Makalah Epilepsi-Anklin Fix

34
TUGAS PRESENTASI ANALISIS KLINIS “ EPILEPSI ” Disusun Oleh: 1. Selvya Agustina (1090805-45) 2. Erlin Aurelia (1090806-46) 3. Lidia Junita (1090809-47) 4. Diana Wahyuni (1090810-48) 5. Linggani (1090814-49) 6. Vanesa Edna Resiana (1100853-83) Fakultas Farmasi Universitas Surabaya 2012

Transcript of Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Page 1: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

TUGAS PRESENTASI ANALISIS KLINIS

“ EPILEPSI ”

Disusun Oleh:

1. Selvya Agustina (1090805-45)2. Erlin Aurelia (1090806-46)3. Lidia Junita (1090809-47)

4. Diana Wahyuni (1090810-48)5. Linggani (1090814-49)

6. Vanesa Edna Resiana (1100853-83)

Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

2012

Page 2: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

EPILEPSI

I. Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah suatu gangguan atau abnormalitas syaraf pusat yang ditandai

dengan adanya kejang (seizure) yang terjadi secara berulang. Seseorang yang

mengalami kejang, mendapat serangan saat loncatan potensial sistem saraf dalam

keadaan basal meningkat melebihi ambang batas otak. Selama tingkat dari loncatan

potensial berada di bawah ambang batas, tidak akan ada serangan yang muncul.

Loncatan ini merupakan hasil dari pelepasan neuron kortikal secara berlebihan.

Manifestasi dari serangan bergantung pada daerah otak yang mengalami aktivitas

elektrik abnormal (Dodds, 2010; Guyton & Hall, 2006).

Penting untuk mengenali dan mengoptimalkan pengobatan pada pasien epilepsi,

karena epilepsi secara signifikan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang;

dapat mempengaruhi pekerjaan, hubungan sosial, dan perasaan terhadap diri sendiri.

Epilepsi dapat memicu tekanan psikologis, kecemasan dan depresi, bahkan juga

kematian (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).

Seseorang dikatakan mengalami epilepsi jika mengalami serangan secara berkala

(disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure), bukan hanya sekali. Serangan ini

bervariasi, mulai dari yang ringan sampai yang berat seperti hilangnya kesadaran

(Besser, et al.)

II. Etiologi Epilepsi

Epilepsi dapat terjadi pada semua orang, bayi, anak-anak, remaja, dewasa maupun

pada oarang tua. Serangan dapat terjadi pada setiap orang apabila terdapat gangguan

pada otak. Hal-hal pemicunya meliputi obat (misalnya tricyclic antidepressants),

infeksi serebral, intrakranial hipertensi, cedera kepala, stroboscopic lights dan

gangguan metabolisme seperti keadaan glikemia, ketidakseimbangan tekanan osmotik

atau pH. Demam dapat memicu munculnya serangan, terutama pada anak-anak.

Karena penyebab dari epilepsi bisa bermacam-macam, epilepsi lebih dianggap

sebagai sebuah sindrom daripada penyakit (Greene & Harris, 2008).

Page 3: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Beberapa penyebab epilepsi, yaitu:

Penyakit degeneratif: terutama terjadi pada lanjut usia dan pada penderita

Alzheimer’s disease.

Idiopatik: epilepsi dapat terjadi pada usia berapa saja. Tidak terdapat penyebab

spesifik dan tidak ada kelainan neurologis.

Trauma pada kepala: merupakan penyebab penting terjadinya serangan di

berbagai usia. Serangan ini terjadi karena kerusakan pada dura mater dan

umumnya muncul 2 tahun pasca-cedera.

Terjadi pada anak-anak (pediatric): adanya abnormalitas bawaan, defek

kongenital atau cedera saat masih dalam kandungan perinatal dapat

mengakibatkan serangan pada usia bayi atau anak-anak.

Tumor: seizure yang terjadi merupakan gejala inisial dari tumor dan pada awalnya

berupa serangan parsial. Melibatkan bagian frontal, parietal, dan bagian temporal

dari otak. Serangan ini kemudian dapat berkembang menjadi serangan umum

tonik-klonik.

Kelainan metabolik: alkohol atau obat-obatan dapat menyebabkan intoksisitas

yang dapat menyebabkan serangan berulang.

Gangguan kardiovaskular: terutama karena stroke dan terjadi pada usia di atas 60

tahun atau lanjut usia.

Infeksi: kejang dapat merupakan akibat dari infeksi akut atau inflamasi, seperti

meningitis karena bakteri dan herpes ensefalitis serta pasien dengan infeksi kronis

yang telah berlangsung lama seperti neurosyphilis atau cerebral cysticercosis.

