Lapsus
-
Upload
fitrah-tulijalrezya -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
description
Transcript of Lapsus
![Page 1: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/1.jpg)
DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN RINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT ANAK
Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
PENDAHULUANRinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari respon keradangan
membran mukosa sinus paranasalis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi yang dapat
menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis.
Sehingga besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi oleh
perubahan pada sinus, istilah rinosinusitis saat ini merupakan istilah yang lebih sidukai untuk
sinusitis, khususnya pada anak-anak dimana penyakit ini terlihat sebagai satu kesatuan penyakit
yang sama ( Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo, 2002 ).
Rinosinusitis merupakan penyakit keradangan dengan prevalensi yang tinggi dan
mungkin akan terus meningkat. Kerena kualitas hidup penderita dengan kondisi ini dapat sangat
terganggu, sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan memiliki
pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode diagnosis rinosinusitis.
Rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hinga 30 % individu di
Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali
episode rinosinusitis dalam hidupnya ( bachert dan Verhaeghe, 2002; mulyarjo, 2002 ). Di
Indonesisa angka kesakitan rinosinusitis belum diketahui dengan pasti.
Rinosinusitis pada umumnya dimulai dari infeksi virus, yakni rinitis akut, yang sering
menyerang anak-anak. Menurut O’Brien (1998), 0,5 - 5,0 % infeksi saluran nafas atas dapat
mengalami komplikasi menjadi rinosinusitis bakterial akut (RSBA).
Prinsip pengobatan RSBA adalah menghilangkan infeksi bakteri, mengurangi keradangan
dan gejala buntu hidung serta mengembalikan klirens mukosilier ( mulyarjo, 2002 ).
Rinosinusitis adalah penyakit “ medis“ yang berarti terapi medikamentosa merupakan modalitas
penatalaksanaan yang utama terutama pda anak-anak. Tidakan bedah ditujukan pada kasus-kasus
yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa yang maksimal atau bila terjadi komplikasi
orbital atau intracranial.
![Page 2: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/2.jpg)
1. Anatomi
Sinus paranalis adalah serangkaian rongga yang mengelilingi rongga hidung. Ada empat
pasang sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus sfenoidalis, sinus etmoidalis dan sinus
maksilaris. Sinus maksilaris dan sinus etmoidalis mulai berkembang pada masa kehamilan bulan
ke- 3 sampai ke- 4 dan sudah terbentuk saat lahir. Sinus maksilaris tumbuh sangat cepat sampai
usia 3 tahun kemudian pada usia 7 tahun sampai 18 tahun pertumbuhan terulang lagi seiring
dengan pertumbuhan gigi. Pada waktu lahir sel-sel udara sinus etmoidalis tumbuh dari 3 – 4 sel
dan berkembang menjadi 10 – 15 sel persisi pada usia 12 tahun, dan menjadi 30 – 40 sel saat
dewasa. Sinus sfenoidalis tumbuh pada usia 3 tahun dan terbentuk sempurna pada usia 12 tahun.
Sinus frontalis mulai ada pada usia 8 tahun dan terbentuk sempurna pada usia 18 tahun. Sampai
dengan 5% orang dewasa mungkin di dapatkan satu atau kedua sinus frontalisnya tidak penuh
berkembang. Oleh karena itu ketiadaan sinus frontalis yang teraerasi dengan baik pada
pemeriksaan radiologis pada anak muda tidak perlu dianggap sebagai suatu kondisi patologis
( Rachelefsky, 1984; Rohr dan Spector, 1984; Josephson dan Roy, 1999 ).
Walaupun anatomi sinus pada anak mirip dengan sinus pada orang dewasa, sinus pada
anak jauh lebih kecil sehingga seringkali membuat evaluasi klinis lebih sulit. Pada pemeriksaan
rongga hidung tampak adanya tiga tonjolan dari dinding lateral rongga hidung yang disebut
konkanasalis. Drainase dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus etmoidalis (sinus – sinus
bagian anterior) adalah melalui konka nasalis medius, sementara drainase dari sinus sfenoidalis
dan sinus etmoidalis posterior (sinus – sinus bagian posterior) adalah melalui konka nasalis
superior ( Josephson dan Roy, 1999).
