Lapsus Dr. Agus (Repaired)
-
Upload
diana-budiyono -
Category
Documents
-
view
249 -
download
10
description
Transcript of Lapsus Dr. Agus (Repaired)
LAPORAN KASUS
FEBRIS TYPOID, DHF GRADE I, INFEKSI LATEN TB, GIZI KURANG
DAN ADENOTONSILITIS KRONIK
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Anak
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Agus Saptanto, SpA
Disusun Oleh :
Nuzulia Ni’matina H2A010037
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Anak
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
Periode 03 November 2014 – 11 Januari 2015
BAB I
CATATAN MEDIS KASUS ILMU PENYAKIT ANAK
I. IDENTITAS
Nama anak : An. NW
Umur : 6 tahun
Tanggal lahir : 19 November 2008
Agama : Islam
Alamat : Pusponjolo
No RM : 408028
Tgl masuk RS : 17 November 2014
Jaminan Kesehatan : Jamkesmaskot
Nama bapak : Tn. R
Umur : 37 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Satpam
Pendidikan : SMA
Alamat : Pusponjolo
Nama ibu : Ny. P
Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Alamat : Pusponjolo
1
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesa dari Ibu Pasien pada tanggal
18 November 2014 pukul 10.00 WIB di Bangsal Melati RSUD Tugurejo
Semarang.
a. Keluhan Utama : Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanggal 03 November 2014 (2 minggu sebelum pasien masuk rumah
sakit), pasien mengeluh batuk selama 7 hari. Batuk muncul secara tiba-
tiba. Batuk dirasakan jarang, namun sering kambuh ketika bangun tidur
pagi. Batuk disertai dengan dahak kuning kental, tidak ada darah,
terkadang dahak sulit dikeluarkan. Batuk tidak didahului dengan demam
ataupun keluhan lain seperti pilek, sesak nafas, nyeri tenggorokan dan
tenggorokan terasa mengganjal. Pasien belum minum obat.
Tanggal 10 November 2014 (7 hari sebelum pasien masuk rumah
sakit), pasien mengeluh demam. Demam muncul setelah keluhan batuk
berdahak pasien hilang. Demam dirasakan naik turun, demam dirasakan
mulai naik saat sore hari. Pasien mengeluh demam selama 4 hari,
kemudian membaik/tidak demam 2 hari setelahnya dan demam mulai
dirasakan naik lagi 1 hari sebelum pasien masuk rumah sakit. Ibu pasien
sudah memberikan obat penurun panas, setelah diberi obat suhu turun
kemudian suhu naik lagi.
Tanggal 17 November 2014 keluarga pasien membawa pasien ke IGD
dengan keluhan masih demam naik turun, demam dirasakan mulai naik
saat sore hari. Ibu pasien sudah memberikan obat penurun panas, setelah
diberi obat suhu turun kemudian suhu naik lagi. Pasien juga mengeluh
nyeri ulu hati sejak 1 hari yang lalu, nyeri dirasakan melilit yang terasa
terus menerus, bertambah jika pasien terlambat makan. Pasien
menyangkal keluhan kejang, mual, muntah dan diare. Buang air besar
sama seperti biasa, buang air kecil sama seperti biasa.
Tanggal 18 November 2014 pasien masih mengeluh demam, demam
mulai dirasakan saat sore hari. Nyeri perut masih dirasakan melilit pada
2
bagian ulu hati namun sekarang berkurang. Pasien menyangkal keluhan
kejang, mual, muntah, diare, batuk, pilek, nyeri tenggorokan dan
tenggorokan terasa mengganjal. Buang air kecil sama seperti biasa, ibu
pasien mengatakan pasien belum buang air besar sejak 2 hari. Pasien
susah makan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat
sakit flek 1 tahun yang lalu. Pasien sudah diberikan pengobatan TB
selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh setelah pemeriksaan rontgen dada
2 kali.
Keluarga pasien menyangkal bahwa pasien memiliki riwayat alergi
dan asma.
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Nenek pasien memiliki riwayat asma sejak 14 tahun yang lalu dan
sering batuk berdahak kental sejak 4 tahun yang lalu, belum dilakukan
pengobatan. Riwayat alergi obat atau makanan pada keluarga disangkal.
e. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien susah makan dan gemar mengonsumsi es.
f. Data Khusus
1. Riwayat Kehamilan/Pre Natal :
An.NW adalah anak kedua dari Ny.P saat berusia 30 tahun. Ibu
rutin periksa kehamilan lebih dari 4 kali di bidan. Saat hamil, ibu
pasien mengeluh sering mual muntah selama 4 bulan kehamilan, ibu
pasien tidak memiliki tekanan darah tinggi atau penyakit gula selama
kehamilan. Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu,
alkohol, maupun rokok selama kehamilan. Suntik tetanus toksoid (TT)
sebanyak dua kali. kehamilan cukup bulan (39 minggu).
2. Riwayat persalinan/natal :
Lahir spontan dengan bantuan bidan, langsung menangis kuat,
dan segera dilakukan inisiasi menyusui dini. Berat badan saat lahir
sekitar 3100 gram, panjang badan tidak ingat.
3
3. Riwayat pasca persalinan/ post natal :
Tidak ada perdarahan post partum.
4. Riwayat Imunisasi :
Macam imunisasi Frekuensi Umur Keterangan
Imunisasi dasar:BCGDPTHepatitis BPolioCampak
1 kali 3 kali 3 kali4 kali1 kali
2 bulan2,4,6 bulan0,1,6 bulan0,2,4,6 bulan9 bulan
Dilakukan di BidanLengkapLengkapLengkapLengkapLengkap
Kesan : imunisasi dasar lengkap5. Riwayat makan dan minum :
Umur Makanan dan Minuman Jumlah Frekuensi
0 - 6 bulan ASI saja Semau anak Semau anak6 - 9 bulan ASI Semau anak Semau anak
Air tajin ½ gelas belimbing, selalu habis
2-3 kali/ hari
9 - 12 bulan ASI Semau anak Semau anakAir tajin 1 gelas belimbing 2-3 kali/ hari
Nasi tim, sayur wortel, bayam, tahu-tempe
1 piring kecilSelalu habis
2-3 kali /hari
buah (pisang, pepaya) 1 potong 2 kali/hari12 - 24 bulan ASI Semau anak Semau anak
Nasi, sayur wortel, bayam, kangkung, tahu/tempe
½ piringSelalu habis
2 kali /hari
24 bulan – sekarang
Nasi, sayur wortel, bayam, kangkung, tahu/tempe
1 piringTidak selalu habis
3 kali/hari
Kesan : ASI eksklusif dan pemberian MPASI sesuai usia6. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak :
Umur Perkembangan2 bulan Senyum sosial3 bulan Mengangkat kepala5 bulan Berguling6 bulan Duduk tanpa dibantu, tengkurap dan berbalik sendiri11 bulan Berjalan2 tahun Naik turun tangga3 tahun Makan sendiri, bicara kalimat, lompat4 tahun Menyanyi, naik sepeda5 tahun Memakai pakaian sendiri
Kesan : Perkembangan sesuai umurPertumbuhan : berat badan bulan lalu 16 kg
tinggi badan bulan lalu tidak ingat
4
7. Riwayat lingkungan dan sosial ekonomi :
Ayah pasien merokok, tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol dan obat-obatan. Pasien tinggal bersama kedua orangtua,
kakak, nenek dan kedua sepupunya. Ventilasi rumah cukup, lantai
kamar pasien berupa kayu, keadaan rumah tidak lembab dan
pencahayaan cukup. Nenek tinggal serumah menderita asma dan
batuk lama sampai sekarang belum sembuh. Tetangga sekitar dan
teman bermain tidak ada yang mengalami batuk-batuk lama.