Dapat juga terjadi karena pasien mengalami komplikasi AIDS.

(Tierney, 2006)

Page 4: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Gambar 2.1 Penyebab Epilepsi Pada Variasi Umur (Kasper, Braunwald, Fauci,

Hauser, Longo, & Jameson, 2005)

III. Patofisiologi Epilepsi

Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan

intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.

Aktivitas neuron yang normal terjadi secara tidak sinkron (tidak serentak) dimana ada

kelompok neuron terinhibisi dan kemudian ada yang tereksitasi secara berturut-turut

membentuk rangkaian selama perpindahan informasi di antara area otak yang

berbeda. Pada keadaan normal, pelepasan muatan listrik terjadi secara teratur dan

Page 5: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang memberikan ritme normal pada

elektroencefalogram (EEG) (Harsono, 2007; Mc Phee, 2005).

Neurotransmiter utama di cerebral korteks adalah glutamat. Pada saat glutamat

dirilis dari neuron presinap, glutamat berikatan dengan salah satu reseptor di neuron

postsinap yang kemudian akan membuka membran channel sehingga natrium ataupun

kalsium masuk ke dalam neuron postsinap. Keduanya akan menyebabkan depolarisasi

dan mengirimkan sinyal eksitasi. Inhibitor neurotransmiter utama yang ada di serebral

korteks adalah asam amino butirat (GABA). Mekanismenya dengan berikatan pada

saraf membran dan membuka saluran Cl. Ketika Cl masuk ke dalam saraf terjadi

hiperpolarisasi dan menurunnya rangsangan.

Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmiter

sinaps. Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya

melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri

dari sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktivitasnya.

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi dalam otak lebih dominan

daripada proses inhibisi. Hal ini akan terefleksi pada EEG sebagai gelombang tajam

atau spike (Dipiro, 2008).

Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.

Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan

kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan

mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan.

Zat GABA dapat mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan sintesis GABA

mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dimana eksitasi lebih

unggul dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Fenomena klinis seperti ini

menyebabkan serangan paroksimal pada bagian otak yang sensitif terhadap rangsang

epileptik sehingga disebut neuron epileptik yang merupakan sumber serangan epilepsi

(Machfoed dkk, 2011; Syarif A dkk, 2008).

IV. Tipe Epilepsi

Untuk mengoptimalkan pengobatan pada pasien epilepsi, yang pertama harus

dilakukan adalah mengenali tipe epilepsi yang dialami pasien. Penentuan tipe ini

Page 6: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

dilakukan berdasar pada sejarah klinis, data radiografi, dan hasil

electroencephalogram (EEG) (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).

Secara garis besar, epilepsi terbagi menjadi dua tipe, tipe parsial dan tipe general.

Epilepsi tipe parsial terbagi menjadi simple, kompleks dan secondarily generalized

epilepsi. Sedangkan tipe general terbagi menjadi empat, petit mal, grand mal

mioklonik epilepsi dan atonik epilepsi.

IV.1. Partial Epilepsi

Pada epilepsi tipe ini, adanya kejang dikarenakan serangan pada salah satu

area otak. Gejala yang muncul umumnya diidentifikasi sebagai kelebihan

aktivitas pada area tersebut, seperti aktivitas pada saraf sensorik tertentu atau

aksi yang abnormal pada otot, berdampak pada area di bagian otak yang

bertanggungjawab terhadap saraf sensorik atau motorik. Umumnya, lesi akan

ditemukan pada area yang diduga terkena serangan, dilihat dari gejala yang

muncul (Greene & Harris, 2008).

Epilepsi tipe parsial dibagi menjadi tiga sub-tipe, simpel epilepsi, kompleks

epilepsi dan secondarily generalized.

IV.1.1. Simple Epilepsi

Penderita akan mengalami sensasi atau pergerakan otot yang tidak

terkontrol tanpa gangguan kesadaran. Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik,

sensorik, otonom dan psikis tergantung korteks serebri yang diaktivasi. Kejang

parsial sederhana berlangsung sekitar 30 detik atau kurang (Harsono, 2007).

