atau Irian Jaya, provinsi terluas di Indonesia yang luasnya 22 % dari
luas Indonesia, dihuni oleh kurang satu persen dari total penduduk Indonesia (SP.1990).
Di Pulau Jawa, proses pemiskinan terjadi karena terlalu padatnya penduduk.
Sebaliknya, di luar Jawa, proses pemiskinan disebabkan justru karena kekurangan
penduduk. Desa-desa di luar Jawa banyak yang berpenduduk sangat sedikit dan
lokasinya terpencil sehingga jika dibangun sekolah akan kekurangan murid, jika
dibangun jalan atau dipasang jaringan listrik, biayanya sangat mahal dan tidak efisien,
2
jika dibangun pasar, pembeli dan barang yang diperjualbelikan sedikit. Akibatnya desa-
desa itu tetap tertinggal.
Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan pemindahan penduduk dari Pulau
Jawa yang sudah terlalu padat ke pulau-pulau lainnya di Indonesia yang kepadatan
penduduknya relatif masih jarang. Di Indonesia proses pemindahan penduduk ini,
meskipun kurang tepat, dikenal dengan istilah “transmigrasi”. Mungkin yang lebih tepat
adalah migrasi dalam negeri atau antardaerah, namun meskipun demikian, tulisan ini
tetap menggunakan istilah transmigrasi karena sudah sangat umum dipakai dan juga
digunakan oleh instansi resmi di Indonesia.
Maka dari itu penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran umum dan tujuan transmigrasi di Indonesia ?
2. Apa hubungan transmigrasi dan pembangunan nasional ?
3. Seperti apa pelaksanaan transmigrasi di Indonesia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian makalah ini sesuai dengan judul, yaitu untuk menganalisis dan
mengetahui apakah kebijakan transmigrasi di Indonesia dapat memberikan pemerataan
dan mengentas kemiskinan pada masyarakat. Selain itu penulis juga ingin menjabarkan
bagaimana pelaksanaan transmigrasi dilakukan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Secara umum pengertian transmigrasi ialah “perpindahan, dalam hal ini
memindahkan orang dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya dalam
batas negara dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk tercapainya penyebaran
penduduk yang lebih seimbang” (Heeren, 1979: 6).
Transmigrasi di Indonesia bermula dari upaya pemerintah Hindia Belanda untuk
memindahkan penduduk Pulau Jawa yang semakin padat ke pulau-pulau lain yang
membutuhkan tenaga kerja untuk mengembangkan potensi ekonominya dan merupakan
bagian dari “Politik Etis”. Istilah “transmigrasi” sendiri secara resmi baru digunakan
pada awal tahun 1946 oleh pemerintah Republik Indonesia ketika kebijaksanaan tentang
pengembangan industrialisasi di pulau-pulau seberang atau luar Jawa dirumuskan dalam
Konferensi Ekonomi di Yogyakarta (Siswono Yudohusodo, 1998: 6).
Pelaksanaan transmigrasi di Indonesia dapat dibedakan atas beberapa kategori,
yaitu transmigrasi spontan, transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi
bedol desa, dan transmigrasi lokal.
Transmigrasi spontan dipakai untuk menunjuk mereka yang atas usaha dan
resiko sendiri dan tanpa bantuan pemerintah pindah ke daerah tujuan transmigrasi.
Setibanya di tempat tujuan sementara, transmigran tersebut melaporkan diri pada kantor
jawatan Transmigrasi setempat dan mendapat sebidang tanah serta bantuan materil pada
waktunya. Akan tetapi, kebanyakan transmigran ini menduduki sebidang tanah secara
illegal, atau dengan cara lain mendapatkan hak untuk membuka tanah dari pemerintah
setempat. Daerah tujuan transmigran spontan utama di Indonesia adalah Provinsi
Lampung yang letaknya dekat dengan Pulau Jawa.
4
Taransmigrasi umum merupakan pelaksanaan transmigrasi yang dapat
dipandang sebagai bentuk “normal”. Dalam sistem ini, seluruh urusan untuk migran,
dari pendaftaran dan seleksi hingga bertempat tinggal di tempat pemukiman yang baru,
menjadi tanggungjawab Jawatan Transmigrasi. Yang tercakup di sini adalah pangan dan
biaya hidup yang lain selama delapan bulan pertama. Mereka tidak lagi tergantung pada
bawon dan dapat datang kapan saja sepanjang tahun. Mereka mendapat sandang, bahan
tanaman, dan selanjutnya beras, minyak, ikan, serta garam. Secara resmi semuanya ini
dianggap sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali setelah jangka waktu tiga tahun.
Transmigrasi keluarga merupakan transmigrasi yang pelaksanaannya dapat
dilakukan kapan saja sepanjang tahun, tidak hanya pada bulan-bulan menjelang panen.
Perumahan dan penghidupan menjadi tanggungan keluarga penerima, sehingga
biayanya jauh lebih murah daripada transmigrasi umum. Setelah mencapai titik
puncaknya pada tahun 1952, transmigrasi jenis ini lambat laun menyusut dan setelah
tahun 1959 lenyap sama sekali.
Transmigrasi bedol desa adalah perpindahan penduduk suatu daerah atau desa
secara keseluruhan termasuk aparat desanya. Hal ini terjadi karena adanya bencana alam
atau pembangunan suatu proyek pembangunan yang membutuhkan lokasi yang luas
seperti pemindahan penduduk dari Wonogiri Jawa Tengah ke Sitiung Sumatera Barat
pada tahun 1977 akibat pembangunan Waduk Gajah Mungkur.
Transmigrasi lokal mencakup migrasi dalam daerah atau provinsi tertentu,
seperti dari suatu daerah di Lampung yang penduduknya sudah terlalu padat ke daerah
lainnya yang baru dibuka dalam Provinsi Lampung. Hal ini terutama terjadi pada
generasi kedua para transmigran yang merasa bidang tanah yang merejka miliki sudah
tidak mencukupi lagi akibat adanya pembagian dengan saudara-saudara mereka yang
lain.
5
2.2. Mobilitas Penduduk
Sejak kira-kira 1,5 juta hingga 10.000 SM, manusia purba seperti Neanderthal,
Sinanthropus Pekinensis, dan Cro Magnon, selalu berpindah-pindah dari gua ke gua
dalam upaya mendekati padang perburuan atau tempat-tempat yang banyak terdapat
bahan-bahan yang perlu untuk kelangsungan hidup. Dalam proses mencari daerah yang
lebih baik ini, manusia secara berkelompok selalu berpindah tempat. Mula-mula mereka
berjalan kaki, lalu naik kuda, atau binatang lain, kemudian dengan gerobak atau dengan
jenis peralatan-peralatan angkutan lain, seiring perkembangan penemuan teknologi
angkutan.