Ayah pasien bekerja sebagai satpam rumah dan pasien berobat
dengan menggunakan jaminan kesehatan jamkesmaskot.
Kesan : Keadaan sosial dan ekonomi kurang
8. Riwayat KB
Riwayat KB suntik 3 bulan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 November 2014 pukul 10.15
WIB di Bangsal Melati RSUD Tugurejo Semarang.
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
Nadi : 120 kali/menit, isi dan tegangan cukup
Respiratory rate : 30 kali/menit, reguler
Suhu : 38,2 0 C (aksiler)
BB : 13 kg
TB : 104 cm
b. Status Interna
1. Kepala : kesan mesocephal
2. Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik(-/-), mata
cowong (-/-), reflek cahaya direct (+/+), reflek cahaya
indirect (+/+), edem palpebra (-/-), pupil isokor
Ø: 2,5 mm/2,5 mm.
5
3. Hidung : nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-)
4. Telinga : serumen (-), nyeri mastoid (-), nyeri tragus (-)
5. Mulut : lembab (+), sianosis (-), faring tidak hiperemis,
tonsil T3-T3 kripte melebar dan tidak hiperemis.
6. Leher : tiroid (N), pembesaran limfonodi submental (+), jugulare
interna (+/+)
Deskripsi Submental Jugulare interna dextra
Jugulare interna sinistra
Jumlah 1 1 1Ukuran Ø: 1,5 cm Ø: 1 cm Ø: 1 cmMobilitas (+) (+) (+)Nyeri tekan (-) (-) (-)Warna Sama seperti kulit
sekitarSama seperti kulit
sekitarSama seperti kulit
sekitarKonsistensi Kenyal Kenyal KenyalSuhu Perabaan Sama dengan sekitar Sama dengan
sekitarSama dengan
sekitar
7. Thorax
Pembesaran limfonodi axilla (-)
Pulmo
Dextra Sinistra
Pulmo Depan
Inspeksi Normochest.Diameter Lateral > Antero posterior.Hemithorax Simetris Statis Dinamis.Kelainan kulit (-).
Normochest.Diameter Lateral > Antero posterior.Hemithorax Simetris Statis Dinamis.Kelainan kulit (-).
Palpasi Stem fremitus normal kanan sama dengan kiri.Nyeri tekan (-).Pelebaran SIC (-).Arcus costa normal.
Stem fremitus normal kanan sama dengan kiri.Nyeri tekan (-).Pelebaran SIC (-).Arcus costa normal.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), wheezing (-), ronki (-)
Suara dasar paru vesikuler (+), wheezing (-), ronki (-)
Pulmo Belakang
Inspeksi Normochest. Kelainan kulit (-). Simetris.Pengembangan pernafasan paru normal.
Normochest.Kelainan kulit (-). Simetris.Pengembangan pernafasan paru normal.
6
Palpasi Stem fremitus normal kanan sama dengan kiri.Hemithorax simetris.Nyeri tekan (-).Pelebaran SIC (-).
Stem fremitus normal kanan sama dengan kiri.Hemithorax simetris.Nyeri tekan (-).Pelebaran SIC (-).
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar paru vesikuler (+), wheezing (-), ronki (-)
Suara dasar paru vesikuler (+), wheezing (-), ronki (-)
Tampak Depan Tampak Belakang
Suara Dasar Vesikuler Suara Dasar VesikulerWheezing (-), ronchi (-) Wheezing (-), ronchi (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis (teraba tidak kuat angkat), thrill (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I dan II murni, gallop (-), murmur (-)
8. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut agak cembung, warna sama seperti kulit
sekitar.
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, umbilicalis dan
suprapubik, hepatomegali (-), ginjal tidak teraba, lien tidak
7
teraba, pembesaran limfonodi inguinal (-).
9. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik
Gerak +/+ +/+
Pembengkakan sendi lutut -/-
Pembengkakan sendi phalanges -/- -/-
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS
a. Pemeriksaan Antropometri
1. Jenis kelamin : Perempuan
2. Umur : 72 bulan
3. Berat badan : 13 kg
4. Tinggi badan : 104 cm
5. Z score :
- BB/U : (13-19,5)/2,20 = -2,95 (gizi kurang)
- TB/U : (104-114,6)/4,90 = -2,16 (pendek)
- BB/TB: (13-16,5)/1,5 = -2,3 (kurus)
Kesan gizi : gizi anak kurang
b. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin tanggal 19 November 2014 11:56
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit 5.65 103/ul 5.0 – 14.5
Eritrosit 4.66 106/ul 3.8 – 5.8
Hemoglobin 11.10 g/dl 10.8 – 15.6
Hematokrit 33.90 % 33 – 45
Trombosit L 100 103/ul 184 – 488
8
MCV 72.70 fL 69 – 93
MCH 23.80 pg 22 – 34
MCHC 32.70 g/dl 32 – 36
RDW 13.50 % 11.5 – 14.5
Eosinofil absolute 0.13 103/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.02 103/ul 0 – 0.2
Netrofil absolute L 0.64 103/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 3.98 103/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0.88 103/ul 0.16 – 1
Eosinofil 2.30 % 2 – 4
Basofil 0.40 % 0 – 1
Neutrofil L 11.30 % 50 – 70
Limfosit H 70.40 % 25 – 50
Monosit H 15.60 % 1 – 6
Sero-imun (serum) B:
Anti Dengue IgG Negatif Negatif
Anti Dengue IgM Positif Negatif
Salmonella typhii IgM Positif / 4 0-2 :Negatif3 :Borderline4-5 : Positif6-10:Positif kuat
Urin Rutin tanggal 18 November 2014 jam 12:04
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
Urin Makroskopis:
Warna Kuning Kuning muda – kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Keasaman/pH 7.0 4.8 – 7.4
Berat jenis 1.000 1.015 – 1.025
Urin Kimia:
Protein Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
9
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal
Urin Sedimen:
Epitel 1 – 2 /lpk 5 – 15
Leukosit 0 – 1 /lpb < 20
Eritrosit 0 – 1 /lpb 0 – 5
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Silinder Hyalin Negatif Negatif
Silinder Granula Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
c. Skoring TB
Parameter 0 1 2 3 JumlahKontak TB Tidak jelas - Laporan
keluarga (BTA negative atau tidak jelas)
BTA (+) 2
Uji tuberculin Negatif - - Positif (≥10mm, atau ≥5mm pada keadaan imunosupresi)
-
Berat badan atau keadaan gizi
- BB/TB <90% atau BB/U <80%
Klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60%
- 1
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
- ≥ 2 minggu - - -
Batuk kronik - ≥ 38 minggu - - -Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal
- ≥ 1 cm, jumlah >1, tidak nyeri
- - -
Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut,
- Ada pembengkakan
- - -
10
falangFoto toraks Normal /
kelainan tidak jelas
Gambaran sugestif TB
- -
Jumlah 3
Kesimpulan: Infeksi Laten TB
d. Rontgen X-Foto Thorax AP
Cor : Ukuran tak membesar
Pulmo : Corakan vaskuler kasar
Bercak kesuraman (-)
Diaphragma : Baik
Sinus Costophrenicus : Lancip
Kesan : Cor : Tak membesar
Pulmo : Gambaran bronchitis
e. Rumple Lead
Didapatkan rumple lead test (+).
