Makalah Epilepsi-Anklin Fix
-
Upload
fitrianiamelia -
Category
Documents
-
view
84 -
download
7
Transcript of Makalah Epilepsi-Anklin Fix
TUGAS PRESENTASI ANALISIS KLINIS
“ EPILEPSI ”
Disusun Oleh:
1. Selvya Agustina (1090805-45)2. Erlin Aurelia (1090806-46)3. Lidia Junita (1090809-47)
4. Diana Wahyuni (1090810-48)5. Linggani (1090814-49)
6. Vanesa Edna Resiana (1100853-83)
Fakultas Farmasi Universitas Surabaya
2012
EPILEPSI
I. Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan atau abnormalitas syaraf pusat yang ditandai
dengan adanya kejang (seizure) yang terjadi secara berulang. Seseorang yang
mengalami kejang, mendapat serangan saat loncatan potensial sistem saraf dalam
keadaan basal meningkat melebihi ambang batas otak. Selama tingkat dari loncatan
potensial berada di bawah ambang batas, tidak akan ada serangan yang muncul.
Loncatan ini merupakan hasil dari pelepasan neuron kortikal secara berlebihan.
Manifestasi dari serangan bergantung pada daerah otak yang mengalami aktivitas
elektrik abnormal (Dodds, 2010; Guyton & Hall, 2006).
Penting untuk mengenali dan mengoptimalkan pengobatan pada pasien epilepsi,
karena epilepsi secara signifikan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang;
dapat mempengaruhi pekerjaan, hubungan sosial, dan perasaan terhadap diri sendiri.
Epilepsi dapat memicu tekanan psikologis, kecemasan dan depresi, bahkan juga
kematian (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).
Seseorang dikatakan mengalami epilepsi jika mengalami serangan secara berkala
(disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure), bukan hanya sekali. Serangan ini
bervariasi, mulai dari yang ringan sampai yang berat seperti hilangnya kesadaran
(Besser, et al.)
II. Etiologi Epilepsi
Epilepsi dapat terjadi pada semua orang, bayi, anak-anak, remaja, dewasa maupun
pada oarang tua. Serangan dapat terjadi pada setiap orang apabila terdapat gangguan
pada otak. Hal-hal pemicunya meliputi obat (misalnya tricyclic antidepressants),
infeksi serebral, intrakranial hipertensi, cedera kepala, stroboscopic lights dan
gangguan metabolisme seperti keadaan glikemia, ketidakseimbangan tekanan osmotik
atau pH. Demam dapat memicu munculnya serangan, terutama pada anak-anak.
Karena penyebab dari epilepsi bisa bermacam-macam, epilepsi lebih dianggap
sebagai sebuah sindrom daripada penyakit (Greene & Harris, 2008).
Beberapa penyebab epilepsi, yaitu:
Penyakit degeneratif: terutama terjadi pada lanjut usia dan pada penderita
Alzheimer’s disease.
Idiopatik: epilepsi dapat terjadi pada usia berapa saja. Tidak terdapat penyebab
spesifik dan tidak ada kelainan neurologis.
Trauma pada kepala: merupakan penyebab penting terjadinya serangan di
berbagai usia. Serangan ini terjadi karena kerusakan pada dura mater dan
umumnya muncul 2 tahun pasca-cedera.
Terjadi pada anak-anak (pediatric): adanya abnormalitas bawaan, defek
kongenital atau cedera saat masih dalam kandungan perinatal dapat
mengakibatkan serangan pada usia bayi atau anak-anak.
Tumor: seizure yang terjadi merupakan gejala inisial dari tumor dan pada awalnya
berupa serangan parsial. Melibatkan bagian frontal, parietal, dan bagian temporal
dari otak. Serangan ini kemudian dapat berkembang menjadi serangan umum
tonik-klonik.
Kelainan metabolik: alkohol atau obat-obatan dapat menyebabkan intoksisitas
yang dapat menyebabkan serangan berulang.
Gangguan kardiovaskular: terutama karena stroke dan terjadi pada usia di atas 60
tahun atau lanjut usia.
Infeksi: kejang dapat merupakan akibat dari infeksi akut atau inflamasi, seperti
meningitis karena bakteri dan herpes ensefalitis serta pasien dengan infeksi kronis
yang telah berlangsung lama seperti neurosyphilis atau cerebral cysticercosis.
Dapat juga terjadi karena pasien mengalami komplikasi AIDS.
