Makalah 3 Prakarsa Kolaboratif Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia Kasus Obat Diabetes dari...
-
Upload
tatang-taufik -
Category
Documents
-
view
280 -
download
0
Transcript of Makalah 3 Prakarsa Kolaboratif Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia Kasus Obat Diabetes dari...
51
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN
OBAT BAHAN ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES
DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE1
1. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai mega center keanekaragaman hayati. Diperkirakan bahwa sekitar 17% spesies yang ada di dunia, hidup di wilayah Indonesia dan jumlah tersebut lebih besar dari seluruh spesies yang hidup di Benua Afrika. Keanekaragaman hayati Indonesia ini diperkirakan terkaya kedua di dunia setelah Brazil.
Dari potensi alamiah tersebut (natural endowments), maka pemanfaatan sumber daya hayati terbesar adalah untuk obat-obatan. Ini tidak terlampau mengherankan mengingat bahwa penggunaan tumbuhan alam untuk mempertahankan kesehatan dan pengobatan penyakit diperkirakan telah menjadi bagian sejarah lama budaya manusia dan telah dilakukan sejak sekitar 5.000 tahun lalu, dengan kurang lebih 1.500 jenis ekstrak tumbuhan.
Pada masa modern, tumbuhan yang masih dimanfaatkan diperkirakan hanya tiga ratusan jenis. Beberapa sumber menyebutkan bahwa berbagai jenis ekstrak tumbuhan itu telah mendapat sertifikasi dari “Food and Drug Administration (FDA)” - Amerika Serikat. Dari jumlah itu, 40 jenis ekstrak tumbuhan berasal dari Indonesia." Indonesia sendiri memiliki sekitar 30.000 jenis tumbuhan, 7.000 jenis di antaranya berkhasiat sebagai obat. Jumlah tersebut juga merupakan 90% jenis tanaman obat di Asia.
Belakangan, pengembangan obat bahan alam2 cenderung meningkat cukup pesat, tidak saja di belahan negara berkembang tetapi juga di negara-negara industri maju. Fenomena ini nampaknya didorong oleh kecenderungan kuat tentang cara pengobatan back to nature di tingkat global. Untuk negara berkembang saja, WHO memperkirakan bahwa 80% penduduk negara berkembang masih mengandalkan pemeliharaan kesehatan pada
1 Sebagian dari tulisan ini diambil dan/atau disarikan dari beragam sumber, termasuk dokumen dan hasil
serangkaian diskusi/workshop yang telah diselenggarakan. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi serta sangat kooperatif dalam mendorong upaya kolaboratif ini.
Tulisan ini disiapkan oleh penulis sebagai bagian/bahan laporan pelaksanaan pemetarencanaan obat bahan alam Indonesia bagi BPPT, muatannya bersifat tentatif dan sebagai satu satu bahan masukan bagi diskusi selanjutnya.
2 Pengertian obat bahan alam mencakup: tumbuhan, tanaman dan hewan, termasuk fitofarmaka dan
biofarmaka. Obat tradisional menurut UU No. 23/1992 tentang Kesehatan adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
52
pengobatan tradisional yang dalam praktiknya menggunakan atau melibatkan tumbuh-tumbuhan.
Selain karunia tanaman bagi obat bahan alam yang melimpah, Indonesia sendiri dinilai kaya akan pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology) mengenai obat tradisional yang berasal dari sumber daya hayati. Karena itu sangat kuat untuk beralasan bahwa bagi Indonesia, fenomena ini semestinya dipandang sebagai perkembangan positif yang dapat menguak cakrawala prospek pengembangan obat bahan alam Indonesia sebagai industri yang berkeunggulan kompetitif di tingkat global.
Di sisi lain, pengembangan obat bahan alam di Indonesia sejauh ini masih menghadapi berbagai hambatan/persoalan dan tantangan. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah seperti berikut:3
Kendala penggunaan obat bahan alam dalam sistem pelayanan kesehatan formal:4
Belum teruji secara klinis.
Aturan penggunaannya belum dirumuskan dengan jelas.
Belum ada informasi lengkap tentang obat bahan alam dan pedoman tegas penggunaannya.5
Belum menjadi kebiasaan dalam praktik pengobatan formal.
Obat bahan alam harus memenuhi persyaratan: mutu, aman dan berkhasiat.
Masalah dan tantangan dalam pengembangan obat bahan alam:
Budidaya sumber daya hayati.
Standarisasi mutu proses dan produk.6
Peraturan perundang-undangan.
Jaringan penelitian dan aplikasi hasil penelitian.
Komersialisasi/sinkronisasi kebutuhan pasar, tren pola penyakit dan pengembangan obat bahan alam, terutama dikaitkan dengan konservasi.
3 Lihat misalnya Anggadiredja (2001).
4 Indonesia pada dasarnya menganut sistem tolerant.
5 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, antara lain:
Pasal 40 ayat(2): Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar atau persyaratan yang ditentukan;
Pasal 41 ayat(1): Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat ijin edar;
Pasal 41 ayat(2): Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektifitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
6 Standarisasi “obat tradisional” pada dasarnya meliputi bahan atau simplisia, produk jadi dan proses
pembuatan. Sejauh ini standar produk obat tradisional baru terbatas pada aspek mutu dan keamanan, belum mencakup pada aspek khasiat/kemanfaatan. Untuk standar proses pembuatan, telah ditetapkan dalam bentuk “Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOTB).” Walaupun begitu, sebagian besar industri obat tradisonal terutama “Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT)” belum melaksanakan CPOTB. Sementara itu, untuk jamu gendong, dalam proses pembuatannya juga belum sepenuhnya memperhatikan aspek kebersihan dan pemilihan bahan/simplisia yang berkualitas.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
53 P2KDT – DB PKT
Isu-isu tersebut merupakan hambatan dan isu/persoalan yang sangat menantang, yang diperkirakan tidak mungkin diselesaikan oleh satu pihak (khususnya industri) dan diserahkan begitu saja kepada “mekanisme pasar.”
Sehubungan dengan itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT (cq. P2KT PUDPKM) memprakarsai upaya kolaboratif strategis pengembangan obat bahan alam Indonesia. Hal ini dlakukan dengan menyelenggarakan serangkaian diskusi dan workshop terbatas7 dan menginisiasi upaya pemetarencanaan (roadmapping) pengembangan obat bahan alam Indonesia, dan memulainya dengan fokus, sebagai hasil konsensus forum, pada tanaman mahkota dewa8 dan pare.9
Tulisan ini membahas beberapa isu penting langkah strategis pengembangan obat bahan alam Indonesia beserta hasil awal yang dicapai sebagai upaya bersama, dengan pendekatan pengembangan “pemetarencanaan (roadmapping) kolaboratif.” Dalam proses diskusi, prakarsa ini berfokus pada pengembangan obat anti diabetes dari mahkota dewa dan pare dalam konteks pengembangan “kelompok produk antara” dalam bentuk bahan jamu (simplisia standar), herbal/ekstrak terstandar, dan sediaan akhir fitofarmaka.
2. ARAH STRATEGIS
Pemetarencanaan kolaboratif dikembangkan mengingat beberapa alasan khusus berikut:
Industri berbasis obat bahan alam Indonesia yang sebenarnya potensial bagi perekonomian daerah dan nasional serta sangat strategis dinilai kurang dapat berkembang karena lemahnya penguasaan berbagai bidang teknologi yang terkait dan lemahnya penyediaan (supply) bahan yang bermutu tinggi.
Di sisi lain, bidang-bidang teknologi yang terkait dengan sektor produksi/industri obat mengalami kemajuan-kemajuan yang semakin cepat, terutama untuk produk obat modern dari bahan sintetis. Sementara itu, kekayaan pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology) terkait yang berkembang di Indonesia belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dengan baik untuk mampu menjadi aset intelektual, baik bagi kemajuan ekonomi maupun perkembangan iptek di Indonesia. Karena itu, tanpa usaha yang terarah, sinergis, intensif dan ekstensif, serta berjangka panjang untuk menguasai kemajuan teknologi-teknologi tersebut, maka perkembangan sektor produksi di bidang obat bahan alam Indonesia diperkirakan berisiko akan semakin tertinggal.
7 Dua workshop telah diselenggarakan di Gedung BPPT - Jakarta pada tanggal 24 September 2003 dan 21
Oktober 2003. 8 Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (scheff) boerl, atau Phaleria papuana Warb. var. Wichannii (Val.)
Back Phaleria macrocarpa warb. var. wichanii (val) back) berasal dari Papua. Tumbuhan berfamili Thymelaeceae ini dikenal bangsa asing dengan nama The Crown of God.
9 Pare (momordica charantia, atau Momordica chinensis, M. elegans, M. indica, M. operculata, M. sinensis,
Sicyos fauriei) berkembang di daerah tropik. Tumbuhan berfamili Cucurbitaceae ini dikenal juga dengan nama bitter melon.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
54
Sehubungan dengan itu, dipandang urgen upaya komprehensif mengembangkan petarencana (roadmap) yang terkait dengan pengembangan bidang-bidang produksi yang strategis, mendorong upaya-upaya kolaboratif dan sinergis, meningkatkan penguasaan teknologinya, serta mendorong pemanfaatannya secara nyata ke dalam kegiatan nilai tambah di sektor swasta dalam industri obat bahan alam Indonesia.
2.1 Visi dan Misi
Beberapa esensi visi pengembangan obat bahan alam Indonesia diusulkan dan berkembang dalam diskusi. Walaupun konsensus akhir tentang ini masih terus dikembangkan, forum terbatas yang terbentuk pada dasarnya menyepakati esensi arah langkah strategis dengan visi “umum”:
“Berkembangnya obat bahan alam Indonesia yang kompetitif di pasar global.”10
Pengertian pasar global dipandang sesuai mengingat esensinya bahwa obat bahan alam Indonesia memang berpeluang baik bagi “segmen-segmen” strategis tingkat lokal/domestik, regional, maupun “segmen relung” tertentu di pasar internasional.
Upaya kolaborasi diharapkan dapat berkembang terus dan secara bertahap dan berkelanjutan dapat melaksanakan misi:
Mendorong perkembangan obat bahan alam Indonesia sehingga diterima dalam pelayanan kesehatan formal, mampu berkompetisi secara global dan menjadi sumber kemajuan ekonomi bagi masyarakat.
Mengembangkan keunggulan daya saing obat bahan alam Indonesia sehingga dapat menempatkan Indonesia sebagai produsen obat alam OAI kelas dunia pada tahun 2010 dan diterima dalam program pelayanan kesehatan formal.
Menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam tumbuhan/tanaman dan khasanah iptek obat bahan alam Indonesia melalui penelitian, pengembangan, pengkajian, rekayasa dan bisnis bahan produk jamu, ekstrak herbal terstandar, dan fitofarmaka berbasis herbal medisin agar menjadi produk-produk unggulan.
Mengupayakan pelestarian pemanfaatan dan peningkatan kuantitas, mutu tanaman obat dan penyampaiannya melalui pengembangan praktik baik (good practices) pembibitan, budidaya dan pengolahannya yang semakin kompetiftif agar dapat meningkatkan pendapatan petani dan pelaku bisnis lainnya, serta kemanfaatan bagi pihak pengembang teknologi sehingga mendukung keberlanjutan (sustainability) alih/komersialisasi dan difusi teknologi/pengetahuan (inovasi).