V. RESUME
An. NW (6 tahun) datang dengan keluhan demam naik turun sejak 8
hari, dirasakan mulai naik bila sore hari. Pasien mengeluh demam selama 4
hari, kemudian membaik/tidak demam 2 hari setelahnya dan demam mulai
dirasakan naik lagi 1 hari sebelum pasien masuk rumah sakit. 7 hari sebelum
demam pasien mengeluh batuk berdahak yang sering kambuh ketika bangun
tidur pagi, akan tetapi saat ini pasien tidak batuk. Pasien juga mengeluh
nyeri ulu hati sejak 1 hari yang lalu, nyeri dirasakan melilit yang terasa terus
menerus. Riwayat TBC 1 tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh setelah
pemeriksaan rontgen dada 2 kali. Nenek pasien memiliki riwayat asma
sejak 14 tahun yang lalu dan sering batuk berdahak kental sejak 4 tahun
yang lalu, belum dilakukan pengobatan. Pasien susah makan dan gemar
mengonsumsi es. Berat badan bulan lalu 16 kg. Ayah pasien merokok,
kesan keadaan sosial dan ekonomi kurang.
11
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum: tampak lemas, Suhu:
38,20 C (aksiler), tonsil T3-T3 kripte melebar dan tidak hiperemis.
pembesaran limfonodi submental jumlah 1, Ø: 1,5 cm, mobile (+), nyeri
tekan (-), warna seperti kulit sekitar, kenyal dan suhu perabaan sama seperti
sekitar. pembesaran limfonodi jugulare interna (+/+) masing-masing
berjumlah 1, Ø: 1 cm, mobile (+), nyeri tekan (-), warna seperti kulit sekitar,
kenyal dan suhu perabaan sama seperti sekitar. Nyeri tekan (+) pada regio
epigastrium, umbilicalis dan suprapubik. Pemeriksaan Antropometri
didapatkan gizi anak kurang.
Dari pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil trombositopenia
(100.000/ul), neutropenia (L 0.64 %), limfositosis (H 70.40 %), monositosis
(H 15.60 %). IgM Anti Dengue positif, IgM Salmonella typhii positif/4.
Dari pemeriksaan Rontgen X-Foto Thorax AP Pulmo: Gambaran bronchitis.
Rumple Lead test (+). Skoring TB: 3.
VI. DAFTAR MASALAH
Anamnesis: Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan Penunjang:
1. Febris 8 hari2. Nyeri ulu hati terasa
melilit sejak 1 hari yang lalu
3. Batuk berdahak yang sering kambuh
4. Riwayat TBC 1 tahun yang lalu
5. Nenek pasien memiliki riwayat asma sejak 14 tahun yang lalu dan sering batuk berdahak kental sejak 4 tahun yang lalu, belum dilakukan pengobatan.
6. Pasien susah makan7. Gemar mengonsumsi es8. Berat badan bulan lalu 16
kg, berat badan sekarang 13 kg. Turun berat badan
11. Keadaan umum: tampak lemas
12. Suhu: 38,20C (aksiler)13. Tonsil T3-T3 kripte
melebar dan tidak hiperemis
14. Limfadenopati multiple regio submental (jumlah 1, Ø: 1,5 cm), jugulare interna (masing-masing berjumlah 1, Ø: 1 cm)
15. Nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, umbilicalis dan suprapubik.
16. Pemeriksaan Antropometri didapatkan gizi anak kurang
17. Trombositopenia (L 100.000/ul)
18. Neutropenia (L 0.64 %)
19. Limfositosis (H 70.40 %)
20. Monositosis (H 15.60 %)
21. Anti Dengue IgM positif
22. Salmonella typhii IgM positif 4
23. Rontgen X-Foto Thorax AP, Pulmo: Gambaran bronchitis
24. Rumple Lead test (+)
25. Skoring TB: 3
12
3 kg dari bulan lalu.9. Ayah pasien merokok10. kesan keadaan sosial dan
ekonomi kurang
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Demam lebih dari 7 hari Endokarditis infektif
Demam Rematik Akut
Abses Dalam
Malaria
Infeksi Saluran Kencing
Bronchopneumonia
Tuberculosis
Demam Typoid
2. Nyeri Ulu hati Gastroenteritis
Gastritis
DHF
Demam Typoid
Masalah aktif Masalah pasif
1. 1, 2, 11, 12, 15, 20, 22 Febris Typoid
2. 2, 11, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 24 DHF
grade I
3. 1, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 20, 23, 25
Infeksi Laten TB
4. 6, 8, 11, 16 Gizi Kurang
5. 7, 13, 14 Adenotonsilitis kronik
6. Nenek pasien memiliki
riwayat asma sejak 14 tahun
yang lalu dan sering batuk
berdahak kental sejak 4
tahun yang lalu, belum
dilakukan pengobatan.
7. Ayah pasien merokok
VIII. DIAGNOSIS KERJA
- Diagnosis klinis : Febris typoid, DHF grade I, Infeksi Laten
13
TB, Gizi Kurang, Adenotonsilitis kronik.
- Diagnosis Pertumbuhan :
- Diagnosis Perkembangan :
- Diagnosis gizi :
- Diagnosis Imunisasi :
- Diagnosis sosial :
Perawakan pendek dan kurus
Perkembangan sesuai dengan umur
Gizi Kurang
Imunisasi dasar lengkap
Kesan ekonomi kurang
IX. INITIAL PLAN
1. Febris Typoid
IpDx : Febris TypoidS : -O : -
IpTx :
Medikamentosa:
1) Infus Ringer Laktat 13 tpm
2) Inj. Cefotaxime 2 x 500 mg
3) p/o Paracetamol S 2 dd cth I
Non medikamentosa:
1) Diit makanan lunak
2) Menjaga hygiene makanan
IpMx :
Perlu dilakukan monitoring terhadap:
1) Keluhan pasien
2) Keadaan umum dan tanda vital
3) Komplikasi penyakit yaitu perforasi usus, gangguan kesadaran dan
disorientasi
IpEx :
1) Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang sedang
dialami pasien, yaitu demam typoid yang disebabkan karena bakteri 14
Salmonella typhii yang masuk ke dalam tubuh anak sehingga
menyebabkan keluhan yang saat ini dialami anak.
2) Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penularan penyakit
melalui makanan, sehingga diperlukan untuk menjaga higienitas
makanan yang akan dimakan pasien.