Lokasi otak yang mengalami gangguan atau abnormalitas dalam simple

epilepsi ini adalah :

Frontal lobe :

• perasaan aneh seperti 'gelombang' yang melewati kepala

• kekakuan atau berkedut di bagian tubuh (seperti jari atau tangan)

Temporal lobe :

• deja vu (merasa seperti Anda telah 'berada di sini sebelumnya)

• mendapatkan bau atau rasa yang tidak biasa

• perasaan intens tiba-tiba takut atau gembira

Page 7: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Parietal lobe :

• perasaan mati rasa atau kesemutan

• sensasi yang lengan atau kaki terasa lebih besar atau lebih kecil daripada

sebenarnya

Occipital lobe :

• gangguan visual seperti lampu berwarna atau berkedip

• halusinasi (melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada)

Lama serangan biasanya kurang dari 2 menit

IV.1.2. Kompleks Epilepsi

Menyebabkan penurunan kesadaran. Penyebaran cetusan listrik yang

abnormal lebih banyak. Biasanya terjadi dari lobus temporal karena lobus ini

rentan terhadap hipoksia atau infeksi. Adanya aura dan perubahan kesadaran

diikuti automatisme yang biasanya berlangsung selama 30-120 detik (Syarif dkk,

2008).

Lokasi otak yang mengalami gangguan atau abnormalitas dalam kompleks

epilepsi ini adalah :

Temporal lobe :

• memungut benda tanpa alasan atau mengotak-atik pakaian

• mengunyah, mengecap-ngecap bibir dan mulutnya

• bergumam atau mengulangi kata-kata yang tidak masuk akal

• berjalan hilir mudik

Kompleks parsial ini bisa dimulai dengan kejang simple parsial dan berlangsung

sekitar dua atau tiga menit.

Frontal lobe :

• menangis keras atau berteriak

• membuat postur aneh atau gerakan-gerakan seperti bersepeda atau menendang.

Ini biasanya berlangsung sekitar 15 - 30 detik.

Kejang kompleks di lobus oksipital atau parietal kurang umum daripada di

lobus temporal atau frontal. Seperti kejang fokal sederhana, CFS di lobus

oksipital dan parietal dapat mempengaruhi penglihatan seseorang atau indera.

Page 8: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

IV.1.3. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum (secondarily

generalized).

Berawal dari kejang parsial sederhana ataupun kompleks yang kemudian

dapat berkembang menjadi kejang umum. Kejang ini melibatkan seluruh belahan

otak. Pasien akan mendapatkan aura sebagai peringatan dan tanda awal kejang

(Syarif dkk, 2008).

IV.2. General Epilepsi

Pada epilepsi tipe general, serangan terjadi pada seluruh bagian otak, pada

kedua sisi, dari bagian paling luar. Gejala yang ada meliputi gangguan pada

kesadaran, otot atau keduanya (Greene & Harris, 2008).

Tipe epilepsi ini terbagi menjadi empat sub-tipe, yaitu peie mal, grand mal,

mioklonik dan atonik epilepsi.

IV.2.1. Absence Epilepsi (Petit Mal)

Pada epilepsi tipe Petit Mal, pasien akan kehilangan konsentrasi. Serangan

ini menyebabkan pandangan dan tatapan mata anak menjadi kosong, mata

terbelalak dan terjadi penurunan kesadaran sementara. Namun kendali atas

postur tubuh masih baik (tidak jatuh). Serangan berlangsung hanya dalam

beberapa detik dan akan berhenti secara mendadak (10-45 detik). Setelah

serangan berhenti, penderita akan kembali melanjutkan aktivitas mereka, tanpa

mereka sadari jika mereka baru saja mengalami serangan. Serangan ini sering

terjadi pada anak-anak dan pada awal masa remaja (Syarif A dkk, 2008, Greene

& Harris, 2008).

IV.2.2. Tonik– klonik Epilepsi (Grand Mal)

Tonik-klonik yang biasa disebut juga grand mal, serangan ini menyebabkan

kesadaran menurun dengan diikuti kekakuan pada otot, kejang-kejang di seluruh

otot, disertai dengan mengeluarkan busa, kadang dapat terjadi incontinence,

cyanosis dan lidah biasanya tergigit. Umumnya beberapa menit setelah serangan,

seringkali diikuti rasa ngantuk, kelelahan, bingung, sakit kepala, dan tertidur

selama beberapa waktu.

Page 9: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

IV.2.3. Mioklonik Epilepsi

Kontraksi otot yang dapat melibatkan seluruh atau sebagian tubuh (lengan

atau kepala) yang terjadi secara cepat dan mendadak. Serangan ini biasanya

terjadi pada pagi hari sesaat setelah bangun tidur. Terkadang serangan ini dapat

membuat seseorang terjatuh, tetapi pemulihannya bersifat segera (Syarif dkk,

2008).

IV.2.4. Atonik Epilepsi

Menyebabkan hilangnya tonus otot secara total dan mendadak disertai

hilangnya kontrol postur tubuh yang akhirnya mengakibatkan pasien terjatuh di

lantai (Syarif dkk, 2008).

