Lapsus Ditha
Transcript of Lapsus Ditha
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
1/39
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang
tertutup. Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah
dekompresi. Tindakan non operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan
selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu
dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap
pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada carauntuk menindakinya. Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom
sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati
sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan.
Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak
untuk melakukan fasciotomi (Fette, 2012; Swiontkowski, 2001).
Lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di : tangan,
lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semuacedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Hal yang
paling penting dokter didesak untuk selalu waspada ketika berhadapan dengan keluhan
nyeri pada ekstremitas (Mabvuure et al,2012).
.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
2/39
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan
terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup.
Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari
penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi
akut, subakut dan kronik. Sindroma kompartemen akut termasuk dalam kedaruratan medik
dan biasanya disebabkan karena cedera berat seperti fraktur, trauma jaringan lunak,
kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik biasanya
disebabkan oleh aktivitas yang berulang-ulang, disebut juga Chronic Exertional
Compartment Syndrome (CECS) misalnya pada pelari jarak jauh, pemain sepakbola, dan
pemain basket (Fette, 2012; Swiontkowski, 2001).
ANATOMI
Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, syaraf dan pembuluh darah
yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang masing-masing dibungkus oleh
epimisium.
Secara anatomi, sebagian besar kompartemen terletak dianggota gerak. Berdasarkan
letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa macam, antara lain:
1. Anggota gerak atas
Lengan atas : terdapat kompartemen anterior dan posterior
Lengan bawah : terdapat tiga kompartemen , yaitu flexor superfisial, fleksor
profundus dan ekstensor
2. Anggota gerak bawah
Tungkai atas; terdapat tiga kompartemen, yaitu : anterior, medial dan
posterior
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
3/39
3
Tungkai bawah : tedapat empat kompartemen, yaitu : kompartemen anterior,
lateral, posterior superfisial, dan posterior profundus
Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan posterior profundus) serta lenganatas (kompartemen volar dan dorsal).
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
4/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
5/39
5
EPIDEMIOLOGI
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh McQueen, ditemukan insidens
terjadinya sindroma kompartemen akut setiap tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan
0,7 per 100.000 untuk wanita. Di Amerika, prevalensi sesungguhnya dari sindroma
kompartemen belum diketahui. Namun sebuah penelitian menunjukkan angka kejadian
Chronic Exertional Compartment Syndrome (CECS) sebesar 14% pada individu yang
mengeluh nyeri tungkai bawah. Laki-laki dan perempuan presentasinya adalah sama dan
biasanya bilateral meskipun dapat juga unilateral. Chronic Exertional Compartment
Syndrome (CECS) biasanya terjadi pada atlet yang sehat dan lebih muda dari 40 tahun
(Mabvuure et al,2012).
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
6/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
7/39
7
Latihan atau obstruksi vena
Penggunaan otot yang berlebihan
Penggunaan traksi yang berlebihan
Gigitan ularSejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
Dalam keadaan kronik, gejala juga timbul akibat aktifitas fisik berulang seperti berenang, lari
ataupun bersepeda sehingga menyebabkan exertional compartment syndrome. Namun hal
ini bukan merupakan keadaan emergensi (Mabvuure et al,2012.; Swiontkowski, 2001; AAOS,
2009).
FAKTOR RESIKO
Berikut merupakan beberapa pasien yang membutuhkan perhatian khusus :
1. Pasien dengan fraktur tibial (diaphisis), khususnya laki laki dewasa muda.
2. Pasien dewasa muda dengan luka berat pada diaphysis lengan bawah atau radius
distal.
3. Pasien dengan fraktur metaphysic tibia
4. Dewasa muda dengan cedera jaringan lunak atau kelainan perdarahan5. Anak anak
6. Pengguna obat-obatan
(Mabvuure, 2012)
PATOGENESIS
Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang
menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosisjaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan
tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan
tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah
meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
8/39
8
menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan
dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan
nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen,
tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan
(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan
menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang
menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu, antara lain:
Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
Theori of critical closing pressure.