10 Pernyataan visi yang lebih “spesifik” tentu perlu dirumuskan agar “lebih mampu” memberikan gambaran
masa depan sebagai unambiguous and chalenging ideal yang dicita-citakan, sekaligus sebagai the guiding principle. Untuk tahapan prakarsa ini, upaya diarahkan pada pengembangan bahan produk obat anti diabetes dari mahkota dewa dan pare, sebagai bagian integral dalam mewujudkan visi bersama tersebut.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
55 P2KDT – DB PKT
Prakarsa kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia secara umum diarahkan kepada sediaan antara, yaitu bahan jamu dan ekstrak herbal terstandar serta sediaan akhir fitofarmaka guna memenuhi permintaan pasar lokal, regional maupun internasional.11 Dalam kaitan ini upaya pengembangan produk tersebut pada dasarnya harus memenuhi persyaratan “mutu (quality), keamanan (safety), dan khasiat (efficacy).”
2.2 Tujuan dan Sasaran
Prakarsa pemetarencanaan kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia pada tahap ini memiliki tujuan utama yang bersifat umum sebagai berikut:
1. Mengembangkan suatu visi masa depan bersama bagi industri obat bahan alam Indonesia.
2. Memberikan masukan sebagai suatu bahan pedoman bagi program-program litbang bersama (kolaboratif) industri, lembaga litbang dan perguruan tinggi serta masyarakat lokal, sehingga memperkuat jaringan pengembangan obat bahan alam Indonesia dan posisinya secara internasional.
3. Membantu fokus dan penentuan prioritas aktivitas riset dan dukungan kebijakan.
4. Memperbaiki peningkatan nilai tambah pada setiap subsistem, dan keterkaitan antar subsistem dalam rantai nilai keseluruhan.
5. Membangun/memperkuat basis kompetensi bagi pengembangan obat bahan alam Indonesia.
Dalam kaitan ini, sasaran utama yang bersifat umum yang hendak dicapai adalah:
1. Tersusunnya agenda petarencana bagi prakarsa kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia, khususnya menyangkut visi bersama, bahan masukan program-program litbang kolaboratif, fokus dan prioritas aktivitas riset dan dukungan kebijakan serta masukan bagi perbaikan rantai nilai industri dan peningkatan basis kompetensi bagi obat bahan alam Indonesia. Untuk tahap ini, upaya ditekankan pada konteks pengembangan obat diabetes dari mahkota dewa dan pare.
2. Tercapainya konsensus prakarsa kolaboratif, yang antara lain ditandai dengan konsistensi tindak lanjut untuk mengimplementasikan rencana program/aktivitas litbang dan perencanaan keberlanjutannya.
3. Dukungan manajemen puncak dari berbagai stakeholder kunci dalam mendorong langkah kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia.
11 Pengembangan produk turunan (industri hilir) obat bahan alam tentu sangat penting dan tidak boleh
diabaikan. Namun untuk tahapan sejauh ini, prakarsa kolaboratif difokuskan pada pengembangan produk/bahan antaranya.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
56
Pada tahap sejauh ini, tujuan “khusus” prakarsa ini adalah menyusun rencana kolaboratif upaya sinergis pengembangan obat dari tanaman pare dan mahkota dewa, yang sekaligus sebagai tahap awal (jangka pendek) dan bagian integral dari pengembangan strategis obat bahan alam Indonesia unggulan.
Tekanan pemetarencanaan yang dilakukan adalah pada pengembangan bahan baku obat (dari pare dan mahkota dewa), yang pada dasarnya dibutuhkan secara luas oleh industri hilir turunannya.
2.3 Ruang Lingkup
Pada tahap awal, prakarsa pemetarencanaan disepakati untuk difokuskan pada kelompok “produk obat” bagi penyakit “degeneratif untuk obat anti diabetes.”12 Dua tanaman yang dipilih dibatasi pada tanaman pare dan mahkota dewa dalam bentuk sediaan antara yaitu bahan jamu dan herbal terstandar dan sediaan akhir dalam bentuk fitofarmaka guna memenuhi permintaan pasar lokal, regional maupun internasional (ilustrasi Gambar 1).
Tanaman mahkota dewa dan pare dipilih mengingat potensi kemanfaatannya yang dinilai sangat besar. Beberapa catatan historis pemanfaatannya secara tradisional dan hasil penelitian awal (bersifat preliminary) menunjukkan khasiat dan keluasan pemanfaatan tanaman ini. Mahkota dewa juga merupakan tumbuhan/tanaman “khas” Indonesia (dalam arti satu di antara potensi tanamannya di Indonesia yang sangat besar dibanding di wilayah lain, walaupun tidak hanya tumbuh di wilayah Indonesia). Selain itu, dari sisi penelitian dan pengembangan teknologi, forum berpendapat sama bahwa pengembangan mahkota dewa sangat menantang. Sementara untuk tanaman pare, selain telah dikenal lama dan luas tentang khasiat dan pemanfaatannya di banyak negara (termasuk bagi penyakit diabetes), juga pengetahuan/teknologi terkait yang terakumulasi di lembaga litbang/perguruan tinggi dan masyarakat dinilai telah cukup banyak dan inovasi bagi pengembangannya diperkirakan memiliki potensi akseptibilitas kultural yang sangat baik dalam masyarakat industri obat bahan alam Indonesia.
Seperti telah disampaikan, tekanan prakarsa pemetarencanaan yang dilakukan adalah pada upaya pengembangan bahan baku obat (dari pare dan mahkota dewa), yang pada dasarnya dibutuhkan secara luas oleh industri hilir turunannya.
12 Dua dasawarsa ini wabah kencing manis dunia, tercepat dan terbesar terjadi di Asia Pasifik (Dr Clive
Cockram, Ketua Asia Pasifik Tipe 2 Diabetes Mellitus Policy Group); Sementara itu, di Amerika Serikat dan Eropa diperkirakan bahwa pengobatan kencing manis menyedot sekitar 10 persen biaya kesehatan nasional (Sumber : Hendrawan Nadesul, http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0207/02/iptek/ mela10.htm).
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
57 P2KDT – DB PKT
Waktu
Pasar
Sumber
Daya
Program
Litbang &
Akt. Lain
Teknologi/
Aspek Lain
Produk
SA 1
SB 2
SB 3
ST 2 ST 4
ST 3
P 1 P 1+
P 2
ST 5
Segmen A
Segmen B
Kelompok 1
Kelompok 2
Bidang A
Bidang B
Keuangan
Kepemilikan /Infrastruktur
SDM / Kapabilitas
LB 1 LB 2
LB 3
LB 5
LB 4 LB 6
LB 7
K 1 K 2
KI 1
SK 2SK 1
KI 1
KI 2
KI 3
KompetensiInti(Core
Competences)
KI 4
Segmen C
SA 2
SB 1
SA 3
SB 3
Kelompok 3
P 3
ST 1
Gambar 1. Ilustrasi Arsitektur Petarencana.
3. PROSPEK PASAR
3.1 Industri Saat Kini
Diabetes merupakan salah satu penyakit metabolik yang serius. Setiap satu di antara 20 orang dewasa di dunia diperkirakan menderita diabetes. Di Amerika Serikat, hasil survei dari Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Health Statistics, National Vital Statistics System mengungkapkan bahwa pada tahun 1996, diabetes merupakan penyebab kematian ke-7.
WHO memperkirakan terdapat 176.525.312 kasus diabetes di seluruh dunia pada tahun 2000, dan angka ini diperkirakan dapat mencapai 300 juta menjelang tahun 2025 serta lebih dari 370 juta kasus pada tahun 2030 (lihat data WHO pada bagian lampiran). Kenaikan tersebut diperkirakan terutama karena usia penduduk, diet yang tak sehat, kegemukan (obesity) dan gaya hidup yang terlampau santai (sedentary lifestyle).
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
58
0
50
100
150
200
250
300
350
1995 1997 2000 2025
Tahun
Jum
lah K
asu
s (d
ala
m j
uta
)
Negara Maju Negara Berkembang
Sumber : Data WHO.
Gambar 2. Jumlah Kasus Diabetes Melitus Dunia.
Untuk negara maju, kasus paling menonjol adalah kelompok usia sekitar 65 tahun atau lebih, sedangkan untuk negara berkembang kelompok paling besar adalah usia antara 45 – 64 tahun. Mayoritas kasus baru, diperkirakan akan terjadi di negara berkembang, khususnya India dan China.
Sekitar 2,3% penduduk dunia menderita diabetes, dengan pertumbuhan 4 – 5% per tahun. Cepatnya perkembangan kasus diabetes dunia diperkirakan akan sangat menjadi beban biaya kesehatan orang dengan penyakit diabetes (Type II diabetes misalnya sering disebut sebagai an epidemic for the next millennium), yang kini telah mencapai sekitar 153 milyar USD setiap tahunnya.
Beberapa sumber memperkirakan bahwa pasar dunia bagi prescription products untuk penyakit diabetes bernilai sekitar 8,1 - 10 milyar USD pada tahun 2000-an, meningkat sekitar 20% setiap tahunnya, dan diperkirakan bernilai 20 milyar USD pada tahun 2006.13 Oral anti-diabetics drugs adalah yang mendominasi produk pengobatan ini (sekitar 63%). Pemimpin pasar (market leader) untuk jenis obat ini pada periode tersebut adalah “Glucophage” (dengan penjualan sekitar 1,6 milyar USD).
Telaah industri/pasar sejauh ini mengindikasikan adanya 3 (tiga) sasaran industri/pasar potensial yang dituju yaitu pasar lokal/domestik (nasional) dan pasar luar negeri: regional (negara-negara tertentu yang telah mulai menerima dan/atau
13 Sumber: IMS Health Inc. (http://www.ims-global.com/insight/news_story/0101/ news_story_010125.
htm); 25 milyar USD pada tahun 2005 (Sumber: SG Cowen & Nicholas Hall & Co; Dari http://www.prosidion.com/research/market.html).
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
59 P2KDT – DB PKT
diperkirakan akan dapat menerima produk obat bahan alam Indonesia) dan internasional (negara-negara maju yang menerapkan persyaratan yang sangat ketat terhadap produk obat bahan alam Indonesia).
Rantai nilai vertikal industri obat bahan alam Indonesia secara generik adalah seperti diilustrasikan pada Gambar 3 berikut. Sesuai peraturan perundangan yang berlaku, pengembangan obat bahan alam Indonesia pada dasarnya harus memenuhi persyaratan “mutu (quality), keamanan (safety), dan khasiat (efficacy).” Pertimbangan persyaratan teknis maupun penggunaan/konsumsi dan kelompok pengguna turut mempengaruhi perkembangan potensi pasar obat bahan alam di pasar domestik/nasional maupun ekspor. Bagaimana karakteristik industri turunan dan potensi pasar di setiap segmen pasar tujuan perlu dikaji lebih lanjut.
Sasaran Utama Industri Turunan
Bahan / Sediaan
PEMBIBITAN/
PEMBENIHAN
-----------------
. . . .
PEMBIBITAN/
PEMBENIHAN
-----------------
. . . .
BUDIDAYA
------------------
. . . .