Manusia berpindah-pindah menyelusuri hutan, pantai, dan tepi-tepi sungai untuk
mencari daerah-daerah yang subur, padang gembala, atau daerah-daerah perburuan yang
dapat memberikan makanan serta memenuhi kebutuhan lain secara memadai. Mereka
bergerak dan berpencar-pencar dari tanah-tanah asalnya, mulai dari Mesopotamia di
lembah Sungai Euphrat dan Tigris, dari lembah Sungai Nil di Afrika, dari lembah
Sungai Shindu di India, dari lembah Sungai Huang Ho di Cina, dari lembah Bengawan
Solo di Pulau Jawa, dan sebagainya, ke seluruh dunia.
Pada akhirnya manusia memutuskan untuk menetap di tempat-tempat tertentu
untuk waktu yang relatif lebih lama. Kebiasaan-kebiasaan yang menyertainya
dinamakan budaya, sedangkan tingkat kemajuan lahir dan bathinnya dinamakan
peradaban. Budaya dan peradaban mereka terus bergerak dan berubah. Perubahan yang
positif disebut kemajuan, sedangkan yang negatif dianggap sebagai kemunduran.
Berdasarkan analisis empiris, Prof. Dr. Aris Ananta, ahli kependudukan dari Universitas
Indonesia, menyatakan bahwa mobilitas penduduk berjalan secara alami melalui
beberapa tahap (Yudohusodo, 1998), yaitu:
Pertama, sebagian besar mobilitas penduduk bersifat nonpermanen, berpindah
bukan untuk menetap. Ini dilakukan oleh suku-suku nomaden.
6
Kedua, penduduk mulai pindah dari daerah perkotaan yang satu ke kota yang
lain, dengan kota besar sebagai tujuan utama. Migrasi penduduk bergerak dari kota kecil
ke kota-kota menengah, dan akhirnya ke kota-kota besar. Prasyarat dimulainya tahap
kedua ini ialah tersedianya jaringan transportasi yang luas dan efisien.
Ketiga, migrasi dari daerah-daerah pedesaan ke kota-kota besar yang berdekatan.
Mobilitas antarpedesaan mulai menurun, sebaliknya mobilitas antarperkotaan mulai
meningkat. Lalu mereka mulai menetap di perkotaan. Jika yang pindah itu berada pada
usia kerja, maka di daerah pedesaan akan terjadi kekurangan tenaga kerja.
Keempat, tahap masyarakat transisi akhir (late transitional society). Tahap ini
ditandai dengan munculnya kotaraya (megacity). Pada tahap ini, penduduk pedesaan
langsung pindah ke kota besar. Pada tahap ini mulai terlihat dominasi migran
perempuan dan migrasi tenaga kerja ke luar negeri.
Kelima, tahap masyarakat mulai maju (early advanced society), terjadi ketika
jumlah penduduk perkotaan sudah melewati angka 50%, dan mobilitas dari pedesaan ke
perkotaan mulai menurun. Terjadilah suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk
perkotaan. Sebagian penduduk kota mulai pindah pindah ke luar kota (sekitar kota
besar) tetapi bekerja di kota besar. Mobilitas nonpermanen ulang-alik (commuter) mulai
meningkat kembali.
Keenam, masyarakat maju lanjut (late advanced society), yang ditandai dengan
terjadinya proses dekonsentrasi penduduk perkotaan. Penduduk perkotaan semakin
menyebar ke daerah pinggiran dan perkotaan yang lebih kecil (yang berkembang dari
daerah pedesaan sekitar kota besar itu). Masyarakatnya semakin berciri kota, sehingga
masyarakat asal perkotaan tidak segan-segan lagi tinggal di daerah yang beberapa tahun
sebelumnya masih merupakan daerah pedesaan.
Ketujuh, tahap masyarakat supermaju (advanced society) yang diwarnai oleh
adanya teknologi tinggi, termasuk teknologi informasi. Pada tahap ini mobilitas
7
permanen semakin berkurang dan mobilitas nonpermanen yang ualng-alik semakin
meningkat. Transportasi digantikan oleh komunikasi yang semakin maju, sehingga
orang tidak perlu berpindah tempat untuk dapat berkomunikasi.
8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Umum dan Tujuan Transmigrasi Di Indonesia
Transmigrasi merupakan program yang unik dan sangat khas Indonesia. Dalam
program ini, pemerintah secara aktif terlibat langsung dalam memindahkan penduduk
dalam jumlah besar, menyeberangi lautan, dan berlangsung terus-menerus dalam waktu
yang cukup lama. Program seperti ini tidak ada duanya di dunia. Memang ada beberapa
negara yang mempunyai program serupa, tetapi jumlah penduduk yang dipindahkan
relatif sangat kecil, waktu penyelenggaraannya tidak terus-menerus dalam waktu yang
lama, dan umumnya dalam bentuk program resettlement, tidak menyeberangi lautan.
Pembangunan di bidang transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran
penduduk dan tenaga kerja, serta membuka dan mengembangkan daerah produksi
dan pertanian baru. Transmigrasi juga ditujukan untuk menunjang usaha-usaha peme-
rataan penyebaran pembangunan, pemerataan pembagian pendapatan dan perluasan
kesempatan kerja. Melalui transmigrasi diharapkan akan meluas juga kegiatan
pembangunan di sektor-sektor lain seperti pertanian, industri, perhubungan,
perdagangan dan lain-lain.
Kegiatan pembangunan di bidang transmigrasi di daerah penerima terutama
ditujukan untuk menunjang usaha peningkatan produksi pangan dan tanaman keras
melalui kegiatan ekstensifikasi, diversifikasi dan intensifikasi. Di samping itu, akan
ditingkatkan pula pembangunan di bidang transmigrasi yang menunjang usaha industri
baik industri kecil, menengah maupun industri besar. Dengan demikian diharapkan
kegiatan pembangunan tersebut akan memanfaatkan semua sumber alam yang ter-
sedia secara optimal, namun tetap memperhatikan kelestarian lingkungan di
sekitarnya. Sebaliknya, kegiatan pembangunan di daerah asal transmigrasi banyak
dititikberatkan kepada usaha-usaha rehabilitasi daerah yang telah ditinggalkan oleh
9
transmigran.
