Makala BHP
-
Upload
iip-sanes-saepudin -
Category
Documents
-
view
120 -
download
8
description
Transcript of Makala BHP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benigna hiperplasia prostate merupakan hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi),
dan nyeri pada saat miksi, masalah ini merupakan masalah yang serius untuk diketahui oleh perawat
khususnya mahasiswa perawat oleh karena itu kami menyusun makalah ini demi pengembangan
pengetahuan khususnya pada benigna hiperplasia prostate.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
Benigna Hiperplasia Prostate secara efektif.
2. Tujuan Khusus1) Untuk menyebutkan tentang pengertian Benigna Hiperplasia Prostate.
2) Untuk memahami etiologi tentang Benigna Hiperplasia Prostate.
3) Untuk mengetahui klasifikasi dari Benigna Hiperplasia Prostate.
4) Untuk mengetahui tentang patofisiologi Benigna Hiperplasia Prostate.
5) Untuk menjelaskan tentang manifestasi klinis Benigna Hiperplasia Prostate.
6) Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai komplikasi Benigna Hiperplasia Prostate.
7) Untuk mengetahui tentang pemeriksaan diagnostik Benigna Hiperplasia Prostate.
8) Agar mahasiswa dapat merumuskan penatalaksanaan medis Benigna Hiperplasia
Prostate secara tepat.
9) Untuk merumuskan asuhan keperawatan Benigna Hiperplasia Prostate.
10) Untuk mengetahui dan merumuskan asuhan keperawatan pada kasus Benigna
Hiperplasia Prostate.
1
C. Pembatasan Masalah
Mengingat terbatasnya waktu yang disediakan, maka pada makalah ini penulis hanya
membicarakan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Benigna Hiperplasia Prostate
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan tersebut, masalah yang dapat dirumuskan adalah :
1. Apa yang dimkasud pengertian Benigna Hiperplasia Prostate
2. Apa saja etiologi Benigna Hiperplasia Prostate
3. Apa saja yang termaksud klasifikasi Benigna Hiperplasia Prostate
4. Bagaimana proses perjalanan penyakit (patofisiologi )Benigna Hiperplasia Prostate
5. Apa saja yang termaksud manifestasi klinis Benigna Hiperplasia Prostate
6. Apa yang di maksud komplikasi klien dengan Benigna Hiperplasia Prostate
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik klien dengan Benigna Hiperplasia Prostate
8. Apa saja penatalaksanaan medis yang dilakukan klien dengan Benigna Hiperplasia Prostate
9. Bagaimana asuhan keperawatan Benigna Hiperplasia Prostate berdasarkan teori
10.Bagaiman asuhan keperawatan pada kasus Benigna Hiperplasia Prostate
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh bahan atau sumber-sumber pembahasan dari
berbagai media yang ada, antara lain seperti internet dan beberapa buku cetak yang ada.
F. Sistematika Penulisan
Pada penyajian makalah ini akan kami sajikan terdiri dari tiga bagian.
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang, tujuan penulisan, pembatasan masalah,
metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Teori
Tinjauan penulisan menjelaskan tentang anatomi perkemihan, pengertian glomeroluefritis,
etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan diagnostik,
penatalaksanaan medis, asuhan keperawata dan asuhan keperawatan teori Benigna Hiperplasia
Prostate.
Bab III Tinjauan kasus
Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada kasus gromelulonefritis
Bab IV Penutup
2
Terdiri kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI FISIOLOGI
Prostat adalah organ tubuh yang terletak dibawah kandung kemih, hanya dimiliki kaum pria,
bentuk seperti buah kenari dengan ukuran normal 4 X 3 X 2 cm, berat sekitar 20 gram.
Fungsi prostat :
1. menghasilkan cairan air mani untuk membantu kelancaran penyaluran sperma keluar dari
penis
2. mengatur penyaluran air seni dan air mani.
3. Kontraksi otot prostat dan otot sekitarnya juga berperan dalam memompa air mani pada saat
ejakulasi.
Untuk berfungsi baik, prostat memerlukan hormon pria, yaitu testosterone, khususnya
dihidrotestosteron (DHT), yang terutama dihasilkan oleh testis. Sumber testesteron lain ialah
kelenjar anak-ginjal (kelenjar adrenal) walupun jumlahnya kecil.