BUDIDAYA
------------------
. . . .
PASCAPANEN
------------------
. . . .
PASCAPANEN
------------------
. . . .
PENGOLAHAN
------------------
. . . .
PENGOLAHAN
------------------
. . . .
AKTIVITAS
PRODUKTIF
LAIN
------------------
. . . .
AKTIVITAS
PRODUKTIF
LAIN
------------------
. . . .
DISTRIBUSI
------------------
. . . .
DISTRIBUSI
------------------
. . . .
AKTIVITAS
PRODUKTIF
LAIN
------------------
. . . .
AKTIVITAS
PRODUKTIF
LAIN
------------------
. . . .
Tumbuhan Alamiah (khususnya Made)
Industri Jamu/ Obat
Tradisional
Industri Obat Modern
Industri Makanan Suplemen
Bahan Jamu Tradisional
Bahan Herbal Terstandar
Fitofarmaka
Penin
gkata
n k
ecanggih
an &
kom
ple
ksi
tas
lain
Gambar 3. Rantai Nilai Vertikal Industri Obat Bahan Alam.
A. Pasar Domestik (Nasional)
Segmen pasar yang berkembang bagi industri obat yang berbasis obat bahan alam Indonesia atau “obat asli” (khususnya dari tanaman) dan sebagai tujuan sejauh ini adalah:
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
60
1. Industri jamu tradisional: yang pada dasarnya terdiri atas:
Industri jamu tradisional (termasuk “jamu gendong” dan industri jamu tradisional yang umumnya berskala kecil dan menengah), dan
Industri jamu/obat tradisional maju (yang umumnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan modern).
2. Industri makanan (dan minuman) suplemen.
3. Industri obat modern.
Sebagian besar produksi jamu/obat alam Indonesia masih merupakan hasil produksi industri rumah tangga. Sehubungan dengan itu, dukungan referensi ilmiah masih sangat dibutuhkan agar mutu dan keamanan produk dapat terjamin.
Pengobatan tradisional obat bahan alam Indonesia saat ini diperkirakan menggunakan 20% jenis tanaman obat hasil budidaya, sedangkan yang 80% sisanya merupakan pemanfaatan tumbuhan obat dari habitat alam/hutan.14
Sebagian besar industri kecil obat bahan alam Indonesia merupakan industri rumah tangga yang mengolah tanaman obat menjadi strata produk jamu yang masih tradisional. Dari 830 industri obat tradisional, 10% adalah “Industri Obat Tradisional (IOT)” dan 90% adalah “Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT).”
Selama satu dekade dalam periode 1991-2001 jumlah IOT dan IKOT meningkat sekitar tiga kali lipat. Nilai omzetnya di luar industri jamu gendong dan racikan diperkirakan lebih dari Rp. 3 trilyun (US$ 354 juta) per tahun. Teknologi bahan bakunya selain dari sediaan simplisia (bahan baku bubuk kering) juga sudah memakai teknologi bahan baku ekstrak (Balittro, 2003).
Produk IKOT yang beredar dalam bentuk sediaan jamu dan serbuk simplisia merupakan segmen pasar nasional dengan nilai sekitar 4 triliun rupiah per tahun (10% pasar farmasi nasional).
Potensi obat diabetes di pasar nasional sangat besar. Untuk Indonesia, diperkirakan lebih dari 8,4 juta jiwa (lebih dari 4,2% penduduk) menderita diabetes. Menurut data WHO, angka ini diperkirakan dapat mencapai sekitar 21,4 juta jiwa pada tahun 2030. Peningkatan tersebut mengindikasi perkiraan pertumbuhan “pasar” secara kasar bagi obat diabetes, termasuk yang berbasis tanaman mahkota dewa dan pare.
14 Catatan:
Sri Yuliani (2001):
. . . Tahun 1998 merupakan masa suram bagi perekonomian Indonesia. Krisis moneter, telah menyebabkan obat-obat paten/sintetis semakin jauh dari jangkauan masyarakat, karena bahan baku obat sintetis 100% didatangkan dari luar. Kenaikan harga tidak dapat dielakan sampai mencapai 200%. Survai perilaku konsumen di kota-kota besar di Pulau Jawa menunjukkan bahwa 61,30% responden mempunyai kebiasaan meminum jamu tradisional dan 28,50% responden menyatakan jarang minum jamu (Charles, 2000). Kondisi seperti ini merupakan saat yang paling tepat untuk menggalakkan penggunaan obat tradisional dan obat fitofarmaka . . . .
. . . Selama ini obat-obat fitofarmaka yang berada di pasaran masih kalah bersaing dengan obat paten. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kepercayaan, standar produksi, promosi dan pendekatan terhadap medis, maupun konsumennya secara langsung . . . .
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
61 P2KDT – DB PKT
Segmen pasar obat modern nasional adalah berupa obat modern sintetis, yang sejauh ini masih didominasi oleh produk impor (bahan baku maupun produk akhir). Untuk dapat mengisi peluang dari prospek baik perkembangan pasar bagi obat modern, obat bahan alam Indonesia harus bersaing dengan produk-produk sintetis. Selain itu, indikasi mulai membanjirnya impor obat bahan alam (misalnya dari China) perlu disikapi bukan saja sebagai “ancaman” tetapi juga sebagai tantangan bagi upaya lebih terpadu pengembangan obat bahan alam Indonesia.15
Banyak investor sebenarnya yang diperkirakan tertarik berinvestasi pada herbal terstandar. Sejauh ini sebagian kecil saja yang bergerak di bidang fitofarmaka. Sebagai gambaran kondisi saat ini, diperkirakan hanya beberapa perusahaan saja, seperti: “Kimia Farma, Indo Farma, Kalbe Farma, dan Pharos,” yang mempunyai dana dan fasilitas memadai melaksanakan penelitian untuk produk fitofarmaka yang mengharuskan dilakukannya uji klinik.
Pasar untuk “orang yang sehat” sebenarnya lebih “besar” dari orang sakit. Karenanya, pengembangan obat alam juga perlu diarahkan dalam bentuk suplemen makanan (food supplemen) yang dapat memberikan efek “segar bugar” sepanjang hari, atau untuk produk turunan lain seperti bahan kosmetika (anti kerut, penundaan ketuaan), anti stroke, anti stress, tidak mudah masuk angin, mudah diperoleh dan harga yang tidak mahal (terjangkau oleh kelompok besar masyarakat).
B. Pasar Luar Negeri (Internasional)
Kelompok pasar internasional yang dinilai potensial terdiri atas pasar regional (negara-negara tertentu, terutama yang sudah mulai dan/atau diperkirakan akan dapat menerima produk Indonesia), dan pasar internasional negara maju (terutama Eropa dan Amerika Serikat). Beberapa gambaran kondisi terkait di kedua “segmen pasar” tersebut adalah seperti berikut:16
Untuk negara berkembang saja, WHO memperkirakan bahwa 80% penduduk negara berkembang masih mengandalkan pemeliharaan kesehatan pada pengobatan tradisional yang dalam praktiknya menggunakan atau melibatkan tumbuh-tumbuhan. Dua dasawarsa ini wabah kencing manis dunia, tercepat dan terbesar terjadi di Asia Pasifik (Dr. Clive Cockram, Ketua Asia Pasifik Tipe 2 Diabetes Mellitus Policy Group).
Obat bahan alam Indonesia dalam bentuk jamu dan herbal terstandar, telah dapat diterima antara lain di Malaysia, Vietnam, Thailand dan Saudi Arabia, walaupun masih dalam jumlah kecil.
India dan Korea menghasilkan devisa dari perdagangan obat tradisional USD 3 milyar, China USD 6 milyar, Malaysia USD 1,2 milyar, Indonesia USD 130 juta tahun 2002.
15 China sendiri sebenarnya termasuk pengimpor mahkota dewa dari Indonesia (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0103/07/0603.htm). 16
Beragam sumber, antara lain WHO, Hendrawan Nadesul (2002, http://www.kompas.com/
kompas%2Dcetak/ 0207/ 02/iptek/mela10.htm).
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
62
Kecenderungan masyarakat dunia terutama di Eropa dan Amerika untuk mengurangi pemakaian obat modern mengakibatkan permintaan terhadap obat bahan alam akan semakin meningkat. Di Amerika Serikat dan Eropa diperkirakan bahwa pengobatan kencing manis menyedot sekitar 10 persen biaya kesehatan nasional.
Pasar obat bahan alam Indonesia di Amerika sementara ini memang masih relatif kecil (produk fitofarmaka produksi BUMN dikategorikan sebagai food supplemen).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, terdapat sekitar 17 juta penderita diabetes atau sekitar 6,2% populasi (sekitar 90 – 95% nya adalah type 2 diabetes), dan pada tahun 1997 saja penyakit ini membutuhkan pembiayaan kesehatan sekitar 98 milyar USD.
Suatu laporan menyebutkan bahwa diabetes menghabiskan sekitar 5,5 – 9,4% dari keseluruhan biaya kesehatan tahunan di Inggris.17
Sementara itu, prospek pengembangan produk olahan biofarmaka untuk suplemen diet atau nutraceutical/suplemen makanan/FOSHU secara global sangat besar. Nilainya pada tahun 2000 mencapai US$ 44,8 milyar dengan kontribusi produk yang berasal dari herbal sebesar US$ 20 milyar. Pangsa pasarnya 39% Asia, 22% Amerika Utara, 34% Uni Eropa dan 5% lainnya. Produksi nilai bisnisnya menurut para pakar dari Malaysia mencapai US$ 60 milyar pada tahun 2002, US$ 200 dan 300 milyar pada tahun 2008 dan 2020. Malaysia berambisi menjadi world class producer dan global prominent player dalam industri herbal TO pada tahun 2020. Tujuan pemanfaatan atau klaim (claim) pengobatannya sejalan dengan jamu, yakni umumnya ke arah preventif, promotif dan rehabilitatif serta sebagai pengobatan pendamping pada pengobatan kuratif dengan kemoterapi (Balittro, 2003).
3.2 Beberapa Kecenderungan dan Faktor Pendorong Bisnis yang Utama
Seperti telah disampaikan bahwa pesatnya kenaikan penderita diabetes diperkirakan terutama karena bertambahnya kelompok penduduk usia lanjut (population ageing), diet yang tak sehat (unhealthy diet), meningkatnya jumlah penduduk yang kegemukan (obesity) dan gaya hidup yang terlampau santai (sedentary lifestyle).
Perkembangan ini diperkirakan akan mempengaruhi kebutuhan akan obat-obat anti diabetes. Di sisi lain, kecenderungan kuat tentang cara pengobatan back to nature kini semakin menjadi fenomenon umum di tingkat global.
Terkait dengan itu, secara umum, pendorong pasar yang penting (key market drivers) dari obat bahan alam antara lain adalah:
Keinginan mendapatkan obat baru diabetes yang manjur dan dari bahan alam;
Keinginan mendapatkan bahan untuk produk obat dari sumber daya yang melimpah dan/atau yang murah;
Standar dan/atau ketentuan peraturan yang harus dipenuhi bagi produk obat dan makanan, baik nasional maupun internasional;
17 Http://www.ims-global.com//insight/news_story/news_story_990723.htm.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
63 P2KDT – DB PKT
Kebutuhan akan penyediaan bahan baku atau produk antara bagi pengembangan industri turunannya, khususnya obat dan food supplement;
Kebutuhan formula produk dan dosis yang memenuhi persyaratan bagi obat bahan alam;
Kecenderungan berkembangnya industri turunan dari tanaman obat antara lain dalam bentuk obat, makanan/minuman, kosmetik dan lainnya.