Sasaran peningkatan usaha transmigrasi dari tahun ke tahun cukup tinggi.
Untuk menyelenggarakan usaha yang lebih besar dan karena sifatnya yang lintas
sektoral, maka mekanisme koordinasi antara inatansi-instansi yang menangani
transmigrasi ditingkatkan, baik di pusat maupun di daerah dan di lapangan. Hal ini
dimaksudkan agar keseluruhan dan kesinambungan kegiatan transmigrasi berjalan
lancar dan serasi. Keserasian kegiatan di antara para pelaksana transmigrasi merupakan
kunci keberhasilan pembangunan di bidang transmigrasi.
3. 2. Transmigrasi dan Pembangunan Nasional
Seperti umumnya negara-negara sedang berkembang, dalam upaya
pembangunan ekonominya, Indonesia masih bertumpu pada pemanfaatan sumber daya
alam. Walaupun jumlahnya melimpah, tetapi karena terbatas maka akan berkurang arti
dan manfaatnya jika tidak dikelola secara arif. Eksploitasi pemanfaatan sumber daya
alam yang berlebihan, malampaui batas pemanfaatan secara lestari dan tak terencana
baik, akan merusak lingkungan hidup dan untuk jangka panjang akan berakibat buruk
terhadap penghuninya.
Pembangunan subsektor transmigrasi ikut memberikan andil yang cukup berarti
bagi keberhasilan pembangunan nasional. Kontribusi subsektor transmigrasi bagi
pembangunan nasional selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I meliputi bidang
pembangunan daerah, pembangunan ekonomi, dan pembangunan sosial budaya.
Pembangunan transmigrasi pada hakikatnya merupakan pembangunan daerah
melalui pembangunan pedesaan baru. Ada empat sasaran utama pembangunan
pemukiman transmigrasi:
10
Pertama, membangun desa-desa baru melalui pembangunan unit-unit
transmigrasi yang terintegrasi dalam Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan
Wilayah Pengembangan Parsial (WPP).
Kedua, membangun hinterland dari pusat-pusat pertumbuhan yang ada melalui
pembangunan unit-unit pemukiman transmigrasi yang terintegrasi dengan pusat-pusat
pertumbuhan tersebut.
Ketiga, mendorong pertumbuhan desa-desa yang kurang berkembang, melalui
penambahan penduduk dan pembangunan prasarana, yang disebut Transmigrasi
Swakarsa Pengembangan Desa Potensial (Transbangdep).
Keempat, membangun masyarakat transmigran dan penduduk di sekitarnya
melalui pengembangan keswadayaan masyarakat, agar pada saat pembinaan Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT) diserahkan kepada pemerintah daerah, masyarakat
telah mandiri..
Pembangunan desa-desa transmigrasi di luar Jawa tidak hanya berperan dalam
pembangunan SDM dan pengelolaan sumber daya alam yang sangat besar jumlahnya,
tetapi juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam mempersiapkan
pelaksanaan otonomi daerah.
Pada hakekatnya pembanguan transmigrasi merupakan pelaksanaan
kebijaksanaan kependudukan yang tidak hanya sekedar memindahkan penduduk. Di
tempat yang baru, kualitas hidup penduduk yang dipindahkan itu harus ditingkatkan.
Mereka memperoleh pelayanan-pelayanan yang pantas untuk memenuhi kebutuhannya,
baik di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, fasilitas keagamaan, dan
kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, pembangunan transmigrasi juga
meliputi pembangunan Sekolah Dasar, Puskesmas pembantu, sarana peribadatan,
penyediaan lapangan kerja, antara lain berupa lahan pekarangan, lahan pertanian, kebun,
11
tambak, kapal penangkap ikan, bagan apung, perangkat industri, serta pembinaan
keterampilan di bidang terkait.
Guna mendorong perencanaan dan pelaksanaan terpadu, maka dilaksanakan
konsultasi-konsultasi baik bersifat regional maupun nasional. Hal ini dimaksudkan
supaya terjelma kesepakatan dan kesatuan tindak dalam pelaksanaan transmigrasi di
tingkat pusat, daerah dan lapangan. Dalam rangka menggalakkan program
transmigrasi, diusahakan pula peningkatan partisipasi swasta dan masyarakat pada
umumnya. Dengan demikian diharapkan seluruh maayarakat akan terlibat dalam
kegiatan transmigrasi. Untuk kelancarannya telah mulai dirintis adanya hubungan
masayarakat dengan pemerintah melalui forum komunikasi dan forum konsultasi.
Kebijaksanaan di daerah penerima diarahkan kepada usaha untuk
mewujudkan pusat-pusat pembangunan baru di daerah-daerah sehingga menjamin
peningkatan taraf hidup transmigran dan masayarakat setempat. Guna menunjang
usaha tersebut, dilakukan pemilihan lokasi sebaik-baiknya. Penentuan lokasi
pemukiman transmigrasi didasarkan pada daya tampung daerah yang ber -
sangkutan, kesuburan tanah bagi usaha tani khususnya pangan, kelestarian alam,
dan sumbangan pengembangan pemukiman pada pembangunan daerah. Sebagai
tindak lanjutnya, maka pemukiman transmigrasi diarahkan pada pola-pola
tertentu seperti usaha pokok tanaman pertanian, usaha pokok tanaman perkebunan,
usaha pokok peternakan, dan usaha pokok tani nelayan dan tambak. Dalam rangka
menunjang hankamnas maka pembangunan pemukiman transmigrasi biasanya
diarahkan ke daerah-daerah perbatasan seperti di Kalimantan Barat, Daerah Riau,
Kalimantan Timur, Maluku dan Irian Jaya.
Adanya persiapan yang baik dan adanya fasilitas minimum yang dibutuhkan
amat penting peranannya di dalam menentukan berhasilnya pemukiman baru.
Persiapan-persiapan fisik yang dilaksanakan adalah pembukaan lahan, pembangunan
jalan penghubung, jalan poros dan jalan desa, balai pengobatan/Puskesmas, gedung 12
SD, rumah ibadah, gudang, rumah transmigran dan petugas lapangan, serta
penyediaan sarana air bersih. Setiap kepala keluarga transmigran mendapat lahan
seluas 2 ha. Pada tahap pertama lahan dibuka sampai siap tanam seluas 1,25 ha.