Area yang dinamakan komplek osteomeatal dianggap sebagi tempat penyumbatan utama
yang menyebabkan stasis sekresi dan penyakit sinus yang berulang. Secara anatomis area ini
dibatasi oleh tepi anterior konka nasalis medius di bagian medial dan dinding leteral rongga
hidung di bagian lateral.
2. Rinosinusitis
2.1 Definisi
Rinosinusitis didefinisikan secara klinis sebagai suatu kondisi yang merupakan
manifestasi dari respon keradangan membran mukosa sinus paranasalis yang biasanya
![Page 3: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/3.jpg)
dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret
mukus dalam rongga sinus paranasalis (Bachert dan Verhaeghe, 2002).
Sebagian besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi oleh
perubahan pada sinus. Istilah rinosinusitis sebagai gabungan antara rinitis dan sinusitis
tampaknya sesuai digunakan pada anak, karena keduanya adalah penyakit yang
berkesinambungan, dimana sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis dan jarang berdiri sendiri.
Disamping itu secara klinis gejala rinitis dan sinusitis mirip satu dengan lainnya sehingga terlihat
sebagai satu kesatuan penyakit yang sama (Mulyarjo, 2002; Bachert dan Verhaeghe, 2002 ).
2.2 Insiden
Rinosinusitis merupakan penyakit yang umum dijumpai dalam praktek sehari-hari.
rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hingga 30 % individu di Eropa. Di
Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali episode
rinosinusitis dalam hidupnya (Mulyarjo, 2002; Bachert dan Verhaeghe, 2002).
Insiden sebenarnya dari rinosinusitis anak mungkin sekali tinggi dan sebagian besar tidak
diketahui. Bila suatu rinosinusitis merupakan keradangan dari lapisan mukosa hidung dan sinus
paranasalis, maka dapatlah dikatakan bahwa rinosinusitis dapat terjadi pada setiap infeksi saluran
nafas atas (Saragih, 1985 dikutip Jonathan B, 1991). Tetapi pada anak-anak dimana rongga sinus
paranasalis relatif kecil dengan ukuran ostium sinus paranasalis yang relatif besar, maka tidak
terdapat retensi sekret, sehingga meskipun terjadi rinitis karena virus yang dapat meluas ke
lapisan mukosasinus paranasalis mukus yang terdapat dalam rongga sinus akan dengan cepat
dikeluarkan oleh gerakan silia. Oleh karena itu pada anak-anak usia 2 – 3 tahun jarang timbul
masalah klinis. Infeksi dari sinus paranasalis lebih mungkin terjadi pada anak yang lebih besar,
namun demikian ini tidak berarti bahwa insiden infeksi sinus paranasalis pada anak-anak lebih
jarang daripada orang dewasa karena anak-anak lebih sering terkena infeksi saluran nafas atas
daripada orang dewasa (Climent, 1981 dikutip Jonathan B, 1991; Rockville, 2000).
Menururt Ballenger (1985) rinosinusitis pada anak sering kali terjadi pada usia 4 – 10
tahun. Sedang Becker, dkk (1989) menyatakan bahwa rinosinusitis meningkat pada anak diatas
usia 4 tahun dan terbanyak antara usia 7 – 12 tahun.
![Page 4: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/4.jpg)
Menurut Hayes (2001) infeksi saluran nafas atas pada anak-anak yang disebabkan oleh
virus tidak selalu berkembang menjadi RSBA, tetapi RSBA menempati urutan penyakit ke-
empat yang didiagnosis pada anak usia 15 tahun atau pada usia yang lebih muda.
2.3 Patogenesis
Ostium sinus paranasalis memegang peran penting dalam pathogenesis rinosinusitis.