(Tierney, 2006)
Gambar 2.1 Penyebab Epilepsi Pada Variasi Umur (Kasper, Braunwald, Fauci,
Hauser, Longo, & Jameson, 2005)
III. Patofisiologi Epilepsi
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan
intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Aktivitas neuron yang normal terjadi secara tidak sinkron (tidak serentak) dimana ada
kelompok neuron terinhibisi dan kemudian ada yang tereksitasi secara berturut-turut
membentuk rangkaian selama perpindahan informasi di antara area otak yang
berbeda. Pada keadaan normal, pelepasan muatan listrik terjadi secara teratur dan
terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang memberikan ritme normal pada
elektroencefalogram (EEG) (Harsono, 2007; Mc Phee, 2005).
Neurotransmiter utama di cerebral korteks adalah glutamat. Pada saat glutamat
dirilis dari neuron presinap, glutamat berikatan dengan salah satu reseptor di neuron
postsinap yang kemudian akan membuka membran channel sehingga natrium ataupun
kalsium masuk ke dalam neuron postsinap. Keduanya akan menyebabkan depolarisasi
dan mengirimkan sinyal eksitasi. Inhibitor neurotransmiter utama yang ada di serebral
korteks adalah asam amino butirat (GABA). Mekanismenya dengan berikatan pada
saraf membran dan membuka saluran Cl. Ketika Cl masuk ke dalam saraf terjadi
hiperpolarisasi dan menurunnya rangsangan.
Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmiter
sinaps. Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya
melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri
dari sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktivitasnya.
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi. Hal ini akan terefleksi pada EEG sebagai gelombang tajam
atau spike (Dipiro, 2008).
Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.
Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan
kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan
mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan.
Zat GABA dapat mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan sintesis GABA
mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dimana eksitasi lebih
unggul dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Fenomena klinis seperti ini
menyebabkan serangan paroksimal pada bagian otak yang sensitif terhadap rangsang
epileptik sehingga disebut neuron epileptik yang merupakan sumber serangan epilepsi
(Machfoed dkk, 2011; Syarif A dkk, 2008).
IV. Tipe Epilepsi
Untuk mengoptimalkan pengobatan pada pasien epilepsi, yang pertama harus
dilakukan adalah mengenali tipe epilepsi yang dialami pasien. Penentuan tipe ini
dilakukan berdasar pada sejarah klinis, data radiografi, dan hasil
electroencephalogram (EEG) (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).
Secara garis besar, epilepsi terbagi menjadi dua tipe, tipe parsial dan tipe general.
Epilepsi tipe parsial terbagi menjadi simple, kompleks dan secondarily generalized
epilepsi. Sedangkan tipe general terbagi menjadi empat, petit mal, grand mal
mioklonik epilepsi dan atonik epilepsi.
IV.1. Partial Epilepsi
Pada epilepsi tipe ini, adanya kejang dikarenakan serangan pada salah satu
area otak. Gejala yang muncul umumnya diidentifikasi sebagai kelebihan
aktivitas pada area tersebut, seperti aktivitas pada saraf sensorik tertentu atau
aksi yang abnormal pada otot, berdampak pada area di bagian otak yang
bertanggungjawab terhadap saraf sensorik atau motorik. Umumnya, lesi akan
ditemukan pada area yang diduga terkena serangan, dilihat dari gejala yang
muncul (Greene & Harris, 2008).
Epilepsi tipe parsial dibagi menjadi tiga sub-tipe, simpel epilepsi, kompleks
epilepsi dan secondarily generalized.
IV.1.1. Simple Epilepsi
Penderita akan mengalami sensasi atau pergerakan otot yang tidak
terkontrol tanpa gangguan kesadaran. Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik,
sensorik, otonom dan psikis tergantung korteks serebri yang diaktivasi. Kejang
parsial sederhana berlangsung sekitar 30 detik atau kurang (Harsono, 2007).
Lokasi otak yang mengalami gangguan atau abnormalitas dalam simple
epilepsi ini adalah :
Frontal lobe :
• perasaan aneh seperti 'gelombang' yang melewati kepala
• kekakuan atau berkedut di bagian tubuh (seperti jari atau tangan)
Temporal lobe :
• deja vu (merasa seperti Anda telah 'berada di sini sebelumnya)
• mendapatkan bau atau rasa yang tidak biasa
• perasaan intens tiba-tiba takut atau gembira
Parietal lobe :
• perasaan mati rasa atau kesemutan
• sensasi yang lengan atau kaki terasa lebih besar atau lebih kecil daripada
sebenarnya
Occipital lobe :
• gangguan visual seperti lampu berwarna atau berkedip
• halusinasi (melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada)
Lama serangan biasanya kurang dari 2 menit
IV.1.2. Kompleks Epilepsi
Menyebabkan penurunan kesadaran. Penyebaran cetusan listrik yang
abnormal lebih banyak. Biasanya terjadi dari lobus temporal karena lobus ini
rentan terhadap hipoksia atau infeksi. Adanya aura dan perubahan kesadaran
diikuti automatisme yang biasanya berlangsung selama 30-120 detik (Syarif dkk,
2008).