IV.2.5. Spasme infantil

Umumnya terjadi pada usia 4-8 bulan. Manifestasi klinisnya berupa

kontraksi leher, batang tubuh dan ekstremitas yang yang simetris bilateral, ada

fragmentasi serangan kejang atau terputus. Faktor pencetus seperti infeksi,

kernikterus, TBC, hiperglikemia, hipolikemia, kelainan metabolisme. Sebagian

besar tidak responsif terhadap terhadap terapi dan retardasi mental tidak dapat

dicegah dengan terapi (Syarif dkk, 2008).

V. Pemeriksaan Klinis Epilepsi

Page 10: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

V.1.1. Seseorang didiagnosa menderita epilepsi jika mengalami serangan kejang secara

berulang. Epilepsi terbagi menjadi beberapa jenis dan sangat penting untuk

menentukan tipe epilepsi yang diderita. Untuk menentukan jenis epilepsinya,

selain dari gejala, diperlukan juga beberapa biomarker khusus. Marker tersebut

dibagi menjadi 2, yaitu marker utama dan marker pelengkap. Marker utama

berupa pemeriksaan non laboratorium (seperti EEG, MRI atau CT-Scan).

Sedangkan, marker pelengkap berupa pemeriksaan laboratorium (seperti

prolaktin, Alfa B-Crystallin).

V.2. Marker utama

V.2.1. Electroencephalogram (EEG)

Electroencephalogram (EEG) merupakan alat untuk merekam aktivitas

listrik yang abnormal  pada otak, melalui elektroda yang ditempelkan pada kulit

kepala. EEG adalah metode yang paling umum digunakan untuk penegakan

diagnosa dan menentukan tipe epilepsi. Paroksismal adalah munculnya suatu

gelombang atau kelompok gelombang yang terus menerus dan mendadak yang

bila dilihat secara kuantitatif atau kualitatif berbeda dengan keadaan normalnya.

Tipe aktivitas paroksismal yang timbul ketika serangan menunjukkan tipe

epilepsi. Apabila memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan EEG, sebaiknya

pemeriksaan EEG dilakukan 24 jam pertama setelah pasien mengalami kejang

pertama.

Page 11: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Gambar 5.1 Berbagai jenis gelombang EEG

Jenis epilepsi Keterangan EEG

Petit mal

Aktivitas spike and wave dengan frekuensi 3 spd,

menyeluruh di semua saluran, bersifat sinkron dan

simetris dengan voltase yang tinggi yang dapat

mencapai 1000 mikrovolt.

Grand mal

Serangan sangat sulit direkam karena terganggu oleh

gerakan-gerakan motorik individu; gambaran

kejangnya adalah berupa aktivitas cepat yang

menyeluruh bervoltase tinggi berbentuk polyspike

dengan frekuensi 8-12 spd, diselingi gelombang-

gelombang lambat dari 1,5-3 spd.

Epilepsi

psikomotor

Ditandai oleh aktivitas spike di daerah temporal depan.

Tabel 5.1 Perbedaan aktivitas spike dan wave pada berbagai jenis epilepsi

Page 12: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Gambar 5.2 EEG pada tipe epilepsy yang berbeda (Guyton & Hall, 2006)

Gambar 5.3 Hasil rekam EEG pada berbagai klasifikasi epilepsi

V.2.2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan teknik untuk menunjukkan tempat terjadinya seizures

sehingga dapat memudahkan dokter untuk melakukan operasi untuk

Page 13: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

memperbaiki kerusakan pada bagian otak tersebut. MRI akan menunjukkan

gambar kepala (bagian otak dalam pasien) secara detail. Setiap tipe kerusakan

pada otak akan ditunjukkan pada komputer dengan warna yang berbeda sehingga

jaringan akan nampak lebih jelas pada gambar. Warna tersebut berasal dari zat

warna (tidak berbahaya) yang diinjeksikan pada lengan pasien.

MRI sering digunakan terutama jika:

1. Epilepsi terjadi pada umur dibawah 2 tahun atau pada usia dewasa.

2. Terjadi kerusakan pada otak akibat kejang.

3. Kejang tetap terjadi meskipun sudah mengkonsumsi obat-obatan.

MRI-scan tidak dapat digunakan untuk orang yang menggunakan vagus

nerve stimulator (VNS) atau metallic clips yang ditanam dalam otak, karena

MRI scan dapat memanaskan ring VNS atau metallic clips dan akan merusak

jaringan sekitarnya.

Prosedur MRI-scan:

a. Persiapan sebelum scanning dilakukan:

1. Apabila pasien mengonsumsi obat sedatif maka pasien harus berpuasa

(tidak boleh makan atau minum) kira-kira selama 4 jam sampai tes

dilakukan.