Fenomenon kecenderungan “kembali ke alam” ini ditandai antara lain oleh:
Maraknya produk-produk bahan alam (natural products) dan/atau obat dan pengobatan tradisional.
Meningkatnya aktivitas keilmuan (dan forum-forum ilmiah) terkait dengan pendayagunaan dan litbang tanaman obat.
Berkembangnya pasar bagi produk obat bahan alam.
Kecenderungan meningkatnya investasi litbang untuk pemanfaatan natural compounds.
Permintaan atas dietary supplement, sebagai salah satu bentuk produk dari tanaman/obat bahan alam, juga cenderung terus meningkat. Hal ini terutama karena (Khor, 2002):
Meningkatnya akses terhadap obat komplemen dan alternatif.
Kekecewaan/ketidakpuasan terhadap perawatan kesehatan “konvensional/biasa,” termasuk peningkatan biaya.
Perubahan epidemologis (epidemiological shift) dari infectious diseases ke non-communicable chronic diseases.
Perubahan demografis ke arah peningkatan proporsi penduduk berusia lanjut.
Distribusi dan saluran penjualan yang efektif bagi dietary supplements.
Ini tentu merupakan peluang bagi obat-obat bahan alam Indonesia. Walaupun demikian, persyaratan medis bagi obat modern yang sangat tinggi memerlukan upaya-upaya pengembangan agar obat bahan alam tersebut dapat menjadi produk obat modern. Oleh karena itu, anugerah alam (natural endowments) baik berupa kekayaan keanekaragaman hayati dan kekayaan pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology) yang dimiliki oleh Indonesia harus dapat dimanfaatkan agar mampu dikembangkan menjadi aset intelektual bangsa dan produk-produk yang kompetitif.
Peraturan perundangan (regulasi) tentang kesehatan, khususnya obat-obatan turut mempengaruhi bagaimana perkembangan industri obat bahan alam. Sebagaimana digariskan dalam UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sistem kesehatan masyarakat di Indonesia adalah berdasarkan kepada kedokteran modern, tetapi praktik pengobatan tradisional tidak dilarang oleh undang-undang. Indonesia menganut sistem tolerant, yaitu pengobatan tradisional tidak diakui secara formal namun tidak dilarang untuk dipraktikkan
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
64
seperti di Indonesia. Hal ini berbeda dengan integrated system (yaitu pengobatan modern dan tradisional terintegrasi dalam sistem kesehatan formal termasuk pendidikan) seperti China dan Vietnam, atau dual health care system atau parallel (yaitu pengobatan modern dan tradisional terpisah di dalam sistem kesehatan nasional) seperti India, Jepang dan Republik Korea.
Karena itu, untuk dalam negeri, dengan asumsi bahwa sistem kesehatan tersebut tidak berubah, maka produk obat bahan alam Indonesia dalam pelayanan kesehatan formal masih akan menemui kendala jika akan “masuk” ke dalam sistem pengobatan formal, berupa terbatasnya produk yang memenuhi persyaratan uji klinis.
Perubahan sistem kesehatan dapat menjadi faktor pendorong bisnis kuat bagi perkembangan industri obat bahan alam Indonesia di dalam negeri.
Faktor penting lain adalah tentunya perkembangan teknologi pengolahan obat berbasis bahan alam. Lemahnya (keterbatasan) penguasaan teknologi (terutama proses dan produk) obat bahan alam membatasi kemampuan pelaku industri (terutama yang berskala kecil dan menengah) untuk dapat memproduksi obat yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.
Persyaratan yang ditetapkan negara tujuan seperti misalnya adanya kandungan bahan kimia obat dan pencemaran mikrobiologis yang dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia adalah di antara faktor penghambat, jika obat bahan alam Indonesia tidak dikembangkan.
Kecenderungan perkembangan pemanfaatan obat bahan alam untuk food supplement yang pesat disebabkan oleh (Balittro, 2003):
1. Meningkatnya populasi penduduk manula dan baby boomers (booming kelahiran bayi).
2. Perkembangan ekonomi global dengan dukungan peluasan dan kemudahan komunikasi, internet dan publikasi.
3. Pengaruh positif dari kemudahan perundangan Amerika Serikat untuk produk suplemen diet (SD) yakni Dietary Supplement Health and Education Act (DSHEA). Persyaratan klim keamanan dan khasiat SD lebih ringan, yakni cukup didukung hasil uji praklinik yang jauh beberapa kali lebih murah, mudah dan lebih cepat dilakukan dibanding produk dengan klaim obat farmasi (obat modern) yang harus lulus uji praklinik dan klinik. Bahan baku SD umumnya ekstrak terstandar yang jauh lebih murah penyediaannya daripada obat modern yang berbasis zat berkhasiat murni (novel compound) hasil isolasi dan sintesa parsial atau total. Selain itu produk SD tidak dijual sebagai ethical drug (melalui resep) seperti obat modern tetapi dijual secara bebas antara lain secara OTC (over the counter).
4. Peningkatan keperdulian dan minat masyarakat sesuai dengan tren back to nature dan juga diilhami oleh pemikiran Hippocrates (500 SM) mengenai kesehatan positif (positive health) yang berbunyi ”biarlah makananmu menjadi obat dan obat menjadi makananmu” (let your food be your medicine, and your medicine be your food).
5. Konsumen mengambil keputusan tanggung jawab pemeliharaan kesehatannya kembali kepada gaya hidup yang alami.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
65 P2KDT – DB PKT
3.3 Tantangan
Industri obat bahan alam Indonesia (terutama kelompok tradisional atau yang berskala kecil dan menengah) menghadapi beragam persoalan antara lain:
Keterbatasan kemampuan dalam memperoleh bahan berkualitas, sistem produksi yang lebih baik dan SDM berkualitas.
Keterbatasan kemampuan dalam berinovasi atau melakukan litbang bagi pengembangan sistem produksi dan pengembangan produk.
Semakin ketatnya persaingan pasar, baik karena perkembangan industri sejenis, meningkatnya produk impor obat bahan alam, dan perkembangan masuk dan meningkatnya industri farmasi besar yang bergerak dalam industri dan perdagangan obat bahan alam.
Pelanggaran peraturan oleh industri kecil dan menengah tradisional, yang mencampur produk bahan alam dengan beberapa bahan kimia.
Terkait dengan hal tersebut, beberapa isu persoalan/hambatan yang dinilai penting pemecahannya bagi perkembangan obat bahan alam Indonesia antara lain adalah sebagai berikut:
Tanpa adanya upaya-upaya yang komprehensif dan sinergis, perkembangan industri obat bahan alam Indonesia (termasuk untuk penyakit diabetes dari tanaman pare dan mahkota dewa) sangat berpotensi pada stagnasi bahkan “kemunduran” bagi industri obat bahan alam Indonesia karena sulit diterima oleh masyarakat yang semakin maju dan karena ancaman membanjirnya produk obat bahan alam impor dan produk obat modern sintetis (impor maupun produksi dalam negeri). Namun keterbatasan yang dimiliki oleh para pelaku industri obat bahan alam (terutama yang berskala kecil dan menengah atau kelompok tradisional), baik karena ketersediaan SDM (keahlian) maupun karena kegiatan litbang yang biasanya membutuhkan pembiayaan yang besar dan waktu yang tidak singkat, sangat menghambat perkembangan/kemajuan industri obat bahan alam Indonesia.
Untuk itu sangat diperlukan upaya pengembangan inovasi (proses dan produk) yang dibutuhkan oleh para pelaku industri. Sebagai contoh misalnya, untuk jamu dan fitofarmaka, bahan baku tanaman obat bahan alam harus melalui penelitian keamanan dan khasiatnya sehingga ditemukan ekstraksi yang terbukti secara ilmiah dan mendapatkan pengakuan untuk dipatenkan. Peluang ekspor produk obat bahan alam Indonesia juga belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena adanya kendala persyaratan yang ditetapkan negara tujuan seperti misalnya adanya kandungan bahan kimia obat dan pencemaran mikrobiologis yang dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.
Upaya pengembangan obat bahan alam Indonesia secara komprehensif tidak mudah untuk dilaksanakan. Salah satu tantangannya adalah karena belum ada perencanaan terpadu bagi pengembangan bahan baku obat (modern) dari bahan alam. Walaupun berbagai pihak sebenarnya telah melakukan banyak hal, namun umumnya ini dilakukan secara sendiri-sendiri. Berkembangnya tumpang tindih (misalnya dalam litbang) ataupun tidak tercapainya hasil signifikan bagi perkembangan industri obat
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
66
bahan alam Indonesia yang modern sangat potensial dihasilkan dari keadaan seperti ini.
Karenanya, sangat diperlukan upaya kolaboratif agar menghasilkan sinergi positif dalam mengembangkan dukungan produktif (terutama di bidang pengetahuan/ teknologi atau litbang/inovasi) bagi perkembangan industri obat bahan alam Indonesia, sesuai dengan kompetensi masing-masing pihak. Prakarsa pemetarencanaan kolaboratif adalah merupakan salah satu upaya untuk mendorong hal ini.
Pengembangan industri obat bahan alam Indonesia yang berkeunggulan daya saing akan sulit terwujud tanpa ada landasan yang jelas bagi peningkatan nilai tambah dan penguatan keterkaitan rantai nilai tambah dari seluruh elemen industri tersebut. Kekuatan struktural industri demikian lah yang dibutuhkan untuk membangun/meningkatkan daya saing industri obat bahan alam Indonesia.
Dalam kaitan ini, prakarsa pengembangan/penguatan klaster industri dapat menjadi suatu platform bagi pendekatan dalam peningkatan daya saing industri obat bahan alam Indonesia. Pengembangan/penguatan institusi kolaborasi merupakan bagian dari isu yang perlu diatasi dalam pengembangan obat bahan alam Indonesia.
Kekayaan intelektual yang dimiliki perlu terus dikembangkan dan juga dapat dilindungi secara legal sehingga mendorong peningkatannya sebagai aset ekonomi sekaligus turut mendorong penguatan kemandirian dan jati diri bangsa. Upaya menghasilkan dan memberi perlindungan HKI yang terkait dengan tanaman obat dan/atau pengetahuan/teknologi yang sangat urgen bagi perkembangan industri obat bahan alam Indonesia adalah satu satu di antara agenda yang menantang. Selain itu, peningkatan kesadaran dan kemampuan adopsi para pelaku industri, terutama yang berskala kecil dan menengah, akan praktik baik (good/best practices) industri obat bahan alam perlu didorong.
Hal yang juga sangat penting dikembangkan adalah alih pengetahuan/teknologi dan komersialisasi hasil litbang/inovasi yang tepat. Jika tidak, hasil litbang sangat boleh jadi akhirnya hanya akan tersimpan di laci.