Lokasi otak yang mengalami gangguan atau abnormalitas dalam kompleks
epilepsi ini adalah :
Temporal lobe :
• memungut benda tanpa alasan atau mengotak-atik pakaian
• mengunyah, mengecap-ngecap bibir dan mulutnya
• bergumam atau mengulangi kata-kata yang tidak masuk akal
• berjalan hilir mudik
Kompleks parsial ini bisa dimulai dengan kejang simple parsial dan berlangsung
sekitar dua atau tiga menit.
Frontal lobe :
• menangis keras atau berteriak
• membuat postur aneh atau gerakan-gerakan seperti bersepeda atau menendang.
Ini biasanya berlangsung sekitar 15 - 30 detik.
Kejang kompleks di lobus oksipital atau parietal kurang umum daripada di
lobus temporal atau frontal. Seperti kejang fokal sederhana, CFS di lobus
oksipital dan parietal dapat mempengaruhi penglihatan seseorang atau indera.
IV.1.3. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum (secondarily
generalized).
Berawal dari kejang parsial sederhana ataupun kompleks yang kemudian
dapat berkembang menjadi kejang umum. Kejang ini melibatkan seluruh belahan
otak. Pasien akan mendapatkan aura sebagai peringatan dan tanda awal kejang
(Syarif dkk, 2008).
IV.2. General Epilepsi
Pada epilepsi tipe general, serangan terjadi pada seluruh bagian otak, pada
kedua sisi, dari bagian paling luar. Gejala yang ada meliputi gangguan pada
kesadaran, otot atau keduanya (Greene & Harris, 2008).
Tipe epilepsi ini terbagi menjadi empat sub-tipe, yaitu peie mal, grand mal,
mioklonik dan atonik epilepsi.
IV.2.1. Absence Epilepsi (Petit Mal)
Pada epilepsi tipe Petit Mal, pasien akan kehilangan konsentrasi. Serangan
ini menyebabkan pandangan dan tatapan mata anak menjadi kosong, mata
terbelalak dan terjadi penurunan kesadaran sementara. Namun kendali atas
postur tubuh masih baik (tidak jatuh). Serangan berlangsung hanya dalam
beberapa detik dan akan berhenti secara mendadak (10-45 detik). Setelah
serangan berhenti, penderita akan kembali melanjutkan aktivitas mereka, tanpa
mereka sadari jika mereka baru saja mengalami serangan. Serangan ini sering
terjadi pada anak-anak dan pada awal masa remaja (Syarif A dkk, 2008, Greene
& Harris, 2008).
IV.2.2. Tonik– klonik Epilepsi (Grand Mal)
Tonik-klonik yang biasa disebut juga grand mal, serangan ini menyebabkan
kesadaran menurun dengan diikuti kekakuan pada otot, kejang-kejang di seluruh
otot, disertai dengan mengeluarkan busa, kadang dapat terjadi incontinence,
cyanosis dan lidah biasanya tergigit. Umumnya beberapa menit setelah serangan,
seringkali diikuti rasa ngantuk, kelelahan, bingung, sakit kepala, dan tertidur
selama beberapa waktu.
IV.2.3. Mioklonik Epilepsi
Kontraksi otot yang dapat melibatkan seluruh atau sebagian tubuh (lengan
atau kepala) yang terjadi secara cepat dan mendadak. Serangan ini biasanya
terjadi pada pagi hari sesaat setelah bangun tidur. Terkadang serangan ini dapat
membuat seseorang terjatuh, tetapi pemulihannya bersifat segera (Syarif dkk,
2008).
IV.2.4. Atonik Epilepsi
Menyebabkan hilangnya tonus otot secara total dan mendadak disertai
hilangnya kontrol postur tubuh yang akhirnya mengakibatkan pasien terjatuh di
lantai (Syarif dkk, 2008).
IV.2.5. Spasme infantil
Umumnya terjadi pada usia 4-8 bulan. Manifestasi klinisnya berupa
kontraksi leher, batang tubuh dan ekstremitas yang yang simetris bilateral, ada
fragmentasi serangan kejang atau terputus. Faktor pencetus seperti infeksi,
kernikterus, TBC, hiperglikemia, hipolikemia, kelainan metabolisme. Sebagian
besar tidak responsif terhadap terhadap terapi dan retardasi mental tidak dapat
dicegah dengan terapi (Syarif dkk, 2008).