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekananmural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda ( tekanan
arterioltekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila
tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada
lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical
closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup
Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekananvena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu
dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali McQueen dan Court-Brown berpendapat
bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30
mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Patogenesis dari
sindroma kompartemen kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat
membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementaradalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan
tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindroma
kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus menerus
tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
9/39
9
tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan
mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah
biasanya yang kena.
(Mabvuure et al,2012).
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang
tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
3. Pulselessness : berkurang atau hilangnya denyut nadi
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan
hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom., Sedangkan pada
kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah
berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
Tanda tanda klinis kompartemen sindrom adalah :
Nyeri pada saat palpasi daerah kompartement yang bengkak.
Nyeri pada perenggangan pasif pada jari. Tanda ini kemungkinan merupakan tanda
adanya impending akut kompartement syndrome. Namun tanda ini bukan
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
10/39
10
merupakan tanda specific untuk akut kompartemen sindrom tapi tanda yang
biasanya muncul pada pembengkakan otot dan iskemia.
Pembengkakan pada daerah yang terkena
Pada palpasi, bagian kompartement yang terkena teraba keras dan kulit disekitarnyamengkilat.
Palpasi denyut nadi selalu menunjukan adanya akut kompartemen sindrom,
berkurang bila ada cedera dari arter. Pengisian arteri kapiler pada jari terlambat
namun masih dalam batas normal dan pulsasi perifer masih ada pada keadaan akut.
Deficit sensoris pada daerah kompartement yang terganggu.
Kelemahan otot
(Mabvuure et al,2012 ; Amendola & Twaddle, 2008; Vorvick, 2012).
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
11/39
11
DIAGNOSIS
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnose
kompartemen syndrome dilakukan dengan pengukuran tekanan kompartemen.Pengukuran
intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak
kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan
multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau traumasaraf perifer.Tekanan
kompartemen normalnya adalah 0. Pengukuran tekanan intrakompartemen dapat dilakukan
dengan beberapa cara berikut yaitu :
1. Needle manometerPengukuran langsung tekanan kompartement interstisial pertama kali
dilakukan oleh Landerer pada tahun 1884. Awalnya teknik ini digunakan untuk
mendiagnosis sindrom kompartemen kronis, namun selanjutnya dapat digunakan
untuk mendiagnosis sindrom kompartemen akut. Teknik Whitesides merupakan
cara yang paling sederhana, mudah dikerjakan, aman, murah dan dapat diulang-
ulang namun tidak dapat memonitor secara kontinyu. Mekanisme pengukurannya
menggunakan sebuah needle ukuran 18 yang disambungkan ke spuit 20cc dengan
selang yang berisi saline dan udara, dan selang tersebut juga menghubungkan
dengan manometer mercury standar. Setelah jarum ditusukkan ke dalam
kompartemen, tekanan udara dalam spuit akan mengangkat meniscus saline-
udara kemudian tekanannya akan terbaca di manometer mercury. Teknik ini
merupakan teknik standar yang tersedia diseluruh rumah sakit namun
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
12/39
12
kekurangannya adalah tidak cocok untuk memonitoring tekanan kompartement.
Kemudian teknik ini dimodifikasi lebih lanjut menjadi the continuous technique.
Keuntungan dari teknik ini adalah simple dan dapat digunakan untuk terus
memonitoring pasien dengan sindrom akut kompartemen.