B. DEFINISI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
1. Hyperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat , pertumbuhantersebut dimulai dari bagian periuretral sebaga proliferasi yang
terbatas dan tumbuh menekan kelanjar normal yang tersisa ( Price & Wilson 2005).
Benigna prostat hipertropi adalah tumor jinak dan kelenjar prostat bagian paling dalam
(medial prostat) membesar oleh karena pembesaran ke arah tepi-tepi menimbulkan
penyempitan uretra. Pembesaran tersebut dapat menyebabkan dorongan sampai ke arah
basis vesika urinaria, sehingga mengakibatkan kesulitan miksi.
2. Benigna Prostat hyperplasia adalh kondisi patologis yang paling umum, yang banyak terjadi
pada pria diatas 50 tahun (Bruner dan Suddarth, 2001)
3
3. BPH (Benigna Prostat hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada
pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran
urinarius. (Doenges, 1999)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.
C. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat
hiperplasia, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat;
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh
hormone, yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormone estrogen dan testoteron.
Sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya diproduksi oleh
kelenjar adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan keseimbangan
testoteron dan estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testoteron dan
konvensi testoteron menjadi estrogen pada jaringan perifer, estrogen inilah yang emudian
menyebabkan hyperplasia.
4
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
1. Teori Hormonal.
Teori ini dibuktikan bahwa, sebelum pubertas dilakukan kastraksi, maka tidak terjadi BPH.
Selain androgen (testoteron), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan
bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu antar hormone
testoteron dan androgen.
2. Teori Reawekering (Neal, 1978)
Menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi
sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
3. Teori Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan strauma kelenjar prostat.
4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat arena berkurangnya sel-sel yang mati.
5. Teori sel STEM
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Prostat, dalam hal ini kelenjar
periuretral pada orang dewasa, berada dalam keadaan seimbang antara pertumbuhan sel dan
sel yang mati. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon
atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi
hiperplasi kelenjar periuretral.
6. Dehidro Testoteron
Testoteron yang dihasilkan oleh sel Lyding Pada testis (90 %) dan sebagian kelenjar adrenal
(10 %), masuk kedalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin menjadi seks
hormone dinding globulin.
5
D. PATHWAY BPH
Penuaan
6
Etimologi
Perubahan keseimbangan testoteron dan
esterogen
Mitotrouma : Trauma, Ejakulasi,
Infeksi.
Retensi Leher V.U dan Daerah
V.U
Terjadi kompresi
Uretra
Nyeri
Produksi testoteron menurun
BPH
Kerusakan mukosa
Kemampuan Fungsi V.U
Kelemahan Otot dekstruksor
Terbentuknya sakula/trabekula
Ketebalan otot Dekstruksor (fase
dekompensasi)
Penekanan serabut2 saraf
MK: resiko terjadi infeksi
Media Pertumbuhan
kuman
Peningkatan Residu Urin
MK: gangguan eliminasi urine: retensi
Hidronefrosis Reflukurine
MK: Ggn rasa nyaman
Penurunan Pertahanan tubuh
MK: intoleransi Aktifitas
Stimulasi sel stoma yang dipengaruhi
GH
Gagal ginjal
Penurunan Faal Ginjal
Nokturia
E. PATOFISIOLOGI
Proses terjadinya benigna prostate hiperplasia berawal dari dua etiologi, pertama dan
yang paling sering terjadi yaitu karena proses penuaan, proses penuaan mengakibatkan
perubahan keseimbangan hormone, terutama penurunan produksi hormone testoteron dan
peningkatan hormon esterogen, kedua hormon ini bekerja berbanding terbalik. Penurunan
produksi hormone testosteron memicu terjadinya benigna prostate hormone. Sedangkan etiologi
yang kedua ialah Mitotrauma seperti trauma dan infeksi, mitotrauma ini bisa mengakibatkan
stimulasi sel stoma yang dipengaruhi grouth hormone sehingga terjadi hiperplasia atau
penmbengkakan pada kelenjar prostate dan mengahibatkan BPH.