V. Pemeriksaan Klinis Epilepsi
V.1.1. Seseorang didiagnosa menderita epilepsi jika mengalami serangan kejang secara
berulang. Epilepsi terbagi menjadi beberapa jenis dan sangat penting untuk
menentukan tipe epilepsi yang diderita. Untuk menentukan jenis epilepsinya,
selain dari gejala, diperlukan juga beberapa biomarker khusus. Marker tersebut
dibagi menjadi 2, yaitu marker utama dan marker pelengkap. Marker utama
berupa pemeriksaan non laboratorium (seperti EEG, MRI atau CT-Scan).
Sedangkan, marker pelengkap berupa pemeriksaan laboratorium (seperti
prolaktin, Alfa B-Crystallin).
V.2. Marker utama
V.2.1. Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) merupakan alat untuk merekam aktivitas
listrik yang abnormal pada otak, melalui elektroda yang ditempelkan pada kulit
kepala. EEG adalah metode yang paling umum digunakan untuk penegakan
diagnosa dan menentukan tipe epilepsi. Paroksismal adalah munculnya suatu
gelombang atau kelompok gelombang yang terus menerus dan mendadak yang
bila dilihat secara kuantitatif atau kualitatif berbeda dengan keadaan normalnya.
Tipe aktivitas paroksismal yang timbul ketika serangan menunjukkan tipe
epilepsi. Apabila memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan EEG, sebaiknya
pemeriksaan EEG dilakukan 24 jam pertama setelah pasien mengalami kejang
pertama.
Gambar 5.1 Berbagai jenis gelombang EEG
Jenis epilepsi Keterangan EEG
Petit mal
Aktivitas spike and wave dengan frekuensi 3 spd,
menyeluruh di semua saluran, bersifat sinkron dan
simetris dengan voltase yang tinggi yang dapat
mencapai 1000 mikrovolt.
Grand mal
Serangan sangat sulit direkam karena terganggu oleh
gerakan-gerakan motorik individu; gambaran
kejangnya adalah berupa aktivitas cepat yang
menyeluruh bervoltase tinggi berbentuk polyspike
dengan frekuensi 8-12 spd, diselingi gelombang-
gelombang lambat dari 1,5-3 spd.
Epilepsi
psikomotor
Ditandai oleh aktivitas spike di daerah temporal depan.
Tabel 5.1 Perbedaan aktivitas spike dan wave pada berbagai jenis epilepsi
Gambar 5.2 EEG pada tipe epilepsy yang berbeda (Guyton & Hall, 2006)
Gambar 5.3 Hasil rekam EEG pada berbagai klasifikasi epilepsi
V.2.2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan teknik untuk menunjukkan tempat terjadinya seizures
sehingga dapat memudahkan dokter untuk melakukan operasi untuk
memperbaiki kerusakan pada bagian otak tersebut. MRI akan menunjukkan
gambar kepala (bagian otak dalam pasien) secara detail. Setiap tipe kerusakan
pada otak akan ditunjukkan pada komputer dengan warna yang berbeda sehingga
jaringan akan nampak lebih jelas pada gambar. Warna tersebut berasal dari zat
warna (tidak berbahaya) yang diinjeksikan pada lengan pasien.
MRI sering digunakan terutama jika:
1. Epilepsi terjadi pada umur dibawah 2 tahun atau pada usia dewasa.
2. Terjadi kerusakan pada otak akibat kejang.
3. Kejang tetap terjadi meskipun sudah mengkonsumsi obat-obatan.
MRI-scan tidak dapat digunakan untuk orang yang menggunakan vagus
nerve stimulator (VNS) atau metallic clips yang ditanam dalam otak, karena
MRI scan dapat memanaskan ring VNS atau metallic clips dan akan merusak
jaringan sekitarnya.
Prosedur MRI-scan:
a. Persiapan sebelum scanning dilakukan:
1. Apabila pasien mengonsumsi obat sedatif maka pasien harus berpuasa
(tidak boleh makan atau minum) kira-kira selama 4 jam sampai tes
dilakukan.
2. Obat antiepilepsi diminum seperti biasanya.
3. Gunakan pakaian yang longgar dan nyaman.
4. Tanggalkan semua logam dari tubuh. (jam tangan, perhiasan, jepit
rambut, kacamata, gigi palsu, alat bantu pendengaran) sebelum
pemeriksaan dilakukan. Logam dapat menimbulkan titik hitam atau
terang pada gambar yang dapat membuat hasil scanning menjadi bias.