Lahan tersebut diperuntukkan bagi perumahan dan pekarangan 0,25 ha dan bagi lahan
usaha 1 ha. Sisanya seluas 0,75 ha lagi disediakan dalam bentuk lahan yang sudah
dikapling. Di samping itu dibuka pula lahan untuk bangunan dan fasilitas umum
rata-rata 0,25 ha per kepala keluarga.
Setelah tersedia fasilitas fisik minimum, maka pemindahan dan penempatan
transmigran dapat dilaksanakan. Pola penempatan di suatu proyek pemukiman
transmigrasi didasarkan pada azas "tripartial", yaitu sebagian untuk penduduk
setempat, sebagian untuk transmigran umum, dan sebagian lagi untuk transmigran
swakarsa. Penyediaan bagian untuk melayani penduduk setempat ditetapkan sekitar
10 persen dari jatah penempatan di suatu lokasi, sedang penyediaan bagian untuk
penempatan transmigrasi swakarsa akan selalu ditingkatkan berdasarkan pada
pengalaman dan perkembangan. Peningkatan transmigrasi telah dimulai dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan secara terpadu dengan usaha-usaha pengembangan
perkebunan melalui Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Khusus.
Sejak saat kedatangannya di daerah pemukiman baru, masyarakat
transmigran diberi bantuan dan bimbingan. Di samping perumahan kepada
transmigran diberikan pula bantuan jaminan hidup selama satu tahun sampai satu
setengah tahun. Bantuan jaminan hidup merupakan sumber utama kehidupan
transmigran dan keluarganya sebelum lahan pertanian mereka memberi hasil.
Untuk dapat memulai usaha pertaniannya, transmigran diberi bantuan bibit-bibitan,
pupuk, pestisida, peralatan pertanian, dan bantuan ternak. Pupuk dan pestisida
diberikan untuk selama kurang lebih 3 tahun. Agar usaha tani transmigran dapat
berlangsung dan berhasil dengan sebaik-baiknya, dilaksanakan kegiatan
penyuluhan. Penyuluhan tersebut diselenggarakan dalam berbagai bentuk,
13
umpamanya pembuatan petak percobaan dan pengujian, bimbingan teknis, latihan
dan pendidikan, dan lain-lain.
Untuk lebih menjamin peningkatan taraf hidup transmigran dilaksanakan pula
kegiatan pembinaan di bidang-bidang kesehatan dan keluarga berencana, pendidikan,
koperasi dan pemasaran, kelembagaan desa, generasi muda dan peranan wanita, dan
sebagainya. Bantuan pembinaan dalam bidang-bidang ini antara lain berupa penyediaan
peralatan dan bahan, serta tenaga pembimbing atau penyuluh lapangan. Sejalan dengan
bantuan tersebut diselenggarakan pula kegiatan penyuluhan dan penerangan, baik
secara langsung maupun tidak langsung, secara berkelompok atau perorangan.
Kegiatan-kegiatan latihan dan penataran dilaksanakan bagi para transmigran maupun
petugas guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka.
Kebijaksanaan transmigrasi di daerah asal menyangkut pemilihan daerah
prioritas, pemilihan calon transmigran, dan penyediaan fasilitas dan sarana
penunjang termasuk sarana angkutan. Pemilihan daerah asal dilakukan sebaik-
baiknya agar mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan daerah, me-
ngurangi kepadatan penduduk, kemiskinan dan pengangguran. Se- lain itu juga
terhadap daerah yang karena kegiatan pembangunan lainnya memerlukan
perpindahan penduduk, umpamanya daerah aliran sungai, daerah yang terkena
bencana alam seperti bencana alam gas beracun di Sinila dan bencana meletusnya gunung
Galunggung, serta daerah yang tergenang karena pembangunan waduk.
Guna melayani angkutan transmigran yang semakin meningkat dan
memerlukan kecepatan pelaksanaan, telah ditingkatkan kemampuan angkutan melalui
darat, laut dan udara. Khusus untuk angkutan transmigran lewat udara, telah
diadakan penambahan armada angkutan udara, sehingga sekarang tersedia
sembilan buah pesawat terbang.
14
Calon-calon transmigran yang diutamakan adalah keluarga-keluarga yang
tergolong miskin dan keluarga yang relatif berumur muda. Selain itu prioritas
diberikan pula kepada tenaga-tenaga terdidik yang mempunyai jenis ketrampilan
yang dibutuhkan di daerah transmigrasi. Dalam hubungan ini diutamakan antara lain
tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan khusus di bidang pertanian dan teknologi
pengolahan hasil-hasil pertanian. Jenis ketrampilan dan atau kejuruan lain di luar
pertanian yang diperlukan adalah guru, tukang, manajer koperasi, tenaga kesehatan
dan lain-lain.
Kepada masyarakat di daerah asal, dan masyarakat di daerah penerima,
diberikan informasi yang jelas dan besar mengenai transmigrasi. Penerangan dan
penyuluhan bukan saja memberi informasi tentang hak dan kewajiban serta peranan
sebagai transmigran, melainkan juga gambaran tentang keadaan yang sesungguhnya di
daerah penerima, keadaan dalam perjalanan dan sebagainya. Penerangan yang benar
tersebut penting untuk menambah kesiapan mental para calon transmigran. Kesiapan
mental transmigran benar-benar diuji di dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam
cara hidup mereka di daerah baru, khususnya pada waktu permulaan datang dan pada
waktu masa jaminan hidup berakhir.
Di samping transmigran umum dan transmigran swakarsa, juga dilaksanakan
pemukiman kembali penduduk di daerah transmigrasi seperti Propinsi Lampung,
Propinsi Sumatera Utara, dan di daerah asal, yaitu Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Hal ini dilaksanakan dalam rangka turut menata pemukiman penduduk di daerah-
daerah setempat. Di sam- ping itu, juga dilaksanakan penampungan tenaga kerja asal
AKAD yang tidak mau kembali ke Pulau Jawa dan ingin menjadi transmigran.
Untuk mencapai sasaran-sasaran pelaksanaan transmigrasi yang telah ditetapkan,
maka telah ditingkatkan kegiatan-kegiatan pengendalian dan monitoring pelaksanaan
15
kegiatan proyek-proyek pembangunan pemukiman transmigrasi. Dari kegiatan-ke-
giatan tersebut diharapkan sasaran yang telah ditetapkan dapat berjalan secara berhasil
guna dan berdaya guna serta dapat tercapai tepat pada waktunya.