Ostium normal berdiameter kurang lebih 2,5 mm. Rinitis akut yang terjadi karena infeksi virus
menimbulkan terjadinya udem mukosa dan ini dapat menyebabkan pembuntuan ostium pada 80
% penderita (Roos K, 1999 dikutip Mulyarjo, 2000). Pembuntuan ini akan menimbulkan
penurunan oksigen di dalam rongga sinus dan terjadi hipoksia. Hipoksia menyebabkan gangguan
fungsi silia sehingga menghambat drainase rongga sinus. Bila rinitis akut menyembuh,
pembuntuan ostium akan menghilang dan darainase normal kembali. Apabila ada faktor
predisposisi misalnya kelainan anatomi, pembuntuan ostium akan menetap dan gangguan
drainase belangsung lebih lama (Rohr dan Spector, 1984; Mulyarjo, 2002).
Lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus pada keadaan normal mengandung
antimikroba dan sangat sedikit nutrient sehingga akan menyulitkan tumbuhnya kuman. Lendir ini
akan selalu dikeluarkan dari rongga sinus oleh gerakan silia melalui ostium sinus. Bila ostium
buntu akan terjadi hambatan aliran lendir sehingga menumpuk di dalam rongga sinus. Hipoksia
juga menyebabkan disfungsi kelenjar mukus sehingga terjadi perubahan kualitas dan kuantitas
mukus di dalam rongga sinus. Sekret menjadi lebih kental serta terjadi perubahan pH sehingga
menjadi medium yang subur bagi pertumbuhan kuman (Roos K, 1999 dikutip Mulyarjo, 2002).
Penumpukan sekret yang kental juga menyebabkan kerusakan pada mukosa serta ulserasi
dan kerusakan silia. Kerena silia bertugas mendorong lapisan lendir keluar rongga sinus, maka
kerusakan sebagian silia akan mengganggu tugas tersebut dengan akibat meningkatnya
penumpukan sekret. Pada kondisi ini terjadilah rinosinusitis bakterial akut (RSBA) yang
fulminan. Kuman berkembang biak dan banyak enzim proteolitik dilepaskan oleh lekosit
sehingga kerusakan mukosa menjadi lebih parah. Terjadi metabolik asidosis karena tertimbunya
asam laktat, dan pertahanan antimokrobial menurun. Kolonisasi kuman meningkat dan
seterusnya kerusakan menjadi lebih parah. Perubahan-perubahan ini terjadi secara grandual
(Mulyarjo, 2002).
Bila pembuntuan ostium berlangsung terus menerus serta penumpukan sekret didalam
rongga sinus tidak teratasi, maka proses masuk ke fase sub akut dan kronik. Ini terjadi bila
![Page 5: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/5.jpg)
penanganan RSBA tidak adekuat atau ada faktor lain yang menyebabkan drainase dan ventilasi
sinus terutama di komplek osteomeatal (Mulyarjo, 2002).
Sinus maksilaris adalah tempat yang paling sering terkena rinosinusitis yang terutama
diakibatkan oleh struktur anatomi. Ostium sinus maksilaris merupakan kanal yang berkelok
dengan panjang beberapa millimeter. Kanal ini menghubungkan antrum maksial dengan meatus
medius untuk membentuk komplek osteomeatal. Selain itu dasar sinus maksilaris lebih rendah
dari dasar rongga hidung, sehingga ostium sinus maksilaris berada pada bagian superior dari
antrum maksila. Sekret dapat terdrainase secara spontan dari sinus maksilaris ke rongga hidung
bila kepala pada posisi tegak, silia harus bekerja mengalirkan sekret keluar dengan arah superior
melawan gaya gravitasi. Tidaklah mengherankan bila sebagian besar kasus rinosinusitis
mengenai sinus maksilaris, dan setelah itu sinus etmoidalis, frontalis dan sfenoidalis (Slavin,
2002).
Faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya rinosinusitis adalah : (Rachelefsky,
1984; Rockville, 1999; Slavin, 2002).
2.3 Udem mukosa hidung : infeksi saluran nafas atas rinitis alergi, rinitis non alergi, merokok,
berenang.
2.3 Obstruksi mekanik : hipertofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa, polip nasi, trauma,
benda asing, neoplasma.
Faktor tersering adalah infeksi saluran nafas atas oleh virus rinitis alergi. Udem mukosa
hidung merupakan karakteristik infeksi akut atau rinitis alergi yang mengakibatkan obstruksi
ostium, penurunan kerja silia dalam sinus paranasalis dan meningkatnya produksi mukus serta
kekentalannya. Ritis non alergi dapat mengalami efek yang serupa dengan rinitis alergi.