5. Akan lebih mudah bagi pasien untuk relax sebelum tes dilakukan jika
minuman berkafein dihindari.
6. Apabila pasien menderita claustrophobic (takut untuk berada di tempat
yang rapat), pastikan untuk memberitahu dokter sebelum tes dilakukan.
b. Selama MRI dilakukan:
1. Pasien akan mendapat pertanyaan untuk melengkapi prosedur yang
menyangkut pengobatan yang pernah diterima.
2. Pasien akan diminta untuk berbaring pada meja yang akan bergeser ke
dalam mesin.
3. Pasien harus berbaring tegak dan dalam posisi diam selama proses
pemindahan ke dalam silinder
4. Pasien diperbolehkan berbicara kepada terapis selama pemeriksaan
berlangsung dengan menggunakan intercom.
5. Pasien diharuskan untuk tetap tenang dan bernafas secara normal selama
pengambilan gambar dilakukan. Gerakan yang dilakukan pasien dapat
mengakibatkan hasil pemeriksaan menjadi tidak jelas.
6. Pasien tidak akan merasakan apapun selama pemeriksaan, tetapi akan
mendengar suara berisik yang sedikit mengganggu dari alat MRI.
7. Pada beberapa kasus, dokter akan melakukan tes MRA (Magnetic
Resonance Angiography) sebagai tambahan pemeriksaan MRI. MRA
digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang sistem
vascular pasien dan major blood vessels. Biasanya MRI dan MRA
dilakukan secara bersamaan pada waktu yang sama.
8. Pemeriksaan MRI berlangsung 30-90 menit.
c. Setelah pemeriksaan MRI
1. Tidak ada efek samping yang timbul setelah pemeriksaan MRI dan
pasien dapat melakukan aktivitas secara normal.
2. Apabila pasien mengonsumsi obat sedative, maka monitoring harus
dilakukan sampai efek obat hilang
3. Hasil pemeriksaan MRI akan dianalisis lebih lanjut oleh radiologist dan
akan dilaporkan kepada dokter yang menangani pasien tersebut
4. Setelah hasil pemeriksaan diterima oleh dokter, maka dokter memberikan
diagnosa/melakukan tes lain dan memberikan pengobatan yang tepat
V.2.3. CT-Scan
Computerised tomography (CT) scan digunakan untuk mengidentifikasi
strukur otak yang abnormal dan untuk melihat apakah terdapat tumor yang
menyebabkan epilepsi. Namun, penggunaan CT-scan ini tidak begitu membantu
jika epilepsi tidak disebabkan oleh tumor otak atau pendarahan serebral.
Gambar 6.4 CT Scan pada penderita epilepsi.
Perlakuan pada CT Scan secara umum hampir sama dengan MRI scan.
Selama CT Scan test kadang-kadang ke dalam vena pasien akan disuntikkan
cairan pewarnaan X-ray. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penampakan
dari organ dan pembuluh darah.
V.3. Marker pelengkap
V.3.1. Prolaktin
Tingkat serum prolaktin akan mengalami peningkatan sebagai akibat dari
kejang epilepsi (grand mal dan kompleks kejang parsial). Namun peningkatan
tersebut hanya berlangsung sementara. Pada umumnya kadar prolaktin dalam
darah meningkat setelah 10-20 menit setelah kejang epilepsi dan kembali normal
dalam waktu 6 jam. Oleh karena itu, pengukuran serum prolaktin merupakan tes
pendukung yang terpercaya, hanya saja kurang efektif sebagai tes screening dari
kejang dan syncope.
Nilai normal serum prolaktin pada wanita tidak hamil 0-25 ng/mL, pada
wanita hamil 20-400 ng/mL, sedangkan pada pria 0-20 ng/mL (Williams
Textbook of Endocrinology, 2008).
V.3.2. Alfa B-Crystallin
Alfa-B-crystallin merupakan protein utama pada lensa mata vertebrata.
Selain itu, protein ini juga ditemukan pada sistem saraf pusat dan merupakan
komponen utama serabut Rosenthal (inklusi intrasitoplasmik di dalam astrosit)
(Iwaki, et al., 1992).6
Alfa-B-crystallin berguna pada pengidentifikasian foci epileptik dan tidak
di-upregulate secara luas di otak anak-anak yang menderita epilepsi. Reaktivitas
terutama di sel glial, termasuk satellite glia adherent hingga neuron. Itu terlihat
pada zat neocortical yang berwarna abu-abu dan zat subcortical yang berwarna
putih dan pada hipokampus dan amigdala. α-B-crystallin merupakan marker foci
epileptik dan memungkinkan pemetaan luasnya focus dan batas-batasnya
(Harvey B. Sarnat & Flores-Sarnat, 2009).