Proses pengembangan obat (sintetis) merupakan proses yang panjang. Ini tentu merupakan proses yang perlu dilewati oleh pengembangan obat bahan alam Indonesia jika ingin dikembangkan sebagai produk obat modern. Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan proses percepatan pengembangan obat bahan alam Indonesia (fast track development process). Mendorong kolaborasi sinergis merupakan hal yang penting dalam menggali solusi atas hal ini.
4. KEBUTUHAN TEKNIS DAN KAPABILITAS
Pengembangan obat (sintetis) biasanya terdiri atas empat tahapan (initial discovery, preclinical/animal testing, clinical trials,18 dan regulatory approval) dan membutuhkan
18 Uji klinik terdiri atas fase preliminary pharmacological evaluation, basic control evaluation, extended
clinical evaluation, dan post marketing trial.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
67 P2KDT – DB PKT
waktu yang cukup lama. Di negara maju, proses ini rata-rata memerlukan waktu antara 10 – 15 tahun (Bjerrum, 2001). dengan tipikal proses pengembangan seperti diilustrasikan pada Gambar 4 dan 5. Upaya ke arah seperti ini tentu perlu dipersiapkan. Namun dalam prakarsa ini, beberapa prioritas ditekankan pada tahapan di bagian “industri yang lebih hulu.”
Tantangan yang dihadapi prakarsa kolaboratif dalam hal ini menyangkut:
pengembangan bahan antara (bahan jamu, ekstrak herbal terstandar, dan sediaan akhir fitofarmaka) yang memenuhi ketentuan persyaratan (mutu, aman dan berkhasiat) dan tuntutan dinamika pasar, serta
proses pengembangan yang menghasilkan time-to-market yang tepat.
Dalam kaitan inilah maka di satu sisi, kebutuhan teknis dan kapabilitas berkaitan dengan pengembangan penataan obat bahan alam Indonesia sejak proses hulu. Sementara itu, keberhasilan dalam merespon kedua hal di atas juga memerlukan:
Modifikasi/penyesuaian keseluruhan aspek pengembangan.
Masukan lebih banyak dan lebih dini dari “proses dan industri yang lebih hilir.”
Integrasi/pemaduan kompetensi dan pengalaman serta sumber daya yang lebih luas.
Riset
awal
Drug
discovery
Clinical
Development
Full Scale
Manufacture
Toxicology and Pharmacokinetics
Chemical development
Pharmaceutical development
Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Sales and Marketing
Uji Klinik (Clinical Trials)
Fase 1 Fase 2 Fase 3
50-100
orang
100-200
orang
500-5000
orang
Fase 4
PersetujuanMulai
Biaya£2M £150M £300M
10,000 compounds 1 obat baru
Sumber : Arnot (2002).
Gambar 4. Ilustrasi Pengembangan Obat.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
68
AdvancedIntermediateEarly
New
Medicine
ProposalTarget
Validation
Lead
Identification
Lead
DevelopmentLead
OptimizationEIH
Enabling
Early
Clinical
Safety
Development
Portfolio
Preparation
Early
Clinical
Efficacy
Phase
II
Phase
IIILaunched
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
Target
Validation
Clinical
Candidate
Selected
Start
Phase III
NDA
Discovery Development Market
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
MIL
ES
TO
NE
Sumber : Brännback (2003).
Gambar 5. Proses Pengembangan Obat: Proses sejak Penemuan hingga Pemasaran (a Technology based View).
4.1 Produk Pasar Sasaran
Dalam rantai nilai sektor produksi, pihak swasta lebih banyak bergerak dalam produksi olahan dari obat bahan alam. Secara umum, tanaman obat telah digunakan dalam bentuk berbagai produk seperti obat, makanan kesehatan, obat tradisional, suplemen diet, penambah rasa, parfum, kosmetik, pewarna, biopestisida. Ini pada dasarnya merupakan produk “turunan” dan merupakan kebutuhan/permintaan turunan (derived demand) dari bahan alam tersebut.
Tekanan “kelompok produk” dalam prakarsa kolaboratif ini adalah “bahan baku atau produk antara” dari tanaman sebagai bahan baku bagi proses pengolahan pada rantai nilai produksi berikutnya (industri turunannya), yaitu bahan jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka. Kemajuan dalam bidang ini, termasuk penyediaan bahan yang mememnuhi persyaratan dan berkembangnya sistem produksi yang kompetitif (misalnya melalui inovasi teknologi proses dan produk), dinilai sangat penting bagi daya saing industri pada rantai nilai berikutnya. Pada proses produksi berikutnya (industri turunannya), diharapkan pihak swasta yang lebih banyak berperan.19
19 Pendekatan ini hampir mirip dengan upaya pemetarencanaan kolaboratif SIA (Semiconductor Industry
Association) dalam pengembangan semiconductor.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
69 P2KDT – DB PKT
Pada dasarnya strategi segmentasi generik yang dinilai potensial dan perlu dikembangkan adalah sebagai berikut (Gambar 6). Jamu dan herbal terstandar dapat ditujukan untuk pasar lokal/nasional dan regional, sedangkan fitofarmaka tentunya berpeluang untuk pasar lokal, regional dan internasional.
Industri Obat Modern
Bahan Jamu Tradisional
Bahan Herbal Terstandar
Fitofarmaka
Penin
gkata
n k
ecanggih
an d
an k
om
ple
ksi
tas
lain
Lokal/ Nasional
Regional (Tertentu)
Internasional (Pasar Maju)
Industri Obat Modern
Industri Makanan Suplemen
Industri Makanan Suplemen
Industri Jamu/ Obat Tradisional
Industri Jamu/ Obat Tradisional
Industri Obat Modern
Industri Makanan Suplemen
Gambar 6. Segmentasi Generik Pasar/Industri Obat bahan Alam.
Sebagai sasaran waktu masuk pasar awal (target market entry), maka pengembangan pare dan mahkota dewa sebagai obat antidiabetes diharapkan sudah dapat dilakukan uji coba pasar (market test) sebagai berikut (ilustrasi Gambar 7):
1. Bahan jamu:
untuk segmen pasar lokal/nasional adalah pertengahan - akhir tahun 2004 (awal 2005) dan mulai dipasarkan (untuk early market) di tahun 2005;
untuk segmen pasar regional adalah awal/pertengahan tahun 2005 dan mulai dipasarkan (untuk early market) di akhir tahun 2005.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
70
2. Herbal/ekstrak terstandar:
untuk segmen pasar lokal/nasional adalah awal/pertengahan 2005 dan mulai dipasarkan (untuk early market) di akhir tahun 2005;
untuk segmen pasar regional adalah pertengahan/akhir tahun 2005 dan mulai dipasarkan (untuk early market) di awal tahun 2006.
3. Fitofarmaka:
untuk segmen pasar lokal/nasional adalah awal/pertengahan 2006 dan mulai dipasarkan (untuk early market) di akhir tahun 2006;
untuk segmen pasar regional adalah awal tahun 2007 dan mulai dipasarkan (untuk early market) di pertengahan tahun 2007;
untuk segmen pasar internasional adalah awal tahun 2008 dan mulai dipasarkan (untuk early market) di pertengahan/akhir tahun 2008.
2006
Bahan Jamu Tradisional
Bahan Herbal Terstandar
Fitofarmaka
Penin
gkata
n k
ecanggih
an d
an k
om
ple
ksi
tas
lain
Lokal/ Nasional
Regional (Tertentu)
Internasional (Pasar Maju)
2008
20082004
2004 2005
2007
2005 / 2006
Target Market Entry :
Gambar 7. Target Waktu bagi Pengenalan kepada Segmen Pasar.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
71 P2KDT – DB PKT
Pertimbangan kebutuhan pasar bagi setiap segmen sangatlah penting. Telaah lebih mendalam atas karakteristik spesifik setiap segmen pasar perlu dilakukan, mengingat karakteristik psikografis setiap “kelompok” pengguna (adopter) dalam suatu industri biasanya berbeda.20
Faktor keberhasilan pengembangan obat bahan alam Indonesia terutama terkait dengan isu ketersediaan bahan baku, ketersediaan obat dalam jenis dan jumlah yang cukup, keterjaminan kebenaran khasiat, mutu dan keabsahan obat yang beredar, serta perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan obat yang dapat merugikan (membahayakan) masyarakat. Tentunya, hal yang sangat mendasar bagi seluruh segmen pasar adalah bahwa pengembangan obat bahan alam Indonesia pada dasarnya harus memenuhi persyaratan “mutu (quality), keamanan (safety), dan khasiat (efficacy).”
4.2 Persyaratan/Kebutuhan Fungsional dan Kinerja (Fitur) Produk
Seperti telah disinggung sebelumnya, pengembangan obat bahan alam Indonesia pada dasarnya harus memenuhi persyaratan “mutu (quality), keamanan (safety), dan khasiat (efficacy).” Di sisi lain, produk obat bahan alam Indonesia tentu harus kompetitif dalam persaingan pasar. Persyaratan pasar karenanya harus dapat dipenuhi dan pengembangannya mampu menghasilkan produk yang kompetitif.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka beberapa persyaratan yang utama bagi produk obat bahan alam Indonesia adalah:
1. Manjur
2. Khasiatnya konstan
3. Khasiatnya reversible
4. Aman (efek samping minimal)
5. Dosisnya harus rasional
6. Harga yang terjangkau (kompetitif)
7. Mudah penggunaannya (“praktis”)
8. Cepat bereaksi (instan)
9. Kemasan yang menarik
Sehubungan dengan itu, upaya pengembangan bahan jamu, herbal (ekstrak) terstandar dan fitofarmaka, perlu dikembangkan dalam rangka produksi produk turunan, baik untuk produk jamu, food supplement, maupun obat modern yang memenuhi persyaratan tersebut di atas.
20 Lihat misalnya konsep/teori Rogers (Rogers dan Scott, 1997) dan Morse (Cavender, 2000) tentang hal ini.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
72
Konsumen
Regulasi
Fitofarmaka
Herbal Terstandar
Bahan Jamu
Khasiat
Manjur Konstan Reversible
Aman (Efek Samping Minimum)
Dosis Rasional
Praktis (Kemudahan Penggunaan)
Cepat Bereaksi
Kemasan Menarik
Harga Kompetitif
Obat Modern
Food Supplement
Jamu
Persaingan
Teknologi
Gambar 8. Kerangka Kebutuhan Produk.
4.3 Persyaratan/Kebutuhan Fungsional dan Kinerja (Fitur) Teknologi
Secara umum, upaya pengembangan bahan jamu, herbal (ekstrak) terstandar dan fitofarmaka dari mahkota dewa dan pare yang diharapkan membutuhkan hal berikut:
1. Ketersediaan bahan baku tanaman yang bermutu dari pare dan mahkota dewa secara umum: Untuk memenuhi hal ini bagi seluruh produk diperlukan:
Teknologi budidaya (dan pembibitan) bagi tanaman obat (dalam hal ini pare dan mahkota dewa).
Teknologi pascapanen dan penyimpanan simplisia.
2. Ketersediaan bahan baku ekstraksi yang terstandar: Sehubungan dengan ini diperlukan:
Teknologi ekstraksi.
Teknologi bagi penapisan fitokimia
3. Pengembangan fitofarmaka: Dalam memenuhi ini dibutuhkan teknologi bagi pengembangan dan beragam pengujian:
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
73 P2KDT – DB PKT
Standarisasi Ekstrak.