2. DHF grade I
IpDx : DHF grade IS : -O : -
IpTx :
Medikamentosa:
1) Infus Ringer Laktat 13tpm
2) p/o Paracetamol S 2 dd cth I bila panas
Non medikamentosa:
1) Perbanyak minum (air putih, teh manis, sirup, oralit, jus buah)
2) Kompres air dingin (bila suhu > 39°C tak disertai menggigil), air
hangat (bila suhu > 39°C disertai menggigil)
IpMx :
Perlu dilakukan monitoring terhadap:
1) Keluhan pasien
2) Tanda-tanda syok
3) Tanda-tanda perdarahan spontan (epistaksis, gusi berdarah, petekie,
ekimosis)
4) Laboratorium Hb, Ht dan trombosit secara berkala 1-2 x sehari pada
masa kebocoran plasma
IpEx :
15
1) Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang sedang
dialami pasien, yaitu demam berdarah oleh karena infeksi virus
dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti.
2) Menjelaskan kepada keluarga pasien untuk ikut mengawasi keadaan
pasien, bila tiba-tiba keadaan pasien memburuk segera lapor kepada
petugas kesehatan.
3. Infeksi Laten TB
IpDx : Infeksi Laten TBS : -O : uji tuberkulin
IpTx :
Medikamentosa:
1) Usulan dilakukan uji tuberkulin
2) Jika anak tidak menunjukkan gejala klinis atau immunocompromised
dilakukan observasi.
3) Jika anak menunjukkan gejala klinis atau immunocompromised
diberikan INH profilaksis dengan dosis 1x65 mg, hingga kontak (-).
Non medikamentosa:
1) Asupan gizi TKTP (Tinggi Karbohidrat dan Tinggi Protein)
2) Menganjurkan nenek diperiksa dan diobati
IpMx :
1) Monitoring Keadaan Klinis (benjolan, batuk, febris)
2) Monitoring keadaan umum, tanda vital, BB dan TB sesuai umur
IpEx :
1) Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit anaknya
adalah infeksi laten TB, bisa karena ditularkan oleh neneknya yang
mengalami gejala sama.16
2) Kontrol rutin untuk observasi, dan jika ada keluhan atau anak sakit
segera bawa ke dokter.
3) Beri anak makanan yang bergizi, makanan tinggi protein (tempe, tahu,
telor, ikan)
4) Bawa nenek yang menderita batuk kronik untuk memeriksakan diri
dan berobat.
5) Bapak hentikan merokok, atau merokok tetapi tidak di dekat anak atau
anggota keluarga yang lain.
4. Gizi Kurang
IpDx : Gizi KurangS : -O : -
IpTx :
Diit makanan dengan jumlah kalori 1530 kkal, dengan cara:
1) Beri makanan sedikit-sedikit tapi sering
2) Anak dibujuk dan diberi perhatian khusus agar makan dalam jumlah
yang cukup
IpMx :
Perlu dilakukan monitoring terhadap:
1) Keadaan umum pasien
2) Kenaikan/penurunan berat badan
3) Nafsu makan pasien
IpEx :
1) Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa status gizi pasien kurang,
sehingga diperlukan peran serta keluarga untuk memenuhi asupan
nutrisi yang seimbang untuk pasien agar dicapai status gizi yang ideal.
5. Adenotonsilitis Kronik
IpDx : Adenotonsilitis kronik17
S : -O : -
IpTx :
Konsul Dokter Spesialis THT-KL:
Medikamentosa: Hexadol garglin S 2 dd garg I
Non medikamentosa:
1) Menjaga higienitas mulut
2) Edukasi pasien untuk dilakukan operasi tonsilektomi
IpMx :
Perlu dilakukan monitoring terhadap:
1) Keadaan umum dan tanda vital
2) Gejala klinis
3) Komplikasi penyakit
4) Kekambuhan penyakit
IpEx :
1) Menjelaskan penyakit pasien adalah adenotonsilitis kronik yaitu
peradangan pada amandel pasien, faktor yang dapat mendukung
adalah rangsangan yang lama dari bahan iritan (debu, es, rokok),
hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca.
2) Menjelaskan kepada pasien bahwa pengobatan untuk pasien sebaiknya
dengan operatif karena penyakit pasien sudah mengganggu kualitas
hidupnya dan untuk mencegah komplikasi penyakit.
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
XI. FOLLOW UP
Tanggal Catatan18 S: Demam (+), demam sejak 7 hari yang lalu, 4 hari panas, 2
18
November 2014
O:
A:P:
hari turun, 1 hari naik. Demam mulai naik saat sore hari, suhu turun setelah diberi obat penurun panas kemudian mulai naik lagi.Nyeri perut (+), melilit, berkurang dibandingkan sebelumnya. Kejang (-), mual (-), muntah (-), diare (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), tenggorokan terasa mengganjal (-).Keadaan umum: tampak lemasNadi: 120 kali/menit, isi dan tegangan cukupRespiratory rate: 30 kali/menit, regulerSuhu : 38,2 0 C (aksiler)BB : 13 kgMata: Conjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cowong (-/-)THT-KL: tonsil T3-T3 kripte melebar dan tidak hiperemis, limfadenopati multiple regio submental (jumlah 1, Ø: 1,5 cm), jugulare interna (masing-masing berjumlah 1, Ø: 1 cm)Thorax: cor/pulmo dalam batas normalAbdomen: datar, bising usus (+) normal, timpani seluruh regio abdomen, nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, umbilicalis dan suprapubik.Ekstremitas: akral dingin: superior (-/-), inferior (-/-)Hasil laboratorium darah rutin (17/11/2004):Leukosit 3.94 (L)Eritrosit 5.35Hb 12.80Ht 36.80Trombosit 251.000Observasi febris (hari 8)Tx: Infus RL 13 tpm Inj. Cefotaxime 2 x 500 mg p/o Paracetamol 3 x cth IX-foto thoraxTes mantouxUrin rutinKonsul THT
19 November 2014
S:
O:
Demam (-), nyeri perut (-), kejang (-), mual (-), muntah (-), diare (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), tenggorokan terasa mengganjal (-), belum bisa buang air besar 3 hari.Keadaan umum: tampak lemasNadi: 84 kali/menit, isi dan tegangan cukupRespiratory rate: 28 kali/menit, regulerSuhu : 36 0 C (aksiler)BB : 13 kgMata: Conjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cowong (-/-)THT-KL: tonsil T3-T3 kripte melebar dan tidak hiperemis, limfadenopati multiple regio submental (jumlah 1, Ø: 1,5
19
A:
P:
cm), jugulare interna (masing-masing berjumlah 1, Ø: 1 cm)Thorax: cor/pulmo dalam batas normalAbdomen: datar, bising usus (+) normal, timpani seluruh regio abdomen, nyeri tekan (-).Ekstremitas: akral dingin: superior (-/-), inferior (-/-)Hasil laboratorium urin rutin (18/11/2004):Warna kuningKekeruhan jernihpH 7,0protein negatifreduksi negatifepitel 1-2/lpkleukosit 0-1/lpberitrosit 0-1/lpbX-foto thorax: gambaran bronchitisObservasi febris (hari 9)Konsul THT: Oclusio tuba duplex Adenotonsilitis kronikTx tetapUlang darah rutin, IgM anti dengue, IgM Salmonella
20 November 2014
S:
O:
Demam (-), nyeri perut (-), kejang (-), mual (-), muntah (-), diare (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), tenggorokan terasa mengganjal (-), belum bisa buang air besar 4 hari.Keadaan umum: aktifNadi: 98 kali/menit, isi dan tegangan cukupRespiratory rate: 20 kali/menit, regulerTekanan darah: 90/50 mmHgSuhu : 370 C (aksiler)BB : 13 kgMata: Conjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cowong (-/-)THT-KL: tonsil T3-T3 kripte melebar dan tidak hiperemis, limfadenopati multiple regio submental (jumlah 1, Ø: 1,5 cm), jugulare interna (masing-masing berjumlah 1, Ø: 1 cm)Thorax: cor/pulmo dalam batas normalAbdomen: datar, bising usus (+) normal, timpani seluruh regio abdomen, nyeri tekan (-).Ekstremitas: akral dingin: superior (-/-), inferior (-/-)Hasil laboratorium darah rutin (19/11/2004):Leukosit 5.65Eritrosit 4.66Hb 11.10Ht 33.90Trombosit 100.000IgG anti dengue negatifIgM anti dengue positif
20
A:
P:
IgM S. Typhii positif/4F. TypoidDHF grade IBoleh pulang, obat pulang:Thiamphenicol 3 x cth IImunos 2 x IParacetamol 3 x C I
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEMAM TIFOID
A. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid
fever. Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bersifat
akut yang disebabkan oleh Salmonella typhii.1,2
B. Etiologi
Salmonella typhii sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri
gram-negatif, mempunyai flagella tidak berkapsul, tidak membentuk
spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri
dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (Vi) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.2
C. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia berkembang
biak di dalam makrofag.1,3,4
Lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
22
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di dalam hati,
kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Masuknya ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit
perut.1,3,4
D. Gejala dan Tanda
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia. Kemudian
menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu: 1-4
1) Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2) Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pasien
mengeluh mual, muntah perasaan tidak enak di perut. Pada abdomen
mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati
dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan
dapat terjadi diare.