3.3. Pelaksanaan Transmigrasi
Pelaksanaan program migrasi yang waktu itu disebut “kolonisasi” tersebut
dimulai pertama kali pada bulan November 1905, sejumlah 155 KK (815 jiwa) yang
berasal dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo (waktu itu Keresidenan
Kedu Jawa Tengah). Para transmigran tersebut diberangkatkan menuju Gedong Tataan,
sekitar 25 Km sebelah barat Tanjungkarang (waktu itu Keresidenan Lampung). Desa
baru tempat para transmigran tersebut diberi nama Bagelen, nama salah satu desa di
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, desa asal dari sebagian transmigran tersebut..
Pemilihan nama tersebut dimaksudkan agar mereka betah di tempat baru, dan merasa
seperti di desa asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya program kolonisasi juga
dilaksanakan ke daerah Bengkulu dan Sulawesi Tengah.
Dalam periode 1905-1942, penduduk yang berhasil dipindahkan sebanyak
235.802 orang penduduk. (Lampiran I). Daerah asal terbanyak ialah Jawa Timur 27.044
KK (90.086 jiwa) dan yang terkecil D.I. Yogyakarta 188 KK (750 jiwa). Daerah tujuan
terbanyak ialah Lampung 44.687 KK (175.867 jiwa) dan yang terkecil Sulawesi Selatan
137 KK (457 jiwa).
Setelah Indonesia merdeka, program pemindahan penduduk yang kemudian
disebut “transmigrasi”, dimulai kembali. Pada tanggal 12 Desember 1950,
diberangkatkan 23 KK (77 jiwa) dari Provinsi Jawa Tengah menuju Lampung. Program
ini terus dikembangkan hingga sekarang dalam berbagai macam pola dan cara.
Pengiriman keluarga transmigran dari Pulau Jawa, Bali, dan Lombok selama Pelita I, II,
III, dan IV berturut-turut adalah 46.268, 82959, 535.474, dan 402.756 (Ida Bagus
16
Mantra, 1987: 7). Hal ini tidak jauh berbeda dengan target yang dicanangkan pemerintah
(Lampiran II).
Perubahan yang cukup mendasar dalam kebijakan kependudukan terjadi pada
Peliata I. Pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah
kependudukan di Indonesia hanya dengan transmigrasi mulai berubah. Pemerintah mulai
mengadopsi program Keluarga Berencana untuk mengurangi laju pertumbuhan
penduduk yang cepat, terutama di Jawa.
Perkembangan selanjutnya dari program taransmigrasi adalah ketika
diperkenalkannya program transmigrasi “Pola Sitiung” oleh Departemen Tenaga Kerja,
Transmigrasi, dan Koperasi (Depnakertranskop) pada Pelita II. Pola ini berawal dari
adanya transmigrasi “besol desa” dari daerah Wonogiri Jawa Tengah (meliputi 41 desa)
ke empat desa baru di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung Sumatera Barat, yaitu Sitiung,
Tiumang, Sialanggaung, dan Kotosalak. Penduduk dari 41 desa di Wonogiri tersebut
dipindahkan karena desa tempat tinggal mereka terkena proyek bendungan Gajah
Mungkur. Jumlah transmigran tersebut adalah 65.517 jiwa atau lebih kurang 2.000 KK.
Hal yang dinilai lebih dalam pola ini adalah adanya koordinasi yang lebih baik antar
instansi terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya pembabatan hutan, membangun
prasarana jalan, jembatan, dan irigasi dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum,
urusan pemerintahan desa oleh Departemen Dalam Negeri, pengkaplingan tanah hingga
pembuatan sertifikat dilakukan oleh Jawatan Agraria, pendirian Puskesmas dan
tenaganya oleh Departemen Kesehatan, sekolah dan gurunya oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam pelaksanaan Pola Sitiung, transmigran tidak perlu membangun rumah
dulu, karena rumah sudah disipkan oleh Depnakertranskop. Begitu berhasilnya pola ini,
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Prof. Soebroto bermaksud
memperluas pola ini ke-14 provinsi lainnya di Indonesia. Akan tetapi, ternyata untuk
menerapkan pola ini ke propvinsi lain kendalanya cukup banyak, antara lain kesiapan
lokasi transmigrasi, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik.
17
Pola Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) mulai diperkenalkan pada Pelita III di
lokasi-lokasi transmigrasi. Pola ini cukup berhasil menarik minat penduduk pedesaan di
Pulau Jawa untuk ikut serta dalam program tarnasmigrasi ini. Melihat minat masyarakat
yang cukup tinggi ini, pada Pelita IV Departemen Transmigrasi kemudian lebih banyak
mendorong pelaksanaan transmigrasi spontan yang dibiayai sendiri oleh penduduk.
Orientasi program transmigrasi kemudian mengalami perubahan dari orientasi
kuantitas ke orientasi kualitas pada Pelita V. Pemerintah juga mendorong agar
masyarakat tergerak untuk melakukan transmigrasi swakarsa. Pada masa ini perhatian
untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi agar dapat menarik transmigran dari
Jawa mulai dibangun. Hutan Tanaman Industri-Transmigrasi (HTI-Trans) mulai
diperkenalkan yang merupakan kerjasama antra swasta pemegang Hak Penguasahan
Hutan (HPH) dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja. Selain
memperkenalkan HTI-Trans, Departemen Transmigrasi juga mendorong terbentuknya
pusat-pusat industrialisasi di luar Jawa, seperti agribisnis kelapa sawit atau tambak
udang inti rakyat transmigrasi.
Provinsi-provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi dewasa ini
adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimanatan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Di daerah-daerah tersebut, pengaruh demografi
cukup terasa oleh karena di masa lampau jumlah penduduk setempat relatif masih
sedikit. Di samping itu perekonomian daerah tujuan kemungkinan juga terpengaruh
dengan adanya pertambahan tenaga kerja dan pembukaan tanah-tanah pertanian baru.
Dalam kurun waktu 60 tahun (1930-1990), distribusi penduduk di Indonesia
sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pelaksanaan transmigrasi, walaupun tidak
begitu besar. Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1930 dihuni oleh 68,9%
penduduk Indonesia, pada tahun 1990 “hanya” 59,9% dari keseluruhan penduduk.
18
Meskipun demikian, karena angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, kenaikan jumlah
penduduk di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan yang bermigrasi kederah lain.