Faktor fisiologis dapat menjadi faktor predisposisi terkena rinosinusitis. Misalnya, rokok
yang memiliki efek yang sangat besar karena dapat meningkatkan produksi mukusdan
memperlambat gerak silia.
Hal ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di alam
rumah dimana salah satu atau kedua orang tuanya merokok, mengalami peningkatan insiden
kelainan pernafasan dan rinosinusitis. Perenang juga memiliki insiden rinosinusitis yang tinggi
yang mungkin disebabkan oleh masuknya air yang terkontaminasi bahan kimia atau bakteri
kedalam sinus (Slavin, 2002).
![Page 6: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/6.jpg)
Obstruksi mekanis juga dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk terkena
rinosinusitis. Beberapa keadaan seperti hipertrofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa,
polip nasi, trauma, benda asing dan neoplasma harus dikesampingkan dengan pemeriksaan
endoskopi pada pasien rinosinusitis berulang (Slavin, 2002).
2.4 Klasifikasi Dan Gejala Klinik
2.4.1 Klasifikasi
Klasifikasi rinosinusitis lebih didasarkan atas lama berlangsungnya penyakit dari pada
gejala klinis. Menurut The American Academy Of Pediatric (AAP), 2001, klasifikasi rinosinusitis
adalah sebagai berikut :
Rinosinusitis Bakterial Akut (RSBA) : infeksi berlangsung kurang dari 30 hari, dengan gejala
ringan atau beratdan merupakan lanjutan infeksi virus (renitis akut).
RSBA berulang (recurrent rinosinusitis) : beberapa episode infeksi bakteri yang masing-masing
kurang dari 30 hari dan dipisahkan oleh interval asimtomatik sekurang-kurangnya 10 hari.
Rinosinusitis kronis (RSK) : keradangan yang berlangsung lebih dari 90 hari dan terdapat gejala
sisa berupa batuk, rinore dan buntu hidung.
2.4.2 Gejala Klinis
RSBA
Gejala RSBA sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (ISPA)oleh karena
firus dengan rinore yang jernih. Gejala ISPA pada umumnya membaik sendiri dalam 5 – 7 hari.
Jika gejala tidak membaik setelah 7 hari diagnosis RSBA hendaknya dipertimbangkan
(Josephson dan Roy, 1999 ; Mulyarjo, 2002).
Gejala klinis RSBA dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala
mayor : buntu hidung, ingus purulen, sakit pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), gangguan
penciuman. Gejala minor yakni : batuk, febris, tenggorok berlendir, nyeri kepala, nyeri geraham,
mulut berbau (Josephson dan Roy, 1999; Bachert dan Verhaeghe, 2002; Mulyarjo, 2003).
RSK
RSK didefinisikan sebagai infeksi yang menetap dalam sinus paranasalis selama 90 hari
atau lebih. Kerapkali hal ini menjadi tantangan bagi para dokter untuk membuat diagnosis
![Page 7: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/7.jpg)
rinosinusitis oleh karena gejala bervariasidan sering kali tidak spesifik (Josephson dan Roy,
1999).
Tanda-tanda dan gelaja RSK pada anak-anak umumnya meliputi batuk malam hari,
rinore, buntu hidung, postnasal drip, sakit kepala. Menurut Josephson dan Roy, (1999), sejumlah
gejala tidak lainya mungkin dapt menyesatkan dokter dalam memastikan diagnosis rinosinusitis
(table 1).
Rinosinusitis akut Rinosinusitis kronik
Ingus purulen Rinore
Nyeri wajah Batuk berulang
Febris Sakit kepala
Batuk Postnasal drip
Udem poriorbita Batuk hidung
Nyeri tenggorok
Febris ringan
Asma
Nyeri pada wajah/ mata/ gigi
Table 1. Gejala-gejala rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).
2.5 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronik ditegakkan secara klinis dengan
anamnesa yang cermat dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Banyak penyakit umum yang
mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis. ISPA oleh karena virus dan adenoiditis merupakan
dua penyakit paling umum yang mungkin sulit dibedakan dari rinosinusitis pada penderita anak.