2. Obat antiepilepsi diminum seperti biasanya.

3. Gunakan pakaian yang longgar dan nyaman.

4. Tanggalkan semua logam dari tubuh. (jam tangan, perhiasan, jepit

rambut, kacamata, gigi palsu, alat bantu pendengaran) sebelum

pemeriksaan dilakukan. Logam dapat menimbulkan titik hitam atau

terang pada gambar yang dapat membuat hasil scanning menjadi bias.

5. Akan lebih mudah bagi pasien untuk relax sebelum tes dilakukan jika

minuman berkafein dihindari.

6. Apabila pasien menderita claustrophobic (takut untuk berada di tempat

yang rapat), pastikan untuk memberitahu dokter sebelum tes dilakukan.

b. Selama MRI dilakukan:

1. Pasien akan mendapat pertanyaan untuk melengkapi prosedur yang

menyangkut pengobatan yang pernah diterima.

Page 14: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

2. Pasien akan diminta untuk berbaring pada meja yang akan bergeser ke

dalam mesin.

3. Pasien harus berbaring tegak dan dalam posisi diam selama proses

pemindahan ke dalam silinder

4. Pasien diperbolehkan berbicara kepada terapis selama pemeriksaan

berlangsung dengan menggunakan intercom.

5. Pasien diharuskan untuk tetap tenang dan bernafas secara normal selama

pengambilan gambar dilakukan. Gerakan yang dilakukan pasien dapat

mengakibatkan hasil pemeriksaan menjadi tidak jelas.

6. Pasien tidak akan merasakan apapun selama pemeriksaan, tetapi akan

mendengar suara berisik yang sedikit mengganggu dari alat MRI.

7. Pada beberapa kasus, dokter akan melakukan tes MRA (Magnetic

Resonance Angiography) sebagai tambahan pemeriksaan MRI. MRA

digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang sistem

vascular pasien dan major blood vessels. Biasanya MRI dan MRA

dilakukan secara bersamaan pada waktu yang sama.

8. Pemeriksaan MRI berlangsung 30-90 menit.

c. Setelah pemeriksaan MRI

1. Tidak ada efek samping yang timbul setelah pemeriksaan MRI dan

pasien dapat melakukan aktivitas secara normal.

2. Apabila pasien mengonsumsi obat sedative, maka monitoring harus

dilakukan sampai efek obat hilang

3. Hasil pemeriksaan MRI akan dianalisis lebih lanjut oleh radiologist dan

akan dilaporkan kepada dokter yang menangani pasien tersebut

4. Setelah hasil pemeriksaan diterima oleh dokter, maka dokter memberikan

diagnosa/melakukan tes lain dan memberikan pengobatan yang tepat

V.2.3. CT-Scan

Computerised tomography (CT) scan digunakan untuk mengidentifikasi

strukur otak yang abnormal dan untuk melihat apakah terdapat tumor yang

Page 15: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

menyebabkan epilepsi. Namun, penggunaan CT-scan ini tidak begitu membantu

jika epilepsi tidak disebabkan oleh tumor otak atau pendarahan serebral.

Gambar 6.4 CT Scan pada penderita epilepsi.

Perlakuan pada CT Scan secara umum hampir sama dengan MRI scan.

Selama CT Scan test kadang-kadang ke dalam vena pasien akan disuntikkan

cairan pewarnaan X-ray. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penampakan

dari organ dan pembuluh darah.

V.3. Marker pelengkap

V.3.1. Prolaktin

Tingkat serum prolaktin akan mengalami peningkatan sebagai akibat dari

kejang epilepsi (grand mal dan kompleks kejang parsial). Namun peningkatan

tersebut hanya berlangsung sementara. Pada umumnya kadar prolaktin dalam

darah meningkat setelah 10-20 menit setelah kejang epilepsi dan kembali normal

dalam waktu 6 jam. Oleh karena itu, pengukuran serum prolaktin merupakan tes

pendukung yang terpercaya, hanya saja kurang efektif sebagai tes screening dari

kejang dan syncope.

Nilai normal serum prolaktin pada wanita tidak hamil 0-25 ng/mL, pada

wanita hamil 20-400 ng/mL, sedangkan pada pria 0-20 ng/mL (Williams

Textbook of Endocrinology, 2008).

V.3.2. Alfa B-Crystallin

Page 16: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Alfa-B-crystallin merupakan protein utama pada lensa mata vertebrata.