Tabel I:
Distribusi Penduduk Indonesia Menurut
Sensus Penduduk Tahun 1930 dan Sensus Penduduk Tahun 1990
Penduduk 1930 1990 Kenaikan/Perubahan
Jumlah (juta)
% Jumlah (juta)
% Jumlah (juta) %
Jawa + Madura
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Pulau Lain
41,7
8,2
2,2
4,2
4,2
68,9
13,5
3,6
6,9
7,3
107,5
36,4
9,2
12,5
13,6
59,9
20,2
5,2
7,0
7,7
65,8
28,2
6,9
8,3
9,2
(8,8)
6,8
1,6
0,1
0,3
Jumlah 60,7 100 179,2 100 119,4 0
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pada tahun 1996 terjadi sedkit perubahan. Proporsi penduduk Pulau Jawa
berkurang menjadi 58,9 %, sedangkan pulau-pulau lainnya mengalami peningkatan,
meskipun tidak terlalu besar.
19
Tabel II:
Perbandingan Kepadatan Penduduk Antarpulau pada Tahun 1996
Pulau Jumlah Penduduk (Juta)
% Luas Kepadatan per Pulau(Km2) %
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Irian Jaya
Pulau Lainnya
114,773
40,831
10,470
13,372
1,943
13,006
58,9
20,9
5,4
7,1
1,0
6,7
132.186
473.481
539.460
189.216
421.981
162.993
6,9
24,7
28,1
9,8
22.0
8,5
868
86
19
73
5
80
INDONESIA 194,755 100 1.919.317 100 101
Sumber: Siswono Yudohusodo (1998: 31).
3.4. Kompetensi Calon Transmigran
Tidak bisa dipungkiri bahwa program transmigrasi akan sangat menarik bagi
masyarakat yang tingkat kehidupandan tingkat pendidikannya masih cukup rendah. Hal
ini sangat wajar, melihat kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang masih belum
pulih setelah diterpa krisis ekonomi, sehingga sangat sulit untuk mencari pekerjaan
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk dapat menciptakan masyarakat transmigran yang sukses dan mampu
berkarya dalam sektor wiraswasta mandiri dengan menciptakan lapangan kerja baru,
maka Pemerintah harus terus-menerus mencoba memperbaiki sistem perekrutan calon
tranmigran. Walaupun pada kenyataannya yang paling banyak mendaftarkan diri untuk
20
menjadi masyarakat transmigran adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup
rendah.
Agar dapat mengatasi masalah tingkat pendidikan masyarakat transmigran yang
cukup rendah tersebut, maka pemerintah daerah dan dinas transmigrasi daerah tempat
calon transmigran berdomisili sebelum dikirimkan ke lokasi transmigrasi harus
memberikan pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan secara intensif sebelum
masyarakat transmigran dikirim ke lokasi tujuan transmigrasi.
Hal ini sebaiknya dilakukan setelah diketahui kondisi ekonomi, sosial, budaya
dan juga kondisi lahan yang akan mereka garap nantinya. Informasi mengenai hal ini
mutlak haru diketahui oleh calon transmigran agar mereka mampu menggali kreatifitas
dan potensi mengenai apa yang akan mereka coba buat di lokasi transmigrasi nantinya.
Informasi ini juga sangat berguna dalam menciptakan sektor usaha kecil menengah baru
yang potensial untuk diterapkan pada lokasi transmigrasi.
Dengan melakukan proses pendidikan melalui pelatihan dan penyuluhan
terhadap masyarakat transmigran juga diharapkan akan terjalin keharmonisan antara
masyarakat transmigran dengan masyarakat lokal setempat. Sehingga kebhinekaan yang
ada di lokasi transmigrasi mampu menjadi rantai ikatan persatuan yang kuat untuk
memupuk rasa persaudaraan dan nasionalisme dalam menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3.5. Gambaran Beberapa Lokasi Transmigran
A. Punggur di Lampung
Punggur merupakan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang terletak di
Kabupaten Lampung Tengah yang kemudian menjadi nama kecamatan di derah
tersebut. Pada tahun 1965, daerah ini mempunyai 27.425 penduduk yang tersebar di 14
desa dan menempati areal seluas ± 10.000 ha.. Bagi warga Punggur, desa-desa itu bukan
merupakan satu kesatuan yang kuat. Desa-desa itu tidak dapt dibeda-bedakan, sedang
21
batas-batasnya tidak menurutkan batas-batas alamiah. Dalam kesadaran penduduk yang
jelas menjadi satuannya adalah kecamatan.
Kepindahan penduduk dari Jawa ke Punggur yang terbesar adalah pada tahun
1954. Transmigran tersebut, 67% di antaranya berasal dari Jawa Tengah dan 33% dari
berasal Jawa Timur. Motif perpindahan penduduk ini adalah karena tidak memiliki
tanah di tempat asal, ingin maju, adu untung, ikut keluarga, dan lain-lain. Kekurangan
tanah merupakan faktor pendorong utama yang menyebabkan penduduk ikut
transmigrasi. Faktor ingin maju merupakan faktor penarik yang bukan alasan utama
transmigran untuk menetap di Punggur.
Setelah sampai di Punggur, sesuai ketentuan setiap transmigran seharusnya
transmigran mendapatkan tanah dua hektar yang terdiri dari ¼ Ha tanah pekarangan, ¾
Ha tanah ladang, dan 1 Ha tanah sawah seperti yang ditetapkan Jawatan Transmigrasi.
Dalam kenyataannya hanya 19% transmigran yang memiliki tanah demikian. Hal ini
berkaitan dengan kenyataan bahwa daerah Punggur yang pada mulanya disediakn
sebagai daerah hutan cadangan dibuka dan didiami secara illegal. Maka tanah-tanah
yang dimiliki para migran dengan cara tersebut, acap kali lebih kecil dari 2 Ha areal
resmi tersebut. Tanah yang sempit ini juga disebabkan karena para transmigran itu
dahulu menjual sebagian tanahnya akibat butuh uang. Akibatnya taraf kesejahteraan
para transmigran di Punggur tidak begitu baik. 37% transmigran di Punggur
memperoleh tanah dari Jawatan Transmigrasi dan 63% lainnya memiliki tanah karena
pembelian.