Penapisan Fitokimia untuk mengetahui jenis kandungan senyawa pada tanaman tersebut.
Uji Toksisitas untuk mengetahui keamanan bila dikonsumsi untuk pengobatan.
Uji Khasiat.
Uji Klinis:
Uji klinis untuk memastikan efek farmakologi, keamanan dan manfaat; dan
Uji klinis untuk pencegahan, pengobatan penyakit atau gejala penyakit.
4. Pengembangan produk dari bahan pare dan mahkota dewa: Berkaitan dengan ini diperlukan:
Pengembangan formula;
Teknologi formulasi bentuk dosis.
5. Pengembangan alih/difusi teknologi dan komersialisasi hasil litbang/inovasi: Sehubungan dengan ini antara lain diperlukan upaya pengembangan strateginya, kerangka komersial kekayaan intelektual (intellectual property), dan perencanaan bisnis (termasuk strategi produk-pasar, model bisnis, dan pentahapan).
Telaah tentang persyaratan fungsional dan kinerja teknologi hingga tahapan ini relatif masih sangat terbatas. Untuk itu, elaborasi lebih rinci dari teknologi yang diperlukan perlu dilakukan lebih lanjut.
4.4 Kapabilitas Teknologi Saat Kini
Sejauh ini belum terinventarisasi secara persis sejauh mana teknologi dan aktivitas litbang yang terkait dengan pengembangan obat bahan alam dari mahkota dewa telah dilakukan dan sejauh mana yang telah mampu dikuasai oleh lembaga litbang, perguruan tinggi atau industri/swasta di Indonesia. Walaupun begitu, diyakini bahwa beberapa aktivitas litbang dan literatur tentang kedua tanaman ini telah ada/dilakukan. Pengetahuan dan literatur tentang tanaman pare relatif diperkirakan lebih banyak dibandingkan dengan mahkota dewa.
Diskusi dalam workshop memperkirakan bahwa aktivitas litbang terkait dengan isu yang disebutkan pada bagian 4.3 di atas perlu dilakukan. Sehubungan dengan itu, aktivitas baseline berkaitan dengan perkembangan litbang dan hal lain relevan dengan tanaman mahkota dewa dan pare juga perlu dilakukan.
Menurut Balittro (2003), status teknologi di hulu dari mulai bahan tanaman, teknologi budidaya, panen sampai pasca panen umumnya masih sangat terbatas. Karena sebagian dibudidayakan secara tradisional sebagai usahatani sekunder dan sebagian besar dipanen dari lingkungan habitatnya (hutan vegetasi alamiah). Demikian juga status teknologi klarifikasi keamanan dan khasiat secara uji praklinik juga terbatas. Teknologi yang diperlukan adalah skrining jenis, varietas, penyusunan SOP budidaya, termasuk panen
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
74
dan pasca panen sampai penyimpanan guna menghasilkan simplisia dan ekstrak terstandar yang sejalan dengan kaidah pengelolaan budidaya yang baik atau GAP yang sudah membudaya di Uni Eropa dan negara maju lainnya dan tengah digalakkan di China. Dengan kaidah ini asal dan riwayat bahan baku mudah dilacak kembali. Di Balittro sendiri misalnya, pada 2 tahun belakangan telah dilakukan penelitian mendukung pengembangan tanaman obat biofarmaka, seperti mengkudu, cabe jawa, purwoceng dan sambiloto. Hasil dari penelitian tersebut antara lain, beberapa nomor dan karakternya, teknik perbanyakan tanaman dan budidayanya (Balittro, 2003).
4.5 Kesenjangan dan Hambatan
Walaupun secara historis telah dimanfaatkan sejak lama, namun secara umum, pengetahuan “ilmiah” tentang karakteristik obat bahan alam relatif masih terbatas (Tabel 1). Keterbatasan tentang ini membutuhkan upaya penelitian lebih mendalam, khususnya tentang tanaman mahkota dewa dan pare.
Tabel 1. Perbandingan Sifat antara Obat Modern dengan Obat Bahan Alam.
Parameter Syntetic Phytomedicines
1. Cost High Low
2. Chemistry Usually simple Usually complex
3. Target High Usually complex
4. Affinity High Low
5. Potency High Low
6. Incident of side effect
Higher, often unpredictable Lower, usually predictable
7. Action Drastic changes in physiological events
Restore physiological balance
8. In vitro test Often adequate Inadequate
9. Patent Easy Difficult
Sumber : Rajasekharan, Dikutip dari GP Jamu (2003).
Berkaitan dengan ini, pengembangan obat bahan alam Indonesia dari mahkota dewa dan pare juga masih menghadapi isu persoalan umum yang perlu diatasi, seperti misalnya:
1. Kelemahan struktural rantai nilai, termasuk hulu – hilir, seperti misalnya penyediaan ketersediaan pasokan (bibit, tanaman budidaya, bahan mentah dan antara) dengan jumlah memadai dan stabil serta tingkat kualitas tinggi.
2. Penguasaan teknologi proses dan produk dan kelemahan/keterbatasan kapasitas inovatif pada umumnya.
3. Kendala dalam memenuhi persyaratan uji klinik.
4. Kendala kebijakan.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
75 P2KDT – DB PKT
Kebutuhan akan teknologi dan pemenuhan persyaratan produk seperti disebutkan pada bagian 4.4 dan 4.5 perlu diatasi dalam pengembangan obat bahan alam dari mahkota dewa dan pare.
4.6 Strategi dan Sasaran Pengembangan
“Pokjanas TOI (Kelompok Kerja Nasional Tanaman Obat Indonesia)” telah mengembangkan arah bagi litbang tanaman obat Indonesia seperti ditunjukkan pada Gambar 9 berikut.
Fitofarmaka
Pemanfaatan
khasiat empirik
Simplisia standar
NCE
Uji preklinik
Budidaya
Kimia/farmasi
Uji preklinik/klinik
Tanaman Obat
Herbal
terstandarKimia/farmasi
Uji preklinik
Sumber : Arjoso dan Sukasediati (Pokjanas TOI, 2003).
Gambar 9. Arah Litbang Tanaman Obat Indonesia.
Dalam mendukung upaya tersebut, prakarsa pengembangan obat bahan alam Indonesia berbasis tanaman mahkota dewa dan pare perlu dilakukan dengan penekanan strategi pengembangan kolaboratif terutama yang sarat dengan iptek/litbang atau inovasi produktif, dilakukan pada pengembangan bahan jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
76
Sehubungan dengan itu, kerangka pengembangan obat bahan alam Indonesia melalui prakarsa kolaboratif ini adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 10 berikut.
JamuHerbal Terstandar
Fitofarmaka
Pengembangan “Hulu” (Pertanian)
Tanaman Obat
Pengembangan Industri Obat
Bahan Alam Indonesia
Upaya bagi Akseptabilitas Obat Bahan Alam dalam Sistem/ Praktik Kesehatan Nasional
Alih & Difusi Teknologi, HKI, Komersialisasi Hasil Litbang (Inovasi), dan Aktivitas Produktif Terkait Lainnya
Jamu
Obat Modern
Food Supplement
Pasa
r N
asi
onal
Pasa
r Eksp
or
Gambar 10. Kerangka Pengembangan.
Bentuk “bahan baku” atau “produk antara” dipandang sangat strategis, karena pertimbangan:
1. Keterbatasan/kendala yang dihadapi oleh pelaku industri, khususnya yang berskala kecil dan menengah;
2. Mempunyai “daya bangkitan” (leverage effects) yang signifikan bagi perkembangan industri hilirnya;
3. Mengandung banyak elemen “barang publik” (public goods) karena sifat/sarat dengan aktivitas litbang atau iptek;
4. Perkiraan eksternalitas ekonomi (positif) upaya litbang atau inovasi bagi pengembangan bahan jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka dari kedua tanaman tersebut;
5. Ketentuan perundangan/peraturan yang berlaku dan persyaratan yang ketat di berbagai negara yang sulit dipenuhi oleh industri dalam negeri, khususnya yang berskala kecil dan menengah;
6. Memberikan agenda yang cukup fokus dan dinilai prioritas bagi parakarsa kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
77 P2KDT – DB PKT
Sehubungan dengan itu, prakarsa kolaboratif pengembangan obat bahan alam bagi tanaman mahkota dewa dan pare dalam tahap ini dilakukan dengan sasaran pengembangan sebagai berikut, yang dinilai sebagai bidang-bidang litbang yang sangat penting:
1. Sistem pertanian bagi tanaman mahkota dewa dan pare:
Paket teknologi (teknologi budidaya dan pembibitan; dan
Teknologi pascapanen dan penyimpanan simplisia
untuk mendukung penyediaan bahan baku tanaman yang bermutu dari pare dan mahkota dewa.
Termasuk dalam hal ini misalnya adalah tersusunnya GAP (Good Agricultural Practices) sebagai prinsip atau sehimpunan SOP - farming practices untuk “sustainable production system that achieve economic viability, while protecting human health, animal and environment” untuk budidaya mahkota dewa dan pare.
2. Industri “bahan baku” atau “produk antara” bagi produk obat bahan alam: Paket teknologi/litbang tentang
Ekstraksi dan teknologi bagi penapisan fitokimia untuk mendukung ketersediaan bahan baku ekstraksi yang terstandar;
Teknologi bagi pengembangan dan beragam pengujian untuk mendukung pengembangan fitofarmaka, khususnya:
Standarisasi Ekstrak.
Penapisan Fitokimia untuk mengetahui jenis kandungan senyawa pada tanaman tersebut.
Uji Toksisitas untuk mengetahui keamanan bila dikonsumsi untuk pengobatan.
Uji Khasiat.
Uji Klinis:
Uji klinis untuk memastikan efek farmakologi, keamanan dan manfaat; dan
Uji klinis untuk pencegahan, pengobatan penyakit atau gejala penyakit.
3. Industri obat bahan alam: Paket litbang terkait dengan
Pengembangan formula; dan
Teknologi formulasi bentuk dosis
untuk mendukung pengembangan produk dalam industri obat bahan alam.
4. Alih teknologi/komersialisasi hasil litbang (inovasi) dalam mendukung pengembangan industri obat bahan alam Indonesia.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
78
Langkah-langkah tersebut membutuhkan kolaborasi sinergis beragam keahlian, pelayanan, prasarana dan sarana, aturan kebijakan yang kondusif serta peran-peran penting lain dari beragam pihak. Upaya tersebut mungkin berkembang dalam suatu klaster industri yang secara terus-menerus diperkuat. Karenanya, pemetaan potensi klaster industri bagi pengembangan obat bahan alam serta langkah-langkah penguatannya perlu dilakukan.