Sulit untuk membedakan ISPA dengan rinosinusitis pada tahap awal penyakit. Kerapkali ISPA
merupakan predisposisiuntuk timbulnya rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).
Menurut Cohen R, 1999 dikutip Mulyarjo (2002), rinosinusitis pada anak sering
controversial. Sering terjadi over diagnosis sehingga meningkatkan pemakaian antibiotika yang
tidak perlu. Kadan sulit membedakan infeksi virus dengan rinosinusitis bakterial. ISPA
![Page 8: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/8.jpg)
merupakan penyakit terbanyak yang diterima anak, namun hanya kurang dari 5% saja yang
merupakan rinosinusitis bakterial.
Bedasarkan pedoamn terbaru dari AAP (2001), diagnosis rinosinusitis hanya berdasarkan
criteria klinis baik untuk yang ringan maupun yang berat pemeriksaan radiologis hanya untuk
konfirmasi diagnosis.
Gambaran klinis
RSBA pada anak dicurigai bila : O’Brien, 1998; Hayes, 2001)
Pilek > 10 hari
Ingus kental kuning / kehijauan
Batuk berlanjut terutama malam hari
Gejal lain : demam, sakit kepala (pada yang berat) dan mulut berbau
Menurut Mulyarjo (2002), diagnosis RSBA ditegakkan berdasarkan :
Pilek menetap atau memburuk > 7 hari terutama setelah pengobatan dengan obat bebas
Kombinasi gejala mayor dan minor. Menurut Bachert dan Verhaeghe (2002) didapatkan 2 atau
lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor
Rinoskopi anterior : adanya mukosa udem, hiperemi dan adanya sekret yang mukopurulen
Gejala yang mungkin mengenai sinus tertentu (sinus maksila : nyeri pada pipi atau graham, sinus
etmoid : nyeri diantara kedua mata, sinus frontalis : nyeri di dahi, sinus sfenoidalis : nyeri
hebat yang di pusat kepala atau oksipital)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik RSBA pada anak ditemukan : (Suyitno, 1996)
Mukosa hidung udem dan hiperemis
Lendir mukosa purulen di meatus medius, rongga hidung atau nasofaring
Nafas berbau tetapi tidak didapatkan tanda-tanda faringitis, kelainan gigi dan benda asing di
rongga hidung
Pemeriksaan fisik ini kurang menggambarkan spesifitas RSBA pada anak, terutama anak-
anak dibawah usia 10 tahun
Transiluminasi
![Page 9: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/9.jpg)
Pemeriksaan ini membantu mengangkat diagnosis rinosinusitis maksila pada anak dengan
adanya perbedaan bayangan antara sinus maksila kanan dan kiri dimana pada sinus yang sakit
memberi bayangan lebih suram. Pemeriksaan ini hanya membantu diagnosis terutama pada anak-
anak berusia lebih dari 10 tahun (Suyitno, 1996).
Radiografi
Dengan posisi Waters kita dapat mengevaluasi sinus maksila. Gambaran rontgen yang
sering ditemukan pada rinosinusitis maksila pada anak adalah :
Penebalan mukosa lebih dari 4mm
Gambaran suram atau gelap pada sinus maksila
Air fluid level
Walaupun demikian kadang-kadang gambaran penebalan mukosa, gambaran suram pada
sinus tidak selalu menggambarkan rinosinusitis terutama pada anak-anak usia kurang dari 1
tahun. Karena bentuk sinus maksilia yang masih kecil dan jaringan lunak pipi memberi bayangan
suram / gelap (Suyitno,1996).
CT-Scan
Dengan CT-scan didapatkan informasi yang lebih terperinci tentang sinus paranasalis dan
kelainan di komplek osteomeatal. Jadi CT-scan dapat mendiagnosis lebih tepat, hanya
memerlukan biaya lebih tinggi dan tidak smua rumah sakit memiliki alat CT-scan (Josephson
dan Roy, 1999).
MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang unggul untuk menggambartakan kelainan jaringan
lunak dalam sinus paranasalis. Akan tetapi karena pemeriksaan yang terbatas pada kelainan
struktur tulang. MRI bukan bukan merupakan alat pemerikasaan pilihan untuk mengevaluasi
rinosinusitis akut maupun rinosinusitis kronik (Josephson dan Roy, 1999).
2.6 Mikrobiologi
![Page 10: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/10.jpg)
Gambaran mikrobiologi yang sebenarnya pada rinosinusitis didapatkan dari studi dimana
diambil dari sinus dengan cara punksi antrum atau dengan pengambilan sampel secara langsung
dari sinus yang terkena selama pembedahan (Slavin, 2002)
Pada studi terhadap 76 orang dewasa yang mengalami kegagalan dengan terapi medis
terhadap rinosinusitis dan dijadwalkan untuk pembedahan, didapatkan kuman aerob pada 76,3%
kasus dan kuman anaerob pada 7,6% kasus. Hasil yang serupa juga didapatkan pada anak-anak.
Wald dkk, 1989 dikutip Slavin (2002), melakukan studi terhadap 40 anak-anak dengan
rinosinusitis kronik non alergi. Hasilnya didapatkan aspirat sinus positif pada 58% sampel,
dengan bakteri yang dominan Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influenzae, dan
Moraxella Catarrhalis. Tidak terdapat kuman anaerob yang diisolasi pada anak-anak yang tidak
memiliki alergi ini. Hasil yang serupa didapatkan pada studi mengenai rinosinusitis kronik pada
anak-anak dengan alergi pernafasan.
Menurut AAP (2001), Lippincott (2002), Slavin (2002), dan Lampl (2003), kuman yang
sering menjadi penyebab rinoinuitis bakterial akut adalah Streptococcus Pneumonia (30-40%),
Haemophilus Influenzae (20-30%), Moraxella Catarrhalis (12-20%) dan Streptococcus
Pyogenes β Hemolyticus (3%). Kuman-kuman tersebut adalah kuman yang umum ditemukan
pada biakan kuman, disamping kuman-kuman yang jarang dijumpai seperti Staphylococcus
aureus dan kuman-kuman anaerob. Kuman anaerob mulai berperan bila oksigenasi rongga sinus
makin berkurang. Makin lam proses berlangsung makin meningkat populasi kuman anaerob.
Pada rinosinusitis kronik peran kuman anaerob lebih dominan (Lampl, 2003).
2.7 Terapi
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,
perbaikan patensi otium sinus, perbaikan mukosilia dan menkan keradangan mukosa saluran
nafas. Penatalaksanaan medis rinosinusitis merupakan pendekatan bertahap. Sekali diagnosis
rinosinuitis ditegakkan, terapi dengan antibiotika secara umum merupakan terapi lini pertama
(Moesges, 2002). Pembuntuan ostium inus perlu dihilangkan dengan dekongestan agar drainase
sinus kembali normal.
Menurut Moesges (2002), pengobatan dengan antibiotika sering kali berdasarkan
pengalaman karena sulitnya memperoleh spesimen yang terpercaya untuk kultur. Yang
terpenting, pemilihan antibiotika harus didasarkan atas prediksi keefektifannya, potensi
![Page 11: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/11.jpg)
terjadinya efek samping, serta harganya. Untuk RSBA dianjurkan pemberian terapi antibiotika
selam 14 hari.
Akhir-akhir ini sejumlah studi yang dipublikasikan menyatakan bahwa perlunya terapi
antibiotika masih belum pasti. Efek kerusakan yang lebih besar dapat terjadi oleh munculnya
efek samping dari obat yang berimbang dengan efek yang bermanfaat dari terapi antibiotika oral.
Oleh sebab itu beberapa peneliti memperkirakan berakhirnya terapi antibiotika (Moesges, 2002).
Menurut Rockville (1999) RSBA berpotensi untuk menjadi penyakit yang serius sehigga
diperlukan antibiotika untuk mencegah komplikasi. Tetapi penggunaan antibiotika yang
berlebihan akan dapat meningkatkan timbulnya efek samping, resistensi kuman terhadap
antibiotika dan biaya pengobatan (Watson et al, 1999; Rockville, 1999; Garbutt et al, 2001;
Lampl, 2003).