Benigna hiperplasia prostate menyebabkan kompresi (penekanan) pada uretra dan
mengakibatkan retensi leher Vesica Urinaria dan daerah pada vesica urinaria Hal ini
mengakibatkan penurunan ketebalan pada otot dekstruktor sebagai akibat dari dekompensasi
sehingga terbentuk sakula/trabekula, terbentuknya skula/trabekula mengakibatkan kelemahan
otot dekstruktor dan menurunnya kemampuan fungsi vesica urinaria. Menurunnya kemampuan
fungsi vesica urinaria dapat mengakibatkan reflukurine; yaitu keadaan dimana tekanan vesica
urinaria lebih tinggi dari pada tekanan di uretra sehingga memungkinkan terjadinya arus balik
urine dari vesica urinaria menuju ginjal melalui ureter. Refluk urine bisa mengakibatkan
hidronefrosis yaitu pembengkakan pada ginjal karena terakumulasinya urine/cairan dalam ginjal,
hal ini dapat mengakibatkan penurunan fungsi pada ginjal hingga sampai mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal.
Selain dapat menyebabkan reflukurine, penurunan kemampuan fungsi vesica urinaria
juga dapat mengakibatkan peningkatan residu urine di vesica urinaria itu sendiri karena reflek
untuk berkemih menurun. Peningkatan residu urine bisa mengakibatkan Nokturia yaitu sering
berkemih (BAK) pada malam hari, hal ini terjadi karena ketika pada saat malam hari keadaan
tubuh sedang relax sehingga spingter pada leher vesica urinaria tidak kontraksi, hal ini
mengakibatkan aliran urine dari vsica urinaria ke uretra lebih mudah karena tubuh dalam
keadaan relax termasuk spingter yang ada di leher vesica urinaria yang tertekan oleh benigna
hiperplasia protate. Dari sini timbullah masalah keperawatan yang bisa ditegakan yaitu MK;
gangguan eliminasi urine: retensi urine. Peningkatan residu urine juga bisa menjadi media
pertumbuhan kuman dan bakteri, kemungkinan ini dapat kita tegakan diagnosa keperawatan;
resiko tinggi terjadi infeksi.
7
A. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui
colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan
menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan engan mengukur
urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan
melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu
kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
2. Laboratorium
a. Pemeriksaan urine untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflmasi
saluran emih. Pemeriksaan kultur urine ini berguna untuk mengetahui kuman penyebab
infeksi dan sensifitas kuman.
- Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
- Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pemeriksaan ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang mengenai
saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli.
8
3. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
B. PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan tergantung penyebab keparahan obstrusi dan kondisi klien, jika
klien masuk RS dalam keadaan darurat karena tidak dapat beremih, maka kateterisasi segera
dilakukan. Tidak semua klien yang menderita penyakit ini perlu menjalani tindakan medik. Bila
keadaan lebih parah, dilakukan tindakan medis dan terapi medikamentosa. Tujuan terapi pada
klien ini adalah untuk menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.
Penatalaksanaan kolaboratif adalah untuk membantu pengosongan kandung kemih,
mengurangi gejala-gejala yang dialami klien dan mencegah atau mengobati komplikasi.
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis.
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
4. Stadium IV
9
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atausistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan
terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor
alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan
produksi LH.
Jenis-jenis penatalasanaan adalah:
1. Terapi Konservatif
- Dilakukan bila gejala yang ada masih ringan, atau tidak ada gejala
- Dilakukan dengan pemberian obat-obatan hormon
2. Nonsurgical Invasive Care
Dilakukan dengan pemasangan kateter urine secara intermiten untuk mengurangi gejala dan
bypass obstruksi. Pemasanagan kateter urine dalam jangka waktu lama harus dihindari
karena akan menigkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
- Pemasangan stens (stainless steel) atau coils (titanium) pada uretra prostatik.
- Terapi microwave (terapi panas)
3. Surgical Invasive
Indikasi operasi penurunan jumlah urine output yang dapat meningkatkan rasa tidak nyaman.
Residual urine yang menetap, retensi urine akut. Proses pembedahan yang dapat dilakukan
antara lain:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui
fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan
rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan
yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
10
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
- Mengharnbat adrenoreseptor α
- Obat anti androgen
- Penghambat enzim α -2 reduktase
c. Fisioterapi
d. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
- Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
- Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
- Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat
akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi
(frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
11
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan
menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik
(over flow inkontinen).
C. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
1. Komplikasai Pre op
a. Pielonefritis
b. Hidronefrosis
c. Azotemia
d. Uremia
2. Post op
a. Hiponatremia dilusi (TURP)
b. Infeksi
c. Hidrokel
d. Syok
e. Retensi urin akut
f. Ileus paralitikum
g. Peningkatan suhu tubuh
h. Nyeri saat jalan
12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Sirkulasi
Tanda :
Peningkatan TD (efek pembesaran ginjal)
2. Eliminasi
Gejala :
1)Penurunan kekuatan/dorongan aliran urin, tetesan.
2)Keragu-raguan pada berkemih awal.
3)Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan
frekuensi berkemih.
4)Nokturia, disuria, hematuria.
5)Duduk untuk berkemih.
6) ISK berulang, riwayat batu (statis urinaria).
7)Konstipasi (protrusi prostat ke dalam rectum).
Tanda :
1)Masa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung kemih).
2)Hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang
memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3. Makanan/cairan
Gejala :
1)Nyeri suprapubis, panggul atau punggung, tajam, kuat (pada prostatitis akut).
2)Nyeri punggung bawah./terapi pada kemampuan
4. Seksualitas
Gejala:
1) Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual.
2) Takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim.
3) Penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi.
a. Tanda :
Pembesaran, nyeri tekan prostat.
13
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
PRE OPERASI
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan pembesaran prostat, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung
kemih.
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pascaobstruksi dieresis
dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal informasi.
POST OPERASI
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan hilangnya tonus kandung kemih
sehubungan dengan distensi berlebihan pra operasi atau dekompresi kontinu.
2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan
praoperasi.
3. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasive, trauma jaringan,
insisi bedah.
4. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih,
refelks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah.
5. Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan inkontinensia, kebocoran
urin setelah pengangkatan kateter.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
14
C. INTERVENSI
PRE OPERASI
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan pembesaran prostat, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan :
1) Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
2) Menunjukkan residu pasca berkemih kurng dari 50 ml, dengan tak adanya
tetesan/kelebihan cairan.
Intervensi
Mandiri :
a) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
Rasional : Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
b) Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress.
Rasional : Tekanan uretral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau
dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat
cukup untuk mengeluarkan urin secara tidak sadar.
c) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
d) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. perhatikan penurunan haluaran
urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas,
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah
ke ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan
mengkonsentrasi substansi.
e) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila
didindikasikan.
Rasional : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
f) Awasi tanda vital dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/dependen,
perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran
akurat.
Rasional : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan
dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total.
g) Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal.
Rasional : Menurunkan risiko infeksi asenden.
h) Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
15
Kolaborasi :
a) Berikan obat sesuai indikasi (Antispasmodik)
Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi
oleh kateter.
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung
kemih.
Tujuan :
1. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
2. Tampak rileks.
3. Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi
Mandiri :
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : Memberika informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan/keefektifan intervensi.
b) Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen.
Rasional : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
c) Berikan tindakan kenyamanan, pijatan punggung, relaksasi/latihan napas dalam
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
d) Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum.
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot.
Kolaborasi :
a) Masukkan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase.
Rasional : Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan
kelenjar
b) Lakukan masase prostat.
Rasional : Membantu dalam evakuasi diktus kelenjar untuk menghilangkan
kongesti/inflamasi.
c) Berikan obat sesuai indikasi (Narkotik: eperidin).
Rasional : Diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi
mental dan fisik.
d) Pemberian antibacterial, contoh: metanamin hipurat (Hipret).
Rasional : Menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang
dimasukkan melalui system drainase.
e) Pemberian Antispasmodik dan sedative kandung kemih contoh: flavoksat
(urispas, oksibutinin).
Rasional : Menghilangkan kepekaan kandung kemih.
16
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pascaobstruksi dieresis
dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Tujuan :
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba,
pengisian kapiler baik, dan membrane mukosa lembab.
Intervensi
Mandiri :
a) Awasi keluaran dengan haati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran
100-200 ml/jam.