Pendidikan dan Riset (Perguruan Tinggi &
Lemlitbang
Pendidikan dan Riset (Perguruan Tinggi &
Lemlitbang
Budidaya Mahkota Dewa
dan Pare
Budidaya Mahkota Dewa
dan Pare
Industri Bahan:
• Jamu
• Herbal Terstandar
• Fitofarmaka
Industri Bahan:
• Jamu
• Herbal Terstandar
• Fitofarmaka
Klaster PertanianKlaster Pertanian
Lab UjiLab Uji
Asosiasi Profesi & Bisnis (Organisasi
Perdagangan)
Asosiasi Profesi & Bisnis (Organisasi
Perdagangan)
Lembaga Keuangan
Lembaga Keuangan
Badan Pemerintah(Kebijakan/Regulasi. Mis.: Deptan, Deperindag,
BPOM, Depkes, BSN, Ditjen HKI)
Badan Pemerintah(Kebijakan/Regulasi. Mis.: Deptan, Deperindag,
BPOM, Depkes, BSN, Ditjen HKI)
Penyedia Jasa Kesehatan
Penyedia Jasa Kesehatan
Penyedia Jasa Khusus
Penyedia Jasa Khusus
Produk BiologisProduk Biologis
Produk FarmasiProduk Farmasi
Produk
Kesehatan dan
Kosmetika
Produk
Kesehatan dan
Kosmetika
Industri Terkait seperti: Obat
Sintetis & Produk Kesehatan Lain
Industri Terkait seperti: Obat
Sintetis & Produk Kesehatan Lain
Peralatan/
Perlengkapan Uji
Peralatan/
Perlengkapan Uji
Penyimpanan dan
Distribusi
Penyimpanan dan
Distribusi
Peralatan/
Perlengkapan Produksi
Peralatan/
Perlengkapan Produksi
PengemasanPengemasan
Sertifikasi / LabelSertifikasi / Label
Humas (PR) dan
Periklanan
Humas (PR) dan
Periklanan
Benih/Bibit/
Tumbuhan
Benih/Bibit/
Tumbuhan
SaprodiSaprodi
AlsintanAlsintan
Teknologi & Praktik
Baik
Teknologi & Praktik
Baik
Gambar 11. Pemetaan Potensi Klaster Industri.
5. STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
Dengan kompleks dan luasnya persoalan/tantangan yang perlu diatasi dan beragamnya pihak yang perlu terlibat dalam pengembangan obat bahan alam Indonesia ini, maka teknologi yang perlu dan/atau akan dikembangkan atau litbang yang akan dilaksanakan perlu dipandang sebagai tanggung jawab kolektif dan menjadi agenda bersama serta diletakkan dalam kerangka strategi pengembangan kolaboratif yang saling komplementatif dan memperkuat. Ini diharapkan lebih memungkinkan untuk mendapatkan sinergi positif dari upaya-upaya multipihak.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
79 P2KDT – DB PKT
Gambar 12. Ilustrasi Kerangka Pemetarencanaan dalam Klaster Industri.
Di sisi lain, dengan menyadari kompetensi masing-masing pihak, maka sudah semestinya setiap pihak melaksanakan dan berpartisipasi/berkontribusi dalam upaya yang dipandang urgen sesuai dengan kompetensi masing-masing. Dengan kelimpahan sumber daya tanaman obat (khususnya mahkota dewa dan pare), kekayaan intelektual pengetahuan/teknologi masyarakat yang dimiliki, dan kekayaan intelektual “modern” (termasuk fasilitas, keahlian dan pengalaman) yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang terlibat, serta relatif “mahalnya” kekayaan intelektual dari luar (outsource atau imported IP), maka pengembangan sendiri (indigenous technological development strategy) nampaknya merupakan alternatif pengembangan yang paling sesuai. Sehubungan dengan itu, inovasi, kemajuan atau hasil litbang yang dapat terlindungi secara legal oleh rejim HKI perlu diupayakan kepemilikan intelektualnya bagi masing-masing pihak/pengembang terkait.
Keberhasilan inovasi atau litbang pada akhirnya ditentukan oleh keberhasilan difusinya (komersialisasi) kepada industri. Oleh karena itu, pengembangan teknologi dan/atau pelaksanaan aktivitas litbang mempertimbangkan masukan dan/atau melibatkan pihak swasta, khususnya calon pengguna (adopter, dan investor), sedapat mungkin dan sedini mungkin.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
80
5.1 Evaluasi dan Penentuan Prioritas/Rekomendasi Teknologi
Sejauh ini, apa yang telah disampaikan pada bagian 4.3 – 4.6 dipandang sebagai bidang litbang/teknologi yang dinilai prioritas bagi, dan direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam rangka kolaborasi pengembangan obat bahan alam Indonesia dari mahkota dewa dan pare. Upaya penajaman atau peninjauan tentang ini perlu dilakukan lebih lanjut.
5.2 Tahapan Keputusan dan Penjadwalan
Beberapa lembaga merencanakan melaksanakan aktivitas litbang tertentu terkait dengan tanaman mahkota dewa dan pare. Beberapa aktivitas penting juga dipandang perlu dilaksanakan (sebagian diusulkan). Dari identifkasi awal, beberapa aktivitas penting tersebut (dan perlu didiskusikan lebih lanjut) adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
5.3 Penganggaran/Pembiayaan dan Pengelolaan Sumber Daya Lain
Hingga tahapan ini, pembiayaan bagi aktivitas awal direncanakan dilaksanakan berdasarkan kemampuan pembiayaan masing-masing pihak yang terlibat. Tentu saja sumber daya yang tersedia ini masih sangat jauh dari yang diperlukan.
Patut diakui, kemampuan pembiayaan litbang sejauh ini termasuk bagi pengembangan obat bahan alam Indonesia masih sangat terbatas. Walaupun diyakini bahwa investasi litbang sangatlah penting bagi kemajuan industri obat bahan alam Indonesia, namun hal ini tidak serta merta tercermin dalam komitmen pembiayaan litbang.
Untuk itu, penggalian sumber daya, termasuk pembiayaan bagi langkah kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia ini perlu terus dilakukan. Dukungan dari pemerintah maupun swasta dan lembaga/pihak donor sangat diharapkan bagi pelaksanaan aktivitas litbang yang diperlukan.
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
81 P2KDT – DB PKT
Tabel 2. Identifikasi Awal Rencana Aktivitas Litbang Stakeholder Kunci.
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Produk - Pasar
Sasaran Fitofarmaka Lokal
Regional
Interna-sional
Sasaran Ekstrak Terstandar
Lokal
Regional
Sasaran Bahan Jamu Lokal
Regional
Lembaga - Teknologi (Litbang)
Balittro IPB
Pasca panen
Deptan BPTO Balittro IPB
Budidaya
Deptan BPPT Balittro IPB
Pembenihan
UI P3FOT
UK,UT, SE, PF, Formulasi dan Produksi
Puslitbang Kimia LIPI PF
PROM-BPOM UKL
Aktivitas Pendukung
Balittro Perhipba
Aktivitas Baseline
Pokjanas TOI GP Jamu BPPT
Tinjauan Kebijakan
Alih/Difusi Teknologi, Komersialisasi, Pengembangan Model Bisnis
BPPT KRT
Update Pemetaren-canan
Catatan:
UK: Uji Pra Klinis; UKL: Uji Klinis; UT: Uji Toksisitas; SE: Ekstak Standar; PF: Fitofarmaka.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
82
6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan Umum
Dewasa ini, fenomenon “kembali ke alam” telah menjadi kecenderungan yang semakin kuat. Pemanfaatan obat bahan alam dan pengobatan tradisonal baik di negara berkembang maupun negara industri maju cenderung meningkat.
The International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan bahwa upaya mengatasi diabetes memerlukan sekitar 5 – 10% dari anggaran kesehatan setiap negara. Kecenderungan kebutuhan yang meningkat merupakan peluang pasar bagi pengembangan obat anti diabetes, termasuk obat bahan alam Indonesia.
Anugerah alam (natural endowments) baik berupa kekayaan keanekaragaman hayati dan kekayaan pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology) yang dimiliki oleh Indonesia harus dapat dimanfaatkan agar mampu dikembangkan menjadi aset intelektual bangsa dan produk-produk yang kompetitif. Tanaman mahkota dewa dan pare adalah dua dari sekian banyak tanaman obat Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi obat bahan alam Indonesia bagi pengobatan diabetes.
Prakarsa kolaboratif pemetarencanaan pengembangan obat bahan alam Indonesia merupakan langkah strategis penting untuk mendorong upaya-upaya yang sebelumnya telah dan direncanakan akan dilaksanakan oleh berbagai stakeholder kunci dalam mengembangkan obat bahan alam Indonesia secara sinergis.
Pengembangan teknologi, aktivitas litbang atau upaya-upaya inovasi beserta difusi/ komersialisasi hasilnya merupakan bagian integral sangat penting dalam pengembangan industri obat bahan alam Indonesia yang kompetitif, baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Upaya-upaya ini antara lain sangat urgen dilakukan dalam pengembangan “bahan baku” atau “produk antara” baik dalam bentuk bahan jamu, herbal tersandar maupun sediaan akhir fitofarmaka yang dibutuhkan oleh industri.
Kelompok industri turunan/hilir potensial dari tanaman kedua tanaman obat yang diperkirakan potensial terutama adalah jamu, obat modern dan food supplement, selain produk-produk lainnya. Sementara itu, segmen pasar yang prospektif bagi produk ini adalah pasar lokal/nasional, dan pasar ekspor regional (negara-negara tertentu yang sudah dapat dan/atau diperkirakan mulai dapat menerima obat bahan alam Indonesia) dan pasar ekspor internasional negara-negara maju. Pada tahap awal, identifikasi dan pengembangan early market untuk hasil prakarsa kolaboratif akan sangat penting.
Kehendak untuk berkolaborasi dari berbagai pihak yang berpartisipasi dalam prakarsa pengembangan obat bahan alam Indonesia melalui pemetarencanaan ini merupakan suatu langkah maju yang sangat penting. Proses partisipatif dan semangat sharing berbagai pihak adalah di antara nilai positif yang patut dihargai.
Menurut hemat penulis, langkah kolaborasi pengembangan obat bahan alam Indonesia sangatlah penting dan memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional, baik dalam konteks pembangunan ekonomi maupun kemajuan iptek, terutama dipandang dari segi:
Potensi pasar dan pertumbuhannya, berdasarkan kecenderungan-kecenderungan pasar dan potensi pemanfaatan kemajuan iptek serta kekayaan alam (natural endowments) obat bahan alam Indonesia yang dimiliki;
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
83 P2KDT – DB PKT
Potensi eksternalitas ekonomi yang dihasilkan dari program/aktivitas yang sarat dengan iptek/litbang/inovasi;
Potensi peningkatan pendapatan masyarakat, terutama di kalangan usaha kecil dan menengah, dengan meningkatnya kapasitas inovatif, khususnya kemampuan dan praktik bisnis yang inovatif dan lebih baik/kompetitif di kalangan mayoritas pelaku ekonomi nasional; dan
Potensi meningkatkan daya saing klaster industri, khususnya industri obat bahan alam Indonesia, sebagai salah satu keunggulan daya saing ekonomi nasional.
6.2 Beberapa Rekomendasi
Beberapa hal berikut merupakan rekomendasi/bahan masukan bagi para pihak yang terlibat dan pembuat kebijakan serta swasta:
1. Semua pihak konsisten menindaklanjuti dan memperkuat prakarsa kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia. Kebutuhan pengembangan/penguatan agenda kolaboratif dan dukungan sumber daya, khususnya pembiayaan litbang/inovasi, perlu disikapi dengan menggali berbagai alternatif, termasuk dukungan program pemerintah dan keterlibatan pihak swasta serta donor.