Selain itu, protein ini juga ditemukan pada sistem saraf pusat dan merupakan

komponen utama serabut Rosenthal (inklusi intrasitoplasmik di dalam astrosit)

(Iwaki, et al., 1992).6

Alfa-B-crystallin berguna pada pengidentifikasian foci epileptik dan tidak

di-upregulate secara luas di otak anak-anak yang menderita epilepsi. Reaktivitas

terutama di sel glial, termasuk satellite glia adherent hingga neuron. Itu terlihat

pada zat neocortical yang berwarna abu-abu dan zat subcortical yang berwarna

putih dan pada hipokampus dan amigdala. α-B-crystallin merupakan marker foci

epileptik dan memungkinkan pemetaan luasnya focus dan batas-batasnya

(Harvey B. Sarnat & Flores-Sarnat, 2009).

V.3.3. Antibodi terhadap asam glutamat dekarboksilase (GAD)

Antibodi terhadap asam glutamat dekarboksilase, jalur utama untuk sintesis

γ-amino butyric acid (GABA) pada manusia dan ditemukan terjadi peningkatan

kadarnya pada pasien dengan epilepsi kronik. Serum autoantibodi terhadap asam

glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada beberapa pasien dengan

epilepsi yang sukar disembuhkan. GAD merupakan enzim utama yang

bertanggung jawab untuk menghambat neurotransmitter γ-amino butyric acid

(GABA). Adanya serum autoantibodi dengan rendahnya GABA menunjukkan

bahwa anti-GAD antibody merupakan marker untuk proses penyakit yang

kemungkinan besar dimediasi oleh imun (Stagg, Lang, Best, McKnight, Vincent,

& Palace, 2010).

VI. Pengobatan Epilepsi

Obat Anti Epilepsi akan memiliki efek secara signifikan terhadap kualitas hidup

penderita. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi dengan Obat Anti Epilepsi

pada awal serangan, baik epilepsi parsial atau umum, akan mengurangi kesempatan

terjadinya serangan yang berikutnya (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).

6.1 Golongan Obat Anti Epilepsi

Page 17: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Berdasarkan struktur kimianya obat antiepilepsi dibagi menjadi tujuh

kelompok, yaitu:

1. Turunan Barbiturat

Efeknya kurang selektif, bersifat antikonvulsif khusus yang terlepas dari

sifat hipnotiknya. Yang digunakan terutama senyawa kerja panjang untuk

memberikan jaminan yang lebih kontinu terhadap serangan grand mal.

Bekerja memperpanjang waktu pembukaan kanal klorida dan meningkatkan

ikatan GABA dengan reseptor GABAA. Contoh: Fenobarbital.

2. Turunan Hidantoin

Struktur kimia mirip barbital, tetapi dengan cincin lima hidantoin. Sangat

efektif terutama digunakan pada serangan grand mal. Contoh: Fenitoin

3. Turunan Oksazolidindion

Efektif untuk serangan petit mal. Contoh: Trimetadion.

4. Turunan Suksinimida

Aktivitasnya relatif sama dengan Oksazolidindion dengan efek samping

yang lebih rendah. Contoh: Etoksuksimid, Metsuksimid, dan Fensuksimid.

Metsuksimid bersifat lebih toksik. Etoksuksimid paling efektif diantara

turunan suksimid lainnya.

5. Turunan Benzodiazepin

Menekan sistem saraf pusat yang terutama digunakan sebagai sedatif-

hipnotik dan relaksasi otot. Beberapa diantaranya efektif untuk pengobatan

serangan epilepsi, tetapi penggunaannya terbatas karena cepat menimbulkan

toleransi. Contoh: Diazepam (terutama digunakan untuk terapi konvulsi

rekuren misalnya status epileptikus).

Page 18: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

6. Turunan Asam Valproat

Terutama untuk terapi epilepsi umum dan efektif untuk serangan mioklonik

dan tonik-klonik, dengan meningkatkan kadar GABA di otak.

7. Turunan Karbamazepin

Efektif pada serangan parsial kompleks dan serangan tonik-klonik.

Merupakan antiepilepsi utama di Amerika Serikat untuk mengatasi berbagai

serangan epilepsi.

8. Turunan lain

Lamotrigin merupakan senyawa yang mempunyai efek antikejang yang

kuat. Digunakan untuk mencegah serangan kejang parsial dan tonik-klonik.

Vigabatrin bekerja sebagai antikejang dengan cara menghambat secara

irreversible enzim GABA transaminase. Digunakan untuk antiepilepsi yang

tidak dapat dikontrol oleh obat lainnya.

Gabapentin digunakan untuk mencegah serangan kejang parsial dengan

cara menembus sawar darah otak dan meningkatkan pelepasan GABA.

Topiramate digunakan sebagai obat penunjang pada pengobatan kejang

parsial.

Tiagabin bekerja dengan menghambat kerja transporter GABA. Tiagabin

banyak terikat protein plasma. Dipakai sebagai terapi tambahan untuk

mengatasi serangan partial dan tonik-klonik.