Rasional : Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan,
karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal.
b) Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
Rasional : Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria,
homeostatic pengurangan cadangan dan peningkatan risiko
dehidrasi/hipovolemia.
c) Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa
oral.
Rasional : Memampukan deteksi dini/intervensi hipovolemik sitemik.
d) Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi.
Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis sirkulasi.
Kolaborasi :
a) Awasi elektrolit, khususnya natrium.
Rasional : Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium
dapat mengikuti perpindahan, menyebabkan hiponatremi.
b) Berikan cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
Rasional : Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk
mencegah/memperbaiki hipovolemia.
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan :
1) Klien tampak rileks.
2) Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
3) Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
Intervensi
a) Selalu ada untuk pasien. Buat hubungan saling percaya dengan pasien/orang
terdekat.
Rasional : Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu
dalam diskusi tentang subjek sensitif.
17
b) Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi,
missal : kateter, urin berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak
informasi yang diinginkan pasien.
Rasional : Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan, dan
mengurangi masalah karena ketidaktahuan, termasuk ketakutan akan
kanker.
c) Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur/menerima pasien.
Lindungi privasi pasien.
Rasional : Menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
d) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan.
Rasional : Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab
pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan
masalah.
e) Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
Rasional : Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan
kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal informasi.
Tujuan :
1) Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis.
2) Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala proses penyakit.
3) Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
4) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi
a) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
informasi terapi.
b) Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi
vital.
c) Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
Rasional : Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan.
d) Anjurkan menghindari makanan berbumbu, kopi, alcohol, mengemudikan mobil
lama.
Rasional : Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesti.
Peningkatan tiba-tiba pada aliran urin dapat menyebabkan distensi
kandung kemih dan kehilangan tonus kandung kemih,
mengakibatkan episode retensi urinaria akut.
18
e) Bicarakan masalah seksual, contoh bahwa selama episode akut prostatitis, koitus
dihindari tetapi mungkin membantu dalam pengobatan kondisi kronis.
Rasional : Aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut tetapi
dapat memberikan suatu masase pada adanya penyakit kronis.
f) Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh urin keruh,
berbau, penurunan haluaran urin, ketidakmampuan untuk berkemih, adanya
demam/menggigil.
Rasional : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi.
g) Diskusikan perlunya adanya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tentang
diagnose.
Rasional : Menurunkan risiko terapi tak tepat.
POST OPERASI
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan hilangnya tonus kandung kemih
sehubungan dengan distensi berlebihan pra operasi atau dekompresi kontinu.
Tujuan :
1) Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
2) Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih.
Intervensi
Mandiri :
a) Kaji haluaran urin dan system kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung
kemih.
Rasional : Retensi dapat terjasi karena edema area bedah, bekuan darah, spasme
kandung kemih.
b) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh berdiri, berjalan ke
kamar mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas.
Rasional : Mendororng pasase urin dan meningkatakan rasa normalitas.
c) Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih,
urgensi.
Rasional : Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah beadah, tetapi berkemih dapat
berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral
dan kehilangan tonus.
d) Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4
jam per protocol.
Rasional : Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urin. Keterbatasan
berkemin untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus
kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
e) Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik.
19
Rasional : Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih
dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus
kandung kemih mambaik.
f) Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong,
menghentikan dan memulai aliran urin.
Rasional : Membantu meningkatkan control kandung kemih/sfingter/urin,
meminimalkan inkontinensia.
g) Anjurkan pasien bahwa “penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan harus
teratasi sesuai kemajuan.
Rasional : Informasi membantu pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal
dapat kembali dalam 2-3 minggu tetapi memerlukan sampai 8 bulan
setelah pendekatan perineal.
Kolaborasi :
a) Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu (Continous Bladder
Irrigation/CBI) sesuai indikasi pada periode pascaoperasi dini.
Rasional : Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter/aliran urin.
2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan
pemasukan praoperasi.
Tujuan :
1) Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer
teraba, pengisian kapiler baik, membrane mukosa lembab, dan keluaran urin
tepat.
2) Menunjukkan tak ada perdarahan aktif.
Intervensi
Mandiri :
a) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : Gerakan/penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau
pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi
kandung kemih.
b) Awasi pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada
irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan
darah dan secara akurat mengkaji haluaran urin.
c) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan/berlanjut.