Sebagai salah satu alternatif upaya untuk ini, direkomendasikan pengusulan tema “Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia” dalam Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) – KRT. Pihak BPPT (khususnya DB TAB dan DB PKT) bersama dengan GP Jamu, BPOM, UI dan Pokjanas TOI diharapkan memprakarsai hal ini.
2. Memelihara momentum kerjasama dan memperkuat interaksi dan institusi (pengorganisasian) kolaborasi yang telah tumbuh.
Sehubungan dengan itu, penulis mengusulkan pemberlanjutan forum diskusi/komunikasi reguler antar stakeholder dan pengembangan/penguatan institusi (“pengorganisasian”) kolaborasi, yang salah satu aktivitasnya antara lain adalah dalam rangka pemutakhiran pemetarencanaan kolaboratif pengembangan obat bahan alam Indonesia.
3. Mendorong perbaikan dalam sistem kesehatan nasional untuk mendorong pemanfaatan obat bahan alam Indonesia dalam sistem kesehatan formal.
Untuk ini diusulkan dibentuk suatu tim/kelompok kerja (pokja) untuk mengkaji isu kebijakan21 dan memberikan rekomendasi/bahan masukan kepada pemerintah.
4. Adanya dukungan dan komitmen pimpinan (manajemen puncak) dari setiap organisasi yang terlibat. Hal ini sangat penting bagi keberhasilan dari prakarsa kolaboratif ini. Tanpa ini, momentum yang terbentuk berisiko hilang dan tidak memberikan hasil positif seperti yang diharapkan.
21 Termasuk misalnya alternatif kemungkinan pengembangan tolerant system mengarah kepada integrated
system.
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
84
Dalam mendorong/memperkuat langkah kolaboratif yang sinergis pengembangan obat bahan alam Indonesia secara strategis, diusulkan adanya bentuk dukungan “legal-formal” (misalnya dalam bentuk “Kesepahaman Bersama”/MOU) antara beberapa stakeholder kunci.
Keberhasilan pengembangan obat bahan alam Indonesia merupakan tanggung jawab bersama (collective responsibility), dan karenanya tidak mungkin “dilimpahkan” kepada salah satu pihak semata. Langkah kolaborasi ini perlu dipandang sebagai proses pembelajaran bersama, dan hal ini akan berhasil jika setiap pihak yang terlibat istiqomah/konsisten, bersedia berkontribusi (memperkuat sharing spirit) dan secara bersama mendorong upaya/proses yang mendukung tercapainya hasil yang saling menguntungkan (mutual benefits).
6.3 Rencana Aksi
Sebagai titik masuk (entry point), seperti ditunjukkan pada Tabel 2, pada tahap sejauh ini beberapa pihak telah merencanakan aktivitas dalam rangka kolaborasi ini. Upaya penajaman dan perluasan kegiatan serta komunikasinya perlu terus dikembangkan.
LAMPIRAN
Peserta Forum/Workshop
Workshop melibatkan stakeholder kunci sebagai berikut:
1. Kementerian Riset dan Teknologi (KRT): Asisten Deputi Pengembangan Sistem Insentif
2. Badan pengawasan Obat dan Makanan (BPOM): Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetika Direktorat Obat Asli Indonesia Pusat Riset Obat
3. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT): Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan
Peningkatan Kapasitas Masyarakat – DB PKT Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Farmasi dan Medika – DB TAB Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian – DB TAB
4. Departemen Kesehatan: Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional 5. Departemen Pertanian:
Ditjen Bina Produksi Hortikultura Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO)
6. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN): Pusat Riset Obat dan Makanan 7. Universitas Indonesia (UI): Departemen Farmasi - FMIPA 8. Institut Pertanian Bogor (IPB): Pusat Studi Biofarmaka 9. Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (GP Jamu) 10. Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Asli (PERHIPBA)
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
85 P2KDT – DB PKT
Lampiran Data Pendukung
Jumlah Orang dengan Diabetes (WHO)
2000 2030
World 176.525.312 370.023.002
Regional Office for Africa (AFRO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Algeria 426346 1210426 Lesotho 31396 41653
Angola 51264 139768 Liberia 39747 150673
Benin 86555 265565 Madagascar 100102 300778
Botswana 25125 38747 Malawi 54651 127844
Burkina Faso 124345 387510 Mali 140439 405279
Burundi 26388 71921 Mauritania 33858 103178
Cameroon 69693 170607 Mauritius 111140 232593
Cape Verde 7087 24429 Mozambique 133299 272580
Central African Rep 17778 37691 Namibia 25124 55615
Chad 96579 268999 Niger 107877 382104
Comoros 4450 14872 Nigeria 1706655 4834885
Congo 14467 39079 Rwanda 30415 76833
Côte d'Ivoire 263580 635326 Sao Tome-Principe 600 2152
D Rep of the Congo 290985 910030 Senegal 143390 421057
Equatorial Guinea 7973 20868 Seychelles 7698 19403
Eritrea 47232 141959 Sierra Leone 65442 177869
Ethiopia 795651 1819973 South Africa 813672 1286295
Gabon 7765 16895 Swaziland 12981 19360
Gambia 21599 52918 Togo 63725 183555
Ghana 302053 850505 Uganda 98141 328303
Guinea 33751 89014 United Republic of
Tanzania 201139 628702
Guinea-Bissau 17281 44287 Zambia 70383 180142
Kenya 183120 497750 Zimbabwe 107612 264646
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
86
Regional Office for Americas (PAHO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Antigua and Barbuda
2891 4763
Guyana 18524 36489
Argentina 1426152 2457044 Haiti 160612 403190
Bahamas 11519 26040 Honduras 81416 279812
Barbados 11064 22466 Jamaica 80631 197573
Belize 4738 15532 Mexico 2178507 6130209
Bolivia 206824 554527 Nicaragua 68088 233390
Brazil 4553003 11305516 Panama 59220 153308
Canada 2006107 3542974 Paraguay 102237 324326
Chile 494932 1047405 Peru 754087 1960957
Colombia 883401 2410362 Saint Kitts and
Nevis 1715 2279
Costa Rica 76490 230537 Saint Lucia 5238 11327
Cuba 479612 875643 Saint Vincent and
the Grenadines 5050 8886
Dominica 2692 4306 Suriname 9042 23079
Dominican Republic
245216 594339 Trinidad and
Tobago 60259 124780
Ecuador 340981 937632 United States of
America 17701942 30312264
El Salvador 102606 319738 Uruguay 154087 223622
Grenada 4169 7160 Venezuela 582501 1602148
Guatemala 139270 444794
Regional Office for the Eastern Mediteranean (EMRO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Afghanistan 468485 1403188 Morocco 427317 1143309
Bahrain 36948 99489 Oman 113232 343326
Cyprus 49646 74523 Pakistan 5217306 14899131
Djibouti 7439 9309 Qatar 38044 87544
Egypt 2622789 6692132 Saudi Arabia 889518 2522689
Islamic Republic of Iran
2103199 6420780
Somalia 96829 331494
Iraq 667640 2009474 Sudan 447165 1277203
Jordan 194846 680495 Syrian Arab
Republic 627446 2312866
Kuwait 103778 318760 Tunisia 166186 388437
Lebanon 145786 377683 United Arab
Emirates 351119 684309
Libyan Arab 88152 244878 Yemen 326890 1162823
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
87 P2KDT – DB PKT
Jamahiriya
Regional Office for Europe (EURO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Albania 86081 191436 Lithuania 113946 146388
Andora 5730 18103 Luxembourg 12057 21193
Armenia 119651 205837 Malta 39177 57368
Austria 238930 366120 Monaco 2198 3435
Azerbaijan 336981 732895 Netherlands 425676 719753
Belarus 735031 818017 Norway 129759 206535
Belgium 317342 461439 Poland 1133646 1540642
Bosnia and Herzegovina
110656 179958
Portugal 662283 882428
Bulgaria 471501 552718 Rep of Moldova 170709 311689
Croatia 154596 180258 Romania 1092212 1807974
Czech Rep. 336306 441202 Russian Federation 4575571 5320153
Denmark 156505 232428 San Marino 1960 3467
Estonia 45957 42968 Slovakia 152714 220012
Finland 158580 239282 Slovenia 65588 86809
France 1753243 2645444 Spain 2717401 3751632
Georgia 200455 223350 Sweden 291908 404414
Germany 2626842 3770815 Switzerland 218646 336029
Greece 853246 1077022 Tajikistan 93491 245974
Hungary 332930 375942 The Former
Yugoslav Rep of Macedonia
53944 84397
Iceland 6198 11745 Turkey 2919600 6396772
Ireland 85787 156835 Turkmenistan 39685 222374
Israel 256696 499825 Ukraine 1636663 1641580
Italy 4252036 5373724 United Kingdom of
Great Britain and Northern Ireland
1804943 2665884
Kazakstan 452337 668293 Uzbekistan 429577 1164604
Kyrgyzstan 98314 222245 Yugoslavia 323547 392920
Latvia 81922 89650
PENYEDIAAN TEKNOLOGI, KOMERSIALISASI HASIL LITBANG DAN ALIANSI STRATEGIS
88
Regional Office for South East Asia (SEARO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Bangladesh 3196469 11817232 Maldives 6497 24320
Bhutan 48159 151245 Myanmar 542708 1330352
Dem. People's Rep. of Korea
367042 635261
Nepal 435799 1328729
India 31596691 80923544 Sri Lanka 653145 1537427
Indonesia 8425831 21362957 Thailand 538203 2912626
Regional Office for the Western Pacific (WPRO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Australia 940726 1672737 Japan 6765460 8913969
Brunei Darussalam 18153 49359 Kiribati 3698 6751
Cambodia 110307 295130 Lao People's Dem.
Rep. 45542 127833
China 20756772 42320529 Malaysia 942200 2481443
Cook Islands 665 1294 Marshall Is. 2281 4137
Fiji 37490 72213 Federated States
of Micronesia 5473 12639
Regional Office for the Western Pacific (WPRO)
Country 2000 2030 Country 2000 2030
Mongolia 33850 80711 Singapore 327674 695450
Nauru 1753 3876 Solomon Islands 12675 40880
New Zealand 178524 306928 Tonga 3366 6134
Niue 68 89 Tuvalu 346 775
Palau 855 1836 Vanuatu 6334 17099
Papua New Guinea 152018 392420 Viet Nam 791653 2342879
Philippines 2770017 7797681 Samoa 4485 7319
Republic of Korea 1859235 3378318
PRAKARSA KOLABORATIF PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM ALAM INDONESIA: KASUS OBAT DIABETES DARI MAHKOTA DEWA DAN PARE
89 P2KDT – DB PKT
Estimasi Jumlah Keragaman Hayati Nasional
Sumber : GP Jamu (2002).
33.518.1005.131.100T o t a l
4.170800Mammalia
9.2001.600Bird
6.3002.000Reptilia
4.2001.500Amphibian
66.90010.000Invertebrata
19.0008.500Fish
50.0006.000Mollusk
3.000.00050.000Arthropod
30.000.0005.000.000Insect
30.8003.500Protozoa
220.50030.000Flowering plants
530100Seed plants
11.3001.500Ferns
16.6001.500Moss
26.9001.800Seaweed
47.00012.000Fungi
4.700300Bacteria, algae
WorldIndonesia
Number of speciesGroup