V.3.3. Antibodi terhadap asam glutamat dekarboksilase (GAD)
Antibodi terhadap asam glutamat dekarboksilase, jalur utama untuk sintesis
γ-amino butyric acid (GABA) pada manusia dan ditemukan terjadi peningkatan
kadarnya pada pasien dengan epilepsi kronik. Serum autoantibodi terhadap asam
glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada beberapa pasien dengan
epilepsi yang sukar disembuhkan. GAD merupakan enzim utama yang
bertanggung jawab untuk menghambat neurotransmitter γ-amino butyric acid
(GABA). Adanya serum autoantibodi dengan rendahnya GABA menunjukkan
bahwa anti-GAD antibody merupakan marker untuk proses penyakit yang
kemungkinan besar dimediasi oleh imun (Stagg, Lang, Best, McKnight, Vincent,
& Palace, 2010).
VI. Pengobatan Epilepsi
Obat Anti Epilepsi akan memiliki efek secara signifikan terhadap kualitas hidup
penderita. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi dengan Obat Anti Epilepsi
pada awal serangan, baik epilepsi parsial atau umum, akan mengurangi kesempatan
terjadinya serangan yang berikutnya (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).
6.1 Golongan Obat Anti Epilepsi
Berdasarkan struktur kimianya obat antiepilepsi dibagi menjadi tujuh
kelompok, yaitu:
1. Turunan Barbiturat
Efeknya kurang selektif, bersifat antikonvulsif khusus yang terlepas dari
sifat hipnotiknya. Yang digunakan terutama senyawa kerja panjang untuk
memberikan jaminan yang lebih kontinu terhadap serangan grand mal.
Bekerja memperpanjang waktu pembukaan kanal klorida dan meningkatkan
ikatan GABA dengan reseptor GABAA. Contoh: Fenobarbital.
2. Turunan Hidantoin
Struktur kimia mirip barbital, tetapi dengan cincin lima hidantoin. Sangat
efektif terutama digunakan pada serangan grand mal. Contoh: Fenitoin
3. Turunan Oksazolidindion
Efektif untuk serangan petit mal. Contoh: Trimetadion.
4. Turunan Suksinimida
Aktivitasnya relatif sama dengan Oksazolidindion dengan efek samping
yang lebih rendah. Contoh: Etoksuksimid, Metsuksimid, dan Fensuksimid.
Metsuksimid bersifat lebih toksik. Etoksuksimid paling efektif diantara
turunan suksimid lainnya.
5. Turunan Benzodiazepin
Menekan sistem saraf pusat yang terutama digunakan sebagai sedatif-
hipnotik dan relaksasi otot. Beberapa diantaranya efektif untuk pengobatan
serangan epilepsi, tetapi penggunaannya terbatas karena cepat menimbulkan
toleransi. Contoh: Diazepam (terutama digunakan untuk terapi konvulsi
rekuren misalnya status epileptikus).
6. Turunan Asam Valproat
Terutama untuk terapi epilepsi umum dan efektif untuk serangan mioklonik
dan tonik-klonik, dengan meningkatkan kadar GABA di otak.
7. Turunan Karbamazepin
Efektif pada serangan parsial kompleks dan serangan tonik-klonik.
Merupakan antiepilepsi utama di Amerika Serikat untuk mengatasi berbagai
serangan epilepsi.
8. Turunan lain
Lamotrigin merupakan senyawa yang mempunyai efek antikejang yang
kuat. Digunakan untuk mencegah serangan kejang parsial dan tonik-klonik.
Vigabatrin bekerja sebagai antikejang dengan cara menghambat secara
irreversible enzim GABA transaminase. Digunakan untuk antiepilepsi yang
tidak dapat dikontrol oleh obat lainnya.
Gabapentin digunakan untuk mencegah serangan kejang parsial dengan
cara menembus sawar darah otak dan meningkatkan pelepasan GABA.
Topiramate digunakan sebagai obat penunjang pada pengobatan kejang
parsial.
Tiagabin bekerja dengan menghambat kerja transporter GABA. Tiagabin
banyak terikat protein plasma. Dipakai sebagai terapi tambahan untuk
mengatasi serangan partial dan tonik-klonik.