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tetapi perlu
pendekatan perineal. Perdarahan kontinu/berat atau berulangnya
perdarahan aktif memerlukan intervensi/evaluasi medik.
d) Evaluasi warana, konsistensi urin, contoh :
20
(a) Merah terang dengan bekuan darah.
Rasional : Biasanya mengindikaasikan perdarahan arterial dan
memerlukan terapi cepat.
(b) Peningkatan viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : Menunjukkan perdarahan dari vena (perdarahan yang
paling umum) biasanya berkurang sendiri.
(c) Perdarahan dengan tak ada bekuan.
Rasional : Dapat mengindikasikan diskrasia darah atau masalah
pembekuan sistemik.
e) Inspeksi balutan/luka drain. Timbang balutan bila diindikasikan. Perhatikan
pembentukan hematoma.
Rasional : Perdarahan dapat atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
f) Awasi tanda vital, perhatikan penigkatan nadi dan pernapasan, penurunan
TD, diaphoresis, pucat, pelambatan pengisian kapiler, dan membrane
mukosa kering.
Rasional : Dehidraasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk
mencegah berlanjut ke syok.
g) Selidiki kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
Rasional : Dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral (hipovolemia)
atau indikasi edema serebral karena kelebihan cairan selama
prosedur TUR (“sindrom TURP”).
h) Dorong pemasukan cairan 3000 ml/hari kecuali kontraindikasi.
Rasional : Membilas ginjal/kandung kaemih dari bakteri dan debris tetapi
dapat mengakibatkan intoksikasi cairan/kelebihan cairan bila
tidak diawasi dengan ketat.
i) Hindari pengukuran suhu rectal dan menggunakan selang rectal/enema.
Rasional : Dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat
dan peningkatan tekanan kapsul prostat dengan risiko
perdarahan.
Kolaborasi :
a) Awasi pemerikasaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb/Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional : Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
Pemerikasaan koagulasi, jumlah trombosit.
Rasional : Dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi.
21
b) Pertahankan traksi kateter menetap, plester kateter di bagian dalam paha.
Rasional : Traksi terisi balon 30 ml diposisikan pada fosa uretral prostat
akan membuat tekanan pada aliran darah pada kapsul prostat
untuk mambantu mencegah/mengontrol perdarahan.
c) Kendorkan traksi dalam 4-5 jam. Catat periode pemasangan dan
pengendoran traksi, bila digunakan.
Rasional : Traksi lama dapat menyebabkan trauma/masalah permanen dalam
mengontrol urin .
d) Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi.
Rasional : Pencegahan konstipasi/mengejan untuk defekasi menurunkan
risiko perdarahan rectal-perineal.
3. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasive, trauma
jaringan, insisi bedah.
Tujuan :
Tidak mengalami tanda infeksi.
Intervensi
Mandiri :
a) Pertahankan system kateter steril, berikan perawatan kateter regular dengan sabun
dan air, berikan salep antibiotic di sekitar sisi kateter.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.
b) Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional : Menghindari reflex balik urin, yang dapat memasukkan bakteri ke
dalam kandung kemih.
c) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan
cepat, gelisah, peka, disorientasi.
Rasional : Pasien yang mengalami sitoskopi dan/atau TUR prostat beresiko untuk
syok bedah/septic sehubungan dengan manipulasi/insrumentasi.
d) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan risiko untuk infeksi,
diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
e) Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang
waktu.
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan membearikan media
untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan risiko infeksi luka.
f) Gunakan pelindung tipe ostomi.
Rasional : Memberikan perlindungan untuk kulit sekitar, mencegah ekskoriasi
dan menurunkan risiko infeksi.
22
Kolaborasi :
a) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatan
risiko infeksi pada prostatektomi.
4. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih,
refelks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah.
Tujuan :
Nyeri hilang/terkontrol.
Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik
sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi
Mandiri :
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi (skala 0-10).
Rasional : Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih/pasase urin sekitar
kateter menunjukkan spasme kandung kemih yang cenderung lebih
berat pada pendekatan suprapubik atau TUR (biasanya menurun setelah
48 jam.
b) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan.