23
3) Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa
dalam, yaitu gelisah, apatis sampai somnolen. Dapat pula terjadi
stupor, koma, delirium atau psikosis.
E. Pemeriksaan Penunjang
1) Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella
typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang
yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij
Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid. 1,3,4
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai
penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut : 1,3,4
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan
H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan - 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama
24
1-2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang
yangpernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. 1,3,4
2) Kadar IgM dan IgG salmonella
Tes Typhi-dot dan Typhidot-M lebih unggul bila dibandingkan
dengan tes widal. Tes Typhi-dot mendeteksi antibodi total (IgM dan
IgG) Salmonella typhii sehingga tidak bisa membedakan antara
infeksi akut dengan infeksi yang telah lampau. Sedangkan tes
Typhidot-M mendeteksi hanya IgM Salmonella typhi dan
menunjukkan adanya infeksi akut. Berdasarkan penelitian, tes
Typhidot-M memberikan hasil sensitivitas dan spesifitas yang tinggi
sehingga saat ini lebih direkomendasikan untuk diagnosis demam
tifoid. Meskipun demikian, tes Typhidot-M tidak dapat
menggantikan kultur darah yang merupakan standar baku diagnosis
pasti demam tifoid. Dalam penerapannya, apabila secara klinis
pasien diduga demam tifoid dan tes Typhidot-M positif, terapi
antibiotik dapat diberikan sambil menunggu hasil kultur.
3) Mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling
spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur
darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis
setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi
40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap
memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-
minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin
meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu
ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama
3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap
mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka
waktu yang lama.
25
F. Diagnosis
Pada pemeriksaan, gambaran diagnosis kunci adalah: 4
1) Demam lebih dari 7 hari
2) Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas
3) Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
4) Delirium
5) Hepatosplenomegali
6) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang dan ikterus
7) Dapat timbul dengan tanda-tanda atipikal terutama pada bayi muda
sebagai penyakit demam akut dengan disertai syok dan hipotermi
Pemeriksaan penunjang:4
1) Darah tepi: leukopeni, aneosinofilia, limfositosis relatif,
trombositopenia (pada demam tifoid berat)
2) Serologi widal: kenaikan titer S.typhii titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesens
3) Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
G. Terapi
1) Medikamentosa: 4
a) Antibiotik
Chloramphenicol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari,
oral, atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, selama 10
hari
Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral selama 10 hari
Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, IV atau IM, sekali sehari
selama 5 hari. Bila ada komplikasi pada saluran cerna. Atau
cefotaxime 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis
efektif.
Cefixime 10 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 10 hari
26
b) Kortikosteroid diberikan dalam kasus berat dengan gangguan
kesadaran. 4
Dexamethasone 1-3 mg/kgBB/hari, IV, dibagi dalam 3
dosis hingga kesadaran membaik
2) Operatif: tindakan bedah diperlukan bila penyulit peritonitis usus. 4
3) Supportif 4
a) Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
b) Tirah baring
c) Isolasi memadai
d) Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi
II. DEMAM BERDARAH DENGUE
A. Definisi
Penyakit Dengue adalah suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh arbovirus (arthropadborn virus) dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictuse dan Aedes aegypti).5
B. Etiologi
Penyebab penyakit demam berdarah dengue adalah virus dengue
termasuk genus Flavivirus, famili flaviviridae, yang mempunyai 4
serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 melalui perantara
Aedes albopictuse dan Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat, diikuti DEN-3. 4
C. Patogenesis
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang
organ RES seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Dalam
peredaran darah virus akan difagosit oleh monosit.4-6
Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan
organel-organel sel genom virus akan memulai membentuk
komponen-komponen strukturalnya.setelah berkembang biak di dalam
sitoplasma sel maka virus akan dilepaskan dari sel. 4-6
27
Perubahan patofisiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan
oleh 2 teori yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement
(ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan
terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka
waktu yang lama. 4-6
Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat
menetralisir virus yang sama (homologous). Namun jika orang tersebut
mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus yang lain, maka virus
tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat. Hal ini
disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi
heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang
berbeda.4-6
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan
reseptor Fc gama pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi
virus DEN. Kompleks antibodi meliputi sel makrofag yang beredar
dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi
sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi
IL-1, IL-6 dan TNFα dan juga Platelet Activating Factor/PAF. 4-6
Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena
endothel yang rusak, hal ini dapat berakhir dengan syok. Proses ini
juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat
mengakibatkan syok hipovolemik. 4-6
Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari
ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh
anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” sehingga
sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag
sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF-α juga PAF. Bahan-bahan
28
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah
dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma
dan perdarahan. 4-6
Pada teori kedua (ADE), terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap
terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells
enhance infection, serta limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan
bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu,
maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya
apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat menetralisir
penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. 4-6
D. Gejala dan Tanda
1) Anamnese: 4,7
Demam, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
Lesu, tidak mau makan, muntah
Nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
Diare kadang-kadang ditemukan
Perdarahan paling sering dijumpai adalah peradarahan kulit dan
mimisan
2) Pemeriksaan fisik4,7
Gejala klinis DBD diawali demam tinggi mendadak, facial
flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, neri
tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung
iga kanan.
Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering
ditemukan pada DBD
Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia dan syok.
Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan ke dalam
rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam
Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit.
Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal
29
penyembuhan pada infeksi ringan, namun pada DBD berat
merupakan tanda awal syok.
Perdarahan dapat berupa petekiae, epistaksis, melena, ataupun
hematuria
3) Tanda-tanda syok 4,7
Anak gelisah sampai penurunan kesadaran
Sianosis
Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg
Akral dingin, capillary refill menurun
Diuresis menurun sampai anuria
E. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah perifer dan darah rutin. Pada apusan darah perifer juga dapat
dinilai limfosit plasma biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis
DBD. 4,7
2) Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut
dan fase konvalesens
Infeksi primer, serum akut <1:20, serum konvalesens naik 4
kali atau lebih namun tidak melebihi 1:1280
Infeksi sekunder, serum akut <1:20, konvalesens 1:2560; atau
serum akut <1:20, serum konvalesens naik 4 kali atau lebih
Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
secondary infection): serum akut 1:1280, serum konvalesens
dapat lebih besar atau sama4,7
3) Pemeriksaan radiologis (sesuai indikasi) 4,7
Foto dada: kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemithorax kanan lebih radio
opak dibandingkan kiri, kubah diafragma kiri lebih tinggi
daripada kanan dan efusi pleura.
USG: efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica
felea dan vesica urinaria.
30
F. Diagnosis
1) Klinis, gejala klinis berikut harus ada, yaitu: 4,6,7
a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung
terus menerus selama 2-7 hari
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena
c. Pembesaran hati
d. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak
terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill
time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
2) Laboratorium 4,6,7
a. Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
b. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
c. Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
Diagnosis: 2 kriteria klinis ditambah 1 kriteria laboratorium (atau
hanya peningkatan hematokrit). 4,6,7
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap
derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) 4,6,7
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. 4,6,7
31
G. Terapi
32
33
34
III. TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. 4
B. Etiologi35
TBC di sebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paru-paru,
tetapi dapat juga mengenai organ-organ lain seperti selaput otak,
tulang kelenjar superfisialis, dan lain-lain. Seseorang yang terinfeksi
Mycobacterium tubercolosis tidak selalu menjadi sakit aktif. Beberapa
minggu (2-12 minggu) setelah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis
terjadi respon imunitas selular yang dapat di tunjukkan dengan adanya
indurasi setelah dilakukan uji tuberkulin.4
C. Patogenesis
Mycobacterium tuberculosis disebarkan melalui tetesan kecil di
udara, yang disebut droplet nuklei. Droplet dihasilkan dari batuk,
bersin, berbicara, atau bernyanyi oleh seseorang dengan TB paru.
Karena droplet ini sangat kecil, sehingga dapat tetap di udara selama
beberapa menit sampai beberapa jam setelah dikeluarkan dari tubuh
penderita. M. tuberkulosis menginfeksi pertama kali ke sistem
pernapasan, namun, organisme dapat menyebar ke organ lain, seperti
limfatik, pleura, tulang / sendi, atau meningeal, dan menyebabkan
tuberkulosis.4,8,9
Setelah terhirup, droplet masuk saluran pernafasan. Sebagian besar
basil yang terjebak di bagian atas dari saluran nafas, di mana terdapat
sel-sel goblet penghasil mukus dan sel silia. Kedua jenis sel ini
menangkap partikel droplet kemudian membuangnya melalui
mekanisme batuk atau bersin. Sistem ini merupakan mekanisme
pertahanan awal untuk mencegah infeksi pada kebanyakan orang yang
terkena TBC. 4,8,9
Bakteri dalam droplet yang melewati sistem mukosiliar dan
mencapai alveoli dengan cepat dikelilingi dan ditelan oleh makrofag
alveolar sel-sel efektor kekebalan tubuh yang paling banyak di dalam
alveolar. Makrofag ini menyerang dan menghancurkan mikobakteri
untuk mencegah infeksi. Makrofag adalah sel fagosit yang memerangi
berbagai sel patogen tanpa memerlukan paparan sebelumnya. 4,8-10
36
Setelah dihancurkan oleh makrofag, mikobakteri terus bertambah
banyak perlahan, dengan pembelahan terjadi setiap 25-32 jam.
Terlepas dari apakah infeksi menjadi terkontrol atau tetap berlangsung,
pengembangan awal melibatkan produksi enzim proteolitik dan sitokin
oleh makrofag dalam upaya untuk menurunkan bakteri. Sitokin
dilepaskan menarik limfosit T ke situs, sel-sel yang membentuk
imunitas diperantarai sel. Makrofag kemudian menyajikan antigen
mikobakteri pada permukaan mereka ke sel T. Proses kekebalan awal
ini berlanjut selama 2 sampai 12 minggu, mikroorganisme terus
tumbuh sampai mereka mencapai jumlah yang cukup untuk
sepenuhnya mendapat respon kekebalan yang dimediasi sel, yang
dapat dideteksi dengan tes kulit. 4,8-10
Langkah defensif berikutnya adalah pembentukan granuloma di
sekitar M.tuberculosis. Akumulasi limfosit T dan makrofag aktif, yang
menciptakan lingkungan mikro yang membatasi replikasi dan
penyebaran mikobakteri. Lingkungan ini menghancurkan makrofag
dan menghasilkan nekrosis yang solid di tengah lesi , namun basil
mampu beradaptasi untuk bertahan hidup. Bahkan, M. tuberculosis
dapat mengubah fenotip, seperti regulasi protein, untuk meningkatkan
daya hidup sel. Dengan waktu 2 atau 3 minggu, lingkungan nekrotik
yang menyerupai keju lunak, sering disebut nekrosis caseous, dan
ditandai dengan kadar oksigen rendah, rendah pH, dan nutrisi yang
terbatas. Kondisi ini membatasi pertumbuhan lebih lanjut dan menjadi
laten. Lesi pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang memadai
umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi, berhasil mengendalikan
infeksi sehingga basil yang terkandung dalam aktif, lesi sembuh. Lesi
pada orang dengan sistem kekebalan yang kurang efektif berkembang
menjadi TB progresif primer. 4,8-10
D. Gejala dan Tanda
37
Diagnosis TB pada anak sulit ditegakkan, keluhan dapat bersifat
umum dan spesifik. Keluhan umum adalah demam yang lama tanpa
diketahui sebabnya, berat badan yang tidak naik dalam jangka waktu
tertentu, anoreksia, lesu, dan sebagainya. Gejala khusus dapat berupa
gibbus, atau plikten pada konjungtiva, bergantung pada organ yang
terlibat.4,7,11
Adanya demam pada TB merupakan gejala sistemik atau umum
yang sering dijumpai. Demam biasanya tidak terlalu tinggi, naik turun,
dan berlangsung cukup lama. Selain demam, gejala lain yang sering
adalah penurunan berat badan. Keluhan batuk yang merupakan gejala
utama pada TB dewasa, tidak merupakan gejala yang menonjol pada
TB anak. Hal ini disebabkan karena pada TB anak, prosesnya adalah
pada parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Meskipun
demikian, pada TB anak dapat terjadi batuk apabila pembesaran
kelenjar yang terjadi sudah menekan bronchus. 4,7,11
Gejala khusus yang mungkin timbul adalah gibbus, konjungtivitis
fliktenularis, dan skrofuloderma. Harus dibedakan penyebab
konjungtivitisnya apakah karena TB atau infeksi parasit atau infeksi
lainnya. Demikian pula skrofuloderma harus dibedakan dari
limfadenitis non tuberculosis atau infeksi banal. Pada skrofuloderma
terdapat benjolan yang multiple, tidak nyeri tekan, warna kulit sama
seperti sekitarnya, ulkus, bridging dan berwarna livide. 4,7,11
E. Pemeriksaan Penunjang4,7,11
- Periksa darah lengkap
- Periksa urin rutin
- Periksa feses rutin
- Periksa uji tuberkulin
- Periksa foto thoraks AP dan lateral, foto sendi/tulang
- Pemeriksaan BTA/Kultur (biasanya bilas lambung)
- Bila ada cairan pleura/asites, pemeriksaan sitologi, BTA, dan
kultur M.TB
38
- Pemeriksaan histopatologi
- Bila dicurigai meningitis, lakukan pemeriksaan pungsi lumbal.