Zonisamid merupakan turunan sulfonamida yang bekerja melalui blok

kanal Na+ dan Ca2+. Obat ini efektif mengatasi serangan kejang parsial dan

Page 19: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

kejang umum tonik-klonik. Zonisamid memiliki efek samping sedasi dan

potensial kemerahan pada kulit.

(Siswandono, 2000; Syarif A dkk, 2008)

6.2 Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi

Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson

Contoh obat antiepilepsi yang memiliki mekanisme kerja menginhibisi

kanal Na+ adalah karbamazepin dan fenitoin (Syarif dkk,2008).

1. Karbamazepin secara struktural terkait dengan antidepresan trisiklik.

Karbamazepin merupakan pilihan terapi untuk kejang parsial kompleks dan

sederhana, kejang tonik-klonik dan trigeminal neuralgia. Efek samping

karbamazepin cukup sering terjadi. Seperempat dari jumlah pasien yang

diobati mengalami efek samping. Efek samping yang terjadi setelah

pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan

penglihatan kabur. Efek samping lainnya dapat berupa mual, muntah,

diskrasia darah yang berat (anemia aplastik, agranulositosis) dan reaksi

alergiberupa dermatitis, eosinofilia, limfadenopati, dan splenomegali.

Steven Johnson relatif sering dilaporkan terjadi dengan obat ini sehingga

pasien harus diperingatkan agar segera kembali ke dokter bila timbul vesikel

di kulit setelah meminum obat ini. Dosis karbamazepin untuk anak adalah

20-30 mg/kg per hari dalam dosis terbagi dan dosis dewasa adalah 10-20

mg/kg per hari dalam dosis terbagi (Syarif dkk, 2008; Chisholm et.al, 2008).

2. Fenitoin semula digunakan sebagai obat utama untuk hampir semua jenis

epilepsi, terutama untuk kejang tonik-klonik dan kejang parsial atau lokal.

Page 20: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Fenitoin bersifat teratogenik sehingga tidak diberikan pada wanita hamil.

Fenitoin memiliki rentang terapi yang sempit dan efek samping serta efek

toksik yang walaupun relative ringan, sifatnya cukup menggangu. Oleh

karena itu, fenitoin jarang digunakan. Dosis fenitoin untuk anak adalah 6-15

mg/kg per hari dalam dosis terbagi dan dosis dewasa adalah 5-7 mg/kg per

hari dalam dosis tunggal atau terbagi (Syarif dkk, 2008; Chisholm et.al,

2008).

Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus yang berperan sebagai pace-

maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks.

3. Contoh obat yang memiliki mekanisme kerja menginhibisi kanal Ca2+ tipe T

adalah asam valproat. Asam valproat atau natrium valproat digunakan untuk

epilepsi umum dan kejang tonik klonik, terutama yang primer. Toksisitas

valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam kulit, dan

alopesia. Efek terhadap SSP berupa kantuk, ataksia dan tremor, menghilang

dengan penurunan dosis. Namun, penggunaan obat ini masih terbatas. Dosis

asam valproat untuk anak adalah 5-60 mg/kg per hari terbagi dalam 2-4

dosis dan dosis dewasa adalah 15-45 mg/kg per hari terbagi dalam 2-4 dosis

(Syarif dkk, 2008; Chisholm et.al, 2008).

Peningkatan inhibisi GABA

1. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-

Contoh obatnya adalah fenobarbital. Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil

barbiturat merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam

pengobatan antikonvulsi. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk

Page 21: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

terapi kejang dan kejang demam pada anak. Fenobarbital masih merupakan

obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah. Efek samping

yang terjadi seperti sedasi, psikosis akut dan agitasi Dosis fenobarbital

untuk anak adalah 3-6 mg/kg per hari sebagai dosis terbagi dan dosis

dewasa adalah 1-4 mg/kg per hari sebagai dosis terbagi (Syarif A dkk, 2008;

Chisholm et.al, 2008).

2. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan

metabolisme GABA.

4. Contoh obatnya adalah gabapentin. Gabapentin merupakan suatu analog

GABA. Gabapentin tidak bekerja pada reseptor GABA, tetapi berperan

dalam metabolisme GABA. Tidak dimetabolisme, tidak menginduksi

enzim-enzim di hati dan tidak terikat pada protein plasma. Efek samping

yang sering terjadi seperti ataxia, pusing, sakit kepala, somnolen, tremor.

Adanya laporan tentang timbulnya perilaku agresif pada anak-anak. Dosis

gabapentin untuk dewasa adalah 900-3600 mg/hari dalam 3-4 dosis terbagi,

dosis sampai 10.000 mg/hari masih dapat ditoleransi (Syarif dkk, 2008;

Dipiro, 2008; Chisholm et.al, 2008).