2. Wick catheterKateter wick terdiri dari sebuah polyethylene tube yang dibuat oleh
scholander dan colleagues. Awalnya alat ini digunakan untuk mengukur tekanan
jaringan pada hewan seperti kura-kura, ular, dan ikan dan kemudian dimodifikasi
untuk penggunaan klinis. Teknik ini merupakan teknik yang pertama untuk
mengukur tekanan intrakompartemen sebelum adanya teknik continuous
infusion. Teknik membutuhkan catheter placement sleeve dan sebuah wick
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
13/39
13
catheter yang dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tube
disambungkan oleh three-way stopcock dan dihubungkan ke transducer. Penting
untuk diperhatikan, dalam system ini tidak didapatkan adanya gelembung udara
karena akan mengakibatkan pembacaan yang salah. Setelah system ini terisi,
ujung kateter harus terisi oleh air. Kemudian selanjutnya dikalibrasi dan
ditusukkan ke jaringan dengan trocar yang besar. Teknik ini digunakan untuk
terus memonitoring tekanan intrakompartemen. Kelemahan utama dari teknik ini
adalah dapat dihambat oleh adanya clot darah.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
14/39
14
3. Slit catheterTeknik ini membutuhkan kateter slit, jarum, transducer yang dihubungkan ke
three-way stopcock, dan pressure moniter. Sambungkan komponen komponen
tersebut dan kateter telah terisi oleh cairan saline steril. Mekanismenya sama
seperti wick kateter yaitu tidak ada gelembung udara dalam system dan monitor
harus sudah dikalibrasi oleh ujung dari slit kateter dengan transducer dan setel
knobnya ke angka nol. Monitornya memiliki alarm, jika telah selesai akan mati
setelah tekanannya meningkat sesuai kondisi.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
15/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
16/39
16
4. Stic catheter systemKateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk mengukur
tekanan intrakompartemen secara terus-menerus. Pada kateter stic, tindakan
yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui celah kecil pada kulit ke
dalam kompartemen otot. Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser
tekanan dan akhirnya tekanan intrakompartemen dapat diukur.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
17/39
17
5. Microcapillary infusionTeknik ini diperkenalkan oleh styf dan korner, yang digunakan untuk
mendiagnosis sindrom kompartemen kronik. Teknik ini dapat digunakan untuk
monitoring tekanan kompartemen dalam jangka waktu yang lama dan
merupakan teknik yang baik.
6. Arterial transducer measurementDengan peningkatan teknologi yang maju, untuk monitoring pengukuran tekanan
arterial digunakan simple cateter intravenayang dihubungkan dengan transducer
merupakan alternative lain untuk pengukuran tekanan kompartemen. Pada teknik
ini, digunakan kateter ukuran 16 yang terisi saline dan dihubungkan ke monitor,
secara akurat tekanan kompartemen akan terukur. Secara normal letak cateter
ada dalam kompartemen dan tekanannya akan terbaca dari monitor arteri yang
sudah dikalibrasikan dengan pengukuran kompartemen.
7. Teknik noninvasiveDigunakan untuk pengukuran pada sindrom kompartemen kronis. Alat yang biasa
digunakan adalah near-infrared spectroscopy yang digunakan untuk mengukur
perubahan oksigenasi relative pada kompartemen setelah latihan dan banyak
digunakan untuk monitoring pasien normal yang control.
(Amendola & Twaddle, 2008)
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
18/39
18
DIAGNOSA BANDING
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan
sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer, dengan beberapa ciri
yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya. Pada sindrom kompartemen kronik
didapatkan nyeri yang hilang timbul, dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan
berkurang pada saat beristirahat. Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan
claudikasio intermitten yang merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah
karena latihan dan berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah
beraktivitas. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian
proksimal, tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom
kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat meningkatkan
tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran darah
dan otot menjadi kram. Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain :
1. Selulitis
2. Coelenterate danJellyfish Envenomations
3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis
4. Gas Ganggrene
5. Necrotizing Fasciitis
6. Peripheral Vascular Injuries
7. Rhabdomyolis
(Amendola & Twaddle, 2008)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan pemeriksaan penunjang,
antara lain :
1. Laboratorium
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
19/39
19
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Complete Metabolic Profile (CMP)
Hitung sel darah lengkap Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
Serum myoglobin
Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke
diagnosis rhabdomyolisis.
Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)
2. Imaging
Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
USGUSG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT)
3. Pemeriksaan Lainnya
Pengukuran tekanan kompartemen
Pulse oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun
tidak cukup sensitif.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
20/39
20
TATALAKSANA
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi.
Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti
timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi
neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan
kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia
Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler,
dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel
otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
(Mabvuure et al,2012)
2. TerapibedahFasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki
perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik,
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
21/39
21
evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk
maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi
adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan
insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih
aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih
luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Fasiotomi di lakukan pada pasien
berikut :
Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang memiliki
tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan durasi tekanan
yang meningkat tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam.
Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekananintrakompartemen lebih dari 30 mmHg.
Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari
20 mmHg.
Toleransi jaringan untuk iskemia berkepanjangan bervariasi tergantung pada
jenis jaringan yang terlibat. Gangguan fungsional akan terjadi pada otot setelah 2-4
jam iskemia dan kehilangan fungsional ireversibel setelah 4-12 jam. Jaringan sarafmenunjukkan fungsi abnormal setelah 30 menit iskemia, dengan gangguan
fungsional ireversibel setelah 12-24 jam (Mabvuure et al,2012).
Berikut beberapa jenis insisi fasciotomi berdasarkan letak kompartemen :
1. Kompartemen syndrome pada tangan
Kejadian kompartemen sindrom pada tangan sangat jarang terjadi dandiagnosisnya sangat sulit dibuat. Diagnosisnya berdasarkan trias yaitu : stretch pain,
paralisis dan weakness muscles. Kejadian ini biasanya disebabkan oleh crush injury
tetapi dapat juga dihubungkan dengan adanya fraktur tulang carpal. Kompartemen
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
22/39
22
yang biasanya terkena adalah interossei. Fasciotomi, insisi dilakukan biasanya pada
bagian dorsal secara longitudinal.
2. Kompartemen sindrom pada lengan
Kejadian pada lengan juga jarang. Kejadian ini biasanya dihubungkan dengan
adanya fraktur pada distal radius. Kejadian ini juga dapat terjadi pada infiltrasi cairan
pda jaringan lunak, greasegun injuries dan infeksi berat yang dihubungkan dengan
pemakaian obat. Teknik fasciotomi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
Henry approach
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
23/39
23
Volar Ulnar approach
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
24/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
25/39
25
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
26/39
26
4. Kompartemen sindrom pada paha
5. Kompartemen sindrom pada telapak kaki
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
27/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
28/39
28
BAB 3
LAPORAN KASUS
I. IdentitasNama : Tn. R
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Laki - Laki
Alamat : Kopang, Lombok Tengah
Pekerjaan : Mahasiswa
Status : Belum menikah
Suku : SasakAgama : Islam
No. RM : 521633
Tanggal MRS : 4 September 2013
Tanggal pemeriksaan : 8 November 2012
II. AnamnesisKeluhan UtamaNyeri tungkai kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri tungkai kanan bawah dirasakan sejak 2,5 bulan yang lalu. Nyeri ini
dirasakan sejak pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah kecelakaan pasien
dibawa ke rumah sakit. Pasien merasakan nyeri pada kaki bila digerakkan dan
ditekan. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti di tusuk-tusuk. Pasien mengakutidak dapat menggerakkan kaki kanannya setelah kejadian tersebut. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan kakinya bengkak dan berwarna merah kehitaman. Pasien terjatuh
dari sepeda motor setelah menabrak sebuah pohon karena pasien sedang
mengendarai sambil memencet handphone. Pasien tidak menggunakan helm, pasien
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
29/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
30/39
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
31/39
31
b. Massa (-)
c. Pembesaran kelenjar getah bening: (-)
Thoraks
a.
Inspeksi: bentuk dan ukuran dada normal, gerakan dada simetris, iktuskordis tidak tampak, jejas (-), pelebaran sela iga (-).
b. Palpasi: gerakan dinding dada simetris, iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra.
c. Perkusi: sonor pada kedua lapang paru. Batas jantung kanan: parasternal
kanan ICS II, kiri: midklavikula ICS V. Batas paru hepar: ICS V.
d. Auskultasi:
Cor: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)Pulmo: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Abdomen
a. Inspeksi: distensi (-), massa (-), jejas (-).
b. Auskultasi: bising usus (+) normal, bising aorta (-)
c. Perkusi: timpani (+) di seluruh lapang abdomen
d. Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepar-lien tidak teraba
Ekstremitasa. Akral hangat (+/+)
b. Edema (-/-)
Status lokalis:
a. Look
Warna kulit disekitar luka berwarna lebih gelap dari kulit sekitar dan terlihat
kering.