Bedasarkan kuman yang sering menjadi penyebab RSBA, maka antibiotika lini pertama
adalah amoksisilin (Josephson dan Roy, 1999; Klien, 2001; Lampl, 2003). Menurut AAP (2001),
pemilihan amoksisilin ini karena merupakan antibiotika yang relative aman dan harganya
terjangkau. Pilihan ini dilakukan terutama untuk serangan RSBA yang pertaman dimana belum
pernah diterapi dengan antibiotika. Untuk RSBA berulang atau adanya riwayat pemberian
antibiotika sebelunya mungkin amoksisilin kurang efektif, untuk itu antibiotika lini kedua dapat
menjadi alternatif. Bila ditengarai adanya kuman penghasil enzim β-laktamase maka kombinasi
amoksisilin dan asam klavulanat dapat digunakan. Untuk penderita hipersensitif terhadap
penisilin dapat digunakan katrimoksazol, makrolid atau doksisiklin, namun obat yang terakhir ini
tidak dianjurkan pada anak-anak. Antibiotika ahrus diberikan 10-14 hari (Mulyarjo, 2002).
Menurut AAP (2001), sekitar 80% anak-anak dengan RSBA membaik dengan terapi
amoksisilin. Lippicott (2002) melaporkan hal yang sama pada 90% kasus, dan Hayes (2001)
melapoekan 91,2% kasus.
Dekongestan sistemik fenilpropanolamin atau pseudoefedrin mungkin memperbaiki
ventilasi sinus dan memulihkan fungsi mukosilia. Sedangkan dekongestan tropikal mungkin
bermanfaat pada tahap awal proses penyakit rinosinuitis, tetapi pemakaian dekongestan tropikal
ini hendaknya dibatasi 3 smapai 5 hari (Josephson dan Roy, 1999; Lampl, 2003).
Terapi bedah pada penderita rinosinusitis anak ditujukan pada rinosinusitis rekuren dan
rinosinusitis kronik yang tidak responsive terhadap terapi medis yang maksimal dan bila terjadi
![Page 12: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/12.jpg)
komplikasi RSBA seperti komplikasi orbita atau intracranial (Josephson dan Roy, 1999; Mc
Clay, 2001).
2.8 Komplikasi Rinosinusitis Bakterial Akut
Sinus paranasalis dibatasi oleh otak dan cavum orbita di lateral, superior dan posterior,
sehingga penyebaran infeksi dapat menyebakan komplikasi intrakranial atau orbital yang
mengancam jiwa. Komplikasi orbital biasanya disebabkan penyebaran langsung infeksi melalui
lamina papiracea dari sinus etmoidalis.
Komplikasi Orbital
Selusitis preseptal
Selusitis orbital
Abses Subperiosteal
Abses Orbital
Trombosis Sinus Kavernosus
Kebutaan
Komplikasi Intrakranial
Meningitis
Abses Epidural
Abses subdural
Abses otak
Osteomielitis dinding anterior sinus frontalis
Komplikasi Sistemik
Toxic shock syndrome
Sepsis
Table 2. komplikasi rinosinusitis (Josephson dan Roy, 1999).
![Page 13: Lapsus](https://reader035.fdocuments.net/reader035/viewer/2022071920/55cf98e7550346d0339a5792/html5/thumbnails/13.jpg)
RINGKASAN
Rinosinusitis merupakan penyakit umum yang dijumpai dalam praktek sehari-hari. faktor
anatomi menyebakan anak-anak rentan terhadap obstruksi ostium sinus, menyebabkan
ketidaklancaran sekresi hidung dan meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Diagnosis rinosinusitis akut dan kronis terutama ditegakkan berdasarkan pada riwayat
klinis dan pemeriksaan klinis. Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam
penanganan RSBA, dengan tujuan untuk membunuh kuman penyebab, membuka ostium sinus
dan mengembalikan fungsi silia. Terapi bedah ditujukan untuk kasus-kasus yang tidak
responsive terhadap terapi medikamentosa atau bila terjadi komplikasi intracranial atau orbital.