Zonisamid merupakan turunan sulfonamida yang bekerja melalui blok
kanal Na+ dan Ca2+. Obat ini efektif mengatasi serangan kejang parsial dan
kejang umum tonik-klonik. Zonisamid memiliki efek samping sedasi dan
potensial kemerahan pada kulit.
(Siswandono, 2000; Syarif A dkk, 2008)
6.2 Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi
Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson
Contoh obat antiepilepsi yang memiliki mekanisme kerja menginhibisi
kanal Na+ adalah karbamazepin dan fenitoin (Syarif dkk,2008).
1. Karbamazepin secara struktural terkait dengan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin merupakan pilihan terapi untuk kejang parsial kompleks dan
sederhana, kejang tonik-klonik dan trigeminal neuralgia. Efek samping
karbamazepin cukup sering terjadi. Seperempat dari jumlah pasien yang
diobati mengalami efek samping. Efek samping yang terjadi setelah
pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan
penglihatan kabur. Efek samping lainnya dapat berupa mual, muntah,
diskrasia darah yang berat (anemia aplastik, agranulositosis) dan reaksi
alergiberupa dermatitis, eosinofilia, limfadenopati, dan splenomegali.
Steven Johnson relatif sering dilaporkan terjadi dengan obat ini sehingga
pasien harus diperingatkan agar segera kembali ke dokter bila timbul vesikel
di kulit setelah meminum obat ini. Dosis karbamazepin untuk anak adalah
20-30 mg/kg per hari dalam dosis terbagi dan dosis dewasa adalah 10-20
mg/kg per hari dalam dosis terbagi (Syarif dkk, 2008; Chisholm et.al, 2008).
2. Fenitoin semula digunakan sebagai obat utama untuk hampir semua jenis
epilepsi, terutama untuk kejang tonik-klonik dan kejang parsial atau lokal.
Fenitoin bersifat teratogenik sehingga tidak diberikan pada wanita hamil.
Fenitoin memiliki rentang terapi yang sempit dan efek samping serta efek
toksik yang walaupun relative ringan, sifatnya cukup menggangu. Oleh
karena itu, fenitoin jarang digunakan. Dosis fenitoin untuk anak adalah 6-15
mg/kg per hari dalam dosis terbagi dan dosis dewasa adalah 5-7 mg/kg per
hari dalam dosis tunggal atau terbagi (Syarif dkk, 2008; Chisholm et.al,
2008).
Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus yang berperan sebagai pace-
maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks.
3. Contoh obat yang memiliki mekanisme kerja menginhibisi kanal Ca2+ tipe T
adalah asam valproat. Asam valproat atau natrium valproat digunakan untuk
epilepsi umum dan kejang tonik klonik, terutama yang primer. Toksisitas
valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam kulit, dan
alopesia. Efek terhadap SSP berupa kantuk, ataksia dan tremor, menghilang
dengan penurunan dosis. Namun, penggunaan obat ini masih terbatas. Dosis
asam valproat untuk anak adalah 5-60 mg/kg per hari terbagi dalam 2-4
dosis dan dosis dewasa adalah 15-45 mg/kg per hari terbagi dalam 2-4 dosis
(Syarif dkk, 2008; Chisholm et.al, 2008).
Peningkatan inhibisi GABA
1. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-
Contoh obatnya adalah fenobarbital. Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil
barbiturat merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam
pengobatan antikonvulsi. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk
terapi kejang dan kejang demam pada anak. Fenobarbital masih merupakan
obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah. Efek samping
yang terjadi seperti sedasi, psikosis akut dan agitasi Dosis fenobarbital
untuk anak adalah 3-6 mg/kg per hari sebagai dosis terbagi dan dosis
dewasa adalah 1-4 mg/kg per hari sebagai dosis terbagi (Syarif A dkk, 2008;
Chisholm et.al, 2008).
2. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan
metabolisme GABA.
4. Contoh obatnya adalah gabapentin. Gabapentin merupakan suatu analog
GABA. Gabapentin tidak bekerja pada reseptor GABA, tetapi berperan
dalam metabolisme GABA. Tidak dimetabolisme, tidak menginduksi
enzim-enzim di hati dan tidak terikat pada protein plasma. Efek samping
yang sering terjadi seperti ataxia, pusing, sakit kepala, somnolen, tremor.
Adanya laporan tentang timbulnya perilaku agresif pada anak-anak. Dosis
gabapentin untuk dewasa adalah 900-3600 mg/hari dalam 3-4 dosis terbagi,
dosis sampai 10.000 mg/hari masih dapat ditoleransi (Syarif dkk, 2008;
Dipiro, 2008; Chisholm et.al, 2008).