F. Diagnosis4,7,11
G. Terapi
39
1) Medikamentosa4,7
40
Obat TB utama (first line, lini pertama) saat ini adalah (R)
rifampisin, (H) isoniazid, (Z) pirazinamid, (E) etambutol, (S)
streptomisin. Rifampisin dan isoniazid merupakan pilihan obat pilihan
utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
Obat TB lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic
acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin,
kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi
MDR.
Tabel Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya4,7,11
Nama Obat Dosis harian (mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal Efek Samping
Isoniazid 5-15* 300 hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,
Pirazinamid 15-30 2000 cairan tubuh berwarna orange kemerahan toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah-hijau, penyimpatan lapang pandang
Streptomisin 15-40 1000 Hipersensitivitas, gastrointestinal ototoksik, nefrototoksik
*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailibilitas rifampisin.
41
Tabel Dosis Kombinasi Pada Tuberkulosis Anak4,7,11
Berat badan (kg) 2 bulanRHZ (75/50/150 mg)
4 bulanRH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet10-14 2 tablet 2 tablet15-19 3 tablet 3 tablet20-32 4 tablet 4 tablet
2) Non medikamentosa
a) Pendekatan DOTS :
- Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana
- Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
- Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)
- Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB
b) Sumber penularan dan case finding :dicari sumber penularannya
yang menyebabkan anak tertular. Pelacakan sumber infeksi
dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum.
Bila sudah ditemukan, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari lainnya yang mungkin juga tertular dengan cara uji
tuberkulin.
c) Aspek edukasi dan sosial ekonomi : Higienitas, penanganan gizi
yang baik, meliputi cakupan asupan makanan, vitamin, dan
mikronutrien. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya
agar mengetahui mengenai TB.
42
IV. GIZI KURANG
A. Penentuan Status Gizi12
Status gizi BB/TB(% median)
BB/TBWHO 2006
IMTCDC 2000
Obesitas > 120 > +3 SD > P95
Overweight > 110 > +2 hingga +3 SD P85-P95
Normal > 90 +2 SD hingga -2 SDGizi Kurang 70 – 90 < -2SD hingga -3 SDGizi Buruk < 70 < -3 SD
B. Penentuan Kebutuhan12
Kebutuhan kalori idealnya ditentukan secara individual
menggunakan kalorimetri indirek, namun hal tersebut mahal dan tidak
43
praktis. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung pada
kondisi klinis tertentu. Untuk kemudahan praktik klinis, kebutuhan
kalori ditentukan berdasarkan:
1) Kondisi sakit kritis (critical illness)
Kebutuhan energi = REE x faktor aktivitas x faktor stress
2) Kondisi tidak sakit kritis (non critical illness)
a) Gizi baik/kurang:
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal
dikalikan RDA menurut usia-tinggi (height age). Usia-tinggi
ialah usia bila tinggi badan anak tersebut merupakan P50 pada
grafik. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung pada
kondisi klinis tertentu:
i. Tatalaksana Gizi Buruk menurut WHO
ii. Berdasarkan perhitungan target BB-ideal
BB ideal x RDA menurut usia-tinggi
Pemberian kalori awal sebesar 50-75% dari target untuk
menghindari sindrom refeeding.
b) Obesitas
Target pemberian kalori adalah:
BB ideal x RDA menurut usia-tinggi
Pemberian kalori dikurangi secara bertahap sampai tercapai
target.
Catatan:
- Berat badan ideal adalah berat badan menurut tinggi badan
pada P50 pertumbuhan
- Pada obesitas penatalaksanaan tidak akan berhasil tanpa
disertai dengan peningkatan aktivitas fisik dan perubahan
perilaku.
C. Penentuan cara pemberian12
44
Pemberian nutrisi melalui oral atau enteral merupakan pilihan
utama. Jalur parenteral hanya digunakan pada situasi tertentu saja.
Kontraindikasi pemberian makanan melalui saluran cerna ialah:
obstruksi usus, perdarahan saluran cerna serta tidak berfungsinya
saluran cerna. Pemberian nutrisi enteral untuk jangka pendek dapat
dilakukan melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal atau
nasojejunal. Untuk jangka panjang, nutrisi enteral dapat dilakukan
melalui gastrostomi atau jejunostomi. Untuk nutrisi parenteral jangka
pendek (kurang dari 14 hari) dapat digunakan akses perifer, sedangkan
untuk untuk jangka panjang harus menggunakan akses sentral.
V. ADENOTONSILITIS KRONIK
A. Definisi
Adenotonsilitis kronik adalah proses peradangan kronik pada tonsil
dan adenoid.13
B. Etiologi
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis
akut yang tidak adekuat. Sedangkan faktor predisposisi faringitis
kronik adalah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok,
minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan
debu, pasien yang biasa bernafas melalui mulut karena hidungnya
tersumbat.13
C. Patogenesis
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa, jaringan limfoid juga terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Hipertrofi tonsil yang
mengganggu jalan nafas sehingga pasien bernafas melalui mulut.
45
Gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea dikenal sebagai
Obstructive Sleep Apneu Syndrome (OSAS).13,14
D. Gejala dan Tanda
Gejala yang dapat terjadi sebagai gambaran klinik adenotonsilitis
kronik diantaranya adalah anak sering panas, terutama panas yang
disertai pilek dan batuk, sering sakit kepala, lesu, mudah ngantuk,
tenggorokan terasa mengganjal, tenggorokan sering berdahak,
tenggorokan terasa kering, ‘ngorok’, gangguan nafas terutama saat
tidur terlentang, nafas bau, nafsu makan kurang, gangguan
pendengaran karena adanya disfungsi tuba, prestasi belajar kurang atau
menurun, facies adenoid yaitu apabila sumbatan berlangsung bertahun-
tahun. 13,14
Tanda yang dapat ditemukan pada pasien adenotonsilitis kronik
adalah tonsil terlihat berbenjol-benjol, kripte melebar, detritus, palatum
tinggi. 13,14
E. Pemeriksaan Penunjang
X-foto rasio adenoid-nasofaring merupakan satu-satunya cara
praktis untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran adenoid pada
anak.13,14
F. Terapi
Terapi operatif yaitu adenotonsilektomi perlu dipertimbangkan.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery
Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi:13,14
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
berbicara dan cor pulmonale.