Setelah sekian lama menempati areal transmigrasi, para transmigran masih tetap
menjalin hubungan yang baik dengan kampung halaman mereka. Sebanyak 59,6%
transmigran masih mempunyai anggota keluarga di Jawa. 49,5% di antaranya tetap
mengadakan hubungan surat-menyurat atau bentuk komunikasi lainnya dengan sanak
saudaranya di Jawa, sedang 19,8% selalu mengunjungi keluarga di Jawa. Meskipun
demikian, 67,8% transmigran di Punggur ternyata tidak rindu kembali ke Jawa, hanya
22
25,9% yang menyatakan mau pergi ke Jawa untuk mengunjungi sanak saudara. Untuk
kembali ke Jawa selamanya, tidak seorang pun yang mau.
Di antara transmigran, ada yang sudah berkali-kali ke Jawa untuk menjemput
sanak saudaranya supaya mau bertransmigrasi juga. Bahkan kepala-kepala desa pun
menyediakan tanah khusus di desanya untuk keluarga-keluarga transmigran baru yang
mereka jemput sendiri.
B. Tongar di Sumatera Barat
Tongar merupakan UPT yang terletak di Nagari Airgadang, Kecamatan
Pasaman, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Meskipun secara kuantitatif jumlahnya
tidak besar, namun karena berbagai alasan, daerah pemukiman transmigrasi orang Jawa
yang merupakan repatrian Suriname ini perlu mendapat perhatian ahli sosiologi. Asal
transmigran dan motif-motif migrasinya mempunyai perbedaan penting dengan asal dan
motif-motif migran-migran Indonesia yang lain. Selanjutnya di sini dipraktekkan sistem
berkolonisasi yang istimewa yang tegas-tegas menekankan penggarapan tanah secara
kolektif, sehingga asimilai daerah pemukiman yang kebudayaannya sangat berbeda ini
menimbulkan masalah-masalah khusus.
Gelombang pertama kuli kontrak dari Jawa untuk perkebunan-perkebunan di
Suriname tiba di sana pada tahun 1890. sampai tahun 1939 jumlah orang Jawa yang
mendarat di Suriname seluruhnya sebesar 32.886 orang. Meskipun setelah kontrak
berakhir terbuka kemungkinan untuk repatriasi, namun keinginan kembali ini dapat
diganti dengan bonus sebesar f. 100 Suriname. Dengan demikian hampir semua dari
mereka yang karena berbagai hal kandas dalam hutang, terpaksa memilih bonus ini
daripada pulang ke Jawa. Dalam jngka waktu tersebut jumlah yang kembali seluruhnya
hanya 8.130 orang. Yang tidak kembali kebanyakan lalu keluar dari perkebunan dan
menjadi petani kecil. Menurut sensus tahun 1950, orang Indonesia di Suriname
berjumlah 35.194 orang.
23
Untuk mengkoordinasi persiapan-persiapan kembali ke tanah air, dibentuklah
“Yayasan Ke Tanah Air” yang didirikan pada tanggal 1 Mei 1951. Dalam waktu pendek
jumlah anggotanya telah mencapai lebih dari 3.000 orang. Pada bulan September 1953
delegasi yayasan ini mengunjungi Indonesia dengan tujuan untuk memeriksa daerah
yang telah dipilih sebagai daerah pemukiman. Kelompok repatrian yang pertama dan
satu-satunya sampai saat ini tiba pada tanggal 3 Februari 1954 di Padang dan beberapa
waktu kemudian terus menuju Tongar, suatu tempat kecil di tepi jalan antara Talu dan
Airbangis, 170 km di sebelah utara Bukittinggi, ibukota Propvinsi Sumatera Tengah
pada waktu itu.
Daerah yang pada mulanya dipilih terdiri dari dataran seluas 5.200 ha yang
sebagian besar tertutup oleh hutan. Daerah tersebut sulit ditempuh oleh traktor, karena
topografinya tidak datar dilintsi oleh banyak anak sungai yang kecil. Palung-palung
sungai itu dalamnya tiga sampai enam meter, sehingga harus dibangun jembatan agar
traktor-traktor itu dapat lewat. Hasil penelitian tanah yang diadakan pada akhir tahun
1955 juga menunjukkan bahwa tanah di Tongar tidak begitu cocok untuk penanaman
padi, seperti yang diduga semula.
Dalam waktu yang singkat keadaan keuangan para transmigran makin
memburuk. Meskipun daerah pemukiman itu bukan tanggungan resmi dari Jawatan
Transmigrasi, namun Jawatan Transmigrasi di Padang dapat menyediakan beras dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya, termasuk uang. Kekurangan uang paling mendalam
dirasakan oleh teknisi dan tenaga-tenaga administratif yang sudah terbiasa hidup cukup
mewah, karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan tambahan dari usaha
pekarangannya sendiri seperti para petani. Banyak di antara mereka terpaksa menjual
perhiasan kepada para pedagang keliling Minangkabau.
Hubungan antara pendatang dan penduduk asli dalam banyak hal dapat bersifat
menentukan berhasil tidaknya suatu daerah pemukiman. Di Minangkabau, tempat
pemukiman repatrian dari Suriname berada, berlaku ketentuan-ketentuan adat
sehubungan dengan pembukaan dan pengolahan daerah hutan.
24
Nagari sebagai sataun teritorial dibagi dalam berbagai kampuang. Satu
kampuang dikepalai oleh seorang penghulu. Hak untuk menetap di suatu kampuang
tertentu hanya dapat diberikan oleh “kerapatan nagari”. Seorang luar yang mendapat hak
mengolah tanah hrus membayar sejumlah retribusi, tetapi tidak berlaku bila orang luar
tersebut diangkat sebagai “kemenakan” oleh penghulu. Dengan demikian penghulu
bertindak sebagai mamak (paman) bagi pendatang baru tersebut yang kemudian
memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti kemenakan yang lainnya, dengan
syarat pendatang baru tersebut harus bertingkah laku seperlunya menurut adat.
Sistem ini akhirnya merupakan pemecahan untuk menampung kelompok
repatrian Suriname ini. Mereka kemudian diterima sebagai keluarga oleh penghulu
daerah bersangkutan dalam suatu upacara resmi pada bulan Mei 1954. Menurut hukum
adat, dengan demikian mereka dan keturunannya memperoleh hak pakai atas tanah,
tetapi tidak mempunyai hak untuk menjual tanah itu atau mewariskan hak pakainya
kepada yang bukan kemenakan. Bila tanah itu tidak digarap atau tidak mempunyai
keturunan laki-laki, maka tanah harus dikembalikan kepada nagari. Persetujuan ini
memberi pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak terhadap persoalan
mengenai hak atas tanah.