Penurunan eksitasi glutamat
1. Blok reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat)
Contoh obatnya adalah lamotrigin. Lamotrigin merupakan golongan
feniltriazin dan inhibitor dihirofolat reduktase. Lamotrigin efektif digunakan
sebagai monoterapi dalam kejang parsial dan juga aktif dalam mengatasi
kejang mioklonik dan absence pada anak. Efek samping lamotrigin
termasuk pusing, sakit kepala, diplopia, mual, mengantuk, dan reaksi
hipersensitifitas. Dosis lamotrigin untuk dewasa adalah 150-800 mg/hari
dalam 2-3 dosis terbagi (Syarif A dkk, 2008; Chisholm et.al, 2008).
2. Blok reseptor AMPA (α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoxazole propionat)
Contoh obatnya adalah topiramat. Topiramat merupakan turunan
monosakarida yang sangat berbeda dengan struktur antiseizure lainnya.
Topiramat digunakan sebagai monoterapi dalam pengobatan kejang parsial
dan tonik-klonik. Efek samping terkait dosis yang sering muncul pada
empat minggu pemakaian pertama adalah mengantuk, kelelahan, pusing,
memperlambat kognitif, parestesia, gugup, urolitiasis dan kebingungan.
Dosis awal topiramat adalah 25-50 mg/hari dan dosis pemeliharaan adalah
100–400 mg/hari, terbagi dalam 2-3 dosis (Chisholm et.al, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
(2008). In K. HM, M. S, P. KS, & L. PR (Eds.), Williams Textbook of Endocrinology. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Part 3: Body Systems. In P. Besser, J. B. Harvey, L. Chatelain, M. Allbright, K. Shannon, J. R. Bryant, et al., Medical Terminology: An Illustrated Guide (pp. 470-471).
Chisholm MA, Wells BG, Schwinghammer TL, 2008, Pharmacotherapy principles & practice, McGraw-Hill, USA.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th edition, The McGraw-Hills Companies, Inc, New York, 927-948.
Dodds, L. J. (2010). Drugs in Use: Clinical case studies for pharmacist. Chicago: Pharmaceutical Press.
Greene, R. J., & Harris, N. D. (2008). Pathology and Therapeutics for Pharmacists. Chicago: Pharmaceutical Press.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Textbook of Medical Physiology. Pennsylvania: Elesevier Saunders.
Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 19-24.
Harvey B. Sarnat, H. B., & Flores-Sarnat, L. (2009). α-B-Crystallin as a tissue marker of epileptic foci in paediatric resections. The Canadian Journal of Neurological Sciences , 36 (5), 566-574.
Iwaki, T., Wisniewski, T., Awaki, A., Corbin, E., Tateishi, J., Tomokane, N., et al. (1992). Accumulation of alpha B-crystallin in central nervous system glia and neurons in pathologic conditions. Am J Pathol , 140 (2), 345-56.
Kasper, D. L., Braunwald, E., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L., & Jameson, J. L. (2005). Harrison's Manual of Medicine. New York: McGraw-Hill.
Linn, W. D., Wofford, M. R., O’Keefe, M. E., & Posey, L. M. (2009). Pharmacotherapy in Primary Care. New York: The McGraw-Hill Companies.
Machfoed Hasan, Hamdan, Abdulloh Machin, Wardah RI, 2011, Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf, Airlangga University Press, Surabaya, 136-137.
McPhee Stephen J, 2010, Pathophysiology of Disease An Introduction To Clinical Medicine, 6 th
edition, McGraw-Hill Medical, USA.
Rauchenzauner, M., Haberlandt, E., Foerster, S., Ulmer, H., Laimer, M., Ebenbichler, C. F., et al. (2007, January). Brain-type natriuretic peptide secretion following febrile and afebrile seizures. A new marker in childhood epilepsy , 48 (1), pp. 101-106.
Siswandono dan Soekardjo B, 2000, Kimia Medisinal I, Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 4-6, 255-256.
Stagg, C. J., Lang, B., Best, J. G., McKnight, K., Vincent, A., & Palace, J. (2010). Autoantibodies to glutamic acid decarboxylase in patients with epilepsy are associated with low cortical GABA levels. 51 (9), 1898-1901.
Syarif A, dkk, 2008, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 179-196.
Tierney Lawrence M, Stephen J. McPhee, Maxine A. Papadakis, 2006, Current Medical Diagnosis and Treatment, McGraw-Hill