46
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
streptococcus β hemoliticus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif
Non indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah:14
1. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemik atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis
G. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis kronik dapat terjadi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis,
uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkolusis.13
47
BAB III
PEMBAHASAN
An. NW berusia 6 tahun, dari anamnese didapatkan keluhan demam 8 hari dan
nyeri ulu hati. Dari pemeriksaan fisik keadaan umum tampak lemas, suhu 38,2oC
(aksiler), nyeri tekan abdomen (+). Manifestasi demam typoid adalah demam,
gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran. Pada pasien ini walaupun
tidak didapatkan gangguan kesadaran, tetapi masih dapat ditegakkan diagnosis
sebagai febris typoid karena didukung dari hasil laboratorium menunjukkan
monositosis yang menandai adanya infeksi bakteri dan IgM Salmonella Typhii
positif 4. Tatalaksana febris typoid yang diberikan adalah Infus Ringer Laktat 13
tpm, Inj. Cefotaxime 2 x 500 mg dan Paracetamol S 2 dd cth I. Berdasarkan IDAI,
drug of choice febris typoid adalah chloramphenicol 50-100 mg/kgBB/hari, oral,
atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari atau lini kedua dengan golongan
sefalosporin generasi III yaitu seftriakson 80 mg/kgBB/hari, IV atau IM, sekali
sehari selama 5 hari atau cefotaxime 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis efektif. Pada pasien ini diberikan Inj. Cefotaxime 2 x 500 mg dikarenakan
untuk mengurangi gangguan pada saluran cerna. Berdasarkan perhitungan dosis
seharusnya pemberian cefotaxime adalah 1950 mg/hari dibagi dalam 3-4 dosis,
yaitu 4 x 487.5 mg atau pembulatan menjadi 4 x 500 mg.
Dari anamnese didapatkan keluhan nyeri ulu hati. Dari pemeriksaan fisik
keadaan umum tampak lemas, suhu 38,2oC (aksiler). Hasil laboratorium
trombositopenia, neutropenia, limfositosis, monositosis, IgM anti dengue (+).
Berdasarkan kriteria diagnosis WHO, pasien ini memenuhi kriteria diagnosis
DBD grade I yaitu demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, uji bendung
positif dan trombositopenia dan didukung dengan hasil IgM anti dengue (+).
Adanya neutropenia, limfositosis dan monositosis menunjukkan adanya infeksi
virus maupun parasit. Tatalaksana adalah terapi cairan dan antipiretik jika panas,
sehingga diberikan Infus Ringer Laktat dengan dosis maintenance yaitu 13tpm
dan Paracetamol S 2 dd cth I bila panas. Pemberian paracetamol bertujuan sebagai
48
antipiretik. Paracetamol bekerja langsung pada pusat pengaturan panas di
hipotalamus dan menghambat sintesa prostaglandin di sistem saraf pusat,
sehingga dapat menurunkan suhu badan pasien yang diatas normal. Dosis lazim
untuk paracetamol 10-15 mg/kg BB/1 kali pemberian dengan durasi kerja 4-6 jam
(analgesia) atau ≥ 6 jam (antipiretik). Berdasarkan perhitungan dosis dengan BB
pasien 13 kg dapat diketahui pasien mendapatkan terapi 130 mg/kali pakai.
Sediaan obat paracetamol sirup 120mg/5 ml, sehingga dosis yang dibutuhkan
adalah 1½ Cth.
Dari anamnese pasien demam 8 hari, batuk berdahak yang sering kambuh,
Riwayat TBC 1 tahun yang lalu, Nenek pasien memiliki riwayat asma sejak 14
tahun yang lalu dan sering batuk berdahak kental sejak 4 tahun yang lalu, belum
dilakukan pengobatan, turun berat badan 3 kg, Ayah pasien merokok, kesan
keadaan sosial dan ekonomi kurang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak lemas, suhu 38,20C (aksiler), status gizi anak kurang. Pemeriksaan
penunjang monositosis, rontgen thorax didapatkan gambaran bronchitis, skoring
TB: 3. Berdasarkan sistem skoring TB anak didapatkan diagnosis infeksi laten
TB. Pada pasien ini diperlukan uji tuberkulin. Jika anak tidak menunjukkan gejala
klinis atau imunocompromised perlu dilakukan observasi pada pasien, tetapi jika
pasien menunjukkan gejala klinis perlu diberikan INH profilaksis dengan dosis
1x65 mg, hingga kontak (-). Menganjurkan nenek diperiksa dan diobati.
Pasien susah makan, Berat badan bulan lalu 16 kg, berat badan sekarang 13
kg. Pasien mengalami penurunan berat badan 3 kg, keadaan umum tampak lemas,
Pemeriksaan Antropometri didapatkan gizi anak kurang. Sehingga diagnosis gizi
pada pasien ini adalah gizi kurang. Koreksi kalori untuk gizi kurang dilakukan
dengan perhitungan BB ideal x RDA menurut usia-tinggi, BB ideal pasien ini
adalah 17 kg, sehingga jumlah kalori = 17 x 90 kkal = 1530 kkal dengan
pemberian awal 50-75 % yaitu 765–1147 kkal/hari. Pemberian makanan sedikit-
sedikit tapi sering, anak dibujuk dan diberi perhatian khusus agar makan dalam
jumlah yang cukup.
Pasien gemar mengonsumsi es. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tonsil T3-
T3 kripte melebar dan tidak hiperemis, limfadenopati multiple regio submental
49
(jumlah 1, Ø: 1,5 cm), jugulare interna (masing-masing berjumlah 1, Ø: 1 cm).
Berdasarkan anamnese dan hasil pemeriksaan yang didapat, diagnosis pasien ini
adalah adenotonsilitis kronik. Konsul dengan dokter spesialis THT diberikan
terapi Hexadol garglin S 2 dd garg I.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa diagnosis
pasien ini adalah febris typoid, DHF grade I, infeksi laten TB, gizi kurang dan
adenotonsilitis kronik.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Kepmenkes RI nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. Hal 338-52.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi V. Jakarta: Internapublising; 2009.
4. Pudjiadi AH dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010.
5. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya: Airlangga University Press, 2004.
6. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Jakarta: Depkes RI, 2006.
7. Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: Depkes RI; 2008.
8. Lee RB, Li W, Chatterjee D, Lee RE. Rapid structural characterization of the arabinogalactan and lipoarabinomannan in live mycobacterial cells using 2D and 3D HR-MAS NMR: structural changes in the arabinan due to ethambutol treatment and gene mutation are observed. Glycobiology. 2005;15(2):139–15
9. Nicod LP. Immunology of tuberculosis. Swiss Med Wkly. 2007;137(25–26):357–362.
10. American Thoracic Society and Centers for Disease Control and Prevention. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and children. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161(4 pt 1):1376–1395.
11. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.
12. Sjarif DR, Nasar SS, Devaora Y, Tanjung C. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Asuhan Nutrisi Pediatrik. Jakarta: IDAI; 2011.
51
13. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. Hal 217-25.
14. Adams GL. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: Buku ajar penyakit THT (alih bahasa: Caroline Wijaya). Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. Hal 337-41.
52