Penurunan eksitasi glutamat

1. Blok reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat)

Contoh obatnya adalah lamotrigin. Lamotrigin merupakan golongan

feniltriazin dan inhibitor dihirofolat reduktase. Lamotrigin efektif digunakan

sebagai monoterapi dalam kejang parsial dan juga aktif dalam mengatasi

kejang mioklonik dan absence pada anak. Efek samping lamotrigin

Page 22: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

termasuk pusing, sakit kepala, diplopia, mual, mengantuk, dan reaksi

hipersensitifitas. Dosis lamotrigin untuk dewasa adalah 150-800 mg/hari

dalam 2-3 dosis terbagi (Syarif A dkk, 2008; Chisholm et.al, 2008).

2. Blok reseptor AMPA (α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoxazole propionat)

Contoh obatnya adalah topiramat. Topiramat merupakan turunan

monosakarida yang sangat berbeda dengan struktur antiseizure lainnya.

Topiramat digunakan sebagai monoterapi dalam pengobatan kejang parsial

dan tonik-klonik. Efek samping terkait dosis yang sering muncul pada

empat minggu pemakaian pertama adalah mengantuk, kelelahan, pusing,

memperlambat kognitif, parestesia, gugup, urolitiasis dan kebingungan.

Dosis awal topiramat adalah 25-50 mg/hari dan dosis pemeliharaan adalah

100–400 mg/hari, terbagi dalam 2-3 dosis (Chisholm et.al, 2008).

Page 23: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

DAFTAR PUSTAKA

(2008). In K. HM, M. S, P. KS, & L. PR (Eds.), Williams Textbook of Endocrinology. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Part 3: Body Systems. In P. Besser, J. B. Harvey, L. Chatelain, M. Allbright, K. Shannon, J. R. Bryant, et al., Medical Terminology: An Illustrated Guide (pp. 470-471).

Chisholm MA, Wells BG, Schwinghammer TL, 2008, Pharmacotherapy principles & practice, McGraw-Hill, USA.

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th edition, The McGraw-Hills Companies, Inc, New York, 927-948.

Dodds, L. J. (2010). Drugs in Use: Clinical case studies for pharmacist. Chicago: Pharmaceutical Press.

Greene, R. J., & Harris, N. D. (2008). Pathology and Therapeutics for Pharmacists. Chicago: Pharmaceutical Press.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Textbook of Medical Physiology. Pennsylvania: Elesevier Saunders.

Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 19-24.

Harvey B. Sarnat, H. B., & Flores-Sarnat, L. (2009). α-B-Crystallin as a tissue marker of epileptic foci in paediatric resections. The Canadian Journal of Neurological Sciences , 36 (5), 566-574.

Iwaki, T., Wisniewski, T., Awaki, A., Corbin, E., Tateishi, J., Tomokane, N., et al. (1992). Accumulation of alpha B-crystallin in central nervous system glia and neurons in pathologic conditions. Am J Pathol , 140 (2), 345-56.

Kasper, D. L., Braunwald, E., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L., & Jameson, J. L. (2005). Harrison's Manual of Medicine. New York: McGraw-Hill.

Linn, W. D., Wofford, M. R., O’Keefe, M. E., & Posey, L. M. (2009). Pharmacotherapy in Primary Care. New York: The McGraw-Hill Companies.

Machfoed Hasan, Hamdan, Abdulloh Machin, Wardah RI, 2011, Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf, Airlangga University Press, Surabaya, 136-137.

McPhee Stephen J, 2010, Pathophysiology of Disease An Introduction To Clinical Medicine, 6 th

edition, McGraw-Hill Medical, USA.

Rauchenzauner, M., Haberlandt, E., Foerster, S., Ulmer, H., Laimer, M., Ebenbichler, C. F., et al. (2007, January). Brain-type natriuretic peptide secretion following febrile and afebrile seizures. A new marker in childhood epilepsy , 48 (1), pp. 101-106.

Page 24: Makalah Epilepsi-Anklin Fix

Siswandono dan Soekardjo B, 2000, Kimia Medisinal I, Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 4-6, 255-256.

Stagg, C. J., Lang, B., Best, J. G., McKnight, K., Vincent, A., & Palace, J. (2010). Autoantibodies to glutamic acid decarboxylase in patients with epilepsy are associated with low cortical GABA levels. 51 (9), 1898-1901.

Syarif A, dkk, 2008, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 179-196.

Tierney Lawrence M, Stephen J. McPhee, Maxine A. Papadakis, 2006, Current Medical Diagnosis and Treatment, McGraw-Hill