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase system, menurunkan
risiko distensi/spasme kandung kemih.
c) Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi.
Rasional : Menurunkan iritasi dengan mempertahankan aliran cairan konstan ke
mukosa kandung kemih.
d) Berikan pasien informasi akurat tentang kateter, drainase dan spasme kandung
kemih.
Rasional : Menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama dengan prosedur
tertentu.
e) Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan
punggung) dan aktivitas terapeutik. Dorong penggunaan teknik relaksasi,
termasuk latihan napas dalam, visualisasi, pedoman imajinasi.
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian, dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema, dan
meningkatkan penyembuhan (pendekatan perineal).
Kolaborasi :
a)Berikan antispasmodic, contoh :
(a) Oksibutinin Klorida (Ditropan).
23
Rasional : Merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan
nyeri.
(b) Propantelin bromide (Pro-Bantinin).
Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja antikolinergik.
5. Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan inkontinensia,
kebocoran urin setelah pengangkatan kateter.
Tujuan :
(c) Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi.
(d) Menyatakan pemahaman situasi individual.
(e) Menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi
Mandiri :
a) Berikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk membicarakan tentang
masalah inkontinensia dan fungsi seksual.
Rasional : Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi
yang diberikan sebelumnya.
b) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional : Impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama
prosedur radikal, pada pendekatan lain, aktivitas seksual dapat
dilakukan seperti biasa dalam 6-8 minggu.
c) Diskusikan dasar anatomi. Jujur dalam menjawab pertanyaan pasien.
Rasional : Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui
kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten
dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi.
d) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan transurethral/suprapubik
digunakan.
Rasional : Cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan disekresikan
melalui urin. Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan
menurunkan kesuburan dan menyebabkan urin keruh.
e) Instruksikan latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urin.
Rasional : Meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urinaria dan fungsi
seksual.
Kolaborasi :
a) Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi.
Rasional : Masalah menetap/tidak teratasi memerlukan intervensi professional.
24
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan :
Menyatakan pemahaman prosedur bedah dan pengobatan.
Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi
a) Kaji implikasi dan harapan masa depan.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
informasi.
b) Tekankan perlunya nutrisi yang baik : dorong konsumsi buah, meningkatkan diet
tinggi serat.
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi, menurunkan
risiko perdarahan pascaoperasi.
c) Diskusikan pembatasan aktivitas awal, contoh : menghindari mengangkat berat,
latihan keras, duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat lebih dari 2
tingkat tangga sekaligus.
Rasional : Peningkatan tekanan abdominal/meregangkan yang menempatkan
stress pada kandung kemih dan prostat, menimbulkan resiko
perdarahan.
d) Dorong kesinambungan latihan perineal.
Rasional : Membantu kontrol urinaria dan menghilangkan inkontinensia.
e) Instruksikan perawatan kateter urin bila ada.
Rasional : Meningkatkan kemandirian dan kompetensi dalam perawatan diri.
f) Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh eritema,
drainase purulen dari luka, perubahan dari karakter, jumlah urin, adanya
dorongan/frekuensi, perdarahan berat, demam/menggigil.
Rasional : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi serius.
25
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KASUS BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA
A. KASUS
Seorang laki-laki berusia 41 tahun datang ke RS Cinere dirawat dengan keluhan utama disuria
yang membuat pasien tersebut tidak nyaman. Saat ditanya oleh Ns. Winda keluhan saat ini yaitu
nokturia, sering miksi tetapi sedikit, saat miksi harus mengedan agar bisa keluar urinenya.
Sehingga Ns. Yono melakukan pemasangan kateter urine untuk membantu mengeluarkan
urinenya, saat dilakukan pemasangan kateter selang kateter mengalami kesulitan saat
dimasukkan ke dalam penis sehingga Ns. Yono mencabut kateter itu kembali. Pada
pemeriksaan prostat spesifik antigen didapatkan nilai PSA 11 mg/ml.