Vulnus scissum berukuran 20 cm x15cmx 3cm pada anterior cruris dextra,
perdarahan (+). Kedalaman luka bervariasi, dengan dasar tulang, fasia, dan
tendon.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
32/39
32
Vulnus scissum berukuran 10 cm x3cmx 3cm pada posterior cruris dextra,
perdarahan (+)
Terlihat os tibia dari luka
b. Feel
Nyeri tekan (+), parestesi (+) bagian dari distal luka, paralisis (-), pulsasi dorsalis
pedis (+)
c. Move
Keterbatasan gerak (+)
IV. ResumePasien laki-laki 19 tahun, mengeluhkan nyeri pada tungkai kanan sejak + 2,5
bulan yang lalu post KLL bila digerakkan. Pasien juga tidak dapat menggerakkan kaki
kanannya setelah kejadian tersebut. Kaki pasien bengkak dan berwarna merah
kehitaman. Setelah kejadian pasien masih ingat kejadian dan menyangkal adanya
riwayat pingsan. Saat ini, pasien masih mengeluhkan nyeri pada kaki kanan dan tidak
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
33/39
33
mampu menggerakkan jari jari kaki kanannya serta jari kakinya tidak mampu
merasakan sentuhan. Pasien menyangkal adanya keluhan mual dan muntah. Pasien
tidak pernah menderita demam selama sakit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU
sedang, kesadaran CM, TD: 110/70 mmHg, N: 76 kali/menit, RR: 20 kali/menit, dan T:
36,8 0C. Kepala-leher dan thoraks dalam batas normal. Dari status lokalis didapatkan:
Warna kulit disekitar luka berwarna lebih gelap dari kulit sekitar dan terlihat kering,
Vulnus scissum berukuran 20 cm x15cmx 3cm pada anterior cruris dextra,
perdarahan (+). Kedalaman luka bervariasi, dengan dasar tulang, fasia, dan tendon.
Vulnus scissum berukuran 10 cm x3cmx 3cm pada posterior cruris dextra,
perdarahan (+). Feel : Nyeri tekan (+), parestesi (+) bagian dari distal luka, paralisis (-),
pulsasi dorsalis pedis (+), Move :Keterbatasan gerak (+)
V. Diagnosis KerjaKompartemen syndrome post faciotomi dan debridement region cruris dextra
VI. Usulan Pemeriksaan Penunjang1. DL, LED
2. Rontgen3. Pengukuran tekanan kompartemen
VII. Hasil pemeriksaan penunjang Darah lengkap (01/10/13)
Parameter 01/10/13
HGB 10,6
HCT 31,6
RBC 3,77
MCV 83,8
MCH 28,1
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
34/39
34
MCHC 33,5
WBC 8.78
PLT 246
LED 28
Kimia klinik (10 Oktober 2012)
Parameter 09/10/2012
GDS 69
Kreatinin 0,5
Ureum 9
SGOT 10
SGPT 16
Total protein 6,4
Albumin 1,9
Asam urat 3,6
LED 28
Golongan
darah
B
Kultur bakteri
Sensitive terhadap ; kloramfenikol, kotrimoksazol, dan meropenem,
Rontgen
Kesimpulan ; fraktur tibia 1/3 proksimal dextra
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
35/39
35
VIII. Rencana Terapi IVFD RL 20 tetes/menit
Ketorolac drip
Ceftriaxon 2x1gr
Ranitidin 2x1 amp
Diet tinggi protein
IX. Diagnosis AkhirKompartemen syndrome post faciotomi dan debridement region cruris dextra e.c
close fraktur tibia 1/3 proksimal dextra
X. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
36/39
36
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah. Dari anamnesis
didapatkan bahwa pada awalnya pasien terjatuh dengan menabrak pohon. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan kakinya bengkak dan berwarna merah kehitaman dan sulit digerakkan.
Hal ini menandakan telah munculnya 3 dari 5 tanda klasik dari sindrom kompartemen yaitu
pain, paresthesia dan paralysis. Saat masuk rumah sakit pasien langsung menjalani
fasciotomi.