Beberapa bulan sebelum repatrian itu tiba, masyarakat Minangkabau rupanya
sudah menyesal dan tiba-tiba para kepala adat menuntut kembali sebidang tanah seluas
400 ha yang termasuk dalam penyerahan semula dengan alasan akte penyerahan tidak
sah, karena penghulu sebenarnya tidak berhak menyerahkan tanah kepada pihak ketiga,
bahkan kepada pemerintah sekalipun. Menurut Schrieke (1955) hal ini sebenarnya
dipicu oleh perasaan cemas di kalangan penghuni desa kalau-kalau di masa depan
mereka akan kekurangan tanah.
Tuntutan ini sangat mengejutkan pemerintah setempat dan Jawatan
Transmigrasi, karena beberapa barak penampungan sudah dibangun di atas tanah yang
dituntut kembali itu. Suasana menjadi tegang ketika kelompok repatrian datang, dan
25
ditambah pula dengan perbedaan-perbedaan kultural antara orang Jawa Suriname
dengan orang Minangkabau yang jauh lebih besar daripada yang diduga orang semula.
Perbedaan yang paling tajam dirasakan adalah perbedaan agama. Sebanyak 129
orang atau 12,5% repatrian beragama Kristen dari jumlah keseluruhan 1.024 orang.
Orang Jawa sendiri menganggap perbedaan agama sebagai suatu yang tidak penting.
Mereka selalu sangat heran bila orang Minangkabau mengajukan pertanyaan kepada
mereka: “Adakah dua partai di dalam kampung kalian?” Hal ini mungkin disebabkan
oleh kenyataan bahwa pada mulanya sebagian besar orang-orang Jawa dari Suriname
berasal dari lingkungan abangan.
Yang juga merupakan perbedaan kultural ialah bahasa. Orang Jawa Suriname
menggunakan bahasa Jawa dalam bahasa pergaulan dan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar di sekolah-sekolah. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak cukup mereka
kuasai karena sebelumnya mereka tidak memerlukannya. Penduduk asli sebaliknya
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan umum dan bahasa
Minangkabau di antara mereka sendiri.
Perbedaan kebudayaan lain yang dirasakan sebagai hal yang sangat bertentangan
dengan pola norma di Minangkabau adalah kebiasan melakukan dansa dan tari-tarian
modern, seperti rumba dan tango yang dilakukan repatrian tersebut. Bagi orang
Minangkabau, tarian tersebut sangatlah terkutuk sehingga pada berbagai kesempatan
telah mengakibatkan terjadinya insiden karena pemuda-pemuda yang fanatik
mengganggu acara-acara dansa. Hal yang sama terjadi pula untuk norma-norma
pergaulan antar jenis kelamin, seperti berjalan bergandengan tangan yang tidak
diperkenankan termasuk bagi suami-istri, ko-edukasi dalam olahraga, dan sebagainya.
Semua corak dan pola kebudayaan Jawa Suriname ini sama sekali tidak dapat diterima
oleh penduduk asli dan menimbulkan keluhan-keluhan yang mengatakan bahwa
kelompok-kelonpok dari Suriname tidak bertindak sebagai kemenakan yang baik,
sehingga karena itu penghulu menjadi malu.
26
Hal-hal yang disebutkan di atas menyebabkan posisi orang-orang Jawa yang
berdiam di Tongar sangat sulit ketika meletusnya Pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melawan Pemerintah Pusat pada bulan
Februari tahun 1958. Akhir Juli 1958, daerah pemukiman Tongar dikepung dan hanya
diberi waktu dua jam sebagai persiapan mengungsi, setelah itu semua bangunan di sana
dibumihanguskan. Sesudah menempuh perjalanan yang berat, 14 orang dari mereka
kemudian meninggal dunia, sisanya sampai di Bukittinggi untuk memulai kehidupan
baru.
27
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Program transmigrasi telah terbukti mampu meminimalisir permasalahan
kependudukan. Pulau-pulau yang kepadatan penduduknya sangat tinggi seperti Jawa,
Madura dan Bali, lambat-laun kepadatan penduduk mulai turun dan daya dukungnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk mulai meningkat. Sedangkan pulau-pulau
yang potensi sumber daya alamnya melimpah, namun potensi sumber daya manusianya
kurang, telah berkembang dan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya
setelah diterapkannya program transmigrasi.
Semenjak program ini diterapkan sampai dengan saat ini, sudah sangat banyak
masyarakat transmigran dan masyarakat lokal setempat yang tingkat kehidupan dan
kesejahteraannya meningkat. Kemampuan masyarakat transmigran untuk menciptakan
lapangan kerja baru, tidak hanya mampu mensejahterakan dirinya sendiri namun juga
mampu mensejahterakan masyarakat lainnya. Bahkan tidak jarang beberapa orang
transmigran mampu mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha yang berhasil. Hal
ini tentu dapat terjadi karena kerja keras transmigran itu sendiri. Jika para transmigran
memiliki kemauan dan kerja keras yang didukung oleh doa dan ibadah yang tulus dan
ikhlas, maka Tuhan pasti akan merubah nasib para transmigran dan secara tidak
langsung juga akan mengubah nasib bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera.
4.2. Saran
Setiap sistem yang dibuat pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Untuk
mengetahui apakah kekurangan dan kelebihan itu, maka kita perlu melihat dari
28
pengalaman setelah diterapkannya sistem tersebut. Apa hasil yang didapat dari
penerapan sistem tersebut dan apa yang diharapkan sebelumnya pada tahap perencanaan
konsep sistem tersebut. Jika hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan, maka
terdapat kesalahan yang harus diperbaiki.
Konsep perbaikan yang banyak disampaikan oleh para pakar berdasarkan hasil
penelitian, merupakan asset yang sangat berharga dalam menyempurnakan sistem
ketransmigrasian di Indonesia. Hal ini bisa dijadikan acuan nyata oleh Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menyempurnakan sistem ketransmigrasian
menuju kesejahteraan masyarakat Indonesia.
29
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sulistinah I., 1995, “Pelaksanaan Program Transmigrasi dan Permasalahannya”, dalam Warta Demografi, No. 2, Th. 25.
Heeren, H.J., 1979, Transmigrasi di Indonesia, PT Gramedia, Jakarta.
Departemen Transmigrasi Dan Pemukiman Perambah Hutan RI. 1997.
Undang Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian
30