B. DATA FOKUS
Data Subjektif Data Objektif
1. Klien mengatakan disuria yang
mengganggu kenyamanan
2. Klien mengatakan nokturia
3. Klien mengatakan sering miksi
tetapi sedikit
4. Klien mengatakan saat miksi harus
mengedan agar bisa keluar urinenya
1. Selang kateter mengalami
kesulitan saat dimasukkan ke
dalam penis sehingga dicabut
kembali
2. PSA : 11 ng/ml (normal = 0-4
ng/ml)
C. ANALISA DATA
Data Masalah Etiologi
DS :
1. Klien mengatakan disuria yang
mengganggu kenyamanan
2. Klien mengatakan nokturia
3. Klien mengatakan sering miksi tetapi
sedikit
4. Klien mengatakan saat miksi harus
mengedan agar bisa keluar urinenya
DO :
1. PSA : 11 mg/ml
Gangguan eliminasi
urin
Obstruksi uretra
akibat
pembesaran
kelenjar prostat
DS :
1. Klien mengatakan nokturia
Gangguan pola tidurSering miksi di
malam hari
26
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi uretra akibat pembesaran kelenjar
prostat.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi di malam hari.
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi uretra akibat pembesaran kelenjar
prostat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan masalah
gangguan eliminasi urin dapat berkurang sampai dengan teratasi dengan kriteria
hasil :
Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung kemih.
Intervensi
Mandiri :
a) Kaji haluaran urin dan system kateter/drainase, khususnya selama irigasi kandung
kemih.
Rasional: Retensi dapat terjasi karena edema area bedah, bekuan darah, spasme
kandung kemih.
b) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh berdiri, berjalan ke
kamar mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas.
Rasional : Mendororng pasase urin dan meningkatakan rasa normalitas.
c) Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgensi.
Rasional: Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah beadah, tetapi berkemih dapat
berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral
dan kehilangan tonus.
d) Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam
per protocol.
Rasional: Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urin. Keterbatasan
berkemin untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus
kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
e) Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik.
Rasional: Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50
ml menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung
kemih mambaik.
f) Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong,
menghentikan dan memulai aliran urin.
Rasional: Membantu meningkatkan control kandung kemih/sfingter/urin,
meminimalkan inkontinensia.
27
g) Anjurkan pasien bahwa “penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan
harus teratasi sesuai kemajuan.
Rasional: Informasi membantu pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal
dapat kembali dalam 2-3 minggu tetapi memerlukan sampai 8 bulan
setelah pendekatan perineal.
Kolaborasi :
Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu (Continous Bladder Irrigation/CBI) sesuai
indikasi pada periode pascaoperasi dini.
Rasional: Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan
patensi kateter/aliran urin.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi di malam hari.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan terjadi
perbaikan dalam pola tidur/istirahat dengan kriteria hasil :
Melaporkan peningkatan rasa sehat dan merasa dapat istirahat
Intervensi
Mandiri :
a) Tentukan kebiasaan tidur biasanya dan perubahan yang terjadi
Rasional : Mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat.
b) Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi
Rasional : Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisilogis/psikologis.
c) Buat ruitinitas tidur baru yang dimasukkan dalam pola lama dan lingkungan baru
Rasional : Bila rutinitas baru mengandung aspek sebnayak kebiasaan lama, stress
dan ansietas yang berhubungan dapat berkurang.
d) Kurangi kebisingan dan lampu
Rasional : Memberikan suasana kondusif untuk tidur.
e) Batasi pemasukan cairan pada sore hari jika masih terdapat masalah nokturia.
Rasional : Mengurangi eliminasi urine pada malam hari.
Kolaborasi :
a) Berikan sedative, hipnitik, sesuai indikasi
Rasional : Mungkin diberikan untuk membantu pasien tidut/istirahat.
28
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi pada dasarnya Benigna hiperplasia prostat merupakan tumor jinak yang
paling banyak ditemui pada pria yang berhubugan erat dengan proses penuaan.
Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh
hormone, yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormone estrogen dan
testoteron. Sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya
diproduksi oleh kelenjar adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan
keseimbangan testoteron dan estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya
produksi testoteron dan konvensi testoteron menjadi estrogen pada jaringan perifer,
estrogen inilah yang emudian menyebabkan hyperplasia.
B. SARAN
Semoga materi yang kami dapatkan dan dapat bermanfaat dan berguna khususnya bagi dunia
keperawatan dan apabila ada penulisan dan kata-kata yang salah mohon maaf.
29