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan 2,5 bulan setelah KLL (post fasciotomi dan
debridement) didapatkan luka post op dan warna kehitaman disekitar kaki kanan pasien.
Selain itu, juga terdapat nyeri tekan dan parestesi pada kaki kanan. Tungkai bawah pasien
masih dalam keadaan diperban setelah dilakukannya fasciotomi. Dari anamnesis diperoleh 3
dari 5 tanda klasik sindrom kompartemen yaitu pain, paresthesia, dan paralysis. Untuk 2
tanda yang lain (pallor dan pulseness) mungkin dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik
sebelum pasien menjalani fasciotomi, namun pemeriksaan fisik pada pasien ini dilakukan
setelah pasien menjalani fasciotomi sehingga tidak didapatkan lagi kedua tanda tersebut.
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh
darah dan otot didalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Kompartemen merupakan
daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran, dan fascia, yang
melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah. Secara anatomik, sebagian besar
kompartemen terletak di anggota gerak. Sindrom kompartemen paling sering terjadi di
tungkai bawah dan lengan atas. Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom
kompartemen Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness.Untuk penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dilakukan dengan
menempatkan ekstremitas yang terkena sejajar dengan jantung dan harus segera dilakukan
fasciotomi untuk mencegah kerusakan jaringan intrakompartemen. Pada pasien ini
fasciotomi dilakukan segera setelah pasien dirawat di rumah sakit. Penatalaksanan yang
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
37/39
37
dianjurkan pada pasien ini meliputi ketorolac sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri yang
dirasakan oleh pasien. Ceftriaxon sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada
pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan ranitidine untuk mencegah stress ulcer.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
38/39
38
BAB 5
PENUTUP
Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi emergensi yang mengancam anggota
tubuh dan jiwa yang paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah.
Penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45%
kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5-P yaitu: Pain
(nyeri) , Pallor (pucat), Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi),
Parestesia (rasa kesemutan), Paralysis.
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsineurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi dan dilakukan jika tekanan intra-kompartemen mencapai >30 mmHg.
Prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis dan pengobatan yang tepat,
umumnya menberikan hasil yang baik dan diagnosis yang terlambat dapat
menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot yang terlibat.
Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada ketika
berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari terlewatnyapemeriksaan dapat meningkatkan tekanan intra-kompartemen.
-
8/13/2019 Lapsus Ditha
39/39
DAFTAR PUSTAKA
1. Fette, Andreas M., 2012 . Special Aspects of Forearm Compartment Syndrome in
Children, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.), ISBN: 978-953-51-0231-1,
InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/orthopedic-
surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-children
2. Swiontkowski, MF., 2001. Manual of orthopaedics 6th edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
3. Mabvuure, NT. et al., 2012. Acute Compartment Syndrome of the Limbs: Current
Concepts and Management. The Open Orthopaedics Journal, 2012, 6, (Suppl 3: M7)
page 535-543. Available at :
http://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdf.
4. American Acedemy of Orthopaedic Surgeons. 2009. Compartement Syndrome.
Diunduh dari:http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204
5. Amendola, A. & Twaddle, B.C., 2008. Compartment syndromes. In: Browner BD,
Jupiter JB, Levine AM, Trafton PG, Krettek C, eds. Skeletal Trauma. 4th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier chap 13. Available at :
http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdf .
6. Vorvick, L.J., 2012. Compartment syndrome. Available at :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/
7. Undersea and Hyperbaric Medical Society. "Crush Injury, Compartment syndrome,
and other Acute Traumatic Ischemias". Available at :
http://www.uhms.org/ResourceLibrary/Indication... (Diunduh bulan Oktober 2011)
1. Geiderman JM, Katz D. General principles of orthopedic injuries. In: Marx J,
ed. Rosens Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed.
Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier; 2009:chap 46.
2. Marshall ST, Browner BD. Emergency care of musculoskeletal injuries. In:
Townsend CM Jr, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL,eds. Sabiston
Textbook of Surgery. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;
2012 h 20
http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdfhttp://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdfhttp://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdfhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdfhttp://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204http://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdfhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-childrenhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-children